PENGARUH NORMA KESUSILAAN DALAM KESADARAN HUKUM MASYARAKAT Dosen Mata Kuliah M. Holyone Singadimedja, SH.MH Di Susun Oleh : KIKI RAHAYU 1241173300139 FAKULTAS HUKUM 2012 UNIVERSITAS SINGAPERBANGSA KARAWANG BAB 1 PENDAHULUAN Sepertinya kita semua sepakat jika merasa prihatin dengan kondisi bangsa indonesia kini. Semakin hari bukannya bergerak ke arah perbaikan, namun nyatanya justru malah mengalami kemunduran. Salah satunya adalah mulai memburamnya norma kesusilaan secara perlahan Ada banyak kasus perkosaan, pelecehan, hilangnya budaya malu, korupsi, dan kejahatan yang merajalela hingga masalah moral lainnya. Norma kesusilaan adalah salah satu norma yang berlaku di masyarakat yang menjadi benteng sekaligus pengingat setiap individu untuk tidak terjerumus kedalam perbuatan tercela itu. Secara fitrah, manusia memang memiliki kecenderungan untuk melakukan berbagai kesalahan. Baik kesalahan kecil, maupun besar. Sehingga di butuhkan aturan yang bisa meminimalisasi kemungkinan kesalahan itu berulang. Aturan itu memang di perlukan, karena manusia dalam kesehariannya selalu bersinggungan dan berinteraksi dengan orang lain. Bisa dibayangkan bagaimana jadinya jika dalam berinteraksi tidak ada aturan yang mengaturnya. Tentu akan membuat dunia menjadi kacau balau, hal ini juga karena masingmasing individu memiliki kepentingan yang bisa jadi bersebrangan dengan kepentingan orang lain. Rasanya hidup akan terasa sangat tidak nyaman, jauh dari rasa tentram dan akan ada banyak kekacauan. Norma adalah salah satu aturan yang dirasakan cukup efektif untuk bisa mengatur masyarakat. Sanksi yang di berikan cukup mampu membuat jera para pelaku pelanggarnya. BAB II PEMBAHASAN 1.1 PENGARUH NORMA KESUSILAAN DALAM KESADARAN HUKUM MASYARAKAT Manusia adalah mahluk sosial yang hidupnya selalu berdampingan dan saling membutuhkan dengan mahluk lainnya. Oleh karena itu, selalu ada interaksi dalam hubungan sosial ini. Selain itu juga ada norma, yaitu kaidah dan peraturan hidup lain yang juga harus diperhatikan demi kenyamanan serta keberlangsungan interaksi. Interaksi yang baik adalah interaksi yang di kontrol oleh adat, norma, dan aturan lain yang berlaku di masyarakat. Aturan inilah yang disebut dengan kaidah atau norma. Secara ringkas, norma adalah segala aturan yang berlaku di masyarakat yang berfungsi untuk mengatur dan menjaga kenyamanan dalam bermasyarakat. Norma kesusilaan ini adalah hal-hal atau perilaku yang menjadi kebiasaan dan panduan dalam masyarakat. Biasanya, norma kesusilaan mengatur tentang perilaku apa yang pantas dan tidak pantas di lakukan dalam keseharian. Pada dasarnya, sifat semua norma adalah memaksa. Dalam arti, memaksa agar masyarakat bertindak sesuai dengan aturan yang telah berlaku. Norma kesusilaan yang mempunyai peran besar dalam mengontrol masyarakat, semakin lama kehadirannya semakin memudar. Masyarakat atau kita kini kurang menjadi kontrol. Tidak hanya untuk lingkungan sekitar, namun juga kontrol bagi diri kita sendiri. Terdapat beberapa tingkatan norma kesusilaan dalam masyarakat diantaranya adalah : 1. Cara Cara atau disebut juga dengan usage merupakan suatu perbuatan tertentu yang dilakukan dimasyarakat, akan tetapi tidak dilakukan secara berkelanjutan. Misalnya, cara makan yang baik dan sopan adalah tidak mengeluarkan suara . 2. Kebiasaan Kebiasaan adalah suatu perbuatan dikatakan sebagai kebiasaan ketika dilakukan secara berkelanjutan, dengan cara yang sama, dan dilakukan dengan penuh kesadaran. Misalnya pemenang dalam suatu perlombaan akan diberikan hadiah 3. Kelakuan Kelakuan adalah perbuatan yang menggambarkan sifat dari sekelompok orang yang dilakukan dengan penuh kesadaran untuk mengawasi masyarakat. Contohnya, larangan pembunuhan. 4. Adat Istiadat Sekumpulan kelakuan yang mempunyai kedudukan paling tinggi karenatertanam kuat dalam diri setiap masyarakat . 1.2 PENGARUH NEGATIF NORMA KESUSILAAN DALAM MASYARAKAT A. Jerat Hukum dan Pembuktian Pelecehan Seksual Ratna Batara Munti dalam artikel berjudul “Kekerasan Seksual: Mitos dan Realitas” menyatakan antara lain di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) tidak dikenal istilah pelecehan seksual. KUHP, menurutnya, hanya mengenal istilah perbuatan cabul, yakni diatur dalamPasal 289 sampai dengan Pasal 296 KUHP. Mengutip buku “KUHP Serta Komentar-komentarnya” karya R. Soesilo, Ratna menyatakan bahwa istilah perbuatan cabul dijelaskan sebagai perbuatan yang melanggar rasa kesusilaan, atau perbuatan lain yang keji, dan semuanya dalam lingkungan nafsu berahi kelamin. Misalnya cium-ciuman, meraba-raba anggota kemaluan, meraba-raba buah dada dan sebagainya. Menurut Ratna, dalam pengertian itu berarti, segala perbuatan apabila itu telah dianggap melanggar kesopanan/kesusilaan, dapat dimasukkan sebagai perbuatan cabul. Sementara itu, istilah pelecehan seksual mengacu padasexual harrasment yang diartikan sebagai unwelcome attention (Martin Eskenazi and David gallen, 1992) atau secara hukum didefinisikan sebagai "imposition of unwelcome sexual demands or creation of sexually offensive environments". Dengan demikian, unsur penting dari pelecehan seksual adalah adanya ketidakinginan atau penolakan pada apapun bentuk-bentuk perhatian yang bersifat seksual. Sehingga bisa jadi perbuatan seperti siulan, kata-kata, komentar yang menurut budaya atau sopan santun (rasa susila) setempat adalah wajar. Namun, bila itu tidak dikehendaki oleh si penerima perbuatan tersebut maka perbuatan itu bisa dikategorikan sebagai pelecehan seksual. Jadi, pelecehan seksual dapat dijerat dengan pasal percabulan (Pasal 289 s.d. Pasal 296 KUHP). Dalam hal terdapat bukti-bukti yang dirasa cukup, Jaksa Penuntut Umum yang akan mengajukan dakwaannya terhadap pelaku pelecehan seksual di hadapan pengadilan. Pembuktian dalam hukum pidana adalah berdasarkan Pasal 184 UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”), menggunakanlima macam alat bukti, yaitu: 1) keterangan saksi 2) keterangan ahli 3) surat 4) petunjuk 5) keterangan terdakwa. Sehingga, dalam hal terjadi pelecehan seksual, bukti-bukti tersebut di atas dapat digunakan sebagai alat bukti. Untuk kasus terkait percabulan atau perkosaan, biasanya menggunakan salah satu alat buktinya berupa Visum et repertum. Menurut “Kamus Hukum” oleh JCT Simorangkir, Rudy T Erwin dan JT Prasetyo, visum et repertum adalah surat keterangan/laporan dari seorang ahli mengenai hasil pemeriksaannya terhadap sesuatu, misalnya terhadap mayat dan lain-lain dan ini dipergunakan untuk pembuktian di pengadilan. Meninjau pada definisi di atas, maka visum et repertum dapat digunakan sebagai alat bukti surat, sebagaimana diatur dalam Pasal 187 huruf c KUHAP: “Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi daripadanya.” Penggunaan Visum et repertum sebagai alat bukti, diatur juga dalam Pasal 133 ayat (1) KUHAP: “Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena perstiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaanketerangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya.” Apabila visum memang tidak menunjukkan adanya tanda kekerasan, maka sebaiknya dicari alat bukti lain yang bisa membuktikan tindak pidana tersebut. Pada akhirnya, Hakim yang akan memutus apakah terdakwa bersalah atau tidak berdasarkan pembuktian di pengadilan. Dasar hukum: 1. Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana 2. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht, Staatsblad 1915 No 73) B. PROSTITUSI SEBAGAI BAGIAN KEHIDUPAN Prostitusi (pelacuran) berasal dari bahasa latin pro-stituere atau prostauree, yang berarti membiarkan diri berbuat zinah, malakukan persundalan, pergundikan. Sedang prostitue adalah pelacur, dikenal pula dengan istilah WTS atau Wanita Tuna Susila. Tuna susila atau tidak susila itu diartikan sebagai kurang beradab karena keroyalan relasi seksualnya, dalam bentuk penyerahan diri pada banyak laik-laki untuk pemuasan seksual, dan mendapatkan imbalan jasa atau uang bagi pelayanannya. Tuna susila itu juga dapat diartikan sebagai salah tingkah, tidak susila, atau gagal menyesuaikan diri dengan norma- norma susila. Menurut Prof. W. A. Bonger dalam tulisannya “Maarschappelijke oorzaken der Proostituie” menyatakan: Prostitusi ialah gejala kemasyarkatan dimana wanita menjual diri melakukan perbuatanperbuatan seksual sebagai mata pencaharian. Menurut P.J. de Bruine Van Amsel menyatakan: Prostitusi adalah penyerahan diri wanita kepad banyak laki-laki dengan pembayaran. Menurut G. May dalam bukunya “Encyclopedia of Social Science”, menyatakan: Prostituion defined as sexual intercourse characterized by barter, promiscuity, and emotional infference. May menekankan masalah barter atau perdagangan secara tukar menukar yaitu menukarkan pelayanan seks dengan bayaran uang,, hadiah,atau barang berharga lainnya. Ia juga mengemukakan promiskuitas yaitu hubungan seks bebas, dan ketidakacuhan emosional, melainkan hubungan seks tanpa emosi, tnpa perasaan cinta kasih atau afeksi. Pihak pelacur mengutamakan motif-motif komersiil atau alasanalasan keuntungan materiil, sedang pihak laki-laki mengutamakan pemuasan nafsu-nafsu seksual. Menurut Kartini Kartono, mengemukakan bahwa: 1. Prostitusi adalah benrtuk penyimpangan seksual, dengan pola-pola organisasi impuls/dorongan seks yang tidak wajar dan tidak teerintegrasi, dalam bentuk pelampiasan nafsu-nafsu seks tanpa kendali dengan banyak orang (promiskuitas), disertai eksploitasi dan komersialisasi seks uang impersonal tanpa afeksi sifatnya. 2. Pelacuran merupakan peristiwa penjualan diri dengan jalan memperjualbelikan badan, kehormatan, dan kepribadian kepada banyak orang untuk memuaskan nafsunafsu seks dengan imbalan pembayaran. 3. Pelacuran adalah perbuatan perempuan atau laki-laki yang menyerahkan badannya untuk berbuat cabul secara seksual untuk mendapatkan upah. Dimasukkan dalam kategori pelacuran antara lain: 1. Pergundikan, yaitu pemeliharaan istri tidak resmi, istri gelap atau perempuan peliharaan. Mereka hidup sebagai suami istri namun tanpa ikatan perkawinan. 2. Tante Girang atau loose Married Woman, yaitu wanita yang sudah kawin namun tetap melakukan hubungan erotik dan seks dengan laki-laki lain, baik secara iseng untuk mengisi waktu kosong, bersenang-senang, dan mendapatkan pengalaman-pengalaman seks lain maupun secara intensional untuk mendapatkan penghasilan. 3. Gadis-Gadis Panggilan, yaitu gadis-gadis n wanita biasa yang menyediakan diri untuk dipanggil dan diperkerjakan sebagai prostitue, malaui saluran-saluran tertentu. Mereka ini terdiri dari ibu-ibu rumah tangga, pelayan-pelayan toko, pegawa-pegawai, gadis-gadis sekolah lanjutan, dan lain-lain. 4. Gadis-Gadis Bar atau B-Girls, yaitu gadis-gadis yang berkerja sebagai pelayan bar, dan sekaligus memberikan pelayanan seks kepada pengunjung. 5. Hostess atau pramuria, yaitu yang menyemarakkan kehidupan malam dalam nightclub. Pada intinya profesi hostess merupakan bentuk pelacuran halus. Sedang pada hakikatnya hostess adalah predikat baru dari pelacuran. Sebab, di lantai-lantai dansa mereka membiarkan diri dipeluki, diciumi dan diraba-raba. Dengan demikian langganan dapat menikmati keriaan atau kesenangan suasana di tempat-tampat hiburan tersebut. Prostitusi kini dipandang sebagai hal yang sangat biasa di perkotaan terutama di kotakota besar yang kini cenderung mengalami dekadensi moral sebagai akibat kedinamisan manusia seiring denga perkembangan zaman. Kecenderungan ini tercipta karena bentukan kepribadian kota yang bercorak social daripad strukturnya yang azasi pada individu. Kepribadian menurut organisasi rohani tertentu yang bertalian denagn aneka struktur dab sistem jiwani serta manifestasi mental. Kepribadian sebagai gejala sosial nampak pada perilau sosial, gagasan dan norma yang berlaku umum. Berlangsungnya perubahanperubahan sosial yang serba cepat dan perkembangan yang tidak sama dalam kebudayaan, mengakibatkan ketidakmampuan individu untuk menyesuaikan diri, mengakibatkan timbulnya disharmoni, konflik-konflik eksternal dan internal, juga disorganisasi dalam masyarakat dan dalam diri pribadi. Peristiwa-peristiwa terebut diatas memudahkan pola-pola responsi/reaksi yang menyimpang dari pola-pola umum yang berlaku. Dalam hal ini ada pola prostitusi, untuk mempertahankan hidup di tengahtengan hiruk pilkuk alam pembangunan, khususnya Indonesia. Dekadensi moral atau merosotnya nilai-nilai moral yang dipegang masyarakat kota turut memicu berkembangnya prostitusi. Bertemunya macam-macam kebudayaan asing dan kebudayaan setempat di daerah perkotaan meyebabkan perubahan sosial yang cepat dan radikal sehingga masyarakatnya menjadi cenderung instabil (tidak stabil). Terjadi banyak konflik dan kurang aadnya konsensus mengenai norma-norma kesusilaan diantara para anggota masyarakat. Kondisi sosial jadi terpecah-pecah sedemikian rupa, sehingga timbul suatu masyarakat yang tidak bisa diintegrasiikan. Terjadilah disorganisasi sosial, sehingga mengakibatkan breakdown (kepatahan pada kontrol sosial). Tradisi dan norma-norma dilanggar, maka tidak sedikit wanita-wanita muda yang mengalami disorganisasi pribadi, dan secara elementer bertingkah laku semau sendiri memenuhi kebutuhan seks dan kebutuhan hidupnya dengan jalan melacurkan diri. Individu-individu perkotaan mulai menjalani suatu kehidupan yang penuh hedonisme, yaitu suatu paham yangmenguitamakan kesenangan dalam menjalani hidup. Aristippos (433-355 SM) yang mencetuskan paham ini, adalah seorang murid Socrates, filsuf besar dari Yunani. Aristippos mengatakan bahwa manusia harus membatasi diri dengan kesenangan yang dapat diperoleh dengan mudah dan tidak perlu mengupayakan atau mengusahakan mendapatkan kesenangan dengan cara susah payah dan penuh kerja keras. Pandangan semacam ini dapat menjadi inspirator bagi orang-orang yang memandang bahwa kesenangan duniawi adalah segalanya dalam hidup ini. Manusia (pria dan wanita) yang memiliki nafsu-nafsu seks yang abnormal, tidak terintegrasi dalam kehidupan, dan keroyalan seks, hyperseks, sehingga tidak pernah merasakan kepuasan relasi seks dengan satu pasangannya akan memilih cara melacurkan diri. Dengan alasan tekanan ekonomi, factor kemiskinan, pertimabangn ekonomis untuk dapat survive mempertahankan kelangsungan hidupnya menjadi alasan-alasan lama yang duipergunakan pria atau wanita yang melakukan pelacuran. Hal ini ditambah lagi dengan anggapan bahwa pekerjaan melacurkan diri dapat memperoleh penghasilan dan hasil pendapatan yang besar dan status social yang diinginkan tanpa perlu kerja berat, tanpa memerlukan intelegensia tinggi, tanpa perlu keterampilan khusus, mudah dikerjakan, asalkan orang yang bersangkutan memiliki kecantikan, keberanian, diisyaratkan sebagai lampu hijau melakukan praktek prostitusi. Pria kota pun tidak lepas perannya dari praktek prostitusi. Dengan bermacam-macam alasan, mereka “membenarkan” perbuatan mereka untuk menikamati para wanitawanita yang melacur (WTS). Rasa iseng untuk mendapatkan variasi seks yang berbeda dari pasangannya (istri), istri sedang berhalangan (haid, hamil) dan rasa tidak perlu bertanggung jawab atas akibat relasi seks yang dilakukan dengan WTS, misalnya tidak perlu membina rumah tangga dan menjamin kehidupan istri dan keturunan, sehingga dirasalan lebih ekonomis namun sangat nikmat, menjadi alasan “jahat” pria untuk memilih melakukan prostitusi dengan WTS. Prostitusi sebagai bagian dari kehdiupan kota semakin menjadijadi. Promiskuitas yang dimulai dari seks bebas terutama di kalangan remaja kian mengkhawatirkan. Remaja yang cenderung memiliki jiwa dan rasa keingintahuan yang besar kadang tidak luput terjerumus kepada paraktek prostitusi. Kemudahan untuk melakukan prostitusi dengan imbalan yang dirasakan “besar” menjadi alasan remaja melakukan praktek ini. Bahkan bukanlah suatu hal yang tidak mungkin ketika hubungan seks yang diawali dengan coba-coba kemudian menjadi suatu kebutuhan, tanpa harus melewati lembaga pernikahan yang syah. Eksploitasi seksual dalam video klip,majalah, televisi, dan film-film ternyata mendorong para remaja untuk melakukan aktivitas seks secara sembarangan di usia muda. Dengan melihat tampilan atau tayangan seks di media para remaja itu beranggapan bahwa seks adalah sesuatu yang bebas dilakukan oleh siapa saja, dimana saja, dan kapan saja. BAB III PENUTUP Kesadaran hukum masyarakat tidak identik dengan kepatuhan hukum masyarakat itu sendiri. Kepatuhan hukum pada hakikatnya adalah “kesetiaan” seseorang atau subyek hukum terhadap hukum itu yang diujudkan dalam bentuk prilaku yang nyata, sedang “kesadaran hukum masyarakat” masih bersifat abstrak belum merupakan bentuk prilaku yang nyata yang mengakomodir kehendak hukum itu sendiri.