Bagaimana Kebebasan Menyikapi Prostitusi di Indonesia? Oleh: Fadly Noor Azizi Maraknya berita tentang para selebriti ibukota yang menjalani pekerjaan lain sebagai pelaku ‘prostitusi online’ di media massa menggelitik saya untuk berkomentar. Ditambah dengan mendengar statement sebagian media yang kategorikan kasus tersebut sebagai tindak perdagangan orang atau human trafficking. Nyatanya, mereka yang terlibat dalam kasus tersebut melakukan transaksi atas kemauan mereka sendiri tanpa ada paksaan orang lain. Lantas layakkah tindakan tersebut dikategorikan sebagai kejahatan human trafficking? Dengan kilasan sejarah, dapat dilihat bahwa prostitusi akan selalu ada selama permintaan akan hal tersebut juga hadir. Sama seperti kebutuhan kita akan air dan makanan, seks juga merupakan kebutuhan fundamental yang dimiliki oleh setiap manusia. Maka tak menjadi sesuatu hal yang aneh bila manusia akan terus memenuhi hak atas kebutuhan tersebut selama tidak mencederai hak orang lain. Hal-hal tersebut terjadi karena manusia berusaha memenuhi kebutuhan alaminya, yaitu seks. Di Indonesia, arus praktek prostitusi tidak diimbangi dengan kebijakan yang tepat pada akhirnya malah berdampak buruk dan meluas kepada masyarakat. Hal ini didasari oleh beberapa stigma yang melekat pada kebijakan dan hukum di Indonesia pada saat ini. Pertama, melekatnya norma agama pada kebijakan dan hukum negara Indonesia. Sudah menjadi momok besar bahwa hukum kita sangatlah berbau agama tertentu yang tidak hanya melukai keberagaman antar umat beragama dan berkeyakinan tetapi juga melukai kebebasan individu bahkan privasi seseorang. Sering terlihat di berita bahwa penggerebekan wisma atau kost-kostan dengan aling-aling menjaga ketertiban umum? Atau bagaimana dengan hukum pasangan yang memilih untuk hidup bersama tanpa status pernikahan? Seakan fakta-fakta tersebut menggambarkan bahwa pemerintah harus tahu dan mengendalikan segala aspek sipil sampai menyentuh ke ‘urusan ranjang’. Mengapa pemerintah harus ikut campur akan hal yang bersifat privat, khususnya persoalan hubungan seksual. Segala tindakan dan risiko dalam berhubungan seks seharusnya dikembalikan kepada para pelaku. Soal agama merupakan norma yang dapat dipilih untuk diyakini atau tidak diyakini oleh seseorang, bukan sebagai nilai universal yang harus diterapkan dalam kebijakan dan hukum. Maka dari itu, perbuatan seks yang melanggar hukum itu seharusnya cukup pada tindak pelecehan dan pemerkosaan saja. Kedua, penindakan hukum terhadap pelaku prostitusi dilandasi dengan alasan perlindungan atas hak anak. Saya teringat perkataan Wali Kota Surabaya, Ibu Tri Rismaharini, pada saat diliput oleh media dan ditanya alasan mengapa membubarkan Lokalisasi Dolly. Di antara sekian alasan yang diungkapkan, salah satunya ialah ketakutannya akan perlindungan atas hak anak di sekitaran Lokalisasi Dolly. Menurut saya, membubarkan Lokalisasi Dolly bukan kebijakan yang tepat dalam perlindungan atas hak anak. Justru dengan dibubarkannya Lokalisasi Dolly maka praktek prostitusi akan tersebar secara acak masuk ke pemukiman-pemukiman warga. Pada akhirnya pemerintah tidak dapat pemantau pengguna jasa tersebut apakah terklasifikasi sebagai orang dewasa atau anak-anak. Ketiga, penanggulangan dan pencegahan HIV/AIDS dan penyakit seks menular lainnya tidak dapat terarah ketika prostitusi tidak dilokalisir. Bagaimana penyebaran penyakit tersebut dapat dikendalikan bila kelompok yang rentan akan HIV/AIDS dan penyakit seks menular lainnya tidak dilokalisir dalam suatu lokasi. Berkaitan dengan hal tersebut, mengutip kata-kata psikolog dan seksolog Baby Jim Aditya pada suatu talkshow di TVRI pada tanggal 11 Desember 2015 yang mengatakan bahwa, “Upaya terpenting untuk pencegahan HIV/AIDS dan penyakit seksual lainnya adalah bagaimana kita mengintervensi psikologi para remaja untuk memikirkan risiko yang dihadapi atas perilaku hubungan seksual yang dilakukannya.” Dengan begitu, baik pada pekerja seks di lokalisasi, remaja maupun anak-anak harus mendapatkan edukasi dan pengetahuan mengenai kesehatan reproduksi dan risiko terjangkit penyakit seks menular. Pemerintah seharusnya bukan hanya terus menerus membuat kebijakan yang sifatnya pelarangan dan menekan, namun edukasi menjadi hal terpenting dalam penyadaran kesehatan reproduksi di segala segmen. Keempat, bahwa tidak semua pekerja seks atau pelaku prostitusi merupakan korban human trafficking. Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam salah satu dari 3 Protokol Palermo mendefinisikan Human Trafficking sebagai “perekrutan, pengiriman, pemindahan, penampungan atau penerimaan seseorang, dengan ancaman atau penggunaan kekerasan atau bentuk-bentuk lain dari pemaksaan, penculikan, penipuan, kebohongan, atau penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan atau memberi atau menerima pembayaran atau memperoleh keuntungan agar dapat memperoleh persetujuan dari seseorang yang berkuasa atas orang lain, untuk tujuan eksploitasi. Eksploitasi termasuk, paling tidak, eksploitasi untuk melacurkan orang lain atau bentuk bentuk lain dari eksploitasi seksual, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktekpraktek serupa perbudakan, perhambaan atau pengambilan organ tubuh”. Sering sekali semua pekerja seks dianggap sebagai korban human trafficking atau penjualan manusia. Namun, tak sedikit pula pekerja seks melakukan pekerjaannya tanpa ada paksaan dan berdasarkan kesepakatan bersama, termasuk pada kasus prostitusi online yang sekarang sedang marak diperbincangkan. Terkecuali dengan pekerja seks di bawah umur dan korban human trafficking, maka tidak ada yang dirugikan atau melanggar hak orang lain atas tindakan dan pekerjaan tersebut karena seluruhnya dilakukan atas kehendak sendiri. Maka, mengapa prostitusi yang tidak mengandung unsur penjualan manusia tersebut masih dikriminalisasi? Dari keseluruhan stigma dan permasalahan tersebut yang paling terpenting dalam memahami persoalan prostitusi adalah dengan mengetahui konsep hak atas tubuh. Tubuh ini merupakan milik kita sendiri, di mana pemegang hak (diri sendiri) memiliki kekuasaan yang luas dan kuat terhadap tubuhnya sendiri. Griggs L (Devereux, 2002) menjelaskan hal ini dengan “Ownership in this sense is the largest bundle of rights known to property law. It allows the person the fullest enjoyment of the property and the ability to use, manage and freely alienate that thing.” Bahwa kita sebagai manusia memiliki kehendak atas tubuh kita sendiri dan bagaimana memperlakukannya, baik menjaga maupun memanfaatkannya. Tubuh ini dilindungi oleh hukum, maka tidak dapat dipergunakan orang lain secara serampangan tanpa ada izin dan kerelaan sang pemilik (diri sendiri). Sementara Murray Rothbard berargumen bahwasanya satu-satunya hak mutlak yang dimiliki seorang individu adalah hak atas kepemilikan yang dimilikinya. Dengan menggunakan pendekatan Rothbard tersebut, melihat hak kepemilikan atas tubuh sendiri merupakan hal yang mutlak. Maka dari itu, manusia memiliki kebebasan untuk memperlakukan tubuhnya berdasarkan kehendak sendiri, termasuk memilih untuk dimanfaatkan secara ekonomis. Namun, bukan tanpa batas, kebebasan ini juga dibatasi oleh kebebasan yang dimiliki orang lain dan tidak terlepas dari risiko yang melekat dari segala tindakan yang diperbuat. Selaras dengan argumen Friedrich Hayek yang mengatakan bahwa, “ Liberty not only means that the individual has both the opportunity and the burden of choice; it also means that he must bear the consequences of his actions... Liberty and responsibility are inseparable.” Lalu, bagaimana seharusnya pemerintah bersikap dalam persoalan ini? Pemerintah harus menghentikan tindakan kriminalisasi pelaku prostitusi yang tidak mengandung unsur human trafficking dan eksploitasi anak di bawah umur. Kemudian, pemerintah perlu akui pekerja seks sebagai profesi yang dilindungi oleh pemerintah. Sebab ketika mereka yang merupakan bagian dari masyarakat sipil Indonesia tidak dilindungi yang terjadi adalah maraknya tindak kekerasan yang menimpa mereka. Selain itu, membuat lokalisasi tempat prostitusi jauh dari jangkauan anak di bawa umur dan melakukan pemantauan secara ketat. Kontrol pasar prostitusi online agar tidak mudah diakses oleh anak di bawah umur. Beri pendidikan dan penyuluhan kesehatan reproduksi di setiap lokalisasi prostitusi. Perlu juga untuk memberi pengetahuan dan pendidikan kesehatan reproduksi dan ketubuhan sedini mungkin kepada masyarakat. ***** Fadly Noor M. Azizi merupakan mahasiswa program studi Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Salah satu Pendiri dari Indo-Libertarian dan Ketua dari forum kajian Liberty Studies. Bisa dihubungi melalui kontak email : [email protected] dan twitter @fdlynr