APLIKASI PIAGAM MADINAH DALAM KONSTITUSI INDONESIA Oleh: M. Cholil Nafis, Lc., Ph D Al Qur’a al Karim yang merupakan sumber primer dalam ajaran Islam sama sekali tidak memuat kerangka teknis tentang format bernegara Islam menjelaskan tentang ibadah secara detail, tetapi berkenaan dengan kemasyarakatan hanya menjelaskan prinsip umum Model bermasyarakat dan bernegara bersifat ijtihadi yang tujuannya adalah tercapainya kemaslahatan Secara mutawatir dan shahih tentang pembentukan negara Islam Pertama adalah negara Madinah dengan konstitusinya (Piagam / Shahifah Madinah) Negara Madinah telah mengikat masyarakat dengan model “kontrak sosial” yang merupakan kesepakatan bersama Benih-benih daulat rakyat kepada Nabi Muhammad saw telah tumbuh pada peristiwa bai’at al Ula (bai’at al Nisa’, tahun 621 H.) dan bai’at ‘Aqabah (622 H. Perjanjian yang terjadi antara Nabi Muhammad saw dengan komunitas-komunitas penduduk Madinah membawa mereka kepada kehidupan sosial yang teratur dan terorganisir, atau dari keadaan zaman pra-negara yang disebut alamiah (state of nature/status naturalis) ke zaman bernegara di bawah kepemimpinan Nabi saw. Dalam Piagam Madinah terdapat ketetapan mengenai dasar-dasar negara Islam yang bekerja untuk mengatur suatu umat dan membentuk suatu masyarakat serta menegakkan suatu pemerintahan Menurut al Baghdadi, Nabi Muhammad saw. telah melakukan fungsi kepala negara yang harus dilakukan, ialah melaksanakan undang-undang dan peraturan, menegakkan hukum bagi pelanggar hukum, mengorganisir militer, dan mengelola zakat dan pajak Dalam Piagam Madinah yang berisi perjanjian masyarakat Madinah (social contract) tahun 622 M ini ada tiga belas kelompok komunitas yang secara eksplisit disebut dalam teks Piagam. Ketiga belas komunitas itu adalah (i) kaum Mukminin dan Muslimin Muhajirin dari suku Quraisy Mekkah, (ii) Kaum Mukminin dan Muslimin dari Yatsrib, (iii) Kaum Yahudi dari Banu ‘Awf, (iv) Kaum Yahudi dari Banu Sa’idah, (v) Kaum Yahudi dari Banu al-Hars, (vi) Banu Jusyam, (vii) Kaum Yahudi dari Banu AlNajjar, (viii) Kaum Yahudi dari Banu ‘Amr ibn ‘Awf, (ix) Banu al-Nabit, (x) Banu al-‘Aws, (xi) Kaum Yahudi dari Banu Sa’labah, (xii) Suku Jafnah dari Banu Sa’labah, dan (xiii) Banu Syuthaybah. Dalam Mukaddimah Piagam Madinah dan pasal 22, 23, 42 dan akhir pasal 47 mengandung kensep monoteisme. Prinsip persatuan dan kesatuan sebagaimana termaktub dalam pasal 1, 15, 17, 25. Prinsip persamaan dan keadilan termaktub dalam pasal 13, 15, 16, 22, 23, 24, 37, 40. Prinsip kebebasan beragama sebagaimana termaktub dalam pasal 25 yang menegaskan bahwa antara Yahudi dan mukmin sebagai warga negara Madinah tidak ada perbedaan. Prinsip bela negara termuat dalam pasal 24, 37, 38 dan 44. Konsitusi Madinah telah tercermin dalam konstitusi Indonesia. nilai-nilai transendental sangat berpengaruh terhadap rumusan dan isi keduanya. Tidak mencantumkan agama sebagai nama negara Kesamaan konsep dalam ikatan agama dengan negara Kebhinekaan tercermin dalam konstitusi sebelum Perubahan UUD 1945, Pasal 29 Ayat (2) UUD 1945 (sebelum perubahan). Pasca Perubahan UUD 1945, Pasal 28E Ayat (1), (2), dan (3); Pasal 28I Ayat (2); dan Pasal 29 Ayat (2). Pasal 28E Ayat (1) menjamin hak setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya. Kebebasan untuk berpegang kepada suatu agama dalam Piagam Madinah juga berlaku bagi Yahudi Bani al Najjar (pasal 26), Yahudi Bani al Najjar (pasal 27), Yahudi Bani Sa’idah (pasal 28), Yahudi Bani Jusyam (pasal 29), Yahudi Bani Aws (pasal 30), Yahudi Bani Tsa’labah (pasal 31), Jafnah Bani Tsa’labah (pasal 32), Yahudi Bani Syutaibah (pasa 33), Mawali Tsa’labah (pasal 34), orang-orang dekat atau teman kepercayaan kaum Yahudi (pasal 35).