Spiritual Quotient (SQ) dan Multiple Intelegencies Serta Penerapannya dalam Pembelajaran (Memahami Dimensi Kecerdasan Manusia yang Multidimensional) I. PENDAHULUAN Kecerdasan yang dimiliki manusia merupakan salah satu potensi yang dianugerahkan oleh Allah SWT, yang menjadikannya sebagai salah satu kelebihan manusia dibandingkan dengan makhluk lainnya. Dengan kecerdasannya, manusia dapat terus menerus mempertahankan dan meningkatkan kualitas hidupnya yang semakin kompleks, melalui proses berpikir dan belajar secara terus menerus. Dalam hal ini, sudah sepantasnya manusia bersyukur, meski secara fisik tidak begitu besar dan kuat, namun berkat kecerdasan yang dimilikinya hingga saat ini manusia ternyata masih dapat mempertahankan kelangsungan peradaban hidupnya. Salah satu pengertian kecerdasan yang paling banyak digunakan adalah yang dikemukakan oleh Wechsler. Ia menganggap kecerdasan adalah konsep generik yang melibatkan kemampuan individual untuk berbuat dengan tujuan tertentu. Sementara itu menurut Chaplin (1975) memberikan pengertian kecerdasan sebagai kemampuan menghadapi dan menyesuaikan diri terhadap situasi baru secara cepat dan efektif. Kemudian Anita E. Woolfolk (1975) mengemukakan bahwa menurut teori lama, kecerdasan meliputi tiga pengertian, yaitu : (1) kemampuan untuk belajar; (2) keseluruhan pengetahuan yang diperoleh; dan (3) kemampuan untuk beradaptasi dengan situasi baru atau lingkungan pada umumya (Sudrajat, 2009). Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuanm dan teknologi dewasa ini, orang tidak hanya berbicara tentang Kecerdasan Umum, Kecerdasan Intelektual (IQ) saja, melainkan juga Kecerdasan Emosi (EQ) dan Kecerdasan Spiritual (SQ). Setiap kecerdasan ini memiliki wilayahnya sendiri-sendiri di otak. Sesuai dengan fitrah, kecerdasan sudah ada sejak manusia dilahirkan, tetapi yang mewarnai selanjutnya adalah keluarga dan lingkungannya (Syaodih Sukmadinata, Nana, 2009). Howard Gardner, seorang ilmuwan yang mengkhususkan diri pada kajian kajian sistematis pemikiran artistik dan kreativitas dalam seni, serta humanistik dan disiplin ilmu, baik di tingkat individu dan kelembagaan, mengemukakan teori kecerdesan; “Kecerdasan merupakan kemampuan untuk menangkap situasi baru serta kemampuan untuk belajar dari pengalaman masa lalu seseorang. Kecerdasan bergantung pada konteks, tugas serta tuntutan yang diajukan oleh kehidupan kita, dan bukan tergantung pada nila IQ, gelar perguruan tinggi atau reputasi bergengsi” (Gardner, 2003). Dalam kehidupan sehari-hari, seringkali dijumpai orang yang sebenarnya memiliki kemampuan intelektual luar biasa namun gagal karena rendahnya kecerdasan emosi yang dimiliki. Sebaliknya, sering juga dijumpai orang yang memiliki kemampuan intelektual biasa saja namun ternyata sukses dalam pekerjaan ataupun dalam hubungan masyarakat. Dua keadaan tersebut tampaknya perlu 1 dijadikan bahan renungan tentang cara kita “membaca” kecerdasan. Hal ini menjadi penting karena selama ini sistem pendidikan yang ada terlalu menekankan pentingnya nilai akademik, kecerdasan otak (IQ) saja. Indikatornya adalah dalam mekanisme pelaksanaan ujian, baik nasional maupun institusional, tolok ukurnya adalah penguasaan peserta didik terhadap materi pelajaran yang bersifat remembering dan recalling (Mustaqim, 2008). Oleh karena itu, makalah ini akan membahas tentang spiritual quotient (SQ) dan multiple intelegencies serta penerapannya dalam pembelajaran. II. POKOK BAHASAN Berkaitan dengan judul dalam makalah ini, maka pokok bahasan yang dapat diambil meliputi: A. Pemahaman tentang SQ (Spiritual Quotient) B. Pemahaman tentang macam-Macam Kecerdasan Manusia (Multiple Intelegencies) C. Pemahaman tentang Urgensi IQ, EQ, dan SQ dalam Proses Pendidikan III. PEMBAHASAN Berkaitan dengan pokok bahasan di atas, maka dalam pembahasan pada makalah ini terdidiri dari; pengertian SQ (spiritual quotient), macam-macam kecerdasan manusia (multiple intelegencies) dan memahami urgensi IQ, EQ, dan SQ dalam proses pendidikan, yang diuraikan sebagai berikut: A. Pemahaman tentang SQ (Spiritual Quotient) 1. Pengertian SQ Sebelum membahas lebih jauh tentang Spiritual Quotient (yang kemudian disingkat menjadi SQ), maka sebagai langkah awal, akan dipaparkan pandangan beberapa tokoh dalam bidang ini. Penemu SQ adalah seorang ahli yang bernama Danah Zohar dan Ian Marshall, yang mendefinisikan SQ sebagai berikut (Gardner, 2003): a. Suatu keperluan penting yang dimiliki oleh para hambat Tuhan untuk dapat berhubungan dengan Tuhannya b. Kemampuan untuk menghidupkan kebenaran yang paling dalam yaitu mewujudkan hal yang terbaik, utuh dan paling manusiawi dari dalam batin c. Merupakan gagasan, energi, nilai, visi, dorongan dan arah panggilan hidup bersama cinta d. SQ adalah bukti ilmiah, ini nyata ketika kami merasakan keamanan (Secure), kedamaian (peace), penuh cinta (love) dan bahagia (happy), ketika dibedakan dalam suatu kondisi yang dirasakan tidak aman, tidak bahagia dan tidak cinta (Paul Edwards) 2 e. SQ adalah pencarian manusia akan makna hidup dan merupakan motivasi utama dalam hidupnya. Kearifan spiritual adalah sikap hidup arif dan bijak secara spiritual yang cenderung mengisi lembaran hidup kita menjadi lebih bermakna dan bijak, bisa menyikapi segala sesuatu secara lebih jernih dan benar sesuai hati nuraninya, itulah kecerdasan spiritual (Viktor Frank-Psikolog) f. SQ akan membimbing manusia dalam merencanakan sesuatu yang menjadi tujuan hidupnya, yaitu hidup yang penuh kedamaian secara spiritual. Mendidik hati menjadi benar Sementara menurut beberapa pakar lain, SQ menurut Munandir (2001: 122) adalah sebuah istilah yang tersusun dalam dua kata yaitu “kecerdasan” dan “spiritual”. Kecerdasan adalah kemampuan seseorang untuk memecahkan masalah yang dihadapinya, terutama masalah yang menuntut kemampuan fikiran. Berbagai batasan-batasan yang dikemukakan oleh para ahli didasarkan pada teorinya masing-masing. Selanjutnya Munandir menyebutkan bahwa Intelegence dapat pula diartikan sebagai kemampuan yang berhubungan dengan abstraksi-abstraksi, kemampuan mempelajari sesuatu, kemampuan menangani situasi-situasi baru. Mimi Doe & Marsha Walch mengungkapkan bahwa spiritual adalah dasar bagi tumbuhnya harga diri, nilai-nilai, moral, dan rasa memiliki. Ia memberi arah dan arti bagi kehidupan kita tentang kepercayaan mengenai adanya kekuatan non-fisik yang lebih besar dari pada kekuatan diri kita; Suatu kesadaran yang menghubungkan kita langsung dengan Tuhan, atau apa pun yang kita namakan sebagai sumber keberadaan kita. Spiritual juga berarti kejiwaan, rohani, batin, mental, moral (Gardner, 2003). Jadi berdasarkan arti dari dua kata tersebut kecerdasan spiritual dapat diartikan sebagai kemampuan seseorang untuk menghadapi dan memecahkan masalah yang berhubungan dengan nilai, batin, dan kejiwaan. Kecerdasan ini terutama berkaitan dengan abstraksi pada suatu hal di luar kekuatan manusia yaitu kekuatan penggerak kehidupan dan semesta. Menurut Tony Buzan kecerdasan spiritual adalah yang berkaitan dengan menjadi bagian dari rancangan segala sesuatu yang lebih besar, meliputi “melihat suatu gambaran secara menyeluruh”. Sementara itu, kecerdasan spiritual menurut Stephen R. Covey (1997) adalah pusat paling mendasar di antara kecerdasan yang lain, karena dia menjadi sumber bimbingan bagi kecerdasan lainnya. Kecerdasan spiritual mewakili kerinduan akan makna dan hubungan dengan yang tak terbatas. 2. Prinsip Kecerdasan Spiritual Agustian (2005) dalam bukunya menuliskan adanya 6 prinsip dalam kecerdasan spiritual berdasarkan rukun iman, yaitu : 3 a. Prinsip bintang (star principle), berdasarkan iman kepada Allah SWT. Yaitu kepercayaan atau keimanan kepada Allah SWT. Semua tindakan hanya untuk Allah, tidak mengharap pamrih dari orang lain dan melakukannya sendiri. b. Prinsip malaikat (angel principle), berdasarkan iman kepada Malaikat. Semua tugas dilakukan dengan disiplin dan sebaik-baiknya sesuai dengan sifat malaikat yang dipercaya oleh Allah untuk menjalankan segala perintah-Nya. c. Prinsip kepemimpinan (leadership principle), berdasarkan iman kepada rasul. Seorang pemimpin harus memiliki prinsip yang teguh, agar mampu menjadi pemimpin yang sejati. Seperti halnya Rasullullah SAW, seorang pemimpin sejati yang dihormati oleh semua orang. d. Prinsip pembelajaran (learning principle), berdasarkan iman kepada kitab. Suka membaca dan belajar untuk menambah pengetahuan dan mencari kebenaran yang hakiki. Berpikir kritis terhadap segala hal dan menjadikan Al-Qur’an sebagai pedoman dalam bertindak. e. Prinsip masa depan (vision principle), berdasarkan iman kepada hari akhir. Berorientasi terhadap tujuan, baik jangka pendek, jangka menengah maupun jangka panjang. Semua itu karena keyakinan akan adanya hari kemudian dimana setiap individu akan mendapat balasan terhadap setiap tindakan yang dilakukan. f. Prinsip keteraturan (well organized principle) berdasarkan iman kepada Qodlo dan Qodar. Setiap keberhasilan dan kegagalan, semua merupakan takdir yang telah ditentukan oleh Allah. Hendaknya berusaha dengan sungguh-sungguh dan berdoa kepada Allah swt. 3. Ciri-Ciri Kecerdasan Spiritual Berdasarkan teori Zohar dan Marshall (2001) dan Sinetar (2001), ciri-ciri kecerdasan spiritual adalah sebagai berikut (Gardner, 2003): a. Mempunyai kesadaran diri. Adanya tingkat kesadaran yang tinggi dan mendalam sehingga bisa menyadari antuasi yang datang dan menanggapinya. b. Mempunyai visi. Ada pemahaman tentang tujuan hidupnya, mempunyai kualitas hidup yang diilhami oleh visi dan nilai-nilai. c. Fleksibel. Mampu bersikap fleksibel, menyesuaikan diri secara spontan dan aktif untuk mencapai hasil yang baik, mempunyai pandangan yang pragmatis (sesuai kegunaan) dan efisien tentang realitas. d. Berpandangan holistik. Melihat bahwa diri sendiri dan orang lain saling terkait dan bisa melihat keterkaitan antara berbagai hal. Dapat memandang kehidupan yang lebih besar sehingga mampu menghadapi dan memanfaatkan serta melampaui, kesengsaraan dan rasa sehat serta memandangnya sebagai suatu visi dan mencari makna dibaliknya. 4 e. Melakukan perubahan. Terbuka terhadap perbedaan, memiliki kemudahan untuk bekerja melawan konvensi dan status quo, menjadi orang yang bebas merdeka. f. Sumber inspirasi. Mampu menjadi sumber inspirasi bagi orang lain, mempunyai gagasan-gagasan yang segar dan aneh. g. Refleksi diri, mempunyai kecenderungan apakah yang mendasar dan pokok. 4. Faktor-Faktor yang Mendukung Kecerdasan Spiritual Menurut Sinetar (Atkurison, 1987) otoritas intuitif, yaitu kejujuran, keadilan, kesamaan perlakuan terhadap semua orang, mampunyai faktor yang mendorong kecerdasan spiritual. Suatu dorongan yang disertai oleh pandangan luas tentang tuntutan hidup dan komitmen untuk memenuhinya. Faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan spiritual menurut Agustian (2005) adalah inner value (nilai-nilai spiritual dari dalam) yang berasal dari dalam diri (suara hati), seperti transparency (keterbukaan), responsibilities (tanggung jawab), accountabilities (kepercayaan), fairness (keadilan) dan social wareness (kepedulian sosial). Faktor kedua adalah drive yaitu dorongan dan usaha untuk mencapai kebenaran dan kebahagiaan. Zohar dan Marshall (2001) mengungkapkan ada beberapa faktor yang mempengaruhi kecerdasan spiritual yaitu (Gardner, 2003): a. Sel Saraf Otak Otak menjadi jembatan antara kehidupan bathin dan lahiriah kita. Ia mampu menjalankan semua ini karena bersifat kompleks, luwes, adaptif dan mampu mengorganisasikan diri. Menurut penelitian yang dilakukan pada era 1990-an dengan menggunakan WEG (Magneto – Encephalo – Graphy) membuktikan bahwa osilasi sel saraf otak pada rentang 40 Hz merupakan basis bagi kecerdasan spiritual. b. Titik Tuhan (God Spot) Dalam peneltian Rama Chandra menemukan adanya bagian dalam otak, yaitu lobus temporal yang meningkat ketika pengalaman religius atau spiritual berlangsung. Dia menyebutnya sebagai titik Tuhan atau God Spot. Titik Tuhan memainkan peran biologis yang menentukan dalam pengalaman spiritual. Namun demikian, titik Tuhan bukan merupakan syarat mutlak dalam kecerdasan spiritual. Perlu adanya integrasi antara seluruh bagian otak, seluruh aspek dari dan seluruh segi kehidupan. 5. Aspek-Aspek Dalam Kecerdasan Spiritual Sinetar (Atkurison, 1987) menuliskan beberapa aspek dalam kecerdasan spiritual, yaitu : 5 a. Kemampuan seni untuk memilih, kemampuan untuk memilih dan menata hingga ke bagian-bagian terkecil ekspresi hidupnya berdasarkan suatu visi batin yang tetap dan kuat yang memungkinkan hidup mengorganisasikan bakat. b. Kemampuan seni untuk melindungi diri. Individu mempelajari keadaan dirinya, baik bakat maupun keterbatasannya untuk menciptakan dan menata pilihan terbaiknya. c. Kedewasaaan yang diperlihatkan. Kedewasaan berarti kita tidak menyembunyikan kekuatan-kekuatan kita dan ketakutan dan sebagai konsekuensinya memilih untuk menghindari kemampuan terbaik kita. d. Kemampuan mengikuti cinta. Memilih antara harapan-harapan orang lain di mata kita penting atau kita cintai. e. Disiplin-disiplin pengorbanan diri. Mau berkorban untuk orang lain, pemaaf tidak prasangka mudah untuk memberi kepada orang lain dan selalu ingin membuat orang lain bahagia. Menurut Buzan (Adwidol, 2007) ada sepuluh aspek-aspek dalam kecerdasan spiritual yaitu mendapatkan gambaran menyeluruh tentang jagad raya, menggali nilai-nilai, visi dan panggilan hidup, belas kasih, memberi dan menerima, kekuatan tawa, menjadi kanak-kanak kembali, kekuatan ritual, ketentraman, dan cinta. Selain dari hal di atas, menurut Robbins & Judge dalam bukunya yang berjudul Organizational Behavior (Adwidol, 2007) menyebutkan budaya spiritualitas yang perlu dibentuk adalah: a. Strong Sense of Purpose.Meskipun pencapaian keuntungan itu penting, tetapi hal itu tidak menjadi nilai utama dari suatu organisasi dengan budaya spiritual. Karyawan membutuhkan adanya tujuan perusahaan yang lebih bernilai, yang biasanya dinyatakan dalam bentuk visi dan misi organisasi. b. Trust and Respect.Organisasi dengan budaya spiritual senantiasa memastikan terciptanya kondisi saling percaya, adanya keterbukaan dan kejujuran. Salah satunya dalam bentuk manajer dan karyawan tidak takut untuk melakukan dan mengakui kesalahan. c. Humanistic Work Practices. Jam kerja yang fleksibel, penghargaan berdasarkan kerja tim, mempersempit perbedaan status dan imbal jasa, adanya jaminan terhadap hak-hak individu pekerja, kemampuan karyawan, dan keamanan kerja merupakan bentuk-bentuk praktik manajemen sumber daya manusia yang bersifat spiritual. d. Toleration of Employee Expression. Organisasi dengan budaya spiritual memiliki toleransi yang tinggi terhadap bentuk-bentuk ekspresi emosi karyawan. Humor, spontanitas, keceriaan di tempat kerja tidak dibatasi. Saat ini sudah cukup banyak perusahaan yang menerapkan budaya spiritualitas di tempat kerja. 6 B. Macam-Macam Kecerdasan Manusia (Multiple Intelegencies) Kita telah mengenal berbagai kecerdasan manusia diantaranya IQ, EQ, SQ, dan Multiple Intelligence. 1. Kecerdasan Intelektual [Intelligence Quotient (IQ)] Kecerdasan Intelektual/ Intelligence Quotient (IQ) merupakan kecerdasan dasar yang berhubungan dengan proses kognitif, pembelajaran (kecerdasan intelektual) cenderung menggunakan kemampuan matematislogis dan bahasa, pada umumnya hanya mengembangkan kemampuan kognitif (menulis, membaca, menghafal, menghitung dan menjawab). Kecerdasan ini dikenal dengan kecerdasan rasional karena menggunakan potensi rasio dalam memecahkan masalah, penilaian kecerdasan dapat dilakukan melalui tes atau ujian daya ingat, daya nalar, penguasaan kosa kata, ketepatan menghitung, mudah menganalisis data. Dengan ujian seperti dapat dilihat tingkat kecerdasan intelektual seseorang. Kecerdasan intelektual muncul sejak dalam kehidupan keluarga dan masyarakat, sejak anak di dalam kandungan (masa pranata) sampai tumbuh menjadi dewasa. Kecerdasan intelektual (inteligensi) merupakan aspek psikologis yang dapat mempengaruhi kuantitas dan kualitas seseorang dalam perolehan pembelajaran. Kecerdasan intelektual (IQ) pada umumnya dapat diartikan sebagai kemampuan psiko-fisik untuk mereaksi rangsangan atau diri dengan lingkungan dengan cara yang tepat (Campbell, 2002). Semenjak zaman pencerahan yang mengagungkan kemajuan ilmu pengetahuan sebagai lambang kemajuan peradaban, intilegensi naik daun dan dianggap sebagai prediktor utama kesuksesan, bahkan mungkin satusatunya. Sehingga salah kaprah terhadap konsep IQ dan terjadi pemberhalaan IQ. Sering terjadi pertukaran konsep dikalangan awam antara inteligensi (intelligence) dan IQ. Inteligensi adalah sebuah konsep, yang dioperasionalisasikan dengan suatu alat ukur, dan keluaran dari alat ukur inilah yang berupa IQ. Angka yang keluar adalah angka berdasarkan satuan tertentu. Semacam “gram” untuk “berat”, dan “meter” untuk “jarak”. Konsep inilah yang harus diluruskan agar tidak menimbulkan beragam penafsiran : IQ adalah satuan ukur. Untuk mengukur tingkat inteligensi anak, dapat digunakan tes IQ (Intelligence Quotient) misalnya dari Binet Simon. Dari hasil tes Binet Simon, dibuatlah penggolongan inteligensi sebagai berikut: a. Genius > 140; b. Gifted > 130; c. Superior > 120; d. Normal 90-110; 7 e. Debil 60-79; f. Imbesil 40-55; g. Idiot > 30. (Campbell, 2002). Inteligensi orang satu dengan yang lain cenderung berbeda-beda. Hal ini karena adanya beberapa faktor yang mempengaruhinya, antara lain: a. Faktor pembawaan, dimana faktor ini ditentukan oleh sifat yang dibawa sejak lahir. b. Faktor minat dan pembawaan yang khas, dimana minat mengarahkan perbuatan kepada suatu tujuan dan merupakan dorongan bagi perbuatan itu. c. Faktor pembentukan, dimana pembentukan adalah segala keadaan diluar diri seseorang yang mempengaruhi perkembangan inteligensi. d. Faktor kematangan, dimana tiap organ dalam tubuh manusia mengalami pertumbuhan dan perkembangan. Setiap organ manusia baik fisik maupun psikis, dapat dikatakan telah matang jika ia telah tumbuh atau berkembang hingga mencapai kesanggupan menjalankan fungsinya masing-masing. e. Faktor kebebasan, yang berarti manusia dapat memilih metode tertentu dalam memecahkan masalah yang dihadapi. Di samping kebebasan memilih metode juga bebas memilih masalah yang sesuai dengan kebutuhannya. Kelima faktor itu saling terkait satu dengan yang lain. Jadi, untuk menentukan kecerdasan seseorang, tidak dapat hanya berpedoman kepada salah satu faktor tersebut (Iskandar, 2009). 2. Kecerdasan Emosi [Emotional Quotient (EQ)] Sesuai dengan berjalannya zaman, manusia mulai menyadari bahwa faktor emosi tidak kalah pentingnya dalam mendukung sebuah kesuksesan, bahkan dipandang lebih penting dari pada inteligensi. Daniel Goleman telah mempopulerkan pada pertengahan 1990-an. Seperti juga IQ, konsep kecerdasan emosi ini dioperasionalisasikan menjadi alat ukur dan keluarannya disebut EQ (Goleman, 1999). Konsep ini muncul dari beberapa pengalaman, bahwa kecerdasan intelektual yang tinggi saja tidak cukup untuk mengantarkan orang menuju sukses. Menurut Goleman (1999) pengembangan kecerdasan emosional, orang-orang sukses selain memiliki kecerdasan intelektual yang tinggi tetapi juga memliki stabilitas, motivasi kerja yang tinggi, mampu mengendalikan stres, tidak mudah putus asa, dan lain-lain. Pengalaman-pengalaman demikian, memperkuat keyakinan bahwa disamping kecerdasan intelektual juga ada kecerdasan emosional. Orang yang memiliki kecerdasan emosional yang tinggi adalah mereka yang mampu mengendalikan diri 8 (mengendalikan gejolak emosi), mampu menerima kenyataan, dapat merasakan kesenangan meskipun dalam kesulitan (Goleman, 1999). Demikian pula penerapannya dalam kehidupan organisasi, inteligensi tidak lagi dianggap satu-satunya faktor menentukan kinerja seseorang. Dalam konsep kompetensi faktor-faktor seperti motivasi, keterampilan interpersonal, dan kepemimpinan mendapat perhatian yang cukup signifikan (Yantarto, 2003). Tokoh-tokoh seperti Sternberg, Baron dan Salovey, menyebutkan adanya lima domain kecerdasan pribadi dalam bentuk kecerdasan emosional, yaitu (Campbell, 2002): a. Kemampuan mengenali emosi diri Kemampuan mengenali emosi diri merupakan kemampuan seseorang dalam mengenali perasaannya sendiri sewaktu perasaan atau emosi itu muncul. Ini sering dikatakan sebagai dasar dari kecerdasan emosional. Seseorang yang mampu mengenali emosinya sendiri adalah bila ia memiliki kepekaan yang tajam atas perasaan mereka yang sesungguhnya dan kemudian mengambil keputusan-keputusan secara mantap. Misalnya sikap yang diambil dalam menentukan berbagai pilihan, seperti memilih sekolah, sahabat, pekerjaan sampai kepada pemilihan pasangan hidup. b. Kemampuan mengelola emosi Kemampuan mengelola emosi merupakan kemampuan seseorang untuk mengendalikan perasaannya sendiri sehingga tidak meledak dan akhirnya dapat mempengaruhi perilakunya secara salah. Mungkin dapat diibaratkan sebagai seorang pilot pesawat yang dapat membawa pesawatnya ke suatu kota tujuan dan kemudian mendaratkannya secara mulus. Misalnya seseorang yang sedang marah, maka kemarahan itu, tetap dapat dikendalikan secara baik tanpa harus menimbulkan akibat yang akhirnya disesalinya di kemudian hari. c. Kemampuan memotivasi diri Kemampuan memotivasi diri merupakan kemampuan untuk memberikan semangat kepada diri sendiri untuk melakukan sesuatu yang baik dan bermanfaat. Dalam hal ini terkandung adanya unsur harapan optimisme yang tinggi, sehingga seseorang memiliki kekuatan semangat untuk melakukan suatu aktivitas tertentu. Misalnya dalam hal belajar, bekerja, menolong orang lain dan sebagainya. d. Kemampuan mengenali emosi orang lain Kemampuan mengenali emosi orang lain (empati) merupakan kemampuan untuk mengerti perasaan dan kebutuhan orang lain, sehingga orang lain akan merasa senang dan dimengerti perasaannya. Anak-anak yang memiliki kemampuan ini, yaitu sering pula disebut 9 sebagai kemampuan berempati, mampu menangkap pesan non verbal dari orang lain seperti nada bicara, gerak-gerik maupun ekspresi wajah dari orang lain tersebut. Dengan demikian anak-anak ini akan cenderung disukai orang. e. Kemampuan membina hubungan sosial Kemampuan membina hubungan sosial merupakan kemampuan untuk mengelola emosi orang lain, sehingga tercipta keterampilan sosial yang tinggi dan membuat pergaulan seseorang menjadi lebih luas. Anakanak dengan kemampuan ini cenderung mempunyai banyak teman, pandai bergaul dan menjadi lebih populer. Disini dapat kita simpulkan betapa pentingnya kecerdasan emosional dikembangkan pada diri siswa (peserta didik). Karena betapa banyak kita jumpai siswa (peserta didik), dimana mereka begitu cerdas di sekolah, begitu cemerlang prestasi akademiknya, namun bila tidak dapat mengelola emosinya, seperti mudah marah, mudah putus asa atau angkuh dan sombong, maka prestasi tersebut tidak akan banyak bermanfaat untuk dirinya. Ternyata kecerdasan emosional perlu lebih dihargai dan dikembangkan pada peserta didik sedini mungkin dari tingkat pendidikan usia dini sampai ke Perguruan Tinggi. Karena hal inilah yang mendasari keterampilan seseorang di tengah masyararakat kelak, sehingga akan membuat seluruh potensinya dapat berkembang secara lebih optimal (Djaali, 2008). Selain itu kecerdasan emosi berkaitan dengan pemahaman diri dan orang lain, beradaptasi dan menghadapi lingkungan sekitar, dan penyesuaian secara cepat agar lebih berhasil dalam mengatasi tuntutan lingkungan. 3. Kecerdasan Spiritual [Spiritual Quotient (SQ)] Kecerdasan spiritual (SQ) merupakan kemampuan individu terhadap mengelola nilai-nilai, norma-norma dan kualitas kehidupan dengan memanfaatkan kekuatan-kekuatan pikiran bawah sadar atau lebih dikenal dengan suara hati (God Spot). Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Hajj ayat 46, sebagai berikut: Artinya: 10 “Maka Apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena Sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada”. (Q.S. Al-Haj : 46) (Departemen Agama RI, 2001). Kecerdasan spiritual disini bermakna bahwa seseorang individu yang memiliki rasa tanggung jawab kepada sang pencipta serta kemampuan mengkhayati nilai-nilai agama. Keridlaan dapat diartikan sebagai kemampuan seseorang untuk menerima dengan hati yang rela dengan peraturan peraturan yang telah digariskan oleh agama. Tanggung jawab kepada sang pencipta dapat membantu seseorang untuk terus belajar dan bekerja keras tanpa rasa jenuh. Allah membimbing siapa saja yang ridla kepada-Nya melalui jalan-jalan keselamatan dan membawa mereka dengan izin-Nya keluar dari kegelapan menuju cahaya. Sebagaimana tujuan diciptakannya manusia, dalam surat al-Maidah ayat 16: Artinya: “Dengan kitab Itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridlaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus.” (Q.S. Al-Maidah :16) (Departemen Agama RI, 2001). Kecerdasan spiritual (SQ) yang memadukan antara kecerdasan intelektual dan emosional menjadi syarat penting agar manusia dapat lebih memaknai hidup dan menjalani hidup penuh berkah. Terutama pada masa sekarang, dimana manusia modern terkadang melupakan mata hati dalam melihat segala sesuatu. Manusia modern adalah manusia yang mempunyai kualitas intelektual yang memadai, karena telah menempuh pendidikan yang memadai pula. Salah satu ciri yang kental dalam diri manusia modern adalah suka membaca. Hal ini sejalan dengan syariat Islam, dimana syariat pertamanya adalah membaca. Namun, terkadang kualitas intelektual tersebut tidak dibarengi dengan kualitas iman atau emosional yang baik, sehingga berkah yang diharapkan setiap manusia dalam hidupnya tidak dapat diperoleh. 11 K.H. Ali Yafie menyatakan, ibadah yang dijalankan oleh umat Islam seharusnya bukan hanya merupakan suatu kewajiban, sehingga menjadi beban. Akan tetapi ibadah hendaknya menjadi kebutuhan hidup yang mutlak. Dengan menjadikan ibadah sebagai kebutuhan mutlak, tiap umat Islam akan selalu rindu untuk menjalankan ibadah. Dengan kata lain, upaya mi’raj atau mendekatkan diri kepada Allah SWT sebagai salah satu wujud dari makna hidup manusia dapat diusahakan tanpa menjadikannya suatu beban. Sementara itu, Komaruddin Hidayat memaparkan beberapa ciri manusia modern yang terjadi dalam dua kelompok besar, yaitu beragama dan tidak beragama. Ciri-ciri tersebut adalah rasional, mengandalkan kekuatan pribadi, selalu penuh dengan rencana dan kompetitif. Namun, ia memberi penekanan bahwa manusia modern dalam Islam tidak boleh melupakan mata hati dalam melihat segala sesuatu. Hal ini membutuhkan kecerdasan spiritual, lanjutnya, sehingga hati dan nalar akan dapat bekerja sama (Agustian, 2007). Proses pembersihan diri dan upaya untuk menjernihkan hati, dengan tujuan memunculkan kemampuan mendengar suara hati terdalam yang merupakan sumber kebijaksanaan dan motivasi. Pengaktifan, pembangkitan secara mental dan spiritual untuk memunculkan kemampuan dan potensi yang tersembunyi, pengisian dengan sifat-sifat Allah yang agung dan indah, memunculkan sifat-sifat yang baik, membangun citra positif yang mempesonakan. Pengembangan potensi diri adalah suatu metode untuk melepaskan, mengarahkan, mengendalikan kekuatan pikiran bawah sadar (unconscious mind), sehingga menjadi suatu langkah nyata dalam kehidupan sehari-hari, sekaligus pola pengasahannya, melalui berbagai aplikasi dan keilmuan canggih berdasar kekuatan do’a dan dzikir yang digali dari al-Qur’an dan Hadits, menjadi modal dasar untuk pencapaian jalan keluar terbaik, untuk mencapai kerukunan, untuk mencapai harkat kehidupan yang lebih tinggi sepanjang perjalanan kehidupan. Bilamana setiap manusia bisa mengendalikan emosinya, maka kehidupan akan menjadi lebih indah. Untuk itu setiap manusia perlu mendapatkan suatu pelatihan dan pemahaman tentang kecerdasan emosi (EQ) dengan semangat spiritual (SQ), sehingga terjadi suatu perpaduan yang dahsyat untuk membangun karakter manusia yang sempurna, baik di dunia, di masyarakat maupun di mata Tuhan SWT. Mampu memberi makna luhur terhadap pekerjaan dan tugas sehari hari sehingga manusia akan merasakan makna kehidupan yang sangat indah dan menyenangkan ketika sedang bertugas dan tetap tegar saat menghadapi masalah yang berat sekalipun. Meningkatkan dan membangkitkan berbagai 12 kemampuan dan potensi untuk memunculkan kekuatan spiritual terdalam (inner power) sehingga menjadi sumber kecerdasan spiritual dengan kekuatan do’a dan dzikir agar manusia terangkat ke permukaan, lebih tinggi dari sebelumnya. Dalam al-Qur’an, selain mengajarkan tuntunan beribadah secara sempurna terkandung juga suatu teknologi yang luar biasa untuk mencapai suatu tujuan-tujuan tertentu dan berbagai keilmuan yang membutuhkan pengkajian lebih dalam lagi untuk memahaminya dan menggunakannya untuk kemajuan umat manusia. Berbagai penelitian mengenai tubuh manusia bahkan membuat kita lebih terpesona lagi akan kebesaran Allah SWT dalam menciptakan manusia. Bagaimana ciptaan yang sempurna ini bekerja, berpikir, bergerak, menganalisa, mengambil keputusan, memunculkan berbagai gagasan yang indah dan hebat, hingga manusia ini bisa berhasil menjadi terkenal, berkemampuan logik maupun spiritual, mempunyai emosi (IQ, EQ, SQ) yang bila dipergunakan secara positif-konstruktif akan memberi suatu hikmah pencapaian yang luar biasa. 4. Multiple Intelligence (Kecerdasan Ganda) Akhir-akhir ini banyak dibahas konsep kecerdasan ganda (Multiple Intelligence). Konsep ini berawal dari karya Horward Gardner (dalam buku Frames of Mind, 2003), yang didasarkan atas hasil penelitiannya selama beberapa tahun tentang kapasitas kognitif manusia (human cognitive capacities). Gardner menolak asumsi, bahwa kognisi manusia merupakan satu kesatuan dan individu hanya mempunyai kecerdasan tunggal. Meskipun sebagian besar individu menunjukkan penguasaan seluruh spectrum kecerdasan, tiap individu memiliki tingkat penguasaan yang berbeda. Individu memiliki beberapa kecerdasan, dan kecerdasan-kecerdasan itu bergabung menjadi satu kesatuan membentuk kemampuan pribadi yang cukup tinggi. Menurutnya, dalam diri manusia terdapat banyak potensi yang belum dikembangkan dan bahkan kadang-kadang potensi tersebut telah kita kubur gara-gara kesibukan kita sehari-hari, seperti pekerjaan, mengurus rumah tangga atau sekolah. Dalam penemuannya, setidaknya ada delapan kecerdasan yang patut di perhitungkan secara sungguh-sungguh sebagai sebuah kecerdasan juga. Delapan kecerdasan itu diantaranya sebagai berikut: a. Kecerdasan matematis-logis (logical-mathematical intelligence) Kecerdasan matematis-logis merupakan kecakapan untuk menghitung, mengkuantitatif, merumuskan 13 proposisi dan hipotesis, serta memecahkan perhitungan-perhitungan matematis yang kompleks. Para ilmuwan, ahli matematis, akuntan, insinyur, pemogram komputer adalah orang-orang yang tinggi dalam kecerdasan logis matematisnya. b. Kecerdasan bahasa (linguistic intelligence) Kecerdasan bahasa merupakan kecakapan berfikir melalui kata-kata, menggunakan bahasa untuk menyatakan dan memaknai arti yang kompleks. Para penulis, ahli bahasa, sastrawan, jurnalis, adalah orangorang yang memiliki kecerdasan linguistik yang tinggi. c. Kecerdasan visual (visual-spatial intelligence) Kecerdasan visual merupakan kecakapan berpikir dalam ruang tiga dimensi. Seorang yang memilik inteligensi visual-ruang yang tinggi seperti pilot, nahkoda, astronot, pelukis, arsitek, perancang dan lain-lain. Mampu menangkap bayangan ruang internal dan eksternal, untuk penentuan arah dirinya atau benda yang dikendalikan, atau mengubah, mengkreasi dan menciptakan karya-karya tiga dimensi nyata. d. Kecerdasan kinestik atau gerakan fisik (kinesthetic intelligence) Kecerdasan kinestetik atau gerakan fisik merupakan kecakapan melakukan gerakan dan keterampilan kecekatan fisik seperti dalam olah raga, atletik, menari, kerajinan tangan, bedah, dan lain-lain. Orang-orang yang memiliki kecerdasan kinestetik yang tinggi adalah para olahragawan, penari, pencipta tari, pengrajin profesional, dokter bedah, dan lain-lain. e. Kecerdasan musik (musical intelligence) Kecerdasan musik merupakan kecakapan untuk menghasilkan dan menghargai musik, sensitivitas terhadap melodi, ritme, nada, tangga nada, menghargai bentuk-bentuk ekspresi musik. Komponis, dirigen, musisi, kritikus, musik, pembuat instrumen musik, penyanyi, pengamat music adalah orang-orang yang memiliki kecerdasan musik yang tinggi. f. Kecerdasan hubungan sosial (interpersonal intelligence) Kecerdasan hubungan sosial merupakan kecakapan memahami dan merespon serta berinteraksi dengan orang lain dengan tepat, watak, temperamen, motivasi dan kecenderungan terhadap orang lain. Orang orang yang memiliki kecerdasan hubungan sosial di antaranya guru, konselor, pekerja sosial, aktor, pimpinan masyarakat, politikus, dan lainlain. [15] g. Kecerdasan kerohaniahan (intrapersonal intelligence) Kecerdasan kerohaniahan merupakan kecakapan memahami kehidupan emosional, membedakan emosi orang-orang, pengetahuan tentang kekuatan dan kelemahan diri. Kecakapan membentuk persepsi yang tepat terhadap orang, menggunakannya dalam merencanakan dan 14 mengarahkan kehidupan yang lain. Agamawan, psikolog, psikiater, filosof, adalah mereka yang memiliki kecerdasan pribadi yang tinggi. h. Kecerdasan naturalistik Kecerdasan naturalistik merupakan kemampuan seorang siswa (peserta didik), guru (pendidik) untuk peka terhadap lingkungan alam. Misalnya senang berada di lingkungan yang terbuka seperti pantai, gunung, cagar alam, hutan, dan sebagainya. Anak-anak dengan kecerdasan seperti ini cenderung suka mengobservasi lingkungan alam seperti aneka macam bebatuan, jenis-jenis lapisan tanah, aneka macam flora dan fauna, benda-benda di angkasa, dan lain sebagainya (Djaali, 2008). C. Urgensi IQ, EQ, dan SQ dalam Proses Pendidikan Para ahli psikologi menyebutkan bahwa IQ hanya mempunyai peran sekitar 20% dalam menentukan keberhasilan hidup, sedangkan 80% sisanya ditentukan oleh faktor-faktor yang lain (Yantarto, 2003). Manusia memiliki tiga kecerdasan yaitu kecerdasan intelektual (IQ), kecerdasan emosi (EQ), dan kecerdasan spiritual (SQ). Ketiga-tiga kemampuan sangat membantu seseorang dalam meningkatkan kualitas diri, mengabaikan salah satu kemampuan tersebut mengakibatkan banyak individu dililit masalah secara pribadi maupun sosial masyarakat. Selama ini masyarakat mempercayai dan mengagung-agungkan secara dominan salah satu kecerdasan yaitu kecerdasan intelektual (IQ). IQ (Intelligence Quotient) yang tinggi tidak menjamin seseorang akan meraih kesuksesan. Realitas menunjukkan bahwa banyak orang IQ-nya tinggi, tetapi tidak selalu berhasil dalam hidupnya. Seperti hasil penelitian Gardner, seorang professor pendidikan Harvard melakukan riset kecerdasan manusia, ia mematahkan mitos bahwa Intelligence Quotient (IQ) tetap, tidak berubah, jika seseorang terlahir dengan kondisi IQ sedang, maka IQ-nya tidak pernah bisa bertambah maupun berkurang. Artinya, jika seseorang terlahir dengan kecerdasan intelektual (IQ) yang cukup, akan sulit mendapatkan IQ yang superior (jenius), begitu pula sebaliknya. Tetapi, Emotional Quotient (EQ) dapat dikembangkan seumur hidup dengan belajar. Kecerdasan emosi merupakan kemampuan seseorang untuk memecahkan masalah dan menghasilkan produk dalam suatu setting yang bermacam-macam dalam situasi yang nyata. Menurut Iskandar Doktor Psikologi Pendidikan dari Universitas Kebangsaan Malaysia menyatakan bahwa pembelajaran di lembaga pendidikan sekolah dan perguruan tinggi kita selama ini cenderung menggunakan kemampuan metamatis-logis dan bahasa, (kecerdasan intelektual) akibatnya membunuh kemampuan lainnya (Rakhmat, 2009). Dengan munculnya teori kecerdasan emosi (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ), Dr. Iskandar berpendapat bahwa teori kecerdasan emosi (EQ) 15 dan kecerdasan spiritual (SQ) dapat diaplikasikan sebagai pendekatan pengajaran dan pembelajaran yang lebih memahami kemampuan intrapersonal dan interpersonal, pendidik dan peserta didik, kemampuan afektif peserta didik yang berbeda tidak bisa didekati dengan metode pembelajaran yang sama (Rakhmat, 2009). Sadar atau tidak sekolah-sekolah kita saat ini dari SD sampai Perguruan Tinggi, pada umumnya hanya mengembangkan kemampuan kognitif siswa saja (menulis, membaca, menghafal, menghitung dan menjawab) sesuai dengan instruksi guru atau dosen (tenaga pendidik), tanpa pernah memberi kesempatan siswa untuk berpikir, bekerja dan mengetahui pengalaman baru. Hal ini seolaholah masa depan anak-anak kita itu, sangat ditentukan oleh kemampuan kognitif atau kemampuan intelektual (IQ), hipotesis ini menjadi benar karena memang untuk masuk lembaga pendidikan yang bermutu, masa depannya ditentukan dengan waktu diruangan lebih kurang 3 jam, yaitu pada ujian masuk. Bagaimana tenaga pendidik (guru dan dosen) serta peserta didik (siswa dan mahasiswa) menyikapi fenomena pendidikan yang penuh dengan dikotomi antara idealisme pendidikan dengan kondisi riil yang terjadi di masyarakat? Menurut Iskandar, pendidik atau peserta didik hendaklah lebih kreatif dan inovatif dalam menggunakan instink dan talenta pendidik dan peserta didik. Bagaimana proses belajar mengajar yang mengantar masa depan anak-anak dalam konsep ujian-ujian itu tetap berjalan, tetapi proses pembelajaran dengan memberikan pengalaman hidup yang berhubungan dengan materi pembelajaran yang diajarkan tetap dikembangkan sehingga terintegrasi antara teori dan prakteknya. Melihat potensi intelektual dan kecerdasan emosi yang demikian besar, muncul pertanyaan, bagaimana pendidik dan peserta didik dapat mengembangkan pembelajaran berkualitas? Pertama, secara sederhana dapat dinyatakan, bahwa untuk mengembangkan IQ pendidik dan peserta didik, perlu mengadakan percepatan pembelajaran (accelerated learning). Dalam percepatan belajar kita akan belajar bagaimana cara belajar (learn how to learn). Termasuk dalam kategori ini adalah kemampuan matematis dan linguistik (membaca cepat, menghafal cepat, mencatat efektif, berfikir kreatif, berhitung cepat). Kedua, untuk mengembangkan EQ pendidik dan peserta didik dalam pembelajaran perlu menyadari dan meyakini bahwa emosi itu adalah benar-benar ada dan riil serta dapat mengelola emosi menjadi kekuatan untuk mencapai prestasi (kemampuan intrapersonal dan interpersonal). Mengamati perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi masa sekarang dan kedepan, maka dunia pendidikan kita harus mampu menerapkan model pembelajaran yang berbasis kecerdasan intelektual, kecerdasan emosi, kecerdasan spiritual (IESQ). Kecerdasan yang memahami kebenaran dalam setiap situasi, yaitu memiliki kecerdasan intelektual (IQ) yang tinggi, 16 kecerdasan emosi (EQ) yang dewasa, kecerdasan spiritual (SQ) yang mantap untuk pencapaian yang cerdas dan praktis. Dalam implementasi proses pengajaran dan pembelajaran dituntut sikap kritis, kreatif, dan inovatif, para pendidik dan peserta didik dalam upaya mengubah model pengajaran dan pembelajaran mereka, bukan sesuai dengan kecerdasan pendidik melainkan sesuai dengan kecerdasan peserta didik, maknanya seorang pendidik hendaklah mampu mengkomunikasikan materi pembelajaran sesuai dengan kemampuan peserta didik. Tidak kalah menariknya adalah perlunya konsep spiritual sebagai penunjang kesuksesan. Konsep inteligensi spiritual ini tidak hanya mencakup hubungan vertical dengan Tuhan saja tetapi juga hubungan horisontal terhadap sesama makhluk Tuhan, jika dinyatakan sebagai SQ, tentu ini harus dioperasionalisasikan menjadi alat ukur. Tapi hasil pengukuran ini harus di apresiasikan secara hati-hati, karena sifatnya sangatlah subyektif, dan agak sulit diperbandingkan seperti layaknya satuan ukur yang lain. Relevansinya dengan dunia pendidikan? Dunia pendidikan sedang menggalakkan peningkatan profesionalisme guru, dosen (pendidik) untuk meningkatkan kualitas hasil pendidikan. Diharapkan dengan didudukkan para guru guru dan dosen (pendidik) dengan “inteligensi, emosi dan spiritual” yang tinggi dan stabil, akan lebih “sukses” dalam mengelola kegiatan pembelajaran. Organisasi pendidikan adalah sistem yang terbuka dalam arti sangat dipengaruhi oleh lingkungan tempatnya berada. Ketika lingkungan makin menyadari betapa faktor-faktor etika harus menjadi perhatian disamping tujuannya sebagai mencetak SDM, maka organisasi pun harus beradaptasi. Sementara sekolah dan perguruan tinggi merupakan tempat para siswa dan mahasiswa (peserta didik) melaksanakan kegiatan proses pembelajaran, yang dapat melahirkan dan menghasilkan SDM yang berkualitas (Djaali, 2008). IV. KESIMPULAN Berdasarkan pokok bahasan dan pembahasan di atas maka dapat diambil beberapa kesimpulan, sebagai berikut: 1. Macam-macam kecerdasan yang dimiliki manusia antara lain yaitu kecerdasan Intelektual/ Intelligence Quotient (IQ), kecerdasan emosi/ Emotional Quotient (EQ), kecerdasan spiritual/ Spiritual Quotient (SQ). IQ merupakan kecerdasan dasar yang berhubungan dengan proses kognitif, pembelajaran (kecerdasan intelektual) cenderung menggunakan kemampuan matematis-logis dan bahasa, pada umumnya hanya mengembangkan kemampuan kognitif (menulis, membaca, menghafal, menghitung dan menjawab). Sesuai dengan berjalannya zaman, manusia mulai menyadari bahwa faktor emosi juga tidak kalah pentingnya dalam mendukung sebuah kesuksesan, bahkan dipandang lebih 17 penting dari pada inteligensi. Kecerdasan ini dipopulerkan oleh Daniel Goleman pada pertengahan 1990-an. 2. Kecerdasan spiritual (SQ) adalah sebagai pelengkap yang memadukan antara kecerdasan intelektual dan emosional menjadi syarat penting agar manusia dapat lebih memaknai hidup dan menjalani hidup penuh berkah. 3. Ketiga kemampuan tersebut sangat membantu seseorang dalam meningkatkan kualitas diri, mengabaikan salah satu kemampuan tersebut mengakibatkan banyak individu dililit masalah secara pribadi maupun sosial masyarakat. 4. Mengamati perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi masa sekarang dan kedepan, maka dunia pendidikan kita juga harus mampu menerapkan model pembelajaran yang berbasis kecerdasan intelektual, kecerdasan emosi, kecerdasan spiritual (IESQ). Kecerdasan yang memahami kebenaran dalam setiap situasi, yaitu memiliki kecerdasan intelektual (IQ) yang tinggi, kecerdasan emosi (EQ) yang dewasa, kecerdasan spiritual (SQ) yang mantap untuk pencapaian yang cerdas dan praktis. V. PENUTUP Demikianlah makalah yang dapat Kami susun. Kami sadar makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat Kami harapkan demi perbaikan makalah selanjutnya. Kami minta maaf apabila ada kesalahan dalam penulisan dan isi makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Amin. 18 DAFTAR PUSTAKA Adwidol, 2007. Psikologi kepribadian Timur/ Behavior Stimulus. Universitas Muhammadiyah Malang, Malang. Agustian, Ary Ginanjar. (2005). ESQ Power. PT. ARGA, Jakarta. Atkurison, Rita L., dan Taufiq, Nurdjanah, 1987. Pengantar Psikologi. PT. Erlangga, Jakarta. Covey, Stephen R., 1997. Kepemimpinan Yang Berprinsip/ Alih Bahsa: Yulius Sanjaya. Bina Rupa Aksara, Jakarta. Departemen Agama RI, 2001. Al-Qur’an dan Terjemahnya (Transliterasi ArabLatin) Model Perbaris. CV. Asy-Syifa’, Semarang. Djaali, 2008. Psikologi Pendidikan. PT. Bumi Aksara, Jakarta. Campbell, Linda, Campbell, Bruce and Dickinson, Dee, 2002. Multiple Intellegences/ Metode Terbaru Melesatkan Kecerdasan, Penerjemah: Tim Inisiasi: Suryadi Nomi, Amir Kumadin. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Gardner, Howard. 2003, Multiple intelligences, Kecerdasan Majemuk, Teori dan Praktek (Berisi wawancara-wawancara dengan Howard Gardner), Interaksara, Jakarta. Dikutip dari makalah Muhammad Alwi, “Multiple Intelligences; Kecerdasan Menurut Howard Gardner & Implementasinya (Strategi Pengajaran Dikelas)”. Goleman, Daniel, 1999. Kecerdasan Emosi unuk Mencapai Puncak Prestasi/ Daniel Goleman: Alih Bahasa, Alex Kantjono Widodo. Inisiasi Press, Jakarta. Iskandar, 2009. Psikologi Pendidikan (Sebuah Orientasi Baru). Gaung Persada (GP) Press, Jakarta. Munandir, 2001. Ensiklopedia Pendidikan. Um Press, Malang. Rakhmat, Jalaludin, 2009. Psikologi Komunikasi. PT. Remaja Rosdakarya, Bandung. M. Moeliono, Anton, dkk., 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka, Jakarta. Mustaqim, 2008. Psikologi Pendidikan. Pustaka Belajar, Yogyakarta. Sudrajat, Akhmad. 2009. Psikologi Pendidikan. PE-AP Press, Kuningan. Syaodih Sukmadinata, Nana, 2009. Landasan Psikologi Proses Pendidikan. PT. Remaja Rosdakarya, Bandung. Yantarto, Kifud, 2003. Psikologi Kepribadian Timur. Pustaka Belajar, Yogyakarta. 19