KERAGAMAN GEN IGF-1 PADA POPULASI KAMBING KACANG DI

advertisement
KERAGAMAN GEN IGF-1 PADA POPULASI KAMBING KACANG
DI KABUPATEN JENEPONTO
SKRIPSI
Oleh:
RIDHA TUNNISA
I 111 09 259
FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2013
KERAGAMAN GEN IGF-1 PADA POPULASI KAMBING KACANG
DI KABUPATEN JENEPONTO
SKRIPSI
Oleh:
RIDHA TUNNISA
I 111 09 259
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana pada Fakultas
Peternakan Universitas Hasanuddin
FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2013
PERNYATAAN KEASLIAN
1. Yang bertanda tangan dibawah ini:
Nama
: Ridha Tunnisa
NIM
: I 111 09 259
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa:
a. Karya skripsi yang saya tulis adalah asli
b. Apabila sebagian atau seluruhnya dari karya skripsi, terutama dalam Bab
Hasil dan Pembahasan tidak asli atau plagiasi maka bersedia dibatalkan
atau dikenakan sanksi akademik yang berlaku.
2. Demikian pernyataan keaslian ini dibuat untuk dapat dipergunakan
sepenuhnya.
Makassar,
Juli 2013
TTD
Ridha Tunnisa
Judul Penelitian
Nama
: Keragaman Gen IGF-1 Pada Populasi Kambing
Kacang Di Kabupaten Jeneponto
: Ridha Tunnisa
No. Pokok
: I 111 09 259
Program Studi
: Produksi Ternak
Jurusan
: Produksi Ternak
Fakultas
: Peternakan
Skripsi ini telah diperiksa dan disetujui oleh:
Pembimbing Utama
Prof. Dr. Ir. Lellah Rahim, M.Sc
NIP. 19630501 198803 1 004
Dekan Fakultas Peternakan
Prof. Dr. Ir. Syamsuddin Hasan, M.Sc.
NIP. 19520923 197903 1 002
Tanggal Lulus :
Juli 2013
Pembimbing Anggota
Dr. Muhammad Ihsan A. Dagong, S.Pt, M.Si
NIP. 19770526 200212 1 003
Ketua Jurusan Produksi Ternak
Prof. Dr. Ir. H. Sudirman Baco, M.Sc.
NIP. 19641231 198903 1 025
ABSTRAK
RIDHA TUNNISA (I 111 09 259). Keragaman Gen IGF-1 Pada Populasi Kambing
Kacang Di Kabupaten Jeneponto. Dibawah bimbingan oleh Lellah Rahim sebagai
Pembimbig Utama dan Muhammad Ihsan A. Dagong sebagai pembimbing anggota.
Penelitian ini bertujuan untuk Mengetahui keragaman gen IGF-1 pada populasi
kambing Kacang dengan metode PCR- RFLP dan mengetahui distribusi alel dan
frekuensi alel / genotipe serta heterosigositas gen IGF-1 pada populasi kambing
Kacang di Kabupaten Jeneponto. Gen IGF-1 merupakan protein pengangkut dalam
darah. Gen ini diindikasikan sebagai gen yang dapat mengontrol sifat pertumbuhan
pada ternak yang berpusat pada sel somatik. PCR digunakan untuk mengamplifikasi
fragmen DNA dari gen IGF-1 exon 4. Keragaman genetik pada IGF-1 dideteksi
dengan memotong amplimer dengan enzim retriksi HaeIII. Hasil penelitian ini
menunjukkan ada keragaman genetik ( polimorfik ) karena ditemukan dua alel pada
populasi tersebut. Frekuensi Alel A 0.09574 dan Alel B 0.0426. Nilai Heterozigositas
harapan (He) rendah karena frekuensi genotip AB rendah. Nilai chi- square 0.068 (P<
0,05) menunjukkan bahwa IGF-1|HaeIII berada dalam kesetimbangan HardyWeinberg.
Kata kunci : keragaman genetik, IGF-1|HaeIII, Kambing Kacang
ABSTRACT
RIDHA TUNNISA ( I11109 259). IGF-1 gene diversity in Kacang goat populations
from Jenneponto. Under guidance by Lellah Rahim as main supervisor and
Muhammad Ihsan A Dagong as co- supervisor.
The aim of this study to indentify IGF -1 gene diversity in Kacang goat with PCRRFLP methods and to determine the distribution of alleles, genotype frequency and
heterozigosity of IGF-1 gene. IGF-1 was a carrier protein in the blood. The gene that
encode IGF-1 roles the growth of somatic cells. A PCR-RFLP method was used to
amplify DNA fragment of the IGF-1 gene (exon 4). To indentify the polymorphisms
in IGF-1 gene the amplycon were cut by HaeIII restriction enzyme. The result of the
research identify polymorphisms in IGF-1 (exon 4) and found two alleles in the
Kacang goat populations. The Allele A frequency was 0.9574 while B 0.0426. The
value of expected heterozigosity (He) was low due to the low frequency of AB
genotype. Chi- square value 0.068 (P<0,05) showed that IGF-1|HaeIII were in HardyWeinberg equilibrium.
Key words : Genetic polymorphisms, IGF-1|HaeIII, Kacang goat
KATA PENGANTAR
Bismillahirahmanirahim…..
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan
hidayah-Nya sehingga Tugas Akhir / Skripsi ini dapat diselesaikan dengan tepat
waktu. Skripsi dengan judul “ Keragaman Gen IGF-1 (Insulin like growth factor 1)
Pada Populasi Kambing Kacang Di Kabupaten Jeneponto ” Sebagai Salah Satu
Syarat untuk memperoleh Gelar Sarjana pada Fakultas Peternakan Universitas
Hasanuddin, Makassar.
Ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya penulis hanturkan
dengan penuh rasa hormat kepada :
1. Secara khusus penulis mengucapkan banyak terima kasih yang sebesar- besarnya
kepada kedua orang tua tercinta Rusli Hanreng dan Fatmawty, S.Pd atas segala
doa yang tak henti-hentinya dihanturkan, segala kasih sayang, motivasi serta
materi yang diberikan kepada penulis, dan saudara- saudara, kakak tersayang
Rezki Tunnisa, S.KM dan adik-adik tercinta Rahmat Maulana, Nurul Fahmi
dan Wahyu Ahmadi yang telah menceriakan penulis selama ini.
2. Prof. Dr. Ir. Lellah Rahim, M.Sc selaku pembimbing utama dan Dr.
Muhammad Ihsan A. Dagong, S.Pt, M.Si selaku pembimbing anggota yang tak
hentinya membagi ilmunya, meluangkan waktunya serta segala keikhlasanya
untuk memberikan bimbingan, nasehat dan saran mulai dari awal penelitian
sampai penulisan skripsi ini.
3. Bapak Prof. Dr. Ir. Sjamsuddin Garantjang, M.Sc. selaku Penasehat
Akademik.
4. Prof. Dr. Samsuddin Hasan, M.Sc selaku Dekan Fakultas Peternakan dan
seluruh Staf Pegawai Fakultas Peternakan, terima kasih atas segala bantuan kepada
penulis selama menjadi mahasiswa.
5. Prof. Dr. Ir. H. Sudirman Baco, M,Sc selaku ketua Jurusan Produksi Ternak
beserta seluruh Dosen dan Staf jurusan Produksi Ternak atas segala bantuan
kepada penulis selama menjadi mahasiswi.
6. Ibu Dosen drh. Farida Nur Yuliati, M.Si sebagai Koordinator Laboratorium
Ilmu Kesehatan Ternak, dan drh. Kusumandari Indah Prahesti Terima kasih
atas bimbingan, nasehat-nasehat, dan dukungannya kepada Penulis
7. Sahabat-sahabat ”Merpati 09”, tanpa terkecuali terima kasih yang setinggitingginya
serta penghargaan yang sebesar-besarnya atas segala cinta,
pengorbanan, bantuan, pengertian, canda tawa serta kebersamaan selama ini,
waktu yang dilalui sungguh merupakan pengalaman hidup yang berharga dan tak
mungkin untuk terlupakan dan terima kasih telah memberiku sedikit tempat di
hatimu untuk menjadikanku sahabat dan teriring dengan doa semoga rekan dan
sahabatku sukses selalu.
8. Teman KKN Posko XI Salokaraja, Andi Evan, Farel, Bustanil Yasir, Nurul
Husin, Andi Putri L, Herin, Dian dan Yuli terima kasih atas pertemuan singkat
tapi untuk persahabatan selamanya.
9. Terima kasih kepada Rekan-Rekan Asisten Mikrobiologi Hewan ( Milo, k’ Pury,
Andi, Wheny, Khy2) dan asisten Ilmu Kesehatan Ternak ( K’ Tury, k’ Nhu2,
Milo, Jahid, Amril ) atas bantuan dan canda tawa selama penulis kuliah di Fakultas
Peternakan.
10. Terima kasih kepada semua teman –teman sepenelitian (K’ Nurul, Yuli, K’ Yuli)
dan K’ Try di Laboratorium terpadu atas kesempatan yang diberikan untuk
melakukan penelitian.
11. Sahabat- sahabat terdeka atas segala bantuannya kepada penulis, yang telah
menerima dan mendengar segala curahan hati penulis.
12. Kepada Senior- Junior Lebah 05, Colagen 06, Rumput 07, Bakteri 08, Antraks
09, dan Lion 10.
13. Saudara Hendra Setiawan yang telah menjadi sahabat, kekasih dan Insya Allah
menjadi teman hidup kelak. Amin
14. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebut satu persatu, Terimah Kasih atas
bantunnya.
Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih terdapat kekurangan
dan kesalahan. Penulis mengharapkan kritikan dan saran yang sifatnya membangun
demi kesempurnaan skripsi ini.
Makassar, Juli 2013
Ridha Tunnisa
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN SAMPUL ...................................................................................
i
HALAMAN JUDUL ......................................................................................
ii
PERNYATAAN KEASLIAN ........................................................................
iii
HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................
iv
ABSTRAK ......................................................................................................
v
ABSTRACT ....................................................................................................
vi
KATA PENGANTAR ....................................................................................
vii
DAFTAR ISI ...................................................................................................
x
DAFTAR TABEL ..........................................................................................
xii
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................
xiii
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................
xiv
PENDAHULUAN ...........................................................................................
1
TINJAUAN PUSTAKA
A.
B.
C.
D.
E.
F.
G.
Sistematika dan Klasifikasi Kambing ............................................
4
Karakteristik Kambing Kacang ......................................................
5
Keragaman Genetik ........................................................................
6
Penanda DNA Terciri (Marker Assisted Selection) .......................
9
Kandidat Gen untuk Sifat Produksi ................................................
11
Insulin Like Growth Factor 1 (IGF-1) ............................................
13
Analisa DNA dan Polymerase Chain Reaction –Restriction Fragment
Lenght Polymorphisims (PCR-RFLP) ............................................
15
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat ...............................................................................
Materi Penelitian .................................................................................
Tahapan Penelitian ...............................................................................
Analisa data .........................................................................................
21
21
21
24
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Amplifikasi Gen IGF-1 pada Kambing Kacang .............................
B. Identifikasi varian Gen IGF-1 exon 4 pada Kambing dengan metode
PCR-RFLP………………………………………………………
C. Frekuensi Genotip, Alel dan Kesetimbangan Hardy- Weinberg…
D. Nilai Heterosigozitas ……………………………………………..
26
27
28
31
PENUTUP
Kesimpulan .....................................................................................................
Saran .................................................................................................................
33
33
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................
34
LAMPIRAN ....................................................................................................
40
RIWAYAT HIDUP
DAFTAR TABEL
No.
1.
2.
3.
4.
Teks
Halaman
Tekhnik Molekuler yang sering digunakan dalam molekuler .....
Squend primer beserta enzim restriksi endoneklease untuk
PCR- RFLP ...................................................................................
Frekuensi Genotip gen IGF-1 | HaeIII…………………………...
Frekuensi Alel dan Kesetimbangan Hardy-Weinberg……………
18
23
26
29
DAFTAR GAMBAR
No.
Teks
Halaman
1. Visualisasi hasil amplifikasi Gen IGF-1 exon 4 pada mesin PCR dalam
gel agarose 1,5 %. M: marker 100bp, 1-9 : sampel kambing Kacang..
2. Visualisasi PCR-RFLP gen IGF-1 pada gel agarose 2%, M: marker
100bp,baris 1,3,5,7 genotip homozigot AA dan baris 2,4,6,8 genotip
heterozigotAB…………………………………………………………
3. Letak squend primer forward dan reverse IGF-1 exon………………..
26
27
29
DAFTAR LAMPIRAN
No.
Halaman
Teks
1. Sequen Gen IGF-1 Lengkap ........................................................................
2. Genotip Kambing Kacang ...........................................................................
3. Analisis Genetik Populasi .........................................................................
40
42
44
PENDAHULUAN
Kambing (Capra hircus) merupakan salah satu jenis ternak yang pertama
dibudidayakan oleh manusia untuk keperluan sumber daging, susu, kulit dan bulu
(Chen et al., 2005). Bukti arkeologi menemukan bahwa kambing merupakan hewan
yang pertama didomestikasi di kawasan Asia Barat sekitar 10.000 tahun lalu (Zeder
and Hesse, 2000).
Kambing merupakan ternak ruminansia kecil yang banyak dipelihara petani
peternak di pedesaan maupun diperkotaan dengan berbagai tujuan, antara lain sebagai
tabungan yang sewaktu-waktu dapat dijual. Ternak ini sangat potensial untuk
dikembangbiakkan dan dimanfaatkan produksi dagingnya, selain dari itu keberadaan
ternak kambing di Indonesia khususnya di Sulawesi Selatan dapat dijadikan sebagai
penyangga kebutuhan konsumsi daging dari banyaknya isu tentang mahalnya harga
daging sapi.
Jenis kambing lokal sangat beragam tergantung tempat kambing tersebut
beradaptasi. Seperti halnya pada kambing Marica dan kambing Kacang yang
merupakan jenis kambing lokal yang ada di Sulawesi Selatan. Termasuk juga
kambing PE (Peranakan Etawa) yang banyak dipelihara di Sulawesi Selatan untuk
menghasilkan susu.
Kambing lokal merupakan sumber daya genetik yang perlu untuk
dikembangbiakkan. Beberapa kelebihan
kambing lokal antara lain kemampuan
bertahan hidup (adaptasi) pada lahan tandus dengan ketersediaan pakan yang terbatas,
serta daya tahan terhadap penyakit. Namun, di antara kelebihan tersebut terdapat
juga beberapa kelemahannya
antara lain performa
bobot badan dan laju
pertumbuhan yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan kambing lokal lainnya.
Keragaman performa tubuh kambing disebabkan oleh beberapa faktor
diantaranya perbedaan genetik yang ada pada ternak tersebut. Maka untuk
meningkatkan performa kambing dapat di identifikasi keragaman dengan gen
pertumbuhan seperti IGF-1 (Insulin Like Growth Faktor). IGF-1 merupakan gen yang
mengontrol pertumbuhan pada kambing yang berpusat pada pertumbuhan sel somatik
setelah kelahiran dan stimulasi proses anabolik (Rotwein et al., 1994).
Kambing adalah sumber daya genetik yang potensial untuk dikembangkan
sebagai ternak alternatif penghasil daging merah. Namun, salah satu kendala dalam
pengembangan kambing adalah masih beragamnya performa pertumbuhan seperti
karakteristik bobot badan dan dimensi tubuh yang ditemukan di lapangan. Variasi
tersebut kemungkinan besar disebabkan oleh adanya variasi pada gen-gen yang
mengontrol sifat pertumbuhan (kelompok gen pertumbuhan). Salah satu gen yang
terlibat dalam mengontrol sifat pertumbuhan adalah gen
mengidentifikasi keragaman gen
IGF-1, dengan
IGF-1 diharapkan dapat memberikan informasi
yang dapat digunakan dalam program seleksi untuk mendapatkan kambing dengan
sifat pertumbuhan yang unggul.
Berdasarkan uraian tersebut di atas maka perlu dilakukan penelitian untuk
mengindentifikasi keragaman gen yang mengontrol sifat pertumbuhan dan produksi
pada kambing lokal sebagai dasar informasi genetik yang dapat dimanfaatkan untuk
mengembangkan strategi seleksi untuk meningkatkan mutu genetik kambing lokal
yang ada di Sulawesi Selatan khususnya di Kabupaten Jeneponto.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui keragaman (polimorfisme)
gen IGF-1 dan distribusi alel dan frekuensi alel / genotipe serta heterosigositas gen
IGF-1
pada populasi kambing Kacang di Kabupaten Jeneponto. Kegunaan dari
penelitian ini untuk memberikan informasi awal kepada peneliti, peternak dan
pengambil kebijakan dalam program seleksi untuk mendapatkan kambing dengan
sifat pertumbuhan yang unggul.
TINJAUAN PUSTAKA
A. Sistematika dan Klasifikasi Kambing
Menurut Devandra dan Mcleroy (1982), sistematika kambing adalah sebagai
berikut :
Kingdom : Animals
Phylum
: Chordata
Group
: Cranita (Vertebrata)
Class
: Mammalia
Order
: Artiodactyla
Sub Order : Ruminantia
Famili
: Bovidae
Sub Famili : Caprinae
Genus
: Capra
Spesies
: Capra hircus, Capra ibex, Capra caucasica, dll.
Kambing termasuk sub order ruminansia (karena memilik 4 bagian perut dan
mengunyah makanannya). Kambing betina biasanya bertanduk lebih kecil dari
kambing jantan. Kambing adalah salah satu hewan ruminansia terkecil yang
didomestikasi, dijinakkan dan dipelihara oleh manusia paling awal atau paling tidak
nomor dua setelah anjing. Berdasarkan informasi sisa fosil, kambing merupakan
hewan berkuku yang dijinakkan hampir bersamaan dengan domba bahkan lebih
dahulu dibandingkan sapi (Rahma, 2007).
Beberapa breed kambing di dunia dipelihara dengan cara domestikasi, seperti
Capra hircus (merupakan keturunan dari kambing bezoar). Kambing didomestikasi
dan dijadikan hewan ternak. Kambing juga merupakan hewan pemenuh kebutuhan
protein, serat dan kulit di dunia (Rahma, 2007).
Di Indonesia ada beberapa bangsa kambing yang sudah dikarakterisasi
fenotipenya. Dari bangsa kambing lokal Indonesia tersebut yang termasuk kategori
besar adalah kambing Peranakan Etawa (PE) dan kambing Muara, kategori sedang
adalah kambing Kosta, Gembrong dan kategori kecil adalah kambing Kacang,
kambing Samosir dan kambing Marica. Diperkirakan masih banyak lagi bangsa
kambing lokal Indonesia yang belum dapat dikarakterisasi dan sebagian mungkin
sudah hampir punah atau jumlah populasinya sudah mendekati punah yang belum
sempat dieksplorasi potensi keragaman genetiknya untuk dimanfaatkan sebagai
sumber peningkatan mutu genetik kambing di Indonesia (Anonim, 2007).
B. Karakteristik Kambing Kacang
Kambing Kacang merupakan kambing lokal Indonesia, memiliki daya
adaptasi yang tinggi terhadap kondisi alam setempat serta memiliki daya reproduksi
yang sangat tinggi. Kambing Kacang jantan dan betina keduanya merupakan tipe
kambing pedaging. Kambing Kacang sangat cepat berkembang biak, pada umur 1518 bulan sudah bisa menghasilkan keturunan. Kambing ini cocok sebagai penghasil
daging dan kulit dan bersifat prolifik, sifatnya lincah, tahan terhadap berbagai kondisi
dan mampu beradaptasi dengan baik di berbagai lingkungan yang berbeda termasuk
dalam kondisi pemeliharaan yang sangat sederhana (Anonim, 2007).
Kambing Kacang memiliki ukuran tubuh yang relatif kecil dengan bobot
badan kambing jantan dapat mencapai 36 kg dan betina mencapai 30 kg. Persentase
karkas berkisar antara 47,40 – 51,30 %. Reproduksi ternak kambing bersifat prolifik
dengan rata-rata jumlah anak perkelahiran 1,78 ekor pada kondisi laboratorium dan
berkisar antara 1,45 – 1,76 pada kondisi usaha peternakan di pedesaan ( Rahim dkk,
2012). Umur pubertas kambing jantan adalah 7 bulan, sedangkan betina 6 bulan.
Umur beranak pertama berkisar antara 12 - 13 bulan. Jumlah kelahiran kembar pada
kambing Kacang tergolong tinggi dimana kelahiran kembar tiga umum terjadi dan
kelahiran kembar empat (Herman et al.,1983).
C. Keragaman Genetik
Pengertian keragaman hayati atau biodiversitas mengacu pada macam dan
kelimpahan spesies, komposisi genetik, komunitas, ekosistem dan bentang alam
tempat hidupnya. Biodiversitas mencakup tumbuhan, binatang, jamur, bakteri dan
mikroorganisme yang lain. Biodiversitas juga mengacu pada keragaman gen, spesies
dan ekosistem. Keragaman genetik mencakup variasi dalam material genetik, seperti
gen dan kromosom. Keragaman spesies (taksonomi) kebanyakan diintepretasikan
sebagai variasi di antara dan di dalam spesies, mencakup variasi satuan taksonomi
seperti filum, famili, genus dan sebagainya (Indrawan dkk., 2007).
Keragaman genetik terdapat dalam empat level organisasi: antar spesies, antar
populasi, antar individu,dalam populasi dan dalam individu. Keragaman antar spesies
sebagai manifestasi dari keragaman genetik walaupun pembedaan spesies dengan
mudah tanpa mengetahui komposisi gennya (Indrawan dkk., 2007). Keragaman
genetik dalam sebuah populasi organisme terutama dihasilkan oleh tiga mekanisme;
mutasi, perpasangan alel secara bebas atau rekombinasi dan migrasi gen dari satu
tempat ketempat lain (Suryanto, 2003; Elrod dan Stansfield, 2007).
Keragaman genetik di antara populasi dari suatu spesies bisa sangat besar.
Demikian juga dalam populasi kebanyakan populasi alami, perbedaan genetik di
antara individu sering juga besar. Akhirnya keragaman genetik terdapat di dalam
suatu individu bilamana ada dua alel untuk gen yang sama merupakan perbedaan
konfigurasi DNA yang menduduki lokus yang sama pada suatu kromosom
(Sufro,1994).
Besarnya keragaman di dalam suatu spesies tergantung pada jumlah individu,
kisaran penyebaran geografinya, tingkat isolasi dari populasi dan sistem genetiknya.
Peran penting juga dilakukan oleh proses-proses seleksi alami dan antropogenik, serta
juga faktor-faktor yang berpengaruh pada perubahan spasial dan temporal pada
komposisi genetik dari spesies atau populasi. Keragaman genetik penting bagi
kemampuan spesies dan populasi beradaptasi terhadap perubahan kondisi lingkungan
dan karena itu merupakan persyaratan bagi kelangsungan hidupnya. Keragaman yang
bersifat genetik juga dapat bermanfaat dalam usaha memperbaiki suatu spesies yang
dibudidayakan melalui kegiatan seleksi dan pemuliaan (Sugama et al., 1998)
Pada spesies yang berkembang biak secara seksual, setiap populasi lokal
mengandung kombinasi gen tertentu. Jadi, suatu spesies merupakan kumpulan
populasi yang berbeda secara genetik satu sama lain.
Perbedaan genetik ini
diwujudkan sebagai perbedaan di antara populasi dalam sifat morfologi, fisiologi,
kelakuan, dan sejarah
hidup
(life history). Sifat-sifat
genetik
(genotipe)
mempengaruhi sifat-sifat yang diekspresikan (fenotipe) (Indrawan dkk., 2007).
Seleksi alami pada awalnya bekerja pada level fenotipik, memihak kepada
atau tidak menguntungkan untuk sifat-sifat yang diekspresikan (fenotipe). Lukang
gen (gene pool) yaitu agregat total gen pada suatu populasi pada suatu waktu, akan
berubah ketika organisme dengan fenotipe yang kompatibel dengan lingkungan akan
lebih mampu bertahan hidup dalam jangka lama dan akan berkembang biak lebih
banyak dan meneruskan gen-gennya lebih banyak pula ke generasi berikutnya (Elrod
dan Stansfield, 2007).
Besarnya keragaman genetik dalam populasi lokal sangat beragam. Populasi
kecil yang berbiak secara aseksual dan terisolasi, sering memiliki keragaman genetik
yang kecil di antara individu, sedangkan pada populasi besar dan berbiak secara
seksual sering memiliki variasi yang besar. Dua faktor utama yang bertanggung
jawab kepada adanya variasi ini, yaitu cara bereproduksi (seksual atau aseksual) dan
ukuran populasi (Indrawan dkk, 2007).
Pada populasi seksual, gen direkombinasi pada setiap generasi, menghasilkan
genotipe baru. Kebanyakan keturunan spesies seksual mewarisi separuh gennya dari
induk betina dan separuhnya lagi dari induk jantan, dengan demikian susunan
genetiknya berbeda dengan kedua induknya atau dengan individu yang lain di dalam
populasi (Elrod dan Stansfield, 2007).
Adanya mutasi yang menguntungkan, yang pada awalnya muncul pada suatu
individu dapat direkombinasi dalam kurun waktu tertentu pada populasi seksual.
Sebaliknya, keturunan individu aseksual secara genetik identik dengan induknya.
Satu-satunya sumber kombinasi gen dalam populasi aseksual adalah mutasi dimana
yang dimaksud adalah perubahan dalam material genetik yang diwariskan ke
keturunannya (Indrawan dkk, 2007).
Mutasi mungkin terjadi spontan (kekeliruan dalam replikasi material genetik)
atau terjadi karena pengaruh faktor eksternal (misal radiasi dan bahan kimia tertentu).
Mutasi terjadi di dalam gen yang terdapat pada molekul DNA (Deoxyribonucleic
acid). Populasi aseksual mengakumulasi keragaman genetiknya hanya pada laju
mutasi gennya. Mutasi yang menguntungkan pada individu aseksual yang berbeda
tidak mungkin mengalami rekombinasi gen dan muncul pada suatu individu seperti
layaknya pada populasi seksual. Kombinasi gen yang menguntungkan akan lebih
besar pada populasi seksual daripada populasi aseksual (Indrawan dkk, 2007).
Dalam jangka panjang, keragaman genetik akan lebih lestari dalam populasi
besar daripada dalam populasi kecil. Melalui efek damparan genetik (genetic drift)
yaitu perubahan dalam gen dari suatu populasi kecil yang berlangsung semata-mata
karena proses kebetulan, suatu sifat genetik dapat hilang dari populasi kecil dengan
cepat (Indrawan dkk., 2007).
D. Penanda DNA Terciri ( Marker Assisted Selection)
Salah satu tahapan penting dalam pemuliaan ternak adalah seleksi terhadap
keturunan yang membawa sifat-sifat tertentu yang diinginkan. Pemanfaatan penanda
molekuler DNA dalam proses seleksi ternak terbukti telah memberikan hasil yang
lebih baik dibandingkan cara-cara konvensional. Penanda molekuler DNA (marker
genetik) yang sudah teridentifikasi berassosiasi dengan QTL (Quantitative Trait Loci)
yang bernilai ekonomis dapat digunakan untuk meningkatkan akurasi, kecepatan dan
intensitas seleksi (Van der Werf, 2000).
Pada pemuliaan ternak secara konvensional, seleksi terhadap keturunan yang
membawa gen tertentu dilakukan pada level fenotipik pada tiap-tiap generasi. Dari
segi pengaruh ekonomi dan waktu, seleksi terhadap ternak yang memiliki keunggulan
genetik berdasarkan sifat fisik yang dapat diamati secara langsung adalah sangat tidak
efektif dan efisien. Walaupun demikian, metode ini telah banyak digunakan terutama
dalam kasus-kasus tertentu seperti diagnosa untuk pembawa penyakit-penyakit
genetik tertentu. Kebutuhan untuk pemuliaan ternak telah mendorong perkembangan
penanda genetik (Marker Assisted Selection/MAS), (Nicholas, 1996).
Penggunaan Marker Assisted Selection (MAS) didasarkan pada gagasan
bahwa terdapat gen yang memegang peranan utama dan menjadi sasaran atau target
secara spesifik dalam seleksi (Van der Werf, 2000). Beberapa sifat yang dikendalikan
oleh gen tunggal seperti warna bulu merupakan pola pewarisan sifat yang sederhana,
namun beberapa sifat utamanya sifat produksi yang kompleks (kuantitatif) dikontrol
oleh banyak gen (polygenes) (Nicholas 1996; Noor 2008). Gen-gen sifat kuantitatif
yang memiliki pengaruh besar merupakan gen-gen yang disebut sebagai gen utama
(major gene) yang terletak pada lokus sifat kuantitatif (QTL). Marker gen telah
banyak digunakan untuk mengidentifikasi ternak sapi yang memiliki performa lebih
bagus pada beberapa sifat komersial seperti kualitas daging (keempukan) (Barendse et
al. 2008).
Implementasi MAS yang dikombinasikan dengan teknologi reproduksi dalam
industri peternakan telah menguasai pasaran genetik dalam bisnis global. Hal ini telah
memungkinkan plasma nutfah dari suatu individu menghasilkan keturunan dalam
jumlah besar untuk kemudian dievaluasi secara genetik dalam berbagai manajemen
dan lingkungan. Kombinasi seleksi menggunakan Marker DNA Terciri (Marker
Assisted Selection/MAS) dengan Teknologi reproduksi dapat memperpendek interval
generasi sekitar 45 – 69 bulan pada sapi. (Bishop et al., 1995) dan mempercepat
kemajuan genetik yang diinginkan pada ternak.
E. Kandidat Gen untuk Sifat Produksi
Strategi kandidat gen adalah salah satu teknik biologi molekuler untuk
mengidentifikasi variasi sifat genetik pada lokus spesifik dan assosiasi antara variasi
pada lokus sifat kuantitatif (Quatitatif Traits Loci/QTL) dengan sifat produksi pada
ternak. Beberapa kandidat gen telah diketahui berhubungan dengan pertumbuhan
pada ternak, yaitu : myostatin, insulin-like growth factor-1 (IGF-1), Pit-1, growth
hormone dan growth hormone receptor (GHR). Mutasi atau polimorfisme nukleotida
tunggal (single nucleotide polymorphisms/SNP) pada gen-gen tersebut akan
mempengaruhi proses metobolisme dalam tubuh ternak yang kemudian berpengaruh
terhadap laju pertumbuhan pada ternak.
Hormon pertumbuhan (GH) berperan sebagai regulator utama metabolisme
dan pertumbuhan setelah kelahiran pada hewan menyusui dan mempengaruhi laju
pertumbuhan, komposisi tubuh, kesehatan, produksi susu, dan lama mengeram
melalui modulasi banyak gen termasuk insulin-like growth factor I (IGF-I)
(Sumantran et al., 1992; Ho dan Hoffman, 1993; Lincoln et al., 1995).
Growth hormone receptor (GHR) memediasi aktivitas biologi hormon
pertumbuhan pada sel target melalui transduksi myogenic-stimulating signal melewati
membran sel dan menginduksi beberapa gen termasuk IGF-1 (Rotwein et al., 1994;
Argetsinger dan Carter-Su, 1996). Mutasi pada
GHR gen dapat menyebabkan
keterlambatan pertumbuhan pada manusia dikenal sebagai GH resisten atau GH
insensitif (Rosenbloom et al., 1997). Oleh karena itu, GH dan GHR gen adalah
kandidat gen yang penting untuk mengidentifikasi penanda genetik pertumbuhan,
karkas, dan produksi susu pada ternak.
Growth hormone factor-1/pituitary-specific transcription factor Pit-1 gen juga
merupakan salah satu kandidat gen yang telah teruji sebagai sebagai marker genetik.
Pit-1 merupakan suatu faktor transkripsi spesifik-pituitary yang bertanggung jawab
terhadap pengembangan pituitary dan ekspresi hormon pada mammalia (Cohen et al.,
1997). Hal ini menunjukkan adanya pengontrolan transkripsi terhadap hormon
pertumbuhan, prolactin (Nelson et al., 1988; Mangalam et al.,1989), thyroidstimulation hormon, ß- subunit (Simmons et al., 1990; Steinfelder et al., 1991),
GHRH receptor gen (Lin et al., 1992), dan Pit-1 gen itu sendiri (Rhodes et al., 1993).
Leptin adalah regulator penting metabolisme energi, konsumsi pakan,
pertumbuhan adiposa dan sifat reproduksi pada sapi. Leptin juga terlibat dalam
regulasi berat badan dan dapat dijadikan sebagai salah satu penanda biologi terbaik
untuk sifat kegemukan pada binatang dan manusia (Oprzadek et al., 2003; Münzberg
et al., 2005). Beberapa penelitian telah melaporkan
assosiasi antara konsentrasi
serum leptin dengan depot adipose karkas dan karakteristik karkas pada sapi ( Minton
et al., 1998; Geary et al., 2003). Polimorfisme gen leptin dapat mempengaruhi
pengaturan gen dan mempengaruhi pertambahan berat badan. Beberapa mutasi pada
sapi FH berassosiasi dengan produksi susu, konsumsi pakan dan konsentras plasma
leptin selama kehamilan (Liefers et al., 2005).
F. Insulin - Like Growth Factor 1 (IGF-1)
Insulin-like growth factors adalah protein pengangkut di (dalam) darah. Nama
Insulin-like growth factors diberikan kepada molekul ini karena persamaan struktural
dengan hormon insulin. Saat ini, IGF-I merupakan subjek riset dibidang peternakan
dalam kaitan dengan pengaruhnya terhadap berbagai proses metabolisme di dalam
tubuh. Insulin-like growth factor-I (IGF-I) adalah suatu polipeptida yang
meningkatkan perkembangbiakan sel (Svoboda dan Van Wyk, 1983) dan
pengambilan gula oleh sel (Poggi et al., 1979).
Beberapa peneliti telah melaporkan korelasi antara konsentrasi IGF-I dengan
berbagai sifat kuantitatif, diantaranya adalah berat sapih, berat pasca-sapih (Davis
dan Simmen, 1997), laju pertumbuhan pada babi (Buonomo et al., 1987),
pertumbuhan janin pada domba (Gluckman et al., 1983), ukuran tubuh, berat janin,
total berat placental, dan berat kelenjar susu pada tikus (Kroonsberg et al., 1989), dan
dengan pertumbuhan pada manusia (Merimee et al., 1982).
Insulin-like Growth Factor 1 (IGF1) adalah peptida kecil dari 70 asam amino
dengan massa molekul 7649 Da (Laron, 2001) yang muncul pada tahap sangat awal
dalam evolusi vertebrata dari gen insulin-jenis tetuanya (Chang et al. 1990). IGF 1
pertama kali diidentifikasi pada tahun 1950 dan bernama sulphation faktor (Salmon
dan Daughaday 1957). IGF 1 juga dikenal sebagai non-insulin-suppressible (Froesch
et al. 1963) dan somatomedin C (Daughaday et al. 1972). Nama IGF 1 diadopsi pada
tahun 1970 karena kesamaan struktur dengan insulin dan mempromosikan kegiatan
pertumbuhan (Rinderknecht dan Humbel 1976).
IGF-1 dan IGF-2 diatur oleh keluarga protein yang dikenal sebagai IGFBinding Protein. Protein ini membantu untuk memodulasi kerja IGF dengan cara
yang rumit yang melibatkan tindakan IGF menghambat dengan mencegah mengikat
reseptor IGF-1 serta mempromosikan tindakan IGF dengan membantu dalam
pengiriman ke reseptor dan meningkatkan waktu paruh IGF. Saat ini, ada 6 IGFBinding Protein yang telah ditandai (IGFBP1-6). Saat ini data yang signifikan
menunjukkan bahwa IGFBPs memainkan peran penting selain kemampuan mereka
untuk mengatur IGFs (Anonim, 2012)d.
Insulin like growth factors (IGFs) memiliki struktur dan fungsi yang sama
seperti insulin, dan dapat dibagi menjadi IGF-1 dan IGF-2, yang keduanya
mengerahkan tindakan biologis pada perkembangan embrio dan pertumbuhan. IGF1
adalah salah satu dari dua ligan dari sistem IGF. Sistem IGF juga mencakup dua
reseptor, enam afinitas tinggi IGF binding protein (IGFBPs) dan protease IGFBP
(Hwa et al, 1999). IGF 1 mengerahkan dampaknya pada proliferasi sel, diferensiasi,
dan kelangsungan hidup melalui reseptor sendiri (Benito et al, 1996;. Vincent and
Feldman 2002).
Pada vertebrata, insulin-like growth factor 1 (IGF1) atau gen somatomedin
memainkan peran kunci dalam berbagai proses fisiologis dan metabolisme, di mana
IGF1 dan hormon pertumbuhan atau somatotrophin terlibat dalam poros
somatotropik. IGF1 adalah mediator berbagai pengaruh biologi, misalnya,
meningkatkan penyerapan glukosa, merangsang myogenesis, menghambat apoptosis,
berpartisipasi dalam aktivasi genetik siklus sel, meningkatkan sintesis lipid,
merangsang produksi progesteron dalam sel granular, dan intervensi dalam sintesis
DNA, protein, RNA, dan dalam proliferasi sel (Etherton, 2004). IGF-1 telah terbukti
untuk meningkatkan tingkat dan jangkauan perbaikan otot setelah cedera dan
meningkatkan laju pertumbuhan otot dari pelatihan (Anonim, 2012)b.
IGF-1 terutama diproduksi oleh hati sebagai hormon endokrin, serta dalam
jaringan target parakrin / otokrin. Produksi IGF-1 dirangsang oleh hormon
pertumbuhan (GH) dan dapat dihambat oleh kekurangan gizi, ketidakpekaan hormon
pertumbuhan, kurangnya reseptor hormon pertumbuhan, atau kegagalan jalur sinyal
pasca reseptor GH hilir, termasuk SHP2 dan STAT5B. Sekitar 98% dari IGF-1 selalu
terikat ke salah satu dari 6 protein mengikat (IGF-BP). IGFBP-3, protein yang paling
berlimpah, menyumbang 80% dari semua yang mengikat IGF. IGF-1 mengikat ke
IGFBP-3 dalam molar rasio 1:1 (Anonim, 2012)c.
G. Analisa DNA dan Polymerase Chain Reaction –Restriction Fragment
Lenght Polymorphisims (PCR-RFLP)
Semua benda hidup, baik tumbuhan maupun hewan, disusun oleh satuan
terkecil yang disebut sel. Sel terdiri dari tiga bagian utama, yaitu : sitoplasma,
nukleus dan membran sel. Nukleus mengandung bahan genetik sel, yang disebut
kromatin pada sel yang tidak membelah, dan disebut kromosom pada sel yang sedang
membelah. Pada nukleus sel somatik terdapat informasi yang diperlukan untuk
menentukan bentuk serta struktur sel-sel baru, sedangkan nucleus sel-sel kelamin
mengandung informasi-informasi yang diperlukan untuk menentukan karakteristik
individu baru (Frandson, 1996). Fungsi dari inti sel adalah mengatur semua aktivitas
(kegiatan) sel. Hal ini karena di dalam inti sel terdapat kromosom yang berisi DNA
(Deoksiribo Nucleic Acid) yang mengatur sintesis protein (Anonim, 2012)a.
Di dalam kromosom terdapat suatu bentukan yang disebut gen. Gen tersebut
berjajar sepanjang kromosom, sehingga kromosom merupakan suatu jajaran gen yang
berderet secara linier seperti kalung manik-manik. Gen merupakan unit pewaris sifat
yang keberadaannya dapat diketahui dari pengaruhnya terhadap sifat fenotipiknya.
Posisi gen di dalam kromosom adalah tertentu, sehingga dapat dikatakan bahwa gen
membentuk suatu pola tertentu sepanjang kromosom. Gen menentukan urutan-urutan
pertama dari susunan asam amino yang akan membentuk protein. Ada hubungan
secara linier antara susunan sebuah gen dengan susunan polipeptida yang disusunnya,
atau dengan kata lain bahwa struktur primer dari protein sebuah sel merupakan
cerminan langsung dari struktur linier dari gen yang ada pada sel tersebut
(Hardjesubroto, 1998).
Komponen utama dari gen adalah DNA (Deoxyribo Nucleic Acid ) dan histon,
suatu protein bermuatan positif yang basanya dinetralkan oleh keasaman DNA. DNA
merupakan kandungan utama inti. Apabila asam nukleat dipisahkan dari proteinnya,
akan terpisah menjadi komponen yang lebih kecil, yang disebut sebagai nukleotida
(nucleotides). Setiap nukleotida terdiri atas tiga komponen yaitu basa nitrogen yang
merupakan turunan purin dan pirimidin, gula pentose dan satu sampai sampai tiga
gugus fosfat. Gula pentose mengandung lima karbon dan disebut ribose. Apabila
salah satu karbonnya tidak ada, disebut deoksiribosa. Akibat ada dua macam asam
nukleat, yaitu ribonukleat (RNA) yang terdapat di dalam sitoplasma, dan
deoksiribonukleat (DNA) yang terutama terdapat di dalam inti sel. Turunan pirimidin
yang terdapat di dalam DNA adalah sitosin (C) dan timin (T), sedangkan di dalam
RNA adalah sitosin (C) dan Urasil (U). RNA mengandung derivat pirimidin urasil
(U) sebagai pengganti timin (T), yang mempunyai sifat kimia dan fisik mirip dengan
timin. Adapun turunan purin yang utama adalah adenine (A) dan guanine (G)
(Hardjesubroto, 1998).
Polymerase Chain Reaction (PCR) adalah suatu teknik sintesis dan
amplifikasiDNA secara in vitro. Teknik ini pertama kali dikembangkan oleh Karry B.
Mullis pada tahun 1985. Teknik PCR dapat digunakan untuk mengamplifikasi
segmen DNA dalam jumlah jutaan kali hanya dalam beberapa jam. Dengan
ditemukannya teknik PCR di samping juga teknik-teknik lain seperti sekuensing
DNA, telah merevolusi bidang sains dan teknologi khususnya di bidang diagnosa
penyakit genetik, kedokteran forensik dan evolusi molecular (Muladno, 2001).
Prinsip dasar PCR dimulai dengan melakukan denaturasi DNA cetakan
sehingga rantai DNA yang berantai ganda akan terpisah menjadi rantai tunggal.
Denaturasi DNA dilakukan dengan menggunakan suhu panas (95 ºC) selama 1-2
menit, kemudian suhu diturunkan menjadi 55 ºC sehingga primer akan menempel
pada cetakan yang telah terpisah menjadi rantai tunggal. Primer akan membentuk
jembatan hydrogen dengan cetakan pada daerah sekuen yang komplementer dengan
sekuen primer. Suhu 55 ºC yang dipergunakan untuk menempelkan primer pada
dasarnya merupakan kompromi. Amplifikasi akan lebih efisien jika dilakukan pada
suhu yang lebih rendah (37 ºC), tetapi biasanya akan terjadi mispriming yaitu
penempelan primer pada tempat yang salah. Pada suhu yang lebih tinggi (55 ºC),
spesifikasi reaksi amplifikasi akan meningkat, tetapi secara keseluruhan efisiensinya
akan menurun (Yuwono, 2006).
Teknik molekuler memungkinkan kita untuk mempelajari DNA secara
langsung. Teknik molekuler yang dipilih untuk analisis DNA tergantung kepada
tujuan dan tingkat variasi DNA dari organisme yang ingin dipelajari. Informasi
molekuler yang telah diperoleh sebelumnya tentang organisme yang akan dipelajari
sangat membantu untuk menentukan teknik molekuler yang tepat untuk menganalisis
DNA organisme tersebut. Teknik molekuler yang biasanya digunakan untuk
memperlajari molekuler ekologi adalah random amplified polymorphism DNA
(RAPD), amplified fragment length polymorphism (AFLP), resctriction fragment
length polymorphism (RFLP) dan perunutan DNA (DNA sequencing). Keempat
teknik tersebut dikembangkan bedasarkan polymerase chain reaction (PCR-based),
(Kusumadarma, 2011).
Teknik molekuler yang akan digunakan untuk analisis adalah RFLP. Teknik
ini dapat digunakan untuk analisis variasi genetik baik pada DNA mitokondria
maupun DNA kromosom. Pola pita DNA yang dihasilkan dapat bervariasi tergantung
pada jenis enzim restriksi yang digunakan dan sekuens DNA target yang akan
dianalisis. RFLP membutuhkan DNA yang benar-benar bersih dalam jumlah yang
relatif banyak. Teknik PCR-RFLP dilakukan dalam dua prosedur, sehingga lebih
mahal dan memakan lebih banyak waktu (Kusumadarma, 2011). Berikut ini terdapat
beberapa teknik molekuler yang sering digunakan dalam genetika molekuler :
Tabel 1. Teknik molekuler yang sering digunakan dalam molekuler ekologi
Teknik
Tingkat diskriminasi
Keunggulan dan keterbatasan
molekuler
RAPD – PCR
Perbedaan satu
Keunggulan : bermanfaat untuk
nukleotida dalam
spesies dengan informasi genetik
DNA kromosom
yang terbatas, efisien, relatif murah,
membutuhkan hanya sedikit DNA
Keterbatasan : sensitif terhadap
konsentrasi DNA, hasilnya tidak
memberikan informasi genetik,
produk yang dihasilkan tidak
spesifik hanya berdasarkan
ukurannya sehingga dapat terjadi
mis interprestasi
Dapat mendeteksi
Keunggulan : lebih handal
perbedaan dalam
daripada RAPD-PCR, lebih aman
individu dan populasi dibandingkan RFLP, tidak
membutuhkan informasi sekuen
DNA
AFLP – PCR
Keterbatasan : membutuhkan
DNA yang bersih dalam jumlah
banyak, banyak tahapan (prosedur)
RFLP – PCR
Dapat membedakan
satu nukleotida dalam
sekuen DNA yang
dikenali oleh enzim
restriksi
perbedaan pada satu
nukleotida termasuk
Sequencing –
daerah gen (coding)
PCR
maupun bukan gen
(non-coding)
Sumber: Kusumadarma, 2011.
Keunggulan : membutuhkan
sedikit DNA dan relatif murah
Keterbatasan : membutuhkan
primer spesifik, membutuhkan
waktu lebih lama karena dilakukan
dengan dua prosedur yang terpisah
Keunggulan : membutuhkan
sedikit DNA, resolusinya tinggi,
tersedia banyak primer universal
Keterbatasan : butuh waktu dan
relatif mahal
Hasil PCR dapat dilihat dengan melakukan elektroforesis pada gel agarose.
Elektroforesis merupakan metode standar untuk memisahkan dan mengidentifikasi
fragmen DNA sesuai dengan ukurannya. Prinsip dasarnya adalah jika molekul DNA
yang bermuatan negative ditempatkan pada penghantar listrik (buffer), molekul
tersebut akan bergerak menuju ke muatan positif. Molekul DNA yang bermuatan
kecil akan bergerak lebih cepat dari pada yang berukuran besar. Ukuran fragmen
DNA hasil elektroforesis dapat diketahui dengan menggunakan penanda ukuran
(marker) yang salah satunya didapat dari lambda yang telah dipotong oleh enzim
restriksi (Muladno, 2001).
Selanjutnya untuk dapat melihat dan menganalisa hasil elektroforesis, DNA di
dalam gel agarose diwarnai (staining) dengan menggunakan ethidium bromide
(EtBr), yaitu zat pewarna yang dapat berfluoresensi di bawah sinar ultraviolet. EtBr
dapat menyisip di antara basa-basa DNA serta membuat rantai DNA menjadi kaku.
DNA hasil amplifikasi tampak sebagai pita yang jelas dan terang apabila gel agarose
yang membawa DNA tersebut ditempatkan di atas sinar ultraviolet (Sambrook et al.,
dalam Muladno, 2001).
Pemanfaatan PCR dalam bidang peternakan yaitu :
1.
Membantu dalam proses pemetaan gen, terutama gen terkait sifat kuantitatif
(Quantitative Trait Loci; QTL),
2.
Membantu dalam mengidentifikasi penyakit ternak secara cepat dan tepat,
3.
Membantu dalam mengidentifikasi adanya mutasi genetik pada individu ternak,
4.
Membantu dalam mengetahui frekuensi gen tertentu dalam populasi ternak dan
mengetahui adanya variasi genetik dalam populasi atau antar populasi ternak,
5.
Membantu dalam mengidentifikasi adanya kontaminasi produk lain dalam bahan
makanan atau makanan olahan hasil ternak.
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat
Penelitian dilaksanakan selama bulan April - Mei 2013 bertempat di
Laboratorim Biotekhnologi Terpadu, Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin,
Makassar.
Materi Penelitian
Bahan utama dari penelitian ini adalah sampel darah kambing Kacang yang
berjumlah 47 sampel dari Kabupaten Jeneponto.
Bahan pendukung antara lain:
Primer (primer gen IGF-1), Enzim retriksi HaeIII, bahan ekstraksi DNA (Kit DNA
ekstraksi (Thermo Scientific), Proteinase K, ethanol 96% ), bahan PCR (dNTP mix,
Enzim Taq DNA polymerase, 10x buffer, 10x TBE buffer), bahan elektoforesis (
agarose, Ethidium bromide, Marker DNA 100pb, Loading dye), tissue dan plastik
mika.
Alat yang digunakan yaitu : venoject, tabung vakuttainer, mesin PCR
(sensoQuest Germany), centrifuge, alat pendingin, tabung eppendorf besar kecil, gel
documention,
mikropipet, tip, rak tabung, elektroforesis, autoclave, timbangan,
sarung tangan.
Tahapan Penelitian
Koleksi Sampel Darah
Sampel darah diperoleh dari Kabupaten Jeneponto. Pengambilan darah
melalui vena jugularis ditampung pada tabung vacutainer yang telah berisi
antikoagulan EDTA untuk mencegah penggumpalan darah.
Ekstraksi DNA
DNA diisolasi dan dimurnikan dengan menggunakan Kit DNA ekstraksi
Genjet Genomic DNA Extraction (Thermo Scientific) dengan mengikuti protocol
ekstraksi yang disediakan. Sebanyak 200 µl sampel darah dilisiskan dengan
menambah 400 µl larutan lysis buffer dan 20 µl proitenase K (10 mg/ml),
dicampurkan kemudian diinkubasi pada suhu 56 ºC selama 60 menit di dalam
waterbath shaker. Setelah inkubasi larutan kemudian ditambahkan 200 µl Ethanol
absolute 96% dan disentrifugasi 6.000 x g selama 1 menit.
Pemurnian DNA kemudian dilakukan dengan metode spin column dengan
penambahan 500 µl larutan pencuci wash buffer I yang kemudian dilanjutkan dengan
sentrifugasi pada 8.000 x g selama 1 menit. Setelah supernatannya dibuang, DNA
kemudian dicuci lagi dengan 500 µl wash buffer II dan disentrifugasi pada 12.000 x g
selama 3 menit. Setelah supernatannya dibuang, DNA kemudian dilarutkan dalam
200 µl elution buffer dan disentrifugasi pada 8.000 x g untuk selanjutnya DNA hasil
ekstraksi ditampung dan disimpan pada suhu -20 ºC.
Tekhnik PCR-RFLP
Komposisi reaksi PCR dikondisikan pada volume reaksi 25 ul yang terdiri
atas 100 ng DNA, 0.25 mM masing-masing primer, 150 uM dNTP, 2.5 mM Mg2+, 0.5
U Taq DNA polymerase dan 1x buffer. Kondisi mesin PCR dimulai dengan
denaturasi awal pada suhu 94 oC x 2 menit, diikuti dengan 35 siklus berikutnya
masing-masing denaturasi 94 oC x 45 detik, dengan suhu annealing yaitu : 60 oC x 30
detik, yang dilanjutkan dengan ekstensi : 72 oC x 60 detik, yang kemudian diakhiri
dengan satu siklus ekstensi akhir pada suhu 72
o
C selama 5 menit dengan
menggunakan mesin PCR (SensoQuest, Germany).
Produk PCR kemudian
dielektrofhoresis pada gel agarose 1.5 % dengan buffer 1x TBE (89 mM Tris, 89 mM
asam borat, 2 mM Na2EDTA) yang mengandung 100 ng/ml ethidium bromide.
Kemudian divisualisasi pada UV transiluminator (gel documentation system). Alel
ditentukan dengan cara menginterpretasi pita (band) yang terbentuk paling jauh
migrasinya ke kutub anoda sebagai Alel A dan seterusnya.
Produk PCR yang diperoleh dari masing-masing
gen target kemudian
dianalisis menggunakan RFLP melalui pemotongan menggunakan enzim restriksi
yang memiliki situs pemotongan GG|CC pada gen IGF-1. Sebanyak 5 l DNA
produk PCR ditambahkan 0,3 l enzim restriksi (5U) ; 0,7 l buffer enzim dan 1 l
aquabides sampai volume 7 l, Selanjutnya dilakukan inkubasi selama 17 jam pada
suhu 37oC. Berikut ini sequen primer Forward dan Reverse dari gen IGF-1 exon 4
dapat dilihat pada Tabel. 2.
Table 2. Sequen primer beserta enzim restriksi endonuklease untuk PCR-RFLP
Primer
Enzim
Sumber
Sekuen DNA
restriksi
IGF-I
F : 5’-CACAGCGTATTATCCCAC-3’
R: 5’-GACACTATGAGCCAGAAG-3’
HaeIII
Liu, et al
2010
Analisa Data
Keragaman genotype tiap-tiap individu dapat ditentukan dari pita-pita DNA
gen yang ditemukan. Masing-masing sampel dibandingkan berdasarkan ukuran
(marker) yang sama dan dihitung frekuensi alelnya.
Frekuensi alel bisa dihitung dengan menggunakan rumus Nei dan Kumar
(2000) :
Keterangan :
Xi
= frekuensi alel ke -i
nii
= jumlah sampel yang bergenotif ii ( homozigot)
nij
= jumlah sampel yang bergenotif ij ( heterozigot)
n
= jumlah sampel
Nilai heterozigositas pengamatan (Ho) dan heterozigositas harapan
(He)
berdasarkan rumus heterozigositas Nei dan dihitung dengan menggunakan software
PopGene32 versi 1.31 (Yeh et al. 1999).
Keterangan:
Ho = heterozigositas pengamatan di antara populasi,
He = heterozigositas harapan di antara populasi,
= ukuran relatif populasi,
Xkij (i≠j) = frekuensi AiAj pada populasi ke-k.
Test keseimbangan Hardy-Weinberg (HWE) dengan uji chi-square (Hartl,
1988) sebagai berikut :
Keterangan :
χ² = chi-square ,
Obs = jumlah genotype ke-ii atau ke-ij hasil pengamatan,
Exp = jumlah genotipe ke-ii atau ke-ij yang diharapkan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Amplifikasi Gen IGF-1 pada Kambing Kacang
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan bahwa Gen IGF-1 exon 4
berhasil di amplifikasi pada mesin PCR SensQuest Germany dengan suhu annealing
60º C. Hasil amplifikasi ruas gen dapat divisualisasikan pada gel agarose 1,5 % dapat
dilihat pada Gambar 1. Panjang produk hasil amplifikasi gen IGF-1 exon 4 adalah
363 pb.
9 8
7 6
5 4
3
2
1
M
400pb
363 pb
300 pb
zz363 bp
200 pb
100 pb
Gambar.1. Visualisasi hasil amplifikasi Gen IGF-1 exon 4 pada mesin PCR dalam gel
agarose 1,5 %. M: marker 100bp, 1-9 : sampel kambing Kacang
Panjang fragmen yang dihasilkan dari PCR setelah divisualisasi dibawah sinar
ultraviolet (UV) menunjukkan bahwa target sepanjang yang sesuai dengan yang
diprediksikan adalah 363 pb. Hal ini sesuai dengan penelitian Liu, et al (2010) bahwa
amplifikasi produk PCR untuk Kambing gen IGF-1 exon 4 adalah 363 pb.
B. Identifikasi varian Gen IGF-1 exon 4 pada Kambing dengan metode
PCR-RFLP
Penentuan genotip gen IGF-1 exon 4 pada kambing Kacang dalam penelitian
ini menggunakan metode PCR- RFLP (polymerase chain reaction-restriction
fragmen length polymorphism) dengan HaeIII sebagai enzim pemotong. Enzim
HaeIII mengenali situs pemotongan GG|CC.
Genotip gen IGF-1 pada sampel kambing Kacang didapatkan melalui
pengukuran panjang fragmen ruas gen IGF-1 hasil pemotongan dengan enzim HaeIII.
Hasil visualisasi menggunakan gel agarose 2% menunjukkan bahwa panjang
fragmen yang didapatkan adalah 363 pb, 264 pb, dan 99 pb (tidak tervisualisasi
dengan jelas). Hasil tersebut menunjukkan bahwa lokus gen IGF-1 pada kambing
Kacang yang diamati adalah beragam. Genotip yang ditemukan pada kambing
Kacang dapat dilihat pada Gambar.2
8 7 6
5
4
3
2 1 M
363 pb
264 pb
99 pb
Gambar 2. Visualisasi PCR-RFLP gen IGF-1 pada gel agarose 2%, M: marker
100bp, baris 1,3,5,7 genotip homozigot AA dan baris 2,4,6,8 genotip
heterozigot AB.
Genotip yang dihasilkan dalam penelitian ini dengan sampel kambing Kacang
dapat dilihat dari banyaknya pita yang muncul dan laju migrasi dari DNA. Genotip
tersebut adalah genotip homozigot AA yang dihasilkan dari satu fragmen (363 pb)
dan genotip heterozigot AB dari tiga fragmen ( 363 pb, 264 pb dan 99 pb). Hasil
tersebut sesuai dengan penelitian Liu et al (2010) yang menemukan tiga genotip pada
kambing Chasmere yaitu genotip AA yang membawa alel A, genotip AB yang
membawa alel keduanya serta genotip BB yang membawa alel B.
Ge et al, (2003) menciptakan sebuah situs pembatasan SnaBI baru
polimorfisme pada sapi Angus dapat dianalisis dengan menggunakan teknik RFLP.
Panjang produk PCR menggunakan gen IGF-1 adalah 249 pb dengan enzim SnaBI
nuklease menghasilkan dua pita DNA (223 dan 26 pb) untuk homozigot AA (TT) dan
tiga band (249, 223 dan 26 pb) untuk AB (CT) heterozigot. DNA diamplifikasi dari
homozigot BB (CC) hewan tetap tercerna dengan retriksi SnaBI.
C. Frekuensi Genotip, Alel dan Kesetimbangan Hardy- Weinberg
Hasil analisa frekuensi genotip gen IGF-1 pada kambing Kacang dapat dilihat
pada Tabel 3. Polimorfisme atau keragaman dapat ditunjukkan dengan adanya dua
alel atau lebih dalam satu populasi. Gen dikatakan polimorfik apabila salah satu
alelnya mempunyai frekuensi kurang dari 99% (Nei dan Kumar 2000).
Tabel 3. Frekuensi Genotip gen IGF-1 | HaeIII
Bangsa
Lokasi
Genotipe
Kambing
AA
AB BB
Kacang
Jeneponto
43
4
0
Total
47
Frekuensi Genotipe
AA
AB
BB
0.914
0,086
0
Berdasarkan data pada Tabel. 3 dapat dilihat bahwa frekuensi genotip
homozigot AA adalah 0.914 dan frekuensi heterozigot AB adalah 0.086. Nilai ini
sangat terlihat kecil, akan tetapi nilai ini bisa saja muncul atau terjadi karena jumlah
sampel yang diteliti jumlahnya sedikit.
Letak sequen IGF-1 exon 4 yang diamati dari primer yang dipakai dapat
dilihat pada Gambar. 3
Gambar 3. Letak squend primer forward dan reverse IGF-1 exon 4
Frekuensi alel adalah proporsi ataupun perbandingan keseluruhan kopi gen
yang terdiri dari suatu varian gen tertentu (alel). Kesetimbangan Hardy- Weinberg
berhubungan erat dengan frekuensi genotip dan frekuensi alel. Frekuensi alel dihitung
berdasarkan Nei dan Kumar (2000) dan HWE dengan Uji Chi- Square, nilainya dapat
dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Frekuensi Alel dan Kesetimbangan Hardy-Weinberg
Bangsa kambing
Lokasi
Kacang
Jeneponto
tn
: tidak nyata pada taraf 0.05
N
47
Frekuensi alel
A
B
0.9574 0.0426
X2 (HWE)
0.068tn
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan diperoleh hasil yaitu frekuensi
alel untuk alel A adalah 0,9574 dan frekuensi alel untuk alel B adalah 0.0426. Dilihat
dari data frekuensi alel A lebih tinggi dari alel B, yang artinya alel B dalam populasi
hanya 4%. Data ini menunjukkan bahwa populasi yang diamati beragam. Hal ini
sesuai dengan pendapat Nei dan Kumar (2000) bahwa gen dikatakan polimorfik
apabila salah satu alelnya kurang dari 99%. Keragaman dapat ditunjukkan dengan
adanya dua alel atau lebih dalam satu populasi.
Berbeda dengan penelitian yang dilakukan Rosa et al (2010) pada sapi potong
Meksiko, pada populasi Beefmaster, yang menguntungkan alel B ditemukan pada
frekuensi tinggi (0,97). Dua populasi Charolais menunjukkan perbedaan frekuensi
sesuai dengan lingkungan geografisnya. Dalam indukan dari Coahuila, yang
menguntungkan alel B (0,74) memiliki frekuensi tinggi, sementara dalam kelompok
Charolais betina (Nuevo Léon), frekuensi adalah 0,21, 0,50 dan 0,29 untuk AA, AB
dan BB genotipe. Dalam populasi terakhir ini, frekuensi alel adalah ap-proximately
yang diharapkan untuk populasi dalam kesetimbangan (alel A = 0,46 dan alel B =
0,54).
Nilai chi-square 0,068 (P> 0.05) dapat dilihat pada Tabel 4 dimana F.hitung
lebih kecil daripada F.Tabel artinya nilai tersebut berada dalam kesetimbangan
Hardy- Weinberg. Suatu populasi dikatakan dalam kesetimbangan Hardy- Weinberg
yaitu jika frekuensi genotip dan frekuensi alel selalu konstan dari generasi ke generasi
berikutnya. Hal- hal yang dapat mempengaruhi kesetimbangan Hardy- Weinberg
menurut Hardjesubroto (1998) adalah mutasi, gene flow, migrasi, seleksi, genetic
drift dan tidak terjadi perkawinan secara acak.
Penelitian yang dilakukan oleh Liu et al, (2010) pada dua bangsa kambing di
China yaitu kambing Xinjiang 220 ekor dan kambing Chasmere 330 ekor dengan
metode PCR- RFLP menggunakan gen IGF-1 exon 4 dengan enzim retriksi HaeIII.
Hasil yang diperoleh adalah ada dua alel yaitu alel A dan alel B yang didapatkan dari
kedua bangsa kambing tersebut dan tiga genotip yaitu AA, AB dan BB. Genotip yang
paling berpengaruh terhadap bobot badan dari kedua bangsa kambing tersebut adalah
BB.
D. Nilai heterozigositas
Keragaman genetik suatu populasi dapat diukur dengan nilai heterozigositas
(Nei, 2000). Nilai heterozigositas pengamatan (Ho) dan heterozigositas harapan (He)
dihitung berdasarkan rumus Nei dan Kumar (2000) dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Nilai heterozigositas pengamatan (Ho) dan heterozigositas harapan (He)
Lokus
Jumlah sampel
Nilai heterozigositas
Ho
He
IGF-1 | HaeIII
47
0,9176
0,0824
Nilai Heterozigositas pengamatan(Ho) dan heterozigositas pengamatan (He)
digunakan untuk menduga keragaman genetik. Heterozigositas harapan merupakan
penduga keragaman genetik pada populasi ternak lebih tepat karena perhitungannya
dilihat berdasarkan frekuensi alel. Nilai Ho pada Tabel.5 lebih tinggi dibandingkan
nilai He, hal ini bisa diartikan pada populasi kambing kacang di Jeneponto
diindikasikan bahwa belum ada kegiatan seleksi yang dilakukan secara intensif
menggunakan pejantan tertentu, hal ni bisa diihat dari genotip AA lebih banyak
dibandingkan dengan AB.
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang diakukan maka dapat ditarik kesimpulan sebagai
berikut:
1. Terdapat keragaman Gen IGF-1 pada populasi kambing Kacang di Kabupaten
Jeneponto, dengan adanya keragaman tersebut dapat dijadikan data awal
program seleksi.
2.
Pada lokus IGF-1 | HaeIII di temukan 2 alel yaitu alel A dan alel B dengan 2
genotip yaitu AA dan AB, tidak ditemukan genotip BB karena frekuensi alel
B dalam populasi rendah. Frekuensi alel A 0,9574 lebih tinggi dari frekuensi
alel B 0,0426. Hasil uji chi square terhadap genotip lokus IGF-1 | HaeIII
menunjukkan bahwa frekuensi genotype gen IGF-1 dalam keadaan seimbang
pada hukum Hardy- Weinberg.
Saran
Berdasarkan kesimpulan yang didapat, maka bisa dilakukan seleksi pada
kambing Kacang karena bersifat polimorfik. Dan disarankan juga untuk dilakukan
penelitian lanjutan yang berhubungan dengan pertumbuhan kambing Kacang, selain
itu disarankan pada petani peternak untuk melengkapi recording untuk setiap ternak
yang dimiliki.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2007. Tujuh Plasma Nutfah Kambing Lokal Indonesia. Edisi 25 April – 1
Mei.
Anonim 2012a.Genetik Penanda .http://en.wikipedia.org/wiki/genetik_marker diakses
9 Februari 2013.
Anonim, 2012b. IGF-1 A Body Builder's Dream. http://www. Self growth. Com /
articles/igf-1-a-body-builder-dream. Diakses tanggal 9 Februari 2013.
Anonim, 2012c. Insulin-like Growth Factor 1. http://en.wikipedia.org/wiki/Insulinlike_growth_factor_1. diakses 9 Februari 2013.
Anonim, 2012d. Insulin-Like Growth Factor. http://en.wikipedia.org/wiki/Insulinlike_growth_factor. Diakses tanggal 29 Maret 2012.
Argetsinger, L. S., and C. Carter-Su. 1996. Mechanism of signaling by growth
hormone receptor. Physiol. Rev.76:1089–1107.
Barendse W, B.E. Harrison, R.J. Bunch, and M.B. Thomas. 2008. Variation at the
calpain 3 gene is associated with meat tenderness in Zebu and composite
breeds of cattle. BMC Genet 9:41.
Benito, M., A. M. Valverde and M. Lorenzo, 1996. IGF-1: A Mitogen Also Involved
in Differentiation Processes in Mammalian Cells. Int. J. Biochem. Cell Biol.
28, 499-510.
Bishop, M.D., G.A. Hawkins and C.L. Keener. 1995. Use of DNA markers in animal
selection. Theriogenology 43:61.
Buonomo, F.C., T.J. Lauterio, C.A. Baile, and D.R. Champion. 1987. Determination
of insulin-like growth factor-I and IGF binding protein levels in swine. Dom.
Anim. Endocrinol. 4:23.
Chang, S. J., Q. P. Cao and D. F. Steiner, 1990. Evolution of the Insulin Superfamily:
Cloning of a Hybrid Insulin/ Insulin-like Growth Factor cDNA from
Amphioxus. Proc. Natl. Acad. Sci. USA 87, 9319-9323.
Chen, S. Y., Y. H. Su, S. F. Wu, T. Sha and Y. P. Zhang. 2005. Mitochondrial
diversity and phylogeographic structure of Chinese domestic goats. Molecular
phylogenetics and Evolution. 37: 804–814
Cohen, L. E., F. E. Wondisford, and S. Radovick. 1997. Role of pit-1 in the gene
expression of growth hormone, prolactin, and thyrotropin. Endocrinol. Metab.
Clin. N. Am. 25:523–540
Daughaday, W. H., K. Hall, M. S. Raben, W. D. Jr. Salmon, J. L. Van Den Brande
and J.J. Van Wik, 1972, Somatomedin: Proposed Designation for Sulphation
Factor. Nature 235, 107.
Davis, M.E., and R. C. M. Simmen. 1997. Genetic parameter estimates for serum
insulin-like growth factor I concentration and performance traits in Angus
beef cattle. J. Anim. Sci.75:317–324.
Devandra, C. and G.B. McLeroy. 1982. Goat and Sheep Production in the Tropics.
Longman Group Limited, Harlow, Essex, UK.
Elrod, S. dan W. Stansfield. 2007. Genetika. (Damaring Tyas W. Pentj). Jakarta:
Erlangga.
Etherton T.D. 2004. Somatotropic Function: the Somatomedin Hypothesis Revisited.
J. Anim. Sci. 82 (E-Suppl): E239-E244.
Frandson R. D., 1996. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.
Froesch, E. R., H. Bürgi, E. B. Ramseier, P. Bally and A. Labhart, 1963. AntibodySuppressible and non-Suppressible Insulin-like Activities in Human Serum
and Their Physiologic Significance. An Insulin Assay with Adipose Tissue of
Increased Precision and Specificity. J. Clin. Invest. 42, 1816-1834.
Geary, T.W., E.L. McFadin, M.D. MacNeil, E.E. Grings, R.E. Short, R.N. Funston
and D.H. Keisler. 2003. Leptin as a predictor of carcass composition in beef
cattle. J. Animal Sci. 8 : 1–8.
Ge W. Davis M.E., Hines H.C., Irvin K.M., Simmen R.C. 2003., Association of
genetic marker with blood serum insulin-like growth factor I concentration
and growth traits in Angus cattle. J. Anim. Sci., 79, 1757 – 1762.
Gluckman, P. D., Johnson-Barrett, J. J., Butler, J. H., Edgar, B. W., and Gunn, T. R.
1983. Studies of insulin-like growth factor-I and -II by specific radioligand
assays in umbilical cord blood. Clin. Endocrinol. 19:405.
Hardjesubroto W, 1998. Pengantar Genetika Hewan. Fakultas Peternakan Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta.
Hartl, D.L. 1988. Principle of Population Genetic. Sunderland. Sinauer Associates,
Inc. Publisher.
Herman, R. Duljaman, M., Sugama, N. 1983. Perbaikan Produksi Daging Kambing
Kacang. Institut Pertanian Bogor. Bogor
Ho, K. K. Y., and D. M. Hoffman. 1993. Aging and growth hormone. Horm.
Res.40:80–86.
Hwa, V., Y. Oh and R. G. Rosenfeld, 1999. The Insulin-like Growth Factor-binding
Protein (IGFBP) Superfamily. Endocr. Rev. 20, 761-787.
Indrawan, M., R. B. Primack dan J. Supriatna. 2007. Biologi Konservasi. Yayasan
Obor Indonesia. Jakarta.
Kroonsberg, C., McCutcheon, S. N., Siddiqui, R. A., Mackenzie, D. D. S., Blair, H.
T., Ormsby, J. E., Breier, B. H., and Gluckman, P. D. 1989. Reproductive
performance and fetal growth in female mice from lines divergently selected
on the basis of plasma IGF-I concentrations. J. Reprod. Fert. 87:349.
Kusumadarma, 2011, Teknik Molekuler dalam Analisis Keragaman DNA.
http://kusumadarma17.blogspot.com/2011/07/teknik-molekuler-dalamanalisis.html. Diakses Tanggal 11 Februari 2013.
Laron, Z. 2001. Insulin-like Growth Factor 1 (IGF-1): a Growth Hormone. Mol
Pathol 54 :311-316.
Liefers, S.C., R.F. Veerkamp, M.F.W. Te Pas, C. Delavaud, Y. Chilliard, M. Platje,
T. van der Lende. 2005. Leptin promoter mutations affect leptin levels and
performance traits in dairy cows. Animal Genetics. 36 : 111 – 118.
Lin, C. Y.; Sabour, M. P.; Lee, A. J., 1992: Direct typing of milk proteins as an aid
for genetic improvement of dairy bulls and cows: a review. Anim. Breed.
Abst. 60: 1–10.
Lincoln, D. T., F. Sinowatz, E. el-Hifnawi, R. L. Hughes, and M. Waters. 1995.
Evidence of a direct role for growth hormone (GH) in mammary gland
proliferation and lactation. Anat. Histol. Embryol. 24:107–115.
Liu Wu-jun, Fang Guang-Xin, Fang Yi, Tian Ke-Chuan, Huang Xi-Xia and Chen
Hong. 2010. The Polymorphism of a mutation of IGF-1 gene on two goat
breeds in China. Jurnal of animal and veterinary 9(4) : 790-794
Mangalam, H. J., V. R. Albert, H. A. Ingraham, M. Kapiloff, L.Wilson, C. Nelson, H.
Elsholtz, and M. G. Rosenfeld. 1989. A pituitary POU-domain protein, Pit-1,
activates both growth hormone and prolactin promoters transcriptionally.
Genes Dev. 3:946–958.
Merimee, T. J., Zapf, J., and Froesch, E. R. 1982. Insulin-like growth factors in
pygmies and subjects with the pygmy trait: Characterization of the metabolic
actions of IGF-I and IGF-II in man. J. Clin. Endocrinol. Metab. 55:1081
Minton J.E., D.J. Bindel, J.S. Drouillard, E.C. Titgemeyer, D.M. Grieger, and C.M.
Hill. 1998. Serum leptin is associated with carcass traits in finishing cattle. J.
Anim. Sci. 76: 231.
Muladno, 2001. Dasar-Dasar Teknik DNA dan beberapa Aplikasinya. Balai
Penelitian dan Pengembangan Zoologi, Pusat Penelitian dan Pengembangan
Biologi LIPI, Bogor.
Münzberg H., M. Björnholm, S.H. Bates, M.G. Myers. 2005. Leptin receptor action
and mechanisms of leptin resistance. Cell Mol Life Sci. 62 : 642-52.
Nei M, and Kumar S. 2000. Molecular Evolutian and Phylogenetics. New York :
Oxford University Press.
Nelson, C., V. R. Albert, H. P. Elsholtz, L. I. Lu, and M. G. Rosenfeld. 1988.
Activation of cell-specific expression of rat growth hormone and prolactin
gene by a common transcription factor. Science 239:1400–1405.
Nicholas, F.W. 1996. Introduction to Veterinary Genetics. New York : Oxford
University Press.
Noor, R.R. 2008. Genetika Ternak. Ed ke-2. Jakarta : Penebar Swadaya.
Oprzadek, J., K. Flisikowski, L. Zwierzchowski and E. Dymnicki. 2003.
Polymorphisms at loci of leptin (LEP), Pit-1, and STAT5A and their
association with growth, feed conversion and carcass quality in BlackandWhite bulls. Anim. Sci. Papers Rep. 21: 135-145.
Poggi, C., Le-Marchand, B., and Zapf, J. 1979. Effects of binding of insulin-like
growth factor-I in the isolated soleus muscle of lean and obese mice:
Comparison with insulin. Endocrinology 105:723.
Rahim L, Sri Rahma RR, Dagong, M.I.A dan Kusumandari I.P. 2012. Keragaman
kelompok gen pertumbuhan (GH, GHR, IGF-1, Leptin dan Pit-1) dan
hubungannya dengan karakteristik tumbuh kembang dan karkas pada ternak
kambing Marica dan Kacang. Makassar. Laporan Penelitian.
Rahma, A.B. 2007. Pengantar Ilmu Peternakan. Fakultas Peternakan. Universitas
Hasanuddin. Makassar
Rhodes, S. J., R. Chen, G. E. DiMattia, K. M. Scully, K. A. Kalla, S. C. Lin, V. C.
Yu, and M. G. Rosenfeld. 1993. A tissue-specific enhancer confers Pit-1dependent morphogen inducibility and autoregulation on the Pit-1 gene.
Genes Dev. 7:913–932.
Rinderknecht, E. and R. E. Humbel, 1976. Polypeptides with Nonsuppressible
Insulin-like and Cell-Growth-Promoting Activities in Human Serum:
Isolation, Chemical Characterization, and some Biological Properties of
Forms I and II. Proc. Natl. Acad. Sci. USA 73, 2365-2369.
Rosa Reyna, H.M. Muntoya, V.V. Castrellon, A.M.S. Rincon, M.P Bracamonte and
W.A. Vera. 2010. Polymorphism in the IGF1 gene and their effect on growth
traits in Mexican beef cattle. Genetic and molecular research. ISSN 16765680. 9 (2): 875-883.
Rosenbloom, A. L., R. G. Rosenfeld, and J. Guevara-Aguirre. 1997. Growth hormone
insensitivity. Pediatr. Clin. North Am.44:423–442
Rotwein, P., A. M. Gronowski, and M. J. Thomas. 1994. Rapid nuclear actions of
growth hormone. Horm. Res.42:170–175.
Salmon, W. D. Jr. and W. H. Daughaday, 1957. A Hormonally Kontrolled Serum
Factor which Stimulates Sulfate Incorporation by Cartilage In Vitro. J. Lab.
Clin. Med. 149, 825-836.
Simmons, D. M., J. W. Voss, H. A. Ingraham, J. M. Holloway, R. S. Broide, M. G.
Rosenfeld, and L. W. Swanson. 1990. Pituitary cell phenotypes involve cellspecific Pit-1 mRNA translation and synergistic interactions with other
classes of transcription factors. Genes Dev. 4:695–711
Sofro, A. S. M. 1994. Keanekaragaman Genetik. Andi Offset. Yogyakarta
Sugama. K., T. Wardoyo, K. Matsuda and S. Kumagai. 1998. Present Status of
grouper (Cromileptes altivelis) Seed Production in Indonesia. 5th Asian
Fisheries Forum Chiang Mai. Thailand.
Steinfelder, H. J., P. Hauser, Y. Nakayama, S. Radovick, J. H. McClaskey, T. Taylor,
B. D. Weintraub, and F. E. Wondisford. 1991. Thyrotropin-releasing
hormone regulation of human TSHβ expression: role of a pituitary-specific
transcription factor (Pit-1/GHF-1) and potential interaction with a thyroid
hormone-inhibitory element. Proc. Nat. Acad. Sci. USA 88:3130–3134.
Sumantran, V. N., M. L. Tsai, and J. Schwartz. 1992. Growth hormone induces c-fos
and c-jun expression in cells with varying requirements for differentiation.
Endocrinology. 30:2016–2024.
Suryanto. D. 2003. Melihat Keanekaragaman Organisme Melalui Beberapa Teknik
Genetika Molekuler. Program Studi Biologi Fakultas Matematika Dan Ilmu
Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara. ©2003 Digitized By Usu
Digital Library.
Svoboda, M. E. and Van Wyk, J. J. 1983. Purification of somatomedin-C/insulin-like
growth factor I. Methods in Enzymology. 109:798.
Van der Warf J. 2000. An overview of animal breeding programs. Di dalam :
Kinghorn B, Van der Werf J, editor. QTL course : Identifiying and
Incorporating Genetic Markers and Major Genes in Animal Breeding
Programs. Armidale, Australia : University of New England.
Vincent, A. M. and E. L. Feldman, 2002, Kontrol of Cell Survival by IGF Signaling
Pathways. Growth Hormon. IGF Res. 12, 193-197.
Yeh FC, Yang RC, and Boyle T. 1999. POPGENE version 1.31 : Microsoft
Window-based Freeware for Population Genetic Analysis. Edmonton, AB.
Canada : University of Alberta Canada.
Yuwono T. 2006. Teori dan Aplikasi Polymerase Chain Reaction. CV. Andi Offset,
Yogyakarta.
Zeder, M.A. and B. Hesse. 2000. The initial domestication of goats (Capra hircus) in
the Zagros Mountain 10,000 years ago. Science 287: 2254-2257.
LAMPIRAN 1. Sequen Gen IGF-1 Lengkap
LOCUS
D26119
08-MAR-2005
ORIGIN
1
61
121
181
241
301
361
421
481
541
601
661
721
781
841
901
961
1021
1081
1141
1201
1261
1321
1381
1441
1501
1561
1621
1681
1741
1801
1861
1921
1981
2041
2101
2161
2221
2281
2341
2401
2461
2521
2581
2641
2701
2761
2821
2881
2941
3001
3061
3121
3181
3241
gatctttcaa
tttcacaaaa
accccagatt
gaggtcttgg
ccccgcctac
ccaactttgc
gtagtttcac
atcccaccac
gtggtgtgtg
ctgttggaat
caagtttaat
ttcctttaag
aagagtttca
aatcaagagg
aatagacccc
cactttctta
aagatcacaa
tggcttggac
cttgagaggg
aaatgcactc
cagaaaaata
ggtgggggtc
ttattttttc
atgagacagt
gaaatgagat
ccagtctagt
ttttttcatt
atcctccacg
tgcccggtag
actaacacac
ggtatgatgt
agggagagag
ttgtagataa
actgctaaat
gtgacattgc
taaccaattc
aacccaatta
gaagtcattg
tcactttaga
attctgtggg
tgagtaaaaa
ggtgtcatta
tatgaacttt
tgtatgtagg
tacaaggcat
atctttggag
tgaagtttcg
ttcggataaa
ctatttccaa
tttgtgttgt
gctagcgttg
ttcccattct
atttttaagc
ccgtccctac
gttccttagt
6784 bp
cccatgagac
ggtgtgatgc
tttagtgaac
attcttctca
ctcttgatga
atttcaaagc
ttccctgact
gtgacagtgc
taactgagca
ggcatcactc
cacagagaag
ggcacccacc
agcaaacctt
gagaaataca
agggaaagtg
tcgcctcctt
cttgatcctc
catgttgctg
tattgctagc
acgtgcacac
tgaacagtgg
ggggtggggg
agttggcttt
gtcctgaggg
cattcccctc
ttaccccagt
tcttgttttt
aatattcctt
aaagttaatc
attcttttaa
tatttgtcac
agagaaggca
atgtgaggat
tcagagcaga
tctcaacatc
atttccagac
tttaagtgct
gggaattttc
attttcattg
atctgaaaaa
ctattgcaag
tagaagattc
tggatttttt
actgtgtggt
gccacatacg
ctaaggtccc
tttgctcttc
tttaaacaaa
gttttttctt
aaaacacgga
tcaatgcact
cagcaaaaat
tgctgtaact
cgcttagtcc
caagtcagtg
aatctgtatc
gctgaagctg
aattcctaag
aagtacagga
tgtgtatctc
tcctcatgac
ttccagagaa
tgttttcctc
cacagtagga
ctcgtgtcta
gcttgagcga
tctgcaacag
tgtttatagt
aggtccaggc
ggatgtctaa
cacaaaactg
aatggcaaag
gccactcatc
cagctggtgt
acacacaaat
gaaaatcatt
ccaagcagca
acagctcagc
gagccaatta
acttggcaac
cgtttgaggg
taaattttgt
tcatacgggt
agaggacagc
gggaaaaaaa
catgcccaaa
agcgttcccc
tttctctaaa
tagagcctgc
tcccatctcc
tttgcacttc
gcttttgtga
tttaaattgt
tttcggcact
atagctccgg
gtacttatgc
ctttaaatcc
ttgcaggtgc
gtgtgtgtgt
aagagttaca
ggaactctct
tgaaaaagaa
tgcacactgt
tttgaagagg
ttttgtattt
gacttcggcc
tatatctttc
ggccccccga
aacactcatt
gcttagggag
DNA
ttcaaagtcc
aaggaaattt
gttaaatgca
cttgccccca
ttcaggtcaa
acacccctcc
agtgtgcact
tctgcctctg
gcgcactcac
acttgtcttt
actcaacccc
cttcctggcc
cgaagcatca
tactcccacc
gctgggcttt
atgagaaatt
gcaagtatac
ctgctgagag
tatttagaat
acacacacac
tgcccctcag
gagtagagga
aaaatctttg
caaagctgcc
caggacgagg
ttaaaatcat
cttggctctg
aaggtgtatt
atcaggattt
tgcttctgtg
aaagtcctta
cagctgtttc
tccctcttct
gcaatggaat
ctggatttct
agaagcaatg
tttcttgaag
gtactgcttg
gggagttatt
gagataaatg
taaatcctcc
tgtctatggt
agatgtttta
gcgtgtgtgt
ttttaaatga
gcacttatga
ctccttaaga
atatgggaag
actctcaggg
gggattgtaa
tttccaataa
aagacttgta
tgcaaattgc
tgccgctttc
ttaagaatac
linear
atgagaggag
taaaaaataa
tgaagtgggg
cacctgaaga
aacacatccc
tcctccatcc
tttcatattt
ccacttagtt
tgaatgcgca
cttaaaggta
ctttcaaaac
atggccataa
ggatcactgt
attccagaaa
tgcaatctta
ggtacaaact
attataaata
atttgaatga
acacaaaaag
acacacaggt
atgcccttcc
aggaagaaag
ccctgtcgtg
tgcccctttc
ggtcatccca
agagtatgct
gaatataaaa
agcagatgtg
taatgtctgc
ctctagtttt
ctcgataact
ctgtctacag
gtttgctaaa
aaagtcctca
ttttgcctca
ggaaaaatca
gtaaatattt
cttctgctta
tataaattgc
cctttgcaca
acttccttca
taagggctat
tttttaagac
aactggccag
tattaaagct
ccagagagtc
actcctgctg
cggcaacttt
gcgaagtttg
agtctcttta
ctgggcccta
atttttccca
ctgtgggctc
aagcactcca
atcccttgtc
MAM
gctgggcttt
ataaacccaa
ctcattaaag
tgccccccca
ctgaaacttc
tggattctca
ttaaaagcgc
gaaaggccct
atatagtgca
aacactgccc
caatcaggtt
agacctagac
gtcccctgag
accatgcccc
tttcataatc
ctatcgacaa
gcaaaacagc
catcataacc
gggggaaaga
tcaagttatg
cctggtgtgg
agattcgatt
ggcaaaaagc
caggttctag
gcgccgtctt
tgagatgtct
ttgctcgccc
tgtgtcttca
tcctcttgtc
aaaatgcaaa
ttgccagaag
tgtctgtgtt
tctcactgtc
aaattgaaat
ttattcctgc
gcagtcttcc
cttactcttt
gaaatgttct
tgaatatgca
gatatctgta
gagcttgagt
agggcatgga
catgttcatg
gacttttgat
tttaaatatg
aaagttagag
accctgcata
ctagcaactg
gacttggggt
ggtaaatttg
ggttcaaagt
atttgcaagc
aattcatgat
ccactaggac
gggcacctga
3301
3361
3421
3481
3541
3601
3661
3721
3781
3841
3901
3961
4021
4081
4141
4201
4345
4381
4441
4501
4561
4621
4681
4741
4801
4861
4921
4981
5041
5164
5221
5281
5341
5401
5461
5521
5581
5641
5701
5761
5821
5962
6001
6061
6121
6181
6241
6301
6361
6421
6481
6541
6601
6661
6721
6781
ccctgccacc cttgagaagc caagatgcac
gccagtatac acatatgcta tgtggtctga
gatcctaaaa ggggctgtgt agtgttatct
aatgaacttt ccatgctgtg tatgctgaac
ttgttgcttt ttcctgtact tgaagcagga
aaatgtaaat caatgagtaa aggtgtctgc
gagtctcaag atatttccaa gtgtttgagt
agcttcggtc cttgtccagg acggctacaa
tgggaggaaa agattgactc agatcccagc
aaaggcagtt tacccaggct cgtagcatac
tttcacaaac cccacccaca aagcagcaca
tcagtctcat aatacccacc ctgacctgct
acacctacag tgagtatttt cttatgactg
tataacccag acatctggaa ccaattgata
tttaaaattt tggatttgtg aatgattttt
ctcgtctctt tctagttctt ctttcatttc
[gap 100 bp]
Expand Ns
ccaatt
ggtcccaagt ctggactgag cacaaattaa
ctctgagtgg tgtgcaataa gagcatcttt
ttatctcatt gaattgtaat aggaacccat
ggtttcacag tagcaagagg attaaagtca
tcactcacac accttgttgc actcctgagg
agctgggcta aaggcaccct tgccttgctc
atgaccctcc ttctgctctt tcagcaggtg
ttctatctgg ccctgtgctt gctcgccttc
ctctgcgggg ctgagttggt ggatgctctc
ttcagtaagt agcctccctc tcgctgctct
gaactgaatg actgcctgtg gctggcagcc
tgcgagccta gtgtttccag cgg
[gap 100 bp]
Expand Ns
ttaagga catggaaaac atgctctttt
gccaatatat aaggagcggt gaggattggc
aagaatttga ggacaattaa tacaaatgaa
cactgactgc tggagatata ctggaatctg
aggagcttca aaagaagact aacttatgaa
gttttcaggg gctgggtgta gcagtgaaca
tctctctgat ttgaacagac aagcccacgg
agacaggaat cgtggatgag tgctgcttcc
actgtgcgcc tctcaagccc accaagtcag
acatgcccaa ggctcagaag gtaagcccac
gcgagatctg agttatgcgg ctgaagcaac
ataccctcat agacttctgg ctcatagtgt
[gap 100 bp]
Expand Ns
cccaagttg
atgaaggttg agatccagtg ttagaaatag
taatgtcatt tttctccctt atttttagga
tgcaggaaac aagaactaca gaatgtagga
ccaccggcag gatccttcgc tctgcacgag
aaataagttt gataacattt caaaagatgg
ccaacattgt ctttaggagt gattgttcaa
gttggtagat tgctgttgat cctttatcaa
atcttagtcc ctgcctctca aggagccaca
actaaattta tctctgaatc ttggctgcta
ggtttataaa tttttttatt tgcacttctt
tgtctgataa tcttgttcct ctatcccact
tttggcctcc taaacagcag caggcaagca
agattccatc tgtggcatgt gtaccaaata
gctt
actcccaacc
cagctgggga
ctgcattaat
ttttcagaag
agtggtttca
caggcagagc
cagagggaag
taggcacacg
cgtgcaattt
ctgcctgggt
tgtttttaag
gtaaaagatc
ttgccctcaa
ttccatttat
gagaaagagt
tttctttcag
ttgcttttaa
ttttgtctcc
tacaagtttg
tagagctagc
gggagctacg
tcacaagctg
agggcacagg
atggaaatca
gtttgttgtc
gtccaaatgt
tcctcagttt
tggaacaaac
attttgctgg
ttaagataaa
gctctggaat
atct
aagaaatgaa
ctacttagag
gaaaactcca
tagccataag
tggttctttc
attgtactgt
ggaggactgg
gtggcttgat
tgaatggaca
aactagatgc
tctattcaca
aaaaatggtt
gcatttttat
aagaaaggtt
tttttttttg
tgagagaatt
cctttgatga
caccttcgca
aaagaaaggg
gatagcatga
ggatagtttt
ccgctcccct
aagatgccag
accagctctg
cagttcgtgt
gtggatttac
atcctcagcc
taaattaata
ttccaaaggt
cattaaatgt
ttcaagaagg
tgccaagacc
gattaataac
ggcaaggacc
tcacatcctc
ccacggcggg
gtggagacag
aactgcgggg
tccgagattc
aaacatatct
ttaccaggac
ttcaggacat
acttccccaa
tgctcagagg
aggaatgcag
caggaggaag
ctcgcatctc
acccgagacc
gggcttttat
agtgtgtgaa
ctcaccttaa
aattaatttt
catagacaag
tgatgaatga
gaaaaatctg
ggtgtgggtt
cagcgtatta
ggtacggctc
ggagctgtga
cccgctcagt
caggggcggc
ttagtagcag
caaaagagct
cctagcagtc
atcctcgact
gctattgcca
ggagggtcaa
gacatggtat
tcccactcta
gagcagtcgg
tctgaggagg
ccgtgcccag
ggtgagggtc
cagcatccga
c
tctcaattaa
acaggtggct
gtgagagtag
gagttgttgg
ggggagagga
aaactaggcc
agagcgcccc
ctggagatgt
cgccacaccg
ggccatcttc
atagtaatta
tctattaaac
ataggttgga
agtacatttg
agaccttcct
ttacctgttc
gcatttcccc
agctttgcac
taatgttcta
aatgcatggg
gtgacattca
tctacgcaac
cccttctcca
gttaagtagc
taagttggat
tgactggtga
tacataaaca
aagaacacaa
aaagagtgaa
aacaccagaa
caatgaaata
cttgcaaaaa
tagagaaaat
tgttgtatag
ttcagcaggc
acaggctatt
tcacctttat
acaccagttt
gcatttattt
gacataaggt
ttcatcaaat
gtagagggag
gaatgacatg
gacctaccaa
agtaaacatt
tgaccctgga
atatatatag
atccagttgc
ttgtctaagt
tggtttacag
atttgctgaa
ttaacccaca
tagacacaaa
LAMPIRAN 2. Genotip Kambing Kacang
No.
Sampel
A.001
A.002
A.003
A.004
A.005
A.006
A.007
A.008
A.009
A.010
A.011
A.012
A.013
A.014
A.015
A.016
A.017
B.009
B.010
C.001
C.002
F.001
F.002
F.003
F.004
G.001
G.002
G.004
G.005
H.001
H.002
H.003
H.005
H.007
H.008
H.009
H.011
H.012
H.013
Hasil PCR
Hasil RFLP
Genotip
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
AA
AA
AA
AA
AA
AA
AA
AA
AA
AA
AA
AA
AA
AA
AA
AA
AA
AA
AA
AA
AA
AA
AA
AA
AA
AA
AA
AA
AA
AA
AA
AB
AA
AA
AB
AA
AA
AA
AA
H.014
H.015
H.016
H.019
H.020
I.003
I.004
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
AA
AA
AB
AA
AA
AA
AB
LAMPIRAN 3. POPULATION GENETIC ANALYSIS
Data Description : Test Data Set II: Diploid Data
population ID : 1
population name : none
* Population : 1 @ Locus : IGF
*
============================================================
Genotypes Obs. (O) Exp. (E) (O-E)²/E 2*O*Ln(O/E)
============================================================
(A, A)
43 43.0645
0.0001 -0.1289
(B, A)
4 3.8710
0.0043 0.2623
(B, B)
0 0.0645
0.0645 0.0000
Chi-square test for Hardy-Weinberg equilibrium :
Chi-square :
0.068914
Degree of freedom :
1
Probability :
0.792925
Likelihood ratio test for Hardy-Weinberg equilibrium :
G-square :
0.133383
Degree of freedom :
1
Probability :
0.714950
Allele Frequency of population 1 :
==============================
Allele \ Locus IGF
==============================
Allele A
0.9574
Allele B
0.0426
==============================
==============================
Locus Sample Size na*
==============================
IGF
94 2.0000
Mean
94 2.0000
St. Dev
0.0000
==============================
* na = Observed number of alleles
===========================================================================
====
Locus Sample Size Obs_Hom Obs_Het Exp_Hom* Exp_Het* Nei** Ave_Het
=============
===================================================================
IGF
94
0.9149 0.0851 0.9176 0.0824 0.0815 0.0815
Mean
94 0.9149 0.0851 0.9176 0.0824 0.0815 0.0815
St. Dev
0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
===========================================================================
=====
* Expected homozygosty and heterozygosity were computed using Levene (1949)
** Nei's (1973) expected heterozygosity
RIWAYAT HIDUP
Ridha Tunnisa ( I 111 09 259 ) , lahir di Takalala,
Kabupaten Soppeng pada tanggal 13 Februari 1991 dari
pasangan Rusli dan Fatmawaty, S.Pd. Penulis menyelesaikan
Pendidikan Taman Kanak- Kanak Di TK Mariopulanae pada
tahun 1996. Kemudian Melanjutkan ke tingkat Sekolah
Dasar di SD 266 Bakunge selesai pada tahun 2003, kemudian melanjutkan ke
Sekolah Menengah Pertama di SMPN 1 Marioriwawo selesai pada tahun 2006 dan
melanjutkan ke Sekolah Menegah Atas di sekolah kejuruan pertanian SPP N Rappang
Kabupaten Sidenreng Rappang dengan program studi kesehatan hewan selesai pada
tahun 2009. Penulis melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi dan alhamdulillah
diterima di Universitas Hasanuddin Makassar, Fakultas Peternakan, jurusan Produksi
Ternak melalui jalur SNMPTN pada tahun 2009. Selama kuliah penulis pernah
menjadi Asisten MIkrobiologi Hewan dan Ilmu Kesehatan Ternak. Penulis juga
merupakan Anggota Himpunan Mahasiswa Produksi Ternak (HIMAPROTEK) tahun
2009 dan sebagai Pengurus HIMAPROTEK pada tahun 2010- 2011 dan pernah
menjabat sebagai Dewan Pertimbangan Organisasi (DPO) pada priode 2011-2012 di
HIMAPROTEK. Penulis juga menjabat sebagi Pengurus Senat Mahasiswa
Peternakan (SEMA-FAPET) tahun 2012-2013, juga sebagai Pengurus di Ikatan
Mahasiswa Pelajar Soppeng (IMPS) tahun 2010-2011.
Download