BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hubungan Internasional Hubungan Internasional mencakup berbagai hubungan atau interaksi yang melintasi batas-batas wilayah dan melibatkan pelaku-pelaku yang berbeda kewarganegaraan, berkaitan dengan segala bentuk kegiatan manusia baik yang disponsori oleh pemerintah maupun tidak. Hubungan ini dapat berlangsung secara kelompok, maupun secara perorangan dari suatu bangsa atau negara, yang melakukan interaksi baik secara resmi maupun tidak resmi dengan kelompok atau perorangan dari bangsa dan negara lain. Ilmu hubungan internasional merupakan ilmu dengan kajian interdisipliner, maksudnya adalah ilmu ini dapat menggunakan teori, konsep, dan pendekatan dari bidang ilmu-ilmu lain dalam mengembangkan kajiannya. Sepanjang menyangkut aspek internasional (hubungan/interaksi yang melintasi batas negara) adalah bidang hubungan internasional dengan kemungkinan berkaitan dengan ekonomi, hukum, komunikasi, politik, dan lainnya. Demikian juga untuk menelaah hubungan internasional dapat meminjam dan menyerap konsep-konsep sosiologi, psikologi, bahkan matematika (konsep probabilitas), untuk diterapkan dalam kajian hubungan internasional (Rudy, 1993:3). Hubungan Internasional mempelajari perilaku internasional yaitu perilaku aktor, negara maupun non negara didalam arena transaksi internasional. Perilaku 27 28 itu bisa berwujud perang, konflik, kerjasama, pembentukan aliansi interaksi dalam organisasi internasional dan sebagainya (Mas’oed, 1994:28). G.A. Lopez dan Michael S. Stohl, berpendapat bahwa: Hubungan Internasional bukan hanya mencakup hubungan antar negara atau antar pemerintah secara langsung namun juga meliputi berbagai transaksi ekonomi dan perdagangan, strategi atau penggunaan kekuatan militer, serta langkah diplomasi yang dilakukan oleh pemerintah pemerintah maupun nonpemerintah. (Lopez & Stohl, 1989:3). Menurut Holsti, hubungan internasional dapat mengacu pada semua bentuk interaksi antar anggota masyarakat yang berlainan, baik yang disponsori pemerintah maupun tidak. Hubungan internasional akan meliputi analisa kebijakan luar negeri atau proses politik antar bangsa, tetapi dengan memperhatikan seluruh segi hubungan itu (Holsti, 1987:29). 2.2 Politik Luar Negeri Dalam suatu proses politik internasional yang melibatkan hubungan antar aktor negara dan non-negara didalamnya, dibutuhkan adanya kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh aktor-aktor tersebut sebagai representasi dari kepentingan masing-masing aktor yang kemudian saling bertemu. Dalam hubungan internasional khususnya hubungan antar negara hal ini disebut Politik Luar Negeri. Hal ini merupakan studi yang kompleks karena tidak saja melibatkan aspek-aspek internasional tapi juga aspek-aspek eksternal suatu negara (Roseneau, 1976:15). 29 Pengertian dasar dari Politik luar negeri ialah ‘action theory’, atau kebijaksanaan suatu negara yang ditujukan ke negara lain untuk mencapai suatu kepentingan tertentu. Secara umum, politik luar negeri (foreign policy) merupakan suatu perangkat formula nilai, sikap, arah serta sasaran untuk mempertahankan, mengamankan, dan memajukan kepentingan nasional didalam percaturan dunia internasional, melalui suatu strategi atau rencana yang dibuat oleh para pengambil keputusan yang disebut Kebijakan Luar Negeri (Perwita & Yani, 2005:47-48). K.J. Holsti memberikan tiga kriteria untuk mengklasifikasikan tujuantujuan politik luar negeri suatu negara, yaitu: 1. Nilai (values) yang menjadi tujuan para pembuat keputusan. 2. Jangka waktu yang dibutuhkan untuk mencapai suatu tujuan yang telah ditetapkan, dengan adanya tujuan jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang. 3. Tipe tuntutan yang diajukan suatu negara kepada negara lain. (Perwita & Yani, 2005:51-52). Selain itu menurut Holsti, paling sedikit ada empat kondisi atau variabel yang mampu menopang pertimbangan elit pemerintah dalam pemilihan strategi politik luar negeri, yaitu: 1. Struktur sistem internasional, yaitu suatu kondisi yang di dalamnya terdapat pola-pola dominasi, sub ordinasi, dan kepemimpinan. 2. Strategi umum politik luar negeri berkaitan erat dengan sifat kebutuhan sosial-ekonomi domestik dan sikap domestik. 30 3. Persepsi elit pemerintah (pembuat UU) terhadap tingkat ancaman eksternal. 4. Lokasi geografis, karakteristik, topografis, dan kandungan sumber daya alam yang dimiliki negara (Holsti, 1987:133-134). Secara lebih lanjut politik luar negeri memiliki sumber-sumber utama yang menjadi input dalam perumusan kebijakan luar negeri, yaitu: 1. Sumber sistemik (systemis sources), yaitu sumber yang berasal dari lingkungan eksternal seperti hubungan antar negara, aliansi, dan isu-isu area. 2. Sumber masyarakat (societal sources), merupakan sumber yang berasal dari lingkungan internal suatu negara seperti faktor budaya dan sejarah, pembangunan ekonomi, struktur sosial, dan perubahan opini publik. 3. Sumber pemerintahan (governmental sources), merupakan sumber internal yang menjelaskan tentang pertanggung jawaban politik dan struktur dalam pemerintahan. 4. Sumber idiosinkretik (idiosyncratic sources), merupakan sumber internal yang melihat nilai-nilai pengalaman, bakat serta kepribadian elit politik yang mempengaruhi persepsi, kalkulasi, dan perilaku mereka terhadap kebijakan luar negeri. Selain empat sumber di atas terdapat pula hirauan akan faktor ukuran wilayah negara dan ukuran jumlah penduduk, lokasi geografis, serta teknologi yang dapat terletak pada sumber sistemik atau masyarakat (Roseneau, 1976:18). 31 2.3 Kebijakan Luar Negeri Politik luar negeri sebagai serangkaian/sekumpulan komitmen mengacu kepada stategi. Dalam arti strategis juga mengacu kepada keputusan dan kebijakan yang memuat tujuan-tujuan khusus (specific goals) serta sarana-sarana (means) untuk mencapainya (Roseneau, 1976:16). Perwita dan Yani mendeskripsikan secara umum mengenai kebijakan luar negeri, menurut mereka kebijakan luar negeri dapat dibedakan sebagai sekumpulan oerientasi, sekumpulan komitmen dan rencana aksi, dan sebagai suatu bentuk perilaku. Setiap negara menghubungkan negaranya kepada peristiwa dan situasi di luar dengan ketiga bentuk kebijakan luar negeri di atas (Perwita & Yani, 2005:55). Menurut Plano dan Olton Kebijakan Luar Negeri adalah: Tindakan yang dibentuk oleh para pembuat keputusan suatu negara dalam menghadapi negara lain/unit politik internasional dan dikendalikan untuk mencapai tujuan nasional spesifik yang dituangkan dalam terminologi kepentingan nasional (Plano & Olton, 1989:5). Adapun variabel untuk menganalisis kebijakan luar negeri : 1. Atribut Nasional, yaitu meliputi kapabilitas yang kuat dan lemah, sikap dan pendapat masyarakat, kebutuhan ekonomi, dan komposisi etnis sosial. 2. Kondisi Eksternal, yaitu meliputi persepsi ancaman dan perubahan fundamental dalam kondisi eksternal. 3. Atribut Ideologi dan Sikap, yang mencakup kebijakan dan peranan tradisional, sikap dan pendapat masyarakat, tanggung jawab kemanusiaan, prinsip ideologi, identifikasi diri terhadap kawasan dan pertentangan ideologi dengan negara lain (Holsti, 1987:463) 32 Kepentingan Nasional itu sendiri memiliki pengertian: Citra mengenai keadaan negara pada masa yang akan datang serta masa depan kondisi dengan memperluas pengaruh keluar batas negaranya serta dengan mengubah atau mempertahankan perilaku-perilaku negara lain, melalui individu pembuat kebijaksanaan yang berkehendak membuat kondisi tertentu. Output politik luar negeri dapat berupa kebijaksanaan, sikap, atau tindakan negara, yang merupakan tindakan atau pemikiran yang disusun oleh pembuat kebijaksanaan (Holsti, 1987:169). 2.4 Politik Internasional Salah satu kajian pokok (core subject) dalam Hubungan Internasional, Politik Internasional mengkaji segala bentuk perjuangan dalam memperjuangkan kepentingan (interest) dan kekuasaan (power). Politik Internasional merupakan salah satu wujud dari interaksi dalam hubungan internasional yang membahas keadaan atau soal-soal politik di masyarakat internasional dalam arti yang lebih sempit, yaitu dengan berfokus pada diplomasi dan hubungan antar negara dan kesatuan-kesatuan politik lainnya. Politik internasional terdiri dari elemen-elemen kerjasama dan konflik, permintaan dan dukungan, gangguan dan pengaturan. Dengan kata lain politik internasional adalah proses interaksi antara dua negara atau lebih (Perwita & Yani, 2005:39-40). Menurut C.J. Johari Ruang lingkup Hubungan Internasional meliputi seluruh tipe hubungan atau interaksi antar negara, termasuk asosiasi dan organisasi non-pemerintah (ekonomi, pariwisata, perdagangan, dsb). Sedangkan 33 ruang lingkup Politik Internasional hanya terbatas pada kekuasaan permainan (power game) yang melibatkan negara-negara berdaulat (Johari, 1985:9). Menurut Holsti dalam buku Politik Internasional: Suatu Kerangka Analisis memberikan definisi studi Politik Internasional sebagai: Studi mengenai pola tindakan negara terhadap lingkungan eksternal sebagai reaksi atas respon negara lain, selain mencakup unsur kekuasaan (power), kepentingan, dan tindakan, politik internasional juga mencakup perhatian terhadap sistem internasional dan perilaku para pembuat keputusan dalam situasi konflik. Jadi politik internasional menggambarkan hubungan dua arah (reaksi dan respon) bukan aksi. (Holsti, 1987:58). Perbedaan antara politik internasional dan politik luar negeri itu sendiri adalah, politik internasional mengkaji pola-pola yang berlaku dalam hubungan internasional, perilaku negara-negara serta para pembuat keputusan dalam situasi damai dan situasi konflik, serta melihat tingkah laku atau tindakan masing-masing negara dalam pola aksi-reaksi. Sedangkan politik luar negeri menganalisis bagaimana seharusnya tindakan atau langkah suatu negara terhadap kondisi serta perkembangan pada lingkungan eksternal (Rudy, 1993:15). 2.5 Kerjasama Internasional Dalam Hubungan Internasional dikenal dengan apa yang dinamakan kerjasama internasional. Dalam kerjasama internasional ini bertemu berbagai macam kepentingan nasional dari berbagai bangsa dan negara yang tidak dapat dipenuhi di dalam negerinya sendiri. Kerjasama Internasional adalah sisi lain dari konflik internasional yang juga merupakan salah satu aspek dalam Hubungan 34 Internasional. Isu utama dari kerjasama internasional yaitu berdasarkan pada sejauhmana keuntungan bersama yang diperoleh melalui kerjasama dapat mendukung konsepsi dari kepentingan tindakan yang unilateral dan kompetitif. Dengan kata lain kerjasama dapat terbentuk karena kehidupan internasional yang meliputi berbagai bidang seperti ideologi, politik, ekonomi, sosial, lingkungan hidup, kebudayaan, pertahanan, dan keamanan. Hal tersebut memunculkan kepentingan yang beraneka ragam sehingga mengakibatkan berbagai masalah sosial. Untuk mencari solusi atas berbagai masalah tersebut maka beberapa negara membentuk suatu kerjasama internasional. Sebagaimana diungkapkan oleh Mochtar Mas’oed mengenai Kerjasama Internasional dapat didefinisikan sebagai berikut: 1. Merupakan suatu proses dimana antar negara-negara yang berhubungan secara bersama-sama melakukan pendekatan satu sama lainnya. 2. Mengadakan pembahasan dan perundingan mengenai masalah-masalah tersebut. 3. Mencari kenyataan-kenyatan teknis yang mendukung jalan keluar tertentu. 4. Mengadakan perundingan atau perjanjian di antara kedua belah pihak (Mas’oed, 1977:33). Berdasarkan pernyataan dari Mas’oed diatas, dapat diketahui bahwasannya pelaksanaan politik luar negeri tidak mungkin dicapai jika hanya mengandalkan kekuatan sendiri. Maka dari itu suatu kerjasama akan diusahakan untuk memperoleh manfaat yang diperkirakan akan memberikan manfaat besar dari pada konsekuensi-konsekuensi yang ditanggungnya. Suatu kerjasama diawali 35 dengan adanya suatu kesepakatan dan yang paling mudah apabila tidak mengandung banyak resiko. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Frankle bahwa masalah kerjasama terletak pada pencapaian tujuan. Kerjasama Internasional itu sendiri terbagi atas beberapa bagian yaitu: 1. Kerjasama Global, dasar utama dari kerjasama ini adalah adanya hasrat yang kuat dari berbagai bangsa di dunia untuk bersatu dalam suatu wadah yang mampu mempersatukan cita-cita bersama. Contoh bentuk representasi dari kerjasama global ini adalah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), yang memungkinkan terbentuknya konvensi-konvensi internasional (badan-badan khusus tersebut diantaranya WHO, ILO, dan lain-lain). 2. Kerjasama Regional, indikator yang dapat menentukan kerjasama ini terwujud adalah secara geografis letaknya berdekatan, adanya kesamaan pandangan dibidang politik dan kebudayaan maupun perbedaan struktur produktivitas ekonomi (contoh ASEAN). 3. Kerjasama Fungsional, kerjasama ini adalah suatu fokus yang terkonsentrasi, misal kerjasama dalam bidang ekonomi, politik, dan lainlain. kerjasama ini berangkat dari pemikiran yang mensyaratkan adanya kemampuan tertentu pada masing-masing partner kerjasama. Dalam artian kerjasama ini tidak akan terselenggara apabila diantara mitra kerjasama ada yang tidak mampu mendukung suatu fungsi yang spesifik diharapkan darinya oleh yang lain. 36 4. Kerjasama Ideologi, menurut Vilfredo Pareto adalah suatu kelompok kepentingan untuk membenarkan tujuan dan perjuangan kekuasaan. Misal: organisasi Konfrensi Partai Komunis Sedunia (Darmayadi, 2004:1-2). 2.5.1 Hubungan Bilateral Dalam Hubungan Internasional dikenal akan hubungan kerjasamaantar Negara yang merupakan pertemuan beragam kepentingan internasional dari beberapa negar yang sifatnya tidak dapat dipenuhi oleh bangsanya sendiri. Menurut T. May Rudy, setelah kerjasama yang terbentuk dari berbagai komitmen individu untuk mendapatkan kesejatraan seacara kolektif yang merupakan hsail dari adanya persamaan kepentingan (2005:5) Definisi kerjasama itu sendiri dapat di bagi menjadi 5 (lima),yaitu: 1. Pandangan bahwa dua atau lebih kepentingan nilai atau tujuan saling bertemu dan dapat menghasilkan sesuatu dipromosikan atau dipenuhi oleh semua pihak 2. Perstujuan atas masalah tertentu anatar dua Negara atau lebih dalam rangaka memanfaatkan persaman benturan kepentinagn. 3. Pandangan atau harapan suatu Negara bahwa kebijakan yang diputuskan oleh Negara lainnya membantu Negara itu untuk mencapai kepentingan dan nilai-nilainya 4. Aturan resmi atau tidak resmi mengenai transaksi dimasa depan yang dilakukan untuk melaksanakan tujuan 5. Transaksi antara Negara untuk memenuhi persetujuan merteka (Holsti, 1987:652-653) 37 Hakekat dari pelaksanan kerjasamayang dilaksanakan oleh setiap negara memiliki sifat universal guna membentuk suatu keadaan,yang mampuh menghindari berbagai permasalahan dan konflik yang bersifat internasional. Bentuk interaksi kerjasama dapat dibedakan berdasarkan pihak yang melakukan hubungan antara negara, seperti kerjasam Bilateral, kerjasama Trilateral, kerjasama Regional, dan kerjasama Multilateral. Hubungan bilateral merupakan keadaan yang menggambarkan hubungan timbal balik antara kedua belah pihak yang terlibat, dan actor utama dalam pelaksanaan hubungan bilateral itu adalah negara. (Perwita & Yani, 2005:28) Dalam proses pelaksanaan hubungan bilateral Spygel mngatakan bahwa dapat ditentukan tiga motif yaitu: 1. Memelihara kepentingan nasioanal 2. Memelihara perdamaian 3. Meningkatkan kesejatraan ekonomi. 2.6 Hukum Internasional Merupakan salah satu kajian dalam studi Hubungan Internasional. Hukum Internasional merupakan keseluruhan hukum yang sebagian besar terdiri dari prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah perilaku dimana negara-negara terikat untuk mentaatinya. Pada dasarnya hukum internasional didasarkan atas beberapa pemikiran sebagai berikut : 38 1. Masyarakat Internasional yang terdiri dari sejumlah negara yang berdaulat dan merdeka (Independen) dalam arti masing-masing berdiri sendiri tidak dibawah kekuasaan yang lain (Multi State System). 2. Tidak ada suatu badan yang berdiri di atas negara-negara baik dalam bentuk negara (world state) maupun badan supranasional yang lain. 3. Merupakan suatu tertib hukum koordinasi antara anggota masyarakat internasional sederajat. Masyarakat internasional tunduk pada hukum internasional sebagai suatu tertib hukum yang mengikat secara koordinatif untuk memelihara dan mengatur berbagai kepentingan bersama (Rudy, 2002:2). Menurut J.G. Starke, Hukum Internasional dapat dirumuskan sebagai sekumpulan hukum (body of law) yang sebagian besar terdiri dari asas-asas dan karena itu biasanya ditaati dalam hubungan antara negara-negara satu sama lain, yang juga meliputi: 1. Peraturan-peraturan hukum mengenai pelaksanaan fungsi lembagalembaga dan organisasi-organisasi itu masing-masing serta hubungannya dengan negara-negara dan individu-individu. 2. Peraturan-peraturan hukum tersebut mengenai individu-individu dan kesatua-kesatuan bukan negara, sepanjang hak-hak atau kewajibankewajiban individu dan kesatuan itu merupakan masalah persekutuan internasional (Rudy, 2002:1). 39 Sedangkan menurut Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes dalam bukunya Pengantar Hukum Internasional, yang dimaksud dengan istilah hukum internasional dalam pembahasan ini adalah hukum internasional publik, yang harus dibedakan dari hukum perdata internasional. Hukum internasional publik adalah keseluruhan kaidah dan asas hukum yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara (hubungan internasional) yang bukan bersifat perdata. Sedangkan hukum perdata internasional adalah keseluruhan kaidah dan asas hukum yang mengatur hubungan perdata yang melintasi batas negara. Hukum internasional itu sendiri adalah keseluruhan kaidah dan asas yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara antara : 1. Negara dengan negara 2. Negara dengan subjek hukum lain bukan negara atau subjek hukum bukan negara, satu sama lain (Kusumaatmadja & Agoes, 2003:1-4). 2.6.1 Sumber Hukum Internasional Dalam hukum internasional ada dua tempat yang menunjuk atau mencantumkan secara tertulis sumber hukum dalam arti formal, yakni Pasal 7 Konvensi Den Haaag XII tanggal 18 Oktober 1907, yang mendirikan Mahkamah Internasional Perampasan Kapal di Laut (International Prize Court) dan dalam pasal 38 Piagam mahkamah Internasional Permanen tanggal 16 Desember 1920 yang kemudian diterima berlakunya dalam Piagam PBB tertanggal 26 Juni 1945. Bagi hukum internasional positif, hanya Pasal 38 Piagam Mahkamah Internasional sajalah yang penting. Pasal 38 Ayat (1) mengatakan bahwa, dalam 40 mengadili perkara yang diajukan kepadanya, mahkamah Internasional akan mempergunakan: Perjanjian Internasional, baik yang bersifat umum maupun khusus yang mengandung ketentuan hukum yang diakui secara tegas oleh negara-negara yang bersengketa. 1. Kebiasaan-kebiasaan Internasional (“International Custom, as evidence of a general practice accepted as law”). 2. Prinsip hukum umum. 3. Sumber hukum tambahan. 4. Keputusan badan perlengkapan (organs) organisasi dan lembaga internasional (Rudy, 2002:4-6). Hukum internasional memang memiliki beberapa kelemahan dan khususnya bila diperbandingkan dengan hukum nasional. Kelemahan utama adalah tidak adanya pemerintahan pusat (pemerintahan dunia) dan tidak adanya pemerintahan polisional untuk memaksakan berlakunya sanksi-sanksi serta keputusan dari pengadilan internasional (Rudy, 2002:6). Penggolongan perjanjian internasional sebagai sumber hukum formal adalah penggolongan perjanjian dalam treaty contract dan law making treaties. Treaty contract dimaksudkan perjanjian seperti suatu kontrak atau perjanjian dalam hukum perdata, hanya mengakibatkan hak dan kewajiban antara para pihak yang mengadakan perjanjian itu. Contoh, perjanjian dwi kewarganegaraan, perbatasan, perdagangan dan pemberantasan penyeludupan. Sedangkan law making treaties dimaksudkan perjanjian yang meletakkan ketentuan atau kaidah 41 hukum bagi masyarakat internasional sebagai keseluruhan. Contoh, Konvensi Jenewa tentang Perlindungan Koban Perang tahun 1949. berdasarkan uraian diatas maka merupakan treaty contract. 2.6.2 Sengketa Sengketa Internasional merupakan bukan saja cakupan sengketa-sengketa antar negara tapi bisa juga faktor sengketa, disebabkan oleh kasus-kasus lain yang berada dalam lingkup pengaturan internasional, yakni beberapa katagori sengketa tertentu antara negara di satu pihak dan individu-individu, badan-badan, korporasi serta badan-badan bukan negara di pihak lain.(Rudy, 2002:77) Dari hasil sengketa ini kemudian menghasilkan kebijakan-kebijakan agar tercapinya kesepakatan yang disetujui oleh kedua negara mengenai sengketa di Ambalat, yang salah satunya melalui kebijakan militer, karena menyangkut keamanan nasional dan kedaulatan wilayah yang mengarah pada situasi konflik eksternal antar kedua negara, walaupun tidak sampai terjadi peperangan. Sedangkan pengertian sengketa Intrenasioanl adalah: engketa merupakan suatu konflik yang dilandaskan akan batas teroterial, kepemilikan terhadap hal ataupun yang diakui oleh pihakmaupun negara berdasrkan posisi geografis yang bersifat alami sosial, ekonomi, dan politik. (Mauna, 2000:189). Dalam hal ini adanya sengketa dikarnakakn suatu wilayah perairan yang di sebut blok ambalat, wilayah tersebut disengketakan negara Indonesia dan negara Malaysia mereka menganggap bahwa kawasan blok ambalat bagian dari wilayahnya, masing – masing negara tersebut mengklaim berdasarkan bukti yang 42 dimilikinya masing – masing, dari permasalahan tersebut timbullah konflik meskipun tidak terjadinya perang. 2.6.3 Konflik Konflik menyebabkan terjadinya interaksi pada tataran yang lebih serius dari sekedar kompetisi. Meskipun, sebagaimana yang dinyatakan Shelling konflik, kompetisi, dan kerjasama (cooperation) pada dasarnya saling berkaitan, konflik terjadi manakala tujuan, kebutuhan dan nilai-nilai kelompok-kelompok yang bersaing bertabrakan dan akibatnya terjadilah agresi, walaupun belum tentu berbentuk kekerasan. Sedangkan definisi konflik itu sendiri adalah: Konflik yang mengarah pada pemakaian kekerasan yang direncanakan dengan baik, timbul dari perpaduan berbagai sebab, seperti pertentangan tuntutan masalah, sikap yang bermusuhan, serta jenis tindakan militer dan diplomatik tertentu. Konflik tersebut umumnya disebsbkan pertetntangan dalam pencapaian tujuan tertentu seperti perluasan atau memepertahankan wilayah teretorial, keamanan, semangat jalur kemudahan daerah pemasaran, prestise, persekutuan, revolusi dunia, penggulungan pemerintah negara yang tidak bersahabat, mengubah prosedur dalam Oganisasi PBB, dan lain-lain. Dalam usaha mempertahankan atau mencapai tujuan, tuntutan, tindakan atau keduanya akan berlangsung dan bertentangan dengan kepentingan serta tujuan negara lainnya” (Holsti, 1991:53). Sedangkan menurut A.D Nasution memberikan pengertian konflik sebagai berikut: 43 Konflik merupakan persaingan, apakah ligas, semu, atau masih berupa sesuatu yang bersifat potensial, adalah suatu hal yang normal dalam hubungan antar negara kebangsaan. Sumber konflik terletak didalam hubungan antar sistem negara-negara kebangsaan itu sendiri, yang dilandasi oleh konsep egosentrisme yaitu aspirasi untuk mempertahankan dan meningkatakan kekuatan serta keduddukan negara dalam hubungannya dengan negara lain. (Nasution, 1991:53). Dari hasil konflik ini kemudian menghasilkan kebijakan-kebijakan agar tercapinya kesepakatan yang disetujui oleh kedua negara mengenai konflik sengketa di Ambalat, yang salah satunya melalui kebijakan militer, karena menyangkut keamanan nasional dan kedaulatan wilayah yang mengarah pada situasi konflik eksternal antar kedua negara, walaupun tidak sampai terjadi peperangan. Ted Robert Gurr mengemukakan bahwa biasanya konflik dengan menggunakan kekerasan terjadi dalam suatu masyarakat karena adanya rasa kekecewaan yang timbul berkaitan dengan adanya harapan-harapan yang tidak terpenuhi dan terakomodasi dalam suatu sistim politik suatu masyarakat atau bangsa. Kekecewaan menimbulkan persaan tertindas oleh kelompok lainnya atau oleh pemerintah, maka berlangsunglah konflik dengan menggunakan kekerasan (Colemen dalam Kweit, 1996:153-254). Colemen tujuh tahapan dalam perkembangan konflik, yaitu: 1. Permulaan / awal munculnya permasalahan 2. Diskulibrium hubungan komunitas 3. Perasaan tertindas mucul kepermukaan 44 4. Pertentangan pendapat yang makin mendorong keyakinan untuk menentang atau melakukan perlawanan 5. Kecenderungan bersikap menganggap apapun atauberkeyakinan untuk mencurigai dan yang dilakukan pihak yang beranggapan sebagai lawan adalah salah dan buruk 6. Penentangan dan yang ditentang saling bermusuhan 7. Persengketaan memuncak dengan terlepas dari harapan, tuntutan atau perbedaan pendapat semula. (Colemen dalam Kweit, 1996:154). Cara penyelesaian konflik berarti setiap bentuk akhir setelah usai konflik tanpa mempermasalahkan bagaiman bentuk akhir tersebut diproleh, hal ini berarti bahwa akibat dari konflik juga merupakan cara penyelesain konflik. Holsti menyatakan cara penyelesai konflik dalm enam bagian yang sama dengan akibat dari konflik, yaitu: 1. Melakukan penarikan tuntutan Salah satu atau kedua belah pihak menahan diri untuk tidak melakukan tundakan fisik atau mendesak perundingan memenuhi tuntutan atau menghentikan tindakan yang pada dasarnya akan menyebabkan tindakan balasan yang bermusuhan. 2. Penaklukan Mencakup persetujuan dan perundingan diantara negara-negara yang berumusuhan. Salah satu pihak telah dapat mencapai sasaran dengan menekan pihak lain untuk menyadari bahwa keberhasilan pencapaian sasaran dan bertahan bagi pihak tersebut sama sakali sudah tida ada. 45 3. Membentuk Difference Tidak adanya impementasi, ancaman untuk mmemakai kekerasan. Meskipun tidak terjadi kekerasan, namun sikap tunduk merupakan akibat dan ancaman militer sehingga bentuk penyelesaian konflik dengan cara tidak damai. 4. Kompromi Kompromi adalah penyelesaian konflik yang menuntut pengorbanan dari posisi yang telah diraih oleh pihak yang bersengketa. 5. Penyelesaian Melalui Pihak Ketiga Mencakup penyerahan persetujuan dan itikad untuk menyelesaikan masalah berdasrkan berbagai kriteria keadilan. 6. Penyelesaian secara damai Penyelesaian melalui cara-cara damai (perundingan, konsiliasi, dan sebagainya) sehingga masing – masing pihak yang bersengketa secara perlahan dapat menrima keadaan posisi yang baru. (Holsti dalam Rudy, 2002:99). 2.6.3.1 Resolusi Konflik Resolusi konflik menjadi sebuah kerangka kerja dalam penyelesain konflik, menurut Peter Wallensten ada tiga unsur penting dalam definisi resolusi konflik yaitu: 1. Adanya kesepakatan yang biasanya dituangkan dalam sebuah dokumen rahasia yang ditandatangani dan menjadi pegangan selanjutnya bagi semua pihak. 46 2. Setiap pihak menerima atau mengakui eksitensi dari pihak lain sebagai subyek. 3. Pihak- pihak yang bertikai juga sepakat untuk menghentikan segala aksi kekerasan sehingga proses pembangunan, proeses rasa saling percaya bisa berjalan sebagai landasan untuk transformasi sosial, ekonomi, dan politik yang ditambahkan. (Hermawan, 2007:93) 2.7 Pengaruh Tujuan di bentuknya High Level Committe Malaysia Indonesia (HLCMALINDO), adalah dengan kebijakan serta rangka kerja yang berkaitan dengan konsep sosial masyarakat yang terjadi diambalat dimana diharapkan High Level Committe Malaysia Indonesia (HLC-MALINDO) dapat berpengaruh dan membuat situasi baru yang lebih baik. Sedangkan pengertian pengaruh itu sendiri adalah : “Perangkat untuk mencapai tujuan digunakan untuk mencapai atau mempertahankan tujuan, termasuk didalam tujuan adalah prestise, keutuhan wilayah, semangat nasional, bahan mentah, keamanan, atau persekutuan” (Holsti, 1987:201-203). Dari sisi sudut pandang negara, variabel-variabel yang mempengaruhi penggunaan pengaruh ialah: 1) Kapabilitas negara. 2) Persepsi terhadap pemakaian kapabilitas tersebut. 3) Kebutuhan antara dua negara dalam hubungan yang saling mempengaruhi. 4) Kualitas ketanggapan. 5) Pengorbanan dan komitmen (Holsti, 1987:209). 47 Sedangkan menurut pakar lain definisi pengaruh adalah. Menurut T. May Rudy, “Pengaruh” sendiri dapat dianalisis dalam empat macam bentuk: 1. Pengaruh sebagai aspek kekuasaan, pada hakikatnya adalah saran untuk mencapai tujuan. 2. Pengaruh sebagai sumber daya yang digunakan dalam tindakan terhadap pihak lain, melalui cara-cara persuasif, sampai koersif dengan maksud mendesak untuk mengikuti kehendak yang memberikan pengaruh. 3. Pengaruh sebagai salah satu proses dalam rangka hubungan antara satu sama lain (individu, kelompok, organisasi, dan negara). 4. Besar-kecilnya pengaruh ditinjau secara relatif dengan membandingkan melalui segi kuantitas (besar-kecilnya keuntungan atau kerugian). Besar kecilnya kekuasaan sangat menentukan besar kecilnya suatu pengaruh, bentuk pengaruh ini dapat berupa: Mengarahkan atau mengendalikan untuk melakukan sesuatu. Mengarahkan atau mengendalikan untuk tidak melakukan sesuatu. (Rudy, 1993:24-25).