Allergic Diseases as an Impact of Micronutrient Deficiency Dr. Wisnu Barlianto, dr., Sp.A(K) A lergi merupakan suatu reaksi hipersensitivitas yang diperantarai oleh mekanisme imunologi, dapat menyerang sistem pernafasan (asma, rhinitis), sistem pencernaan (alergi makanan) dan kulit (eczema, dermatitis atopi). Alergi terjadi ketika keseimbangan dalam tubuh terganggu. Sistem limfosit sel T terbagi menjadi beberapa subset dan antara lain TH1, TH2, Treg dan TH17. Sel Treg adalah subset limfosit T yang berfungsi sebagai penyeimbang sehingga sistem kekebalan selalu dalam keadaan homeostasis. Jumlah TH2 cenderung meningkat pada alergi, sementara jumlah TH1dan TH17 meningkat pada infeksi akut. Pada keadaan alergi dan autoimun terjadi gangguan juga pada jumlah Treg. Dengan bertambahnya usia, alergi dapat berganti dari satu sistem organ ke sistem organ lainnya (Allergic March), misal dari alergi makanan pada saat bayi menjadi menjadi asma pada saat usia pra-sekolah. Alergi dapat terjadi bila ada dua faktor yaitu faktor genetik dan faktor lingkungan. Jika salah satu faktor tidak ada, alergi tidak akan terjadi. Faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi antara lain: diet, infeksi, alergen, polusi, dan paparan mikroba di awal kehidupan. Saat ini banyak yang menyebutkan adanya hubungan yang negatif antara intake kalori, protein nabati dan sayuran dengan terjadinya asma, rhinitis dan eczema, artinya intake kalori, protein nabati dan sayuran dapat mengurangi risiko terjadinya asma, rhinitis dan eczema. Beberapa penelitian yang ada menunjukkan hasil yang kontradiktif. Seperti salah satu penelitian cross sectional di Yunani yang dilakukan pada anak usia prasekolah menunjukkan diet Magnesium (Mg) 0.5-0.6% meningkatkan risiko terjadinya wheezing dan asma. Hal ini menarik karena beberapa penelitian 11 yang lain menyebutkan Mg merupakan sebuah bronkodilator. Penelitian lain yang dilakukan di Belanda, mencari tahu hubungan antara Mg, vitamin D, Selenium (Sn) dan zinc terhadap prevalensi asma. Hasilnya menunjukkan adanya hubungan yang negatif artinya semakin tinggi kadar Mg, prevalensi asma semakin rendah walaupun hasil tersebut tidak signifikan. Studi lainnya menunjukkan pemberian vitamin D yang diberikan pada anak usia 4 tahun dapat menurunkan prevalensi asma, namun jika diberikan pada anak usia lebih dari 8 tahun malah memberi efek positif, yang artinya meningkatkan risiko terjadinya asma. Penelitian kohort lain menunjukkan hal sebaliknya, pemberian vitamin D pada usia 8-16 tahun dapat menurunkan prevalensi asma. Untuk mencegah terjadinya alergi dapat dilakukan upaya yang terbagi menjadi tiga, yaitu pencegahan primer (pencegahan dilakukan sebelum anak kontak dengan alergen), pencegahan sekunder (sudah terdapat kontak dengan alergen namun gejala belum berlanjut) dan pencegahan tersier (sudah terdapat gejala alergi seperti asma, atau penyakit alergi lainnya). Walaupun belum ada bukti epidemiologik yang kuat mengenai efikasi mikronutrien terhadap alergi, beberapa studi menunjukkan manfaat vitamin A, D dan E untuk pencegahan asma. Perlu dilakukan penelitian-penelitian lebih lanjut untuk membuktikan efikasi pemberian mikronutrien terhadap terjadinya alergi. Ref: 1. Emmanouil E, Manios Y, Grammatikaki E, et al. Association of nutrient intake and wheeze or asthma in a Greek pre-school population. Pediat Allergy Immunol 2010;21:90-95 2. Van Oeffelen AAM, Bekkers MBM, Smit HA et al. Serum micronutrient concentrations and childhood asthma: The PIAMA birth cohort study. Pediat Allergy Immunol 2011;22:784–793 12