TIDAK ADA TEMPAT BAGI RAKYAT APALAGI RAKYAT MISKIN: Dampak Alokasi APBN 2005 terhadap Pemenuhan Hak Anak Atas Pendidikan, Kesehatan, dan Pemukiman Oleh: Adzkar Ahsinin Pendahuluan Dasar filosofis kehidupan berbangsa dan bernegara yang termuat dalam Pembukaan UUD 1945 menggariskan tujuan dibentuknya Negara Indonesia yakni melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Lebih jauh pasal-pasal dalam batang tubuh Konstitusi Republik Indonesia menegaskan jaminan serupa. Menarik landasan filosofis dan ketentuan konstitusi yang menjamin hak asasi manusia (HAM) maka hak atas pendidikan, kesehatan, dan pemukiman jelas merupakan hak konstitusional bagi setiap warga negara. Bahkan untuk kelompok masyarakat miskin negara mendeklarasikan janjinya untuk menjamin pemenuhan hak-haknya. Dengan demikian Konstitusi Republik Indonesia menyiratkan bahwa bangunan negara yang hendak dibangun adalah negara kesejahteraan (welfare state). Bangunan negara kesejahteraan yang dibayangkan adalah negara yang didirikan atas dasar kontrak sosial (social contract) antara warga negara dengan pengemban kekuasaan. Melalui kontrak sosial ini negara diamanati secara imperatif menghormati, memenuhi, memajukan, dan melindungi hak-hak asasi warganya termasuk hak-hak anak. Kewajiban Negara Untuk Menjamin Hak Asasi Anak Dalam konteks pemenuhan hak anak Negara Republik Indonesia telah terikat komitmennya baik secara moral dan yuridis untuk menjamin hak-hak anak melalui ratifikasi Konvensi Hak Anak (KHA) dengan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990. Jauh sebelum ratifikasi KHA, Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan telah menjadi bagian dari hukum nasional melalui UU Nomor 7 Tahun 1984 yang mengundangkan ratifikasi Indonesia terhadap konvensi yang mengatur secara khusus pemenuhan dan perlindungan terhadap hak-hak perempuan, termasuk di dalamnya pengaturan hak-hak anak perempuan. Kedua konvensi mempunyai fungsi yang esensial untuk mendobrak konstruksi sosial masyarakat yang patriarkhat dan cenderung memarjinalkan anak. Sebangun dengan jaminan instrumen hukum HAM internasional UU Perlindungan Anak mengatur pula jaminan perlindungan anak di ranah domestik. Berdasarkan acuan yuridis tersebut, terdapat 3 (tiga) kewajiban utama negara menurut pendekatan hak ekonomi, social, dan budaya, yaitu 1 : 1. Kewajiban untuk menghormati (obligation to respect) yang mengharuskan negara menahan diri untuk tidak campur tangan atas penikmatan hak-hak ekonomi, social, dan budaya 2. Kewajiban untuk melindungi (obligation to protect) yang mengharuskan negara mencegah pelanggaran penikmatan hak ekonomi, social, dan budaya oleh pihak ketiga 3. Kewajiban untuk memenuhi (obligation to fulfill) yang mengharuskan negara mengambil tindakan-tindakan legislative, administrative, anggaran, hokum, dan tindakan lainnya guna menjamin pelaksanaan sepenuhnya hak-hak ekonomi, social, dan budaya. Disamping kewajiban tersebut, negara selaku pemegang kewajiban pemenuhan hak, titik perhatian seharusnya diberikan pada kelompok-kelompok yang secara tradisional menjadi sasaran diskriminasi. Dalam titik ini, diperlukan tindakan yang bersifat khusus (affirmative action) yang ditujukan bagi kelompok tersebut. Tindakan-tindakan khusus tersebut dapat 1 Lihat Maastricht Guidelines 1 diwujudkan dalam kerangka kebijakan perlindungan social. Kebijakan perlindungan social diartikan sebagai kebijakan yang bersifat mengurangi tingkat risiko yang dihadapi seseorang atau membantu seseorang dalam menghadapi risiko akibat terjadinya perubahan kondisi ekonomi, efek negative dari mekanisme pasar, maupun factor alam, politik, dan social. 2 Dalam konteks keindonesiaan krisis moneter yang berdampak pada membuncahnya angka kemiskinan, menuntut peran negara lebih. Lebih jauh, dalam mencapai realisasi pemenuhan hak-hak ekonomi, social, dan budaya, negara dilekati pula kewajiban bertindak atau berbuat (obligation of conduct) dan kewajiban mencapai hasil (obligation of result). Kewajiban untuk bertindak merupakan kewajiban untuk melaksanakan dipenuhi dan dilindunginya hak-hak tertentu. Misalnya, agar semua anak mendapatkan mengeyam pendidikan dasar , maka pemerintah harus mengambil kebijakan tertentu sehingga semua anak mendapatkan hak atas pendidikan dasar secara gratis dengan mutu, sarana dan prasarana yang layak. Di bidang kesehatan, pemerintah wajib menyusun program untuk mengurangi angka kematian bayi, balita, dan ibu. Kewajiban mencapai hasil mengharuskan negara mencapai sasaran tertentu sesuai dengan standar subtansif. 3 Dalam titik inilah 8 (delapan ) Sasaran Pembangunan Milenium (Millennium Development Goals)4 yang diratifikasi Pemerintah Indonesia layak untuk dijadikan rujukan dalam menetapkan kebijakan pembangunan sebagai pengejawantahan kewajiban mencapai hasil. Lebih jauh apabila ditelisik Komentar Umum yang dikeluarkan oleh Komite Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, juga Komite Hak Anak, mengeluarkan interpretasi hokum untuk mengelaborasi kewajiban negara dalam memenuhi hak-hak warga negaranya dalam mengeyam hak-hak ekonomi, social, dan budaya. Kesenjangan Antara Realita dan Jaminan Hukum Meskipun, jaminan yuridis terhadap perlindungan hak anak telah lengkap, namun realitas kesejahteraan anak khususnya dalam menikmati hak-hak ekonomi, sosial, dan budayanya masih jauh dari kondisi ideal sebagaimana terlukiskan dalam aturan hukum. Faktanya ditahun 2005 ini, Idonesia diwarnai aneka peristiwa yang menimpa anak-anak. Peristiwa busung lapar, menjangkitnya wabah polio, muntaber, dan demam berdarah yang merenggut nyawa anak-anak membuktikan kegagalan kebijakan negara dalam mengurusi hak anak untuk meraih derajat kesehatan yang tinggi. Dalam bidang pendidikan kebijakan publik yang ditetapkan pemerintah malahan membuahkan anak gantung diri karena tidak mampu membayar uang sekolah, pungutan yang masih saja membebani orang tua siswa, dan angka anak tidak lulus sekolah tinggi. Di bidang perumahan justru pemerintah semakin memperbesar ketidakmampuannya menyediakan rumah bagi anak-anak (backlog) melalui praktik-praktik penggusuran rumahrumah penduduk yang masih saja terus berlangsung. Lihat Ari A. Perdana & Yose Rizal Danuri, Pemikiran Baru tentang Kemiskinan , Pemerataan, dan Kebijakan Perlindungan Sosial, dalam Indra J. Pialang, Edy Prasetyono, Hadi Susastro, Menemukan Kembali Kebangsaan Indonesia, Jakarta, CSIS, 2002, hal. 549 3 Lihat, Naning Mardiniah, et. al, op.cit, hal. 22 4 MDG’s merupakan sejumlah target terukur yang ditetapkan oleh anggota PBB pada September 2000 untuk memberantas kemiskinan yang harus dicapai tahun 2015. Ada 8 tujuan yang ditetapkan dalam MDG’s yaitu : (1) Mengurangi separo kaum miskin yang hidup dengan pendapatan kurang dari US$ 1 per hari dn mengurangi separo kaum miskin yang kelaparan; (2) Mencukupi kebutuhan pendidikan dasar bagi anak laki-laki dan perempuan; (3) Menghapus ketidaksetaraan gender dalam pendidikan dasar dan menegah; (4) Mengurangi 2/3 angka kematian balita; (5) Mengurangi ¾ rasio kematian ibu melahirkan; (6) Menghentikan penularan HIV/AIDS, malaria, dan penyakit menular lainnya; (7) Mengintegrasikan prinsip pembangunan berkelanjutan dalam kebijakan nasional; mengurangi separo penduduk yang tidak punya akses terhadap air bersih; dan memperbaiki hidup 100 juta penghuni pemukiman kumuh pada tahun 2010; (8) Mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan 2 2 Lebih lanjut data Organisasi Buruh Internasional (ILO) memperkirakan di Indonesia terdapat 4.201.452 anak terlibat dalam pekerjaan berbahaya, lebih dari 1,5 juta orang diantaranya anak perempuan. Data IPEC/ILO memperkirakan terdapat 2,6 juta pekerja rumah tangga (PRT) di Indonesia dan sedikitnya 34,83 persennya tergolong anak. Sekitar 93 persennya anak perempuan. Kemudian data Komnas Perlindungan Anak (Maret 2005) menunjukkan, angka penjualan anak balita yang melibatkan sindikat internasional menunjukkan peningkatan. Pada tahun 2003 ada 102 kasus yang terbongkar, tahun 2004 bertambah menjadi 192 kasus. Jumlah anak korban trafficking untuk tujuan prostitusi meningkat, dari berbagai rumah bordil di Indonesia, 30 persen atau sekitar 200.000-300.000 perempuan yang dilacurkan adalah anakanak. Catatan Tahunan Komnas Perempuan menunjukkan, pada tahun 2004 teridentifikasi 14.020 kasus kekerasan terhadap perempuan (meningkat dari tahun 2003, yaitu sebesar 7.787 kasus). Dari angka ini, 562 merupakan kasus trafficking (R. Valentina Sagala, 2005). Data yang berasal dari Departemen Sosial melaporkan peningkatan jumlah anak jalan akibat krisis ekonomi mencapai 170.000 anak. Badan PBB urusan anak, UNICEF, menyatakan bahwa Indonesia akan memiliki 2 sampai 3 juta anak-anak yang disebut generasi yang hilang (lost generation) akibat kekurangan pangan, berpenyakitan dan kurang-pendidikan. Sebagaimana ditunjukkan statistik pendidikan 2003 yang dikeluarkan UNESCO, angka putus sekolah dasar di Indonesia mencapai 7% dari sekitar 26 juta anak usia sekolah dasar, angka ini merupakan yang tertinggi di antara negara-negara anggota ASEAN. Kemudian diperkirakan kasus busung lapar yang menyerang anak-anak di bawah usia lima tahun di Indonesia mencapai angka 8%. Berarti saat ini ada sekitar 1,67 juta anak balita yang menderita busung lapar. Angka ini sesuai dengan proyeksi penduduk Indonesia yang disusun BPS, tahun 2005 ini jumlah anak usia 0-4 tahun di Indonesia mencapai 20,87 juta. Setelah krisis terdapat fakta, jumlah kematian bayi dilaporkan setiap hari dari kelahiran 11 ribu anak Indonesia, 800 orang diantaranya meninggal sebelum lima tahun akibat penyakit yang mudah dicegah (preventable disease). Kebijakan Politik Anggaran sebagai Akar Masalah Apabila ditarik lebih jauh, muara persoalan tersebut bersumber pada kemauan politik negara untuk memaksimalkan sumber dayanya tidak terefleksikan dalam kebijakan politik anggaran publik. Dalam perspektif hukum HAM, kondisi ini membuktikan kegagalan negara menjamin pemenuhan dan perlindungan hak-hak asasi anak karena ketidakmauan (unwilling) dan tidakmampu (unable) negara mengalokasikan anggaran publiknya untuk kepentingan dan kebutuhan anak (anak sebagai penerima manfaat/benefeciaries). Dengan kata lain negara telah melanggar hak anak melalui tindakannya (act commission) karena tidak mengalokasikan anggaran publiknya bagi kepentingan terbaik untuk anak. Di samping itu kegagalan negara memanfaatkan anggaran publiknya secara maksimal bagi kepentingan terbaik untuk anak merupakan pelanggaran hak asasi anak melalui tindakan pembiaran (act of ommission). Padahal fungsi strategis anggaran publik sejatinya adalah mengemban fungsi keadilan dalam rangka memenuhi dan melindungi hak-hak dasar warga negara. Apabila dianalisis lebih lanjut, politik kebijakan anggaran publik yang demikian dipengaruhi halhal sebagai berikut : 1. Besarnya alokasi anggaran publik untuk membayar utang, baik utang dalam negeri maupun utang luar negeri; 2. Masuknya agenda neoliberalisme ke dalam kebijakan politik penyusunan anggaran publik melalui paket deregulasi, privatisasi, dan liberalisasi pasar; 3. Alokasi anggaran militer lebih besar dibandingkan dengan alokasi anggaran publik untuk kepentingan peningkatan kesejahteraan warga negara; 3 4. Ketidaktepatan sasaran program apabila kita menganalisis anggaran publik melalui analisis biaya, analisis kinerja, dan analisis politik anggaran 5. Masih besarnya alokasi anggaran rutin 6. Maraknya tindak korupsi dalam penyelenggaraan layanan publik Alokasi anggaran publik yang tersedot untuk pembayaran utang berdampak pada kemampuan Pemerintah untuk mengalokasikan anggarannya untuk memenuhi hak-hak masyarakat yang bersifat mendasar. Saat ini tingkat utang sekitar US$ 67 milyar, atau kurang lebih Rp 600 trilyun. Kemampuan pemerintah membayar cicilan utang LN antara Rp 15 – 20 triliun per tahun. Artinya, diperlukan 30 – 40 tahun lagi agar seluruh utang tersebut lunas. Ini pun dengan asumsi yang "muskil", yaitu pemerintah tidak wajib membayar bunga dan tidak menambah utang baru. Indonesia perlu waktu puluhan tahun untuk melunasi utang luar negeri pemerintahnya (Drajat Wibowo, 2004). Artinya puluhan tahun ke depan alokasi pemerintah untuk pendidikan, kesehatan, dan pelayanan sosial lainnya jelas akan dikorbankan. Padahal menurut seorang ekonom untuk menggratiskan pendidikan dasar cukup mengalokasikan dana sebesar Rp 10 trilyun. Bandingkan dengan pengeluaran negara untuk menutup kejahatan perbankan yang jumlahnya Rp 60 trilyun. Artinya tingkat utang luar negeri jangka panjang Indonesia ternyata sudah melampaui batas aman. Angka psikologis aman adalah 30-40% PDB. Sebelum krisis, tahun 1996 kondisi kita sudah buruk (57%), lalu naik menjadi 113%, dan turun menjadi sekitar 71% pada tahun 2002 (ibid). Tabel 1 Perkembangan Utang Pemerintah Indonesia serta Persentasenya terhadap PDB (milliar rupiah) 1999 2002 2003 2004 2005 Utang LN Utang DN Total 1998 493,782 100,000 593,782 557,273 510,116 1,067,379 558,180 651,767 1,209,947 558,180 620,932 1,179,112 558,180 602,649 1,160,829 570,584 579,124 1,149,708 PDB Rasio Utang thd PDB 989,611 60% 1,119,442 95,35% 1,685,378 71,79% 1,940,001 60,78% 2,219,319 52,31% 2,509,865 39,97% Sumber : www.fiskal.depkeu.go.id Maraknya privatisasi BUMN yang menguasai kepentingan publik dan menguntungkan seperti Indosat, BCA merupakan dampak langsung dari tunduknya Indonesia ke dalam mainstream neoliberalisme. Liberalisasi pasar berdampak pada maraknya komersialisasi dan privatisasi pendidikan, air, kesehatan, perumahan, dan layanan publik. Agenda neoliberalisme ini masuk melalui pintu deregulasi yang didesakkan kekuatan pasar. Dampaknya layanan publik semakin sulit dijangkau oleh kelompok masyarakat miskin. Bandingkan alokasi untuk pembayaran hutang dengan alokasi yang dianggarkan oleh negara untuk bidang pendidikan dan kesehatan di bawah ini. Tabel 2 Perbandingan Anggaran Pendidikan terhadap PDB PERSENTASE ANGGARAN PENDIDIKAN TERHADAP PDB TAHUN 2000 – 2002 (dalam juta rupiah) Tahun 2001 Tahun 2002 Anggaran Pembangunan Tahun 2000* 5,959,700 9,339,766 10,813,700 Anggaran Rutin 5,101,300 3,713,533 4,004,600 11,061,000 13,053,299 14,818,300 Total Anggaran Pendidikan 4 PDB 1,290,684,200 1,468,100,000 1,685,378,000 ABPN 221,000,000 354,500,000 344,000,000 Anggaran Pendidikan/ PDB masingmasing tahun 0.86% 0.89% 0.88% Anggaran Pendidikan/Total APBN masing-masing tahun 5.00% 3.68% 4.31% Sumber : Position Paper Idea Jogja Tabel 3 Perbandingan Anggaran Pendidikan terhadap PDB PERSENTASE ANGGARAN KESEHATAN TERHADAP PDB TAHUN 2000-2002 (dalam juta rupiah) Tahun 2000* Anggaran Pembangunan Sektor Kesehatan Anggaran Rutin Sektor Kesehatan Total Anggaran Kesehatan PDB Total APBN Tahun 2001 Tahun 2002 2,112,900 3,025,300 3,589,900 712,000 594,000 269,900 2,824,900 3,619,300 3,859,800 1,290,684,200 1,468,100,000 1,685,378,000 221,000,000 354,500,000 344,000,000 Anggaran Kesehatan dibandingkan PDB 0.22% 0.25% 0.23% Anggaran Kesehatan dibandingkan total APBN 1.28% 1.02% 1.12% Sumber : Position Paper : Idea Jogja Idealnya alokasi anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN sebagaimana telah diamanatkan oleh konstitusi. Sedangkan untuk bidang kesehatan WHO mensyaratkan alokasi anggaran publik untuk kesehatan minimal 5 – 6 % dari APBN, idealnya mencapai 15 – 20 % dari total APBN. Untuk bidang permukiman negara dipatok kewajiban untuk menyisihkan anggarannya sebesar 10% dari total APBN. Jika hak-hak asasi yang bersifat mendasar 5 dipenuhi dan dilindungi oleh negara maka jumlah total alokasi anggaran yang seharusnya dianggarkan oleh negara sebesar 55 % dari total APBN yang berasal dari penerimaan dalam negeri. 6 Namun realitanya, anggaran untuk sektor pendidikan tahun 2004 baru dipatok Rp 15,34 triliun atau 3,49 persen dari Rp 439,8 triliun total APBN (www.kompas.com). Kemudian APBN 2005 dengan total anggaran lebih dari 397 trilyun alokasi anggaran sektor pendidikan dialokasikan Hak-hak yang bersifat mendasar seperti : Hak atas kesehatan, hak atas pendidikan, hak atas perumahan, hak atas pangan, hak atas pekerjaan, hak atas layanan air bersih, hak atas lingkungan yang bersih, hak atas partisipasi 6 Sudah saatnya Pemerintah tidak lagi menjadikan utang laur negeri sebagai sumber pembiayaan pembangunan. Sejatinya utang luar negeri pada akhirnya menjerumuskan Negara Indonesia dalam debt trap dan melalui utang agenda tersembunyi neoliberisme terakomodasi dalam kebijakan negara melalui peraturan perundang-undangan yang ditetapkan pemerintah. UU Ketenagalistrikan, UU Sumber Daya Air, Perpu Pembukaan Tambang Terbuka di Hutan Lindung merupakan bukti empiric bahwa saat ini pemerintah menjadikan neoliberalisme menjadi mainstreaming kebijakan ekonomi 5 5 hanya 6 persen dari total anggaran atau sekitar Rp 21,4 trilyun. Malahan rencana Pemerintah merealisasikan alokasi anggaran pendidikan sebesar 20% yang menjadi kewajiban konstitusionalnya baru tercapai pada tahun 2009. Memang untuk mewujudkan secara penuh hak-hak yang termasuk dalam rumpun hak-hak ekonomi, social, dan budaya dinyatakan sebagai kewajiban yang bertahap. Dengan kata lain karena keterbatasan sumber daya yang tersedia, negara diberi keleluasaan untuk mengambil langkah-langkah dan cara yang tepat untuk mewujudkannya. Namun demikian, ada ambang batas di mana keterbatsan sumber daya tidak dapat lagi dijadikan dalih bagi negara untuk mengingkari pemenuhan dan perlindungan hak-hak tersebut. Ambang batas inilah yang disebut minimum core content of rights, yang mana negara harus segera mewujudkan hak-hak tersebut.7 Oleh karenanya keputusan politis ini merupakan bentuk pelanggaran HAM oleh negara melalui tindakan (act commission). Disisi lain bidang kesehatan untuk tahun anggaran 2005 berkisar 6,7 trilyun hanya 1,54% dari total APBN. Gambaran di atas menunjukkan anggaran untuk kedua bidang ini di bawah standar ideal. Bandingkan dengan anggaran militer meski di bawah alokasi anggaran pendidikan namun selalu lebih tinggi alokasinya dibanding bidang kesehatan. Rata-rata anggaran militer dari tahun 2000 – 2004 sebesar 4,29 % dari APBN. Pada tahun 2005 ini, anggaran militer mencapai 21,9 trilyun. Lebih jauh rencananya untuk tahun 2006, Departemen Pertahanan dan Keamanan mengajukan anggaran untuk kepentinagn militer sebesar 56 trilyun. Kebijakan politik anggaran sebagaimana terurai di atas jelas menjadi penyebab (causa) dan berkorelasi dengan kegagalan pemerintah menjamin pemenuhan dan perlindungan hak anak. Salah satu indikator yang dapat dijadikan rujukan untuk mengetahui dampak alokasi anggaran publik yang tidak mengarusutamakan kepentingan terbaik untuk anak dan berpihak pada orang miskin adalah Indikator Human Development Report (HDR) yang dikeluarkan oleh United Nation Development Program (UNDP). Pada tahun 2004 Negara Indonesia berdasarkan Human Development Index (HDI) dalam peringkat 111 dari 175 negara. Akibat lebih jauh adalah tidak tercapainya target yang tertuang dalam MDG’s pada tahun 2015 nanti. Lihat Naning Mardiniah, et. al, Meneropong Hak Atas Pendidikan dan Layanan Kesehatan : Analisis Situasi di Tiga Kabupaten : Indramayu, Sikka, dan Jayapura, Jakarta, 2005, CESDA-LP3ES, hal. 15 7 6