Karya Tulis

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perdebatan konseptual seputar penggunaan pidana seumur hidup sebagai sarana
penanggulangan kejahatan telah muncul sejak berkembangnya falsafah pembinaan
(treatment philosophy) dalam pemidanaan. Perdebatan tentang pidana seumur hidup
semakin meruncing seiring meningkatnya isu global tentang hak asasi manusia.
Dalam konteks kebijakan kriminal di Indonesia, pidana seumur hidup masih
dipandang relevan sebagai sarana penanggulangan kejahatan. Oleh karena itu jenis
pidana ini hampir muncul dalam setiap kebijakan kriminal di Indonesia, khususnya
terhadap jenis tindak pidana berat yang dampak sosialnya sangat luas dan kompleks.
Kebijakan tentang pidana seumur hidup dalam perundang-undangan pidana di
Indonesia yang ada selama ini belum mengimplementasikan gagasan keadilan
sebagai nilai-nilai dasar dalam masyarakat Indonesia. Belum diimplementasikannya
nilai-nilai keseimbangan dalam pidana seumur hidup tersebut telah menjadikan
pidana seumur hidup dalam kebijakan perundang-undangan pidana Indonesia tidak
dapat memberikan keseimbangan perlindungan terhadap individu dan kepada
masyarakat. Ketidakmampuan pidana seumur hidup memberikan perlindungan kepada
individu dan masyarakat nampak dari :
1. Kebijakan tentang pidana seumur hidup dalam perundang-undangan pidana di
Indonesia baik yang ada dalam KUHP maupun dalam perundang-undangan
1
diluar KUHP cenderung hanya diorientasikan pada perlindungan masyarakat
sebagai refleksi atas fungsi pidana sebagai sarana pencegah kejahatan.
2. Kebijakan tentang pidana seumur hidup dalam perundang-undangan pidana
tidak memberikan kemungkinan modifikasi atas pertimbangan adanya
perubahan atau perbaikan pada diri pelaku tindak pidana selama menjalani
pidananya.
Pidana penjara seumur hidup (untuk selanjutnya akan disebut “pidana seumur
hidup”) merupakan bagian dari pidana (penjara). Tetap dipertahankannya pidana seumur
hidup sering diperdebatkan oleh para ahli hukum. Tetap dipertahankannya pidana
seumur hidup dalam sistem pemidanaan di Indonesia, tidak berarti bahwa pidana
seumur hidup telah diterima oleh masyarakat. Banyak pihak yang merasa keberatan
dengan tetap dipertahankannya pidana seumur hidup karena dianggap tidak sesuai
dengan ide pemasyarakatan, yaitu karena dengan putusan demik:an terhukum tidak
akan mempunyai harapan lagi kembali kedalam masyarakat. Bahkan dengan sangat
ekstrem Hulsman menyatakan bahwa pidana perampasan kemerdekaan khususnya
pidana seumur hidup akan mengakibatkap rantai penderitaan yang tidak saja dirasakan
oleh narapidana yang bersangkutan. Dengan demikian pidana seumur hidup tidak, saja
akan mengakibatkan rantai penderitaan bagi narapidana seumur hidup tetapi juga
orang-orang yang kehidupannya tergantung pada narapidana tersebut.
Kajian yang membahas masalah pidana seumur hidup secara utuh boleh
dikatakan sangat jarang, padahal sebagai jenis pidana berat yang keberadaannya masih
2
mengandung pro dan kontra, pidana seumur hidup terasa sangat mendesak untuk
mendapat perhatian.
Tiga alasan mendasar pentingnya kajian tentang pidana seumur hidup di
Indonesia. Pertama, pidana seumur hidup sebagai bagian dari pidana penjara
bukanlah jenis pidana yang berasal dari hukum pidana (adat) yang ada di Indonesia,
akan tetapi berasal dari hukum pidana Belanda. Sebagai jenis pidana yang tidak
berakar pada nilai-nilai sosial masyarakat Indonesia, pidana penjara, termasuk
didalamnya pidana seumur hidup menjadi sangat mendesak untuk disesuaikan dengan
nilai-nilai sosial budaya masyarakat Indonesia. Kedua, kebijakan legislative tentang
pidana seumur hidup yang ada selama ini mengandung pertentangan filosofis. Secara
filosofis pidana penjara sebenarnya hanya bersifat sernentara, sebagai tempat untuk
mempersiapkan terpidana melakukan readaptasi sosial. Pidana seumur hidup yang ada
selama ini cenderung hanya diorientasikan pada upaya perlindungan masyarakat, yang
merupakan refleksi atas fungsi pidana sebagai sarana untuk mencegah kejahatan.
Sementara perlindungan terhadap individu (pelaku tindak pidana) kurang mendapat
perhatian. Ketiga, penonjolan salah satu aspek dengan mengabaikan aspek yang lain
baik individu maupun masyarakat dalam merumuskan tujuan pemidanaan, tidak sesuai
dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat Indonesia yang berdasarkan Pancasila
yang mengutamakan keadilan.
Perdebatan yang terjadi terhadap pidana seumur hidup menimbulkan pemikiran
bagi saya untuk melakukan penulisan mengenai pidana seumur hidup, terhadap
3
perbuatan pidana yang termuat dalam Pasal 340 KUHP. Menurut KUHP, bahwa pelaku
yang melakukan perbuatan pidana Pasal 340 KUHP diancam dengan hukuman mati,
atau penjara seumur hidup, atau penjara sementara selama dua puluh tahun. Putusan
No.200/PID/2004/PT-MDN tentang pernbunuhan berencana pelaku dikenakan pidana
seumur hidup. Oleh karena itu penulis tertarik untuk membahas ketentuan-ketentuan
apa saja yang mengatur pidana seumur hidup dan mengapa hakim memutus pidana
seumur hidup dalam Putusan No.2001PID/2004/PT-MDN.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka pokok permasalahan yang
akan dibahas dalam penulisan skripsi ini antara lain :

Bagaimana penerapan pidana seumur hidup terhadap Pasal 340 KUHP
(Studi Putusan No : 200/PID/20041PT-MDN) ?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
Dalam penulisan ini, terdapat beberapa tujuan yang hendak dicapai, yaitu :

Untuk mengetahui bagaimana penerapan pidana seumur hidup pada pasal
340 KUHP. (Studi Putusan No : 200/PID/2004/PT-MDN)
Karya tulis ini diharapkan menambah dan memperkaya literatur-literatur yang
telah ada sebelumnya, khususnya tentang penerapan pidana seumur hidup dalam
4
hukum pidana Indonesia. Karya tulis ini diharapkan juga menjadi bahan acuan untuk
mengadakan penelitian yang lebih mendalam lagi.
Disamping itu diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam
rangka menyempurnakan peraturan-peraturan di bidang hukum pidana, mengenai
pidana seumur hidup.
BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
A. Pengertian Pidana Dan Pemidanaan
Sebelum membahas lebih lanjut tentang tujuan pemidanaan, perlu terlebih
dahulu dipahami apa yang dimaksud dengan pidana. Pemahaman ini diperlukan
mengingat pidana hanyalah sebuah alat yaitu alat untuk mencapai tujuan
pemidanaan. Pemahaman terhadap alat itu penting untuk membantu memahami
apakah dengan alat tersebut tujuan yang telah ditentukan dapat dicapai.
Soedarto mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan pidana adalah
penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan
yang memenuhi syarat-syarat tertentu. (Widya Priyatno,2005:6). Sedangkan
menurut R. Soesilo yang menggunakan istilah hukuman untuk menyebut istilah
pidana merumuskan, bahwa apa yang dimaksud dengan hukuman adalah suatu
perasaan yang tidak enak (sengsara) yang dijatuhkan oleh hakim dengan vonis
kepada orang yang telah melanggar undangundang hukum pidana. (R. Soesilo,
1993).
5
Secara umum istilah pidana sering diartikan sama dengan istilah hukuman.
Tetapi kedua istilah tersebut sebenarnya mempunyai pengertian yang berbeda.
Hukuman adalah suatu pengertian umum, sebagai suatu sanksi yang menderitakan
atau nestapa yang sengaja ditimpakan kepada seseorang. Sedang pidana
merupakan pengertian khusus yang berkaitan dengan hukum pidana. Sebagai
pengertian khusus, masih juga ada persamaannya dengan pengertian umum,
sebagai suatu sanksi atau nestapa yang menderitakan”.
Menurut Moeljatno, istilah hukuman yang berasal dari kata straf dan
istilah dihukum yang berasal dari perkataan wordt gestraf merupakan istilahistilah yang konvensional. (Muladi,1992:1). Moeljatno tidak setuju dengan istilahistilah tersebut dan menggunakan istilah yang ini konvensional, yaitu pidana untuk
menggantikan kata straf. Menurut beliau, kalau straf diartikan hukuman maka
strafrechts seharusnya diartikan hukum-hukuman. Menurut beliau dihukum berarti
dikenakan hukuman, baik hukum pidana maupun hukum perdata.
Berdasarkan berbagai pendapat tersebut diatas, maka pidana dapat
diartikan suatu penderitaan yang bersifat khusus, yang telah dijatuhkan oleh
kekuasaan yang berwenang untuk menjatuhkan pidana atas nama negara sebagai
penanggung jawab dari ketertiban hukum umum bagi seorang pelanggar, yakni
semata-mata karna orang tersebut telah melanggar suatu peraturan hukum yang
harus ditegakkan oleh negara. Dan penulis menggunakan istilah pidana dengan
mempertimbangkan bahwa tulisan ini merupakan tulisan bidang hukum pidana,
6
sehingga lebih tepat menggunakan istilah yang secara khusus digunakan dalam
hukum pidana.
Berkaitan dengan pidana, di Indonesia terdapat bentuk pidana yang dimuat
dalam Pasal 10 KUHP.Pidana merupakan penderitaan yang sengaja diberikan kepada
orang yang melakukan perbuatan yang menyebabkan hilangnya Nyawa orang lain.
Bentuk pidana sebagaimana diatur Pasal 10 KUHP adalah :
a. Pidana pokok yang terdiri dari :
1) Pidana mati
Pidana mati adalah puncak dari segala pidana, pidana ini banyak
dipersoalkan antara golongan yang pro dan kontra. Salah satu
keberatan terhadap pidana mati yaitu sifatnya yang mutlak, sifatnya
yang tidak mungkin untuk mengadakan perubahan dan perbaikan
apabila pidana ini telah dijatuhkan.
2) Pidana penjara
Pidana penjara merupakan pidana utama (pidana pokok) diantara
pidana-pidana kehilangan/pembatasan kemerdekaan. Pasal 12 KUHP ayat
1; menentukan bahwa pidana penjara ini dapat seumur hidup atau
sementara, ayat 2; menentukan bahwa pidana penjara untuk sementara itu
paling sedikit satu hari dan selama-lamanya 15 tahun, ayat 3;
menentukan pidana penjara 15 tahun dapat dipertinggi lagi sampai 20
tahun berturut-turut yakni dalam hal-hal :
7
a) Kejahatan yang pidananya mati, penjara seumur hidup;
b) Dari sebab tambahan pidana, karena gabungan kejahatan (concursus)
dan pengulangan kejahatan;
c) Terjadinya kegiatan seperti dimaksud dalam Pasal 52 (pemberatan
karena jabatan dan 52a (pemberatan karena dengan memakai
bendera seragam) sedangkan pada ayat 4 menentukan batas yang
paling tinggi yaitu 20 tahun.
3) Pidana kurungan
Sama halnya dengan pidana penjara, pidana kurungan juga merupakan
pidana hilangnya kemerdekaan/pembatasan kemerdekaan bergerak. Ada
perbedaan yang jelas antara pidana penjara dengan pidana kurungan:
a) Hal ini jelas ditentukan o(eh Pasal 69 KUHP bahwa perbandingan
beratnya pidana pokok yang tidak sejenis oleh urutan susunan dalam
Pasal 10 KUHP;
b) Ancaman pidana kurungan lebih ringan dari pada pidana penjara,
maksimal 1 tahun, Pasal 18(l) dan Pasal 18 (2) KUHP menentukan
bahwa pidana kurungan boleh dijatuhkan selama lamanya I tahun 4
bulan dalam tial mana terjadi gabungan peristiwa pidana (concursus),
dan karena ulangan peristiwa pidana
4) Pidana denda
Pidana denda hampir ada pada semua tindakan pelanggaran yang
8
tercantum dalam buku III KUHP. Terhadap kejahatan-kejahatan ringan
pidana denda diancamkan sebagai alternatif pidana kurungan, namun bagi
kejahatan-kejahatan berat jarang sekali dincam dengan pidana denda.
5) Pidana tutupan
Pidana tutupan pada mulanya tidak dkenal. Baru melalui UU No 20 tahun
1946 pidana tutupan ditambahkan pada pasal 10 KUHP tersebut. Tempat
menjalani pidana tutupan, cara melakukan pidana tutupan dan segala sesuatu
yang perlu untuk melaksanakan UU No 20 tahun 1946 diatur lebih lanjut
dalam PP No 8 tahun 1948 yang diundangkan pada tanggal 5 Mei 1948
tentang rumah tutupan. Di dalam PP tersebut, kelihatan bahwa rumah
tutupan tersebut bukanlah penjara biasa. Karena rumah tutupan tersebut
keadaan serta fasilitas-fasilitasnya adalah lebih baik dari pada rumah
penjara, misalnya dapat kita baca pada pasal 33 (2) yang menyatakan
makanan orang-orang hukuman tutupan harus lebih baik daripada makanan
orang-orang hukuman penjara.
b. Pidana tambahan yang terdiri dari :
1) Pencabutan hak-hak tertentu
Perlu kita ketahui bahwa pencabutan segala hak yang dipunyai/diperoleh
seseorang sebagai warga negara yang dapat menyebabkan kematian
perdata tidak diperkenankan oleh UU, lihat Pasal 3 BW. Hak-hak yang
dapat dicabut telah dapat ditentukan dalam Pasal 35 KUHP, yaitu :
9
a) Hak memegang pada umumnya atau jabatan tertentu;
b) Hak masuk angkatan bersenjata;
c) Hak memilih dan dipilih yang diadakan berdasarkan aturan-aturan
umum;
d) Hak menjadi penasehat atau pengurus menurut hukum;
e) Hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwalian atau
pengampu atas anak sendiri;
f) Hak menjalankan pencaharian tertentu.
2) Perampasan barang-barang tertentu
Perampasan barang-barang suatu pidana hanya diperkenankan terhadap
barang-barang
tertentu.
Undang-undang
pidana
tidak
mengenal
perampasan seluruh kekayaan. Menurut Pasal 39 KUHP barang yang
dapat
dirampas
dengan
putusan
hakim
adalah
barang
yang
berasal/diperoleh dari kejahatan.
3) Pengumuman keputusan hakim.
Sebenarnya tiap-tiap putusan dengan pintu terbuka dan secara umum,
tetapi kadang-kadang perlu supaya putusan itu sampai luas diketahui
umum.
Misalnya
seorang
dokter
bersalah
karena
kealpannya
mengakibatkan matinya orang lain dan putusan hakim itu diumumkan pula
sebagai pidana tambahan, maka publik akan diperingatkan terhadap
kepercayaannya
pada
dokter.
10
Biasanya
ini
dilakukan
dengan
mengumumkan putusan itu dalam surat kabar, dimana biaya untuk
pelaksanaan pengumuman ini ditanggung oleh si terhukum.
Menurut Prof.Sudarto, perkataan pemidanaan itu adalah sinonim
dengan perkataan penghukuman.
Tentang hal tersebut beliau mengatakan antara lain bahwa:
Penghukuman itu berasal dari kata dasar hukum, sehingga dapat
diartikan sebagai menetapkan hukum atas memutuskan tentang
hukumannya (berechten). Menetapkan hukum untuk suatu peristiwa
tidak hanya menyangkut bidang hukum pidana saja, tetapi juga
hukum perdata.
B. Tujuan Pemidanaan
Berbicara masalah eksistensi pidana seumur hidup dalam hukum pidana di
Indonesia tidak dapat dilepaskan dari kajian terhadap tujuan pemidanaan. Kajian
beberapa jauh sanksi pidana relevan dan karenanya patut dipertahankan dalam
sistem hukum pidana.
Mengenai tujuan pemidanaan dapat digolongkan dalam tiga jenis teori,
yaitu teori pembalasan, teori tujuan dan teori gabungan (E.Y.Kanter,2002:59):
a. Teori Pembalasan (teori absolute)
Teori pembalasan membenarkan pemidanaan karena seseorang telah
melakukan suatu tindak pidana. Terhadap pelaku tindak pidana mutlak
harus adakan pembalasan yang berupa pidana, tidak dipersoalkan akibat
dari pemidanaan bagi terpidana. Bahan pertimbangan untuk pemidanaan
11
hanyalah masa lampau, maksudnya masa terjadinya tindak pidana itu.
b. Teori Tujuan (teori relative)
Berbeda dengan teori pembalasan, maka teori tujuan mempersoalkan
akibat-akibat dari pemidanaan kepada penjahat atau kepentingan masyarakat,
dipertinbangkan juga pencegahan untuk masa mendatang. Dan dipandang
dari tujuan pemidanaan ini dapat diartikan untuk pencengahan terjadinya
suatu kejahatan dengan mengadakan ancaman pidana yang cukup berat
utuk menakut-nakuti.Cara ini ditujukan secara umum, artinya kepada
siapa saja, agar takut melakukan kejahatan.
c. Teori Gabungan
Kemudian timbul golongan ketiga yang mendasarkan pemidanaan kepada
perpaduan teori pembalasan dengan teori tujuan, yang disebut sebagai teori
gabungan. Penganutnya antara lain Binding. Dikatakan bahwa teori pembalasan
dan teori tujuan masing-masing mempunyai kelemahan-kelemahan, untuk mana
dikemukakan keberatatan-keberatan sebagai sebagai berikut :
Terhadap teori pembalasan :
1) Sukar menentukan berat/ringannya pidana atau ukuran balasan tidak jelas.
2) Diragukan adanya hak Negara untuk menjatuhkan pidana sebagai
balasan.
3) Hukuman (pidana) sebagai pembalasan tidak berguna bagi masyarakat.
12
Terhadap teori tujuan :
1) Pidana hanya ditujukan untuk mencegah kejahatan, sehingga dijatuhkan
pidana yang berat baik oleh teori pencegahan umum maupun teori
pencegahan khusus.
2) Jika ternyata kejahatan itu ringan, maka penjatuhan pidana yang berat,
tidak memenuhi rasa keadilan.
3) Bukan hanya masyarakat yang harus diberi kepuasan tetapi juga kepada
penjahat itu sendiri.
Maka oleh karena itu, tidak saja hanya mempertimbangkan masa lalu
(seperti yang terdapat dalam teori pembalasan), tetapi juga harus bersamaan
mempertimbangkan masa datang (seperti yang dimaksudkan pada teori tujuan).
Dengan demikian penjatuhan suatu pidana harus memberikan rasa kepuasan, baik
bagi hakim maupun kepada penjahat itu juga sendiri di samping kepada
masyarakat. Jadi harus ada keseimbangan antara pidana yang dijatuhkan dengan
kejahatan yang telah dilakukan.
Dari kajian yang dilakukan oleh berbagai kalangan ahli hukum dapat
dikatakan, bahwa perkembangan teori pemidanaan cenderung beranjak dari prinsip
menghukum yang berorientasi ke belakang ke arah gagasan/ide membina yang
berorientasi ke depan. Menurut Roeslan Saleh, pergeseran orientasi pemidanaan
disebabkan oleh karena hukum pidana berfungsi dalam masyarakat. Hukum pidana
13
mencerminkan gambaran masanya dan bergantung pada pikiran,pikiran yang hidup
dalam masyarakat.
Untuk lebih memahami pergeseran orientasi pemidanaan yang terjadi
dalam hukum pidana, berikut ini akan dikemukakan secaraa singkat berbagai aliran
yang berkembang dalam hukum pidana, yang melandasi adanya pergeseran
tersebut :
a. Aliran Klasik
Aliran ini
muncul
sebagai
reaksi
atas kesewenang-wenangan
penguasa pada abad ke-l8 di Perancis dan Inggris, yang banyak
menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan. Aliran ini
menghendaki hukum pidana yang tersusun secara sistematis dan
menitikberatkan pada perbuatan dan tidak kepada orang yang
melakukan tindak pidana. Dengan orientasi pada perbuatan yang
dilakukan, aliran ini menghendaki pidana yang dijatuhkan itu seimbang
dengan perbuatan tersebut. Secara ekstrim dapat dikatakan, bahwa
aliran klasik dalam pemberian pidana lebih melihat kebelakang.
Beberapa tokoh aliran ini dapat disebut misalnya; Cesare Beccaria,
yang lahir di Italia pada tanggal 15 Maret 1738 dengan karyanya yang
sangat terkenal yaitu Dei Delicti e delle pene (1764) yang diterbitkannya
pertama di Inggris tahun 1767 dengan judul On Crime,; And Punishment.
bertolak dari filsafat kebebasan kehendak, Cesare Beccaria melalui
14
karyanya memberikan sumbangan pemikiran yang sangat besar dalam
pembaharuan peradilan pidana dengan doktrin pidana harus sesuai
dengan kejahatan. Tokoh lain aliran ini adalah Jeremy Bentham (17481832), seorang filsof Inggris.
b. Aliran Modern
Aliran ini timbul pada abad ke-19 dengan tokoh-tokohnya Lambroso,
Lacassagne, Ferri, Von List, A. Pins Dan Van Hamel. Berbeda dengan
aliran klasik, aliran ini berorientasi pada pelaku tindak pidana dan
menghendakinya adanya individualisme dari pidana, artinya dalam
pemidanaan harus diperhatikan sifat-sifat dan keadaan pelaku tindak
pidana.
Aliran ini disebut juga aliran positif karena dalam mencari sebab
kejahatan menggunakan metode ilmu alam dan bermaksud untuk
langsung mendekati dan mempengaruhi penjahat secara positif
(mempengaruhi pelaku tindak pidana kearah yang positif/kearah yang
lebih baik) sejauh ia masih dapat diperbaiki. Dengan orientasi yang
demikian maka aliran modern sering dikatakan mempnyai orientasi ke
masa depan.
c. Aliran Neo Klasik
Di samping beberapa aliran tersebut di atas, perlu dikemukakan disini
adanya suatu aliran yang berasal dari aliran klasik yaitu aliran neo
15
klasik. Menurut aliran ini , pidana yang dihasilkan oleh aliran klasik
terlalu berat dan merusak semangat kemanusiaan yang berkembang saat
itu. Untuk itu aliran ini merumuskan pidana minimum dan mengakui
apa yang dinamakan asas-asas tentang keadaan yang meringankan
(,grinciple of extenuating circumstances)
C. Pengertian Pidana Seumur Hidup
Sebelum membicarakan masalah jenis-jenis pidana yang dikenal orang di
dalam Hukum Pidana Indonesia, sebaiknya kita mengetahui terlebih dahulu, yaitu apa
yang sebenarnya dimaksud dengan perkataan pidana itu sendiri. Menurut Prof.van
Hamel, arti dari pidana atau straf menurut hukum positif dewasa ini adalah:
Een bijzonder leed, tegen den overtreder van een door den staat
gehandhaafd rechtsvoorschrift, op den enkelen grond van die overtreding, van wege
den staat als handhaver der openbare rechtsorde, door met de rechtsbedeeling
belaste gezag uit te spreken.
Artinya:
Suatu penderitaan yang bersifat khusus, yang telah dijatuhkan oleh kekuasaan
yang berwenang untuk menjatuhkan pidana atas nama negara sebagai penanggung
jawab dari ketertiban hukum umum bagi seorang pelanggar, yakni
semata-mata
karna orang tersebut teleh melanggar suatu peraturan hukum yang harus ditegakkan
oleh negara.
Menurut Simons, pidana atau straf itu adalah:
Het leed, door de strafwet als gevolg aan de overtreding van de norm verbonden, dat
aan den schuldige bij rechterlijk vonnis wordt opgelegd.
Artinya:
Suatu penderitaan yang oleh undang-undang pidana telah dikaitkan terhadap
pelanggaran terhadap suatu norma, yang dengan suatu putusan hakim telah
dijatuhkan bagi seseorang yang bersalah.
Het middle waarmee de overheid(rechter) dengene die een ontoelaatbare
handeling pleegt terechtwijst of tot de orde roept. Deze reactive van de overheid op
zijn handeling ontneemt de gestrafte een deel van de bescherming die hij, als hij geen
delict gepleegd zou hebben, genlet t.a.v zijn vrijheid, zijn vermogen.
Artiny:
Alat yang digunakan oleh penguasa(hakim) untuk memperingatkan mereka
16
yang telah melakukan suatu perbutan yang tidak dapat dibenarkan. Reaksi dari
penguasa tersebut telah mencabut kembali sebagian dari perlindungan yang
seharusnya dinikmati oleh terpidana atas nyawa, kebebasan, dan harta kekayaannya,
yaitu seandainya ia telah tidak melakukan suatu tindak pidana.
Dari tiga buah rumusan mengenai pidana diatas dapat diketahui, bahwa
pidana sebenarnya hanya merupakan penderitaan atau suatu alat belaka.
Ini berarti pidana bukan merupakan suatu tujuan dan tidak mungkin
dapat mempunyai tujuan.
Hal tersebut perlu dijelaskan, agar di indonesia jangan sampai terbawa
oleh arus kacaunya cara berpikir dari para penulis di Negeri Belanda, karna mereka
seringkali telah menyebut tujuan dari pemidanaan dengan perkataan tujuan dari
pidana, sehingga ada beberapa penulis di tanah air yang tanpa menyadari kacaunya
berpikir para penulis Belanda itu, secara harfiah telah menerjemahkan perkataan doel
der starf dengan perkataan tujuan dari pidana, padahal yang dimaksud dengan
perkataan doel der straf sebenarnya adalah tujuan dari pemidanaan.
Dan Pidana penjara yang berdasarkan pasal 12 ayat (1) terdir dari pidana
penjara seumur hidup dan pidana selama waktu tertentu.Pidana penjara adalah
pidana berupa pembatasan kebebasan bergerak dari seorang terpidana yang dilakukan
dengan menutup orang tersebut di dalam sebuah lembaga pennasyarakatan yang
menyebabkan orang tersebut harus mentaati semua peraturan tata tertib bagi
mereka yang telah melanggar.
Berkaitan dengan pidana penjara ini di dalam pasal 12 KUHP dinyatakan :
1) Pidana penjara adalah seumur hidup dan selama waktu tertentu
2) Pidana selama waktu rtentu paling pendek adalah satu hari dan paling
lama lima belas tahun berturut-turut.
3) Pidana penjara untuk selama waktu tertentu boleh dijatuhkan untuk dua
puluh tahun berturut-turut dalam hal kejahatan yang pidananya hakim
boleh memilih antara pidana mati pidana seumur hidup, dan pidana
penjara selama waktu tertentu, begitu juga dalam hal batas lima belas
tahun dapat dilampaui karena perbarengan (concursus), pengulangan
(concursus), pengulangan (residive) atau karena yang ditentukan dalam pasal
52 dan 52a (L.N. 1958 No. 127)
4) Pidana selama waktu tertentu sekali-kali tidak boleh lebih dari dua puluh
17
tahun.
Berdasarkan ketentuan Pasal 12 KUHP di atas terlihat, bahwa untuk
pidana penjara selama waktu tertentu undang-undang/KUHP telah secara tegas
memberikan batasan tentang jangka waktunya, yaitu maksimal 15 tahun berturutturut dan minimal satu hari. Berbeda dengan jenis pidana penjara selama waktu
tertentu yang secara eksplisit atau secara tegas ditentukan batas waktu antara-nya,
undang-undang (KUHP) tidak secara eksplisit memberikan batasan tentang jangka
waktu pidana seumur hidup.
Tidak adanya batasan tentang pidana seumur hidup dalam KUHP seringkali
menimbulkan kerancuan penafsiran dikalangan awam hukum. Di kalangan
awam hukum, istilah "seumur hidup" sering diartikan sebagai sama dengan
(hidup) pelaku tindak pidana pada saat melakukan tindak pidana
Namun demikian, sekalipun Pasal 12 KUHP tidak secara eksplisit
memberikan penafsiran tentang pidana seumur hidup, secara doktrinal pidana
seumur hidup lazim ditafsirkan sebagai pidana selama hidup/sepanjang hidup.
Pengertian seperti ini dapat dilihat dari pendapat Barda Nawawi Arief yang
menyatakan : “Dilihat dari sudut penjatuhan pidana dan juga dari sudut terpidana,
pidana seumur hidup itu bersifat pasti (definite sentence) karena si terpidana
dikenakan jangka waktu yang pasti (a definite period of time), yaitu menjalani
pidana penjara sepanjang hidupnya.
Karena sifatnya yang pasti itu menurut Roeslan Saleh, orang menjadi
18
keberatan terhadap pidana seumur hidup. Sebab dengan putusan yang demikian,
terpidana tidak akan mempunyai harapan lagi kembali ke dalam masyarakat.
Bertolak dari uraian di atas terlihat, bahwa dalam hal pidana penjara
selama waktu tertentu, KUHP menganut sistem indefinite, yaitu sistem pidana yang
tidak ditentukan secara pasti (indefinite sentence). Sistem ini dapat dilihat dalam
rumusan ancaman pidana dalam pasal perundang-undangan pidana di Indonesia
khusunya dalam KUHP, dimana dalam setiap rumusan ancaman pidana hanya
ditentukan maksimum (khusus) pidana yang dapat dijatuhkan.
Sementara dalam hal pidana seumur hidup, KUHP menganut sistem
pidana yang ditentukan secara pasti (definite sentence), Karena terpidana dikenakan
jangka waktu yang pasti (a definite period of time), yaitu menjalani pidana
sepanjang hidupnya.
,
D. Sejarah Pidana Seumur Hidup di Indonesia
Dalam berbagai literatur hukum yang membahas tentang sejarah sistem
pidana dan pemidanaan di Indonesia akan nampak bahwa di Indonesia dahulu
tidak dikenal jenis pidana penjara, termasuk pidana seumur hidup. Sejarah sistem
pidana dan pemidanaan di Indonesia yang dapat ditelusuri dari jaman Majapahit
tidak mencatat adanya jenis pidana penjara dalam sistem pidana dan
pemidanaannya.
Pidana yang dikenal pada masa Majapahit adalah :
a. Pidana Pokok :
19
1) Pidana mati
2) Pidana potong anggota badan yang bersalah
3) Denda
4) Ganti kerugian atau panglicawa atau patukucawa
b. Pidana Tambahan :
1) Tebusan
2) Penyitaan
3) Uang pembeli obat atau patibajambi
Menurut Koesnoe, pidana penjara baru dikenal di Indonesia ketika VOC
(Verenigde Oost Indische Compagnie) memperkenalkan lembaga bui pada tahun 1602
yang kemudian dilanjutkan pada jaman Hindia Belanda menjadi pidana penjara.
Keberadaan pidana penjara semakin eksis dalam sistem hukum pidana di
Indonesia dengan adanya unifikasi WvS (Wetboek van Strafrecht) di Indonesia dengan
Stb. 1915-732 yang mulai berlaku pada tanggal I Januari 1918. dengan
diberlakukannya Wvs di Indoneisa maka secara resmi pidana penjara termasuk
pidana seumur hidup menjadi salah satu pidana yang ada dalam sistem hukum pidana
di Indonesia.
Berdasarkan pemaparan di atas terlihat, bahwa pidana penjara termasuk
pidana seumur hidup merupakan produk hukum barat, bukan produk asli bangsa
Indonesia dan karenanya tidak berasal dari nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat
Indonesia.
E. Ketentuan Pidana Seumur Hidup di Indonesia
20
1. Pidana Seumur Hidup Dalam KUHP
Induk dari peraturan hukum pidana di Indonesia adalah KUHP. Sebagai
peraturan induk, ketentuan umum dalam KUHP tidak saja berlaku mengikat terhadap
aturan-aturan pidana di dalam KUHP tetapi juga mengikat terhadap aturanaturan pidana di luar KUHP. Tentang masalah ini secara tegas diatur dalam Pasal 103
KUHP yang inenyatakan:
"Ketentuan-ketentuan dalam Bab I sampai dengan Bab VII buku ini
(maksudnya KUHP, pen) juga berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh
ketentuan perundang-undangan lainnya diancam dengan pidana, kecuali
jika oleh undang-undang ditentukan lain".
Bertolak dari ketentuan Pasal 103 KUHP di atas dapat disimpulkan bahwa
ketentuan-ketentuan umum dalam KUHP termasuk ketentuan umum mengenai pidana
seumur hidup juga berlaku untuk perundang-undangan di luar KUHP sepanjang
tidak ditentukan lain dalam undang-undang (khusus) yang bersangkutan.
Di dalam KUHP ketentuan umum tentang pidana seumur hidup diatur
dalam Pasal 12 yang menyatakan:
1) Pidana penjara adalah seumur hidup atau selama waktu tertentu
2) Pidana penjara selamd waktu tertentu paling pendek adalah satu hari
dan paling lama 15 tahun berturut-turut.
3) Pidana penjara selama waktu tertentu boleh dijatuhkan untuk dua puluh
tahun berturut-turut dalam hal kejahatan yang pidananya hakim boleh
tmemilih antara pidana mati, pidana seumur hidup dan pidana penjara
selama waktu tertentu, begitu juga dalam hal batas lima belas tahun
dapat dilampaui karena perbarengan (concursus), pengulangan
(residive) atau karena yang ditentukan dalam Pasal 52 dan 52a.
4) Pidana penjara selama waktu tertentu sekali-kali tidak boleh lebih dari
21
dua puluh tahun.
Berdasarkan ketentuan Pasal 12 KUHP di atas terlihat bahwa ketentuan
umum mengenai pidana seumur hidup hanya diatur dalam satu ketentuan, yaitu
dalam ayat (1) Dari ketentuan tersebut tampak bahwa pengaturan tentang pidana
seumur hidup dalam KUHP tidak sejelas pengaturan tentang pidana penjara
selama waktu tertentu.
Ketentuan Pasal 12 ayat (1) KUHP diatas sebenarnya hanya menunjukkan
bahwa bentuk pidana penjara itu bisa berupa pidana seumur hidup dan sementara
waktu. Dengan demikian dalam ketentuan umum ini sama sekali tidak disinggung
tentang bagaimana pengaturan pidana seumur hidup sebagaimana dalam
pengaturan tentang pidana penjara selama waktu tertentu.
Sementara itu berkaitan dengan ketentuan tentang pelepasan bersyarat, Pasal
15 KUHP juga tidak mengatur tentang adanya kemungkinan terhadap narapidana
seumur hidup untuk memperoleh pelepasan bersyarat. Ketentuan Pasal 15 KUHP
secara jelas menyatakan:
1) Jika terpidana telah menjalani dua per tiga dari lamanya penjara yang
dijatuhkan kepadanya, yang sekurang-kurangnya harus sembilan bulan,
maka kepadanya dapat diberikan pelepasan bersyarat.
Jika terpidana harus menjalani beberapa pidana berturut-turut, pidana itu
dianggap sebagai satu pidana.
2) Dalam memberikan pelepasan bersyarat, ditentukan pula suatu masa
percobaan, serta ditetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi selama masa
percobaan.
3) Masa percobaan itu lamanya sama dengan sisa waktu pidana yang sah, maka
waktu itu tidak termasuk masa percobaan.
22
2. Pidana Seumur Hidup Dalam Perundang-Undangan Pidana Di Luar KUHP
a. Tindak Pidana Di Luar KUHP Yang Diancam Pidana Seumur Hidup
Sudah menjadi pendapat umum bahwa perkembangan masyarakat yang
demikian pesat tidak selalu dapat diikuti oleh perkembangan dan perubahan
perundang-undangan yang sesuai. Tetapi perkembangan masyarakat yang ditandai
dengan munculnya berbagai teknologi mutakhir tersebut akan selalu diikuti oleh
perkembangan kejahatan (crimes follows
the socities), karena itulah KUHP
akan selalu ketinggalan dari perkembangan masyarakatnya.
Mengantisipasi hal tersebut maka tidak tertutup kemungkinan untuk mengatur
suatu hal tertentu tersebut dalam perundang-undangan di luar KUHP atau yang secara
populer disebut sebagai undang-undang (pidana) khusus.
Tidak terkecuali di Indonesia, perkembangan masyarakat yang demikian
pesat itupun juga tidak dapat diikuti oleh perkembangan di bidang hukum
sehingga muncul berbagai perundang-undangan di luar KUHP termasuk perundangundangan di luar KUHP yang mengatur berbagai tindak pidana yang diancam pidana
seumur hidup.
Berbagai tindak pidana dalam perundang-undangan pidana di luar KUHP
yang diancam pidana seumur hidup dapat dilihat dalam tabel di bawah ini.
Tabel 3. Tindak pidana yang diancam pidana seumur hidup dalam perundangundangan di luar KUHP
Perundang-undangan
Pasal yang mengatur
23
1. UU No. 12/ Drt/ 1951 (senjata api)
2. UU No. 5/1997 (psikotropika)
3. UU No. 22/ 1997 (narkotika)
4. UU No. 31/ 1999 (korupsi)
Pasal 1(1)
Pasal 59 (2)
Pasal 80 (1) sub a
Pasal 80 (2) sub a
Pasal 80 (3) sub a
Pasal 81 (3) sub a
Pasal 82 (1) sub a
Pasa182 (2) sub a
Pasal 82 (3) sub a
Pasal 87
Pasal 2(1)
Pasal 3
Pasal 15
Pasa1 16
Sumber : Data sekunder diolah
Berdasarkan tabel di atas terlihat bahwa tindak pidana dalam perundangundangan pidana di luar KUHP yang diancam pidana seumur hidup tersebar dalam
berbagai perundang-undangan misalnya Undang-Undang (drt) Nomor 12 Tahun
1951 tentang Senjata Api dan Bahan Peledak, Undang-Undang No. 5 Tahun
1997 tentang Psikotropika, Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika
dan Undang-Undang No. 31 tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi.
Adapun tindak pidana yang diancam pidana seumur hidup dalam berbagai
undang-undang tersebut di atas secara rinci dapat dilihat dalam penjelasan, di
bawah ini.
Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1951, tindak pidana yang
diancam pidana seumur hidup adalah tindak pidana yang diatur dalam Pasal I ayat
(1), yaitu dengan tanpa hak memasukkan ke Indonesia, membuat, menerima,
mencoba, memperoleh, menyerahkan atau mencoba menyerahkan, menguasai,
24
membawa, mempunyai persediaan padanya atau mempunyai dalam miliknya,
menyimpan, mengangkut, menyembunyikan, mempergunakan atau mengeluarkan
dari Indonesia sesuatu senjata api, amunisi atau secara bahan peledak.
Sedangkan dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 tindak pidana yang
diancam pidana seumur hidup adalah tindak pidana yang ditunjuk oleh Pasal 59 ayat (2),
yaitu tindak pidana sebagaimana yang diatur dalam Pasal 59 ayat (1) yang
dilakukan secara terorganisir. Tidak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59
ayat (1) Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 tersebut meliputi:
1) Menggunakan psikotropika Golongan I selain dimaksud dalam Pasal 4
(2).
2) Memproduksi dan/atau menggunakan dalam proses produksi psikotropika
Golongan I sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6.
3) Mengedarkan psikotropika Golongan I tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 (3).
4) Mengimpor psikotropika Golongan I selain untuk kepentingan ilmu
pengetahuan.
5) Secara
tanpa
hak
memiliki,
menyimpan
dan/atau
membawa
psikotropika Golongan I.
Sementara itu dalam Undang-Undang No. 22 tahun 1997, tindak pidana yang
diancam dengan pidana seumur hidup adalah tindak pidana yang diatur dalam
Pasal 87. Tindak pidana yang dimaksud dalam pasal-pasal tersebut meliputi:
25
1) Memproduksi, mengolah, mengekstraksi, mengkonversi, merakit atau
menyediakan narkotika Golongan 1, sebagaimana dimaksud dalam Pasal
80 ayat (1) a.
2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 (1) a yang didahului
dengan permufakatan jahat sebagaimana dimaksud dalam Pasa180 (2) a.
3) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 (1) a yang
dilakukan secara terorganisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat
(3) a.
4) Membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito narkotika Gologan I
yang dilakukan, secara terorganisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasl 81
(3) a.
5) Mengimpor, mengekspor, menawarkan untuk dijual, menyalurkan,
menjual, membeli, menyerahkan, menerima, menjadi prantara dalam jualbeli atau menawarkan narkotika Golongan I sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 82 91) a.
6) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (1) a yang
didahului dengan permufakatan jahat sebagaimana diatur dalam Pasal 82
91 ayat (2) a.
7) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (1) a yang
dilakukan secara terorganisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat
(3) a.
26
8) Menyuruh, memberi atau menjanjikan sesuatu, memberi kesempatan,
menganjurkan, memberi kemudahan, memaksa dengan ancaman, memaksa
dengan kekerasan, melakukan tipu muslihat, atau membujuk anak yang
belum cukup umur untuk melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 78, 79, 80, 81, 82, 83, dan 84.
Dalam UU No. 31 Tahun 1999 tindak pidana yang diancam dengan pidana
seumur hidup adalah tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1), 3,
15 dan 16. Rumusan tindak pidana sebagaimana diatur dalam pasal tersebut
adalah:
a. Setiap orang yang dengan melawan hukum melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain, atau suatu korporasi, yang
dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara (Pasa12
(l) ).
b. Setiap orang yang dengan tujuan yang menguntungkan diri sendiri
atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan,
kesempatan sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, atau
yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Sementara berdasarkan ketentuan Pasal 15 UU No. 31 Tahun 1999 juga
ditegaskan, percobaan, pembantuan atau permufakatan untuk melakukan tindak
pidana dalam Pasal 2 ayat (1) dan 3. Dengan demikian, percobaan, pembantuan
dan permufakatan untuk melakukan tindak pidana korupsi merupakan delik tersendiri
27
yang ancamannya sama dengan tindak pidana korupsi, dalam hal ini baik dilakukan di
wilayah Indonesia maupun di luar Indonesia (Pasal 16).
b. Ketentuan Pidana Seumur Hidup di Indonesia yg di Luar KUHP
Dilihat dari kualifikasinya, tindak pidana dalam KUHP yang diancam dengan
pidana seumur hidup adalah tindak pidana yang dikualifikan sebagai kejahatan
(berat).
Tidak terkecuali di Indonesia, perkembangan masyarakat yang demikian pesat
itupun juga tidak dapat diikuti oleh perkembangan di bidang hukum sehingga muncul
berbagai perundang-undangan di luar KUHP termasuk perundang-undangan di luar
KUHP yang mengatur berbagai tindak pidana yang diancam pidana seumur hidup.
Tindak pidana dalam perundang-undangan pidana diluar KUHP yang diancam
pidana seumur hidup tersebar dalam berbagai perundang-undangan misalnya
Undang-undang No.12 tahun 1951 tentang senjata api dan bahan peledak, undangundang No. 5 tahun 1997 tentang psikotropika, undang-undang No.22 tahun 1997
tentang narkotika dan undang-undang No.31 tahun 1999 Tindak Pidana Korupsi.
28
Download