SAINS ARSITEKTUR 2 Dosen : Ir. Heru subiantoro ST,MT Disusun Oleh : Akhmad misbakhul munir (0951010031) PROGDI TEKNIK ARSITEKTUR FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAWATIMUR ARTIKEL 1 Green Construction Gerakan Bangunan Ramah Lingkungan Menjaga lingkungan yang asri, bersih dan tentunya membawa dampak sehat untuk semua elemenmasyarakat memang sutu hal yang tidak mudah namun perlu dilakukan. Bebagai gerakan jaga bumi kita, sayangi bumi kita dan tanam 1 pohon 1 manusia terus mendengung dan mungkin berhasil untuk meminimalisir kerusakan bumi yang kita perbuat sendiri. Begitu banyak cara dan berbagai inovasi nan kreatif yang manusia lakukan, tapi itu semua memang butuh waktu yang konsisten dan biaya yang konsisten pula, mahal. Bukan hanya menjaga lingkungan dan merawatnya. Kemajuan teknologi akibat dari kemajuan cara berpikir manusia terus berkembang sehingga menghasilkan pemikiran yang mampu menjadikan suatu konsep yang menguntungkan bagi manusia maupun lingkungan. Dengan semakin banyaknya populasi manusia, kebutuhan akan berbagai macam keperluanpun meningkat. Saat ini konstruksi hijau atau Green Construction memang menjad terobosan penting dan sudah banyak dalam pengaplikasiannya. Di Indonesia pun sudah banyak bangunan dengan design dan materialnya yang ramah lingkungan, seperti : 1. Perpustakaan di Universitas Indonesia 2. Masjid Al-Irsyad Kotabaru Parahyangan Bandung, Indonesia 3. California academy of sciences unveiled 4. Greenpix zero energy media wall lights up beijing 5. Amazing Green roof art school in Singapore Green construction ialah sebuah gerakan berkelanjutan yang mencita-citakan terciptanya konstruksi dari tahap perencanaan, pelaksanaan dan pemakaian produk konstruksi yang ramah lingkungan, efisien dalam pemakaian energi dan sumber daya, serta berbiaya rendah. Gerakan konstruksi hijau ini juga identik dengan sustainbilitas yang mengedepankan keseimbangan antara keuntungan jangka pendek terhadap resiko jangka panjang,dengan bentuk usaha saat ini yang tidak merusak kesehatan, keamanan dan kesejahteraan masa depan. Aplikasi dari konstruksi hijau pada tahap perencanaan terlihat pada beberapa desain konstruksi yang memperoleh award sebagai desain bangunan yang hemat energy, dimana system bangunan yang didesain dapat mengurangi pemakaian listrik untuk pencahayaan dan tata udara.Selain itu berbagai terobosan baru dalam dunia konstruksi juga memperkenalkan berbagai material struktur yang saat ini menggunakan limbah sebagai salah satu komponennya, seperti pemakaian flyash, silica fume pada beton siap pakai dan beton pra cetak. Selain itu terobosan sistem pelaksanaankonstruksi juga memperkenalkan material yang mengurangi ketergantungan dunia konstruksi pada pemakaian material kayu sebagai perancah. Pemakaian material/bahan bangunan yang banyak digunakan seperti kaca, beton, kayu, asphalt, baja dan jenis metal lainnya ditengarai dapat menimbulkan efek pemanasan global yang signifikan dan menyebabkan perubahan iklim di dunia. Ingat kan penggunaan kaca gelap/ kaca yag dapat memantulkan cahaya matahari yang biasanya digunkan pada gedung-gedung tinggi/bertingkat yang biasa disebut dengan kaca film ribben. Jelas-jelas itu sangat merugikan karena menghantarkan cahaya matahari kembali ke atmosfer bumi dan terjadilah penumpukan sehingga suhu bumi semakin panas. Dalam penerapan green construction tentunya banayk tantangan yang harus dilalui, yaitu : 1. Modal atau Biaya Tak bisa dipungkiri penggunaan design hijau ini memakan biaya yang banyak. Untuk konsep Green Building tentunya tidak akan sama dengan gedung-gedung yang lainnya. Banyak faktor yang membuat Green Construction´ memakan modal yang cukup besar, seperti contohnya dalam peggunaan pakar atau tenaga ahli dalam pembuatan gedung yang berkonsep Green Building tentunya mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. 2. Pembuatan design yang startegis Setiap gedung atau suatu konstruksi dipastikan memiliki design yang berbedabeda, tentunya dalam prinsip Green Building design haruslah meningkatkan efesiensi penggunaan sumber daya pelaksanaan dan pemakaian produk konstruksi yang berkonsepkan ramah lingkungan.Tentunya hal itu menjadi tantangan utama para ahli Green Building untuk membuat design yang cocok pada kondisi eksternal internal lingkungan sekitarnya. 3. Pemilihan material/bahan bangunan yang ramah lingkungan Mayoritas rumah saat ini dibangun dengan menggunakan bingkai kayu, Gedung tradisional Bahan dan bahan pilihan bagi banyak orang. Namun membangun rumah kayu berbingkai membutuhkan rencana yang sangat hati-hati dirancang dan kru konstruksi dengan banyak pengalaman dan keterampilan. Membangun rumah dengan bingkai kayu umumnya akan menghasilkan struktur yang handal dan aman, namun juga rentan terhadap kegagalan prematur ketika rincian kecil dibiarkan atau dibuat dengan produk kayu berkualitas buruk.Saat ini pemilik rumah memiliki kesempatan untuk memilih dari alternatif Bahan Bangunan Hijau. Namun dengan isu ilegal logging yang masih banyak penggunaan kayu sebagai material mulai ditinggalakan untuk kelestarian lingkungan. Penggunaan bau alam, gypsum, batu bata, gypsum, dan alumunium serta baja ringanpun menjadi piliha yang tepat. Karena selain ramah lingkungan tapi juga mampu menunjang ketahanan bangunan dan tentunya healthy conditional. 4. Pembuatan peraturan-peraturan yang sah dalam penerapan green construction Di Indonesia saat ini , wacana konstruksi hijau mulai tampak pada penerapan beberapa proyek seperti proyek ruas jalan tol bandara yang dikerjakan oleh PT. Pembangunan Perumahan dan proyek Rusunami oleh PT Perumnas. Namun sayangnya hingga saat ini belum ada payung hukum yang menaungi penerapan konstruksi hijau di Indonesia apa lagi sejumlah insentif yang akan diberikan pada pelaksanaan proyek yang menerapkan konsep konstruksi hijau. 5. Penataan kota untuk mewujudkan konsep green building Green Building pastinya harus membuat suatu area yang di tempatinya menjadi daerah yang asri dan ramah lingkungan. Oleh karena itu diperlukan tata kota yang tepat jika kita ingin membuat suatu Green Building di Indonesia. Letak tata kota yang sesuai dengan keseimbangan ekosistem lingkungan, jangan sampai pembuatan Green Building malah merusak area hijau, atau siklus udara dan hidrologi yang dipengaruhi oleh hilangnya area resapan air. Untuk di daerah Indonesia sendiri, bila kita ambil contoh jakarta mungkin pembangunan Green Building susah untuk dilaksanakan, dikarenakan tata letak kota jakarta yang memang sudah padat untuk bangunan-bangunan bersifat kepentinan komersial ataupun bangunan hunian tempat tinggal. 6. Pembiayaan serta perawatan green building Tidak mudah merawat suatu gedung atau bangunan apalagi bangunan dengan konsep Green Building, yang harus mempertahankan manfaatnya untuk lingkungan sekitar. 7. Faktor kesehatan Menggunakan material & produk-produk yang non-toxic akan meningkatkan kualitas udara dalam ruangan, dan mengurangi tingkat asma, alergi dan sick building syndrome. Material yang bebas emisi, dan tahan untuk mencegah kelembaban yang menghasilkan sporadan mikroba lainnya. Kualitas udara dalam ruangan juga harus didukung menggunakan sistem ventilasi yang efektif dan bahan-bahan pengontrol kelembaban yang memungkinkan bangunan untuk bernapas. Bahan-bahan alami atau natural sudah diketahui memang cukup rentan terhadap gangguan lingkungan itu sendiri seperti keberadaan mikroorganisme ,serta kelembaban udara dan suhu diluar maupun didalam ruangan yang harus diseimbangkan untuk meminimalisasi kerusakan bangunan. 8. Membangun kesadaran masyarakat akan pentingnya green building Tantangan ini juga cukup penting untuk dipecahkan, Banyak masyarakat Indonesia yang tentunya belum tahu akan makna Green Building. Mulai dari konsep,manfaatnya dalam jangka panjang serta aplikasinya. Penyuluhan akan Green Building seharusnya juga diberikan kepada masyarakat Indonesia agar lebih mengetahui peranan Green Building dalam dunia pembangunan di Indonesia. Apalgi dengan ekonomi masyarakat Indonesia yang minim membuat rencana ini hanya terbatas kepada pengembang bangunan dengan modal besar dan kalangan menegah ke atas. Green Building lebih dari sebuah konsep untuk hidup berkelanjutan, tetapi bisa membangun harapan untuk masa depan. Oleh karena itu, kesadaran masyarakat Indonesia harus ditingkatkan untuk mengetahui pentingnya membuat bangunan dengan konsep Green Construction Apapun yang dilakukan manusia untuk pelestarian lingkungan dan perbaikan lingkungan mau sekecil apapun memang sangat berarti seperti membuang sampah pada tempatnya, itu pun masih belum tercapai sempurna. Dengan usia yang menipis karena perubahan iklim, kekurangan energi yang semakin meningkat dan masalah kesehatan, memang masuk akal untuk membangun gedung yang tahan lama,menghemat energi, mengurangi limbah dan polusi, dan meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan. Upaya-Upaya untuk mewujudkan Green Construction 1. Membangun kesadaran masyarakat akan pentingnya Green Construction bagi dunia pembangunan di Indonesia. 2. Membuat bangunan-bangunan yang berbahan dasar ramah lingkungan. 3. Mengatur tata letak kota yang sesuai dengan konsep Green Construction yang berwawasan lingkungan. 4. Membangun sistem bangunan yang effisien dalam menggunakan energi. 5. Membangun Green Construction dengan menggunakan material yang dapat di perbaharui, didaur ulang, dan digunakan kembali serta mendukung konsep efisiensi energi. 6. Mengolah limbah-limbah yang bermanfaat untuk dijadikan material bahan dasar. 7. Membangun Green Construction yang sesuai dengan kondisi alam, dan iklim wilayah Indonesia. 8. Inovasi untuk mengembangkan green building terus dilakukan sebagai upaya untuk menghemat energi dan mengurangi masalah-masalah lingkungan. 9. Pemilihan material yang pas agar Green Building bisa bertahan lebih lama. 10. Penggunaan teknologi-teknologi yang sesuai dan ramah lingkungan agar tidak merusak ekosistem sekitar. ARTIKEL 2 PENERAPAN KONSEP SADAR ENERGI DALAM PERANCANGAN ARSITEKTUR YANG BERKELANJUTAN energi listriknya adalah untuk mesin AC (mesin pendingin ruang dan penerangan. Kondisi lingkungan tropis Indonesia yang kaya akan intensitas radiasi matahari apabila tidak ditangkal dengan benar dapat mengakibatkan laju peningkatan suhu udara, baik di dalam maupun di luar ruangan. Pada bidang yang terbayangi, maka panas yang masuk ke dalam ruang hanya konduksi akibat perbedaan suhu luar dan suhu dalam saja. Akan tetapi pada bidang yang terkena sinar matahari (tidak terkena bayangan), maka panas yang masuk ke dalam ruangan juga akibat radiasi balik dari panasnya dinding yang terkena sinar matahari. Panas yang masuk pada dinding yang tersinari ini bisa mencapai 2 sampai 3 kali nya dibanding konduksi. Terlebih apabila ada sinar matahari yang langsung masuk ke dalam ruangan, panas radiasi matahari yang langsung masuk ke dalam ruangan ini bisa mencapai 15 kali dibanding panas akibat konduksi. Hal tersebut memberikan pemahaman bahwa bidang-bidang yang terkena sinar matahari akan menyumbang laju peningkatan suhu ruangan sangat signifikan. Perwujudan dari desain arsitektur yang sadar energi dan berwawasan lingkungan merupakan bagian dari arsitektur berkelanjutan (sustainable architecture). Disini arsitek mempunyai peran yang amat sangat penting dalam penghematan energi. Disain hemat energi diartikan sebagai perancangan bangunan untuk meminimalkan penggunaan energi tanpa membatasi fungsi bangunan maupun kenyamanan atau produktivitas penghuninya. Untuk mencapai tujuan itu, karya desain arsitektur yang sadar akan hemat energi harus mulai dirintis dari sekarang. Kata Kunci : Arsitektur, Sadar Energi, Berkelanjutan 2. RUMAH TINGGAL DAN KEBUTUHAN ENERGI RUMAH TINGGAL DAN KEBUTUHAN ENERGI Indonesia adalah sebagai negara yang seluruh wilayahnya dikawasan equator, merupakan keuntungan namun juga menjadi suatu kerugian yang sangat besar. Sebagai keuntungan, karena sebenarnya iklim tropis membuat kekayaan alam semakin berlimpah, namun menjadi kerugian karena iklim tropis menjadikan tingginya irradiance matahari, yakni rata-rata 200-250 W/m2 selama setahun atau 850-1100 W/m2 selama masa penyinaran. Hal ini menyebabkan suhu permukaan akan naik lebih tinggi dari daerah lain di dunia. Irradiance yang sangat besar ini bisa dimanfaatkan menjadi sebuah sumber energi yang luar biasa atau juga bisa menjadi kendala yang sangat besar sebab dengan tingginya suhu permukaandi kawasan Indonesia, akan dibutuhkan energi yang besar pula untuk menyejukan rumah. (Daryono, 2008) Pada kenyataannya kondisi iklim tropis di Indonesia sering dianggap sebagai masalah. Tidak tercapainya kenyamanan penghawaan dalam rumah tinggal, membuat berputus asa dalam mencari penyebabnya. Dan umumnya langsung dicarikan solusi atau dikatakan sebagai jalan pintas, dengan penggunaan alat pengkondisian udara atau air conditioner (AC). Prinsip kerja AC memang menurunkan suhu udara untuk penyegaran ruang. Prinsip kerja ini yang diakui dapat menjamin kenyamanan ruang. Namun apabila diperhatikan dengan seksama sebenarnya penggunaan AC adalah pemborosan energi yang berasal dari sumber daya yang tidak terbaharukan (non-renewable resources). Dan proses kerja AC akan menghasilkan zat emisi karbon CFC (klorofluorokarbon), yang akan membentuk efek rumah kaca dan merusak lapisan ozon. (Frick, 2006) Seluruh permukaan bangunan harus terlindungi dari sinar matahari secara langsung. Dinding dapat dibayangi oleh pepohonan. Atap perlu diberi isolator panas atau penangkal panas. Langit-langit umum dipergunakan untuk mencegah panas dari atap merambat langsung ke bawahnya (Satwiko, 2005). Desain sadar energi (energy conscious design) merupakan salah satu paradigma arsitektur yang menekankan pada konservasi lingkungan global alami khususnya pelestarian energi yang bersumber dari bahan bakar tidak terbarukan (non renewable energy) dan yang mendorong pemanfaatan energi terbarukan (renewable energy). Dalam desain sadar energi mutlak diperlukan pemahaman kondisi dan potensi iklim setempat untuk mempertimbangkan keputusankeputusan desain yang akan berdampak pada konsumsi energi baik pada tahap pembangunan maupun pada tahap operasional bangunan. Pada skala lingkungan mikro, fenomena radiasi matahari ini mempengaruhi laju peningkatan suhu lingkungan. Kondisi demikian mempengaruhi aktivitas manusia di luar ruangan, untuk mengatasi fenomena ini ada tiga hal yang bisa dikendalikan yaitu durasi penyinaran matahari, intensitas matahari, dan sudut jatuh matahari (Satwiko, 2003). 3. KONSEP HEMAT ENERGI ATAU SADAR ENERGI Sebaran penggunaan energi dalam rumah tinggal lebih banyak pada aspek fungsi penghawaan atau penyegaran udara dan aspek fungsi pencahayaan, sehingga kedua hal ini penting untuk menjadi fokus dalam pembahasan konsep penghematan energi ini. Pembahasan tentang penghematan energi ditekankan pada langkah ekologis, yaitu dengan menciptakan kesinambungan antara rumah tinggal dengan lingkungannya atau adanya interaksi dengan alam. Di samping dua hal tersebut terdapat aspek penting lainnya untuk rumah tinggal, adalah pemanfaatan air sebagai sumber daya penunjang kualitas hidup, dengan sistem reduce, reuse, recycle. Sistim Surya Pasif (passive solar system) merupakan suatu teknik pemanfaatan energi surya secara langsung dalam bangunan tanpa atau seminimal mungkin menggunakan peralatan mekanis, melalui perancangan elemen elemen arsitektur (lantai, dinding, atap, langit langit, aksesoris bangunan) untuk tujuan kenyamanan manusia (mengatur sirkulasi udara alamiah, pengaturan temperatur dan kelembaban, kontrol radiasi matahari, penggunaan insulasi termal).( Pertukaran udara alamiNaiknya suhu dalam rumah menyebabkan panas dan hal ini sangat terkait dengan kondisi iklim mikro skala rumah dan kawasan sekitarnya. Untuk menurunkan suhu sekaligus memberikan kenyamanan penghawaan diperlukan aliran udara yang cukup. Prinsip aliran udara adalah adanya perbedaan suhu dan tekanan antara dua atau lebih space, baik space antar ruang maupun antara ruang dalam dan ruang luar. Oleh sebab itu perlu diciptakan bidang-bidang bangunan yang dapat membuat perbedaan suhu dan tekanan udara. Beberapa aplikasi konsep penyegaran udara adalah : Angin akan mengalir dari suhu rendah menuju suhu yang lebih tinggi. Ruang bawah atap merupakan bagian yang menerima radiasi terbesar, sehingga memiliki suhu yang panas. Sebaiknya ruang bawah atap dilengkapi lubang ventilasi, sehingga akan menarik udara dari dalam ruang untuk dialirkan ke luar bangunan. Melalui lubang ventilasi yang terletak di bagian atap, maka tekanan udara panas di dalam ruang akan tertarik dan terbuang ke luar melalui atap. Untuk mendapatkan efek cerobong (stack effect), maka menara angin dibuat dengan bentuk penutup menghadap arah datang angin, dan lebih baik lagi adanya void. Efek cerobong akan optimal bila rumah tinggal/bangunan memiliki plafon tinggi atau minimal dua lantai. Semakin tinggi plafon, maka semakin baik ventilasinya (aliran angin). Kita bisa belajar dari karya Eko Prawoto yang diterapkan dalam rekonstruksi pasca bencana Gempa di Yogyakarta. Desainnya mempunyai bentuk atap yang tinggi yang berguna untuk ventilasi atap Teras dan teritisan Teras berfungsi sebagai ruang peralihan antara ruang luar dan ruang dalam.Pada daerah beriklim panas, seperti di Indonesia, kehadiran teras dapat menciptakan iklim mikro yang memberikan kenyamanan di dalam bangunan dan sekitarnya. Hal ini disebabkan tekanan udara yang ada di halaman menjadi mengembang karena suhu yang panas, sementara itu teras merupakan daerah hisapan angin yang bertekanan lebih tinggi dan bersuhu lebih dingin. Perbedaan suhu dan tekanan menyebabkan udara mengalir, dari suhu dingin ke suhu yang lebih panas, atau dari tekanan tinggi ke tekanan yang lebih rendah. Udara di dalam ruang akan tertarik ke luar dan segera berganti. Seperti juga teras, fungsi teritisan akan mendinginkan suhu udara lebih dulu, sebelum masuk ke dalam ruang. Semakin lebar teritisan, maka suhu ruangan akan semakin dingin. Gambar 1. Teras dan teritisan Teras berfungsi sebagai ruang peralihan antara ruang luar dan ruang dalam.Pada daerah beriklim panas, seperti di Indonesia, kehadiran teras dapat menciptakan iklim mikro yang memberikan kenyamanan di dalam bangunan dan sekitarnya. Hal ini disebabkan tekanan udara yang ada di halaman menjadi mengembang karena suhu yang panas, sementara itu teras merupakan daerah hisapan angin yang bertekanan lebih tinggi dan bersuhu lebih dingin. Perbedaan suhu dan tekanan menyebabkan udara mengalir, dari suhu dingin ke suhu yang lebih panas, atau dari tekanan tinggi ke tekanan yang lebih rendah. Udara di dalam ruang akan tertarik ke luar dan segera berganti. Seperti juga teras, fungsi teritisan akan mendinginkan suhu udara lebih dulu, sebelum masuk ke dalam ruang. Semakin lebar teritisan, maka suhu ruanganakan semakin dingin. Vegetasi Lingkungan Vegetasi berfungsi sebagai climate regulator atau pengatur iklim (suhu, kelembaban dan laju angin), baik untuk lingkup tapak rumah tinggal maupun untuk skala kawasan. Penyediaan vegetasi yang sesungguhnya (terbukanya tapak untuk vegetasi) berarti juga penyediaan ruang terbuka hijau (RTH), yang berarti juga sebagai pengendali tata air. Ketersediaan ruang terbuka dan vegetasi akan menyuplai oksigen dan akan mengalirkannya ke dalam rumah, ditambah dengan adanya air (alternatif berbentuk kolam) yang akan menurunkan suhu udara yang panas. Oksigen dan suhu dingin mengalir ke dalam rumah dan akan memberikan kenyamanan. Vegetasi di atap rumah (greenroof) dapat menahan radiasi matahari, sehingga mengkondisikan ruang di bawahnya bersuhu lebih dingin. Unsur hijau yang diidentikkan dengan vegetasi ditunjukkan dengan menambahkan elemen-elemen penghijauan tidak hanya pada lansekap saja tetapi juga dalam bangunan, seperti pemberian roof garden, pemberian vegetasi rambat pada dinding bangunan dan lain sebagainya. Gambar 2. – Rumah Ngibikan dengan teras yang dapat juga berfungsi mematahkan sinar matahari untuk pembayangan fasade sumber : Survey Lapangan, 2011 Gambar 3. Pencahayaan alami Tujuan dari pencahayaan adalah disamping mendapatkan kuantitas cahaya yang cukup sehingga tugas visual mudah dilakukan, juga u ntuk mendapatkan lingkungan visual yang menyenangkan atau mempunyai kualitas cah aya yang baik. Dalam pencahayaan alami, yang sangat mempengaruhi kualitas pencah ayaan adalah terjadinya penyilauan. Pencahayaan alami siang hari dapat dikatakan baik apabila : pada siang hari antara jam 08.00 sampai dengan jam 16.00 waktu setempat, terdapat cukup banyak cahaya yang masuk ke dalam ruangan. Distribusi cahaya di dalam ruangan cukup merata dan atau tidak menimbulkan kontras yang mengganggu. Penyilauan adalah kondisi penglihatan dimana terdapat ketidaknyamanan atau pengurangan dalam kemampuan melihat suatu obyek, karena luminansi obyek yang terlalu besar, distribusi luminansi yang tidak merata atau terjadinya kontras yang berlebihan. Ada dua jenis penyilauan : 1) penyilauan yang menyebabkan ketidakmampuan melihat suatu obyek (disability glare), dan 2)penyilauan yang menyebabkan ketidaknyamanan melihat suatu obyek tanpa perlu menimbulkan ketidakmampuan melihat (discomfort glare). Prinsip pencahayaan alami adalah memanfaatkan cahaya matahari semaksimal mungkin dan mengurangi panas matahari semaksimal mungkin. Pemanfaatan cahaya alami jelas akan menghemat listrik. Orientasi Bangunan Orientasi bangunan bertujuan untuk mendapatkan kantong cahaya matahari (sun pocket), yaitu kondisi di mana cahaya matahari berada pada intensitas radiasi paling rendah, sesuai siklus terbit dan tenggelamnya, dan matahari memiliki sudut jatuh cahaya yang kecil. Dengan demikian area yang tercahayai akan lebih besar dan cahaya matahari tidak panas. Orientasi bangunan terbaik adalah memiliki sudut kemiringan 20° terhadap sumbu barat-timur dengan bidang permukaan fasade terluas pada sumbu utara-selatan. Apabila kondisi ideal orientasi bangunan tidak memungkinkan, dapat dilakukan dengan memperluas bukaan untuk masuknya cahaya atau mengurangi pembatasan ruang, agar cahaya dapat memasuki ruang-ruang dalam. Bila diperlukan pembatas, maka gunakan material transparan Pemanfaatan material lokal Selubung bangunan yang memperoleh radiasi matahari terbesar adalah atap dan kemudian dinding. Agar penghematan energi dapat dilakukan, maka harus dihindari radiasi matahari yang optimal pada siang hari, karena akan meningkatkan suhu ruangan. Pemanfaatan material alami dari vegetasi dapat didisain menyatu dengan konstruksi selubung bangunan. Belajar dari dusun Ngibikan yang mencoba memanfaatkan potensi lokal dengan memanfaatkan kayu dari batang kelapa, bamboo ARTIKEL 3 MULTILEVEL URBAN GREEN AREA : SOLUSI TERHADAP GLOBAL WARMING DAN HIGH ENERGY BUILDING PENDAHULUAN Seiring dengan era globalisasi, pembangunan kota di berbagai belahan bumi berkembang dengan pesat,. besarnya kebutuhan terhadap fasilitas bangunan baru dihadapkan pada permasalahan bahwa lahan yang tersedia semakin terbatas. Menghadapi kondisi ini, maka dengan teknologi yang juga terus berkembang, alternatif pemecahan masalahnya adalah dengan pembangunan secara vertikal, yaitu dengan mendirikan multy-storey building. Bahkan pada kota-kota besar yang benar-benar telah padat, orientasi pembangunan adalah pada bangunan pencakar langit (skycrapers). Hal ini bukan satu-satunya permasalahan sebagai dampak dari pembangunan yang terjadi dalam konteks urban. Permasalahan serius lainnya adalah berkurangnya rasio area terbuka hijau (urban green area) bila dibandingkan dengan luasan area terbangun, dimana hal ini sangat mempengaruhi kondisi mikroklimatik suatu area. Berkurangnya ruang terbuka hijau ini ditengarai sebagai penyebab utama terjadinya ‘urban heat island’, yaitu suatu fenomena dimana temperatur pada suatu daerah terus meningkat, bahkan di saat malam harii (Stahler dalam Pramujadi, 2002). Penyebab lain dari urban heat island ini adalah kecenderungan penggunaan material bangunan dan penutup tanah (land cover) dengan karakteristik ‘high thermal capacity’ dan penggunaan material yang memantulkan radiasi matahari seperti kaca atau material reflektif lainnya. Efek lain dari berkurangnya area hijau disampaikan oleh Hough dalam Pramujadi (2002) yaitu bahwa berkurangnya tanaman-tanaman tersebut mempunyai kontribusi yang sangat besar pada terganggunya siklus air hujan dan erosi tanah. Dalam jangka panjang, fenomena inilah yang berkontribusi besar dalam terjadinya ‘global warming’ dan tentu saja pada akhirnya akan berpengaruh terhadap iklim dan keberlanjutan lingkungan. Dalam menyikapi permasalahan ini, konsep ‘sustainable development’ menjadi suatu dasar yang sangat penting bagi setiap pembangunan yang dilakukan. Sustainable development (menurut World Commision and Environment and Development, WCED, 1987) adalah “…..is the development which meets the needs of present, without compromising the ability of future generation to meet with their own needs”. Penerapan konsep sustainability dalam suatu kota atau yang disebut oleh Richard Rogers (dalam Hussein, 2000) sebagai ‘sustainable city’, mempunyai arti bahwa kota berperan antara lain sebagai: (1) ‘a beautiful city’, yaitu dimana seni, arsitektur dan lansekap dapat JURNAL REKAYASA PERENCANAAN, Vol. 4, No. 3, Juni 2008 membangkitkan imajinasi dan spirit, dan (2) ‘an ecological city’, dimana dampak ekologis diminimalkan, yaitu dengan mewujudkan keseimbangan antara lansekap dan bentuk terbangun, mewujudkan keamanan bangunan dan infrastrukturnya, serta efisiensi sumber daya. Pernyataan diatas menjelaskan bahwa lansekap merupakan suatu strategi yang potensial dalam mewujudkan konsep disain berkelanjutan. Pemanfaatan lansekap untuk desain berkelanjutan tidak hanya terbatas pada disain secara horisontal di permukaan tanah. Bila mengingat kecenderungan tuntutan akibat keterbatasan lahan dan efisiensi penggunaan lahan saat ini, perlu dipikirkan strategi disain lansekap yang dapat mengatasi tuntutan terebut. Yeang (1998) mencetuskan konsep ‘vertical landscape’ sebagai strategi untuk menerapkan konsep sustainability, terutama untuk desain bangunan tinggi. Konsep Yeang ini merupakan suatu alternatif strategi yang sangat potensial untuk dieksplorasi lebih lanjut. TINJAUAN PUSTAKA Urban Heat Island and Micro Climate Condition Iklim mikro atau disebut juga iklim lokal (microclimate) sangat bergantung pada cara bagaimana energi matahari digunakan untuk konveksi, evaporasi, atau pemanasan suatu objek dalam site. Selain itu juga dipengaruhi oleh kondisi topografii permukaan, angin, serta konsentrasi gas-gas polutan dalam udara. Keseluruhan faktor ini pada akhirnya akan berpengaruh pada level temperatur lokal suatu area. Pada level tertentu akan terjadi suatu fenomena yang disebut ‘urban heat island’, yaitu suatu kondisi dimana temperatur urban meningkat bahkan saat malam hari. Artinya, temperatur lokal ratarata pada daerah itu meningkat. Kenaikan temperatur urban tersebut dapat menurunkan level kenyamanan termal (thermal comfort) yang pada akhirnya akan mengganggu aktifitas manusia di dalam bangunan. Oleh karena Gambar 1. Urban Heat Island Profile Sumber: www.epa.gov/globalwarming/actions/ local /heatisland/indeks.html MULTILEVEL URBAN GREEN AREA: SOLUSI TERHADAP GLOBAL WARMING DAN HIGH ENERGY BUILDING Mohammad Pranoto S itu thermal comfort adalah fokus utama dalam perancangan bangunan. Di daerah beriklim tropis, seperti halnya di Indonesia, thermal comfort dapat dicapai dengan menurunkan temperatur di dalam bangunan yang cenderung tinggi, terutama akibat dari radiasi dan konveksi panas yang tinggi dari lingkungan luar. Urban heat di daerah tropis sangat tidak diharapkan terjadi, karena akan memberi beban lebih untuk strategi pendinginan bangunan. Strategi pendinginan bangunan di daerah tropis dapat dilakukan dengan dua metode, yaitu dengan desain bangunan yang: (a) memungkinkan masuknya angin secara maksimal ke dalam bangunan (natural ventilation) dan (b) meminimalkan masuknya ‘solar heat gain’ baik melalui radiasi atau konveksi. Kedua strategi ini dapat diterapkan melalui upaya penataan kembali wilayah urban dengan pendekatan baru atau dengan penataan lansekap yang terencana dengan baik. Landscaping yang dimaksudkan di sini adalah : (1) area hijau kota (urban green area), dibagi atas tipe vegetasi di sekeliling bangunan, pohon-pohon di sepanjang jalan, vegetasi di area playground, taman lingkungan skala kecil dan taman public skala besar, serta (2).vegetasi pada bangunan Penggunaan vegetasi sangat potensial sebagai elemen untuk digunakan dalam kedua strategi di atas. - Optimalisasi Energi dalam Bangunan Beberapa terminologi berkaitan dengan konsumsi energi dalam bangunan menurut Herzog (1996), dapat dikategorikan sebagai berikut: (a) embody energi (production energy), yaitu energi dalam material bangunan, meliputi energi yang digunakan selama proses produksi, perakitan, maintenance, alterasi, dan penghancuran (demolisi), (b) enduse energy (operating energy), yaitu energi yang digunakan untuk pemeliharaan tingkat kenyamanan dan untuk sistem operasionalnya, dan (c) induced energy, yaitu konsumsi energii yang disebabkan dampak tak langsung dari proses kontruksi, contohnya : energi untuk transportasi material. Menurut Abel (1994), analisa terhadap end-use energy perlu dibedakan atas : (a) kebutuhan bangunan di satu sisi lain, serta (b) energi dalam bentuk panas dan elektrikal. Berdasarkan energi utama yang tersedia dalam bangunan (panas dan elektrikal), konsumsi energi dibagi atas beberapa sebagai berikut : - Heat / panas : untuk menghindari heat losses dari selubung bangunan. - Heat / panas untuk water heating. JURNAL REKAYASA PERENCANAAN, Vol. 4, No. 3, Juni 2008 - Electrical energy untuk penerangan dan operasional alat dan mesin dalam bangunan. - Heat / panas untuk air conditioning. - Electrical energy untuk operasional alat dan pendingin ruang. Enno Abel (1994) membahas tentang konsep efisiensi energi pada bangunan berkaitan dengan end-use energy dan membedakan secara sistematis atas dua konsep sebagaii berikut: (a) low-energy building, dengan tujuan utama bangunan dengan kondisi ‘no energy or no external supply energy’ atau setidaknya ‘no supply of purchased energy’. Konsep ini sulit dilakukan terutama untuk bangunan dengan setiap detail yang serendah mungkin membutuhkan energi (lowest possible energy requirements). Tujuan ini biasanya berkaitan dengan kebutuhan energi seminal mungkin dipertimbangkan dari alasan ekonomis. Konsep energy-efficient building tampak lebih masuk akal untuk diterapkan pada semua disain bangunan. Pencapaian level ‘real zero energy building’ tidak akan sepenuhnya dapat terlaksana karena terkait dengan berbagai faktor. Pertimbangan ini dapat dijelaskan dalam diagram pada Gambar 2. Konsep efisiensi pada bangunan berkaitan dengan hubungan antara lingkungan eksternal dan internal diungkapkan oleh Hawks (1996) dengan mengadopsi dua mode kontrol lingkungan, yaitu: (1) exclusive mode, bergantung sepenuhnya pada ‘generated energy’ dan (2) selective mode, menggunakan ambient energy (heat and light) sebagaii sumber utama (Gambar 3). Fuel based cooling machines or heat pumps Desiccant or Advanced insulation Advanced windows Heat recovery special heat pumps Fueld based heat pumps Local fuel based Electricity generation Photo voltaic solar Local wind power Solar heating Solar or wind based Solar heating Electric heat pumps Fueld based heat pumps Local fuel based Electricity generation Real zero energy buildings Some “zero energy houses” with a high consumption of electricity Efficient shading of windows and any other reduction of the surplus of heat in commercial bidgs Walls and windows optimised versus heat losses Optimised heat recoer from Energy efficient lighting, computers, office equipment etc. Energy efficient Solar DHW DHW heat pumps Small scale “in house” cogeneration Fuel based heating instead of electtic heating Heat pumps for space heating (e.g. bivalent syst.) improved boilers balancing of heat Electric energy only Electric energy and Heat Heat only Electric energy only Electric energy and Heat Heat only To decrease the amount of energy needed to create an indoor climate in To decrease the amount of external “purchased energy” To decrease both the need and the external supply The Focus The purpose Low energy building To decrease the amount of energy needed to create an indoor climate in To decrease the amount of energy needed by the users of the building To decrease the external supply The Focus The purpose Low energy building Gambar 2. Matriks Indikasi Penerapan Konsep Low-Energy Building dan Energy-Efficient Building Sumber: Abel, 1994 MULTILEVEL URBAN GREEN AREA: SOLUSI TERHADAP GLOBAL WARMING DAN HIGH ENERGY BUILDING Mohammad Pranoto S METODOLOGI Kajian ini membahas tentang potensi penggunaan multilevel urban green area sebagai suatu alternatif strategi berkaitan dengan upaya efisiensi energi bangunan. Kajian akan ditekankan pada kemungkinan penggunaan lansekap secara vertikal pada bangunan di daerah tropis-lembab (hot-humid climate), dengan pertimbangan bahwa iklim tropis mempunyai masalah yang lebih kompleks dibandingkan dengan iklim lainnya, akibat karakteristik dimana panas akibat radiasi matahari yang tinggi dan disertai dengan kelembaban yang tinggi. HASIL DAN PEMBAHASAN - Desain Sadar Energi /Energy Conscious Design Konteks energi dalam arsitektur sebenarnya telah mulai disadari sejak awal abad ke-20, yaitu pada era arsitektur pasca industri sesudah tahun 1900 (Priatman, 2002). Kesadaran ini dipacu oleh krisis energi terutama yang dialami oleh negara-negara maju yang terjadi sekitar tahun 1973. Kondisi ini mendorong rekonseptualisi perancangan arsitektur dengan pertimbangan utama pada efisiensi energi. Dari pemikiran-pemikiran inilah akhirnya terlahir beberapa paradigma disain sadar energi (energy conscious design), yang diklasifikasikan oleh Priatman (2002) sebagai berikut: - Arsitektur Bioklimatik (Bioclimatic Architecture/Low-Energy Architecture) Merupakan arsitektur yang berlandaskan pada pendekatan desain pasif dan minimum energi, dengan memanfaatkan energi alami iklim setempat untuk menciptakan kondisi kenyamanan. Dicapai melalui konfigurasi bentuk massa bangunan, perencanaan site, EXCLUSIVE MODE SELECTIVE MODE • Environmental is automatically controlled and is predominantly artificial. • Environment is controlled by a combination of automatic & manual means and is a variable mixture of natural and artificial. • Shape is compact, seeking to minimize the interaction between interior and exterior environment. • Shape is dispersed, seeking to maximize the use if ambient energy. • Orientation is relatively unimportant. • Windows are large on southerly façade, restricted to the north, solar controls are required to avoid summer heating. • Energy is primarily form generated source, use throughout the year in relatively quantity. • Energy is a combination of ambient and generated energy. The use in variable throughout the peak at winter and “free-running in summer. JURNAL REKAYASA PERENCANAAN, Vol. 4, No. 3, Juni 2008 orientasi, desain, fasade, shading devide, instrumen penerangan alam, warna fasade, lansekap horisontal dan vertikal, ventilasi alami. - Arsitektur Hemat Energi (Energy-Efficient Architecture) Merupakan arsitektur yang berlandaskan pada pemikiran minimalisasi penggunaan energi tanpa membatasi/mengubah fungsi bangunan, kenyamanan dan produktifitas penghuninya dengan memanfaatkan sains dan teknologi modern. Dicapai melalui sinergi antara metode pasif dan aktif dengan materiall dan instrumen hemat energi. - Solar Architecture Merupakan arsitektur yang memanfaatkan energi surya, baik secara langsung (radiasi cahaya dan termal) maupun secara tidak langsung (energi angin), dimana elemenelemen ruang berfungsi secara integratif sebagai sistem surya aktif ataupun pasif. Dicapai dengan inovasi teknologi sel photovoltaic. - Green Architecture Merupakan arsitektur yang berwawasan lingkungan dan berlandaskan kepedulian tentang konservasi lingkungan global alami dengan penekanan pada efisiensii energi, pola berkelanjutan (sustainable) dan pendekatan holistic (holistic approach). Paradigma ini bertitik tolak pada konsep desain ekologi yang menekankan pada ketergantungan (interdependencies) dan keterkaitan (interconnectedness) antara semua sistem (natural dan artificial) dengan lingkungan lokal dan biosfer. -Vegetation Potensial in Energy-Efficient. Beberapa potensi vegetasi dalam menentukan kondisi mikroklimatik yaitu peran vegetasi sebagai kontrol radiasi sinar matahari, angin, kelembaban (precipitation and humidity) dan temperatur (McClenon, 1979). Efektifitas vegetasi sebagai kontrol iklim bergantung pada bentuk dan karakteristik vegetasi, iklim setempat dan persyaratan khusus site. McClenon (1976) juga menyebutkan bahwa dampak vegetasi pada iklim cukup besar. Vegetasi mampu menyerap radiasi yang mengenainya lebih dari 90%, mereduksi kecepatan angin dalam suatu area kurang lebih 10% dibandingkan aliran pada area terbuka, atau bahkan dapat pula meningkatkan kecepatan angin serta mengarahkannya, mereduksi suhu udara pada siang hari sekitar 15 0F, dan pada kondisi tertentu dapat pula meningkatkan suhu udara di malam hari, dimana hal ini sangat diinginkan di beberapa jenis iklim, yaitu di daerah beriklim moderat dan iklim dingin. MULTILEVEL URBAN GREEN AREA: SOLUSI TERHADAP GLOBAL WARMING DAN HIGH ENERGY BUILDING Mohammad Pranoto S Beberapa prinsip pemilihan vegetasi berkaitan dengan efisiensi energi menurut McClenon (1979) adalah sebagai berikut: 1. Pepohonan besar / kecil dan semak dapat digunakan untuk menyaring aliran angin yang tidak diinginkan, cemara (conifer) dapat digunakan untuk mengarahkan angin. 2. pepohonan dapat digunakan sebagai saluran angin (channel wind), untuk meningkatkan ventilasi di area tertentu. 3. vegetasi dapat mereduksi akumulasi salju di permukaan tanah, atau sebagai perisai radiasi sinar matahari. 4. Vegetasi khususnya dengan daun khususnya jarum, dapat digunakan untuk menangkap kabut, serta dapat meningkatkan pencapaian sinar matahari pada permukaan tanah. 5. Pepohonan yang berdaun rontok dapat menyaring direct sunlight selama musim panas, sehingga mereduksi beban pendinginan (cooling load) bangunan. Sebaliknya pada musim dingin, menyaring sinar sehingga mereduksi beban pemanasan (heating load) pada bangunan. 6. Area hijau dapat menjadi lebih dingin pada siang hari, dan biasanya sedikit melepas panas pada malam hari. Dua hal penting tentang efek lansekap berkaitan dengan radiasi matahari pada bangunan yaitu karakteristik elemen: ukuran, transmisivity, kapasitas penyimpanan panas dan lokasi – orientasi. Faktor-faktor yang menjadi pertimbangan perletakan vegetasi pada desain bangunan di suatu site dalam konteks efisiensi energi, yaitu: kapan saat terjadi pembayangan dan dimana pembayangan itu diperlukan. Bila pertimbangan diatas diabaikan, maka desain yang dihasilkan dapat menjadi lebih besar dalam penggunaan energinya. Dampak keberadaan vegetasi di sekeliling bangunan terhadap iklim (Givoni, 1998) antara lain adalah sebagai berikut: - Mereduksi solar heat gain dengan efek pembayaran (untuk pohon dengan canopy tinggi). - Sebagai insulasi (vegetasi berupa semak tinggi disamping dinding). - Mereduksi pantulan radiasi sinar matahari (vegetasi berupa ‘ground cover’). - Menurunkan ambient temperature dii sekeliling kondensor AC - Mereduksi kecepatan angin di sekeliling bangunan. Mereduksi energi matahari untuk pemanasan (pada kondisi ‘winter’ dengan vegetasi di sisi selatan bangunan). JURNAL REKAYASA PERENCANAAN, Vol. 4, No. 3, Juni 2008 -Vegetasi Sebagai Kontrol Radiasi Sinar Matahari Untuk menciptakan kondisi yang nyaman dalam suatu bangunan, perlu dilakukan pengendalian atau kontroll radiasi sinar matahari baik yang diserap ataupun yang dipantulkan kembali ke atmosfer. Pada dasarnya peran vegetasii dalam kontrol radiasi ini adalah pantulan dengan : - Mengendalikan efek radiasi melalui filtrasi sinar radiasi (direct radiation). - Kontrol permukaan tanah (ground surface). - Kontrol re-radiasi. - Menghalangi (obstruction). - Vegetasi sebagai Kontrol Angin Sebagaimana telah diketahui bahwa pencapaian manusia diperoleh salah satunya dengan kontrol terhadap aliran angin yang masuk ke dalam bangunan. Berkaitan dengan hal ini, vegetasii mempunyai potensi sebagai modifying factor untuk melakukan kontrol terhadap aliran angin melalui berbagai cara, antara lain : - Menghalangi dan menyaring aliran (obstruction and filtering). - Mengarahkan aliran angin (redirecting) atau channeling guidance. - Defleksi dan intesepsi. Berkaitan dengan fungsi vegetasi sebagai pemecah aliran angin (windbreak device), maka desain perletakan vegetasii pada site sangat penting. Vegetasi harus ditata sesuai dengan pola kecepatan dan arah angin, juga ditentukan oleh jarak antara perletakan vegetasi tersebut terhadap Gambar 4. Fungsi kontrol vegetasi Sumber: Mc. Clenon, 1979 Gambar 5. Fungsi kontrol angin Sumber: Mc. Clenon, 1979 MULTILEVEL URBAN GREEN AREA: SOLUSI TERHADAP GLOBAL WARMING DAN HIGH ENERGY BUILDING Mohammad Pranoto S bangunan. Tujuan dari strategi ini adalah untuk menjamin masuknya sinar matahari ke dalam bangunan. Tujuan dari strategi ini adalah untuk meminimalkan infiltrasi udara dan terjadinya convective heat loss, namun bisa tetap menjamin masuknya sinar matahari ke dalam bangunan. - Vegetasi sebagai Kontrol Kelembaban (Precipitation and Humadity) Dalam kontrol kelembaban, pada dasarnya vegetasi mengendalikan dampak dari hujan (baik berupa air, es ataupun salju), mengendalikan intensitas dan lokasi embun dan evaporasi serta kelembaban permukaan tanah. - Vegetasi sebagai Kontrol Temperatur Vegetasi juga menyebabkan terjadinya perbedaan temperatur udara, baik secara, harian (antara siang dan malam), musiman (seasonal) ataupun temperatur tahunan (annual temperature). - Urban Green Area Option Strategi multilevel urban green area/vertical landscape ini dikemukakan oleh Ken Yeang (1994) dalam Bioclimatic Skycrapers. Dalam pembahasannya, vertical landscape atau garden in the sky menurut Yeang meliputi: Gambar 6. Vegetasi sebagai pengontrol kelembaban Sumber: Mc. Clenon, 1979 Gambar 7. Karakter suhu iklim Sumber: Mc. Clenon, 1979 JURNAL REKAYASA PERENCANAAN, Vol. 4, No. 3, Juni 2008 - Vegetasi yang diletakkan di sepanjang selubung bangunan (vertical planting). - Vegetasi yang diletakkan pada atap bangunan (roof garden, skycourt, green roof, rooftop garden). Kedua desain lansekap ini dilakukan untuk memberi proporsi seimbang antara bangunan dengan area hijau (green area), karena tuntutan efisiensi lahan. Tujuan utama penggunaan strategi ini adalah dalam konteks efisiensi energi, dimana dengan strategi ini diharapkan dapat membantu mereduksi panas (terutama solar heat gain) yang masuk ke dalam bangunan. Dengan direduksinya heat gain ini, diharapkan beban pendinginan (cooling load) pada bangunan dapat berkurang sehingga energi (baik heat maupun electricity) juga dapat dikurangi. - Vertical Planting Fungsi penggunaan vertical planting pada selubung bangunan antara lain: - Memberi pembayangan pada bukaan pencahayaan di sepanjang selubung bangunan - Memelihara kualitas udara (fresh and clear air) di sekitar bangunan, vegetasii tersebut dapat menyerap CO, CO2 dan gas polutan lain, serta melepas O2 - Desain vertical planting yang menerus sampai pada permukaan tanah dapat difungsikan untuk aliran air hujan, menjamin kelestarian siklus air hujan untuk kembali ke tanah di malam hari - Menjaga kelembaban udara di sekitar bangunan dengan precipitasi. - Sebagai filter bagi aliran angin yang akan masuk ke dalam bangunan melalui pembukaan penghawaan. - Roof Garden Fungsi penggunaan roof garden pada bangunan antara lain: - Mereduksi panas akibat radiasi matahari dengan penambahan elemen vegetasi, yang memberi pembayangan pada permukaan atap, juga secara langsung berfungsi sebagai lapisan (layer) yang dapat mereduksi solar hear gain. - Memanfaatkan area atap sebagai ruang terbuka hijau. Pada beberapa disain dimungkinkan adanya aktifitas yang dapat ditampung di roof garden. - Memelihara kualitas udara (fresh and clear air) di sekitar bangunan, vegetasi tersebut dapat menyerap CO, CO2 dan gas polutan lain, serta melepas O2 di malam hari. MULTILEVEL URBAN GREEN AREA: SOLUSI TERHADAP GLOBAL WARMING DAN HIGH ENERGY BUILDING Mohammad Pranoto S - Menjaga kelembaban udara di sekitar bangunan dengan presipitasi. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Wong (2003), penggunaan roof-top garden di daerah tropis (Singapura), terbukti dapat menghemat konsumsii energi bangunan sekitar 0.6 – 14.5 % per tahun. Penelitian ini dilakukan dengan dua macam jenis vegetasi, yaitu semak dan pohon. Hasil penelitian tersebut membuktikan bahwa vegetasi yang potensial untuk diaplikasikan pada roof garden adalah jenis semak. SIMPULAN Strategi desain arsitektur dalam konteks energi merupakan aspek yang sangat penting, mengingat semua keterbatasan (energi, lahan, sumber daya alam) yang akan dihadapi pada masa yang akan datang. Paradigma konsep low- energy yang paling potensial untuk diterapkan di Indonesia adalah paradigma Bioclimatic Architecture dan Green-Architecture, mengingat dalam penerapannya tidak memerlukan teknologi dan biaya yang besar seperti halnya Solar Architecture. Multilevel urban green area merupakan salah satu manifestasi dari konsep desain sadar energi. Pemanfaatan vegetasi sebagai elemen arsitektur yang diterapkan secara vertikal, berperan sebagai berikut: (1) Planting and landscaping tidak hanya digunakan untuk kepentingan ekologis dan estetis, namun juga terbukti potensial untuk pendinginan bangunan. Keberadaan vegetasi, baik di sepanjang fasade bangunan atau di atas bangunan tinggi juga berperan sebagai layer pereduksi radiasi dalam ruang, (2) Planting dapat diwujudkan sebagai vertikal lansekap di sepanjang fasade bangunan tinggi atau sebagai suatu ruang terbuka atau taman di Gambar 8. Skema roof garden dan skycourts Sumber: www.ecosensual.net Yeang, 1994 JURNAL REKAYASA PERENCANAAN, Vol. 4, No. 3, Juni 2008 bawah atas bangunan tinggi, (3) Vegetasi dapat menyerap CO2, dan menghasilkan O2 Penerapan strategi penataan vegetasi secara vertikal ini dapat dioptimalkan bila dikaitkan dengan analisa operating-energy ‘selective mode’ (Hawks, 1996), dimana lingkungan bangunan dikontrol dengan kombinasi automatic dan manual serta menggunakan perpaduan natural dan artificial, serta dengan mempertimbangkan potensi lingkungan secara optimal. Sehingga tercapai sinergi antara metode pasif dan aktif dengan material dan instrumen hemat energi. , dimana hal ini sangat bermanfaat bagi bangunan dan lingkungan sekitarnya. BEDZED: BANGUNAN TANPA ENERGI FOSIL Oleh Tri Harso Karyono ”Go straight forward for about ten minutes; look to the left hand side, you will see some “funny buildings” over there. That’s BedZED!”. Itulah jawaban seorang lady di kafe tepi London Road, kawasan Bedington, Wallington, London Selatan, ketika saya tanya tentang lokasi BedZED. Warga sekitar BedZed menengarainya sebagai funny buildings. Beddington Zero (fossil) Energy Development yang popular dengan sebutan BedZED, merupakan sebuah kawasan perumahan dan kantor yang dirancang ‘bebas’ menggunakan energi fosil. Tri Harso Karyono, 2010BedZED: Arsitektur hunian, kantor dan komunitas umum warga di kawasan Bedington, London September 2008 Cathleen McGuigan menulis artikel di majalah Newsweek dengan judul sensasional ‘The Bad News About Green Architecture’. Namun ternyata isinya tidak seheboh judulnya. Dia hanya ingin mengatakan sebagian bangunan yang dirancang dengan konsep Hijau terlihat ‘ugly’ (janggal). BedZED yang dirancang dengan konsep ‘green’ masih beruntung disebut funny oleh sang lady penjaga kafe, bukannya ugly. Berbagai macam penghargaan diraih BedZED sejak dibangun tahun 2000 dan dihuni Maret 2002, di antaranya: Sustainable Design Awards, Housing Design Awards, World Habitat Awards, New Homes Awards, Energy Globe Award, Innovative Building Services Awards, UK Solar Awards, London Lifestyle Award, dan lainnya. Salah satu penghargaan yang penting adalah Housing Design Award for sustainability dari Royal Institute of British Architects (RIBA). Gerakan merancang dan membangun bangunan yang minim menimbulkan dampak negatif terhadap alam, lingkungan dan manusia muncul sangat kuat di negara-negara maju. Kekhawatiran terhadap pemanasan global serta perubahan iklim global yang tidak terkendali dan mengancam kehidupan manusia merupakan stimuli bagi para arsitek untuk turut membantu memecahkannya. BedZED merupakan satu di antara ribuan proyek yan dibangun dengan konsep ‘green’ yang diharapkan mampu mengurangi dampak negatif pembangunan fisik terhadap lingkungan dan bumi tempat manusia berpijak. BedZED dibangun di lahan yang tidak produktif. Pembangunan fasilitas ini diprakarsai oleh Konsultan Lingkungan BioRegional dan kantor arsitek ZEDfactory. Realisasi pembangunan dilaksanakan oleh Pengembang Kawasan Perumahan Peabody Trust. Dirancang oleh arsitek Inggris Bill Dunster dibantu Konsultan Lingkungan BioRegional, konsultan teknik Ove Arup dan sejumlah konsultan di berbagai bidang keilmuan, kompleks bangunan ini mengakomodasi 82 unit rumah bagi sekitar 220 orang penghuni, fasilitas umum warga seperti klinik kesehatan, penitipan anak, toko-kafe makanan organik, dan fasilitas olah raga indoor-outdoor, serta menyediakan sekitar 1600 m2 ruang kantor untuk sekitar 200 pekerja. Unit hunian bervariasi dari tipe tunggal, maissonette maupun town-house. Zero Fossil Energy BedZED dirancang sedemikian rupa hanya mengandalkan sumber energi terbarukan yang dibangkitkan di lokasi setempat tanpa penggunaan sumber energi minyak (fosil) sama sekali. Untuk itulah fasilitas ini dijuluki Beddington Zero (fosil) Energy Development (BedZED). Kebutuhan listrik dan pemanas ruang serta air panas diperoleh dari sel surya 2 seluas 777 m yang diletakkan di bagian atap setiap bangunan, ditambah generator pembangkit energi berbahan bakar biomass atau sampah tumbuhan (gasifier). Monitoring yang dilakukan tahun 2003 atau setahun setelah BedZED digunakan menunjukkan penggunaan energi pemanas sekitar 88% lebih rendah dari konsumsi energi pemanas bangunan setipe pada umumnya, energi untuk air panas 57% lebih rendah, konsumsi listrik 3 kWh/orang per hari (11% di antaranya diproduksi dari sel surya) atau 25% lebih rendah dari rata-rata konsumsi bangunan setipe di Inggris. Arsitektur Hijau BedZED merupakan blok-blok bangunan yang masing-masing terdiri dari tiga lantai yang dirancang dengan pendekatan ‘green architecture’. Bangunan diletakkan sedemikian rupa menghadap arah selatan-utara, di mana sisi selatan bangunan dibungkus dengan kaca tiga lapis (tripple glazing) untuk memaksimalkan masuknya panas matahari dan meminimalkan pelepasan panas ke luar bangunan. Bangunan ini dilengkapi sejumlah bukaan yang dapat dibuka-tutup terutama saat musim panas untuk menghalau udara panas jika diperlukan. Ruang kerja kantor ditempatkan di sisi selatan, sisi dominan datangnya sinar matahari, sehingga kebutuhan penerangan alami dan penghangatan ruang sekaligus teratasi. Di atas ruang kantor ini di tempatkan roof-garden, yang sekaligus merupakan halaman bagi setiap unit hunian. Penempatan roof-garden dengan lantai beton tebal ini selain membantu penghuni mendapatkan sinar matahari dari sisi selatan juga membantu mendinginkan ruang kantor di bawahnya saat musim panas. Penempatan baling-baling di atap yang mengandalkan gerakan mekanis angina di luar membantu pergerakan udara di dalam bangunan untuk menghalau udara panas keluar jika diperlukan, terutama saat musim panas. Sekitar 52% material yang digunakan merupakan material terbarukan atau daur ulang yang diambil dari tempat yang berjarak kurang dari 50 km untuk meminimalkan konsumsi energi transportasi Dengan fasilitas yang ada, warga mengolah air kotor serta memanfaatkan air hujan untuk keperluan sehari-hari disesuaikan dengan kebutuhan serta syarat kesehatan, sehingga konsumsi air di kawasan ini sangat rendah dibanding konsumsi rata-rata warga Inggris. Dari parameter ekologi, jejak ekologi (ecological footprint) BedZED hanya mencapai 3,20 gha (globe hectares) jauh di bawah angka rata-rata jejak ekologi di Inggris yang mencapai 5,45 gha. Rendahnya angka jejak ekologi mengindikasikan turunnya angka eksploitasi sumber daya alam. Hal ini tercapai melalui rancangan arsitektur pasif hemat energi, penggunaan sumber energi terbarukan, minimalisasi penggunaan kendaraan pribadi, dan perilaku warga yang hemat energi serta konsumsi makanan organik. Transportasi Hemat Energi Penggunaan kendaraan bermotor sangat dibatasi dengan membatasi jumlah tempat parkir. Warga dituntut berjalan kaki, menggunakan sepeda atau transportasi umum untuk bepergian. Kawasan perumahan ini dilengkapi dengan fasilitas mobil listrik bersama, di mana setiap warga dapat menggunakannya. Fasilitas charger listrik mobil dengan sumber energi photovoltaic sebesar 109 kW-peak tersedia di Arsitektur Hijau: Arsitektur bangunan BedZED dirancang secara pasif: mengoptimalkan panas dan cahaya matahari, aliran udara alami, pengurangan panas saat Musim Panas,serta secara aktif dengan memanfaatkan photovoltaic dan sumber energi biomassa. lahan parkir, mampu mengisi kebutuhan energi 40 mobil listrik. Meskipun demikian, di luar kepentingan khusus, warga lebih memilih berjalan kaki, menggunakan sepeda, atau bis kota ketika bepergian. Perjalanan dengan kendaraan bermotor yang dilakukan warga diukur berdasar jarak tempuh turun 65% dibanding angka rata-rata di Inggris. Perilaku Warga Laporan penelitian dari berbagai sumber memperlihatkan setelah beberapa tahun ditempati terjadinya peningkatan interaksi sosial di antara warga BedZED. Dari 70 orang responden, 84% menyatakan lingkungan sosial di BedZED lebih baik dari tempat tingal mereka sebelumnya, hanya satu orang yang menyatakan sebaliknya. Setiap warga secara rata-rata mengenal 20 nama tetangganya dan seorang responden bahkan mampu mengenali 150 nama tetangganya, suatu ukuran yang tinggi di negara dengan kultur individualisme yang kuat. Sekitar 86% warga mengkonsumsi makanan organik dan 39% memenuhi sebagian kebutuhan makanannya sendiri dari hasil tanaman yang ditanam di halaman atau di roof-garden. Penurunan penggunaan air hingga 58% atau hanya 72 liter/orang/hari (secara umum di Indonesia minimum 200 liter/orang/hari), sekitar 60% sampah berhasil didaur ulang. Demikian pula terjadi penurunan jejak ekologi (ecological footprint) rata-rata 11% setiap tahunnya, Relevansi BedZED di Indonesia Dengan konsep rancangan pasif dan aplikasi teknologi sederhana, unit hunian BedZED mampu mencapai tingkat kenyamanan termal yang baik, pencahayaan alami yang optimal, udara ruang yang segar serta konsumsi energi yang sangat rendah. Kehidupan manusia yang rendah emisi karbon tercapai di kawasan ini sebagai akibat dari penggunaan sumber energi non-fosil. Hingga saat ini BedZED dinilai sebagai satu contoh paling lengkap dari sebuah desain hunian yang sustainable di Inggris. Pembangunan perumahan di Indonesia yang pesat dewasa ini barangkali perlu mempertimbangkan konsep arsitektur bangunan semacam BedZED, meskipun masih diperlukan penyesuaian terhadap iklim tropis lembab. Pembangunan perumahan di Indonesia perlu memenuhi persyaratan kesehatan penghuni, perlu tingkat kenyamanan fisik terkait dengan kenyamanan ruang, kenyamanan termal, pencahayaan dan kenyamanan suara. Dalam rangka pencapaian syarat sehat dan nyaman, bangunan perumahan harus hemat dalam pengurasan sumber daya alam, hemat energi, mengoptimalkan penggunaan sumber energi terbarukan, hemat air bersih, menggunakan material dengan kandungan energi rendah (low embodied energy), material terbarukan, material pakai ulang atau daur ulang. Tidak kalah pentingnya, pembangunan perumahan di Indonesia harus minim mengakibatkan dampak negatif terhadap alam, lingkungan dan manusia, minim menghasilkan limbah. Bagaimana kualitas hidup manusia ditingkatkan tanpa harus menguras sumber daya alam dan tanpa harus menimbulkan permasalahan lingkungan. Konsepsi arsitektur bangunan BedZED mencoba menjawab semua itu. Dan kita dapat belajar dari semua ini. PENERAPAN KONSEP BANGUNAN RAMAH LINGKUNGAN MELALUI KONSTRUKSI GREEN PANEL SEBAGAI ALTERNATIF PENINGKATAN KENYAMANAN DALAM RUANG IMPLEMENTATION OF GREEN BUILDING CONCEPT BY GREEN PANEL CONSTRUCTION AS AN ALTERNATIVE IMPROVEMENT OF ROOM AMENITY Warmer air condition as the impact of global warming had effect to human building scale, i.e. the increasing of room temperature (T) and relative humidity (RtI). It causes an uncomfortable situation inside one building without using mechanical controlling temperature equipment, such as air conditioner (AC). Therefore, there is an alternative to improve indoor amenity by using green panel construction which appropriate with green building concept. The terminology of green panel ill this research was designated a panel made by an iron material, which has a function as secondary skin (second layer) that protect room inside from direct solar radiation, and also as an attempt for green building, or as a media for liana-plant growing. This research was conducted in Department of Landscape Architecture (DLA) Class Room and its corridor (Wing 13, Level VI). As a comparison location was General Laboratory which is managed by Department of Agronomy and Horticulture (DAH) located in the same wing and level, and DAH's seminar room in the same level, but in another wing. The effect of micro climate (T and RH) in DLA's Class Room were showed from the value of Temperature Humidity lndex (THI) around 25.7 to 30.6, with average 28.1 which is categorized as uncomfortable zone. The THI of DLA's Class Room were about 25.7-27.1 (in the morning), 25.8-29.3 (in the afternoon) and 25.8-30.6 (in the evening). Amenity level (THI value) of DLA's Class Room after green panel constructions were changed to 25.4 until 30.2 with average 27.7 which is still in uncomfortable category. However, THI value in the morning was in comfortable category. If green panel coverage's reach 100°h, the average THI value will decrease to comfortable category (THI 21.027.0). The result of SBE test shows that the SBE value has positive correlation with green panel construction. Four photos with the highest SBE's value were the photo after green panel constructed. This mean the construction of green panel could increase landscape beautification. Keywords: green panel, micro climate, room amenity, scenic beauty estimation (SBE), temperature humidity index (THI) ABSTRAK Kondisi udara yang semakin panas akibat globalwarming dirasakan manusia sampai pada skalabangunan, yaitu dengan bertambah panasnya suhu ruang. Hal tersebut menimbulkan perasaan kurang nyaman ketika berada di dalam ruangan tanpa bantuan alat pendingin ruang mekanis, seperti air conditioner (AC). Salah satu alternatif peningkatan kenyamanandalam ruang (indoor) adalah dengan green panel yang sangat sesuai dengan konsep bangunan ramahlingkungan. lstilah green panel dalam penelitian iniadalah panel yang terbuat dari material besi, berfungsi sebagai secondary skin (lapis dinding kedua) yangmeiindungi ruangan di dalamnya dari terik mataharilangsung, serta sebagai upaya penghijauan bangunanatau menjadi media rambatan bagi tanaman. Penelitianini berlokasi di ruang Studio Atas - Departemen ' Departemen Ar~stektur Lanskap Fakultas Pertanlan - lnst~tut Pertanlan Bogor, JI Merant~ Kampus IPB Darmaga 16680 Bogor Penulls korespondensl Tel /Fax (+6225 1) 84224 15 Arsitektur Lanskap (ARL) dan selasarnya (Wing 13, Level VI). Sebagai lokasi pembanding adalah Laboratorium Umum yang dikelola oleh Departemen Agronomi dan Hortikultura (AGH) pada wing dan level yang sama, serta ruang Seminar AGH dan selasarnya yang terletak pada level yang sama, namun wing yang berbeda (Wing 14, Level VI). Pengaruh iklim mikro pada SA dapat dilihat dari nilai Temperature Humidity menunjukkan bahwa sebaran nilai SBE cenderung memberi korelasi yang positif terhadap pemasangangreen panel. Empat foto dengan nilai SBE tertinggi merupakan foto sesudah pemasangan green panel. Hal ini menunjukkan bahwa pemasangan green panel dapat meningkatkan kualitas keindahan Ianskap. PENDAHULUAN Dua isu utania yang menjadi perhatian masyarakat dunia saat ini adalah isu pemanasan global (global . Dampak global warming bahkan dirasakan lnanusia sampai pada ruang lingkup terkecil, yaitu pada skala bangunan. Penghuni bangunan (manusia) merasakan meningkatnya suhu dalam ruangan (indoor) karena masuknya panas sinar matahari yang semakin terik. Hal tersebut menimbulkan perasaan kurang nyaman ketika berada di dalam ruangan tanpa bantuan alat pendingin mekanis, seperti air conditioner (AC). Ketergantungan lnasyarakat terhadap AC tentu berlawanan dengan upaya hemat energi untuk menanggulangi isu global lainnya, yaitu krisis energi.Upaya menciptakan lingkungan berkelanjutan untuk nlengatasi krisis energi dan dampak kekurangnyamanan ruang akibat global warming dapat dilakukan mulai dari skala terkecil, yaitu skala bangunan. Dalam bidang arsitektur, muncul istilah green architectzrre untuk mendefinisikandesain arsitektur yang ramah lingkungan dan berkelanjutan. Arsitektur ramah lingkungan (green diterjemahkan melalui desain pasif dan aktif. Rancangan pasif adalah konsep desain yang memanfaatkanenergi niatahari dan kondisi iklim secara pasif. Upaya menyilang sirkulasi udara dan memasukkan sinar matahari tidak langsung adalah sebagian dari penerapan rancangan pasif. Adapun rancangan aktif, sudah me~nikirkan lebih jauh tentang bagaimana nlengkonversi e~iergim atahari menjadi energi dalam bentuk lain. Beberapa contoh penerapan konsep green architec/u~.e di antaranya adalah sky greening yaitu upaya penghijauan pada atap dan dinding bangunan (Lim 2007). Penghijauan pada atap bangunan dikenal luas dengan istilah roofgarden. Adapun upaya penghijauan pada dinding bangunan dapat dilakukan melalui pemasangan green panel, yaitu bidang dinding "kedua" (berupa panel) yang ditanami berbagai tanaman. Fungsi green panel selain sebagai upaya penghijauan bangunan (menambah ruang terbuka hijau), juga berfungsi sebagai secondary skin (lapis dinding kedua) yang melindungi ruangan di dalamnya dari terik matahar langsung. Penelitian ini mengambil lokasi pada Studio Atas yang dikelola oleh Departemen Arsitektur Lanskap IPB, selanjutnya disebut dengan istilah Studio Atas. Ruangan ini terletak pada Gedung Fakultas Pertanian, Level V1, Wing Pada penelitian ini, Studio Atas menjadi contoh kasus pengaruh global warming dalam skala ruang. Studio Atas terletak pada lantai (level) tertinggi bangunan dan terletak pada Wing 13 dengan posisi membujur Utara-Selatan. Sehingga sisi panjang bangunan berada pada arah Barat- Timur yang mengakibatkan wing tersebut menerima panas matahari langsung dari pagi sampai sore hari. Akibatnya ruang Studio Atas terasa tidak nyaman baik digunakan sebagai tempat kuliah maupun praktikum. Hal tersebut mengakibatkan intensitas pemakaian Studio Atas menjadi sangat rendah. Salah satu faktor penyebab rendahnya intensitas pemakaian ruang Studio Atas adalah ketidaknyamanan ruang. Ditandai dengan suhu dalam ruang (indoor) yang terasa panas dan minimnya hembusan angin alami. Untuk meningkatkan kenyanlanan ruang Studio Atas dilakukan dengan konsep desain ramah lingkungan yang diterjemahkan melalui rancangan pasif. Pemasangan green panel didesain sebagai secondary skin untuk mengatasi terik matahari langsung. Dengan peletakan green panel yang tepat diharapkan cahaya matahari dan aliran angin masih bisa masuk ke dalanl ruang. Tujuan penelitian ini adalah untuk (I) mengidentifikasi iklim mikro (suhu dan kelembaban) ruang menganalisis pengaruh iklim mikro (suhu dan kelembaban) ruang Studio Atas terhadap kenyamanan pengguna ruang, (3) membuat dan memasang konstruksi green panel sebagai upaya meningkatkan kenyamanan ruang, dan (4) membandingkan tingkat kenyamanan ruang Studio Atas sebelum dan sesudah pemasangan (konstruksi) green panel. Desain dan Konstruksi Green Panel Konsep desain green panel adalah sebagai lapis dinding kedua (secondaty skill), yang meli ndungi ruangan di dalamnya dari terik matahari langsung; serta sebagai upaya penghijauan bangunan. Green panel didesain menutup bukaan di antara dua kolom yang terletak di selasar Studio Atas, sehingga secara total terdapat empat bukaan. Agar ruangan masih memperoleh pencahayaan dan penghawaan alami, terutama pada siang hari, dikenibangkan 2 tipe green panel. Dua tipe tersebut adalah green panel A yang menutup sebagian bukaan, dan green pu~ieBl yang menutup hampir seluruh bukaan. Tahap desain nienghasilkan gambar denah, tampak depan, perspektif dan detil dari green panel tipe A serta green panel tipe B. Pada tahap konstruksi, material utama g~.een panel adalah besi. Pertimbangannya agar selaras dengan material lirigkungan sekitarnya yang menonjolkan peniakaian besi. Jenis tanaman yang digunakan adalah tanaman nieratnbat (,\landevilla sp). Pertirnbangannya karena tanaman nieranibat lebih efektif membentuk dinding alami yang rapat pada green panel. Tahap 11: Pengukuran lklim Mikro (Suhu dan Kelembaban Relati0 Terdapat dua tahap pengukuran iklim mikro. Pengukuran iklim mikro tahap I dilakukan untuk mengetahui kondisi iklim mikro pada lokasi penelitian sebelum dipasang g~.een panel. Adapun pengukuran iklim lnikro tahap I1 dilakukan setelah konstruksi green panel dipasang di selasar Wing I3 depan Studio Atas. Pengukuran iklim mikro memakai alat therrnohigro meter digital yang menunjukkan nilai suhu ("C) dan kelenibaban relatif RH (%). Pengukuran iklim mikro Tahap I maupun Tahap I1 dilakukan dalam tiga periode waktu yang mewakili pagi (pukul 08.00), siang (pukul 12.00) dan sore (pukul 16.00). Pcnga~iibilan data suhu dan Data Suhu dan Kelembaban Relatif Data suhu dan kelembaban relatif selanjutnya ditabulasi dan dibuat grafik untuk mengetahui: (I) rata-rata suhu dan RH harian sebelum pemasangan green panel; (2) rata-rata suhu dan RH harian sesudah pemasangan green panel; (3) perbandingan nilai rata-rata suhu dan RH sebelum dan sesudah peniasangan green panel; serta (4) perbandingan nilai rata-rata suhu dan RH ruang Studio Atas dan selasarnya dengan ruang seminar AGH dan selasamya. Untuk mengetahui kenyamanan therrnal digunakan metode Temperature Hzrtliidity Index (THI). Indeks THI merupakan nilai yang menunjukkan tingkat kenyamanan di suatu area secara kuantitatif. Suatu area dikatakan nyaman jika niemiliki nilai THI antara 21-27 (Nieuwolt, 1975 diacu Margaretha, 2007). Rumus yang digunakan untuk menentukan THI adalah: I RHxT I THI = Tempe/.atut-e Humidity Index T = Suhu udara rata-rata (" C) RH = Kelembaban Udara Relatif (%) Tahap IV: Metode Scenic Beauty Estimation (SBE) Nilai keindahan suatu lanskap dari sebuah foto dilakukan dengan metode Scenic Beauty Estimation (SBE) yang menilai perbedaan dalam perceived scenic beauty dengan membandingkan distribusi rating seorang pengamat untuk satu area lanskap dengan yang lainnya. Metode ini dapat diselesaikan secara grafik dengan memplotkan sebuah Relative Operating Cha~uteristic (ROC), sebuah grafik bivariat dari kumulatif peluang rating (1-10) untuk perbandingan lanskap yang terpilih dengan kumulatif peluang rating (1-lo), berturut-turut, untuk setiap lanskap lainnya (Daniel dan Boster, 1976). Dalam penelitian ini, metode SBE digunakan untuk menilai keindahan green panel dengan rnenguji 30 buah foto pada 34 responden mahasiswa arsitektur lanskap. HASIL DAN PEMBAIIASAN Desain dan Konstruksi Green Panel Green panel didesain terdiri dari dua bagian, yaitu konstruksi green panel dan tanaman pembentuknya. Konstruksi rangka utama menggunakan besi bulat O 10 mm dan rangka pengisi memakai besi O 8 mm. Sebagai alas pot tanaman digunakan plat besi. Green panel dikonstruksikan pada bukaan di antara 2 kolom selasar yang berada di depan ruang Studio Atas, dengan julnlah 4 bukaan. Bukaan terbentang di antara dua kolotn utama bangunan. Bagian bawah bukaan adalah pagar tembok setinggi 1,15 meter dan Gambar 1. Lima Titik Pengambilan Data Suhu dan Kelembaban Relatif (RH). Gambar 2. Ukuran Bukaan Antara Dua Kolom Sebagai Tempat Pemasangan Green Panel bagian atas adalah balok (ring balk). Bukaan yang terbentuk mempunyai ukuran 1,90~3,86m(G ambar 2). Desain green panel dibuat dalam satuan unit kecil, yang disebut dengan istilah modul. Terdapat dua modul, yaitu Modul Green Panel 1 (ukuran 1,00x1,90 m) dan Modul Green Panel 2 (ukuran 0,75 x 1,90 m). Sesuai konsep green panel, yaitu menyaring atau mer~gurangi panas matahari yang masuk ke dalam ruang, mak;a tidak seluruh bukaan ditutup agar pencahayaan dan penghawaan alami masih bisa masuk. Selanjutnya dikembangkan dua tipe green panel, yaitu Green Panel Tipe A yang menutup sebagian bukaan dan Green Panel Tipe B yang menutup hampir seluruh bukaan (Gambar 3). Green panel dikonstruksikan di selasar depan Studio Atas menggunakan pola A-B-B-A. Pola tersebut dibentuk oleh 12 modul (Modul Green Panel 1 dan 2) yang dipasang dengan dua kombinasi utama (Green Panel Tipe A dan Tipe B) sehingga membentuk empat panel besar dengan pola A-B-B-A tersebut. Pola pemasangan green Pengukuran iklim mikro Tahap I dilakukan pada 2 panel tersebut mempertimbangkan konsep sirkulasi udara SeplO Okt 2008. Suhu ratarata pada lima titik pengudan persentase penutupan sehingga masih memungkinkan kuran menunjukkan nilai lebih tinggi dibandingkan dengan pencahayaan dan penghawaan alami. rata-rata suhu harian kawasan Darmaga bulan Sep-Okt Denah Green Panel A Denah Green Panel B Gambar 3. Green Panel Tipe A dan B Tanaman merambat pada green panel hams mampu hidup dalam kondisi sinar matahari penuh (jiull sun). Tanaman yang dipilih adalah Mandevilla sp, karena mempunyai karakter membutuhkan sinar matahari penuh untuk tumbuh. Karakter tersebut cocok diterapkan pada green panel, sesuai fungsinya membentuk lapis dinding kedua sekaligus sebagai naungan untuk menyaring panas matahari. Selain itu, tanaman ini mempunyai bunga dengan pilihan wama yang beragam. Pada penelitian ini, yang dipilih adalah Mandevilla sp berbunga kuning. Semakin banyak terkena sinar matahari, wama yang muncul makin cerah (http://tabloidgallery.wordpress. com). Pengukuran Iklim Mikro (Suhu dan Kelembaban Relatif) Menurut Brown, Gillespie (1995), iklim mikro adalah kondisi iklim pada suatu ruang yang sangat terbatas, yang dipengaruhi oleh radiasi matahari, suhu udara, kelembaban udara dan curah hujan. Unsur-unsur iklim mikro mempunyai peran penting dalam menentukan kenyamanan suatu wilayah atau kawasan karena secara langsung mempengaruhi aktivitas manusia di dalarnnya. Suhu udara dan kelembaban relatif (RH) berpengaruh terhadap kenyamanan termal yang dinyatakan dalam Temperature Humidity Index (THI). 2008. Berdasarkan rata-rata suhu udara harian, perubahan suhu indoor maupun outdoor menunjukkan kecenderungan meningkat sejak pagi hari (pukul 08.00 WIB), kemudian siang hari (pukul 12.00 WIB) dan masih meningkat sampai sore hari (pukul 16.00 WIB). Rata-rata suhu harian pada pengukuran Tahap I di Studio Atas adalah 29,7"C; Laboratorium Umum AGH adalah 30,9"C; Ruang Seminar AGH adalah 31,1°C; Selasar Wing 13 adalah 30,3"C dan selasar Mng 14 adalah 30,5"C. Dengan kata lain, Studio Atas mempunyai rata-rata suhu harian paling rendah dibandingkan empat titik lainnya. Hasil pengukuran kelembaban relatif berbanding terbalik dengan suhu udara. Ruang Studio Atas (RH 65,5%) mempunyai kelembaban lebih tinggi dibandingkan empat titik lainnya. Lab. Umum AGH 60,1%; ruang Seminar AGH 59,2%; selasar Wing 13 adalah 63,1% dan selasar Wing 14 adalah 62,1%. Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh dari pemasangan (konstruksi) green panel terhadap kenyamanan ruang Studio Atas, dilakukan pengukuran suhu dan kelembaban relative sebelum dan sesudah pemasangan green panel. Sebagai catatan pada saat pengukuran Tahap 11, perambatan tanaman atau penutupan green panel belum mencapai 100% seperti yang diharapkan. Penutupan baru mencapai sekitar 50% saja. Selain itu, pengukuran Tahap I1 dilakukan pada bulan November, sehingga kondisi lebih basah karena musim penghujan (kondisi iklim berbeda dengan pengukuran pada Tahap 1). Penutupan green panel yang hanya mencapai 50% cukup niemberikan pengaruh PAGl Sl ANG 35m0 7 SORE LI,C. . 123123123 Perbandingan Suhu di Studio Atas ARL Perbandingan Suhu di Selasar Studio Atas +=Suhu sebelurn Pemasangan Green Panel; M=Suhu sesudah Pernasangan Green Panel PAGl 80,O n 75,O 70,O SlANG SORE 45,O 12312312 Perbandingan Kelernbaban di Studio Atas ARL 45,O 123123123 Perbandingan Kelernbaban di Selasar Studio Atas +=RH sebelurn Pemasangan Green Panel; M=RH sesudah Pernasangan Green Panel Gambar 4 Grafik Perbandingan Suhu dan Kelembaban Udara pada Bangunan Sebelum dan sesudah Pemasangan Green Panel ( 1 = nilai minimum; 2 = nilai rata-rata; 3 = nilai maksimum) PAG l 35,O SlANG SORE 7 33,O ,a 31.0 w 2 29,O 3 * 27,O 25.0 123123123 Perbandingan Suhu di Studio Atas ARL dengan Ruang Seminar AGH 2 29.0 * 27,O 25,O 123123123 Perbandingan Suhu di Selasar Wing 13 dengan Wing 14 +=Suhu di Studio Atas ARL I Wing 13 ; m=Suhu di Ruang Seminar AGH I Wing 14 PAGl SlANG SORE 80,O - 75,O 5 70,O 5 65,O 13 2 60,O E A! 55,O 2 50,O 45,O 12312312 Perbandingan Kelembaban di Studio Atas ARL dengan Ruang Seminar AGH - 750 5 70,O C 2 65,O 2 60,O *2E 45'5~550 ,,,OOO 1 2 3 1 2 3 1 2 3 Perbandingan Kelembaban di Selasar Wing 13 dengan Wing 14 +=RH di Studio Atas ARL I Wing 13 ; m=RH di Ruang Seminar AGH I Wing 14 Gambar 5 Grafik Perbandingan Suhu dan Kelembaban Udara pada Bangunan Lain dengan Orientasi yang Sama (I = nilai minimum; 2 = nilai rata-rata; 3 = nilai rnaksirnurn) perubahan suhu dibandingkan sebelum dipasang green pariel. Hasil perbandingan iklim lnikro (suhu dan RH) sebelum dan sesudah pemasangan green panel memperlihatkan adanya penurunan nilai suhu yang signifikan sesudah pemasangan green panel, yaitu sekitar 0,4-3,0°C. Hasil uji statistik untuk mengetahui tingkat signifikansi dari perbedaan nilai minimum, rata-rata dan maksimum suhu harian sebelum dan sesudah pemasangan green panel menunjukkan perbedaan nyata pada selang kepercayaan 1 % (6=0,0 1 ) (Gambar 4). Nilai kelembaban (RH) sesudah pemasangan green panel menujukkan peningkatan dan fluktuasi yang relatif lebih stabil. Fluktuasi yang tinggi sebelum pemasangan green panel dari minimum ke maksimum mengalami perubahan menjadi relatif lebih stabil setelah pemasangan. Kondisi itu memudahkan teknik modifikasi iklim mikro untuk mencapai nilai THI yang mendekati kategori nyaman (THI 2 1-27). Perbandingan nilai rata-rata suhu dan RH ruang Studio Atas dan selasarnya dengan ruang seminar AGH dan selasarnya (untuk mengetahui pengaruh orientasi wing yang berbeda pada level sama) memperlihatkan bahwa suhu ruangan di Studio Atas lebih rendah dibandingkan dengan ruang Seminar AGH (Gambar 5). Begitu juga dengan nilai kelembaban Studio Atas dan selasarnya yang relatif lebih stabil dibandingkan dengan ruang Seminar AGH dan selasarnya. Pada ruang Studio Atas yang memiliki green panel, sirkulasi udara yang membawa uap air basah terperangkap sesaat sebelum mengalir ke luar, kondisi ini niembuat nilai suhu dan kelembaban udara menjadi cenderung lebih stabil. Walaupun demikian, suhu pagi hari dari kedua lokasi niempunyai nilai THI dalam kategori nyaman. Hasil ini merekoniendasikan kedua ruangan tersebut sebaiknya digunakan pada pagi hari untuk memberikan kenyamanan dalam kegiatan perkuliahan dan seminar bagi mahasiswa Penilaian Scenic Beauty Estimation (SBE) Responden dalam pengujian SBE ini adalah 34 mahasiswa mayor Arsitektur Lanskap semester tujuh. Prosentase responden berjenis kelamin perempuan adalah 52,996 dan laki-laki sebesar 47,1%. Sebagian responden berasal dari wilayah Jawa Barat, sehingga behaviour dan setting persepsi mereka untuk keindahan adalah image yang bernuansa vegetasi alami. Nilai SBE hasil interpretasi dari 34 responden ~ncmberihatr~e ntang nilai antara -24.0 hingga 57,6. Nilai SBE terendah adalah hasil dari nilai terendah dikurangi nilai SBE yang mendekati nilai nol, sehingga nilai SBE terendah memiliki nilai di bawah nol. Sebaran nilai SBE KESIMPULAN lstilah green panel dalam penelitian ini adalah panel yang terbuat dari material besi, berfungsi sebagai secondary skin (lapis dinding kedua) untuk melindungi ruangan di dalamnya dari terik matahari langsung, serta sebagai upaya penghijauan bangunan dengan menjadi media ranibatan tanaman merambat. Desain green panel dibuat dalam satuan unit kecil, yang disebut modul. Terdapat dua modul, yaitu Modul Green Panel 1 (ukuran 1,OOxI ,90 m) dan Modul Green Panel 2 (ukuran 0,75x1,90 m). Green panel dikonstruksikan di selasar depan Studio Atas menggunakan pola A-B-B-A. Pola tersebut dibentuk oleh 12 modul (Modul Green Panel 1 dan 2) yang dipasang dengan dua kombinasi utama (Green Panel Tipe A dan Tipe B) sehingga membentuk empat panel besar dengan pola A-B-B-A tersebut. Pola pemasangan green panel tersebut mempertimbangkan konsep sirkulasi udara dan prosentase penutupan sehingga masih memungkinkan pencahayaan dan penghawaan alami Suhu iklim mikro, sebelum dan sesudah konstruksi green panel menunjukkan penurunan nilai suhu sesudah konstruksi green panel yaitu 0,4-3,0°C. Rata-rata dan maksimum suhu harian sebelum dan sesudah pemasangan green panel menunjukkan perbedaan nyata pada selang kepercayaan 1 % (6=0,0 1 ). Nilai kelembaban (RH) menunjukkan fluktuasi yang tinggi sebelum pemasangan green panel dari minimum ke maksimum berubah menjadi relatif stabil setelah pemasangan. Nilai Temperature Humidity Index (THI) menunjukkan tingkat kenyamanan Studio Atas sesudah pemasangan green panel mengalami perubahan mencapai kisaran 25,4 hingga 30,2 dengan rata-rata 27,7. Nilai tersebut masih termasuk dalam kategori tidak nyaman. Namun, nilai THI pada pagi hari tergolong dalam kategori nyaman. Bila penutupan green panel telah mencapai loo%, maka diharapkan nilai rata-rata THI akan menurun hingga mencapai kategori nyaman (THI 21-27). Sebagai catatan pengukuran Tahap I1 (sesudah pemasangan green panel) perambatan tanaman atau penutupan green panel belum mencapai 100% seperti yang diharapkan, penutupan baru mencapai sekitar 50% saja. Sebaran nilai SBE yang merepresentasikan pemasangan green panel cenderung memberi korelasi positif pada nilai SBE responden. Empat foto dengan nilai SBE tertinggi merupakan foto sesudah pemasangan green panel. Hal tersebut menunjukkan bahwa pemasangan green panel dapat meningkatkan keindahan lanskap. UCAPAN 1ERIMA KASIH nierepresentasikan bahwa pemasangan green panel Peneilitian ini dapat terlaksana berkat dukungan dari cenderung memberikan korelasi positif pads nilai SBE LPPM IPB &lam program Penelitian Strategis Berdasarkan responden. Payung Penelitian IPB. Ucapan terimakasih juga kami sampaikan kepada Ketua Departemen Arsitektur Lanskap dan Ketua Departemen Agronomi dan Hortikultura atas ijin penggunaan ruang untuk proses penelitian, serta seluruh staf pengajar, pegawai, dan mahasiswa Departemen Arsitektur Lanskap IPB atas bantuan dan kerjasa~nanya selama penelitian berlangsung.