RANCANG BANGUN MODEL INTEGRASI MANAJEMEN

advertisement
RANCANG BANGUN MODEL INTEGRASI MANAJEMEN KEBIJAKAN
OUTSOURCING DALAM PERSPEKTIF HUBUNGAN INDUSTRIAL
Agus Riyanto
Eriyatno, Bomer Pasaribu, Agus Maulana
Program Pascasarjana Manajemen dan Bisnis Institut Pertanian Bogor
Email : [email protected]
Abstrak
Tujuan penelitian adalah merancang bangun model integrasi manajemen kebijakan outsourcing
dalam perspektif hubungan industrial, dalam rangka harmonisasi aspek sosial budaya, ekonomi, dan
hukum, yang mampu meningkatkan kesejahteraan pekerja, keuntungan bagi perkembangan industri,
dan memberikan manfaat bagi pemerintah. Penelitian ini diawali dengan observasi lapangan, untuk
mengidentifikasi kondisi empiris praktik outsourcing saat ini dari perspektif industri, pemerintah,
dan tenaga kerja bersama serikat pekerja. Hasil identifikasi masalah kemudian dianalisis untuk
memperoleh model integrasi manajemen kebijakan outsourcing dalam rangka membangun
hubungan industrial yang harmonis. Metode yang digunakan adalah Soft System Methodology
(SSM). Data dikumpulkan melalui FGD, IDI, dan survei pakar. Teknik analisis menggunakan
analisis CATWOE, Analytical Network Process (ANP), Strategic Assumption Surfacing and Testing
(SAST). Melalui SSM Learning Model yang bertujuan untuk merancang Purposeful Activity Models
(PAM), kemudian model integrasi manajemen kebijakan outcourcing divalidasi dengan face
validation. Implikasi model adalah penguatan Trilogi Hubungan Industrial, yaitu kesejahteraan
pekerja, keamanan dan keberlanjutan untuk perusahaan serta iklim yang kondusif dan pendapatan
bagi pemerintah.
Kata kunci: Hubungan Industrial, Outsourcing, Soft Systems Methodology, Analytical Network
Process, Strategic Assumption Surfacing and Testing,
Abstract
The objective of this research is to design an Outsourcing policy management integration model in
industrial relation perspective in order to harmonize social, cultural, economic and law aspects able
to improve welfare for workers, profit for industrial development, and provide benefit for the
government.This research was initiated by field observation to analyze empirical condition on
current outsourcing practices from the view of industries, government, and the workforce themselves
along with their labor union. The result of problem identification was then analyzed to obtain
outsourcing policy management integration model in order to build harmonious industrial relation.
The method used was Soft System Methodology (SSM). Data were collected through FGD, IDI, and
expert survey. Technique Analysis was conducted through analysis CATWOE, Analytical Network
Process (ANP), Strategic Assumption Surfacing and Testing (SAST), through SSM Learning Models
aiming to design Purposeful Activity Models (PAM). Such models were validated with face
validation. The implication of modeling result is strong industrial relation trilogy; namely welfare
for workers, security and sustainability for companies, and conducive climate and income for the
government.
Keywords: Industrial Relations, Outsourcing, Soft Systems Methodology, Analytical Network
Process, Strategic Assumption Surfacing and Testing,
1
1. PENDAHULUAN
Outsourcing dan sistem perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) atau biasa disebut sistem kerja
kontrak merupakan bagian dari manajemen strategik, kemudian menjadi metode pengelolaan yang
penting dalam rangka peningkatan pengelolaan operasional organisasi. Manajemen sumber daya
manusia (MSDM) strategik adalah cara mengerjakan sesuatu untuk mencapai suatu tujuan tertentu,
dalam merumuskan tujuan terdapat unsur meningkatkan daya saing yang dibentuk oleh pengelola
MSDM dengan pendekatan strategik (Mangkuprawira, 2009).
Kebijakan sistem outsourcing, perjanjian kerja waktu tertentu, dan pengaturan waktu kerja adalah
konsep sistem flexibility, sistem flexibility adalah upaya sistematis untuk mempertahankan hubungan
kerja dengan memberikan keleluasaan kepada perusahaan, untuk melakukan pengaturan /terhadap
para pekerja (Atkinson, 1984). Ada dikotomi pemahaman flexibility, flexibility dipahami sebagai
sistem yang semata-mata hanya memberikan keleluasaan bagi perusahaan,
flexibility telah
didominasi oleh perusahaan untuk menyesuaikan dengan fluktuasi pasar, bahkan lebih jauh lagi
bahwa fokus flexibility telah menderegulasi perlindungan kerja, yang memungkinkan perusahaan
menyesuaikan tenaga kerja, pada sisi lain para pekerja membutuhkan keamanan pekerjaan (job
safety) karena meningkatnya tingkat ketidakpastian dari penggunaan konsep flexibility (Chung,
2007). Namun sesungguhnya konsep flexibility dapat juga dimanfaatkan oleh pekerja dalam
beradaptasi dengan siklus hidupnya (Jepsen dan Klammer, 2004). Berdasarkan strategi perusahaan,
terdapat empat jenis flexibility: (1) flexibility numerik external; (2) flexibility numerik internal; (3)
flexibility fungsional; dan (4) flexibility keuangan atau upah (Atkinson, 1984). Dari konsep flexibility
yang di pahami lebih memberikan keuntungan perusahaan, ada konsep flexibility yang memberi
ruang inovasi pada seluruh stakeholder dan tetap menjamin keamanan dan kesejahteraan pekerja
disebut flexicurity (Rogowski, 2007).
Kecenderungan perusahan menerapkan outsourcing dilatarbelakangi strategi untuk melakukan
efisiensi biaya produksi (cost of production). Melalui outsourcing, perusahaan berusaha menghemat
2
pengeluaran dalam membiayai sumber daya manusia di perusahaan (Sutedi, 2009). Ada lima alasan
strategis utama outsourcing: (1) improve business focus; (2) access to word-class capabilities; (3)
accelerated reengineering benefits; (4) shared risk; dan (5) free resources for other purposes (Pearce
dan Robinson dalam Tunggal, 2008). Bagi perusahaan, outsourcing bermanfaat untuk meningkatkan
keluwesan dan kreativitas usaha dalam rangka meningkatkan fokus bisnis, menekan biaya produksi,
menciptakan produk berkualitas, mempercepat layanan memenuhi tuntutan pasar, dan membagi
risiko usaha dalam berbagai masalah (Tunggal, 2008). Meskipun outsourcing memberi banyak
manfaat bagi perusahaan, namun stigmatisasi praktik outsourcing berdampak pada rendahnya
komitmen, motivasi, dan loyalitas pekerja terhadap perusahaan, penurunan produktivitas, dan
menimbulkan eskalasi perselisihan hubungan industrial (HI).
Dalam implementasi kebijakan outsourcing di wilayah Kabupaten Bekasi banyak terjadi perubahan
institusional, tidak saja berdampak pada perubahan struktur organisasi dan personalia, tetapi juga
terciptanya hubungan industrial (HI) yang berpotensi menimbulkan konflik. Sepanjang tahun 2012
terjadi 41 kasus unjuk rasa menentang praktik outsourcing. Praktik outsourcing ternyata menuai
kontroversi dan kekhawatiran pekerja, akan tidak terpenuhinya kesejahteraan, keamanan, dan
keberlanjutan masa depan mereka, terutama sistem PKWT atau sistem kerja kontrak yang sering
dilakukan dalam sistem outsourcing, sangat mengancam keamanan dan keberlanjutan kerja para
pekerja/buruh.
Tujuan penelitian adalah merancang bangun model integrasi manajemen kebijakan outsourcing
dalam perspektif hubungan industrial (HI), untuk memudahkan implementasi kebijakan outsourcing,
agar tercipta hubungan industrial (HI) harmonis, yang mampu meningkatkan kesejahteraan
karyawan, keamanan dan keberlanjutan perusahaan serta iklim usaha yang kondusif di wilayah
Pemerintahan Kabupaten Bekasi.
Dalam konsep epistemologi, penelitian ini berada dalam wilayah MSDM, manajemen strategik dan
sistem Hubungan Industrial, dimana pokok penelitian utamanya adalah kebijakan outsourcing dalam
3
perspektif Hubungan Industrial, sehingga penelitian ini adalah Penelitian Kebijakan (Policy
Research) dalam Sistem Hubungan Industrial.
2. STUDI LITERATUR
2.1. Dasar Teori Outsourcing
Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan, kepada perusahaan lainnya melalui
perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh, yang dibuat secara tertulis
(pasal 64 UU No 13/2003). Istilah ini kemudian di dalam implementasinya disebut outsourcing
(Putusan Mahkamah Konstitusi No 27/PUU-IX/2011 pada [2.1] II.4). Dalam pasal 65 dan 66 UU No
13/2003 menjelaskan outsourcing yang dimaksud dalam pasal 64 ada dua bentuk, yaitu: (1)
penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan melalui pemborongan pekerjaan, serta syarat dan
ketentuan yang harus dipenuhi jika perusahaan menggunakan sistem tersebut (pasal 65); dan (2)
penyerahan pelaksanaan sebagian pekerjaan, melalui jasa tenaga kerja beserta syarat dan
ketentuannya (pasal 66). Dalam implementasi hubungan industrial (HI), hubungan kerja antara
perusahaan dengan karyawanya, digunakan sistem kontrak kerja waktu tertentu dan waktu tidak
tertentu (ayat 1 pasal 56 UU No 13/2003). Ini adalah dasar hukum untuk sistem kerja kontrak,
tatacara serta persyaratannya dijelaskan lebih lanjut dalam pasal 59 UU No 13/2003.
Saat ini outsourcing telah menjadi salah satu strategi bagi manajer untuk meningkatkan efektifitas
dan efisiensi perusahaan dalam merencanaan pengelolaan sumber daya manusaia, seperti perekrutan,
program pelatihan, administrasi kepegawaian, pensiun atau program jenjang karir (Karthikeyan et al,
2011). Outsourcing adalah pengalihan pekerjaan dan proses yang sebelumnya dilakukan sendiri,
kemudian diserahkan kepada pihak lain di luar perusahaan (Beaumont dan Sohal, 2004; Ellarm dan
Billington, 2011). Ousourcing can be defined as the contracting out of functions, tasks, or services
by an organization for the purpose of reducing its process burden, acquiring a specialized technical
expertise, or achieving expense reduction (Garaventa dan Tellefsen, 2001).
4
Outsourcing proses bisnis merupakan cara bagaimana perusahaan meng-outsource bagian yang
bukan merupakan inti kegiatan perusahaan. Fungsi utama outsourcing proses bisnis adalah membuat
proses bisnis dalam perusahaan menjadi lebih efektif, efisien, dan terukur (Honess, 2003 dalam
Wahyudi, 2011). Proses-proses yang di-oursourcing antara lain: keuangan, pengadaan, SDM,
layanan informasi, dan fungsi-fungsi administratif lainnya. Kesuksesan outsourcing membutuhkan
peran klien dalam mengidentifikasi pihak-pihak yang kompeten untuk menilai dan mengevaluasi
terhadap kekuatan rekanan (Feeny et al, 2005).
Jika perusahaan tidak memiliki kemampuan kuat pada area fungsional, maka area fungsional tersebut
berpotensi dilakukan outsourcing. Kunci pelaksanaan outsourcing adalah membeli jasa dari luar
perusahaan, untuk menjalankan kegiatan yang bukan kompetensi kunci, atau bukan terkait dengan
operasional inti dan eksistensi perusahaan. Pengambilan keputusan outsourcing tergantung pada
jumlah nilai tambah dari outsourcing yang menjadi prioritas utama dan potensi keunggulan bisnis
perusahaan. Dalam hal ini, keputusan outsourcing didasarkan pada faktor bisnis serta faktor teknis
dan risiko (Lacity et al, 2008).
2.2. Tata Kelola Sistem Outsourcing dalam HI
Tata kelola perusahaan (corporate governance) menjadi isu penting dalam pengelolaan perusahaan
saat ini. Corporate Governance adalah seperangkat aturan yang mengatur hubungan antara
pemegang saham, pengurus (pengelola) perusahaan, pihak kreditur, pemerintah, karyawan serta para
pemegang kepentingan intern dan extern lainnya yang terkait dengan hak-hak dan kewajiban mereka
atau dengan kata lain suatu sistem yang mengatur dan mengendalikan perusahaan (Cadbury
Committee dalam Utama, 2004).
Risiko utama sistem kontrak adalah moral hazard (Picot dan Wolff, 1994 dalam Bruttel, 2005).
Menurut Teori Prinsipal Agen, berkenaan dengan sistem outsourcing yang tidak bisa dilepaskan dari
5
sistem kontrak, dikenal tiga mekanisme tata kelola yang dapat mengurangi risiko moral hazard,
yaitu: mekanisme insentif, mekanisme informasi, dan mekanisme kontrol. Mekanisme insentif fokus
pada design yang optimal dari struktur pembayaran, mekanisme informasi adalah mekanisme yang
memanfaatkan pembandingan dan pemantauan kinerja untuk meningkatkan pengetahuan
stakeholder yang terlibat dalam sistem outsourcing, sedangkan mekanisme kontrol dapat
didefinisikan sebagai UU yang luas dan peraturan pemerintah yang menyatakan secara detail
bagaimana organisasi penyedia layanan harus memberikan layanan mereka (Ebers dan Gotsch, 1999
dalam Bruttel, 2005). Kelemahan pengaturan kontrak adalah karena ketergantungan pada satu
mekanisme dan kegagalan memahami saling ketergantungan dari ketiganya (mekanisme insentif,
informasi, dan kontrol). Oleh karenanya, dengan menggabungkan ketiga mekanisme tersebut akan
menjadi strategi utama sebagai suatu persyaratan management outsourcing efektif (Bruttel, 2005).
Dalam sistem tenaga kerja di Indonesia, perusahaan dapat melakukan outsourcing baik outsourcing
pekerjaan maupun outsourcing jasa tenaga kerja, serta perusahaan dapat melakukan sistem kontrak
kerja dengan karyawan/buruhnya, baik perusahaan pemberi kerja pemborongan, perusahaan
penerima pemborongan maupun perusahaan penyedia jasa tenaga kerja. Tata kelola sistem
outsourcing dalam perspektif HI melibatkan berbagai pihak yang berkepentingan, dan saling
berhubungan (stakeholder) serta berbagai aspek kepentingan interaksi antara stakeholder. Secara
umum tata kelola sistem outsourcing merujuk pada UU No 13/2003 pasal 64-66 dan pasal 56-60
serta Permenakertrans No 19/2012 dan Permenakertrans No 100/2004.
2.3. Hubungan Industrial (HI)
Hubungan industrial adalah hubungan yang terbentuk antara para pelaku dalam proses produksi dan
distribusi barang/jasa. Pihak-pihak yang terkait di dalam hubungan industrial adalah pekerja,
pengusaha, dan pemerintah (Suwarto, 2000; Toha, 2010; dan Wirawan, 2010).
6
Dalam membangun hubungan industrial harmonis, pemerintah memiliki peran sebagai pengatur
melalui kebijakan publik (policy public) yang telah ditetapkan dan sekaligus pengawasan (control)
terhadap implementasi kebijakan publik tersebut. Menurut Jackson (2003), pemerintah mempunyai
otoritas untuk mengatur aktor pengusaha dan pekerja, penciptaan aturan dipandang sebagai tujuan
utama dari sistem hubungan industrial. Menurut Dunlop dalam Jackson (2003), ada tiga kelompok
utama dari aktor yang ambil bagian dalam proses pembuatan aturan, yaitu: (1) sebuah hierarki
manajer dan wakil-wakil mereka dalam pengawasan (pengusaha); (2) sebuah hierarki pekerja (non
manajerial) dan juru bicara mereka (pekerja/serikat pekerja); dan (3) lembaga pemerintah khusus dan
badan-badan swasta khusus diciptakan oleh dua aktor pertama berkaitan dengan pekerja, perusahaan,
dan hubungan mereka.
Bergulirnya era reformasi telah mengubah paradigma hubungan industrial ke arah demokratisasi,
keterbukaan, supremasi hukum, dan hak asasi manusia (HAM), Hubungan industrial mengandung
tiga hak pekerja dan serikat pekerja, yaitu: hak asasi, hak ekonomi, dan hak demokrasi (Pasaribu,
2007).
2.4. Soft Sistem Methodology (SSM)
Pemikiran sistem selalu mencari keterpaduan antar bagian melalui pemahaman yang utuh, maka
diperlukan suatu kerangka fikir baru yang dikenal sebagai pendekatan sistem (system approach).
Pendekatan sistem ditandai dua hal: (1) mencari semua faktor penting yang ada untuk mendapat
solusi terbaik dalam menyelesaikan masalah; dan (2) dibuat suatu unsur model kuantitatif untuk
membantu keputusan secara rasional. Metodologi sistem dibagi dua: (1) Hard system metodology
(HSM) seperti teknik operasional riset dan sistem dinamik; serta (2) Soft System Metodology (SSM).
Untuk riset kebijakan sebaiknya digunakan teknik SSM, namun sering juga dimanfaatkan
kehandalan sistem dinamik dari HSM untuk analisa sebab-akibat (Eriyatno dan Sofyan, 2007).
7
Implementasi SSM menurut Checkland (1981) yang dikembangkan oleh Eriyatno dan Sofyan (2007)
dilakukan dalam tujuh siklus: (1) situasi permasalahan tidak terstruktur (problem situation); (2)
situasi permasalahan yang ditemu kenali, dalam bentuk rich picture, belum dalam pola kesisteman;
(3) pendefisian sistem yang relevan, dilakukan pertimbangan terhadap enam hal: customers, actors,
tranformation process, world view, owner, dan environmental constraints (CATWOE); (4) model
konseptual, CATWOE sebagai basis untuk menghasilkan model inovatif dari model yang ada; (5)
perbandingan antara model konseptual dan situasi permasalahan yang ditemu kenali; (6) identifikasi
hal yang diinginkan secara sistematis dan perubahan yang layak secara efektif; dan (7) tindakan
untuk memperbaiki keadaan.
2.5. Analytical Network Process (ANP)
ANP merupakan teori umum pengukuran relatif yang digunakan untuk menurunkan rasio prioritas
komposit dari skala rasio individu, yang mencerminkan pengukuran relatif dari pengaruh elemenelemen yang saling berinteraksi berkenaan dengan kriteria kontrol (Saaty, 2003). ANP sebagai teori
matematika yang memungkinkan untuk memperlakukan dependence dan feedback secara sistematis
yang dapat menangkap dan mengkombinasikan faktor-faktor tangible dan intangible. Metode ANP
memiliki dua jenis keterkaitan, yaitu keterkaitan dalam satu set elemen (inner dependence) dan
keterkaitan antarelemen yang berbeda (outer dependence). Tahapan analisis menggunakan metode
ANP dibangun ke dalam empat tahap utama: (1) tahap 1: kostruksi model dan strukturisasi masalah;
(2) tahap 2: matrik perbandingan berpasangan dan ventor prioritas; (3) tahap 3: pembentukan
supermatriks; dan (4) tahap 4: seleksi alternatif terbaik (Azis, 2003).
2.6. Strategic Assumption Surfacing and Testing (SAST)
Metode SAST merupakan salah satu metode yang digunakan dalam menyusun alternatif-alternatif
kebijakan berdasarkan asumsi–asumsi untuk rancang bangun model kebijakan. Terdapat empat
8
tahapan dalam metode ini: (1) pembentukan kelompok (group formation), bertujuan membentuk
kelompok dengan peserta yang criteria advocates of articular strategies, vested interest, personality
type, manager from different functional areas, manager from different organisatioral levels, time
orientation (short/long term perspective); (2) Pengedepanan (memunculkan) asumsi (assumption
surfacing), menggali berbagai asumsi yang paling signifikan melalui diskusi kelompok untuk
mendukung kebijakan dan strategi yang diinginkan. Dalam tahap ini peserta melakukan analisa
terhadap beberapa parameter melalui FGD, sehingga diperoleh asumsi-asumsi dasar yang secara
signifikan berpengaruh terhadap penyusunan kebijakan; (3) pembahasan dialetik, untuk membuat
kasus kemungkinan strategi terbaik yang diinginkan melalui diskusi pakar; dan (4) sintesis, untuk
mencapai kompromi atas asumsi-asumsi yang dapat menghasilkan strategi baru yang mampu
mengungguli strategi lama (Eriyatno dan Sofyan, 2007).
2.7. Pemodelan Sistem
Pemodelan adalah suatu terjemahan bebas dari istilah modelling untuk menghindari berbagai
pengertian atau penafsiran yang berbeda-beda, pemodelan dapat diartikan sebagai suatu gugus
aktivitas pembuatan model. Model didefinisikan sebagai perwakilan atau abstraksi dari sebuah objek
atau situasi aktual. Pemodelan sistem yang bertujuan menghasilkan model kebijakan (policy model)
adalah kombinasi dari dua referensi utama (Eriyatno, 2012), yaitu: (1) Logical Thinking Process
(Dettmer, 2007); dan (2) SSM (Checkland, 2000).
Validasi model merupakan usaha untuk menyimpulkan bahwa model sistem yang dibangun
merupakan representasi yang sah dari realitas yang dikaji sehingga dapat dihasilkan kesimpulan yang
meyakinkan dan valid (Eriyatno, 2012). Validasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah face
validity. Face validity, yaitu pengukuran validitas dengan meminta pendapat para pakar yang
berpengetahuan tentang sistem, apakah model yang diajukan telah berperilaku yang wajar. Teknik
ini dapat digunakan dalam menentukan apakah logika dalam model konseptual dianggap benar dan
hubungan input-output model beroperasi secara wajar (Sargent, 1998). Proses validasi dilakukan
9
menggunakan pendapat pakar, untuk mengetahui kesesuaian dan kelayakan model serta kebenaran
logika dan teori dalam model konseptual, yang menjelaskan hubungan input-output model secara
masuk akal.
3. METODOLOGI
Penelitian ini menggunakan pendekatan SSM melalui teknik ANP dan SAST. Dalam memperoleh
data dan informasi dilakukan penelitian langsung di lapangan dengan metode wawancara melalui
IDI, FGD, dan survey pakar. Ada dua informan yang digunakan: (1) key informan adalah pihakpihak yang terlibat langsung dalam implementasi kebijakan outsourcing meliputi: pengusaha,
Disnaker Kabupaten Bekasi, dan serikat pekerja; dan (2) second informan adalah pihak-pihak yang
tidak terlibat langsung tetapi mempunyai pemahaman atas informasi yang dibutuhkan, misalnya
praktisi bisnis, pakar ketenagakerjaan, dan kalangan akademisi.
Metode yang digunakan dalam merancang bangun model adalah SSM Learning Models yang
bertujuan mendisain Purposeful Activity Models (PAM). Dengan menerapkan logical thinking
process (Dettmer, 2007) dan Learning for Action (Checkland P, Poulter J. 2006), asumsi strategis
hasil SAST dan hasil penetapan prioritas metoda ANP, dipetakan dalam bingkai aktivitas yang
terstruktur dan relevan dengan situasi problematik (Root Definition) dengan formula PQR, PQR
adalah mengerjakan “P” dengan “Q” untuk mewujudkan “R” disusun rangkaian kalimat Root
Definition, Selanjutnya digambarkan secara grafis dalam Rich Picture , Rich Picture merupakan
konsep dasar dari pemodelan sistem. Setelah melalui logical thinking process, disusun pemodelan
sistem, yaitu model integrasi manajemen kebijakan outsourcing dalam perspektif HI, kemudian
model integrasi manajemen kebijakan outsourcing divalidasi dengan face validation.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Integrasi Manajemen Kebijakan Outsourcing dalam Perspektif HI
10
Hasil analisis situasional dengan menggunakan metode ANP dilakukan pairwised comparisons
secara integral dari semua klaster dan node, diperoleh urutan prioritas 36 faktor berdasarkan
keterkaitan dan pengaruhnya terhadap pencapaian tujuan (goal), Dari urutan prioritas faktor hasil
ANP, dapat diidentifikasikan prioritas-prioritas utama yang merupakan faktor kunci keberhasilan
implementasi kebijakan outsourcing dalam perspektif HI menggunakan prinsip hukum pareto (Tabel
1).
-----------------------------Insert Tabel 1 disini
-----------------------------Penetapan konsideran prioritas dalam penyusunan kebijakan menggunakan teknik SAST, dilakukan
pemeringkatan terhadap asumsi-asumsi strategis, masing-masing faktor diposisikan ke dalam
kuadran kartesius (Gambar 1), untuk identifikasi posisi tingkat kepentingan dan tingkat kepastian
dari setiap asumsi strategis yang ada. Hasil pemeringkatan dengan kuadran kartesius menunjukan
gambaran tingkat kepentingan dan tingkat kepastian dari masing-masing asumsi strategis. Agar lebih
fokus pada hal-hal yang harus dipertimbangkan dalam proses penyusunan/ pengambilan kebijakan,
analisis dan sintesis dilakukan pada asumsi yang berada dalam kuadran I, yaitu posisi yang memiliki
tingkat kepentingan dan kepastian relatif tinggi dengan lebih difokuskan lagi hanya asumsi yang
memiliki nilai 7,7 dan nilai 7,6.
-----------------------------Insert Gambar 1 disini
------------------------------
Mengacu pada asumsi strategis interaksi dan persyaratan hasil SAST dan ANP, kemudian dipetakan
dalam sebuah bingkai aktivitas dan persyaratan dengan formula PQR dan CATWOE yang disusun
dalam rangkaian kalimat sebagai Root Definition (RD):
11
“ Sistem manajemen outsourcing terpadu, melibatkan peran para pihak yang terkait,
dalam merencanakan implementasi sistem outsourcing yang efektif pada masingmasing pihak, dan melakukan pengelolaan aktivitas secara tepat dan efesien, serta
melakukan pengendalian yang baik dan terintegrasi, dengan membangun komunikasi
dan melaksanakan kebijakan UU serta regulasi untuk membangun HI harmonis, agar
tercipta kesejahteraan bagi karyawan, keamanan dan keberlanjutan bagi perusahaan
serta terbangunnya iklim usaha yang kondusif“.
Berdasarkan PQR dan CATWOE dalam RD, kemudian digambarkan secara grafis Rich Picture yang
memaparkan konsep dasar dari pemodelan sistem tersebut (Gambar 2).
-----------------------------Insert Gambar 2 disini
-----------------------------Berdasarkan Rich Picture tersebut dapat ditemu kenali elemen-elemen sistem yang berpengaruh
secara langsung terhadap kebijakan outsourcing dalam perspektif HI. Tujuan dibangunnya model
integrasi manajemen kebijakan outsourcing dalam HI harmonis adalah untuk mempermudah
implementasi kebijakan, agar jelas tata hubungan dan kewajiban serta tanggung jawab masingmasing stakeholder. Elemen sistem dari model tersebut sebagai berikut: (1) analisis alur proses; (2)
kriteria analisis; (3) verifkasi dan validasi; (4) pendaftaran MoU; (5) pelayanan dan data base; (6)
pengawasan; (7) pembinaan; (8) evaluasi implementasi kebijakan; (9) penindakan; (10) evaluasi hasil
perbaikan; (11) pendaftaran organisasi SP; (12) permohonan perizinan SP; (13) manajemen konflik;
(14) PPHI perundingan tripartit; serta (15) penertiban dan keamanan fungsi kepolisian.
Setelah melalui logical thinking process, disusun pemodelan sistem, yaitu model integrasi
manajemen kebijakan outsourcing dalam perspektif HI (Gambar 3). Model integrasi manajemen
kebijakan outsourcing kemudian divalidasidengan face validation. Implikasi dari hasil pemodelan
adalah penguatan Trilogi HI, yaitu kesejahteraan, keamanan, dan keberlanjutan bagi karyawan,
perusahaan, dan pemerintah.
-----------------------------Insert Gambar 3 disini
------------------------------
12
Pemerintah melalui Disnaker Kabupaten Bekasi, harus menjadi driver untuk melakukan pengawasan
yang berimbang kepada perusahaan dan pekerja/buruh, terutama implementasi pasal 64, 65, dan 66,
serta pasal 59 UU No 13/2003 terkait dengan penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada
perusahaan lain, serta status hubungan kerja dan sistem pengupahan yang memberi kesejahteraan,
keamanan, dan keberlanjutan (Trilogi HI) bagi pekerja. Tuntutan dan tanggung jawab pengawasan,
penyidikan dan ketentuan pidana, serta sanksi administratif dijelaskan dalam UU No 13/2003 Bab
XIV hingga Bab XVI, kemudian dipertegas melalui Permenakertrans No 19/2012 Bab IV pasal 33.
Merujuk pada Bab XI pasal 102 UU No 13/2003, pemerintah memiliki fungsi menetapkan kebijakan,
memberi layanan, melaksanakan pengawasan, dan melakukan penindakan terhadap pelanggaran
peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan. Namun, di dalam implementasi secara empiris
dapat diketahui bahwa fungsi pengawasan dan penindakan tidak dilaksanakan dengan maksimal,
meskipun perangkat dan ketentuan hukum yang mendasari pelaksanaannya sudah cukup jelas, yaitu:
UU No 21/2003, Perpres No 21/2010, Permenakertrans No 2/2011, dan Permenakertrans No
14/2012. Oleh karenanya, dibutuhkan mekanisme pelayanan, pengawasan, dan penindakan yang
ditunjang dengan sistem yang komprehensif .
Data base berbasis teknologi informasi menjadi syarat mutlak dalam mendukung sistem pelayanan,
pengawasan, dan penindakan. Sistem komputerisasi dan sistem komunikasi informasi yang
menghubungkan Disnaker dengan perusahaan juga menjadi hal penting, sehingga kewajiban
Disnaker dalam hal pelayanan dan pengawasan menjadi sangat mungkin dilakukan secara efektif
Pembinaan yang dilakukan pemerintah sebagai driver dalam HI melalui kegiatan sosialisasi pra kerja
dan edukasi pekerja tentang UU harus dilakukan dengan perencanaan, sasaran dan sistem yang tepat
serta berkesinambungan. Hal ini dapat mempersempit jumlah stakeholder yang masih kurang
pemahamannya terhadap UU dan regulasi turunannya. Penindakan melalui proses evaluasi kepada
perusahaan berdasarkan report periodical menjadi dasar untuk memberikan sanksi administrasi
maupun sanksi pidana, sehingga penyimpangan sedini mungkin dapat diperbaiki.
13
Keberadaan serikat pekerja sebagai formal organization harus terdaftar di Disnaker dalam rangka
tertib administrasi dan membangun komunikasi dalam HI dengan pemerintah maupun pengusaha
dalam frame UU maupun regulasi turunannya, sehingga fungsi dan peran masing-masing stakeholder
dapat dilaksanakan secara efektif dan konstruktif. Komunikasi melalui perundingan dalam rangka
meningkatkan kesejahteraan karyawan dan perusahaan lebih mengutamakan perundingan tingkat
bipartit yang dilakukan secara arif dan bijaksana untuk mencapai mufakat. Perundingan melalui
tripartit adalah keniscayaan jika dalam perundingan bipartit tidak menemukan kemufakatan
(mengalami kebuntuan).
Penyaluran aspirasi merupakan fungsi serikat pekerja dalam rangka mendorong terciptanya
kesejahteraan, keamanan, dan keberlanjutan bagi karyawan maupun perusahaan. Demikian juga
aktivitas mogok (strike) adalah hak pekerja/buruh yang dilindungi oleh UU. Oleh karenanya, proses
dan bentuk pemogokan harus senantiasa mengacu pada aturan pelaksanaan, yaitu harus melakukan
pemberitahuan
kepada
pihak
perusahaan
dan
pemerintah
berbentuk
perizinan
serta
mempertimbangkan etika dan sopan santun. Meskipun pemogokan adalah resmi dan legal formal,
tetapi sebaiknya dapat dihindari. Kuncinya adalah proses perundingan antara perusahaan dan
karyawan harus dapat saling memahami dan penuh kesadaran, sehingga diharapkan bentuk
pemogokan disertai unjuk rasa dengan melibatkan anggota serikat pekerja yang bukan dari
perusahaan bersangkutan tidak lagi dilakukan, karena bentuk seperti ini berdampak pada keresahan
masyarakat luar yang akan memicu terjadi konflik horizontal.
Perusahaan sebagai organisasi bisnis berorientasi pada keuntungan (profit oriented) senantiasa harus
melihat proses sebagai sarana untuk mencapai profit maksimal, dimana proses tersebut
membutuhkan SDM sebagai penentu utama keberhasilan tujuan organisasi. Oleh karena itu, harus
menempatkan SDM menjadi capital yang penting di dalam organisasi, sehingga kebutuhan karyawan
sebagai makhluk sosial (kesejahteraan, keamanan, dan keberlanjutan) dapat diwujudkan melalui
kebijakan perusahaan secara riil, seperti sistem recruitment sampai pada status karyawan, sistem
14
pengupahan, jaminan sosial termasuk jaminan keluarga dan hari tua, serta keamanan dan
keberlanjutan kerja.
Penyerahan pelaksanaan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain, menuntut dilakukan analisis
alur proses (Permenakertrans No 19/2012), dilakukan oleh asosiasi sektor usaha untuk mengetahui
aktivitas core dan non core. hasil kajian lapangan, kondisi empiris, serta saran dan pemikiran para
pakar yang dikemukakan dalam FGD dan IDI, pelaksanaanya akan sulit mekanismenya, jika asosiasi
sektor usaha
harus melakukan analisis alur proses secara langsung pada setiap perusahaan.
Pelaksanaannya lebih efektif dilakukan oleh setiap perusahaan dengan melibatkan unsur bipartit,
asosiasi sektor usaha hanya melakukan validasi. Dalam proses analisis alur proses dibutuhkan tools
yang representatif dengan merujuk pada syarat dan ketentuan UU No 13/2003 dan Permenakertrans
No 19/2012 serta memperhatikan strategi dan kebijakan manajemen dalam pengelolaan perusahaan.
Tools analisis juga akan digunakan untuk melakukan validasi oleh asosiasi sektor usaha. Oleh
karenanya, harus ada kesamaan teknis dan kriteria antara tools yang digunakan oleh perusahaan dan
asosiasi sektor usaha.
5. IMPLIKASI, KESIMPULAN, DAN REKOMENDASI
5.1. Implikasi Model
Implementasi kebijakan potensial tidak sesuai tuntutan UU dan regulasi turunannya, sehingga
terjadinya konflik merupakan keniscayaan. Dalam UU No 2/2004 sudah diatur penyelesaian konflik
secara hukum, namun secara empiris model konflik dapat berkembang menjadi unjuk rasa
melibatkan unsur-unsur lain yang tidak termasuk dalam hubungan bipartit secara langsung. Kondisi
ini umumnya mengganggu ketertiban dan keamanan masyarakat sehingga institusi kepolisian
sebagai lembaga yang bertanggung jawab dalam keamanan masyarakat harus melakukan tindakan
penertiban keamanan sesuai hukum yang berlaku.
15
Tata kelola sistem outsourcing dalam HI merujuk Teori Prinsipal Agen menekankan penerapan tiga
mekanisme pengelolaan untuk pokok masalah moral hazard yang terjadi pada kasus outsourcing,
yaitu mekanisme insentif menekankan optimalisasi pemberian upah yang memberi keuntungan
semua stakeholders melalui upah minimum dan penyelenggaraan jaminan sosial bagi kesejahteraan
karyawan, keamanan dan keberlanjutan perusahaan. Iklim usaha dan pendapatan daerah yang
meningkat diterjemahkan melalui mekanisme kontrol pada implementasi UU No 13/2003 dan
Permenakertrans No 19/2012. Sedangkan, mekanisme informasi dimaknai sebagai pengukuran
kinerja perusahaan pemborong kerja maupun penyedia jasa pekerja dalam memberikan jasanya.
Implementasi kebijakan sistem outsourcing, PKWT, dan pengaturan waktu kerja yang saat ini sedang
berjalan merupakan konsep flexibility numerik external, flexibility numerik internal, dan flexibility
fungsional. Terkait sistem outsourcing dan PKWT, bentuk flexibility dalam UU No 13/2003 dapat
dilihat pada pasal 64 tentang penyerahan pelaksanaan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain
yang kemudian disebut outsourcing, dan pasal 56 tentang PKWT. Pasal 57, 58 dan 59, serta pasal 65
dan 66 UU No 13/2003 merupakan prasyarat yang harus dipenuhi untuk melaksanakan pasal 64 dan
56. Prasyarat tersebut merupakan bentuk perlindungan pemerintah terhadap keamanan pekerja di
dalam HI, sehingga flexicurity sebagai sebuah konsep sistem tenaga kerja, yang memberikan
flexibilitas kepada perusahaan tetapi tetap menjamin keamanan karyawan secara utuh, dapat dilihat
pada kebijakan ketenagakerjaan (UU No 13/2003). Dengan demikian, konstruksi arah kebijakan
ketenagakerjaan di Indonesia, dimungkinkan bergerak menuju pada konsep flexicurity, sepanjang
implementasi kebijakan sesuai kaidah tata kelola sistem outsourcing.
Implikasi hasil pemodelan secara operasional adalah penguatan Trilogi HI, yaitu: kesejahteraan
karyawan, keamanan dan keberlanjutan perusahaan, serta iklim usaha yang kondusif di Kabupaten
Bekasi akan menciptakan lapangan kerja baru sehingga penyerapan tenaga kerja menjadi semakin
baik dan menurunnya tingkat kriminalitas serta pendapatan pemerintah daerah yang meningkat.
Sedangkan implikasi hasil permodelan dalam tataran kebijakan adalah kontrol implementasi UU dan
16
regulasi, yang memberikan stimulan terhadap pemerintah untuk diterbitkan dan ditetapkan regulasi
turunan, sebagai pedoman pelaksanaan UU maupun regulasi yang terkait.
5.2. Kesimpulan
1. Sistem outsourcing merupakan manajemen strategik perusahaan. Mengacu Permenakertrans No
19/2012, dalam proses outsourcing maka perusahaan diharuskan melaksanakan analisis alur
proses untuk menentukan pekerjaan core business dan noncore business, dimana hanya pekerjaan
noncore business yang diperbolehkan di-outsourcing.
2. Pemahaman karyawan secara individu terhadap UU No 13/2003 utamanya pasal 59 masih sangat
rendah sehingga tidak bisa berperan sebagai kontrol kebijakan dalam implementasi kebijakan
outsourcing yang dilakukan oleh perusahaan.
3. Sistem pengawasan dan penindakan sebagai fungsi yang diamanahkan pasal 102 ayat 1 UU No
13/2003 terhadap pemerintah masih lemah. Hal ini disebabkan sistem dan mekanisme
pengawasan serta penindakan, sistem informasi dan komunikasi, data base, dan sistem rekruitmen
tenaga pengawas di Disnaker Kabupaten Bekasi kondisi saat ini masih sangat terbatas dan belum
memadai.
4. Model konseptual integrasi manajemen kebijakan outsourcing dalam perspektif HI dibangun
dalam rangka meningkatkan kualitas implementasi kebijakan strategik UU No 13/2003 dan
Permenakertrans No 19/2012 agar tercipta kesejahteraan karyawan, keamanan dan keberlanjutan
perusahaan, serta iklim usaha yang kondusif di wilayah Kabupaten Bekasi.
5. Sebelumnya kebijakan strategik UU No 13/2003 dan Permenakertrans No 19/2012 tidak disertai
model yang mengintegrasikan perencanaan, koordinasi, dan kontrol aktivitas pihak-pihak yang
terlibat di dalam HI sehingga fungsi dan tanggung jawab masing-masing pihak sesuai amanah
pasal 102 ayat 1, 2 dan 3 UU No 13/2003 tidak berfungsi secara efektif akan menyebabkan
terjadinya konflik HI yang terus menerus.
5.3. Rekomendasi
17
1. Segera ditetapkan kriteria analisis alur proses serta tools pengukuran analisis alur proses yang
akan dipergunakan oleh perusahaan maupun asosiasi sektor usaha untuk menetapkan alur proses
dalam sebuah perusahaan.
2. Dalam jangka menengah dan panjang, untuk menciptakan HI harmonis harus didukung dengan
sistem pembelajaran HI berupa sosialisasi pra kerja dan edukasi selama bekerja.
3. Sistem pengawasan dan penindakan sebagai fungsi yang diamanahkan pasal 102 ayat (1) UU No
13/2003 terhadap pemerintah harus didukung sistem berbasis teknologi informatika, seperti
sistem komunikasi dan data base yang representatif, penggunaan perangkat keras (komputer) dan
perangkat lunak (program) yang memadai, serta sistem rekruitmen tenaga pengawas yang baik
untuk mendapatkan SDM berkualitas
4. Penelitian berikutnya yang dibutuhkan dalam rangka memperkuat efektifitas implementasi model
kebijakan outsourcing adalah hubungan antara praktik HI dengan perubahan sosial budaya
masyarakat di lingkungan kawasan industri.
DAFTAR PUSTAKA
Atkinson, J. (1984). Flexibility, Uncertainty and Man Power Management. IMS Report No 89.
Brighton (GB): Institut of Man Power Studies.
Azis. (2003). Analytic Network Process with Feedback Influence: a New Approach to Impact Study.
URL:http://www.iwanazis.net/papers/Azis-JKIM-Paper.pdf [diakses 2 Februari 2013].
Bamber, GJ., Lansbury, RD and Wailes, N. (2010). The Global Financial Crisis and its Impact on
Employment Relations: An Internationally Comparative Approach. Fifth Edition. London
(GB): SAGE.
Beaumont, N and Sohal, A. (2004). Outsourcing in Australia. International Journal of Operation
and Production Management (AU). Vol 24.
Bruttel, O. (2005). Contracting-Out and Governance Mechanisms in the Public Employment Service.
Discussion Paper. Bestell-Nr (DK): SPI.
18
Chung, H. (2007). Flexibility for Employers or Employees? A New Approach to Examining Labour
Market Flexibility Across Europe Using Company Level Data. In: Jorgensen H, Madsen
PK. 2007. Flexibility and Beyond. Copenhagen (DK): DJOF Publishing.
Checkland, P. (2000). Soft Systems Methodology: a Thirty Year Retrospective. Systems Research
and Behavioral Science. Nov (17). US: ABI/INFORM Complete.
Checkland P and Poulter J. (2006). Learning for Action. England (GB): John Wiley & Sons Ltd.
Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia. 2012. Peraturan Menteri Tenaga
Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor: 19/2012 tentang Syarat-syarat
Penyerahan sebagian Pelaksanaan Pekerjaan kepada Perusahaan Lain. Jakarta (ID):
Sekretariat Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
Dettmer, HW. (2007). The Logical Thinking Process: a Systems Approach to Complex Problem
Solving. Milwaukee, Wisconsin (US): ASQ Quality Press.
Ellarm, L and Billington, C. (2001). Purchasing Leverage Considerations in The Outsourcing
Decision. European Journal of Purchasing & Supply Management. Vol 1 No 7.
Eriyatno. (2012). Ilmu Sistem Meningkatkan Mutu dan Efektivitas Manajemen. Jilid Satu. Edisi
Keempat. Surabaya (ID): Guna Widya.
Eriyatno dan Sofyan F. (2007). Riset Kebijakan Methoda Penelitian untuk Pasca Sarjana. Bogor
(ID): Institut Pertanian Bogor Press.
Feeny, DF., Lacity, MC and Willcocks, LP. (2005). Taking Te Measure of Outsourcing Providers.
MIT Sloan Management Review. Vol 3 No 46: 41-48.
Garaventa, E and Tellefsen, T. (2011). Outsourcing: The Hidden Costs. Review of Business Journal.
Vol 22. Spring (GB).
Hardjosoekarto,S.(2012) Soft System Methodology, Jakarta. UI Press
Jepsen, M and Klammer, U.(2004). Editorial Transfer-European Review of Labour and Research.
Vol 10. No 2: 157-159.
Karthikeyan, S., Bhagat, M and Kannan, NG. (2011). Making the HR Outsourcing Decision-Lessons
from The Resource Based View of The Firm. IJBIT. Vol 5.
19
Lacity, M., Willcocks, L and Rottman, J. (2008). Global Outsourcing of Back Office Services:
Lessons, Trends, and Enduring Challenges. Outsourcing: An International Journal. Vol 1
No 1: 13-34.
Mangkuprawira, S. (2009). Bisnis, Manajemen, dan Sumber Daya Manusia. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.
Pemerintah Republik Indonesia. 2003. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 tentang
Ketenagakerjaan. Jakarta (ID): Sekretariat Negara..
Rogowski, R. (2007). Flexicurity and Reflexive coordination of European social and Rogowski R.
2007. Flexicurity and Reflxive Coordination of European Social and Employment Policies.
In: Jorgensen H and Madsen PK. 2007. Flexibility and Beyond. Copenhagen (DK): DJOF
Publishing.
Saaty, TL. (2003). The Analytic Hierarchy Process. Beccles Sufolk (US): Mc graw-Hill Inc.
Salamon, M. (2000). Industrial Relations, Theory and Practice. 4th Edition. US: Prentice Hall.
Sargent, RG. (1998). Verification and Validation Of Simulation Models. Proceedings of the 1998
Winter Simulation Conference.
Sutedi, A. (2009). Hukum Perburuhan. Jakarta (ID): Sinar Grafika.
Suwarto. (2000). Prinsip-prinsip Dasar Hubungan Industrial. Unpublished.
Tunggal, AW. (2008). Outsourcing Konsep dan Kasus. Jakarta (ID): Harvarindo.
Toha, S. (2010). Laporan Akhir Penelitian Hukum tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial. Jakarta (ID): Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementrian Hukum dan HAM
RI.
Utama, M. (2004). Komite Audit, Good Corporate Governance dan pengungkapan informasi. Jurnal
Akutansi dan Keuangan Indonesia. Departemen Akutansi FEUI. Vol 1: 61-79.
Wahyudi, C. (2011). Permasalahan Outsourcing Berdasarkan Enam Teori Outsourcing Teknologi
Informasi Studi Kasus: Direktorat Jenderal Perbendaharaan. e-Indonesia Initiative 2011.
Konferensi Teknologi Informasi dan Komunikasi untuk Indonesia. Bandung (ID), 14-15
Juni 2011: 342-348.
20
Wirawan. (2010). Konflik dan Manajemen Konflik. Teori, Aplikasi, dan Penelitian. Jakarta (ID):
Salemba Empat.
Tabel 1. Faktor prioritas utama pada kebijakan outsourcing dalam HI
Prioritas
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
Node
Kemitraan (PAP1)
Kesejahteraan Karyawan (PAP2)
Penyaluran Aspirasi (PSP3)
Rekruitasi dan Pengembangan (OpD2)
Status Kepegawaian (SHI4)
Keberlanjutan (OcD2)
Jaminan Sosial (SHI1)
Pengupahan (SHI3)
Kompensasi (OpD1)
Penindakan (PP4)
Pendisiplinan dan Penertiban Karyawan (PSP1)
Pengawasan (PP3)
Pelayanan (PP1)
Kesejahteraan Perusahaan (OcD3)
Data Base Ketenagakerjaan (IHI1)
Info Aktual Ketenagakerjaan (IHI3)
Mogok Konflik HI (OpTD2)
Pembelajaran (PP2)
Pengembangan Keahlian (PSP2)
PPHI (IHI5)
Perundingan (IHI4)
21
Normalized
By Cluster
0.50519
0.49481
0.48634
0.57582
0.32528
0.46682
0.26855
0.26855
0.42418
0.27007
0.29154
0.26649
0.25023
0.32575
0.19457
0.19457
0.56786
0.21321
0.22212
0.15168
0.15309
Limiting
0.05945
0.05822
0.05703
0.05412
0.05062
0.04388
0.04179
0.04179
0.03987
0.03424
0.03419
0.03378
0.03172
0.03062
0.03028
0.03028
0.02749
0.02703
0.02605
0.02360
0.02382
Gambar 1. Pemeringkatan asumsi strategis dengan teknik SAST
Gambar 2. Rich picture: integrasi manajemen kebijakan outsourcing dalam perspektif HI
22
Gambar 3. Model integrasi manajemen kebijakan outsourcing dalam perspektif HI
23
Download