Perlu Terobosan Kurangi Utang

advertisement
Perlu Terobosan Kurangi Utang
Rabu, 24 Juni 2009 | 03:18 WIB
IVAN A HADAR
Tajuk Rencana harian ini mencatat kegerahan berbagai pihak terkait meningkatnya ketergantungan
pembiayaan pembangunan pada utang dan mengusulkan perlunya perubahan paradigma berutang
pemerintah (Kompas, 16/6).
Sebenarnya, pada awal pemerintahannya, dalam pertemuan Financing for Development di New York
(14/9/2005), Presiden SBY mengatakan, ”There is a real need for significant debt reduction ... not only for
the least developed countries but also for middle-income developing countries.”
Sejalan dengan itu adalah pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam pertemuan
UNCTAD di Jakarta, ”Salah satu kesulitan utama pemerintah mencapai tujuan pembangunan nasional,
termasuk tujuan pembangunan milenium (MDGs), adalah utang luar negeri. Atas dasar itu, Indonesia
akan terus menyuarakan pentingnya penghapusan utang.” (Koran Tempo, 24/10/2006).
Sayang dalam lima tahun pemerintahan SBY-JK kendati rasio utang terhadap produk domestik bruto
(PDB) menurun cukup signifikan dari 57 persen menjadi 33 persen, secara nominal stok utang terus
membengkak dari Rp 1.300 triliun menjadi Rp 1.700 triliun. Ada kesan, prinsip ”gali lubang, tutup lubang”
masih berlaku, mengesampingkan logika sederhana, bila ingin penghapusan utang, pengambilan utang
baru seharusnya dihentikan, setidaknya hanya sebagai alternatif terakhir setelah semua sumber
pembiayaan sulit diperoleh.
Secara teoretis, Daseking dan Kozack (2003) memprediksi, negara seperti Indonesia akan gagal
mencapai MDGs berupa pengurangan kemiskinan menjadi separuh pada 2015, kecuali mempunyai
pertumbuhan ekonomi tinggi, berhasil memperkuat institusi, melaksanakan kebijakan prorakyat kecil, dan
tidak terperangkap utang. Saat ini, pembayaran bunga dan cicilan utang luar negeri pemerintah
memakan porsi lebih dari 30 persen hasil pajak. Jumlah yang seharusnya digunakan untuk membiayai
pembangunan infrastruktur dan investasi sosial lainnya.
Sepanjang 2005/2006, misalnya, untuk membayar bunga utang yang jatuh tempo, pemerintah harus
mengeluarkan dana Rp 42,3 triliun, sementara bunga untuk SUN valuta asing sebesar 132,3 juta dollar
AS.
Jumlah itu belum termasuk utang luar negeri sekitar Rp 732 triliun dengan cicilan sebesar Rp 90-an
triliun. Saat ini, dengan jumlah stok utang Rp 1.700 triliun, cicilan bunga utang telah menjadi sumber
ancaman bagi stabilitas ekonomi makro, baik berupa tekanan defisit fiskal, ketimpangan distribusi sosial
dalam APBN, maupun tekanan atas cadangan devisa. Karena itu, selain penjadwalan ulang utang,
diperlukan terobosan berupa strategi yang lebih komprehensif guna mengurangi stok utang itu.
Terobosan
Beberapa strategi alternatif berikut bisa dikembangkan untuk mengurangi (beban) utang Indonesia.
Pertama, pemberlakuan batas maksimum bagi pembayaran utang pemerintah, terutama utang luar
negeri. Dana itu bisa tetap menjadi bagian APBN untuk membiayai program padat karya di pedesaan,
subsidi kredit program bagi pemulihan sektor riil yang berbasis pada UKM, serta pembiayaan sektor
sosial, terutama pendidikan dan kesehatan. Untuk itu, ketimbang menggunakan rasio utang terhadap
PDB, lebih baik rasio terhadap pajak serta mengacu pada kebutuhan pencapaian MDGs.
Penetapan batas maksimum perlu didasarkan pada sebuah undang-undang sehingga pemerintah bisa
menggunakannya sebagai dasar hukum sekaligus alat negosiasi dengan kreditor. Adapun pengaturan
dalam UU itu hendaknya mencakup pembatasan jumlah maksimum pembayaran utang pemerintah
dalam setiap tahun anggaran, misalnya 10 persen dari total penerimaan negara yang berasal dari pajak
dan nonpajak. Begitu pula pengaturan terms untuk pengurangan utang yang harus digunakan pemerintah
dalam negosiasi dengan kreditor serta pengaturan pengelolaan dana yang semestinya dipakai untuk
membayar utang luar negeri.
Selanjutnya, diperlukan pengaturan pembatasan jumlah utang baru yang boleh diambil pemerintah. Jika
memungkinkan, sebaiknya mengarah kepada zero debt bagi utang luar negeri pemerintah. Selain itu juga
pengaturan tingkat maksimum kenaikan pajak dan penurunan subsidi sehingga total penerimaan negara
benar-benar dihitung secara reasonable. Ini memperkecil peluang kreditor untuk menekan pemerintah
agar memperbesar jumlah pembayaran utang dengan memperbesar target penerimaan negara, terutama
lewat pemotongan subsidi untuk public services dan penjualan BUMN.
Kedua, pengurangan pokok utang. Beberapa langkah yang dapat dilakukan adalah penghapusan utang
melalui kombinasi rekayasa keuangan dan renegosiasi komersial dengan kreditor serta pengurangan
pokok utang melalui arbitrase internasional. Kegagalan para kreditor menjamin good governance dalam
manajemen utang para debitor pada masa lalu memunculkan wacana mengenai utang najis (odious
debt). Kreditor dituntut untuk memberikan kemudahan dan hair cut untuk mengompensasi utang najis itu.
Cara lain adalah renegosiasi bilateral, terutama dengan Jepang. Sekitar sepertiga dari debt outstanding
Indonesia adalah dengan Jepang. Kepentingan strategis Jepang, baik dalam membendung ambisi China
dalam restrukturisasi multinasionalnya maupun keinginan menahan serbuan produk China ke pasar
domestik Indonesia, merupakan potensi negosiasi.
Ketiga, pembentukan integrated debt management office. Saat ini, manajemen utang ditangani beberapa
institusi, Departemen Keuangan, Bank Indonesia, Kantor Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, dan
Bappenas, secara parsial. Fungsi front office sejak krisis 1998 dalam penanganan utang luar negeri
kurang terkoordinasi. Sementara fungsi middle office untuk menganalisis risiko berupa analisis
keterkelolaan utang, risiko, tingkat pengembalian dan lainnya belum maksimal.
”Debt management office”
Untuk itu diperlukan debt management office yang menyatu, yang tidak hanya mengikuti strategi
pengelolaan utang konvensional. Debt management office seharusnya ada, bukan hanya mengurus
rescheduling dan reprofiling, tetapi juga menawarkan pengelolaan utang nonkonvensional yang
memerlukan teknik negosiasi dan rekayasa finansial, seperti pemotongan utang (hair cut), penghapusan
sebagian utang (write off), konversi utang ke obligasi (Brady bond), konversi utang menjadi ekuitas,
konversi utang ke sumber daya alam (debt for nature swap), dan konversi utang ke MDGs (debt for
MDGs swap).
IVAN A HADAR Analis Ekonomi Politik, Wakil Pemred Jurnal SosDem
Download