Uploaded by User126312

Kondisi Domestik dan Kebijakan Luar Negeri Negara Tiongkok

advertisement
Nama
:
Wilbert Jonathan
NIM
:
E1111201037
Mata Kuliah
:
Politik Luar Negeri
Dosen Pengampu
:
Hardi Alunaza SD, S.IP, M.H.I
Prodi
:
Ilmu Hubungan Internasional
Soal :
1. Jelaskan kondisi domestik dari negara yang kalian wakili (Tiongkok) meliputi
ekonomi, militer, politik, dan sosial budaya!
2. Tuliskan
kebijakan
negara
yang
kalian
wakili
dalam
menanggulangi
permasalahan pandemi!
3. Jelaskan dinamika kerja sama internasional negara yang kalian wakili untuk
menyelesaikan permasalahan di tingkat domestik!
Jawaban :
1. Kondisi domestik Tiongkok :
•
Ekonomi
Tiongkok, sebagai negara dengan populasi terbesar dan negara pengekspor
terbesar, merupakan kekuatan baru yang bangkit dalam waktu 30 tahun di
mana dulunya Tiongkok adalah negara yang miskin. Tiongkok secara geografi
dibagi 4 yaitu Tiongkok Utara, Tiongkok Tengah, Tiongkok Selatan, dan
Tiongkok Interior (pedalaman di daerah Barat). Ekonomi Tiongkok pada
awalnya bergantung pada daerah Tiongkok Tengah yang mempunyai
pelabuhan yang menunjang perdagangan internasional dan kaya akan modal.
Berbeda dengan daerah Tiongkok Tengah, daerah Tiongkok Interior menjadi
beban dalam hal ekonomi yang diakibatkan kondisi tanah yang tidak subur
sehingga sangat bergantung pada pupuk dari daerah lain untuk menjaga
produksi makanan di daerah tersebut, namun kondisi daerah ini sudah lebih
baik dibandingkan pada saat dulu, walaupun sampai sekarang masih menjadi
daerah yang miskin di Tiongkok. Ekonomi Tiongkok juga pada awalnya
dipengaruhi oleh 2 sungai besar, yaitu Sungai Yangtze dan Sungai Kuning.
Kedua sungai ini menyediakan jalur perdagangan dan lahan pertanian yang
subur. Sungai Kuning yang membelah Tiongkok menjadi Utara dan Selatan
serta kondisi geografis wilayah Utara yang lebih luas membuat wilayah Utara
menyatu dalam hal budaya dan bahasa namun terpecah dalam politik.
Sepeninggal Mao Zedong, penggantinya yaitu Deng Xiaoping melakukan
reformasi perekonomian Tiongkok pada tahun 1978 melalui program
“Reformasi dan Keterbukaan” yang membawa Tiongkok ke sistem
perekonomian baru ala Tiongkok yaitu sistem pasar-sosialis, yang merupakan
penggabungan dua sistem berbeda yaitu kapitalisme dan sosialisme, dan
reformasi ini mengubah perjuangan kelas menjadi modernisasi masyarakat
sosialis.
Manuver strategi perang dingin Amerika membuat Tiongkok masuk ke dalam
sistem yang dibuat Amerika pada tahun 1970-an di mana Tiongkok mendapat
akses terhadap pasar global, yang ditambah dengan banyaknya pekerja
dengan upah rendah membuat Tiongkok menciptakan produk ekspornya
sendiri. Masuknya investasi asing membuat tumbuhnya industri-industri di
wilayah perkotaan yang terus menambah kemajuan ekonomi, yang juga
merupakan dampak positif dari bergabungnya Tiongkok ke dalam WTO.
Pada tahun 2020, PDB negara Tiongkok mencapai 15,66 triliun dolar Amerika,
mengalahkan berbagai negara maju di Eropa serta Jepang, dan sekarang
berada tepat di bawah Amerika Serikat. Namun, untuk PDB per kapita negara
Tiongkok masih di bawah rata-rata internasional, yaitu 10,261 dolar Amerika
pada tahun 2019, angka yang menunjukkan besarnya ketimpangan ekonomi
masyarakat Tiongkok. Ekonomi Tiongkok yang sebagian besar ditopang oleh
sektor ekspor dan industri manufaktur yang merupakan industri manufaktur
terbesar di dunia dengan gaji buruh yang rendah. Selain itu, Tiongkok
menerapkan kebijakan di mana tabungan rakyatnya digunakan untuk subsidi,
pembangunan, serta pinjaman yang mirip dengan kebijakan negara Jerman.
Empat bank terbesar di Tiongkok yaitu Agliculture Bank of China, the Bank of
China, the Construction Bank of China, dan the Industrial and Commercial
Bank of China memiliki mandat untuk menggunakan deposit rakyat Tiongkok
untuk memaksimalkan pinjaman untuk penyerapan tenaga kerja semaksimal
mungkin, sehingga pinjaman modal menjadi tersedia dalam jumlah besar di
Tiongkok yang ternyata berdampak buruk di mana perusahaan semakin tidak
efisien yang ditambah dengan jumlah pekerja dengan upah rendah serta
kredit murah yang tidak berdasar. Akibat biaya tenaga kerja yang murah,
Tiongkok bisa menyubsidi komoditas ekspornya yang membuat komoditas
ekspor Tiongkok menjadi murah dan memenangkan persaingan pasar global.
Kuatnya ekspor Tiongkok juga tidak terlepas dari kebijakan pemerintah
Tiongkok mendevaluasi mata uang Yuan. Hal ini berdampak pada komoditas
ekspor Tiongkok serta biaya pekerja menjadi murah yang membuat
komoditas Tiongkok lebih laku di pasar global yang merugikan Amerika
sebagai kompetitor Tiongkok. Manipulasi Yuan ini membantu Tiongkok
untuk mengekspor lebih banyak produk-produk ke luar negeri dan berjasa
dalam membuat PDB Tiongkok meroket sebesar 2000% dari tahun 1994
sampai tahun 2019, hanya dalam kurun waktu 25 tahun. Bahkan pemerintah
Tiongkok berusaha agar nilai Yuan ini tidak semakin menguat terhadap dolar
Amerika, terlebih penanganan Covid-19 di Tiongkok yang lumayan baik
membuat mata uang Yuan terapresiasi yang dapat menaikkan harga
komoditas ekspor Tiongkok. Pemerintah Tiongkok juga berulang kali
mendevaluasi mata uangnya terhadap dolar Amerika pada akhir 2015 dan
pada saat perang dagang. Kebijakan ini tentunya membuat negara-negara
yang mayoritas penduduknya kaum menengah ke bawah seperti negaranegara Afrika lebih menaruh minat terhadap produk-produk Tiongkok yang
lebih terjangkau daripada produk Amerika dan negara-negara Barat lainnya.
Tidak hanya menyubsidi komoditas ekspor, namun Tiongkok juga
menyubsidi konsumsi komoditas impor yang di mana semua dibayarkan oleh
uang yang tidak perlu masyarakat kembalikan yang akhirnya membuat
permintaan komoditas menjadi sangat besar, bahkan membuat harga
komoditas dari minyak, tembaga, timah, hingga beton naik secara drastis
selama 15 tahun terakhir, baik secara global maupun di Tiongkok sendiri.
Sekarang, Tiongkok merupakan negara pengimpor terbesar dalam beberapa
komoditas seperti besi, bijih besi, aluminium, alumina, belerang, tembaga,
konsentrat tembaga, nikel, plastik, kayu, bubur kayu, timah, kaca, kapas, wol,
kacang kedelai hingga karet baik sintetis maupun alami. Permasalahan
ekonomi dalam ekonomi Tiongkok seperti produk ekspor yang berkualitas
rendah, murah, banyaknya polusi di kota-kota besarnya akibat banyaknya
industri, banyaknya hutang negara, dan gaji pekerja yang dulunya murah
membuat Tiongkok memperkuat ekspornya ke berbagai negara yang seolaholah menutupi permasalahan Tiongkok tadi. Pertumbuhan ekonomi Tiongkok
telah mencapai angka 9% per tahun selama 30 tahun terakhir yang
membuatnya menjadi negara dengan ekonomi terbesar kedua. Namun hutang
yang tidak sebanding dengan pertumbuhan ekonomi tersebut telah membuat
ekonomi Tiongkok menjadi rapuh. Pada tahun 2007, total pinjaman Tiongkok
mencapai 3,6 triliun RMB atau sekitar $600 miliar yang bahkan melampaui
Amerika ketika terjadi krisis inflasi di Amerika yang di mana pada saat itu,
perekonomian Tiongkok masih di bawah dari sepertiga perekonomian
Amerika. Krisis ekonomi tahun 2007-2009 telah membuat permintaan barangbarang global turun secara drastis tak terkecuali komoditas ekspor Tiongkok.
Banyaknya sektor industri dalam negeri yang permintaannya telah
menghabiskan beberapa komoditas industri dunia pada umumnya membuat
perusahaan milik negara Tiongkok berinvestasi di luar negeri dalam proyek
proyek yang “tidak seksi” seperti gas alam cair di Australia, tembaga di
Zambia, kedelai di Brazil dan sebagainya. Seksi di sini memiliki artian sebagai
sektor yang dapat memberikan keuntungan sangat besar serta strategis
sehingga investasi luar negeri yang dilakukan perusahaan negara Tiongkok
dapat dikatakan “aneh” secara ekonomis. Selain itu, berlimpahnya modal di
Tiongkok ternyata tidak tersedia untuk semua orang. Besarnya pengaruh PKT
di Tiongkok membuat terjadinya praktek KKN di mana corong kolusi
mengalirkan modal kepada perusahaan yang memiliki koneksi dengan elit
pemerintah daerah, yang membuat sistem ekonomi Tiongkok dapat disebut
sebagai “kapitalisme kroni” di mana orang-orang yang dekat dengan
pemerintah yang akan mendapat “privilege”. Hal ini juga sejalan di mana
orang-orang yang setia dengan partai, atau bahkan anggota partai itu sendiri
yang akan lebih sukses karirnya. Melimpahnya ketersediaan kredit bank di
Tiongkok membuat bank-bank di Tiongkok menetapkan kuota / batas
pinjaman bank setiap bulan yang memberikan dua hasil. Pertama, bank
sentral harus terus menerus memasok kredit darurat sehari setelah pinjaman
bank telah mencapai batas karena jika tidak, dapat berakibat seperti krisis
moneter yang terjadi di Amerika pada tahun 2007. Kedua, kebijakan ini
membuat bisnis rentenir yang sumber pendanaannya tidak berasal dari bank
pemerintah tumbuh subur untuk memberikan pinjaman saat batas pinjaman
bank sudah tercapai. Hal ini membuat pada tahun 2013, pembiayaan total
untuk pinjaman bank mencapai 5 triliun dolar untuk sebuah ekonomi yang
hanya bernilai sekitar $8 triliun dolar, yang menunjukkan betapa rapuh dan
tidak efektifnya perekonomian Tiongkok. Bank-bank besar Tiongkok yang
menerbitkan obligasi satu sama lain dan menggunakan uang yang terkumpul
untuk mendukung perusahaan-perusahaan pelanggan mereka sendiri, yang
membuat sistem ekonomi Tiongkok dibangun untuk jangka pendek. Pada
tahun 2020, pemerintah lokal negara Tiongkok diam-diam memiliki utang
tersembunyi sebesar 14,8 triliun Yuan (US$ 2,3 triliun). Menurut National
Institution for finance and Development, angka tersebut dapat meningkat
lebih besar pada tahun ini. Liu Lei, seorang peneliti senior di lembaga tersebut
mengatakan pemerintah daerah “dikejar” untuk meningkatkan investasi
infrastruktur dan mendorong angka pertumbuhan melalui pandemi yang
menyebabkan pinjaman off-budget naik sebesar 6% dari level terendah sebesar
13,9 miliar Yuan pada kuartal ketiga tahun 2019. Utang tersembunyi tersebut
terdiri dari dana yang dikumpulkan pemerintah untuk membangun proyek
infrastruktur dan proyek publik. Obligasi yang dijual oleh fasilitas
pembiayaan pemerintah atau LGFV adalah salah satu contoh dari otoritas
provinsi yang mengumpulkan uang untuk meningkatkan pengeluaran tanpa
dimasukkan ke neraca resmi mereka. Liu Lei menjelaskan bahwa dalam upaya
pemulihan ekonomi, Tiongkok masih memiliki banyak hambatan termasuk
lingkungan eksternal yang tidak pasti, serta Tiongkok juga tidak memiliki
catatan resmi atas utang tersembunyi dari pemerintah lokal tersebut karena
secara teknik melanggar hukum yang berlaku. Liu Lei juga menegaskan
bahwa utang itu bisa menghasilkan lebih dari 700 miliar Yuan per tahun
pembayaran bunga tambahan, karena pinjaman tersebut lebih mahal untuk
dilayani daripada obligasi pemerintah. Hal tersebut juga beresiko pada
stabilitas sistem keuangan Tiongkok karena utang telah dibeli oleh semua jenis
lembaga
keuangan,
termasuk
bank,
pialang,
dan
dana
perwalian.
Ketergantungan Tiongkok dalam sektor ekspor menghadapi masalah baru di
mana biaya pekerja yang semakin mahal akibat keberhasilan “one child policy”
Tiongkok yang mengakibatkan penambahan jumlah angkatan kerja menjadi
stagnan, demografi penduduk yang didominasi oleh kaum lansia, serta
besarnya tanggungan kaum pekerja yang akan dibahas lebih lanjut di bagian
sosial budaya membuat pertumbuhan ekonomi Tiongkok di masa depan
dapat semakin menurun, yang dapat semakin parah apabila investor asing
mencari atau bahkan memindahkan industrinya ke negara lain yang upah
pekerjanya
lebih
murah,
misalnya
Indonesia.
Kombinasi
berbagai
permasalahan, kebijakan, serta sistem ekonomi yang diterapkan Tiongkok
membuat ekonomi Tiongkok yang tampak sangat besar, ternyata rapuh di
dalamnya, yang membuat Tiongkok sebaiknya mencari jalan lain terutama
dalam ketergantungannya dengan sektor ekspor serta kebijakan “one child
policy” yang berdampak pada terbatasnya pertumbuhan jumlah angkatan
kerja di Tiongkok untuk menjaga fondasi, kesehatan, serta pertumbuhan
ekonominya di masa yang akan datang.
•
Politik
Republik Rakyat Tiongkok (RRT) merupakan negara sosialis komunis
berbentuk kesatuan yang dipimpin oleh Partai Komunis Tiongkok dengan
sistem pemerintahan presidensial dan bentuk pemerintahan autokrasi. Alasan
mengapa Tiongkok menggunakan politik mencengkeram adalah karena sejak
zaman dinasti pertama sampai Perang Saudara Tiongkok membuktikan
bahwa Tiongkok adalah negara yang persatuannya sangat rapuh. Sehingga,
manajemen negaranya harus sangat teratur dan kuat untuk mencegah
perpecahan lagi. Partai komunis didirikan sebagai sebuah partai politik dan
juga gerakan revolusioner oleh Mau Zedong, Chen Duxiu, Zhou Enlai, dan Li
Dazhao pada tahun 1921. Awalnya PKT mengadopsi model komunisme Uni
Soviet dan memiliki hubungan yang sangat dekat dengan Uni Soviet, tetapi
pada akhirnya, PKT dan PKUS (Partai Komunis Uni Soviet) semakin berbeda
dalam politik luar negeri dan juga ideologi hingga berujung pada pemutusan
hubungan kedua partai tersebut pada tahun 1960. PKT menjadi satu-satunya
partai yang berkuasa di Tiongkok melalui sistem satu partai setelah berhasil
mengalahkan kaum Nasionalis yang dipimpin Chiang Kai Shek dan mundur
ke Pulau Formosa (Taiwan). PKT memiliki beberapa sub-partai yang diawasi
langsung oleh PKT. Dalam sistem politik RRT, satu-satunya institusi
pemerintahan yang memiliki peran besar dalam pengambilan keputusan serta
perumusan kebijakan adalah Kongres Rakyat Nasional (National People’s
Congress atau NPC). Kekuasaan legislatif NPC yang sangat kuat ini membuat
setiap keputusan NPC menjadi suatu ketetapan yang harus dilakukan
lembaga eksekutif yang dalam hal ini adalah Dewan Negara. Sistem politik
komunisme yang dianut RRT merupakan komunisme yang dikenal dengan
gaya ala Tiongkok merupakan penyesuaian dari berbagai pengaruh seperti
paham Marxisme-Leninisme, sistem politik komunis Soviet, tradisi politik
Tiongkok, lingkungan revolusioner serta sejarah dari PKT sendiri.
Menurut Encyclopaedia Britannica dan Council on Foreign Relations, PKT
menyelenggarakan Kongres Nasional Partai setiap 5 tahun sekali dengan
dihadiri hingga 2000-an delegasi yang berfungsi untuk menetapkan kebijakan
utama partai serta memilih struktur Komite Sentral yang berjumlah sekitar 380
anggota yang melakukan pertemuan paling tidak setahun sekali. Komite
Sentral memilih anggota Politbiro yang berjumlah 20-25 anggota yang
memimpin kekuasaan partai. Beberapa anggota Politbiro akan dipilih untuk
menjadi Komite Tetap yang di mana sekarang berjumlah 7 orang, dan di
antara mereka akan ada yang menjadi Sekretaris Jenderal yang dijabat oleh Xi
Jinping sejak 2012. PKT sendiri memiliki pemanjangan tangan hingga ke
tingkat kota, desa, kampung, perusahaan besar, sekolah dan sebagainya.
Secara politik, Tiongkok dari dulu menganut sistem tripartit walau sudah
tidak terlalu terlihat pada era modern, di mana Tiongkok Utara merupakan
wilayah paling stabil dan menjadi pusat politik, kemudian daerah Tiongkok
Tengah merupakan daerah pusat perekonomian dan tidak memiliki peran
besar dalam perpolitikan Tiongkok, serta daerah Tiongkok Selatan yang
dianggap sebagai wilayah yang berpotensi memisahkan diri, dan daerah
Tiongkok Interior yang seperti ditelantarkan. Dampak dari sistem ini adalah
di mana militer serta pusat pemerintahan yang penting ditempatkan di daerah
utara, pertukaran perdana menteri / kepala pemerintahan antara wilayah
utara dan tengah untuk menjaga kestabilan keamanan serta kepentingan
perdagangan, dan wilayah selatan yang kurang mendapat jatah dalam kursi
parlemen, bahkan tidak memiliki perwakilan untuk menjadi politbiro dalam
pemerintahan Tiongkok.
Dilansir dari South China Morning Post, terlihat bahwa struktur
kepemimpinan PKT dipilih dari bawah ke atas, namun pada prakteknya
terjadi hal sebaliknya. Pemilihan Politbiro dan Komite Tetap sebenarnya
ditentukan melalui negosiasi yang tertutup dan bahkan terkadang terjadi
perebutan kekuasaan balik layar. Para petinggi partai memiliki peran yang
besar dalam menentukan siapa yang akan mendapatkan kursi dalam
pemerintahan / partai, sehingga pemilihan yang dilakukan sebenarnya hanya
sebuah formalitas. PKT sendiri memiliki total 2/3 kursi dari NPC dan sisanya
diisi oleh non-anggota partai yaitu ahli-ahli teknis dan anggota dari 8 partai
kecil lainnya yang tidak memposisikan diri sebagai oposisi, namun mereka
dapat menawarkan pendapat yang lebih beragam, dan keberadaan partaipartai kecil ini didasarkan pada kondisi di mana mereka mengakui
kepemimpinan PKT. Dewan Negara yang bertugas untuk membuat kebijakan
nasional dan mengawasi semua lembaga pemerintah dipimpin oleh Perdana
Menteri Tiongkok yang juga merupakan anggota Komite Tetap Politbiro.
Kemudian, Komisi Militer Pusat dipimpin oleh Sekretaris Jenderal PKT yang
memberikan kekuasaan langsung PKT terhadap militer Tiongkok. Pengadilan
Tiongkok juga disahkan oleh NPC namun dengan kondisi di mana pengadilan
tersebut diawasi oleh Komisi Urusan Politik dan Hukum Pusat PKT yang
dipimpin oleh anggota Politbiro. PKT bekerja dengan prinsip “sentralisme
demokratis” di mana kebijakan-kebijakan akan dibahas, diperdebatkan, serta
diputuskan dengan cara demokratis, namun semua pihak harus menerima
dan mengikuti dari keputusan yang sudah dibuat, dan yang membuatnya
tidak transparan adalah bagaimana demokratisnya proses pembuatan
kebijakan tersebut karena pembahasan dan perdebatan akan kebijakan yang
akan dibuat dilakukan secara tertutup. Menurut PKT, kesetiaan dan kestabilan
politik merupakan hal yang esensial terhadap kepemimpinan partai yang
memungkinkan terjadinya pembangunan. Hal ini membuat PKT melakukan
berbagai cara untuk mengendalikan opini publik seperti menggunakan media
massa untuk mempromosikan kebijakan partai, melakukan sensor besarbesaran terhadap internet dan media sosial, dan bahkan memblokir media
sosial buatan luar negeri seperti Facebook dan Twitter dan menggantikannya
dengan media sosial buatan Tiongkok seperti Weibo. Selain itu, banyak juga
aktivis yang dibungkam, ditangkap, dan bahkan menghilang. Namun semua
hal ini sejalan dengan hukum Tiongkok.
•
Militer
Sejak akhir dekade 1990-an, Tiongkok telah menginvestasikan sumber daya
dalam skala besar untuk mengembangkan tentara nasionalnya yaitu People’s
Liberation Army (PLA) menjadi pasukan yang modern yang
dapat
melindungi kepentingan nasional Tiongkok baik dalam negeri maupun luar
negeri. Kemenangan Amerika Serikat dalam operasi Desert Storm di Irak pada
tahun 1991, keterlibatan Amerika dalam krisis Selat Taiwan pada tahun 19951996, intervensi pasukan Amerika di Kosovo pada tahun 1999 di mana
Amerika Serikat secara tidak sengaja mengebom Kedutaan Tiongkok di
Belgrade, telah membuat pemimpin Tiongkok mentransformasikan PLA
menjadi lebih modern, profesional, serta menjadi kekuatan tempur yang
mumpuni.
Sejak tahun 1980-an hingga 1990-an, PLA tidak hanya dibebankan pada
permasalahan perlengkapan yang sudah ketinggalan zaman, namun juga
kualitas personel, pelatihan yang buruk, serta korupsi besar-besaran yang
terlibat dengan berbagai aktivitas yang bersifat komersial. Hal ini membuat
pengembangan PLA menjadi prioritas utama yang membuat pengeluaran
dalam sektor pertahanan meningkat secara berkelanjutan serta dengan
pencapaian persentase kemajuan PLA sebesar dua digit telah menunjang
kemajuan pesat dari PLA sendiri sejak pertengahan tahun 1990-an. Bersamaan
dengan sumber daya yang dialokasikan Tiongkok untuk pertahanan dalam
jumlah besar, PLA telah bertransformasi menjadi pasukan yang profesional
serta memiliki kapasitas yang mumpuni.
Di balik kemajuan yang berhasil dicapai oleh PLA, masih terdapat beberapa
kelemahan dari PLA yang cukup serius. Kelemahan ini dapat menghambat
kemampuan PLA dalam mencapai keberhasilan operasi Tiongkok yang
berpusat pada informasi dan operasi gabungan yang terintegrasi yang di
mana dilihat oleh para ahli strategi militer sebagai kunci kemenangan dalam
perang di masa depan. Baik penulis militer dari Tiongkok maupun dari luar
negeri sepakat bahwa kelemahan-kelemahan ini terbagi dalam dua kategori
besar. Pertama adalah institusional di mana PLA menghadapi masalah berupa
struktur komando yang sudah ketinggalan zaman, kualitas personel,
profesionalisme, serta korupsi. Yang kedua adalah kapasitas pertempuran di
mana hal ini meliputi lemahnya logistik, kapabilitas angkutan udara strategis
yang kurang memadai, jumlah pesawat misi khusus yang terbatas, serta
kurangnya pertahanan armada udara dan perang anti kapal selam. Walaupun
kapabilitas PLA telah meningkat secara drastis, namun kelemahan-kelemahan
yang ada dapat memperbesar resiko kegagalan dalam sebuah operasi yang
ditugaskan oleh PKT, misalnya dalam berbagai kemungkinan di Taiwan, misi
klaim maritim, jalur laut perlindungan komunikasi, dan beberapa skenario
operasi militer selain skenario perang. PLA sendiri semakin meningkat
kapabilitasnya yang mengancam negara-negara tetangga Tiongkok dan
menahan basis / pangkalan Amerika serta aset bernilai tinggi Amerika lainnya.
PLA di era sekarang sudah sangat berbeda dengan yang dulu yang masih
bersifat infanteri sentris, yang berusaha melawan penjajah jauh ke dalam
wilayah Tiongkok untuk melakukan perang gerilya, PLA pada masa kini
sudah meningkatkan jumlah misi yang meliputi berbagai macam konflik serta
operasi militer selain perang baik di dalam negeri maupun di luar negeri yang
semakin meningkat secara regional dan global. Walaupun PLA sudah
melakukan peningkatan drastis untuk melaksanakan misi yang ditugaskan,
termasuk menghadapi intervensi militer Amerika, tetapi masih ada sejumlah
tantangan serius. PLA sendiri tampaknya sangat menyadari kekurangannya
ini, dan memang saja, PLA mempublikasi penuh dengan referensi masalah
dalam banyak bidang, dan diskusi mengenai masalah-masalah ini sering
menyoroti apa yang disebut oleh penulis Tiongkok sebagai “two
incompatibles” atau “dua ketidakcocokan” yang mencerminkan penilaian
mereka bahwa kapabilitas PLA masih belum mengatasi tuntutan kemenangan
suatu perang lokal dalam kondisi yang diinformasikan, serta belum berhasil
menjalankan misi PLA lainnya. Struktur organisasi PLA seringkali
digambarkan sebagai sebuah penghalang terhadap kesatuan yang lebih besar
serta terhadap kemampuan PLA untuk melaksanakan operasi militer yang
telah terinformatisasi secara modern. Kelemahan dalam hal sumber daya
manusia, prestasi dan tingkat yang tidak memadai, dan level kemahiran teknis
antara prajurit dan perwira, kekurangan dalam kesehatan fisik dan kesehatan
mental, masalah korupsi, moral, dan profesionalisme meliputi kesulitan
dalam penerapan disiplin militer serta mempertahankan keamanan
operasional. PLA juga kekurangan dalam hal kapabilitas pertempuran.
Banyak ahli strategi Tiongkok mengidentifikasi ketidakmampuan PLA untuk
melakukan operasi gabungan yang terintegrasi pada tingkat level yang
dibutuhkan sebagai masalah utama yang dihadapi Tiongkok saat bercita-cita
untuk memproyeksikan kekuatan tempur di luar negeri, di mana saat ini
terdapat gap besar antara militer Tiongkok dengan militer negara-negara maju
lainnya, terutama Amerika Serikat. Berbagai kemajuan yang sudah dicapai
PLA masih menyisakan kekurangan dalam angkatan udara dan angkatan
lautnya. Meskipun pasukan permukaan dan kapal selam angkatan laut PLA
(PLAN) memiliki kemampuan yang mengesankan yang sebanding dengan
kelas angkatan laut dunia modern, PLAN masih menghadapi berbagai
masalah seperti area integrasi persenjataan kompleks dan perlengkapan yang
semakin modern, pelatihan personel PLAN yang sekarang ini masih belum
siap sepenuhnya untuk mengoperasikan atau merawat alutsista angkatan laut,
dan penguasaan akan beberapa kapabilitas seperti pertempuran anti kapal
selam serta operasi amfibi. Angkatan udara PLA juga telah melakukan
kemajuan besar, namun masih harus menghadapi tantangan seperti jumlah
pesawat tempur yang terdiri dari beberapa generasi dalam jumlah besar,
kurangnya pesawat misi khusus, pelatihan yang tidak realistis, dan
kemampuan transportasi strategis yang tidak memadai.
PLA juga
menghadapi kekurangan dalam melindungi kepentingan Tiongkok di ruang
angkasa dan spektrum elektromagnetik serta keberhasilan operasi dalam area
tersebut untuk mendukung kampanye militer Tiongkok yang membutuhkan
dominasi dalam informasi. Karena Tiongkok yang meluncurkan semakin
banyak satelit ke orbit, PLA semakin bergantung pada kapabilitas di ruang
angkasa
untuk
fungsi-fungsi
penting
seperti
intelijen,
pengawasan,
pengintaian, navigasi, dan komunikasi. Tiongkok dalam hal ini juga khawatir
akan kelemahannya dalam cybersecurity. Publikasi militer Tiongkok juga
mengatakan bahwa PLA masih melihat dirinya tidak terlalu bergantung pada
ruang angkasa dibandingkan dengan militer Amerika, namun publikasi ini
juga
mengakui
bahwa
meskipun
sebagian
besar
secara
implisit,
ketergantungan akan ruang angkasa yang besar juga memberikan kerentanan
yang lebih besar. Walaupun industri pertahanan Tiongkok telah melakukan
progres yang besar dalam hal kemampuannya mengantarkan persenjataan
dan perlengkapan yang canggih untuk PLA selama 2 dekade terakhir, industri
pertahanan Tiongkok juga menghadapi beberapa masalah yang belum
terselesaikan. Industri pertahanan Tiongkok masih dalam transisi dari sistem
perencanaan terpusat ke sistem yang lebih berorientasi pada pasar. Beberapa
masalah utama yang dihadapi industri pertahanan Tiongkok antar lain
korupsi; kurangnya persaingan; monopoli yang sudah mengakar; penundaan
dan pembengkakan biaya; masalah kontrol kualitas; fragmentasi birokrasi;
sistem akuisisi yang sudah ketinggalan zaman; dan akses yang terbatas
terhadap sumber teknologi dan keahlian eksternal.
Menurut Defense News, anggaran militer Tiongkok di tahun 2020 mencapai
US $178.2 miliar atau sekitar 1,14% dari total PDB Tiongkok.
Menurut Global Fire Power, di tahun 2021 kekuatan militer Tiongkok
menduduki peringkat 3 dari 140 negara di dunia. Kekuatan tersebut meliputi
berbagai segi. Pertama dari segi jumlah tentara. Tiongkok memiliki populasi
sebesar 1,4 miliar jiwa di mana perkiraan 0,2% darinya merupakan personel
militer yaitu sebesar 3 juta 355 ribu personel, dengan 2 juta 185 ribu personel
aktif dan 510 ribu personel cadangan, sisanya merupakan paramiliter. Dari
segi kekuatan darat, Tiongkok memiliki 3,205 unit tank, 35 unit ribu kendaraan
lapis baja, 1970 unit self-propelled artillery (jenis artileri yang dipasangkan ke
kendaraan dan dapat bergerak mandiri), 1234 unit towed artillery (artileri
yang harus ditarik oleh truk), dan 2,250 proyektor roket. Dari segi kekuatan
udara, Tiongkok memiliki 1200 unit pesawat tempur, 264 pesawat pengangkut,
405 unit pesawat latihan, 115 unit pesawat misi khusus, 902 unit helikopter,
dan 327 unit helikopter serang. Dari segi kekuatan laut, Tiongkok memiliki 2
unit kapal induk, 50 unit kapal Destroyer / perusak, 46 unit kapal Fregat, 72
kapal Corvette / korvet, 79 unit kapal selam, 123 unit kapal patroli, dan 36 unit
kapal ranjau. Selain segi-segi di atas, terdapat segi lain yaitu anggaran, logistik,
sumber daya (minyak), dan geografi.
Terlepas dari kekuatan militer yang dimiliki Tiongkok, walaupun Tiongkok
memiliki “blue-water navy” yang merupakan pasukan maritim yang dapat
beroperasi secara global, Tiongkok tidak bebas untuk menggunakan mereka.
Tentu saja Taiwan membelah garis pantai Tiongkok, dan tantangan terbesar
yang diberikan Taiwan kepada Tiongkok daratan bukanlah kemampuannya
“mengolok” konsep “united China” dengan keberadaannya saja. Namun
faktanya bahwa penggunaan militer berbasis darat jauh lebih murah untuk
memberikan ancaman terhadap jalur laut Tiongkok daripada menggunakan
militer berbasis laut. Misil penjelajah dan pesawat tempur Taiwan dapat
memberikan semacam blokade terhadap akses pengiriman Tiongkok serta
kapal-kapal militer Tiongkok ke wilayah yang lebih luas. Satu hal lagi bahwa
Taiwan tidak sendirian, di mana Jepang, Filipina, Indonesia, dan Singapura
membentuk garis pulau-pulau di lepas pantai Tiongkok yang memblokade
setiap akses Tiongkok terhadap samudera luas. Semua negara ini secara luas
memusuhi Tiongkok dan semua negara ini memiliki angkatan udara serta
misil penjelajah yang dapat mengancam, dan dalam beberapa kasus
menghancurkan aset maritim Tiongkok yang bergerak terlalu dekat.
Kemudian hampir dari semua negara ini juga sepertinya akan tetap bersekutu
dengan Amerika Serikat di masa depan. Terlebih lagi dengan supremasi dan
semakin agresifnya Tiongkok di Laut Cina Selatan.
•
Sosial Budaya
Secara demografi, penduduk Tiongkok pada tahun 2020 berjumlah
1,439,323,776 jiwa menurut worldometers. Jumlah ini menjadikan Tiongkok
sebagai negara dengan penduduk terbanyak di dunia, dengan angka
pertumbuhan penduduk yang semakin menurun tiap tahun, di mana pada
tahun 2020 menyentuh angka 0,39%, turun sekitar 55% sejak tahun 2000.
Kepadatan penduduk di Tiongkok sendiri berada di angka 153 per Km2,
dengan wilayah pesisir Tiongkok sebagai wilayah yang paling padat seperti
di Shanghai. Penduduk Tiongkok didominasi oleh etnis Han sebesar 91.51%,
dan 8.49% sisanya merupakan etnis minoritas lainnya. Saat ini penduduk
Tiongkok masih didominasi oleh usia angkatan kerja yang berusia di antara
15-64 tahun dengan persentase sebesar 72% pada tahun 2015, dan 10.8%
penduduk berusia lansia. Rendahnya angka pertumbuhan penduduk dan
tingginya angka harapan hidup membuat suatu permasalahan baru dalam
demografi Tiongkok. Rendahnya angka pertumbuhan penduduk tidak
terlepas dari kebijakan “one-child policy” yang diterapkan pemerintah
Tiongkok pada akhir 1970-an dan awal 1980-an yang bertujuan untuk
membatasi sebagian besar keluarga di Tiongkok untuk hanya memiliki satu
anak sehingga dapat menekan angka pertumbuhan penduduk Tiongkok yang
sangat besar, dan pada tahun 2015, pemerintah Tiongkok mengumumkan
bahwa kebijakan ini diakhiri pada 2016. Dalam kurun waktu yang singkat,
kebijakan ini berhasil menekan angka kelahiran sebesar 200-400 juta kelahiran
yang berhasil mengatasi masalah overpopulasi yang ditakuti oleh pemerintah
Tiongkok. Kebijakan ini juga membuat rasio jenis kelamin antara laki-laki dan
perempuan di Tiongkok mencapai 3-4% yang didominasi oleh laki-laki. Hal
ini tidak terlepas dari budaya Tiongkok, terutama di daerah pedesaan yang
lebih menginginkan anak laki-laki karena anak laki-laki akan mewariskan
marga keluarganya serta akan menjadi tulang punggung ekonomi
keluarganya, dibandingkan perempuan yang dianggap hanya memiliki fungsi
reproduksi, yang ditambah dengan kebijakan “one-child policy” ini membuat
masyarakat Tiongkok lebih mengutamakan anak laki-laki, sehingga anak
perempuan yang lahir kebanyakan ditelantarkan, ditempatkan di panti
asuhan, bahkan diaborsi sebelum lahir. Kebanyakan anak perempuan tersebut
juga diadopsi oleh keluarga dari Amerika atau negara-negara lainnya. Selain
itu, dampak negatif lainnya dari kebijakan “one-child policy” juga membuat
pertumbuhan angkatan kerja semakin menurun yang dapat berdampak pada
perekonomian Tiongkok di masa depan, terlebih dengan perekonomian
Tiongkok yang sangat bergantung pada sektor manufaktur yang menjadi
komoditas utama ekspor Tiongkok yang menopang PDB Tiongkok sebesar
18.4%, tertinggi kedua di dunia setelah Jerman. Berbagai permasalahan yang
dihadapi Tiongkok akibat kebijakan ini antara lain pertama, penambahan usia
masyarakat Tiongkok lebih cepat daripada kemampuan mereka untuk
menjadi kaya. Sejak awal kebangkitan internasional Tiongkok di tahun 1990,
usia rata-rata penduduknya 24.9 tahun, dan Tiongkok memiliki 350 juta
penduduk yang berusia di antara 15-29 tahun. Hal ini membuat industri
manufaktur Tiongkok tumbuh secara masif di tahun 1990-an dan 2000-an dan
membuat Tiongkok sebagai satu-satunya negara berkembang yang menjadi
sumber yang sangat besar akan pekerja yang murah. Di saat buku ini ditulis,
rata-rata usia penduduk Tiongkok adalah 37.0 tahun berbeda tipis dari usia
rata-rata penduduk Amerika yaitu 37.3 tahun, dan angka ini akan terus
bertumbuh di mana diperkirakan pada tahun 2030, usia rata-rata penduduk
Tiongkok akan mencapai angka 42.9 tahun, dengan Amerika 39.6 tahun.
Tiongkok sendiri menyebut masalah ini sebagai “masalah 4:2:1” yaitu 4 kakek
nenek, 2 orang tua, dan 1 anak. Tiongkok sendiri belum cukup kaya untuk
menanggung sistem pensiun seperti yang diterapkan negara demokratis
lainnya. Harga yang harus dibayarkan akibat sistem ini lebih besar dari dua
kali lipat dibandingkan yang dihadapi oleh Amerika saat pensiunnya generasi
“Boomer”, dan Amerika sendiri saat itu sudah memiliki sistem keamanan
sosial yang menyerap sebagian harga tersebut. Hal ini tentunya akan
membebani para pekerja muda dalam pengembangan keuangannya,
kesempatan untuk mendapatkan pendidikan, makanan sehari-hari, dan
sulitnya untuk menabung akibat harus membiayai kakek nenek serta orang
tuanya tadi. Tiongkok sepertinya telah kehabisan jumlah pekerja yang
melimpah, dan keberadaannya sebagai wilayah berbiaya rendah dalam
manufaktur global.
Dalam hal kebudayaan, salah satu perayaan terbesar masyarakat Tiongkok
adalah hari raya Imlek. Perayaan penyambutan datangnya musim semi dan
juga merupakan perayaan pergantian tahun kalender Tionghoa ini dirayakan
dengan tradisi mudik yang disebut dengan Chunyun. Chunyun sendiri
memiliki arti perpindahan saat festival musim semi, dan dimulai 15 hari
sebelum imlek. Tradisi ini tidak hanya terjadi di Tiongkok, tetapi juga di
Taiwan, Korea Selatan, dan Vietnam, serta diaspora Tionghoa dari negaranegara lain. Tradisi mudik ini sendiri merupakan aktivitas mudik terbesar di
dunia yang membuat pemerintah Tiongkok benar-benar memfasilitasi tradisi
ini. Perayaan imlek sendiri berlangsung selama 15 hari dengan hari terakhir
yang disebut Cap Go Meh atau hari penutup perayaan tahun baru yang biasa
kita kenal dengan banyaknya atraksi barongsai, naga, dan sebagainya.
2. Keberhasilan Tiongkok dalam mengatasi pandemi terlihat dari jumlah
penambahan kasus Covid-19 di bulan Maret tahun 2020 hampir tidak ada.
Langkah-langkah yang diambil Beijing sendiri menurut beberapa pakar akan sulit
untuk diikuti oleh negara lain, terutama negara-negara Barat. Hal ini merujuk ke
sistem yang terpusat di Beijing, pemerintahan satu partai yang tidak
memungkinkan terjadinya perbedaan pendapat, hingga mobilisasi sumber daya
untuk suatu permasalahan. Strategi-strategi yang dilakukan Tiongkok dapat
dirangkum dalam 3 macam strategi, antara lain :
•
Lockdown / Karantina
Pada bulan Januari 2020, Tiongkok secara efektif menutup kota Wuhan,
menempatkan 11 juta penduduknya dalam karantina yang ketat yang
kemudian diikuti oleh kota-kota lain di provinsi Hubei. Sementara di daerah
lain, pemerintah Tiongkok juga melarang warganya untuk keluar dari rumah.
Ratusan juta penduduk Tiongkok hidup dalam lingkungan yang padat
sehingga komite masyarakat setempat dapat berpatroli dan mengawasi
mereka. Dua pekan setelah ditutup yang merupakan masa inkubasi virus
Covid-19, jumlah infeksi Covid-19 menjadi berkurang. Langkah ini pun
kemudian diikuti oleh negara-negara lain di Eropa termasuk beberapa negara
bagian di Amerika Serikat. Akan tetapi kebijakan ini dapat membawa dampak
sosial serta ekonomi baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang.
•
Mobilisasi Massa
Beijing dengan cepat mengirimkan 42.000 tenaga medis ke provinsi Hubei
untuk membantu tenaga medis setempat yang kewalahan menangani wabah
Covid-19 di awal pandemi. Pakar kesehatan dan palang merah juga
dikirimkan ke Italia, negara dengan tingkat kematian akibat Covid-19 tertinggi
saat itu. Pemerintah Tiongkok juga berhasil melakukan sesuatu yang luar
biasa, di mana dalam waktu 2 minggu, mereka berhasil membangun rumah
sakit untuk menampung ribuan pasien. Upaya otoritas pusat juga didukung
dengan propaganda yang diumumkan berkali-kali di mana masyarakat
diminta hidup higienis dan tetap tinggal di rumah.
•
Masker dan pelacakan
Penduduk di seluruh kota di Tiongkok diminta untuk memakai masker, dan
apabila mereka tidak memakainya, mereka tidak diizinkan untuk masuk ke
kantor atau apartemen. Menurut agensi berita Xinhua, selama krisis, Tiongkok
mampu memproduksi 1,6 juta unit masker N-95 tiap harinya. Dalam hal
pelacakan, pos pemeriksaan suhu tubuh dipasang di tiap pintu masuk tempat
publik, di mana jika seseorang memiliki suhu tubuh di atas 37,3 derajat celcius,
maka orang tersebut akan langsung diisolasi. Kemudian setiap orang juga
diharuskan untuk memindai kode QR di ponsel mereka untuk mengecek
apakah status mereka hijau (tanpa risiko), kuning (sempat memasuki daerah
berpotensi penyebaran virus), atau merah (berstatus positif Covid-19 dan
beresiko penularan). Data lokasi telepon digunakan untuk mengawasi
pergerakan setiap orang dan memberlakukan jam malam. Jika terdapat
seorang pasien yang harus dikarantina, petunjuk lokasi geografis di ponsel
mereka akan memberikan peringatan kepada pemerintah apabila orang
tersebut keluar dari tempat karantinanya. Lokasi data telepon juga digunakan
untuk memetakan secara persis tempat-tempat yang dikunjungi seseorang
selama dua minggu terakhir sebelum didiagnosis. Gabungan dari analisa
manusia dan komputer ini dapat menentukan siapa yang dapat berpotensi
terinfeksi oleh mereka yang positif terinfeksi. Jika pasien menaiki kereta dan
berpotensi menginfeksi orang, maka pesan teks akan dikirimkan melalui
sebuah aplikasi yang banyak digunakan orang untuk memberikan peringatan
akan adanya risiko penularan. Dengan cara ini pemerintah dapat langsung
mengecek apakah seseorang pernah pergi ke zona merah. Pemerintah
Tiongkok juga mengatakan bahwa pemindaian akan dipertahankan sampai
wabah berakhir. Sistem pelacakan yang terbukti efektif saat pandemi ini telah
dibangun Partai Komunis Tiongkok selama beberapa dekade yang dikritik
oleh dunia. Namun semenjak pandemi Covid-19, beberapa negara seperti
Korea Selatan, Singapura, Israel, Taiwan, Rusia, dan Iran juga mulai
mengadopsi sistem ini. Tiongkok sendiri berhasil menurunkan tingkat infeksi
baru dari ribuan kasus setiap hari ketika puncak wabah, menjadi nol kasus
dalam waktu lima minggu.
Namun beberapa negara di mana pengawasan digunakan untuk menangani
virus Covid-19, banyak orang menjadi khawatir akan dampak jangka panjang.
Adam Schwartz, pengacara senior di Electronic Frontier Foundation
mengatakan di tengah pandemi ini, “ada kekhawatiran besar bahwa ketika
pemerintah mendapatkan kekuasaan baru dalam situasi krisis, pemerintah
tidak akan mengembalikan kekuasaan itu ketika krisis selesai." Contohnya
semenjak serangan 11 September, Amerika Serikat membuat pengawasan luas
terhadap warganya yang hingga 19 tahun kemudian kekuasaan tersebut
masih berada di tangan pemerintah Amerika Serikat. Adam dan pihak lain
juga mempertanyakan apakah data dari pengawasan massal ini dapat
membawa hasil atau tidak. Ia mengatakan bahwa yang perlu dikatakan
kepada pemerintah di seluruh dunia adalah “sebelum menjalankan kekuatan
pengawasan massa, penting bagi pemerintah dan tenaga kesehatan untuk
maju memperlihatkan bahwa teknologi ini dapat menambah krisis.”
Menyeimbangkan privasi dan keamanan merupakan salah satu masalah yang
sudah berlangsung sepanjang sejarah pemerintahan dan kepentingan publik,
namun, mungkin baru kali ini dalam sejarah, betapa dilema tersebut semakin
menekan dalam keadaan di mana banyak nyawa yang terancam.
3. Berdasarkan data yang berhasil dikumpulkan, sejauh ini Tiongkok lebih banyak
mengatasi masalah domestiknya secara mandiri tanpa bekerja sama dengan
organisasi multinasional ataupun negara lain. Dalam beberapa sektor yang akan
dibahas lebih lanjut di bawah, Tiongkok menjalin kerja sama internasional dalam
skala yang sedemikian rupa.
•
Sektor lingkungan
Sejauh ini, Tiongkok telah diakui oleh lebih dari 50 konvensi internasional
dalam hal perlindungan lingkungan dan juga telah aktif melaksanakan aturan
yang telah ditetapkan oleh konvensi-konvensi ini, seperti United Nations
Framework Convention on Climate Change dan Protokol Kyoto, Montreal
Protocol on Substances That Deplete the Ozone Layer, Rotterdam Convention
on the Prior Informed Consent Procedure for Certain Ha-zardous Chemicals
and Pesticides in International Trade, dan lain-lain. Pemerintah Tiongkok
telah mengumpulkan laporan nasional dari Republik Rakyat Tiongkok dalam
Sustainable Development and the China Action Program for Sustainable
Development in the 21st Century, yang telah menyetujui China State Plan on
Gradually Eliminating Substances That Deplete the Ozone Layer, yang
tersusun lebih dari 100 kebijakan yang berkaitan dengan perlindungan lapisan
ozon, menjalankan pengembangan produksi yang berbasis perlindungan
lapisan ozon (produk ramah lingkungan), dan mencapai target yang telah
ditetapkan Protokol Montreal. Menurut perkiraan World Bank, jumlah zat
perusak lapisan ozon yang telah dieliminasi oleh Tiongkok mencapai 50% dari
total jumlah zat yang telah dieliminasi oleh semua negara berkembang.
Tiongkok juga telah mempromosikan kerja samanya dengan negara-negara
tetangga dan terlibat aktif dalam pembangunan mekanisme kerja sama
regional.
Selain dalam hal perlindungan terhadap lingkungan, Tiongkok juga pernah
melakukan kerja sama dalam hal penanganan gempa bumi. Pada tanggal 12
Mei 2008, gempa dengan skala 8.0 SR menghantam provinsi Sichuan di
Tiongkok. Gempa tersebut memberikan dampak kepada 70 juta orang, dan
sebesar 15 juta di antaranya dievakuasi dari rumah mereka. Pada Desember
2018, angka kematian akibat gempa tersebut mencapai lebih dari 100 ribu
korban jiwa, dengan 374,643 orang terluka, dan 17,923 orang hilang. Sesuai
permintaan pemerintah Tiongkok, organisasi UNEP (United Nations
Environment Programme) dilibatkan dalam usaha pemulihan dampak gempa
tersebut, dan UNEP menjadi aktor lingkungan internasional utama. UNEP
diundang untuk melakukan survei di wilayah yang terdampak gempa
tersebut. Misi ini memungkinkan UN Country Team di Tiongkok dapat lebih
memahami besarnya bencana gempa tersebut dan bagaimana komunitas
internasional dapat bekerja sama untuk mengatasi tantangan lingkungan yang
sangat luas yang dihadapi Tiongkok dalam pemulihan dampak gempa
tersebut. Kontribusi UNEP sendiri dalam pemulihan dampak gempa di
Tiongkok antara lain :
1. Koordinasi dan dukungan teknis untuk merespon berbagai tantangan
dalam menangani permasalahan lingkungan tersebut. UNEP memperkuat
kantornya di Beijing dengan berbagai ahli teknis internasional dalam
bidang domestik, dan pengelolaan limbah industri berbahaya. Hal ini
membuat UNEP dapat menyediakan ahli kepada dua pihak baik UN
Country Team maupun kepada otoritas Tiongkok.
2. Permohonan pemulihan “China Appeal for Recovery Support” sebesar US
$33.5 juta diluncurkan oleh PBB pada bulan Juli 2008 mengakui akan
pentingnya menangani masalah lingkungan seperti air, pencemaran tanah,
dan pengelolaan limbah berbahaya, serta mengajukan dana bantuan yang
mencapai 6 juta dolar dari komunitas donor dalam permasalahan
lingkungan.
3. Pelatihan seperti yang diajukan oleh pemerintah Tiongkok, UNEP
menyediakan fasilitas pelatihan pengelolaan lingkungan pasca bencana
kepada para PNS Tiongkok, ahli lingkungan, perwakilan pemerintah, dan
organisasi internasional yang berbasis di Beijing.
4. Pertimbangan lingkungan, di mana UNEP berhasil meningkatkan
kesadaran akan pertimbangan terhadap lingkungan serta ekologi dalam
seluruh proses perencanaan nasional untuk penanganan pasca gempa,
rekonstruksi, dan untuk memastikan bahwa pertimbangan-pertimbangan
ini sepatutnya dimasukkan dalam perencanaan nasional tersebut. Sebagai
bagian dari pemulihan dan rekonstruksi jangka panjang 2009-2011, UNEP
secara aktif mempromosikan untuk menerapkan pendekatan rendah
karbon dalam periode restorasi dan rekonstruksi dengan pandangan untuk
mencapai efisiensi energi dan perekonomian yang lebih ramah lingkungan
di daerah yang terdampak gempa.
•
Terorisme
Kepentingan utama Tiongkok dalam hal terorisme internasional adalah
untuk memastikan kestabilan dalam negeri di wilayah yang memiliki
permasalahan etnis yaitu daerah Xinjiang, mempromosikan stabilitas
nasional dalam sebagai kunci utama dan sebagai pasar ekspor, dan
melindungi bisnis warganya di luar negeri. Respon utama Beijing terhadap
terorisme internasional adalah untuk memperkuat kapabilitas antiterorisme dalam negerinya dengan menyampaikan dan menerapkan
keamanan nasional baru serta hukum anti-teroris, meningkatkan kepolisian
dan kontrol sosial di Xinjiang, dan menarik usaha bilateral dan multilateral
dalam menangani terorisme. Kendala utama dalam hal ini adalah perhatian
akan terorisme dalam negeri, prinsip jangka panjang terhadap nonintervensi dan non-interferensi, keinginan untuk mencegah reaksi yang
menargetkan warga Tiongkok di dalam dan di luar negeri, serta kapabilitas
militer yang terbatas. Dengan semakin majunya ekonomi global Tiongkok
serta jejak politiknya, Tiongkok mungkin semakin menjadi target dari aksi
terorisme internasional. Dalam masa depan yang dapat diprediksi,
Tiongkok sepertinya tidak akan menjadi aktor utama dalam melawan
terorisme internasional dan kerja sama Tiongkok-Amerika dalam
penanggulangan terorisme akan tetap terbatas.
Commented [WJ1]: mul
Daftar Pustaka
Zeihan, P., 2014. The Accidental Superpower : The Next Generation of American
Preeminence and The Coming Global Disorder. Hachete Book Group.
Data.worldbank.org. 2021. GDP (current US$) - China | Data [online]. Available from:
https://data.worldbank.org/indicator/NY.GDP.MKTP.CD?locations=CN [Accessed 16
March 2021].
Lestari, R., 2021. Wah, China Punya Utang Terselubung US$2,3 Triliun dan Bakal
Membengkak
|
Ekonomi
-
Bisnis.com
[online].
Bisnis.com.
Available
from:
https://ekonomi.bisnis.com/read/20210324/620/1371824/wah-china-punya-utangterselubung-us23-triliun-dan-bakal-membengkak [Accessed 16 March 2021].
BBC News Indonesia. 2015. Pertumbuhan pesat ekonomi Cina dalam angka - BBC News
Indonesia
[online].
Available
from:
https://www.bbc.com/indonesia/majalah/2015/09/150910_majalah_ekonomi_cina
[Accessed 16 March 2021].
BBC News. 2019. Yuan fall: Why is China's currency getting weaker? [online]. Available
from: https://www.bbc.com/news/business-49245654 [Accessed 16 March 2021].
Investopedia. 2020. The Impact of China Devaluing the Yuan in 2015 [online]. Available
from: https://www.investopedia.com/trading/chinese-devaluation-yuan/ [Accessed
16 March 2021].
Pettinger, T., 2020. Why is value of Yuan so important? - Economics Help [online].
Economics
Help.
Available
from:
https://www.economicshelp.org/blog/164485/economics/why-is-value-of-yuan-soimportant/#%3A~%3Atext%3DSummary%20%E2%80%93%20impact%20of%20deval
uation%20in%2Cto%20higher%20growth%20in%20China. [Accessed 16 March 2021].
Encyclopedia Britannica. 2016. Chinese Communist Party | political party, China. [online]
Available
from:
https://www.britannica.com/topic/Chinese-Communist-Party
[Accessed 24 March 2021].
South China Morning Post. 2021. The Chinese Communist Party explained [online].
Available from: https://www.scmp.com/video/china/3123806/scmp-explains-howdoes-chinese-communist-party-operate [Accessed 24 March 2021].
Chase, M., 2015. China's Incomplete Military Transformation. Santa Monica: Rand
Corporation.
Yeo, M., 2020. China announces $178.2 billion military budget [online]. Defense News.
Available from: https://www.defensenews.com/global/asia-pacific/2020/05/22/chinaannounces-1782-billion-military-budget/ [Accessed 24 March 2021].
Global Fire Power. 2021. 2021 China Military Strength [online]. Available from:
https://www.globalfirepower.com/country-military-strengthdetail.php?country_id=china [Accessed 24 March 2021].
Yiwei, H. and Jing, Y., 2020. Graphics: China's changing demographics through the
decennial
census
[online].
News.cgtn.com.
Available
from:
https://news.cgtn.com/news/2020-11-01/Graphics-China-s-changing-demographicsthrough-the-decennial-census--V2MsMnYdz2/index.html [Accessed 24 March 2021].
Pletcher, K., 2020. One-child policy [online]. Encyclopedia Britannica. Available from:
https://www.britannica.com/topic/one-child-policy [Accessed 24 March 2021].
Rahmawati, F., 2021. Chunyun, Tradisi Mudik dalam Imlek di Tiongkok - AyoSemarang.com
[online].
AyoSemarang.com.
Available
from:
https://ayosemarang.com/read/2021/02/12/71985/chunyun-tradisi-mudik-dalamimlek-di-tiongkok [Accessed 24 March 2021].
Utomo, A., 2020. Atasi Wabah Virus Corona, China Gunakan 3 Strategi Halaman all Kompas.com
[online].
KOMPAS.com.
Available
from:
https://www.kompas.com/global/read/2020/03/22/141423770/atasi-wabah-viruscorona-china-gunakan-3-strategi?page=all [Accessed 10 April 2021].
BBC News Indonesia. 2020. Cara China mengatasi wabah Covid-19 melalui teknologi
tersembunyi dan pengawasan massal - BBC News Indonesia [online]. Available from:
https://www-bbc-com.cdn.ampproject.org/v/s/www.bbc.com/indonesia/dunia52141201.amp?amp_js_v=a6&amp_gsa=1&usqp=mq331AQHKAFQArABIA%3D%3
D#aoh=16187663238232&amp_ct=1618766328268&referrer=https%3A%2F%2Fwww.g
oogle.com&amp_tf=From%20%251%24s&ampshare=https%3A%2F%2Fwww.bbc.co
m%2Findonesia%2Fdunia-52141201 [Accessed 10 April 2021].
Sergeevna, N., 2015. China: International Cooperation in Environmental Protection. Journal
of Geoscience and Environment Protection [online]. 03(02), pp.28-32. Available fom,:
https://www.researchgate.net/publication/274739223_China_International_Cooperati
on_in_Environmental_Protection [Accessed 10 April 2021].
UNEP - UN Environment Programme. 2010. China [online]. Available from:
https://www.unep.org/explore-topics/disasters-conflicts/where-we-work/china
[Accessed 10 April 2021].
Murphy, D., 2017. China’s Approach to International Terrorism [online].JSTOR. Available
from:
https://www.jstor.org/stable/resrep20167?seq=1#metadata_info_tab_contents
[Accessed 10 April 2021].
Download