“OTAK DAN BAHASA” (Martriwati) I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang “Use it or lose it” (Gunakan atau ia akan hilang) . Demikianlah sebuah frasa yang dari dulu sampai sekarang masih sering terdengar di masyarakat. Sudah jelas yang dimaksud disini adalah nalar atau otak seseorang. Otak adalah organ tubuh yang kehadirannya ibarat kemudi, sehingga amat vital dan dibutuhkan peran dan fungsinya. Dengan kecerdasan otak, manusia diciptakan Tuhan untuk mampu mengatur diri, lingkungan dan dunianya. Manusia bisa berperan mulia laksana malaikat namun juga bisa terdampar nista seperti layaknya hewan. Semua itu terjadi, sekali lagi, berkat bantuan dan peran otak. Oleh karena itu tidak disangsikan lagi otak adalah senjata dan perbekalan yang demikian berharga yang dimiliki manusia. Maka sudah sepantasnya apabila manusia mensyukuri karunia Tuhan tersebut dengan cara mempergunakan dengan benar dan seoptimal mungkin. Laksana belati, otak adalah peranti tubuh yang statis dan pasif. Ia hanya akan tajam dan aktif apabila digunakan dan diasah sebaik mungkin. Namun sebaliknya, bila ia hanya dibiarkan terlantar tanpa perawatan dan latihan yang memadai, ia pun lama-lama akan lumutan dan berkarat. Otak adalah organ yang mengontrol seluruh kerja tubuh. Proses pembentukan sel-sel otak ini hanya terjadi sekali seumur hidup, yakni sejak dari kandungan hingga usia kurang lebih tiga tahun. Sel-sel otak yang mati tidak dapat tergantikan oleh sel yang baru. Setelah selesai terbentuk, sel-sel tersebut akan terus bertambah besar dan kompleks dengan jumlah lebih dari 100 milyar sambungan antar sel. Perkembangan sel-sel otak sangat bergantung dari setiap rangsangan yang diterima, baik rangsangan yang positif maupun rangsangan negatif dari sekelilingnya. Otak terdiri atas beberapa bagian yang masing-masing mempunyai peran atau fungsi dan lokasinya masing-masing. Gangguan pada masingmasing bagian otak akan menyebabkan fungsi organ tubuh lainnya menjadi terganggu, termasuk kemampuan berbahasanya. Untuk itu, dalam makalah ini akan dibahas tentang otak dan perkembangannya, peranan hemisfer kiri dan kanan, cara penelitian otak serta gangguan atau penyakit yang ada di otak yang berhubungan dengan kemampuan berkomunikasi (kebahasaan) seseorang. B. Permasalahan Dari uraian diatas yang melatarbelakangi pentingnya peranan otak bagi manusia dalam berkomunikasi, timbullah pertanyaan-pertanyaan yang akan didiskusikan dalam makalah ini lebih lanjut. 1. Bagaimana perkembangan otak sejak zaman dulunya? 2. Bagaimana hubungan antara otak dan kemampuan seseorang? 3. Masalah-masalah apa saja yang terdapat pada otak? 4. Bagaimana lokalisasi dan lateralisasi yang terjadi pada otak? bahasa II.PEMBAHASAN A. Bahasa dan Otak: Sebuah Perspektif Historis Sejarah panjang studi tentang hubungan antara fungsi bahasa dan otak dipelopori oleh sejumlah ilmuwan terkemuka yang memiliki pandangan intelektual tinggi, yang tidak dapat dilupakan dalam sejarah perkembangan Psikolinguistik. Pada bagian ini akan dibahas secara ringkas tentang beberapa ilmuwan dengan keberhasilannya. Penderitaan yang dialami seseorang mengarahkan pada pandangan awal bagaimana cara otak bekerja untuk mengendalikan perilaku. Diawali pada jaman batu, lalu berkembang dengan teknologi yang lebih canggih, manusia dapat mengetahui berbagai macam cedera pada kepala. Dari gangguan serta akibat berbagai macam penyakit, para peneliti menemukan pola perilaku khusus merupakan akibat dari kerusakan otak. 1. Observasi Awal Neorolinguistik Seorang ilmuwan berkebangsaan Amerika bernama Edwin Smith pada tahun 1862 menemukan suatu papyrus scroll yang diduga sebagai akibat awal dari kerusakan otak. Bagian-bagian dari scroll ini malah telah ditemukan pada tahun 3000 SM, dan terdapat empat puluh delapan (48) kasus yang dibahas pada papyrus ini. Kasus-22 menjelaskan bahwa kehilangan keterampilan wicara kemungkinan disebabkan oleh trauma pada kepala. Banyak peneliti menyebut trauma ini sebagai ”aphasia” (kehilangan kemampuan wicara oleh karena kerusakan otak). Trauma (gangguan pada otak yang disebabkan oleh faktor eksternal) yang dialami manusia melandasi berkembangnya pandangan manusia terhadap fungsi otak. Masyarakat Yunani Kuno memiliki suatu pandangan sederhana yang lebih merupakan spekulasi tentang fungsi otak disamping berbagai kontribusinya yang lain dalam berbagai bidang. Sebagai contoh, Aristotle (384 – 322 SM) mengakui bahwa jantung yang melakukan tugas, yang sekarang diketahui merupakan fungsi otak. Otak dianggap sebagai suatu sistem penyejuk seperti radiator. Beberapa abad kemudian, teori Aristotle ini memicu Shakespeare mempertimbangkannya dalam the Mechant of Venice:”Tell me where is fancy bred, or in the heart or in the head?” (Shakespeare mempertanyakan letak asal muasal pikiran, di jantung atau di kepala). Para sarjana hipokratik (460 – 370 SM) mengobservasi dengan tepat bahwa cedera otak sering mengakibatkan contralateral paresis yaitu semi kelumpuhan yang berlawanan sisi. Mereka menemukan bahwa gangguan wicara umumnya disebabkan oleh cedera otak sebelah kiri dan kelumpuhan 2 pada tubuh sebelah kanan. Namun mereka belum pernah menghubungkan dua hasil observasi penting tersebut. Herophilus & Galen, pada abad kedua, mengembangkan ventrikel atau Teori Sel tentang fungsi otak yang melokalisasi aktivitas otak pada lubang-lubang yang disebut ventrikel, yaitu tempat dimana diproduksi cairan otak yang disebut Central Spinal Fluid (CSF). Pada tahun 1452 – 1519, Leonardo da Vinci, menolak teori Yunani yang menyatakan ventrikel berperan penting dalam fungsi otak. Melalui analisis pada binatang, ia mendemonstrasikan teorinya dan membuktikan bahwa jalur-jalur saraf yang bergerak dari retina mata (saraf optik) tidak berdekatan dengan ventrikel. Mendekati abad 18, hampir semua gangguan bahasa dan wicara telah dapat dideskripsikan (Benton & Joynt, 1960). Pada abad 16, sarjana kedokteran terkemuka bernama Johann Schenk Grafernberg (1530 – 1598) adalah orang pertama yang menyatakan bahwa gangguan wicara disebabkan oleh kerusakan otak (afasia), bukan oleh kelumpuhan lidah. Temuan ini membedakan antara afasia dengan gangguan wicara motorik/gerak yang disebut dengan disartria, yaitu gangguan kemampuan mengartikulasi bunyi-bunyi ujaran. Pada waktu yang hampir bersamaan, G. Mercuriale (1588) pertama kali mendeskripsikan apa yang sekarang disebut alexia murni (pure alexia) atau alexia tanpa agrafia (alexia without agraphia). Beliau sangat tercengang ketika pasiennya dapat menulis tetapi tidak bisa membaca apa yang telah ditulis. Pada masa ketika sarjana menggunakan bahasa Latin dan bahasa lokal, kasus pertama afasia bilingual (afasia yang mempengaruhi penggunaan dua bahasa) didokumentasikan (Gesner, 1770 lihat Benton, 1981). Sarjana ini juga pertama kali mendeskripsikan afasia jargon dan agrafia jargon dimana ujaran dan tulisan pasien yang terinfeksi mengandung kata-kata yang tidak bermakna. Selanjutnya pada tahun 1683, Peter Rommel menemukan pasien dengan afasia akut memiliki kemampuan yang baik dalam mengulang materi-materi yang sudah dipelajari seperti doa-doa. Sejak saat itu, retensi ujaran otomatis ini telah didokumentasikan berkali-kali. Pandangan bahwa bahasa kemungkinan dilokalisasi pada bagian tertentu dari otak, utamanya di lobus depan (frontal lobe) dikembangkan pada tahun 1819 oleh Franz Josef Gall. Ahli neuroanatomi terkemuka ini, yang pertama kali menemukan perbedaan antara jaringan putih dan abu-abu dalam otak. Beliau adalah penemu cranioscopy (sekarang lebih dikenal dengan phrenology). Gall yakin bahwa orang-orang yang mempunyai kemampuan lebih dalam menghafalkan materi-materi verbal dapat dibedakan dengan jelas bahkan secara kasat mata. Penjelasan tentang fakta ini beberapa tahun kemudian dikenal dengan hypertrophy (pertumbuhan berlebihan) dari jaringan otak yang ada di belakang mata. Gall mempostulasikan sekitar 27 organ mental yang mengarahkan individualitas seperti kebanggaan, persahabatan, kebijaksanaan dan agama. Hypertrophy atau atrophy dapat mempengaruhi pola perilaku individu. Seperti temuan penting sebelumnya, kemungkinan format dasar temuan Jerison (1977) benar bahwa konsep lokalisasi fungsi dalam otak 3 masih memiliki validitas. Yang terbukti salah adalah tipe kemampuankemampuan mental yang dilokalisasikan Gall. Bahasa dilokalisasikan secara meyakinkan pada otak dalam berbagai cara yang kompleks, sebagai fenomena gabungan. Namun, Gall dapat mendokumentasikan kasus-kasus trauma dan stroke pada korteks depan yang menyebabkan kehilangan memori verbal. Temuan ini memberikan bukti yang lebih kuat tentang peranan dari bagian tertentu otak dalam fungsi bahasa. 2. Lokalisasi Fungsi (Neurologi pada Abad ke-19 dan ke-20) Selama abad ke-17 para peneliti berkonsentrasi untuk memahami bagian bahasa yang diorganisir dalam otak dengan mempelajari pasien yang mengalami afasia. Perilaku pertama yang dilokalisasi dalam otak manusia adalah bahasa artikulasi (lisan) (Young, 1974). Ahli bedah Perancis Pierre Paul Broca (1824-1880) membuat sebuah temuan penting. Broca menemukan satu dari berbagai instrumen untuk craniometry (pengukuran tengkorak kepala dan otak) Sebagai bapak penemu Antropologi Fisika, Broca sangat terkesan dengan ukuran otak dan hubungannya dengan umur, jenis kelamin, intelegensi, ras, dan lingkungan. Area penelitian ini dianggap kontroversial (lihat Hahn dkk., 1979; Passingham, 1982 untuk pandangan terkini). Broca adalah milik masyarakat Antropologi yang anggota-anggotanya meneliti tengkorak kepala dan kadang-kadang melakukan penelitian pada otak pasien-pasien medis yang telah meninggal. Melalui penelitian-penelitian tersebut mereka menemukan berbagai perilaku yang berhubungan dengan bentuk atau ukuran dari otak ataupun tempat kerusakan dalam otak. Selama pertemuan-pertemuan yang diselenggarakan masyarakat ini pada tahun 1861, anggota yang lain yaitu Dr Ernest Aubertin menyebutkan bahwa seorang pasiennya mengalami gangguan traumatik pada bagian depan otaknya. Ketika Aubertin mengaplikasikan tekanan-tekanan ringan pada area depan tengkorak saat pasien berbicara, dia akan berhenti pada pertengahan kata, dan melanjutkan pembicaraannnya apabila tekanan tersebut dihentikan. Setelah temuan tersebut, Broca menemukan seorang pasien di Paris bernama Leborgne. Dia telah menjadi pasien tetap di sebuah panti selama 21 tahun dan melalui pasien ini Broca bisa mendapatkan pandangan umum tentang perkembangan penyakitnya. Pasien ini masuk ke panti perawatan pada usia 31 tahun oleh karena kehilangan kemampuan berbicara. Dia bisa memahami apa yang dikatakan orang kepadanya, tetapi dia hanya bisa menjawab dengan satu kata ”tan” ditambah gerakan tubuh. Jika dirangsang secukupnya, dia juga bisa memproduksi beberapa kata-kata kasar. Broca mengundang Dr. Aubertin untuk memeriksa Leborgne untuk membandingkan gangguan bahasa pasien ini dengan tipe yang dipercayai sebagai akibat dari cedera lobus depan oleh fisikawan ini. Setelah pemeriksaan, Aubertin memperkuat diagnosis ini. Ketika Laborgne meninggal, Broca melakukan otopsi dan mengkonfirmasi tempat cedera lobus depan terletak pada area konvolusi depan ketiga (gyrus) di bagian hemisfer kiri. 4 Pada tahun 1863, Broca telah meneliti 20 kasus seperti Leborgne, dan dari 19 kasus ditemukan cedera menempati bagian posterior dari konvolusi depan ketiga sebelah kiri (Broca, 1863). Sampel wicara dari afasia Broca dan sampel-sampel gangguan komunikasi lainnya, yang akan didiskusikan pada bagian selanjutnya, dapat dilihat pada uraian di bawah ini: Empat Contoh Gangguan Komunikasi pada Pembicara Bahasa Inggris A. Afasia Broca. Yes...ah...Monday...er...Dad and Peter H... (his own name), and Dad...er...hospital...and ah...Wednesday, nine o’clock. Ah doctors…two…an doctors…and er…teeth…yah. (usaha pasien untuk menjelaskan bahwa dia ke rumah sakit untuk operasi gigi). B. Afasia Wernicke. Well, this is... mother is away here working her work out here to get her better, but when she is looking, the two boys looking in the other part. One their small tile into her time here. She’s working another timw because she’s getting, too… (Penjelasan pasien tentang dua orang anak yang mencuri biskuit ketika punggung ibunya berbalik). C. Afasia Jargon. All right. Azzuh bezzuh dee pasty hass rih tau dul too, Aulaz foley ass in duh porler dermas died duh paulmasty kide the, the, baidy pashty bide uh… laidy faid uh… tiny bride. Uh…uh…orlihmin fee in a do…but uh, ordimis fihd and it was ahrdimidehsty by uhbuhtray dis (unintelligible) you do you know. (dalam menjawab pertanyaan: What kind of work did you do?) D. Dementia. Well, it’s about half and half. It’s a marble and it’s half and half. Uhm, that uhm, I’m trying to think what the and ya know and I’ve been doing all this color work and uhm, I’m trying to think. There’s a white and there’s a black and there’s a, uhm, uhm, I’m trying to think, uh, it, it’s, like uhm, oh, what that called? Ym,more of a, oh damn, in the colors that I have in my book is uhm more vivid, and this is a little darker, and I’m trying to think, what’s it called purple, more on the purple order this is (dalam menjawab pertanyaan: Tell me about this marble.) Perlu dicatat bahwa ujaran pasien pada sampel A kelihatan ragu-ragu, sederhana dan menggunakan struktur kalimat yang tidak bisa dikenali. Tipe agramatik dan tidak lancar ini merupakan ciri dari afasia Broca. Pada tahun 1885 Broca yakin bahwa dia telah memiliki cukup bukti untuk menyatakan bahwa manusia berbicara dengan hemisfer kiri (Broca, 1885, p.384). Sementara Gall belum melateralisasi bahasa pada lobus depan, Broca telah menjelaskan bahwa manusia biasanya mengalami lateralisasi kiri untuk mengartikulasikan bahasa, tetapi bukan untuk pelateralan gerak artikulasi yang tergantung pada kedua hemisfer dalam derajat yang sama (Broca, 1885, p.384). Broca yang pertama kali menghubungkan lateralisasi bahasa dengan pemanfaatan tangan. Dia menemukan teori ini dengan cara yang tidak sesederhana yang dilakukan Dax (1836, lihat Benton, 1981), yang 5 mengatakan bahwa bahasa selalu pada lateralisasi kiri. Broca juga tidak mengasumsikan bahwa pengguna tangan kanan adalah mereka yang lateralisasi kiri dan pengguna tangan kiri adalah mereka yang lateralisasi kanan. Broca menghubungkan dua jenis penggunaan tangan dan lateralisasi bahasa dengan perkembangan luar biasa dari hemisfer kiri. Dia juga mengembangkan kemungkinan plastisitas fungsi otak dengan menyatakan bahwa: ...cedera pada konvulasi depan ketiga otak sebelah kiri dapat mengakibatkan afemia permanen (istilah Broca untuk afasia) pada orang dewasa, cedera ini tidak akan menghambat seorang anak kecil dalam usahanya belajar berbicara...(Broca, 1885, p.392). Pada tahun-tahun setelah itu, ada beberapa contoh tambahan tentang fleksibilitas otak yang masih muda dalam merespon kerusakan otak. Lenneberg (1967) membuat hipotesis bahwa ada suatu periode kritis dalam pemerolehan bahasa, dimana saat itu belajar bahasa sudah siap terjadi dan kerusakan otak tidak memproduksi gangguan komunikasi permanen. Anakanak dapat sembuh kembali dari cedera otak, walaupun perubahanperubahan yang terjadi secara perlahan pada kemampuan linguistik mungkin dapat terdeteksi. Telah dikatakan sebelumnya bahwa di Yunani Kuno bahkan telah terdapat cukup bukti untuk menentukan lateralisasi fungsi. Mengapa asosiasi ini tidak dibuat? Kemungkinan untuk alasan yang sama bahwa pandanganpandangan Broca ditahan ketika dia mengemukakannya. Sebagai contoh dalam mendiskusikan pandangan-pandangan ini pada tahun 1865, Laborde (dikutip dalam Berker dkk, 1968) menyatakan kesulitan untuk menerima bahwa ”dua bagian organ yang sama yang situasi, ukuran dan struktur anatominya identik dan simetris, dapat mempunyai fungsi yang berbeda.” Premis bahwa hemisfir identik secara anatomis menjadi keliru, dan Broca mendemonstrasikan bahwa kenyataannya memang demikian. Dia menganalisis 37 otak dan menemukan bahwa berat rerata hemisfer kanan lebih berat dari pada hemisfer kiri, namun berat rerata lobus depan kiri lebih besar dari yang kanan (Broca, 1875). Kedua temuan ini didukung oleh penelitian terkini. Otak Laborgne yang diawetkan dianalisis lagi dengan teknik neuroimaging yang dikenal dengan CT Scan atau Computerized trans-axial tomography. Analisis CT Scan modern ini menunjukkan area terdekat lain dari otak yang berimplikasi pada bahasa dan proses ujuran. Analisis ini dilakukan oleh seorang ahli saraf bernama Carl Wernicke (1848 – 1904), area otak ini kemudian disebut area Wernicke. Wernicke adalah orang Jerman yang belajar dengan Sigmund Freud (1856 – 1939) dan Theodore Meynert (1833 – 1892), adalah seorang ahli neurologi yang mempelajari saraf auditori yaitu saraf otak yang paling kompleks dan elusif, yang dimulai dari telinga menuju ke korteks. Area paling tinggi dari pendengaran dinamakan girus Heschi dan tertanam jauh di dalam lubang Sylvian. Area yang menjadi daya tarik penelitian Wernicke berdekatan dengan area kortikal 6 pendengaran ini. Kerusakan pada area ini mengakibatkan gejala-gejala yang tidak sama dengan hasil observasi Broca. Contoh khusus afasia Wernicke digambarkan pada sampel B di atas. Berbeda dengan afasia Broca, pasien-pasien ini lancar dan aktif berbicara sehingga mereka diistilahkan logorrheic. Hal yang paling penting adalah ujaran pasien tersebut mempunyai struktur gramatika yang dapat diamati, namun ujarannya tidak bermakna, seperti ditunjukkan oleh susunan kata random pada frase ”one their small tile into her time here.” Pasien dengan afasia Broca sangat menyadari masalah bahasa mereka, sementara pada pasien dengan afasia Wernicke biasanya tidak sadar bahkan cenderung mengingkari bahwa mereka sakit (anosognosia). Baik afasia Broca maupun afasia Wernicke mengalami masalah pemahaman, tetapi masalah tersebut lebih serius pada afasia Wernicke. Banyak pasien Wernicke memahami sesuatu yang disampaikan kepada mereka tetapi kehilangan arah ketika mereka memberikan respon. Beberapa pasien memproduksi jargon seperti pada sampel C yang menggunakan kata-kata ”Jabberwocky” yang tidak terdapat dalam bahasa Inggris, seperti kata-kata porler, demass, dan ahrdimidehsty. Bahkan ketika jargon itu tidak ada, ujaran mereka dengan cepat menjadi tidak bermakna dan penuh dengan kata-kata yang tidak tepat. Sesuai dengan contoh ujaran dan pembahasan yang telah diilustrasikan sebelumnya, afasia Broca dan Wernicke sangat berbeda. Pasien afasia Broca tidak lancar berbicara dan menggunakan bahasa yang terkadang terlihat mudah, kadang sulit dan tidak gramatika (kehilangan morfem gramatika penting), walaupun pemahamannya cukup beralasan. Sedangkan afasia Wernicke, kelihatannya lancar berbahasa dan menggunakan ujaran-ujaran sulit yang panjang, namun memiliki sedikit makna. Ujaran mereka penuh dengan neologisme (kata-kata tidak bermakna). Mereka kelihatan tidak teratur pada kemampuannya memahami pembicaraan orang lain maupun hasil pembicaraannya sendiri. Kemudian, Wernicke bekerjasama dengan ahli neorologi Ludwig Lichtheim (1885) dan menghasilkan sebuah klasifikasi berbagai afasia yang telah diobservasi dan afasia-afasia lainnya yang belum dideskripsikan (Wernicke, 1906). Model Wernicke–Lichtheim didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan neuroanatomi dan memprediksi beberapa akibat komunikatif dari cedera pada berbagai bagian otak. Model ini telah menjadi model klasik afasia dalam neurologi dan telah dielaborasi oleh seorang ahli neurologi Amerika terkemuka, Norman Geschwind (Geschwind, 1974). Dari awal, model ini ditentang banyak orang (Goldstein, 1948; Head, 1963; Cole & Cole, 1971) dan saat inipun masih tetap ditentang. Meskipun model ini diakui sederhana, dan terbukti cukup fleksibel (Goodglass, 1988). Hal ini disebabkan karena model tersebut mempunyai makna neurologi yang baik. Model ini merupakan perkiraan awal dari tujuan utama melokalisasi ujaran dan fungsi-fungsi bahasa dalam otak. Pada bagian selanjutnya dari tulisan ini akan membahas pertimbangan-pertimbangan anatomis yang berkontribusi terhadap perkembangan model afasia tersebut, yang didalamnya akan meneliti 7 anatomi otak dan sistem saraf pusat, serta menganalisa lebih mendalam perilaku-perilaku yang disebabkan oleh kerusakan berbagai bagian dari sistem ini. B. Neuroanatomi Fungsional dan Neuropatologi 1. Struktur Neuroanatomi yang Berhubungan dengan Ujaran dan Bahasa. Sistem saraf pusat (CNS) adalah sistem saraf yang terletak di dalam struktur tengkorak kepala (cranium) dan tulang punggung (vertebral column). Sistem saraf ini juga disusun oleh tiga lapisan membran yang disebut meninges, yang berada dalam Cerebral Spinal Fluid (CSF), yang diproduksi pada empat ventrikel otak. Meskipun berat otak sangat kecil dengan rata-rata 3,5 pon, namun otak memanfaatkan seperlima dari suplai darah pada tubuh. Struktur yang paling tinggi (rostral), disebut korteks serebral. Dalam bahasa Latin korteks bermakna batang seperti batang pohon. Tampilan umumnya ditandai oleh bukit-bukit (girus) dan lembah-lembah (lubanglubang) yang namanya mendapat pengaruh dari ahli anatomi abad pertengahan. (Sesungguhnya, kebanyakan struktur dasar sistem saraf pusat mendapatkan makna awal namanya dari bahasa Yunani atau Latin. Mempelajari makna ini, membantu kita mengingat nama-nama tersebut). Pada hakekatnya, penjelasan tentang tampilan korteks yang ukurannya sekitar 2,5 kaki persegi ditentukan dengan cara seperti melipat suatu lembaran yang sama ukurannya pada perbatasan-perbatasan kranium. Korteks dibagi dua yaitu belahan kiri dan belahan kanan. Dua belahan ini adalah hemisfer serebral yang dihubungkan oleh jalur fiber (commissures), yang paling besar yang disebut corpus collosum. Walaupun dua hemisfer kelihatannya identik tetapi sesungguhnya dua hemisfer tersebut tidak identik. Perbedaan bentuk diantara keduanya saat ini didaftarkan secara ekstensif. Walaupun bahasa pada kebanyakan manusia dilateralisasikan pada hemisfer kiri, namun tidak demikian halnya untuk artikulasi yang dilakukan oleh kedua hemisfer ini. Telah terbukti bahwa penggunaan tangan terkait dengan pemanfaatan otak. Perilaku bahasa dilakukan oleh area kortikal yang berbeda (loci) yang terletak di dalam lobus korteks yang berbeda. Ketika Gall memperkenalkan perbedaan antara bagian jaringan putih dan abu-abu dalam otak, Gall merujuk pada fiber-fiber saraf dan kelompokkelompok sel saraf (neurons). Secara umum, otak menyerupai sebuah kue lapis dengan lapisan-lapisan yang berganti-ganti antara dua bagian ini. Pada bagian terdalam dari otak, terdapat sejumlah neuron, diencephalon (diantara otak). Neuron ini merupakan lapisan pertama jaringan berwarna abu-abu. Struktur ganda ini dibentuk oleh sejumlah komponen yang berfungsi sebagai pusat dari semua sensasi yang datang kecuali sensasi penciuman (olfaction) sebelum bergerak menuju ke korteks. Neuron juga berperan penting yaitu memberikan umpan balik motorik ke korteks. Dorsal thalamus, salah satu komponen dienchephalon, dilateralisasi seperti bagian luar korteks. 8 Kerusakan pada bagian luarnya dapat menyebabkan afasia dan gangguan artikulasi disartria (Kennedy & Murdoch, 1989). Lapisan-lapisan otak berwarna putih terbentuk dari fiber-fiber naik turun dari dan menuju ke korteks. Fiber-fiber ini mengelilingi diencephalon yang disebut dengan kapsul internal. Lapisan selanjutnya dari otak berwarna abu-abu disebut basal ganglia. Struktur kompleks ini berperan ganda yaitu mengontrol gerak dan juga berperan dalam fungsi kognitif. Kerusakan pada basal ganglia akan menyebabkan ketidakmampuan gerak (hypokinesia) seperti pada penyakit parkinson, atau kelebihan gerak (hyperkinesia) seperti pada penyakit chorea Huntington dan gemetaran (tremor). Kerusakan daerah ini juga dapat menyebabkan disartria dan afasia. Di sekeliling basal ganglia terdapat lapisan otak berwarna putih lain yaitu kapsul eksternal yang di luarnya terletak lapisan kortikal, yaitu korteks serebral. Di bawah hemisfer serebral terdapat serebelum (otak kecil). Struktur ini memegang peranan penting dalam kontrol motorik bekerjasama dengan basal ganglia, diencephalon dan korteks. Kerusakan pada serebelum mengakibatkan gangguan koordinasi gerak (afaxia) dan tremor pada gerakan-gerakan bebas. Disartria bisa terjadi karena kerusakan pada serebelum. Saat ini belum ada masalah-masalah bahasa yang dilaporkan sebagai akibat dari kerusakan area ini. Struktur otak yang paling dasar adalah batang otak (brain stem) yang dibentuk dari otak tengah, pon (jembatan), dan medulla (marrow). Bagian ini adalah bagian terpenting oleh karena bagian ini berfungsi mengatur jantung dan paru-paru. Bagian-bagian lainnya dari sistem saraf pusat terdiri dari saraf tulang belakang (spinal cord) yang terletak di dalam tulang belakang. Spinal cord mengontrol langsung fungsi-fungsi motorik dan sensori dari seluruh tubuh kecuali area wajah. Spinal cord manusia sesungguhnya tidak otomatis (nonautonomous), artinya bahwa semua fungsi-fungsi tubuh pada akhirnya dikontrol dari otak melalui spinal cord. Spinal cord pada manusia tidak dapat berfungsi terpisah dari otak. Itulah sebabnya pada kasus patah leher dapat menyebabkan kelumpuhan seluruh tubuh bagian bawah leher. Sistem saraf periferal (PNS) mengarahkan semua komponenkomponen sisten saraf yang terletak di luar tengkorak dari sistem saraf pusat. Termasuk di dalamnya adalah saraf kranial yang keluar secara langsung dari kranium dan saraf spinal yang keluar secara langsung dari tulang punggung. Saraf kranial berperan penting dalam mengontrol fungsi-fungsi pengelihatan, penciuman, pendengaran dan sensasi wajah. Saraf kranial khusus berfungsi krusial dalam phonation (aktivitas laring atau suara) dan gerak lidah untuk artikulasi. 2. Bagaimana Ujaran Dikontrol oleh Otak Bahasa bukanlah satu-satunya aspek spesifik spesies perilaku komunikatif manusia; namun ujaran merupakan aspek khusus perilaku manusia (Dingwall, 1957). Darley, dkk. (1975b) memperkirakan bahwa ujaran 9 melibatkan paling sedikit 100 otot dan setiap otot tersebut dikontrol oleh banyak neuron motorik. Pada suatu ujaran normal dihasilkan sekitar 14 bunyi per detik, ini berarti bahwa diperlukan peristiwa neuromuscular sebanyak 140.000 per detik untuk berbicara. Penelitian mengungkapkan (Kuypers, 1981) terdapat minimal tiga sistem berbeda pada semua primata termasuk manusia. Sistem pertama mengontrol gerak khusus jari-jari (digits), sistem kedua mengontrol gerak bebas tangan dan lengan, dan sistem ketiga mengontrol gerakan-gerakan postur dan batang tubuh timbal balik (bilateral trunk), serta gerakan-gerakan anggota badan lainnya (limb). Kekacauan pada ketiga sistem kontrol motorik ini biasanya dapat dilihat pada afasia global dimana pasien, yang hanya memiliki kemampuan ujaran, bahasa atau kemampuan melaksanakan gerakan-gerakan anggota badan tertentu yang minimal (ideomotor praxis), mampu merespon suruhan-suruhan aksial kompleks seperti stand up, turm around, go to the door, bow, dan seterusnya. Sistem yang paling baik untuk sistem kontrol motorik ujaran adalah sistem ”finger”. Sistem ini merupakan sistem yang paling sempurna pada primata khususnya simpanse dan manusia. Sistem ini berhubungan dengan fiber-fiber jalur piramida yang melewati batang otak ataupun saraf tulang belakang. Fiber-fiber yang menjadi pusat perhatian bukan hanya fiber yang melewati, tetapi juga yang berkontak langsung dengan neuron-neuron motorik baik pada batang otak ataupun saraf tulang belakang. Sistem ini merupakan skema homonculus gerak terkenal (”manusia kecil”) dari pengaturan gerak yang diajukan oleh ahli bedah saraf Wilder Penfield (1891 – 1976). Penfield menerangkan area-area fungsional pada otak dengan merangsangnya secara elektrik. Oleh karena otak tanpa reseptor rasa sakit, rangsangan tersebut dapat dilakukan pada pasien yang sadar dengan anastesi lokal sebelum dilakukan proses pengelihatan medis dari jaringan neuron yang sakit. Ahli bedah saraf harus menghindari merusak area ujaran dan bahasa pada korteks dan cara melokasikan area-area ini adalah melalui stimulasi otak elektrik (ESB). Penfield merupakan seorang pelopor di bidang ini, dan bukunya Speech and Brain Mechanism meringkas temuan-temuannya yang sangat terkenal (Penfield & Roberts, 1959). Pada bukunya dijelaskan bahwa area korteks homunculus kecil yang kaku, yang mengontrol fungsi berbagai bagian tubuh. Besar kecilnya ukuran kepala dan lidah cenderung berkaitan dengan tubuh, ini disebabkan oleh adanya lebih banyak area kortikal secara proporsional diperuntukkan pada fungsi kepala dan lidah dari pada bagian tubuh. Perlu dicatat bahwa meskipun banyak area berdekatan antara satu dengan yang lain secara kortikal yang mengatur bagian-bagian tubuh yang berdekatan (pinggang ke dengkul ke mata kaki dan ke jari-jari kaki), namun homunculus bukanlah fotokopi akurat dari seorang manusia. (Sebagai contoh perhatikan perkiraan dari leher dan ibu jari tangan dalam representasi kortikalnya). Aspek jalur piramida yang menjadi topik menarik dalam pembahasan muncul dari bagian motorik (area Brodman 4), tempat dimana homunculus berada dan secara khusus bagian rendah tubuh dimana wajah dan beberapa 10 organ wicara direpresentasikan. Fiber-fiber pada area ini bergerak ke bawah dan melewati batang otak yang menghubungkannya dengan saraf (dalam hal ini saraf kranial) yang terdapat pada tengkorak untuk mengontrol otot-otot ujaran. Ada 12 pasang saraf kranial pada manusia (binatang-binatang lain mempunyai lebih). Dari 12 pasang saraf tersebut, beberapa saraf sensori, beberapa saraf motor (gerak), dan beberapa lainnya merupakan gabungan keduanya. Semua saraf ini dapat dikatakan berkaitan dengan aspek komunikasi manusia. Disini akan dibahas saraf-saraf yang berhubungan dengan produksi ujaran misalnya saraf kranial kelima (trigeminal) yang mengatur dengan baik fungsi gerak dan fungsi sensori untuk bagian rahang dan wajah. Saraf ketujuh (facial), mengontrol fungsi gerak dan sensori hampir pada semua otot wajah yang mampu menggerakkan aspek artikulasi dan ekspresi wajah. Saraf kesepuluh (vagus), mengontrol aspek-aspek fungsi laryngeal yang penting untuk memperoduksi suara, dan saraf keduabelas (hypoglossal), mengontrol gerak lidah yang penting untuk artikulasi. Saraf kranial kedelapan adalah saraf auditori yang telah dibahas sebelumnya. Masih ada lagi saraf kranial lain yang bertanggung jawab untuk aspek pengelihatan, gerak, mata, dan olfaction (penciuman), namun tidak akan dibicarakan secara detail. Walaupun beberapa saraf kranial memegang peranan penting dalam vokalisasi dan artikulasi, saraf-saraf ini belum cukup diteliti pada manusia ataupun primata bukan manusia untuk menentukan perannya yang tepat dalam produksi ujaran. Fisiologis Chechnya, J. Krmpotic (1959) memaparkan bahwa panjang dari saraf-saraf ini dan diameternya sangat bervariasi. Ada dua faktor yang terkait dalam kecepatan konduksi gerak saraf. Kondisi ini memunculkan satu masalah yang belum terpecahkan yaitu bagaimana aspek-aspek yang bervariasi dari jalur vokal saling bekerjasama dalam produksi ujaran. Evolusi Kemampuan Komunikatif Manusia Pendekatan yang lain yang dapat memberikan pandangan bagaimana kemampuan komunikatif manusia dimediasi oleh otak adalah dengan mempelajari perilaku komunikasi pada spesies lain yang berhubungan dekat dengan manusia. Tidaklah mungkin bahwa ujaran dan bahasa muncul sebagai mutasi genetik tunggal tetapi lebeih cenderung merupakan perilaku kompleks yang berkembang bertahap sesuai dengan waktu. Toulamin (1971) memberikan opininya bahwa perilaku-perilaku fisiologis tertentu ketika digunakan untuk tujuan-tujuan nonlinguistik akhirnya menjadi berhubungan secara behavioral dengan fungsi-fungsi bahasa. Penelitian terbaru yang menggunakan kera dapat mengidentifikasi area-area yang apabila mengalami kerusakan dapat mengakibatkan gangguan atau hilangnya vokalisasi. Area vokalisasi serupa juga terdapat pada manusia, dan kerusakan pada area ini mengakibatkan gangguan yang sama pula. Korteks cingulate kera dan area gerak suplementer (secara sederhana menyerupai area Brodmann 6 pada manusia) berperan penting untuk inisiasi vokalisasi terkondisi tetapi 11 bukan untuk produksi bunyi-bunyi dalam (innate calls). Kontrol dari vokalisasi primata bukan manusia berakhir pada tingkat subkortikal, yang cenderung tidak sama dengan representasi kortikal manusia dari kemampuan-kemampuan bahasanya. Kerusakan tunggal atau ganda pada area-area korteks kera, yang dapat dibandingkan dengan area bahasa manusia, tidak mengakibatkan efek-efek serius pada vokalisasi mereka (Steklis & Raleigh,1979; Passingham, 1982; Dingwall, 1988). 3. Sel-Sel Saraf dan Hubungannya: Landasan Semua Perilaku Otak dibentuk oleh dua tipe sel yaitu sel saraf (neuron) dan sel perekat (glia). Menusia memiliki jumlah sel yang paling besar walapun binatang lebih besar dari manusia dalam ukuran tubuh dan berat otak. Semua sel-sel ini dapat disambungkan bersama-sama, namun kenyataannya sel-sel tersebut tidak bersatu. Sebuah lubang (synapze) dalam proporsi kecil ada diantara sel saraf dengan prosesnya (axon dan dendritis) dan sel-sel ini (biasanya banyak) terkait dengan lubang tersebut. Berseberangan dengan lubang ini, terdapat transmisi yang dihasilkan melalui perantara kimiawi, dan perantara kimiawi ini disebut dengan neuro-transmitters. Hakekat kehidupan sesungguhnya terletak pada sel-sel mikroskopik ini, yakni membran dan saraf kimiawi. Komentar Sherrington pada awal bagian ini menggambarkan keingintahuan yang dia rasakan terhadap peristiwa-peristiwa yang berlangsung pada sel-sel ini. Satu cara untuk menganalisis area otak adalah melalui cytoarchitecture yaitu pengorganisasian sel-sel, bentuk dan lapisannya. Satu cara yang sering digunakan sebagai rujukan adalah cara yang ditemukan oleh ahli anatomi Jerman, Korbinian Brodman, pada tahun 1909 (gambar 2.9). Sampai saat ini jumlah dari pemetaan Brodman (52 area keseluruhan) biasanya digunakan sebagai pokok-pokok rujukan. Tabel yang mengikuti gambar 2.9 dapat digunakan untuk membantu pemahaman tentang lokasi dan fungsi dari area yang ditunjukkan Brodman pada korteks serebral. 4. Masalah pada Otak: Neuropatologi Banyak masalah yang mungkin terjadi pada sistem yang kompleks ini. Pada tabel 2.2 pada buku Psycholinguistics (Gleason dan Ratner, 1998: 70) disebutkan beberapa tipe neuropatologi umum yang berhubungan dengan gangguan komunikasi yang diakibatkannya. Penyakit cerebrovascular membunuh neuron dengan mengurangi suplai darah, sehingga menyebabkan neuron kekurangan glukosa dan oksigen. Penyakit lain seperti trauma, tumor, dan hidrosefalus menghancurkan jaringan saraf dengan memproduksi gumpalan-gumpalan yang terdiri dari darah, sel glial atau cairan zerebrospinal dalam kranium. Gumpalan ini bahkan dapat mengakibatkan pembengkakan jaringan saraf di sekitar meninges atau melalui foramen magnum (lubang pada bagian bawah tengkorak yang menghubungkan spinal cord dengan batang otak). Beberapa penyakit seperti multiple sclerosis mengganggu konduksi impuls saraf dengan merusak penutup myelin dan axon yang dibentuk dari sel-sel 12 oligodendroglial pada CNS dan sel-sel Schwann pada PNS. Parkinson dan chorea Hantington disebabkan oleh ketidakseimbangan neurotransmitter yang mengganggu fungsi basal ganglia. Penyakit-penyakit lainnya seperti myasthenia gravis terjadi karena penurunan fungsi reseptor neurotransmitter yang terletak pada otot-otot (lihat Gitroy & Holliday, 1982, pedoman yang komprehensif dan lengkap tentang neuropatologi) 5. Penelitian terhadap Konsekuensi dari Kerusakan Kortikal. Sebelumnya telah dibahas afasia Broca (yang diberi nama afasia gerak kortikal). Beberapa istilah umum untuk kondisi yang sama adalah afasia ekspresif atau afasia tidak lancar (expressive atau non fluent aphasia). Broca mengemukakan bahwa kondisi ini diakibatkan oleh cedera pada konvolusi depan ketiga. Daerah ini terletak di depan area permukaan dari area gerak dan dinamakan area Broca. Cedera pada bidang gerak ini dapat menyebabkan gangguan gerak saraf ujaran yang disebut disartria. Pasien disartria mengalami kesulitan dan ketidaktepatan dalam artikulasi, walaupun kemampuannya memformulasi bahasa masih utuh. Area yang dijelaskan Wernicke mengakibatkan afasia sensori kortikal (cortical sensory aphasia)juga disebut dengan afasia reseptif atau afasia lancar, terletak pada posterior ketiga dari girus temporal pertama. Area ini, yang ditunjukkan dapat meluas pada lembah dalam yang disebut lubang Sylvian, terletak di belakang area kortikal untuk auditori (girus Heschi) dan dikenal dengan nama area Wernicke sesuai dengan nama penemunya. Di belakang area Wernicke terdapat girus angular yang memegang peran penting dalam proses mengakses kata-kata atau mengingat kata. Kerusakan pada area ini dapat menyebabkan gangguan yang disebut anomia, dimana pasien mengalami kesulitan dalam menamai benda-benda, walaupun dia mampu memahami kata-kata dengan baik. Anggaplah bahwa area Wernicke dan girus Heschi masih utuh, tetapi keduanya dipisahkan oleh kerusakan yang disebabkan oleh stroke atau luka tembak. Apakah pasien dapat mendengar? Dapatkah dia memahami ujaran yang dikatakan kepadanya? Tidak, sebab sinyal-sinyal auditori terhalang untuk sampai pada area Wernicke oleh kerusakan tersebut. Gangguan ini disebut afasia sensori subkortikal (subcartical sensory aphasia) dan sekarang dikenal dengan tuli kata murni (pure word deafness). Pasien dengan gangguan ini dapat menyatakan: “I can hear what you say but it just doesn’t compute.” Pasien ini mampu berbicara, menulis, dan membaca secara normal. Mereka mungkin mampu membedakan bunyi-bunyi yang bukan ujaran tetapi mereka tidak mampu mengintepretasikan ujaran mereka sendiri. Apa yang mungkin terjadi pada bagian gerak (output), jika area Broca terputus dengan permukaan area dari saraf motor atau jikalau penghubung antara area Wernicke dan area Broca terganggu? Pada kasus pertama, pasien dapat memahami apa yang dikatakan kepadanya karena area Werniche utuh, namun pasien tidak mampu dalam ujaran volitional, dan dalam mengulang ujaran sebab area Broca tidak bisa mengontrol output gerak ke saluran vokal. Ini terjadi karena area Broca tidak tersambung 13 dengan saraf gerak. Lichtheim (1885, pp. 449-459) mendokumentasikan sejumlah kasus afasia gerak subkortikal. Pada kasus kedua yaitu afasia konduksi, yang memiliki ciri yang berbeda. Oleh karena area produksi ujaran dan pemahaman auditori utuh, output pasien ini masih terbentuk dengan baik dan mereka memahami hampir semua yang mereka dengar. Tetapi karena pesan-pesan tidak dapat bergerak melalui arcuate fasciculus antara area auditori dengan area produksi ujaran, pasien tidak mampu mengulang apa yang didengar, walaupun mereka dapat memahami pesan tersebut. Wernicke dan Lichtheim juga mengusulkan sebuah konsep bahwa kerusakan otak juga dapat mengakibatkan dementia atau agnosia. Contoh percakapan dari seorang pasien dementia diberikan pada tabel 2.1 sampel D di atas. Yang menjadi masalah pada bahasa pasien ini adalah konsep dari bahasa. Jadi, walaupun kemampuan memproduksi bahasa masih ada, tetapi proses berpikir atau pengambilan ide mengalami gangguan. Kita telah mengobservasi bahwa kerusakan otak dapat memutuskan hubungan antara ujaran dan bahasa (pada kasus disartria) dan antara bahasa dengan ujaran (pada kasus afasia jargon). Dapatkah kita bayangkan ujaran dan bahasa tanpa ide atau sebaliknya? Pemutusan hubungan seperti ini bisa terjadi. Sebagai contoh adalah seseorang yang menderita kerusakan pada hampir seluruh area di bawah garis tanda pemisah pada gambar 2.10 (Gleason dan Ratner, 1998: 71). Area perysylvia ini (area yang mengelilingi lubang sylvian) berisi hampir seluruh korteks yang menyangkut bahasa. Umpamanya, kerusakan ini dapat dibalik. Seperti apakah gangguan yang terjadi? Pasien mengalami kerusakan pada area Broca dan Wernicke serta semua bagian diantara dua area ini. Pasien ini akan kehilangan semua kemampuan ujaran dan bahasa. Tipe afasia ini (yang tidak ditemukan oleh Wernicke) bisa terjadi dan diberi nama afasia global. Seorang pasien dengan afasia berlawan yang tidak lumrah ini disebabkan oleh epilepsi, yaitu aphasia paroxysmal, ditemukan oleh Lecours dan Jonnette (1980). Kasus ini memberikan pandangan pada konsekuensikonsekuensi seperti afasia dan juga keterpisahan antara pikiran dan proses bahasa. Brother John, seorang biarawan Katolik secara periodik mengalami serangan-serangan dari epilepsi. Serangan ini tidak membuatnya tidak sadarkan diri namun membuatnya mengalami afasia global. Lecours dan Jonnette mendeskripsikan sebuah serangan yang terjadi selama dalam perjalanan dengan kereta api dari Italia ke Swedia. Walaupun kehilangan produksi ujaran, pemahaman, dan kemampuan membaca, Brother John dapat turun dari kereta api pada pemberhentian yang tepat, menemukan hotel, menemukan tempat-tempat lain untuk tinggal ketika diberitahu dengan gestur bahwa hotel tersebut penuh, dan memesan makan malam di restoran dengan menunjuk pada item-item pada menu dan berharap mendapatkan apa yang dia sukai. Pada pagi berikutnya, semua keterampilan bahasanya kembali normal. 14 Kasus ini memberikan konfirmasi yang lebih akurat terhadap kasuskasus afasia global lainnya (Gordon, 1990) sehubungan dengan proses penyimpanan ide atau pikiran tanpa kehadiran bahasa, dan untuk keterpisahan antara bahasa dan kompetensi kognitif. Keterpisahan antara kapasitas kognitif dan bahasa juga akan dibahas pada bab 8 pada pembahasan tentang pemerolehan bahasa pada anak-anak. Keterpisahan yang sebaliknya yaitu retensi kemampuan-kemampuan bahasa dengan proses berpikir yang utuh, juga telah diobservasi. Cedera yang terjadi pada kasus ini terletak di atas garis pemisah yang ditunjukkan pada gambar 2.10 dan diberi nama isolasi area ujaran atau afasia transkortikal gabungan. Deskripsi yang paling rinci dari kasus ini ditemukan oleh Whitaker (1976). Pasien yang diberi kode HCEM, yang ditemukan berpenyakit Pick setelah otopsi, merupakan pasien yang tidak mampu berkomunikasi sama sekali. Pasien ini tidak mampu berbicara spontan dan juga tidak memiliki pemahaman bahasa. Pasien ini menghabiskan hampir semua waktunya dengan menonton TV di ruang tamu dari tempat perawatan. Namun dapat didemonstrasikan bahwa HCEM tidak kehilangan semua aspek perilaku komunikatif. Jika seseorang mendekatinya dan secara langsung berbicara kepadanya, HCEM melakukan echolalic (yaitu, dia mengulang apa yang dikatakan kepadanya). Kemampuan mengulang adalah merupakan ciri semua kasus afasia transkortikal, yang pertama kali diusulkan oleh Lichtheim (1885). Tabel 2.3 mempresentasikan pertukaran percakapan antara Dr. Whitaker dengan pasien ini (Gleason dan Ratner, 1998: 72). Contoh Percakapan Pasien Afasia Transkortikal Gabungan A. HW: What’s your name? HCEM: What’s your name? HW: The car was brought by John. HCEM: The car was bought by John. B. HW: *This is a yellow tencil. HCEM: yellow pencil. HW: *That’s a piece of dandy. HCEM: That’s a piece of candy. C. HW: * I talk to her yesterday. HCEM: I talked to her yesterday. HW: *She had four childs. HCEM: She had four children. Pada sampel A, kita dapat melihat bagaimana HCEM mahir pada pengulangan. Dia dapat mengulang kata-kata asing tetapi dengan aksen Amerika. Sampel B dan C mendemonstrasikan lebih jelas lagi. HCEM tidak hanya mengulang. Dia mengulang dengan menerapkan aturan-aturan dari dialek bahasa Inggris-nya. HCEM bukan seekor burung beo tetapi manusia yang tidak bisa menggunakan kompetensi linguistik untuk berkomunikasi, walaupun tidak kehilangan sistem kaidah kompleks dari bahasa ibunya. 15 Gangguan HCEM adalah afasia transkortikal gabungan yang merupakan kombinasi antara afasia gerak transkortikal dan afasia sensori transkortikal. Yang membedakan afasia transkortikal dengan afasia jenis lain adalah kekuatan kemampuannya dalam mengulang ujaran. Jadi, afasia gerak transkortikal seperti afasia Broca dan afasia sensori transkortikal seperti afasia Wernicke terkait dengan kemampuan komunikatif pasien, yaitu kemampuan pasien transkortikal untuk mengulang apa yang dikatakan pada mereka. Seperti contoh yang telah diberikan HCEM tidak bisa memproduksi dan memahami bahasa, dia hanya bisa mengulang. C. Lateralisasi Fungsi Otak Di awal telah disebutkan bahwa Broca dan Dax mengenalkan adanya 2 serebral hemisfer, hemisfer kanan dan hemisfer kiri, yang masing-masing mempunyai fungsi yang berbeda. Broca mengungkapkan adanya hubungan antara otak dan tangan (brainedness dan handedness). Namun, bertahuntahun para ahli (peneliti) menemukan bahwa otak tidak hanya berhubungan dengan pergerakan tangan tapi juga berhubungan dengan variasi usia, gender, ras (Tsunoda,1985), perbedaan pendidikan (Bogen dkk,1972), manusia dan hewan dan sebagainya. Hasil penelitian terbaru mengatakan hemisfer kiri dan kanan berbeda dalam fungsinya. Perbedaan ini bukanlah suatu hal yang dikotomi tapi merupakan suatu hal yang continuum. Perbedaan fungsi otak ini dalam dalam studi neurolinguistik disebut lateralisasi (lateralization). Banyak pakar yang meragukan teori lateralisasi, bahwa pusat-pusat bahasa dan ucapan berada pada hemisfer kiri. Mereka berpendapat bahwa seluruh otak bertanggung jawab dan terlibat dalam proses pemahaman dan produksi bahasa. Namun demikian, dari bukti-bukti eksperimental yang dilakukan terhadap otak, kebenaran teori lateralisasi itu patut dipertimbangkan. Berikut dikemukakan beberapa eksperimen yang pernah dilakukan untuk menyokong teori lateralisasi itu. 1. Tes Wada Tes wada ini pertama kali diperkenalkan oleh pakar Jepang bernama Juhn.Wada (1959). Tes ini digunakan untuk menentukan bagian mana dari otak yang mengontrol fungsi bahasa dan juga melihat seberapa jauh peranan tiap bagian otak dalam hal fungsi memori. Pada kebanyakan orang, kemampuan bahasa dikontrol oleh otak kiri. Namun melalui tes wada akan dapat diketahui bagian otak sebelah mana yang benar-benar mengontrol kemampuan kebahasaan orang tersebut. Dalam tes ini cairan obat sodium amitol diinjeksikan kedalam sistem peredaran salah satu belahan otak. Belahan otak yang mendapatkan obat ini menjadi lumpuh untuk sementara waktu. Jika hemisfer kanan yang dilumpuhkan, maka anggota badan sebelah kiri tidak berfungsi sama sekali. Namun, fungsi bahasa tidak terganggu sama sekali, dan orang yang diteliti ini dapat berbicara seperti biasa. Apabila hemisfer kiri yang diberi sodium amitol, maka anggota badan sebelah kanan menjadi lumpuh, termasuk fungsi bahasa. 16 Hasil penelitian dari tes ini terhadap dua kelompok yang diteliti menunjukkan individu yang kidal dan tidak kidal mempunyai kemampuan bahasanya dikontrol oleh hemisfer kiri (Rasmussen & Milner,1977). Penelitian yang terbaru oleh Loring et.al (1990) memperlihatkan dari 103 pasien yang diteliti 79 orang mempunyai kemampuan berbahasa di hemisfer kiri, 2 orang di hemisfer kanan dan 22 orang bersifat bilateral. 2. Pemisahan Belahan Otak ( Commissurotomy Procedure) Commissurotomy diperkenalkan pertama kali tahun 1949 oleh ahli bedah otak Van Wagenen sebagai suatu tindakan atau upaya pencegahan menyebarnya gangguan epilepsi pada suatu bagian hemisfer ke bagian hemisfer lainnya. Melalui proses penghancuran terhadap corpus callosum diharapkan gangguan epileptik dapat dikontrol. Tujuan operasi ini adalah memutuskan hubungan antara kedua serebral hemisfeir. Namun, setelah dilakukan penyelidikan terhadap dua orang pasien, tidak ditemukan pengaruh operasi ini terhadap gangguan bahasanya (Akelaitis, 1964). Sampai disini para peneliti menyimpulkan bahwa corpus callosum hanya berperan untuk menghubungkan kedua hemisfir dan tidak berpengaruh terhadap bahasa seseorang. Tahun 1955, Ronald Myers, menemukan 200 juta serat yang ada di corpus callosum ternyata tidak hanya berfungsi menghubungkan hemisfer yang ada namun juga berperan menyampaikan informasi yang diperoleh melalui indera ke belahan otak. Informasi yang ditangkap oleh mata kiri misalnya akan dikirim ke otak kanan begitu juga sebaliknya. Demikian juga dengan kemampuan bahasa seseorang, jika diperlihatkan suatu objek melalui pandangan mata sebelah kanan, otak sebelah kiri dengan mudah memberikan ucapan nama objek tersebut, namun jika objek yang sama diperlihatkan melalui mata kiri, otak sebelah kanan akan menyebutkan benda tersebut dengan sedikit terhambat. Dalam hal ini otak kanan memproses kemampuan bahasanya dengan rentangan waktu yang cukup lama. 3. Pengangkatan Setengah Bagian Otak (Hemispherectomy) Melalui pengangkatan salah satu bagian otak yang ada terhadap salah satu pasien epilepsinya tahun 1927, Johns Hopkins mengagetkan dunia kedokteran sekaligus mendapat pujian dan tantangan. Sejak keberhasilannya melakukan hemispherectomy, banyak ahli bedah melakukan hal yang sama terhadap pasien anak-anak sampai dewasa. Dari hasil hemisferektomi ini terbukti bahwa bila hemisfer kiri yang diambil maka kemampuan berbahasa orang itu menurun dengan drastis. Sebaliknya bila diambil hemisfer kanan, orang tersebut masih dapat berbahasa meskipun tidak sempurna. Dan kemampuan kebahasaan ini akan lebih cepat pulih jika hemisferektomi dilakukan terhadap anak kecil dibawah usia 12 tahun. Penelitian yang sama dilakukan oleh Dennis dan Whitaker ( 1976) terhadap 3 orang anak berusia 9 dan 10 tahun. Salah satu anak diangkat belahan otak kanan dan dua lainnya pengangkatan pada otak kiri. Hasil penelitian memperlihatkan semua anak dapat melakukan tugas yang sama 17 baiknya dalam hal fonologi dan semantik. Namun, pada anak yang otak kirinya diangkat, otak kanan mengerjakan tugas berbentuk sintaksis dengan lambat dan terbatas. 4. Teknik Mendengar Rangkap (The Dichotic Listening Technique) Tes ini pertama kali diperkenalkan oleh Donald Broadbent (1954), lalu banyak dilakukan oleh Kimura (1961) dan Ling (1969). Tes ini didasarkan pada teori bahwa hemisfer kiri menguasai kerja anggota tubuh sebelah kanan, dan hemisfer kanan menguasai kerja anggota tubuh sebelah kiri. Tes ini dilakukan dengan memperdengarkan pasangan kata yang berbeda (misalnya boy dan girl) pada waktu yang betul-betul bersamaan di telinga kiri dan kanan orang yang dites dengan kenyaringan yang sama. Umpamanya kata girl di telinga kanan dan kata boy di telinga kiri. Hasil pengujian memperlihatkan bahwa kata girl yang diperdengarkan pada telinga sebelah kanan dapat diulangi dengan baik daripada kata boy yang diperdengarkan ditelinga sebelah kiri. Tes yang dilakukan berulang-ulang terhadap orang yang berbeda ternyata tetap memberikan hasil yang sama.Hasil tes ini membuktikan bahwa telinga kanan (yang dilandasi oleh hemisfer kiri ) lebih peka terhadap bunyi-bunyi bahasa dibandingkan dengan telinga kiri (yang dilandasi oleh hemisfer kanan). Tes menyimak rangkap ini juga dilakukan oleh Kimura (1964) untuk menyelidiki bunyi-bunyi yang bukan ujaran bahasa seperti pola-pola melodi (lagu) dan sebagainya. Ternyata pola-ola lagu ini, bukan ujaran bahasa, diproses di hemisfer kanan, karena telinga kiri mengenalnya lebih tepat daripada telinga kanan. Oleh karena itu Kimura mengambil kesimpulan bahwa hal ini bukanlah disebabkan oleh perbedaan ketajaman telinga kiri dan kanan, melainkan benar-benar karena kepekaan hubungan sel-sel saraf otak yang terdapat pada hemisfer yang bertentangan. Meskipun kasus-kasus di atas mendukung peran hemisfer kiri sebagai hemisfer bahasa, dari penelitian-penelitian mutakhir diketahui bahwa pandangan ini tidak seluruhnya benar. Hemisfer kanan pun ikut berperan. Lateralisasi belum terjadi ketika manusia dilahirkan , dengan kata lain belum ada pembagian tugas pada otak. Hal ini terbukti dengan adanya kasus-kasus dimana sebelum umur belasan (11,12,13 tahun), anak yang cedera hemisfer kirinya dapat memperoleh bahasa seperti anak yang normal. Hal ini menujukkan bahwa hemisfer kanan pun mampu untuk melakukan fungsi kebahasaan. Di samping itu, ada hal-hal yang berkaitan dengan bahasa yang ternyata ditangani oleh hemisfer kanan. Dari orang-orang yang hemisfer kanannya tergangggu didapati bahwa kemampuan mereka dalam mengurutkan peristiwa sebuah cerita atau narasi menjadi kacau. Mereka tidak mampu lagi untuk menyatakan apa yang terjadi pertama, kedua,ketiga dan seterusnya. Orang-orang ini juga mendapat kesukaran dalam menarik inferensi. Misalnya kalau mendengar atau membaca sesuatu tentang seseorang yang sering menelpon, menemui dan mengajak pergi seorang wanita, Maka orang yang mempunyai gangguan hemisfer kanan akan 18 kesukaran untuk menarik kesimpulan bahwa pria tersebut menyukai wanita itu . Dari gambaran diatas tampak bahwa hemisfer kanan juga mempunyai peran bahasa, tetapi memang tidak seintensif seperti hemisfer kiri. Namun demikian, tetap saja hemisfer kanan memegang peranan yang cukup penting. Fungsi-Fungsi yang terjadi di Hemisfer Kanan Dari proses penelitian commissurotomy dan hemispherectomy jelas kelihatan bahwa proses kebahasaan tidak seluruhnya terjadi pada otak sebelah kiri (dominant hemisphere). Melalui teknik neuroimaging metabolic semakin memperlihatkan keaktifan kedua belahan otak selama proses kebahasaan. Oleh karena itulah proses lateralisasi disebut sebagai suatu proses yang kontinum dan bukan dikotomi. Walaupun afasia (ketidakmampuan berbicara karena gangguan pada otak) jarang terjadi diakibatkan oleh kerusakan pada hemisfer kanan, namun kerusakan otak kanan mempengaruhi kemampuan berkomunikasi seseorang. Pasien yang mempunyai gangguan pada belahan otak kanan tidak akan bermasalah dengan fonologi, leksikal, atau sintaksis, namun seringkali menghadapi kendala dalam mengurutkan kejadian-kejadian dari suatu cerita, memformulasikan nilai moral dalam cerita tersebut dan tidak mampu melakukan inferensi atau menarik kesimpulan Mereka juga berkendala dalam menangkap kalimat ambigu, metafora dan istilah-istilah figuratif serta cenderung menginterpretasikan sesuatu kalimat atau ucapan secara sempit dan literal. D. Intrahemisferik Lokalisasi Fungsi Melateralisasikan suatu fungsi berarti memberikan suatu tugas (fungsi) tersebut kepada belahan otak. Melokalisasikan suatu fungsi adalah menentukan dengan tepat dimana seharusnya fungsi tersebut berada didalam otak;hemisfer kiri atau kanan. Berbagai macam fungsi dapat diletakkan dalam belahan otak. Fungsi pandangan misalnya melibatkan keseluruhan bagian occipital lobe, temporal lobe bagian depan,saraf untuk menggerakkan mata dan berbagai aspek lainnya. Penglihatan bukan fungsi yang sederhana, namun jika dibandingkan dengan tingkahlaku komunikasi manusia, penglihatan benar-benar merupakan suatu hal yang sederhana karena ia merupakan salah satu bagian alat berkomunikasi. 1. Pengukuran aktifitas listrik dalam otak Satu metode yang telah berlangsung lama untuk melihat aktivitas otak dalam melakukan tugas-tugas kebahasaan dikenal dengan istilah electroencephalogram (EEG). Metode memonitor kegiatan otak melalui alat elektoda yang diletakkan dikepala telah banyak digunakan yang bertujuan untuk menunjukkan perbedaan-perbedaan yang terjadi di belahan otak ketika melakukan tugas kebahasaan. Model pengukuran yang terbaru juga telah dikembangkan oleh peneliti agar hasil yang diperoleh lebih spesifik. Alat yang digunakan dalam metode baru ini adalah Event-Related 19 Potentials (ERPs) mengukur perubahan-perubahan voltase pada otak yang berkaitan dengan hal-hal yang sensori, motorik atau kognitif, dimana alat ini hanya memanfaatkan sejenis sinar untuk melihat aktifitas otak dalam memahami tugas bahasa yang diberikan. Dari hasil data yang diperoleh ditemukan bahwa otak memberikan reaksi secara berbeda untuk setiap tugas yang berhubungan dengan sintaksis dan semantik. Misalnya, ERPs akan menunjukkan perbedaan ketika subyek diminta untuk membaca kalimatkalimat yang secara sintaksis dan semantik mempunyai kejanggalan. Kuda hijau saya merokok selusin jeruk, reaksi negative muncul dari lobe frontal,girus sentral, dan lobe parietal, tetapi munculnya agak lambat. Derajat ketidakcocokkan semantic ini berpengaruh pada reaksi yang ada di otak. Reaksi yang keras muncul untuk contoh kalimat di atas tetapi akan melemah bila ketidakcocokkan itu mengecil (misalnya, kalimat diatas diganti, kuda hitam saya makan nasi goreng) 2. Pengukuran aliran darah dalam otak Pada tahun 1879, Broca menciptakan suatu alat yang dia namakan thermometric crown, dimana dengan alat ini dapat diketahui naik atau turunnya aliran darah di wilayah otak (rCBF). Apa yang telah dia lakukan tersebut pada akhirnya menjadi langkah awal dalam pengembangan metode modern untuk mengukur aktifitas metabolik dalam otak. Aliran darah dalam otak pada dasarnya dikontrol oleh aktifitas metabolik dari jaringan saraf. Dan berbagai macam teknik tersedia pada saat ini untuk meneliti perubahan-perubahan fungsi yang terjadi dalam otak jika perubahan itu diakibatkan oleh aliran darah. Alat kedua yang juga dapat digunakan untuk melihat alairan darah di otak adalah Positron Emission Tomography (PET), dapat mempertunjukkan kegiatan otak secara langsung.Pada PET bahan yang berisi radioaktif ringan disuntikkan ke pembuluh darah dan kemudian pola aliran darah pada otak ditelusuri dengan alat detektor khusus yang diletakkan di kepala pasien. Detektor ini selanjutnya akan memberikan gambaran yang berwarna-warna. Pada waktu pasien melakukan kegiatan verbal sesuai dengan yang diinstruksikan, bagian-bagian otak yang melakukan kegiatan ini akan mendapatkan aliran darah yang lebih banyak dan menyebabkan daerah itu “menyala” 3. Peranan struktur subkortikal dalam berbicara dan bahasa. Pada daerah lateral dan permukaan tengah hemisfer terdapat struktur subkortikal yang berperan tidak hanya dalam berbicara tapi juga fungsi bahasa. Gangguan dysarthria merupakan akibat dari kerusakan pada basal ganglia dan juga dapat diakibatkan oleh thalamic hemorrhages dan infarctions. Artikulasi yang terjadi pada orang yang mengalami gangguan dysarthria biasanya berjalan lama, dan tidak tepat. Selain itu juga ada gangguan ujaran neuromotor yang terjadi pada daerah basal ganglia, thalamus, dan daerah sekitarnya. Gangguan ini akan mengakibatkan penderita mengalami afasia 20 Bagaimana struktur-struktur ini dapat berperan dalam formulasi bahasa hingga saat ini masih kurang dimengerti oleh peneliti. Namun yang pasti, basal ganglia dan thalamus keduanya terlateralisasi fungsinya. E. Cara memandang hubungan antara otak dan bahasa Berbagai macam pendekatan ilmu dilakukan untuk meneliti tingkah laku dan fungsi bahasa. Disiplin ilmu seperti psikolinguistik secara tipikal mencoba menjelaskan tingkah laku dalam hal deskripsi pemerosesan informasi, sedangkan neurolinguistik mencoba menjelaskan tingkah laku yang sama namun dalam hal proses-proses secara neurologi. Afasiologi linguistik Sekitar tahun 1980-an berbagai macam pendekatan berkembang yang merupakan pencampuran dari ilmu psikologi kognitif dan neuropsikologi. Neuropsikologi kognitif ini mempunyai dua tujuan dasar yaitu; a. Untuk menjelaskan bentuk-bentuk performens kognitif yang bermasalah, terlihat melalui gangguan (luka) di otak b. Untuk mencari kesimpulan tentang proses-proses kognitif yang sempurna (normal) dari bentuk-bentuk yang bermasalah dan kemampuan normal yang terlihat pada otak yang terluka. (Ellis & Young,1988) Penelitian fungsi bahasa justru lebih jauh dari apa yang disebutkan diatas. Penelitian bahasa dalam pendekatan ini diberi nama afasiologi linguistic. (Caplan, 1987). Dan para ahli linguistik afasilogi ini biasanya meneliti populasi yang mengalami gangguan otak. Prinsip dasar dari ilmu ini adalah pikiran tersusun atas sekumpulan elemen-elemen prosessing, module-module yang tidak dapat dihubungkan (dissociable). Module-module ini dicoba untuk dihubungkan dengan area otak. Jika kita berasumsi bahwa kerusakan otak dapat memberikan gambaran pada kita bahwa betapa kompleksnya proses-proses kognitif seperti kemampuan bahasa dalam kondisi normal, maka jelas bahwa module neural juga dapat dihancurkan secara berbeda (proses fraksionasi), dan melalui kerusakkan tersebut dapat dilihat kemampuan kebahasaan apa yang hilang dari pasien tersebut. Model dari hasil pendekatan penelitian seperti ini umumnya tidak berhubungan dengan struktur neurological. Para peneliti dalam paradigm ini mengatakan bahwa diagram yang dihasilkan terlalu susah untuk menganalis proses-proses bahasa. Beberepa dari mereka mengatakan yang dibutuhkan adalah pemahaman yang lebih baik dan lebih lengkap tentang proses yang terlibat dalam produksi dan pemahaman bahasa (temuan psikolinguistik) sebelum mereka menghubungkannya dengan struktur neural (temuan neurolinguistik). Afasiologi linguistik juga memberikan kritik terhadap istilah sindrom afasik tradisional dalam beberapa hal; a. Sindrom-sindrom ini tidak cukup spesifik dalam menganalisis disfungsi bahasa. 21 b. Banyak komponen dalam sindrom yang tidak perlu ada pada pasien dan ditempatkan dalam pengelompokan c. Banyak komponen dipakai bersama oleh berbeda sindrom d. Banyak pasien yang tidak terklasifikasi dengan baik berdasarkan jenis sindromnya. III. KESIMPULAN Otak adalah struktur fisik yang kompleks yang tersusun atas bermilyar sel, dengan sambungan tiap selnya melakukan transmisi ke seluruh jaringan tubuh. Satu hal yang menjadi perhatian kita bahwa otak mempengaruhi kemampuan kebahasaan dalam berkomunikasi manusia. Sebagian besar otak mempunyai peranan penting dalam artikulasi, formulasi susunan grammatical, penemuan kata-kata yang tepat dan pemahaman ujaran lawan bicara. Area lainnya mempunyai tanggungjwabb khusus dalam hal melakukan aktifitas yang berhubungan dengan menulis, membaca, dan kemampuan mengulang ucapan Kedua belahan otak, walaupun dapat dibandingkan ukuran dan bentuknya, mempunyai peran tersendiri dalam aktifitas-aktifitas yang berhubungan dengan kebahasaan dan non kebahasaan.Bagi kebanyakan individu, kemampuan berbahasa diproses di otak belahan kiri,walaupun ada beberapa keterampilan bahasa lainnya yang diproses di otak kanan. Jika otak kiri mengalami kerusakkan, maka otak kanan dapat mengambil tugas yang ada walaupun tidak secara total. Daftar Pustaka Chaer, Abdul. Psikolinguistik: Kajian Teoretik. Jakarta: PT. Rineka Cipta. 2003 Dardjowidjojo, Soenjono. Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 2005. Gleason, Jean Berco dan Nan Bernstein Ratner. Psycholinguistics. Florida: Holt, Rinehart and Winston. 1998. 22 “DASAR-DASAR BIOLOGI TINGKAH LAKU KOMUNIKASI MANUSIA” Oleh MARTRIWATI,M.Pd PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA INGGRIS FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PROF.DR.HAMKA JAKARTA 2008 23 24