Strategi Pengelolaan Utang

advertisement
PENGELOLAAN UTANG NEGARA
: ANALISIS RISIKO DAN STRATEGI UTANG
Arief Tri Hardiyanto
PENGELOLAAN UTANG NEGARA:
ANALISIS RISIKO DAN STRATEGI UTANG
Pendahuluan
Untuk mencapai tujuan bernegara yaitu menciptakan masyarakat adil makmur dan sejahtera,
pemerintah melakukan pembangunan di segala bidang sesuai dengan rencana pembangunan
jangka menengah dan jangka panjang yang telah ditetapkan. Pembangunan tersebut
dimaksudkan untuk mendorong perekonomian dan mencapai target pertumbuhan yang telah
direncanakan setiap tahun. Apabila ekonomi Indonesia dapat tumbuh sesuai dengan yang
direncanakan maka diharapkan akan tercipta lapangan kerja baru yang diperlukan untuk
menyerap tenaga kerja sehingga akan mengurangi pengganguran.
Dalam melaksanakan pembangunan untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi yang telah
ditetapkan, pemerintah dihadapkan pada berbagai pilihan sumber pembiayaan. Pembiayaan
dalam negeri merupakan pilihan utama pemerintah untuk pembiayaan pembangunan. Namun
sumber penerimaan dalam negeri yang berasal dari penerimaan pajak, penerimaan migas, serta
penerimaan dalam negeri lainnya belum cukup untuk membiayai pembangunan sesuai target
pertumbuhan yang diinginkan. Saat ini pemerintah Indonesia tidak lagi dapat mengandalkan
penerimaan dari migas, sehingga harus mengupayakan peningkatan penerimaan pajak. Namun,
penerimaan pajak tidak terlepas dari kondisi perekonomian. Perekonomian yang tumbuh
dengan cukup signifikan akan berdampak terhadap pertumbuhan perusahaan-perusahaan
sehingga profitabilitas perusahaan akan semakin besar. Para pekerjapun akan mengalami
peningkatan pendapatan. Dalam kondisi seperti ini, penerimaan Negara dari perpajakan akan
dapat dipacu peningkatannya.
Pada umumnya penerimaan pajak tidak cukup untuk membiayai seluruh kegiatan
pembangunan yang dirancang untuk mengejar pertumbuhan yang ditargetkan. Hal ini nampak
2
dari proporsi penerimaan pajak dalam APBN yang sampai saat ini masih berkisar 72% dari total
pendapatan Negara. Oleh karena itu, pemerintah mengupayakan pembiayaan pembangunan
tersebut dari utang dan kebijakan tersebut termasuk salah satu kebijakan ekonomi yang tidak
berubah sejak pemerintahan orde baru hingga pemerintahan Indonesia Bersatu. Pembiayaan
defisit anggaran dengan pinjaman/utang merupakan bagian dari pengelolaan keuangan Negara
yang lazim dilakukan oleh suatu Negara.
Namun demikian, akumulasi utang pemerintah Indonesia semakin membengkak dari tahun ke
tahun. Bahkan pembubaran IGGI pada saat pemerintah Suharto maupun pembubaran CGI pada
saat pemerintahan SBY-JK tidak berperan sama sekali dalam menurunkan jumlah utang
pemerintah. Meskipun dalam lima tahun terakhir pemerintah telah berhasil menurunkan rasio
utang terhadap produk domestik bruto (PDB) dari 57% menjadi 33%, namun secara nominal
saldo utang (dalam negeri dan luar negeri) terus membengkak dari Rp1.300 trilyun menjadi
Rp1.700 trilyun.
Hadar (2009) menyatakan bahwa kondisi utang pemerintah Indonesia sudah sangat
memprihatinkan. Sepanjang 2005/2006, misalnya, untuk membayar bunga utang yang jatuh
tempo pemerintah harus mengeluarkan dana Rp42,3 trilyun, sementara bunga untuk SUN
valuta asing sebesar 132,3 juta dolar AS. Jumlah tersebut belum termasuk cicilan pokok utang
luar negeri sebesar Rp90-an trilyun. Dengan kondisi seperti ini, Bank Dunia (2005) memasukkan
Indonesia ke dalam kelompok Negara di Asia Pasifik yang berpendapatan menengah dengan
tingkat utang yang sangat tinggi (severely indebted middle income).
Saat ini, dengan jumlah pokok utang sebesar Rp1.700 trilyun, pembayaran cicilan pokok dan
bunga utang telah menjadi sumber ancaman bagi stabilitas ekonomi makro, baik berupa
tekanan defisit fiskal, ketimpangan distribusi sosial dalam APBN, maupun tekanan atas
cadangan devisa. Karena itu, diperlukan strategi yang lebih komprehensif guna mengurangi
utang tersebut.
3
Tulisan ini mencoba menyajikan profil utang pemerintah dalam sepuluh tahun terakhir dan
menganalisis risiko yang terkait dengan kondisi utang tersebut serta strategi utang
komprehensif yang diperlukan dalam mengelola utang menuju perekonomian Indonesia yang
mandiri dan berkesinambungan.
Profil Utang Negara
Perhatian para analis ekonomi saat ini ditujukan terhadap jumlah saldo utang pemerintah
Indonesia yang semakin meningkat. Jumlah total outstanding utang pemerintah baik pinjaman
luar negeri maupun pinjaman dalam negeri selama periode 1999 – 2009 dapat dilihat dari grafik
berikut ini:
Jumlah Saldo Utang Pemerintah Indonesia
1997 s.d. 2009
(trilyun
rupiah)
(dalam %)
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
Pinj. LN
SBN
100%
0%
82%
18%
47%
53%
47%
53%
48%
52%
47%
53%
47%
53%
49%
51%
47%
53%
43%
57%
42%
58%
45%
55%
43%
57%
Sumber data: Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang Departemen Keuangan RI
Pinjaman luar negeri pemerintah Indonesia berasal dari lembaga keuangan internasional
(World Bank, Asian Development Bank, Islamic Development Bank), kreditor bilateral (seperti
4
Jepang, Jerman, dan Perancis), serta kredit ekspor. Jenis pinjaman yang diperoleh berupa
pinjaman program dan pinjaman proyek. Pinjaman program diperuntukkan bagi dukungan
anggaran dan pencairannya dikaitkan dengan pemenuhan Policy Matrix dibidang kegiatan
untuk mencapai Millenium Development Goals-MDGs (pengentasan kemiskinan, pendidikan,
pemberantasan korupsi), pemberdayaan masyarakat, policy terkait dengan climate change,
dan insfrastruktur. Pinjaman proyek digunakan untuk pembiayaan proyek infrastruktur di
berbagai sektor (seperti perhubungan dan energi), dan proyek dalam rangka pengentasan
kemiskinan (PNPM).
Pinjaman dalam negeri digunakan untuk membiayai kegiatan dalam rangka pemberdayaan
industri dalam negeri dan pembangunan infrastruktur untuk pelayanan umum serta kegiatan
investasi yang menghasilkan penerimaan. Tata cara pengadaan dan penerusan pinjaman dalam
negeri oleh pemerintah diatur dalam PP No.54 Tahun 2008. Instrumen pembiayaan dalam
negeri yang digunakan pemerintah Indonesia adalah Surat Berharga Negara yang terdiri dari
Surat Utang Negara (berupa Surat Perbendaharaan Negara (SPN/T-Bills) dan Obligasi Negara
(ORI, FR/VR Bond, Global Bond) dan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN)/Sukuk Negara baik
SBSN berjangka pendek (Islamic T-Bills) maupun jangka panjang (Ijarah Fixed Rate, Global
Sukuk, Sukuk Dana Haji Indonesia).
Jumlah utang pemerintah yang cenderung meningkat tersebut akan membebani APBN karena
mengakibatkan adanya lonjakan dalam pembayaran cicilan pokok utang dan bunga setiap
tahunnya. Bahkan jumlah pembayaran cicilan pokok utang dan bunga telah lebih besar
dibandingkan dengan jumlah penambahan utang baru. Pada 2001, jumlah penambahan utang
baru hanya sebesar US$5.511 juta, sementara jumlah pembayaran angsuran pokok utang dan
bunga mencapai US$7.157 juta, yang berarti terdapat selisih negatif sebesar minus US$1.646
juta. Selama periode 2001 s.d. 2008 selisih tersebut cenderung meningkat setiap tahun hingga
mencapai minus US$4.949 juta, seperti ditunjukkan pada tabel di bawah ini.
5
Selisih Jumlah Penambahan Utang Baru
dengan Pembayaran Cicilan Pokok Utang dan Bunga
(dalam juta US$)
Keterangan
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
Penambahan Utang Baru
Angsuran Pokok Utang
Bunga
5.511
4.245
2.912
5.646
4.567
2.782
5.224
4.955
2.656
2.602
5.222
2.495
5.538
5.626
1.339
3.661
5.787
2.280
4.009
6.322
2.298
3.892
6.569
2.272
Jumlah
7.157
7.349
7.611
7.717
6.965
8.067
8.620
8.841
Selisih
(1.646) (1.703) (2.387) (5.115) (1.427) (4.406)
(4.611) (4.949)
Sumber Data: Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang Departemen Keuangan RI
Berdasarkan data di atas, maka tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa Indonesia sudah
masuk dalam perangkap jebakan utang (debt trap) yang memaksa pemerintah melakukan gali
utang bayar utang setiap tahunnya (Radhi, 2009).
Namun demikian, pihak pemerintah (Departemen Keuangan) menyatakan bahwa utang
pemerintah Indonesia masih dalam batas aman (wajar). Saat ini pengelolaan utang sudah lebih
baik dibandingkan dengan masa lalu (antara news, 2009). Hal ini dilihat dari rasio utang
terhadap produk domestik bruto (PDB) yang cenderung semakin menurun yang
mengindikasikan peningkatan kemampuan Indonesia dalam membayar utang. Pada tahun 1999
rasio utang terhadap PDB masih sebesar 85% kemudian turun menjadi 34,7% pada tahun 2008.
Tambahan utang selama periode 2004 – 2008 menghasilkan tambahan PDB yang jauh lebih
besar, sehingga rasio utang menurun tajam dari 57% pada akhir
tahun 2004 menjadi
diproyeksikan sekitar 32% pada tahun 2009, seperti ditunjukan pada grafik berikut ini.
6
Rasio Utang terhadap PDB
1999 s.d. 2009
Sumber : Departemen Keuangan (diolah)
Risiko Utang
Dengan jumlah utang yang semakin besar banyak ekonom yang memeringatkan pemerintah
akan adanya risiko jebakan utang (debt trap) dimana utang sudah terlalu membebani anggaran
Negara untuk membayar angsuran pokok utang dan bunga. Risiko lainnya terkait dengan
tereksposure-nya pemerintah Indonesia kedalam risiko perekonomian global. IMF dan World
Bank (2001) mengidentifikasi beberapa risiko yang dihadapi suatu Negara terkait dengan
jumlah utang yang besar yaitu market risk, funding risk, liquidity risk, credit risk, dan operational
risk.
Market risk merupakan risiko yang berkaitan dengan fluktuasi suku bunga, nilai tukar mata
uang, harga komoditas, dan inflasi. Sebagai contoh akibat dari perkembangan moneter global,
nilai tukar mata uang Yen terhadap dolar Amerika Serikat meningkat tajam pada akhir 2008.
Proses perubahan peran mata uang Yen tersebut (deleveraging) menjadikan utang Pemerintah
Indonesia yang sebagian besar berasal dari Jepang meningkat cukup tajam. Demikian juga,
menguatnya dolar AS terhadap rupiah berdampak cukup signifikan terhadap beban APBN untuk
7
membayar angsuran pokok utang dan bunga yang jatuh tempo. Jika pada akhir 2007 nilai tukar
dolar AS terhadap rupiah sebesar Rp9.419,00, pada akhir 2008 nilai tukar tersebut meningkat
tajam menjadi Rp10.950,00. Peningkatan tersebut mengakibatkan kenaikan jumlah utang luar
negeri dalam rupiah yang diperkirakan sebesar Rp41,8 trilyun, jika nilai tukar 2008 stabil
(Harinowo, 2009).
Funding risk merupakan risiko ketika pemerintah memerlukan dana untuk pembiayaan
anggaran ataupun roll-over utang pada tingkat yang dapat diterima. Risiko ini terkait dengan
kemampuan pemerintah untuk melakukan pinjaman baru yang dibutuhkan. Semakin besar
jumlah utang (sebagai % dari PDB) yang dimiiliki suatu Negara semakin besar risiko (kesulitan)
pemerintah dalam mendapatkan pinjaman baru. Risiko lainnya adalah risiko roll-over yaitu
risiko bahwa utang akan diroll-over dengan biaya yang sangat tinggi atau bahkan risiko utang
tidak dapat diroll-over sama sekali. Ketidakmampuan untuk memperpanjang jatuh tempo utang
tersebut dapat menimbulkan krisis utang dan menimbulkan kerugian ekonomi yang riil.
Pengelolaan risiko ini sangat penting khususnya bagi Negara yang sedang berkembang.
Liquidity risk berkenaan dengan manajemen kas pemerintah. Risiko likuiditas menunjuk ke
suatu keadaan dimana volume aset lancar (kas) menurun dengan cepat karena timbulnya
kewajiban pembayaran yang tidak diantisipasi sebelumnya atau kesulitan dalam memperoleh
kas melalui pinjaman jangka pendek. Pembayaran angsuran pokok utang dan bunga yang setiap
tahun meningkat membawa risiko terhadap likuiditas APBN. Apabila jebakan utang tidak segera
diselesaikan maka akan mengarah ke liquidity trap. Mexico merupakan salah satu Negara yang
mengalami liquidity trap yang sangat besar sehingga akhirnya dinyatakan default. Dari APBN
tahun 2008 terlihat bahwa anggaran yang harus disediakan pemerintah Indonesia untuk
membayar bunga utang sebesar Rp89,46 trilyun (mencapai 10% dari total pendapatan atau 9%
dari total belanja). Pada tahun 2009, diprediksi pembayaran bunga utang sebesar Rp101,66
trilyun atau 10,3% dari total pendapatan atau 9,8% dari total belanja.
Credit risk berkenaan dengan kinerja yang rendah dari peminjam atas kesepakatan keuangan
yang telah dituangkan dalam kontrak. Risiko tersebut relevan khususnya dalam pengelolaan
aset lancar. Risiko kredit juga terkait dengan penerimaan atas penawaran surat berharga (surat
8
utang) yang diterbitkan pemerintah
ataupun kontrak-kontrak derivatif yang ditutup oleh
pemerintah. Risiko kredit yang tinggi akan menjadikan pemerintah dikenakan premi yang tinggi
pada saat menjual surat utang atau menutup kontrak derivative, sehingga menjadikan biaya
peminjaman (cost of borrowing) lebih tinggi di atas rata-rata tarif premi pasar.
Operasional risk
meliputi berbagai jenis risiko seperti
kemungkinan kesalahan berbagai
tahapan pelaksanaan dan pencatatan transaksi, ketidakcukupan atau kegagalan pengendalian
intern atau kegagalan sistem, risiko reputasi, risiko hukum, risiko keamanan dan risiko bencana
alam yang mempengaruhi aktivitas pemerintah. Contoh nyata dari risiko operasional adalah
adanya pembangunan fisik yang salah sasaran dan dilaksanakan dengan tidak efisien. Juga risiko
dana pembangunan dari utang yang dikorupsi.
Strategi Pengelolaan Utang
Dengan mempertimbangkan jumlah utang pemerintah yang besar, jenis instrumen utang yang
beragam, jangka waktu pelunasan utang yang beragam, serta berbagai risiko yang melekat
pada utang, maka pemerintah perlu merancang strategi pengelolaan utang yang sustainable.
Saat
ini,
kita
telah
memiliki
strategi
utang
dengan
diterbitkannya
KMK
Nomor:447/KMK.06/2005 tentang Strategi Pengelolaan Utang Negara Tahun 2005-2009. Dalam
KMK ini disebutkan dua strategi umum manajemen utang yaitu pengelolaan portfolio dan
risiko, serta pengembangan pasar perdana dan pasar sekunder SUN.
Pengelolaan portfolio dan risiko mencakup pengurangan utang Negara, penyederhanaan
portfolio utang Negara, pengadaan utang Negara dalam mata uang rupiah, minimalisasi risiko
pembiayaan kembali, peningkatan porsi utang Negara dengan bunga tetap, penurunan porsi
kredit ekspor, dan penerapan prinsip pengelolaan utang Negara yang baik. Pengembangan
pasar perdana mencakup pengembangan metode penerbitan, pengembangan sistem lelang,
penyusunan jadwal yang teratur, dan penerbitan benchmark issues. Sedangkan pengembangan
pasar sekunder mencakup diversifikasi instrumen SUN, dan aktifitas lain untuk meningkatkan
likuiditas pasar SUN.
9
Namun demikian, KMK tersebut masih perlu disempurnakan dan dalam beberapa hal perlu
ditingkatkan kedudukannya dalam sistem perundangan-undangan yang berlaku. Strategi
pengelolaan utang agar diarahkan pada pencapaian tujuan dari pengelolaan utang yaitu
meminimalkan biaya utang dengan tingkat risiko yang semakin terkendali.
Pertama, strategi pengelolaan utang pemerintah dalam jangka panjang saat ini lebih difokuskan
pada perolehan sumber pembiayaan untuk mendanai program-program pembangunan
prioritas dan belum banyak memberikan perhatian pada pengelolaan biaya dan risiko (Suminto,
2006). Strategi ini masih bisa dijalankan mengingat portfolio utang pemerintah masih
didominasi oleh official development assistance (ODA) dari kreditur bilateral dan concessional
loan dari kreditur multilateral, yang dianggap sebagai kredit dengan biaya murah dan risiko
rendah.
Saat ini posisi utang pemerintah semakin besar dengan portfolio utang yang semakin beragam.
Sejak tahun 2005 Surat Berharga Negara menjadi instrumen utama pembiayaan defisit
anggaran. Komposisi SBN didominasi oleh obligasi, baik domestik maupun internasional, yang
tentunya memiliki eksposure yang tinggi terhadap fluktuasi perekonomian global. Oleh karena
itu, strategi pengelolaan utang pemerintah harus difokuskan pada pengelolaan biaya dan risiko
dari berbagai instrumen pembiayaan yang dimiliki sehingga dapat meminimalkan risiko yang
mungkin terjadi khususnya risiko pasar dan risiko likuiditas.
Strategi kedua, pengelolaan utang pemerintah terkait dengan penetapan jumlah utang yang
aman bagi perekonomian dan batas maksimum bagi pembayaran utang pemerintah dengan
menciptakan rerangka hukum yang kuat. Tidak dapat dipungkiri bahwa kebijakan pembiayaan
APBN melalui utang sangat dipengaruhi oleh kebijakan ekonomi yang dijalankan oleh
pemerintah yang sedang berkuasa. Sesuai undang-undang dasar, masa jabatan presiden adalah
5 tahun dan dapat dipilih lagi untuk masa jabatan lima tahun kedua. Kebijakan pembiayaan
melalui utang yang sangat agresif oleh pemerintah yang sedang berkuasa saat ini akan
membawa implikasi jangka panjang terhadap perekonomian Indonesia. Oleh karena itu, perlu
penetapan jumlah utang yang aman sesuai perekonomian Indonesia. Sesuai ‘IMF Country
Report” tahun 2005 tingkat utang yang aman adalah tingkat utang yang tidak rentan terhadap
10
krisis, tidak mengancam pertumbuhan ekonomi, dan tidak mengganggu keseimbangan fiscal
(fiscal sustainability). Menurut studi yang dilakukan oleh IMF tersebut, tingkat utang yang aman
bagi pemerintah Indonesia adalah berkisar 35% s.d. 42 % dari GDP.
Jumlah tingkat utang yang aman ini perlu ditetapkan dalam suatu Undang-undang, sehingga
pemerintah yang berkuasa tidak dapat sewenang-wenang menarik pinjaman. Dalam rerangka
hukum pengelolaan utang tersebut diatur pula kewenangan memutuskan utang dan batasanbatasannya serta hubungan antar eksekutif dan legislatif (Suminto, 2006; Hadar, 2009).
Disamping itu, diperlukan pula
pemberlakuan batas maksimum
pembayaran utang
pemerintah, khususnya utang luar negeri.
Strategi ketiga adalah pembentukan intregated debt management office (Bank Dunia, 2004).
Saat ini, pengelolaan utang pemerintah ditangani secara parsial oleh beberapa institusi yaitu
Departemen Keuangan, Bank Indonesia, Kantor Menteri Koordinator Bidang Perekonomian,
dan Bappenas. Menurut Hadar (2009) debt management office seharusnya tidak hanya
mengurus rescheduling dan reprofiling utang, namun juga menawarkan pengelolaan utang
secara nonkonvensional yang memerlukan teknis negosiasi dan rekayasa financial, seperti
pemotongan utang (hair cut), penghapusan sebagian utang (write-off), konversi utang menjadi
ekuitas, konversi utang ke sumber daya alam (debt for nature swap) dan konversi utang ke
MDGs (debt for MDGs swap).
Penutup
Seiring dengan jumlah utang pemerintah yang semakin besar, maka diperlukan pengelolaan
utang yang lebih komprehensif. Pemerintah perlu melakukan analisis yang lebih mendalam atas
risiko yang dihadapi pemerintah terkait dengan utang tersebut baik dari segi jumlahnya
maupun jenis instrumen utang. Dari hasil analisis risiko tersebut pemerintah dapat
memformulasikan strategi pengelolaan utang yang diarahkan pada pengelolaan biaya dan risiko
dan penyusunan rerangka hukum untuk memastikan batasan kewenangan pemerintah
(eksekutif) dan lembaga legislative dalam penetapan tambahan utang yang diperlukan untuk
11
menutup defisit APBN. Disamping itu diperlukan pula strategi untuk mengintegrasikan lembagalembaga yang terlibat dalam pengelolaan utang. Dengan pengelolaan utang yang baik yang
merupakan salah satu prasyarat dalam mencapai MDGs, bersama-sama dengan pertumbuhan
ekonomi yang tinggi, penguatan institusi pemerintah, dan kebijakan ekonomi pro rakyat, maka
target pengurangan kemiskinan menjadi separuh pada tahun 2015 tidak mustahil untuk dicapai.
12
REFERENSI
Danmarks National Bank, (1998), “Government Debt Policy in an International
Perspective” in Danish Government Borrowing and debt 1998.
Hadar, Ivan A., (2009), “Perlu Terobosan Kurangi Utang”. Kompas, 24 Juni 2009.
Harinowo, Cyrillus, (2009), “Perdebatan tentang Utang Pemerintah”, okezone.com,
IMF dan World Bank, (2001). Guidelines for Public Debt Management.
Radhi, Fahmy, (2009), “Beban Utang Luar Negeri dalam Perekonomian Indonesia”,
Economic Review: Nomor 215.
Suminto, (2006), “Manajemen Utang Pemerintah: Best Practices dan Pengalaman
Indonesia”, Treasury Indonesia.
World Bank, (2005), Global Development Finance 2005, Washington D.C.
13
Download