BAB I 1.1.PENDAHULUAN Awal sistem pencernaan merupakan perkembangan dari pelipatan kantong kuning telur yang dilapisi endoderm ke arah sefalo kaudal membentuk usus primitif, yang akan menjadi sistem pencernaan. Perkembangan embriologi sistem pencernaan dan turunannya biasanya dibahas dalam 3 bagian, yaitu (a) Usus depan (foregut), yang terletak di sebelah kaudal tabung faring dan membentang hingga ke tunas hati; (b) Usus tengah(midgut), mulai dari sebelah kaudal tunas hati dan berjalan ke suatu tempat kedudukan, yang pada orang dewasa membentuk pertemuan dua pertiga kanan dan sepertiga kiri kolon tranversum; dan (c) Usus belakang (hindgut), yang membentang dari sepertiga kiri kolon tranversum hingga ke membrana kloakalis. Sedangkan mesoderm akan membentuk jaringan ikat, komponen otot, dan komponen peritoneum pada sistem pencernaan. Embriologi sistem pencernaan penting untuk dipelajari, sebagai dasar untuk mengetahui berbagai kelaianan kongenital yang terjadi pada sistem pencernaan. Sekitar 3% bayi baru lahir menderita kelainan kongenital. Beberapa kelainan kongenital anomali gastrsointestinal yang dapat terjadi yaitu atresia pada sistem saluran pencernaan. Morbiditas berhubungan dengan anomali lain yang ada pada pasien. Prognosis pada atresia dapat dievaluasi dengan cara melihat fungsi klinisnya 1 BAB II 2.1. EMBRIOLOGI TRAKTUS GASTROINTESTINAL Susunan pencernaan manusia mulai terbentuk pada kehidupan mudigah hari ke-22 sebagai akibat dari pelipatan mudigah kearah sefalokaudal dan lateral. Sebagian dari rongga kuning telur yang dilapisi endoderm bergabung ke dalam mudigah dan membentuk usus primitif. Perkembangan embriologi sistem pencernaan dan turunannya biasanya dibahas dalam 3 bagian, yaitu (a) Usus depan, yang terletak di sebelah kaudal tabung faring dan membentang hingga ke tunas hati; (b) Usus tengah, mulai dari sebelah kaudal tunas hati dan berjalan ke suatu tempat kedudukan, yang pada orang dewasa membentuk pertemuan dua pertiga kanan dan sepertiga kiri kolon tranversum; dan (c) Usus belakang, yang membentang dari sepertiga kiri kolon tranversum hingga ke memrana kloakalis. Sedangkan mesoderm akan membentuk jaringan ikat, komponen otot, dan komponen peritoneum pada sistem pencernaan. (Crygmle and Presley, 1975; Sadler TW, 2010) Tabung usus disanggah pada bagian dorsal oleh mesenterium (mesenterium dorsal yang menggantung dari bagian bawah esofagus ke daerah kloaka usus belakang, mesogastrium dorsal/omentum mayus yang menggantung lambung, mesoduodenum dorsalis menggantung bagian duodenum, dan mesenterium proprius yang menggantung illeum dan jejunum) yang akan menjadi jalur pembuluh darah, saraf, dan getah bening ke bagian abdomen viseral. Sedangkan mesenterium ventral yang terdapat pada bagian esofagus terminal, lambung, bagian atas duodenum dari septum trensversum (mesenterium ventral: omentum minus, dari bawah esofagus, lambung, bagian atas duodenum hati, ligamentum falsiformis, dari hati ke dinding ventral tubuh. Gambar 2.1.1. Gambaran skematik mesenterium Gambar 2.1.2. Perkembangan sistem pencernaan janin di minggu ke 4 dan 5 (Crygmle and Presley, 1975; Sadler TW, 2010) 2.1.1. Usus Depan (Foregut) 2.1.1.1. Esofagus 2 Pada minggu ke-4, dinding ventral usus depan terdapat divertikulum respiratorium (tunas paru) yang berbatasan dengan faring. Diventrikulum berangsur-angsur terpisah dari bagian dorsal usus depan melalui sebuah pembatas, yaitu septum esofagotrakealis sehingga usus depan terbagi menjadi bagian ventral yaitu primodium pernapasan (tuba laringotrakheal) dan bagian dorsal yaitu esofagus. Pada mulanya esofagus sangat pendek, akan tetapi dengan gerak turun jantung dan paruparu esofagus kemudian memanjang dengan cepat. Adanya gangguan pada stadium ini dapat menyebabkan kelainan kongenital seperti atresia esofagus dengan fistula trakeoesofagus. Atresia esofagus terjadi jika septum trakeoesofagus deviasi ke posterior. Deviasi ini membuat pemisahan esofagus dari saluran laringotrakea tidak komplit sehingga terjadi fistula trakeoesofagus. Lapisan otot yang terbentuk oleh mesenterium sekitarnya. Dua pertiga bagian kranial berupa otot lurik yang dipersarafi oleh nervus vagus, sedangkan 1/3 bagian kaudal sisanya berupa otot polos yang dipersarafi pleksus splangnikus. Panjang dari esofagus berkisar 8 – 10 cm setelah lahir, menjadi dua kali lipat saat berumur 2-3 tahun, dan menjadi kurang lebih 25 cm saat dewasa. Esofagus bagian abdominal pada masa 8 minggu embrio sebesar lambung tetapi akan mengecil seiiring dengan waktu. Di lokasi intraabdominal ini, bagian distal esofagus dengan LES ( Lower Esophageal Spinchter ) mempunyai peran penting dalam anti refluks. Aktivitas menelan di esofagus dapat terlihat pada masa gestasi 16-20 minggu, untuk membantu sirkulasi dari cairan amnion; Polyhidramnion, merupakan tanda dari gangguan proses menelan dari esofagus atau obstruksi traktus gastrointestinal bagian atas. Oleh karena itu polyhidramnion merupakan salah satu tanda atau faktor resiko dari terjadinya atresia esophagus. (Crygmle and Presley, 1975; Sadler TW, 2010). 2.1.1.2. Lambung Pada minggu ke-4, lambung merupakan suatu pelebaran usus depan berbentuk fusiformis. Pada minggu-minggu berikutnya, bentuk kedudukannya banyak berubah akibat perbedaan kecepatan pertumbuhan pada berbagai bagian dindingnya dan perubahan kedudukan organ-organ di sekitarnya. Perubahan kedudukan lambung paling mudah dijelaskan dengan menganggap bahwa organ ini berputar mengelilingi sumbu panjang dan sumbu anteroposterior. Pada sumbu memanjangnya, lambung melakukan perputaran 90° searah jarum jam, sehingga sisi kirinya menghadap depan dan sisi kanannya menghadap belakang. Oleh karena itu, nervus vagus kiri yang tadinya mempersarafi dinding kiri, menjadi mempersarafi dinding depan; demikian pula yang terjadi pada dinding lambung belakang yang dipersarafi oleh nervus vagus kanan. Selama perputaran ini, bagian belakang lambung tumbuh lebih cepat dari bagian depan sehingga terbentuklah kurvatura mayor dan kurvatura minor. (Crygmle and Presley, 1975; Sadler TW, 2010) Gambar 2.1.3. Perputaran Lambung 90o serta Pembentukan Kurvatura Mayor dan Kurvatura Minor 3 Ujung sefalik dan kaudal lambung yang tadinya terletak pada garis tengah akan bergerak memutari sumbu anteroposterior sehingga badan kaudalnya (pilorus) bergerak ke kanan atas dan badan sefaliknya (kardia) bergerak ke arah kiri bawah. Dengan demikian lambung mencapai kedudukannya yang terakhir, dan sumbu panjangnya berjalan dari kiri atas ke kanan bawah Gambar 2.1.4 Kedudukan Akhir Lambung Lambung menempel pada dinding tubuh dorsal melalui mesogastrium dorsal dan ke dinding tubuh ventral melalui mesogastrium ventral, rotasi dan pertumbuhan yang tidak proporsional mengubah kedudukan mesenterium-mesentrium ini. Rotasi mengelilingi sumbu longitudinal menarik mesentrium dorsal ke kiri, sehingga menciptakan sebuah ruang yang disebut bursa omentalis (sakus peritonealis minor). (Crygmle and Presley, 1975; Sadler TW, 2010) Gambar 2.1.5 Pembentukan Bursa Omentalis pada Mesentrium Dorsal Pada minggu ke-5 primordium limpa terbentuk sebagai proliferasi mesoderm di antara kedua lembaran mesogastrium dorsal. Dengan berlanjutnya rotasi lambung, mesogastrium dorsal memanjang dan bagian yang berada di antara limpa dan garis tengah bagian yang berada di 4 antara limpa dan garis tengah bagian dorsal membelok ke kiri dan menyatu dengan peritoneum dinding abdomen posterior, dan bagian yang menyatu ini akan berdegenerasi. Limpa yang berkedudukan intraperitoneal kemudian dihubungkan dengan dinding tubuh di daerah ginjal kiri oleh ligamentum lienorenalis dan ke lambung oleh gastrolienalis. Pemanjangan dan bersatunya mesogastrium dorsal ke dinding posterior tubuh juga menentukan posisi akhir pankreas. Mula-mula, organ ini tumbuh ke dalam mesoduodenum dorsal, namun akhirnya pada kauda memanjang ke mesograstrium dorsal. Karena bagian mesogastrium dorsal ini menyatu dengan dinding tubuh dorsal, kauda pankreas terletak di daerah ini. Begitu lembaran posterior mesogastrium dorsal dan peritoneum dinding tubuh posterior berdegenerasi di sepanjang garis penyatuan ini, kauda pankreas dibungkus oleh peritoneum hanya pada permukaan anteriornya dan karena itu terletak di posisi retroperitoneal (organ-organ semacam pankreas yang mula-mula dibungkus oleh peritoneum tetapi kemudian menyatu dengan dinding tubuh posterior sehingga menjadi retroperitoneal disebut sebagai retroperitoneal sekunder). (Crygmle and Presley, 1975; Sadler TW, 2010) Gambar 2.1.6 Perubahan Letak Limped dan Pankreas Selama Minggu ke-5 Hasil dari rotasi lambung di sekeliling aksis anteroposteriornya, mesogastrium dorsal menonjol ke arah bawah. Pertumbuhannya kemudian terus berlanjut ke arah bawah dan membentuk sakus berlapis ganda, memanjang sampai kolon tranversum dan gelung usus kecil, struktur ini dikenal sebagai omentum mayus. (Crygmle and Presley, 1975; Sadler TW, 2010) Gambar 2.1.7 Perkembangan Omentum Mayus yang Berasal dari Mesogastrium Dorsal pada Akhir Bulan ke-3 5 Sakus berlapis ganda, kemudian menyatu membentuk lembaran tunggal yang tergantung dari kurvatura mayor lambung. Lapisan posterior dari omentum mayus juga bersatu dengan mesenterium kolon transversum. Gambar 2.1.8 Penyatuan Sakus Berlapis Ganda Omentum Mayus pada (A) Bulan ke-4 dan (B) Saat Kelahiran Omentum minus dan ligamentum falsiformis yang berasal dari dari mesogastrium ventral. Korda hepatik tumbuh ke dalam septum sehingga korda ini menjadi menipis untuk membentuk: a) Peritoneum hati b) Ligamen falsiformis (memanjang dari hati ke ventral dinding tubuh) – tepi bebas berisi vena umbilikalis yang setelah lahir berobliterasi untuk membentuk ligamentum rotundum dari hati (ligamentum teres hepatis). c) Omentum minus (memanjang dari lambung dan duodenum atas ke hati) – Tepi bebasnya menghubungkan duodenum dan hati (ligamentum hepatoduodenalis) berisi duktus biliaris, vena porta, dan artei hepatika (triad porta). (Crygmle and Presley, 1975; Sadler TW, 2010) Gambar 2.1.9 Perkembangan Mesogastrium Ventral pada Akhir Minggu ke-5 6 2.1.1.3. Duodenum Bagian saluran usus ini dibentuk dari bagan akhir usus depan dan bagian sefalik usus tengah. Titik pertemuan krdua bagian ini terletak tepat di sebelah distal pangkal tunas hati. Karena duodenum terbentuk dari gabungan usus depan dan usus tengah, sehingga duodenum juga diperdarahi oleh cabang-cabang dari arteri Seliaka yang juga memperdarahi usus depan dan arteri Mesentrika Superior yang juga memperdarahi usus tengah. Gambar 2.1.10 Letak duodenum pada minggu ke-4 Ketika lambung berputar, duodenum melengkung seperti huruf C dan memutar ke kanan. bersamaan dengan tumbuhnya kaput pankreas, menyebabkan duodenum membelok dari posisi tengahnya yang semula ke arah sisi kiri rongga abdomen. Duodenum dan kaput pankreas ditekan ke dinding dorsal badan, dan permukaan kanan mesoduodenum dorsal menyatu dengan peritoneum kemudian keuda lapisan menghilang dan duodenum serta kaput pankreas menjadi terfiksasi di posisi retroperitoneal. Mesoduodenum dorsal menghilang sama sekali kecuali di daerah pilorus lambung, dimana sebagian kecil duodenum (tutup duodenum) tetap intraperitoneal. Gambar 2.1.11. Kedudukan Duodenum Ketika Terjadi Perputaran Lambung 7 2.1.2. Usus Tengah (Midgut) Pada minggu ke-5, usus tengah menggantung pada dinding dorsal abdomen dorsal oleh sebuah mesentrium pendek dan berhubungan dengan kantung kuning telur melalui duktus vitelinus atau tangkai kuning telur. Pada orang dewasa, usus tengah dimulai tepat di sebelah distal muara duktus biliaris ke dalam duodenum dan berahkir di antara dua pertiga proksimal kolon transversum dan sepertiga distalnya. Seluruh panjang usus tengah diperdarahi oleh arteri mesentrika superior. Perkembangan usus tengah ditandai dengan pemanjangan cepat usus dan mesentriumnya sehingga terbentuk gelung usus primer. Di bagian puncaknya, saluran usus ini tetap berhubungan langsung dengan kanong kuning telur melalui duktus vitelinus yang sempit. Bagian kranial dari lengkung berkembang menjadi bagian distal duodenum, jejunum, dan sebagian ileum. Sedangkan bagian kaudal menjadi bagian bawah ileum, sekum, apendiks, kolon ascendens, dan dua pertiga proksimal kolon transversum. Gambar 2.1.12 Pembentukan Gelung Usus Primer pada Usus Tengah Perkembangan gelung usus primer ditandai oleh pemanjangan yang pesat, terutama dibagian kranial. Sebagai akibat pertumbuhan yang cepat ini dan membesarnya hati yang terjadi secara serentak, rongga abdomen untuk sementara menjadi terlalu kecil untuk menampung semua usus,dan gelung tersebut masuk ke rongga selom ekstraembrional di dalam tali pusat selama minggu ke-6 (hernia umbilikalis fisiologis). Bersamaan dengan pertumbuhan panjangnya, gelung usus primer berputar melalui sebuah poros yang dibentuk oleh arteri mesentrika superior. Apabila diihat dari depan, perputaran ini berlawanan arah dengan jarum jam. Perputaran yang terjadi selama proses herniasi kira-kira 90o. 8 Gambar 2.1.13 Herniasi Umbilikalis Fisiologis dan Rotasi Gelung Usus Primer Pada minggu ke-10, menghilangnya mesonefros, berkurangnya pertumbuhan hati, dan bertambah luasnya rongga abdomen membuat gelung usus yang mengalami herniasi kembali ke dalam rongga abdomen. Kembalinya gelung usus ke dalam rongga abdomen juga diikuti dengan perputaran gelung usus sebesar 180o. Sehingga total rotasi yang terjadi pada gelung usus selama proses herniasi umbilikalis dan kembali lagi ke dalam rongga abdomen adalah sebesar 270o. Bagian proksimal jejunum, merupakan bagian pertama yang masuk kembali ke dalam rongga abdomen,kemudian mengambil tempat di disisi kiri. Gelung usus yang masuk berikutnya secara bertahap semakin ke sisi kanan. Tunas sekum yang muncul pada minggu ke-6 sebagai suatu pelebaran kecil berbentuk kerucut pada bagian kaudal gelung usus primer adalah bagian terakhir usus yang masuk ke dalam rongga abdomen. Untuk sementara bagian ini berada pada kuadaran kanan atas tepat dibawah lobus kanan hati. Dari sini, bagian tersebut bergerak turun ke dalam fosa iliaka kanan, sehingga membuat kolon asendens dan fleksura hepatika menjadi terletak di sebelah kanan rongga abdomen. Selama proses ini ujung distal tunas sekum membentuk sebuah divertikulum yang sempit, yang disebut Appendiks primitif. Gambar 2.21. Pandangan Anterior GelungGelung Usus yang Masuk Kembali ke Dalam Rongga Perut setelah Proses Herniasi Umbilikalis Fisiologis 9 Mesentrium pada gelung usus primer, mesentrium proprius, mengalami perubahan yang banyak sekali bersama dengan peristiwa rotasi dan pemutaran gelung usus. Ketika bagian kaudal usus tersebut bergerak ke sisi kanan rongga perut, mesentrium dorsal melilit di sekitar pangkal arteri mesentrika superior. Kemudian ketika bagian asendens dan desendens mulai menapatkan kedudukan yang sebenarnya, mesentriumnya didesak menempel ke peritoneum di dinding abdomen posterior. Setelah penyatuan lapisan-lapisan ini, kolon asendens dan desendens tertambat permanen di sisi retroperitonium. Sedangkan apendiks ujung bawah sekum dan kolon sigmoid tetap mempertahankan ujung bebasnya. Pada mesokolon tranversum, usus ini menyatu dengan dinding posterior omentum mayus tetapi tetap mempertahankan mobilitasnya garis perlekatannya membentang dari fleksura hepatica kolon asendens sampai ke fleksura lienalis kolon desendens. Sedangkan mesentrium gelung usus jejunoileal mula-mula bersambungan dengan mesentrium kolon asendens. Ketika mesentrium mesokolon asendens menyatu dengan dinding abdomen posterior, mesentrium gelung jejunoileal mendapatkan garis perlekatan baru, yang berjalan dari daerah dimana duodenum terletak intraperitoneum sampai ke persambungn ileosekalis. Gambar 2.22. Kedudukan Akhir Gelung-Gelung Usus Dalam Rongga Abdomen 2.1.3. Usus belakang (Hindgut) Usus belakang membentuk sepertiga distal kolon transversum, kolon desendens, sigmoid, rektum, bagian atas kanalis ani. Selain itu endoderm usus belakang ini juga membentuk lapisan dalam kandung kemih dan uretra. Bagian akhir usus belakang bermuara ke dalam kloaka yaitu suatu rongga yang dilapisi oleh endoderm yang bertemu langsung dengan ektoderm permukaan. Daerah pertemuan ini disebut membran kloaka. Pada perkembangan selanjutnya, timbul suatu rigi melintang, yaitu Septum urorektal, pada sudut antara allantois dengan usus belakang. Sekat ini tumbuh ke arah kaudal membagi kloaka menjadi: sinus urogenitalis primitif pada bagian anterior dan kanalis anorektalis pada 10 bagian posterior. Pada minggu ke-7 septum urorektal mencapai membran kloaka dan membentuk korpus perinealis. Membran kloaka kemudian terbagi menjadi: a) Membrana Urogenitalis (pada bagian depan). b) Membrana analis (pada bagian belakang) Gambar 2.23. Perkembangan Bagian Akhir Usus Belakang Sementara itu, membrana analis ini dikelilingi tonjolan-tonjolan mesenkim, dan pada minggu ke-8 selaput ini terletak di dasar cekungan ektoderm, membentuk celah anus atau proktodeum. Pada minggu ke-9 membrana analis koyak sehingga rektum berhubungan dengan dunia luar. Bagian atas kanalis analis berasal dari endoderm yang diperdarahi oleh pembuluh darah yang juga memperdarahi usus belakang, yaitu Arteri mesenterika inferior. Sedangkan sepertiga bagian bawah kanalis analis berasal dari ectoderm dan diperdarahi oleh Aa. Rektales yang merupakan cabang dari arteri pudenda interna. Bagian pertemuan endoderm dan ektoderm, disebut linea pektinata. Pada linea pektinata terjadi perubahan epitel dari epitel torak menjadi epitel berlapis gepeng. Gambar 2.24. Perkembangan dan Pembentukan Celah Anus 11 2.2.DEFINISI ATRESIA Istilah atresia berasal dari bahasa Yunani yaitu “ a “ yang artinya tidak ada dan trepsis yang berarti makanan dan nutrisi. Atresia gastrointestinal biasa disebut juga malformasi gastrointestinal atau anomaly gastrointestinal. 2.3. EPIDEMIOLOGI Adanya kesalahan pada morfogenesis dapat menyebabkan terjadinya atresia gastrointestinal. Hal tersebut dapat disebabkan oleh adanya kelainan mutasi gen yang spesifik, ketidakseimbangan dari kromosom dan adanya faktor dari bahan yang bersifat teratogenik. Pada negara berkembang, tingginya angka kelahiran disertai menurunnya faktor sosioekonomi dapat menjadi penyebab tidak langsung terjadinya malformasi gastrointestinal (Leck et al, 1968). Prevalensi dari atresia gastrointestinal yang dapat terdeteksi berkisar 23%. Fasilitas diagnostic yang tergolong rendah pada negara berkembang menyebabkan data statistik umum lebih fokus terhadap gejala akut dibandingkan adanya atresia gastrointestinal yang merupakan penyebab utamanya sehingga mengakibatkan sudah terjadinya komplikasi pada neonatus atau anak (WHO, 1985). Prevalensi dari atresia gastrointestinal sebesar 10:10.000 kelahiran. Atresia ani merupakan atresia gastrointestinal yang paling sering terjadi yaitu 5:10.000 kelahiran. Perbadingan terjadinya malformasi gastrointestinal pada wanita lebih besar dibanding lakilaki yaitu sekitar 8,2:10.000 kelahiran pada bayi laki-laki dan 10,7:10.000 kelahiran pada bayi perempuan (Golalipour, 2007). 2.4. ETIOLOGI Setiap proses yang mengganggu embrio dapat menyebabkan gangguan bentuk atau kematian. Setiap proses yang menggangu janin dapat berakibat pertumbuhan organ yang salah misalnya otak, jantung atau seluruh janin. Kegagalan atau ketidaksempurnaan dalam proses embriogenesis dapat menyebabkan terjadinya malformasi pada jaringan atau organ. Sifat dari kelainan yang timbul tergantung pada jaringan yang terkena, penyimpangan, mekanisme perkembangan, dan waktu pada saat terjadinya. Proses “kematian sel” yang tidak adekuat dan kelainan induksi sel dapat menyebabkan atresia gastrointestinal. Beberapa zat teratogen dapat mengganggu perkembangan, tetapi efeknya sangat dipengaruhi oleh waktu pada saat aktivitas teratogen berlangsung selama tahap embrio. 2.5. KLASIFIKASI A. Atresia Esofagus Klasifikasi Atresia esophagus dibagi menjadi 4, yaitu: 1. Atresia esophagus dengan distal trakeosofageal fistula Hal ini paling banyak terjadi pada kasus atresia esophagus. Terdapat celah antara 2 segmen esophagus. Panjang dari celah tersebut mempengaruhi tatalaksana pada atresia esophagus. 2. Atresia esophagus dengan proksimal fistula 12 Keadaan ini merupakan hal yang paling jarang pada kasus atresia esophagus. Biasanya fistula muncul 1-4 cm dari proksimal ke tip kantong esophagus bagian atas. 3. Atresia esophagus dengan proksimal dan distal fistula Pada keadaan ini biasanya tidak terdapat celah antara dua segmen esophagus sehingga lebih mudah untuk ditatalaksana. 3A: Jika terdapat celah >2cm 3B: Jika terdapat celah <2cm 4. Atresia esophagus tanpa trakeosofageal fistula Pada keadaan ini biasanya terdapat celah yang panjang antara dua segmen esophagus. Perut yang kecil disebabkan tidak terdistribusinya aliran amnion ke perut (Boia, 2005). A B C A B C D E Gambar: (A) Atresia esophagus dengan distal trakeosofageal fistula; (B) Atresia esophagus dengan proksimal fistula; (C) Atresia esophagus dengan proksimal dan distal fistula; (D) Atresia esophagus tanpa trakeosofageal fistula; (E) Repaired esophageal atresia (Boia, 2005). B. Atresia Pilorus Secara anatomi, atresia pylorus dibagi menjadi 5 tipe, yaitu: (1) Kardia, daerah yang kecil terdapat pada bagian superior di dekat gastroesofageal junction; (2) Fundus, bagian berbentuk kubah yang berlokasi pada bagian kiri dari kardia dan meluas ke superior melebihi tinggi gastroesofageal junction; (3) Korpus, merupakan 2/3 bagian dari lambung dan berada di bawah fundus sampai ke bagian paling bawah yang melengkung ke kanan membentuk huruf ‘J’ (4) Antrum pilori, adalah bagian 1/3 bagian distal dari lambung. Keberadaannya secara horizontal meluas dari korpus hingga ke sphincter pilori (5) Sphincter pilori,merupakan bagian tubulus yang paling distal dari lambung. Bagian ini secara keseluruhan dikelilingi oleh lapisan otot yang tebal dan berfungsi mengontrol lewatnya makanan ke duodenum. (Katami, 2009) 13 C. Atresia Duodenum Atresia dapat diklasifikasikan ke dalam tiga tipe morfologi. Atresia tipe I terjadi pada lebih dari 90 % kasus dari semua obstruksi duodenum. Kandungan lumen diafragma meliputi mukosa dan submukosa. Terdapat windsock deformity, dimana bagian duodenum yang terdilatasi terdapat pada bagian distal dari duodenum yang obstruksi. Pada tipe I ini, tidak ada fibrous cord dan duodenum masih kontinu. Atresia tipe II, dikarakteristikan dengan dilatasi proksimal dan kolaps pada segmen area distal yand terhubung oleh fibrous cord. Atresia tipe III memilki gap pemisah yang nyata antara duodenal segmen distal dan segmen proksimal. D. Atresia Ileum Terdapat 4 tipe dari atresia ileum, yaitu : a. b. c. d. e. Atresia ileum tipe I Pada atresia ileum tipe I ditandai dengan terdapatnya membran atau jaringan yang dibentuk dari lapisan mukosa dan submukosa. Bagian proksimal dari usus mengalami dilatasi dan bagian distalnya kolaps. Kondisi usus tersambung utuh tanpa defek dari bagian mesenterium. Atresia ileum tipe II Pada atresia ileum tipe II bagian proksimal dari usus berakhir pada bagian yang buntu, dan berhubungan dengan bagian distalnya dengan jaringan ikat pendek di atas dari mesenterium yang utuh. Bagian proksimal dari usus akan dilatasi dan mengalami hipertrofi sepanjang beberapa centimeter dan dapat menjadi sianosis diakibatkan proses iskemia akibat peningkatan tekanan intraluminal. Atresia ileum tipe IIIa Pada atresia ileum tipe IIIa bagian akhir dari ileum yang mengalami atresia memiliki gambaran seperti pada tipe II baik pada bagian proksimal dan distalnya, akan tetapi tidak terdapat jaringan ikat pendek dan terdapat defek dari mesenterium yang berbentuk huruf V. Bagian yang dilatasi yaitu proksimal sering kali tidak memiliki peristaltik dan sering terjadi torsi atau distensi dengan nekrosis dan perforasi sebagai kejadian sekunder. Panjang keseluruhan dari usus biasanya kurang sedikit dari normal. Atresia ileum tipe IIIb Atresia berbentuk “apple peel” dimana didapatkan defek mesenterium yang luas dan ileum distal menerima suplai darah retrograde dari arteri ileokolika dan memutari arteri ini. Atresia ileum tipe IV Pada atresia ileum tipe IV terdapat atresia yang multipel, dengan kombinasi dari tipe I sampai dengan tipe III, memiliki gambaran seperti sosis. Terdapat hubungan dengan faktor genetik, dan tingkat mortalitas yang lebih tinggi. Multipel atresia dapat terjadi karena iskemia dan infark yang terjadi pada banyak tempat, proses inflamasi intrauterin, dan malformasi dari saluran cerna yang terjadi pada tahap awal proses embryogenesis (Willy, 2010). 14 Gambar: (I) Atresia ileum tipe I; (II) Atresia ileum tipe II; (III) Atresia ileum tipe IIIa; (IV) Atresia ileum tipe IIIb; (V) Atresia ileum tipe IV (Willy, 2010). E. Atresia Ani Tipe Atresia Ani berdasarkan letak menurut Stephens dan Smith (1984) yaitu : Klasifikasi Letak tinggi Perempuan Laki-laki Agenesis anorektal dengan atau Agenesis anorektal dengan atau tanpa fistula rektovaginal, atresia tanpa fistula uretra rektoprostatik, rekti. Intermediate atresia rekti. Agenesis anorektal dengan atau Agenesis anorektal dengan atau tanpa fistula rektovaginal, tanpa fistula uretra rektobulbar, agenesis anus Letak rendah agenesis anus Fistula anovestibular atau fistula Fistula anokutaneus anokutaneus (anteriorly (anteriorly displaced anus), stenosis anus displaced anus), stenosis anus Cloaca 15 Gambar: (A)Normal male anatomy; (B) Recto urethral bulbar fistula (Low); (C) Recto bladder neck fistula (High) (A) (B) (C) Gambar: (A)Normal female anatomy; (B) Vestibular fistul; (C) High Imperforate anus; (D)Typical Cloaca (A) (B) (C) (D) 2.6. MANIFESTASI KLINIS Atresia Esofagus Hipersalivasi Tidak mau makan Batuk dan tersedak bila makan Kebiruan (sianosis) pada saat makan Polyhidramnion pada masa kehamilan Biasanya neonatus dengan atresia esophagus mempunyai gejala klinis terdapat busa berwarna putih yang banyak dari mulut dan hidung serta tidak dapat ditangani dengan suction. (Boia, 2005) Atresia pylorus Gejala klinis yang dapat timbul pada atresia pylorus ialah adanya obstruksi yang menyebabkan muntah proyektil menerus menyebabkan terjadinya pengosongan lambung. Tampak peristaltic lambung dan teraba masa di perut yang bentuk olive di kuadran kanan atas. Frekuensi dan volume muntah sering kuat dan berkepanjangan, sehingga produk muntah bisa berupa darah kebiruan karena gastritis. Muntah yang terus Tergantung berapa lama gejala terjadi, sebagian pasien mengalami dehidrasi, alkalosis hipokalemia, irritable, berat badan turun, dan pertumbuhan lambat. (Al-alawee, 2006) 16 Atresia Intestinal Pasien dengan atresia intestinal memilki gejala obstruksi usus. Gejala akan nampak dalam 24 jam setelah kelahiran. Pada beberapa pasien dapat imbul gejala dalam beberapa jam hinga beberapa hari setelah kelahiran. Muntah yang terus menerus merupakan gejala yang paling sering terjadi pada neonatus dengan atresia intestinal. Muntah yang terus-menerus ditemukan pada 85% pasien. Muntah akan berwarna kehijauan karena muntah mengandung cairan empedu (bilosa). Akan tetapi pada 15% kasus, muntah yang timbul yaitu non-bilosa apabila atresia terjadi pada proksimal dari ampula veteri. Muntah neonatus akan semakin sering dan progresif setelah neonatus mendapat ASI. Karakteristik dari muntah tergantung pada lokasi obstruksi. Jika atresia diatas papila, maka jarang terjadi. Apabila obstruksi pada bagian usus yang tingi, maka muntah akan berwarna kuning atau seperti susu yang mengental. Apabila pada usus yang lebih distal, maka muntah akan berbau dan nampak adanya fekal. Apabila anak terus menerus muntah pada hari pertama kelahiran ketika diberikan susu dalam jumlah yang cukup sebaiknya dikonfirmasi dengan pemeriksan penunjang lain seperti roentgen dan harus dicurigai mengalami obstruksi usus. Ukuran feses juga dapat digunakan sebagai gejala penting untuk menegakan diagnosis. Pada anak dengan atresia, biasanya akan memilki mekonium yang jumlahnya lebih sedikit, konsistensinya lebih kering, dan berwarna lebih abu-abu dibandingkan mekonium yang normal. Pada beberapa kasus, anak memilki mekonium yang nampak seperti normal. Pengeluaran mekonium dalam 24 jam pertama biasanya tidak tergangu. Akan tetapi, pada beberapa kasus dapat terjadi gangguan. Apabila kondisi anak tidak ditangani dengan cepat, maka anak akan mengalami dehidrasi, penurunan berat badan, ganguan keseimbangan elektrolit. Jika dehidrasi tidak ditangani, dapat terjadi alkalosis metabolik hipokalemia atau hipokloremia. Pemasangan tuba orogastrik akan mengalirkan cairan berwarna empedu (bilosa) dalam jumlah bermakna. Anak dengan atresi intestinal juga akan mengalami aspirasi gastrik dengan ukuran lebih dari 30 ml. Pada neonatus sehat, biasanya aspirasi gastrik berukuran kurang dari 5 ml. Aspirasi gastrik ini dapat mengakibatkan terjadinya ganguan pada jalan nafas anak. Pada beberapa anak, mengalami demam. Kondisi ini disebabkan karena pasien mengalami dehidrasi. Apabila temperatur diatas 103º F, maka kemungkinan pasien mengalami ruptur intestinal atau peritonits. Pada pemeriksan fisik ditemukan distensi abdomen. Akan tetapi distensi ini tidak selalu ada, tergantung pada level atresia dan lamaya pasien tidak dirawat. Jika obstruksi pada duodenum, distensi terbatas pada epigastrium. Distensi dapat tidak terlihat jika pasien terus menerus muntah. Pada kasus lain, distensi tidak nampak sampai neonatus berusia 24-48 jam, tergantung pada jumlah susu yang dikonsumsi neonatus dan muntah yang dapat menyebabkan traktus alimentary menjadi kosong. Pada beberapa neonatus, distensi bisa sangat besar setelah hari ke tiga sampai hari ke empat, kondisi ini terjadi karena ruptur lambung atau usus sehinga cairan berpindah ke kavum peritoneal. Neonatus dengan atresia duodenum memilki gejala khas perut yang berbentuk skafoid. Saat auskultasi, terlihat gelombang peristaltik gastrik yang melewati epigastrium dari kiri ke kanan atau gelombang peristaltik duodenum pada kuadran kanan atas. Apabila obstruksi pada jejunum, ileum maupun kolon, maka gelombang peristaltik akan terdapat pada semua bagian dinding perut. (Prasad, 2000) Atresia Ani Gejala yang menunjukan terjadinya atresia ani terjadi dalam waktu 24-48 jam. Gejala itu antara lain: 17 - Tidak dapat atau mengalami kesulitan mengeluarkan mekonium (tidak bisa buang air besar sampai 24 jam setelah lahir). - Perut membuncit dan pembuluh darah di kulit abdomen terlihat menonjol. Perut kembung biasanya terjadi antara empat sampai delapan jam setelah lahir. - Muntah (cairan muntahan dapat berwarna hijau karena cairan empedu atau juga berwarna hitam kehijauan karena cairan mekonium). Adapun perbedaan gejala klinis antara anomali letak rendah dan letak tinggi, yaitu: - Obstruksi usus halus letak tinggi memiliki gejala muntah lebih dahulu dan dehidrasi yang sangat cepat. - Obstruksi usus halus letak rendah, nyeri lebih dominan pada sentral distensi. Muntah biasanya lebih lambat. (Adele, 1996) 2.7. DIAGNOSIS A. Diagnosis prenatal o Prenatal maternal sonography: - Pouch sign: Biasanya terlihat gambaran bayangan echoic in tengah fetus usia gestasi 26 minggu pada atresia esofagus. Ada atau tidaknya gastric air bubble yang dapat mengindikasikan adanya atresia esophagus dengan trakeosofageal fistula atau tanpa fistula. Terdapat polihidramnion. (Boia, 2005) Gambar: Pada pemeriksaan sonografi pada fetus yang berumur 35 minggu menunjukkan adanya tanda “double bubble” yang merupakan karakteristik atresia duodenal sama dengan polihidramion o Prenatal MRI of fetus: MRI merupakan pemeriksaan yang penting untuk atresia karena dapat memperlihatkan gambaran lesi dan anatomi dari fetus, namun MRI sulit dilakukan pada kasus polihidramnion dan sulit untuk menilai pergerakan janin. (Boia, 2005) B. Diagnosis postnatal o Nasogastric Intubation of Neonate: Dapat digunakan ukuran 8F untuk bayi premature dan 1012 F untuk bayi cukup bulan. Normalnya batas gaster (gastric cardia) berada sekitar 17 cm dari mulut bayi, jika terdapat atresia esophagus, tube akan berhenti pada jarak 10-12 cm. (Boia, 2005) 18 Radiography: Pemeriksaan ini harus selalu diikuti dengan pemeriksaan nasogastric intubation pada penderita atresia esofagus. Dapat dilakukan pemeriksaan rontgent thorax maupun abdomen. Pada atresia esophagus, pemeriksaan radiologi dapat memberitahu lokasi dari arcus aorta yang sangat penting untuk menentukan tatalaksana. (Boia, 2005) Atresia Esofagus 1. Atresia Esofagus dengan fistula trakeoesofagus pada bagian distal Distensi gas pada bagian perut dan usus halus (disebabkan udara melewati fistula) kemungkinan akan ditemukan. Foto akan memperlihatkan gambaran udara yang sedikit jika fistula okolusi. Sejumlah udara akan terlihat pada esofagus, meskipun biasanya udara dalam esofagus pada neonatus dan anak-anak normal, selain itu akan tampak gas pada abdomen. (Boia, 2005) Gambar. Gambaran Atresia esofagus dengan fistula trakeoesofagus di bagian distal. Tampak orogastric tube di bagian proximal esofagus serta terlihat gas pada usus di abdomen. Gambar. Pada gambaran thorax dan abdomen tampak depan neonatus memperlihatkan saluran di kantung proksimal pada pasien dengan AE ini. Adanya gas pada bagian perut menunjukkan adanya fistula trakeoesofagus distal. Kelainan ini yang paling sering terjadi 2. Atresia Esofagus Tanpa Fistula Trakeoesofagus Dilatasi dari kantong proksimal esofagus yang berisi udara, akan menyebabkan trakea maju ke bagian depan. Abdomen tidak akan memperlihatkan penampakan gas. Kantung esofagus bagian bawah dapat dilihat dengan menggunakan pemasukan barium dengan gastrostonomi. (Boia, 2005) 19 Gambar. Gambaran tanpa adanya fistula bagian distal maupun Tampak abdomen tidak sama sekali Atresia esophagus trakeoesofagus di proximal esofagus. memperlihatkan gas Gambar. Esophageal Atresia. Tampak ujung kateter yang tidak mencapai abdomen, serta tidak adanya gas yang tampak pada daerah abdomen. 3. Atresia Esofagus dengan fistula trakeoesofagus pada bagian proximal Pada gambaran radiografi, tanda-tandanya sama dengan yang didapatkan pada atresia esofagus tanpa fistul. Pemeriksaan dengan menggunakan barium mungkin akan mengalami kegagalan dalam pemeriksaan ini. Gambaran fistula membutuhkan pemeriksaan videofluoroskopi selama pengisian pada kantung proksimal. (Boia, 2005) Gambar. Pada pemeriksaan barium meal posisi pronasi oblik menunjukkan aspirasi pada paru kanan akibat adanya fistula trakeoesofagus proximal 20 Atresia pylorus Tampak distensi abdomen. Tampak distensi gaster dengan gambaran udara usus minimal didistal gaster, single bubble (+) a b c d Gambar. (a) Cervix sign pada HPS, menggambarkan indentasi pylorus masuk ke antrum yang terisi cairan ; (b) Pilorus menunjukkan target sign atau doughnut sign pada HPS. Tanda ini merepresentasikan mukosa yang ekogenik dalam pylorus yang dikelilingi penebalan dinding muskulus yang hipoekoik; (c) Mushroom sign /umbrella sign pada stenosis pylorus; (d) Pemeriksaan UGI menunjukkan adanya obstruksi pylorus dengan string sign. Temuan ini konsisten dengan stenosis pylorus. 21 Invertogram (Radiografi Abominal Lateral dengan marker radiopaque pada perineum) Teknik pengambilan foto ini dapat dibuat setelah udara yang ditelan oleh bayi sudah mencapai rektum, dan bertujuan untuk menilai jarak puntung distal rektum terhadap tanda timah atau logam lain pada tempat bakal anus di kulit peritoneum. Pemeriksaan foto abdomen setelah 18-24 jam setelah bayi lahir agar usus terisi udara, dengan cara Wangensteen & Rice (kedua kaki dipegang dengan posisi badan vertikal dengan kepala di bawah) atau knee chest position (sujud), dengan sinar horizontal diarahkan ke trochanter mayor. Prinsipnya adalah agar udara menempati tempat tertinggi. Selanjutnya, diukur jarak dari ujung udara yang ada di ujung distal rektum ke tanda logam (marker Pb) di perineum. Cara Wangensteen dan Rice digunakan pada kondisi dengan fistula, sedangkan pada knee chest position digunakan pada kondisi tanpa fistula dengan adanya gejala ostruksi usus. Dengan menggunakan invertogram, dapat diketahui anomali yang terjadi merupakan letak rendah atau tinggi. Adapun perbedaan gambaran radiologis antara anomali letak rendah dan letak tinggi, yaitu: - Obstruksi usus halus letak tinggi terdapat distensi minimal dan sedikir air fluid level pada pemeriksaan radiologi. - Obstruksi usus halus letak rendah terdapat multiple central air fluid level terlihat pada pemeriksaan radiologi. Syarat dari pembuatan invertogram adalah sebagai berikut: 1. Setelah usia > 24 jam (paling cepat 18 jam, karena udara sudah sampai ke anus). 2. Hip joint fleksi maksimal. 3. Arah cahaya dari lateral. 4. Kepala di bawah, kaki ke atas agar udara naik ke atas dan mekanium akan ke bawah. 5. Interpretasi pada invertogram a. Pada Wangensteen dan Rice Bila letak udara paling distal: > 1 Cm = letak tinggi / high < 1 cm = letak rendah / low = 1 cm = letak intermediate / sedang b. Pada knee chest position Dengan Pubococcygeal line (PC line), yaitu dibuat garis imajiner antara Pubo/Pubis (tumpang tindih dengan trochanter mayor) dengan os coccygeal Interpretasinya adalah sebagai berikut: 22 Ujung buntu di atas PC Line Ujung buntu di bawah PC Line = letak rendah = letak tinggi Gambar 14. Pubococcygeal line c) a) b) Gambar. Anomali letak tinggi dengan PC line, a) Anomali letak tinggi, b) Anomali letak tinggi dengan udara pada level S3, c) Anomali letak tinggi dengan udara pada PC line dan anomali sakrum USG abdomen dapat membantu menentukan apakah ada anomali saluran kemih atau saraf pada tulang belakang. Selain itu, Ultrasound pada perineum (daerah dubur dan vagina) juga berguna untuk menentukan jarak antara rektum distal mekonium. 2.8. PENATALAKSANAAN 1. Koreksi status pulmonaris Status pulmonaris harus dievaluasi dengan cara mengukur respiratory rate, sianosis, adanya ronkhi, foto thorax, saturasi oksigen dan gas darah. Untuk penanganannya perlu dilakukan suction secara kontinu dan pasien diposisikan secara posisi Fowler (kepala di elevasikan sekitar 45o). Posisi Fowler dapat membantu meminimalisir reflux cairan dari gaster kembali ke distal trakeosofageal dengan menempatkan gastreosofageal junction lebih tinggi dari cairan gaster sehingga yang teregurgitasi adalah gas dari gaster. (Boia, 2005) 23 2. Koreksi elektrolit dan rehidrasi Gangguan elektrolit ringan dapat dikoreksi dengan 0,45% salin dan 5% dextrose sebelum dilakukan tidakan operasi. Gangguan elektrolit berat dikoreksi dengan 0,9% salin dengan bolus 10-20cc/kgBB, diikuti oleh pemberian 0,9% salin dalam 5% dextrose. Kalium di tambahkan jika diperlukan. 3. Dekompresi nasogastrik Biasanya isi lambung berupa susu yang telah menggumpal sehingga dilakukan lavage dengan saline sampai evakuasi lambung adekuat. Setelah isi lambung kosong, NGT dikeluarkan untuk mencegah perburukan gangguan elektrolit karena aspirasi dari isi lambung. 4. Pembedahan Anastomosis Pyloromyotomy Anoplasti untuk atresia ani dengan anomali letak rendah Pada atresia ani dengan anomaly letak tinggi dilakukan kolostomi terlebih dahulu segera setelah lahir untuk dekompresi dan diversi, diikuti dengan operasi definitif berupa prosedur abdominoperineal pullthrough (Swenson, Duhamel, Soave) setelah 4-8 minggu dan diakhiri dengan penutupan dari kolostomi yang dilakukan beberapa bulan setelahnya. Tindakannya berupa pemisahan fistula rektourinari atau rektovagina secara pull-through dari kantong rektal bagian terminal menuju posisi anus yang normal. Dilatasi anus dimulai 2 minggu setelah operasi definitif dan dilanjutkan beberapa bulan setelahnya dengan penutupan kolostomi. (Brunicardi FC, 2010; Mahmoud N, 2004; Williams N, 2008; Chirdan, 2008; Boia, 2005) 2.9. PROGNOSIS Prognosis atresia esophagus dibedakan menurut beberapa klasifikasi. Klasifikasi Waterston: Tipe A: Bayi dengan berat lahir >2,5 kg dan tidak memiliki kelainan lainnya Mortalitas = mencapai 0% Tipe B: Bayi dengan berat lahir 1,8-2,5 kg tanpa kelainan lainnya atau bayi dengan berat lahir >2,5 kg dengan pneumonia ringan dan anomali lainnya Mortalitas = 4% Tipe C: Bayi dengan berat lahir < 1,8 kg tanpa kelainan lainnya atau bayi dengan berat lahir yang lebih tinggi dengan pneumonia berat atau kelainan kongenital lainnya yg berat Mortalitas = mencapai 11% Klasifikasi Montreal dan Spitz Kelas I : berat lahir >1,5kg dan tidak menderita kelainan jantung mayor Mortalitas = 3-7,3% Kelas II : berat lahir <1,5 kg atau menderita kelainan jantung minor Mortalitas = 41 – 69,2% 24 Kelas III : berat lahir <1,5kg dan memiliki kelainan jantung mayor Mortalitas = 78% Janin yang didiagnosis menderita atresia esophagus sejak masa prenatal memiliki angka mortalitas sebesar 75% (Sjamsuhidajat, 2010) Pada atresia pylorus, sebagian besar bayi membaik setelah operasi dan tidak memerlukan tambahan intervensi medis lebih jauh. Setelah pembedahan pyloromyotomy muskulus pylorus menjadi ke ukuran normal dan ketika dilihat selama operasi hanya tampak garis halus diatas pilorus di sisi myotomy. Namun, beberapa kasus pilorus bisa tetap menebal setelah pembedahan dan bisa sampai 5 bulan untuk kembali ke ketebalan normal. Pada minggu pertama setelah operasi, ketebalan muskulus bisa sama atau bahkan lebih tebal dari sebelum operasi dan secara bertahap dapat kembali normal. Bagian anterior muskulus cenderung untuk normal lebih dahulu, dan biasanya berkurang 3 mm selama 3 bulan. Bagian posterior merupakan bagian yang terakhir untuk menjadi normal, biasanya terjadi setelah 5 bulan. Pada atresia pylorus, obstruksi gastric outlet menyebabkan muntah proyektil dan non billous, hilangnya asam hidroklorida dan berkembang menjadi hipokloremi, alkalosis metabolik dan dehidrasi dan menyebabkan kematian pada lebih dari 50% pasien yang terkena. (Chirdan, 2008; Dias, 2012; Brunicardi FC, 2010) Mortalitas pada pasien atresia intestinal pascaoperatif dapat mencapai 1%, terutama pada atresia bagian distal. Angka mortalitas pada multiple atresia dapat mencapai 57%, atresia intestinal tipe IIIb (71%), dan bila dijumpai kasus atresia dengan ileus meconium angka mortalitasnya dapat mencapai 65%, meconium peritonitis (50%) dan gastroschisis (66%). (Prasad, 2000) Pada atresia ani, morbiditas berhubungan dengan anomali lain yang ada pada pasien. Tujuan utama dari tatalaksana pada atresia ani adalah kontinensia feses. Sebanyak 75% pasien memiliki pergerakan usus volunter. Konstipasi merupakan sekuele yang paling umum. Prognosis pada atresia dapat dievaluasi dengan cara melihat fungsi klinisnya dan psikologisnya. (Mahmoud N, 2004) 25 BAB III KESIMPULAN Embriologi dari sistem pencernaan merupakan hal yang kompleks. Setiap proses yang mengganggu embrio dapat menyebabkan gangguan bentuk atau kematian. Etiologi secara pasti belum diketahui, namun faktor genetik diduga berpengaruh terhadap insiden tersebut. Morbiditas berhubungan dengan anomali lain yang ada pada pasien. Diagnosis dan penatalaksanaan yang tepat juga berpengaruh terhadap prognosis pasien. 26 DAFTAR PUSTAKA Crygmle and Presley. Embrylogy, Second Edition. London: Baillere Tindal; 1975. Ganong, W.F. Review of Medical Physiology. 21th Ed. San Francisco: Lange Medical Book; 2003. Guyton, A.C. and Hall, J.E. Textbook of Medical Physiology, 11th Ed, Philadelphia: Elsevier Inc; 2006. Sadler TW. Langman’s medical embryology: system-based embryology: muscular system, respiratory system, urogenital system. 11th ed. Philadelphia: Lippincott Williams&Wilkins; 2010. Al-alawee MS, Zangana AF, Almishhadany SS. The role of ultrasonography in infantile hypertrophied pyloric stenosis. The iraqi postgraduate medical journal. 2006; 5(1): 1-6 Katami A, Ghoroubi G, Imanzadeh F, Attaran M, Mehrafarin M, Sohrabi MR. 2009. Olive palpation, sonography and barium study in the diagnosis of hypertrophic pyloric stenosis: decline in physicians’ art barium. Iran J Radiol; 6(2): 87-90 Prasad TRS, Bajpai M. 2000. Intestinal Atresia. Indian J Pedlatr; 67 (9) : 671-678 Brunicardi FC, Anderson DK, Billiar TR, Dunn DL, Hunter JG, Matthews JB, et al. Pediatric Surgery. In: Schwartz’s Principles of Surgery. 9th edition. McGraw Hill; 2010.p. 27772780. Sjamsuhidajat R. De Jong W. Buku ajar ilmu bedah. Edisi 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2005. Sjamsuhidajat R. De Jong W. Buku ajar ilmu bedah. Edisi 3. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2010. Williams N, Bulstrode CJK, O’connell PR. Bailey and love short practice of surgery. 25 th edition. Edward Arnold (Publisher) Ltd;2008.p. 87-88, 1247. Chirdan LB, Ameh EA, Thomas AH. Infantile hypertrophic pyloric stenosis. JPediatr Surg; 2008: 43: 1227-29 Dias SC, Swinson S, Torrao H, Goncalves L, Kurochka S, Vaz CP, et al. Hypertrophic pyloric stenosis: tip and trick for ultrasound diagnosis. Insight imaging. 2012; 3: 247-50 Mahmoud N, Rombeau J, Ross HM, et al.In: Townsend CM, Beauchamp RD, Evers BM, Mattox KL, editors. Pediatric Surgery. Sabiston Textbook of Surgery The Biological Basis of Modern Surgical Practice. 17th edition. Elsevier Saunders; 2004.p.1746-8. 27