BAB 1

advertisement
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Remaja merupakan kelompok yang unik dengan kebutuhan yang khas, yaitu
kebutuhan untuk mengenal identitas atau jati dirinya. Dalam memenuhi
kebutuhannya tersebut, remaja cenderung untuk menerima tantangan atau coba–coba
melakukan sesuatu tanpa didahului pertimbangan matang, yang akhirnya dapat
mendorong remaja ke arah perilaku beresiko yang dapat menimbulkan berbagai
masalah yang akan mempengaruhi kesehatannya (Kemenkes RI, 2010).
Remaja pada tahap perkembangan awal (early adolescence) adalah seorang
remaja yang masih terheran-heran akan perubahan-perubahan yang terjadi pada
tubuhnya sendiri dan dorongan-dorongan yang menyertai perubahan-perubahan itu.
Mereka mengembangkan pikiran-pikiran baru, cepat tertarik pada lawan jenis dan
mudah terangsang secara erotis. Dengan dipegang bahunya saja dengan lawan jenis,
ia sudah berfantasi erotik. Kepekaan yang berlebih-lebihan ini ditambah dengan
berkurangnya kendali terhadap “ego” menyebabkan para remaja awal ini sulit
mengerti orang dewasa (Sarwono, 2011).
Hasrat seksualitas pada remaja meningkat tinggi karena faktor-faktor
perubahan-perubahan hormonal. Peningkatan hasrat seksual ini membutuhkan
penyaluran dalam bentuk tingkah laku tertentu. Penyaluran itu tidak dapat segera
dilakukan karena adanya penundaan usia perkawinan. Selanjutnya remaja akan
1
2
berkembang lebih jauh terhadap hasrat seksual kepada tingkah laku yang lain seperti
berciuman dan masturbasi. Kecenderungan semakin meningkat oleh karena adanya
penyebaran informasi dan rangsangan seksual melalui media massa yang dengan
adanya teknologi canggih (video cassette, fotokopi, satelit, VCD, telepon genggam,
internet dan lain-lain) menjadi tidak terbendungnya lagi yang sedang dalam periode
ingin tahu dan ingin mencoba (Sarwono, 2011).
Sebuah survey yang dilakukan oleh Youth Risk Behavior Survei
(YRBS)
secara Nasional di Amerika Serikat pada tahun 2010 mendapati bahwa 47,4% pelajar
yang duduk di kelas 9-12 telah melakukan hubungan seksual selama hidup mereka,
31,6 % pelajar SMA telah aktif secara seksual,11,9% pelajar melakukan hubungan
seks untuk pertama kalinya sebelum usia 13 tahun, 17,5% pelajar melakukan
hubungan seks dengan empat atau lebih orang dalam hidup mereka (YRBS, 2010).
Menurut LSM Kita Sayang Remaja Bali 2008, jumlah kasus pengguguran
kandungan atau aborsi setiap tahunnya mencapai 2,3 juta, dan 30% diantaranya
dilakukan oleh remaja, kehamilan yang tidak diinginkan pada remaja menunjukkan
kecenderungan meningkat berkisar 150.000 hingga 200.000 kasus setiap tahunnya”.
Survei yang pernah dilakukan pada sembilan kota besar di Indonesia menunjukkan
KTD mencapai 37.000 kasus, 27 % di antaranya terjadi dalam lingkungan pranikah
dan 12,5 % adalah pelajar (www.inilah.com).
Masalah pelacuran pelajar sekolah memang menjadi masalah khas kota besar.
Sebuah penelitian menunjukkan, ratusan pelajar putri di Medan terjun ke dunia
pelacuran. Jumlah ini baru merupakan angka hasil penelitian. Diperkirakan angka
3
sesungguhnya jauh lebih banyak. Menurut penelitian lembaga Pusat Kajian dan
Perlindungan Anak (PKPA) yang didukung Kementerian Pemberdayaan Perempuan
menyatakan ratusan pelajar putri yang terlibat pelacuran, merupakan bagian dari
sekitar 2 ribu anak korban Eksploitasi Seksual Komersial Anak (ESKA). Dari 50
responden yang berhasil diwawancarai secara mendalam pada penelitian tersebut, 41
di antaranya berstatus pelajar (14 orang berstatus siswi SMP dan 27 berstatus siswi
SMA/SMK) (Ikhwan, 2007).
Berdasarkan laporan hasil studi yang dilakukan oleh Pusat Informasi dan
Layanan Remaja (PILAR) PKBI Jawa Tengah pada tahun 2009 tentang perilaku
seksual remaja pada usia 15-24 tahun yang berjumlah 5,4 juta jiwa diketahui bahwa
seluruhnya melakukan aktivitas berpacaran dengan mengobrol, berpegangan tangan
4,3 juta jiwa (80%), mencium pipi atau kening 3,7 juta jiwa (69%), mencium bibir 2,7
juta jiwa (51%), mencium leher 1,5 juta jiwa (28%), meraba dada atau alat kelamin
(petting) 1,2 juta jiwa (22%), dan melakukan hubungan seksual 338.880 jiwa (6,2%)
(PILAR PKBI, 2009).
Perilaku seksual remaja juga tergambar dari survei yang dilakukan oleh Youth
Center Pilar PKBI Jawa Tengah tahun 2010 ditemukan bahwa 79% sudah melakukan
pacaran dengan bergandeng tangan, 53% berpelukan, 51% telah melakukan cium
pipi, 35% melakukan cium bibir, 18% melakukan mencium leher, 11% meraba
payudara dan kelamin serta 8% melakukan intercourse. Tahun 2010 dengan 99
responden siswa SMA di Semarang. Didapatkan data berpegangan tangan 82,8%,
berpelukan 68,7%, mencium pipi 64,6%, berciuman bibir 62,6%, saling meraba
4
badan dan kelamin 32,3%, melakukan petting 20,2%, melakukan oral seks 8,1%,
melakukan hubungan seks vagina sebesar 14,1% (PILAR PKBI, 2010).
Penelitian Karminingsih (2009) dalam Suara (2011), dilaporkan bahwa
perilaku seksual remaja SMA dikota Bekasi sebagian besar dalam batas ringan
(54,5%) dan sebesar 45,4 % berperilaku seksual dengan kategori berat. Sedangkan
Penelitian oleh Sekarrini (2011), sebanyak 39,3% murid SMK Kesehatan daerah
Kabupaten Bogor Tahun 2011 berperilaku seksual dalam kategori ringan seperti
mengobrol, menonton film berdua, jalan berdua, berpengangan tangan dan
berpelukan. Sedangkan sebanyak 60,7% berperilaku seksual berisiko berat seperti
berciuman bibir, mencium leher, meraba daerah erogen, bersentuhan alat kelamin dan
melakukan hubungan seks.
Hasil Survey BKKBN 2010 sekitar 51% remaja di Wilayah Jabotabek sudah
tidak perawan. Sebanyak 4% responden yang mengaku melakukan hubungan seksual
sejak usia 16-18 tahun, 16% melakukan pada usia 13-15 tahun. Kejadian seks bebas
di Surabaya mencapai 47%, di Bandung dan Medan 52%. Perilaku seks bebas
dikalangan remaja berdampak pada kasus infeksi penularan HIV/AIDS yang
cenderung berkembang di Indonesia, sedangkan tempat favorit untuk melakukan
hubungan seksual adalah rumah 40%, tempat kost 30% dan hotel 30%
(www.republika.or.id).
Keluarga
merupakan
institusi
sosial
yang
bersifat
universal
dan
multifungsional. Walaupun setiap keluarga dapat memiliki struktur yang berbeda,
namun kebanyakan keluarga memiliki tugas yang serupa seperti pengasuhan bagi
5
anak, menyediakan dukungan emosional, menyediakan kebutuhan dasar anggota
keluarga, menyokong sosialisasi anggota keluarga, menjaga tradisi keluarga dan
menanamkan tanggungjawab kepada keluarga (Djamarah, 2004).
Adanya perhatian atau kontrol orang tua terhadap anak dapat menunda usia
pertama kali remaja melakukan hubungan seks. Hubungan antara perilaku seksual
dengan kelakuan anak terhadap orangtua atau orang tua terhadap anak menunjukkan
bahwa makin jelek taraf komunikasi antara anak dan orang tua, makin besar
kemungkinannya remaja melakukan tindakan-tindakan seksual (Sarwono, 2010).
Peran orang tua yang ragu-ragu, menyebabkan remaja cenderung untuk
meniru apa yang dilakukan oleh orangtua dan jika kurang nyaman, remaja mencari
informasi sendiri tentang masalah seksual yang seringkali tidak benar, seperti melalui
teman sebaya, internet, tabloid yang dirasakan nyaman oleh mereka. Hal ini karena
masalah seksual dianggap tabu dibicarakan antara orang tua dan anak. Perbandingan
antara Inggris dan Amerika serikat, misalnya menunjukkan bahwa di Amerika serikat
angka aborsi lebih tinggi daripada Inggris dan faktor penyebabnya adalah masih
kuatnya tabu dalam keluarga untuk bicara tentang seks dan kurangnya pendidikan
seks (Sarwono, 2010).
Faktor–faktor negatif seperti kurangnya penanaman moral agama, adanya
pengaruh pergaulan bebas, kuatnya pengaruh hormonal pada remaja dan merebaknya
informasi bertema pornografi di media massa merupakan beberapa penyebab remaja
melakukan hubungan seks. Pornografi dapat menciptakan fantasi seksual bagi orang
lain, dampak remaja yang terus menerus mengkonsumsi pornografi sangat
6
memungkin remaja akan terdorong untuk melakukan hubungan seks pada usia terlalu
dini di luar ikatan perkawinan. Apalagi pornografi tidak mengajarkan hubungan seks
yang bertanggungjawab. Maraknya remaja mengkonsumsi pornografi sangat
berhubungan dengan teknologi yang makin hari makin berkembang. Teknologi
adalah sesuatu yang bermanfaat untuk mempermudah semua aspek kehidupan
manusia. Salah satunya melalui gadget, gadget bisa membantu dalam banyak hal
seperti mencari informasi yang dibutuhkan, berkomunikasi dengan orang–orang yang
jauh, menghilangkan bosan dengan bermain game dan lainnya. Selain itu sering kali
gadget digunakan dalam hal yang salah seperti membuka situs porno dari internet,
sehingga sering terjadi penculikan karena berkenalan di sosial media. Perkembangan
dan persaingan media telekomunikasi yang pesat membuat remaja juga mudah untuk
membeli alat komunikasi yang murah. Dengan mengumpul uang saku yang diberikan
oleh orangtua mereka sehari-hari, remaja sudah bisa membeli atau mengakses situssitus yang remaja inginkan baik di handpone, atau pun di usaha-usaha internet yang
relatif murah (Al-Mighwar, 2011).
Remaja merupakan masa labil dalam menentukan arah hidupnya, sehingga
keadaan tersebut membutuhkan banyak perhatian dari orang tua. Secara umum
perhatian dapat diperoleh dari tiga lingkungan, yaitu lingkungan keluarga, sekolah,
dan masyarakat. Lingkungan keluarga merupakan yang sangat penting bagi
perkembangan remaja, karena ia mendapatkan perhatian, kasih sayang, kehangatan,
keterbukaan dari orang tua. Pengaruh lingkungan sekolah juga dapat mempengaruhi
remaja dalam bertindak baik maupun buruk. Jika ia bergaul dengan teman-teman
7
yang memiliki moral yang kurang baik maka kemungkinan ia juga akan terpengaruh
oleh temannya. Akan tetapi jika ia bergaul dengan teman-teman yang memiliki moral
baik maka ia juga akan terpengaruh baik. Pengaruh lingkungan masyarakat juga
bersifat negatif dan positif. Dikatakan positif apabila membawa dampak yang lebih
baik bagi perkembangan remaja ke hal-hal yang positif. Tetapi apabila tidak
disalurkan secara positif maka dapat berpengaruh negatif. Apabila masa remaja
merupakan yang memiliki emosi tinggi dan keinginan mencoba sesuatu yang baru.
Masa yang ingin lebih mengenal atau berinteraksi dengan orang lain semakin besar
pada lawan jenis (Al-Mighwar, 2011).
Interaksi sosial terjadi ketika kita melakukan hubungan, berkomunikasi dan
pergaulan dengan orang lain di lingkungan sekitar kita. Seorang manusia tidak dapat
memilih untuk dilahirkan di lingkungan yang seperti apa. Ia akan berinteraksi dengan
lingkungan yang terdekat dengannya, tidak menutup kemungkinan seorang anak yang
lahir dan hidup di lingkungan bisnis prostitusi, yang merupakan tempat para WPS
bersama lelaki hidung belang untuk bersenag-senang. Dengan demikian ia pun akan
melakukan pergaulan dengan orang-orang yang hidup di daerah tersebut. Ia akan
berkomunikasi dengan mereka, mendengar perilaku-perilaku negatif mereka, bahkan
membutuhkan kerjasama satu sama lain.
Keberadaan Pekerja Seks Komersial bukan merupakan hal yang baru, tetapi
sudah ada sejak zaman dahulu. Mereka merupakan orang-orang yang menjual dirinya
di dalam lingkungan prostitusi, yang sebenarnya tidak bisa kita pungkiri bahwa
masalah seperti itu selalu muncul dari waktu ke waktu. Keberadaan mereka sulit
8
untuk dihapus meskipun kita mengetahuinya bahwa hal tersebut melanggar normanorma yang berlaku di masyarakat
Penelitian Kalpika (2011) Daerah Prostitusi Dolly berkontribusi 71% terhadap
perilaku seks pranikah remaja kawasan ini. Fakta yang mengejutkan sebagai
gambaran langsung dampak wilayah bisnis prostitusi ini terhadap perilaku remaja
antara lain 40,7% remaja kawasan prostitusi Dolly pernah meraba/diraba organ intim
pasangannya. Ironisnya, 11,3% remaja Prostitusi Dolly pernah berhubungan seksual
pranikah dengan pacarnya (Kalpika, 2011).
Penelitian Yulita & Nunik (2008), perilaku seksual anak usia pra remaja (1011 tahun) di sekitar bisnis prostitusi di Kecamatan Sawahan Kota Surabaya, memberi
kesimpulan bahwa besar pengaruh kontak responden dengan lokalisasi terhadap
perilaku seksual responden yaitu kemungkinan responden yang mempunyai kontak
tinggi dengan daerah bisnis prostitusi akan berperilaku seksual tidak wajar 3,545 kali
lebih besar jika dibandingkan dengan responden yang mempunyai kontak rendah
dengan daerah prostitusi.
Menurut Laporan Hasil Survei Surveilans Perilaku (SSP) 2007-2008 di
Indonesia, di Kabupaten Deli Serdang terdapat 250 Wanita Penjaja Seks langsung,
umur pertama kali berperilaku beresiko adalah pada umur 18 tahun (BPS 2008). Data
dari puskesmas Bandar Baru tahun 2011 didapat 44% dari PSK di daerah Bandar
Baru berusia dibawah usia 23 tahun.
Desa Bandar Baru salah satu wilayah pemukiman masyarakat yang di dalam
terdapat bisnis prostitusi seperti Dolly di Surabaya, Pasar kembang atau Sarkem di
9
Yogyakarta dan Sunan Kuning di Semarang. Pada daerah prostitusi di Bandar Baru,
kompleksnya tepat berada di tengah-tengah atau menjadi satu dengan pemukiman
warga. Keberadaan rumah tangga biasa yang bersebelahan atau berhadapan-hadapan
dengan wisma prostitusi merupakan pemandangan yang umum. Para PSK di Bandar
Baru, ada yang bertempat tinggal di suatu rumah yang disebut “Barak” yang dikelola
oleh seorang yang kenal “Germo” dan ada juga yang tinggal di kost-kost yang berdiri
sendiri mencari pelanggan, yang lebih banyak interaksi dengan masyarakat setempat.
Perbedaan yang mencolok tampak dari dandanan para PSK yang melebihi dandanan
warga sekitar. Interaksi antara PSK dengan warga sekitar berlangsung tanpa ada
penghalang. Anak-anak bermain dengan leluasa walaupun di sekitar mereka para
PSK sedang mencari pelanggan.
Merebaknya pornografi bukan saja dari media, internet atau buku yang
menyimpang dari etika, dengan menjadikan desa Bandar Baru sebagai tempat
prostitusi, maka lingkungan desa Bandar Baru akan merupakan salah satu
memperkuat terjadi penyimpangan perilaku seksualitas pada remaja. Untuk
memecahkan persoalan tersebut, peran orang tua, sekolah sangat besar dengan cara
melakukan komunikasi lebih terbuka antara orang tua, guru-remaja, dan memberikan
kepercayaan dari orang tua kepada anak sehingga lebih bertanggungjawab terhadap
perilaku seksualnya. SMU Negeri 1 Bandar Baru adalah salah satu sekolah yang
berada di wilayah desa Bandar Baru. Berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala
Sekolah, bahwa setiap tahun di SMU Negeri 1 Bandar Baru ini terdapat sedikit 2
siswa/siswi putus sekolah disebabkan menikah.
10
Berdasarkan uraian di atas, maka dirasa perlu untuk melakukan penelitian
mengenai pengaruh lingkungan sosial dan komunikasi keluarga remaja terhadap
perilaku seksual remaja di SMA Negeri 1 Bandar Baru Kecamatan Sibolangit
Kabupaten Deli Serdang tahun 2014.
1.2. Permasalahan
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka yang menjadi permasalahan
dalam penelitian bagaimana pengaruh lingkungan sosial dan komunikasi keluarga
terhadap perilaku seksual remaja di SMA Negeri 1 Bandar Baru Kecamatan
Sibolangit Kabupaten Deli Serdang tahun 2014.
1.3. Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui pengaruh lingkungan sosial dan komunikasi
keluarga
terhadap perilaku seksual remaja di SMU Negeri 1 Bandar Baru Kecamatan
Sibolangit Kabupaten Deli Serdang tahun 2014.
1.4. Hipotesa Penelitian
Ada pengaruh lingkungan sosial dan komunikasi keluarga terhadap perilaku
seksual remaja SMU Negeri 1 Bandar Baru Kecamatan Sibolangit Kabupaten Deli
Serdang tahun 2014.
11
1.5. Manfaat Penelitian
1. Penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan oleh institusi pendidikan, dimana
perlu dalam pengembangan kurikulum kesehatan reproduksi.
2. Dapat menjadikan rekomendasi bahwa masalah remaja bukan saja masalah
masyarakat atau orang tua mereka tetapi pengaruh atau keterlibatan lembaga
pendidikan sangat dibutuhkan untuk penyebaran informasi yang benar tentang
kesehatan reproduksi remaja.
3. Dapat memberikan rekomendasi kepada kebijakan KIA tentang pentingnya
masalah remaja yang bukan merupakan orang dewasa kecil, tetapi mereka
mempunyai tugas perkembangan yang sangat berat, sehingga orang dewasa harus
bisa menolong remaja termasuk kebijakan-kebijakan dalam KIA.
Download