Masyarakat dan Nilai Moral Akhir-akhir ini kita sering mendengar keluhan dari generasi tua bahwa zaman modern ini tidak bermoral dan kejam. Generasi muda tidak percaya kepada Tuhan dan hidup penuh dosa, sementara generasi sebelumnya memegang teguh moral, memuja Tuhan, dan karena itulah kehidupan mereka tidak ada masalah. Ide untuk kembali ke “masa yang lebih baik dan zaman dahulu” bukannya ide baru, dan sudah sering kita dengar; setelah runtuhnya Uni Soviet, ide ini dikenal sebagai “konservatisme.” Masyarakat modern mengkhawatirkan nilai-nilai kegagalan dan konsekuensi dari kegagalan tersebut, seperti homoseksualitas, misalnya. Namun, ide ini sama sekali tidak baru. Nilai-nilai kuno berhadapan dengan tren-tren kontemporer yang keji adalah kiasan umum tapi palsu. Gagasan yang menghubungkan antara nilai-nilai lebih tinggi dan nilai moral dengan masyarakat tradisional itu sendiri adalah ide modern yang tidak ada kaitannya dengan norma-norma masyarakat tradisional. Bahkan pada era Mesir kuno pun orang telah membicarakan tentang degradasi moral; namun, pada zaman itu sekalipun masyarakat tradisional mempunyai system moral yang sangat selektif. Meskipun sudah ada prinsip-prinsip moral yang keras dan hukuman diberlakukan untuk kesalahan kecil, namun tetap ada pengecualian dalam beberapa hal. Misalnya, membunuh itu bukan hal yang tabu ketika terjadi perang dan konflik sipil. Membunuh itu normal, merampok kota yang direbut, memperkosa perempuan, dan membunuh penduduk sipil yang ditaklukkan. Tidak ada prajurit yang pernah merasakan dilema moral karena melakukan hal-hal ini, atau setidaknya tidak ada yang melakukan hal-hal yang kita kenal. Masyarakat dan agama juga tidak menganggap masalah moral dalam hal-hal seperti itu. Selektivitas moral tersebut juga terjadi dalam urusan seks di luar nikah. Masyarakat tradisional melarang seks di luar perkawinan dan mengutuk aborsi. Masalah seks sama tabunya dengan merampok atau membunuh dalam masyarakat tradisional “yang sopan”. Namun, di luar semua ketabuan dan pembatasan itu, prostitusi sudah ada sepanjang masa dalam kehidupan masyarakat tradisional. Terlepas dari semua perang agama sepanjang sejarah, profesi kuno ini masih ada hingga sekarang. Hanya emansipasi perempuan akhir-akhir ini saja telah berdampak negatif terhadap profesi ini. Hanya modernisasi masyarakat, evolusi alami (atau penurunan nilai moral, seperti klaim generasi yang lebih tua) telah berhasil dalam menurunkan tingkat prostitusi. Kenyataannya adalah akar dari prostitusi berasal dari masyarakat tradisional, karena perempuan tidak mempunyai hak di luar perkawinan. Seorang perempuan dihubungkan dengan dunia luar melalui suaminya. Di luar perkawinan, seorang perempuan itu dianggap orang buangan; perempuan tidak mempunyai hak-hak sipil atau peluang mempunyai penghasilan sendiri. Mayoritas pekerjaan dilakukan oleh kaum laki-laki, dan tenaga kerja perempuan tidak ada harganya. Naluri liar rasa laparlah yang mendorong perempuan terjun ke dunia prostitusi; semua masalah moral dan khotbah-khotbah agama dikalahkan oleh wajah kelaparan. Contohnya, seorang janda hanya mempunyai dua pilihan untuk bertahan hidup: rumah bordil atau biara, tetapi biara selalu terisi penuh. Karena banyaknya perempuan malang dan sangat terbatasnya hak-hak mereka, telah menciptakan harga yang sangat murah untuk jasa mereka di rumah bordil. Prostitusi menyebar luas dan karena keuntungan hanya bisa diperoleh dari banyaknya pelanggan yang dilayani, bukan dari harga jasa yang mereka berikan, hampir semua perempuan hanya dapat bertahan tidak lebih dari dua tahun di pasar ini, karena mereka tidak mampu bertahan dengan perputaran yang luar biasa dalam dunia ini. Sudah barang tentu, alcohol dan STD (penyakit seksual menular) adalah efek samping yang tidak dapat dihindari bagi para pelacur dan pelanggan mereka ini. Selain prostitusi “resmi” dan “mainstream”, masih ada juga praktik-praktik prostitusi tidak resmi. Para pelayan rumah tangga, selain mengerjakan pekerjaan rutin mereka, juga menyediakan jasa tambahan lain. Motif utama bagi mereka tentu saja bukan cinta, kesenangan, atau perasaan lain, tetapi hanya demi tambahan uang atau hadiah semata-mata, karena upah pelayan sangat murah. Seringkali para perempuan pelayan ini memberikan jasa mereka secara cuma-cuma demi menyenangkan hati tuan mereka atau mempertahankan pekerjaan mereka di tengah ketatnya persaingan dalam industri ini. Dengan kata lain, “standar moral yang tinggi” seperti itu mempunyai konsekuensi serius. sifilis dan penyakit menular seksual lainnya ada di antara masalah-masalah serius di Eropa. Tidak ada obat yang manjur untuk melawan penyakit ini, dan bahkan penemuan kondom sekalipun tidak membantu. Hanya rentang kehidupan pendek manusia yang dapat mencegah orang banyak dari manifestasi fisik terkena STD. Kesenjangan pendapatan antara kelas bawah dan atas memungkinkan pria kaya untuk memiliki banyak wanita sesuka hati. Dan semua ini terjadi dengan latar belakang moralitas tinggi dan iman terhadap Sang Pencipta. Prostitusi dibangun di atas platform ekonomi dan masyarakat patriakal. Karena motif ekonomilah yang memaksa perempuan untuk turun ke jalan menjajakan diri dan ke rumah bordil. Baru setelah era emansipasi, ketika perempuan mempunyai kesempatan untuk bekerja dan mendapatkan upah minimum, kesempatan yang sama untuk terhindar dari mati kelarapan, dan sejak itulah jumlah perempuan yang melacurkan diri mulai menurun. Harga jasa pelacuran di rumah bordil naik dan jumlah klien merosot drastis. Industri rumah bordil menurun drastis, dan pada tahun 1950an banyak negara melarang berdirinya rumah bordil, sesuatu yang tidak mungkin terjadi sebelumnya. Namun, yang lebih menarik adalah revolusi seksual terjadi tepat setelah emansipasi: perempuan menjadi warga masyarakat yang setara, mendapatkan hak-hak mereka, dan tenaga kerja perempuan pun harganya meningkat. Hubungan seksual antar gender berbeda pun berkembang, dari sekadar sebuah “jasa” sederhana menjadi “hubungan pribadi.” Perubahan besar dalam psikologi sosial ini setara dengan menghapus perbudakan atau status kelas yang lebih rendah. Ide “seks bebas” membuat gagasan “seks berbayar” terlihat ganjil dan menyimpang. Tempat “istri sebagai partner ekonomi” terlihat sebagai “istri sebagai kekasih”. Menggunakan jasa prostitusi menjadi sangat tidak populer di masyarakat, dan membayar demi kepuasan seks dipadang sebagai budaya marginal. Revolusi seksual tak bermoral dengan ide seks bebas menggantikan moralitas tradisional dengan rumah bordil dan pelayan seks. Terlihat jelas bahwa revolusi seksual belum mampu menyelesaikan semua permasalahan gender, gagasan ideal dari masyarakat tradisional mulai kembali ke wacana budaya. Kelompok-kelompok antifeminis dan konservatif sosial memberikan ide revolusioner untuk kembali ke masyarakat tradisional demi aspirasi politik, meskipun tidak mungkin untuk benarbenar bisa kembali ke konsep ini, mengingat status ekonomi perempuan dalam masyarakat saat ini. Generasi baru, yang telah mengalami revolusi seksual, tidak harus menghadapi masalah serius dari masyarakat tradisional yang dialami nenek moyang mereka. Untuk generasi yang lebih muda, masa lalu dilihat melalui pesta dansa yang megah dan agung, kisah cinta yang romantis. Banyak literatur klasik dari masa itu telah salah dimengerti dan salah tafsir oleh khalayak sekarang. Industri perfilman telah memperdalam kesalahpahaman tentang masyarakat tradisional ini. Hampir semua sutradara film sendiri ada “produk sampingan” dari budaya seks bebas yang kemudian terus merusak masyarakat tradisional melalui karya-karya mereka. Itulah sebabnya kita terus mempercayai mitos yang mengatakan bahwa masa lalu selalu lebih baik dari masa kini, dan masyarakat zaman dahulu lebih bermoral dan bermartabat daripada masyakarat modern. Seorang penulis klasik Rusia, Chekhove mengatakan, “Masa lalu sepertinya indah, karena kita tidak lagi berada di sana”.