- Google Sites

advertisement
Spiritual Quotient (SQ) dan Multiple Intelegencies Serta Penerapannya dalam
Pembelajaran (Memahami Dimensi Kecerdasan Manusia yang
Multidimensional)
I. PENDAHULUAN
Kecerdasan yang dimiliki manusia merupakan salah satu potensi yang
dianugerahkan oleh Allah SWT, yang menjadikannya sebagai salah satu kelebihan
manusia dibandingkan dengan makhluk lainnya. Dengan kecerdasannya, manusia
dapat terus menerus mempertahankan dan meningkatkan kualitas hidupnya yang
semakin kompleks, melalui proses berpikir dan belajar secara terus menerus.
Dalam hal ini, sudah sepantasnya manusia bersyukur, meski secara fisik tidak
begitu besar dan kuat, namun berkat kecerdasan yang dimilikinya hingga saat ini
manusia ternyata masih dapat mempertahankan kelangsungan peradaban hidupnya.
Salah satu pengertian kecerdasan yang paling banyak digunakan adalah yang
dikemukakan oleh Wechsler. Ia menganggap kecerdasan adalah konsep generik yang
melibatkan kemampuan individual untuk berbuat dengan tujuan tertentu. Sementara
itu menurut Chaplin (1975) memberikan pengertian kecerdasan sebagai kemampuan
menghadapi dan menyesuaikan diri terhadap situasi baru secara cepat dan efektif.
Kemudian Anita E. Woolfolk (1975) mengemukakan bahwa menurut teori lama,
kecerdasan meliputi tiga pengertian, yaitu : (1) kemampuan untuk belajar; (2)
keseluruhan pengetahuan yang diperoleh; dan (3) kemampuan untuk beradaptasi
dengan situasi baru atau lingkungan pada umumya (Sudrajat, 2009).
Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuanm dan teknologi dewasa ini,
orang tidak hanya berbicara tentang Kecerdasan Umum, Kecerdasan Intelektual (IQ)
saja, melainkan juga Kecerdasan Emosi (EQ) dan Kecerdasan Spiritual (SQ). Setiap
kecerdasan ini memiliki wilayahnya sendiri-sendiri di otak. Sesuai dengan fitrah,
kecerdasan sudah ada sejak manusia dilahirkan, tetapi yang mewarnai selanjutnya
adalah keluarga dan lingkungannya (Syaodih Sukmadinata, Nana, 2009).
Howard Gardner, seorang ilmuwan yang mengkhususkan diri pada kajian
kajian sistematis pemikiran artistik dan kreativitas dalam seni, serta humanistik dan
disiplin ilmu, baik di tingkat individu dan kelembagaan, mengemukakan teori
kecerdesan; “Kecerdasan merupakan kemampuan untuk menangkap situasi baru
serta kemampuan untuk belajar dari pengalaman masa lalu seseorang. Kecerdasan
bergantung pada konteks, tugas serta tuntutan yang diajukan oleh kehidupan kita,
dan bukan tergantung pada nila IQ, gelar perguruan tinggi atau reputasi bergengsi”
(Gardner, 2003).
Dalam kehidupan sehari-hari, seringkali dijumpai orang yang sebenarnya
memiliki kemampuan intelektual luar biasa namun gagal karena rendahnya
kecerdasan emosi yang dimiliki. Sebaliknya, sering juga dijumpai orang yang
memiliki kemampuan intelektual biasa saja namun ternyata sukses dalam pekerjaan
ataupun dalam hubungan masyarakat. Dua keadaan tersebut tampaknya perlu
1
dijadikan bahan renungan tentang cara kita “membaca” kecerdasan. Hal ini menjadi
penting karena selama ini sistem pendidikan yang ada terlalu menekankan pentingnya
nilai akademik, kecerdasan otak (IQ) saja. Indikatornya adalah dalam mekanisme
pelaksanaan ujian, baik nasional maupun institusional, tolok ukurnya adalah
penguasaan peserta didik terhadap materi pelajaran yang bersifat remembering dan
recalling (Mustaqim, 2008).
Oleh karena itu, makalah ini akan membahas tentang spiritual quotient (SQ)
dan multiple intelegencies serta penerapannya dalam pembelajaran.
II. POKOK BAHASAN
Berkaitan dengan judul dalam makalah ini, maka pokok bahasan yang dapat
diambil meliputi:
A. Pemahaman tentang SQ (Spiritual Quotient)
B. Pemahaman tentang macam-Macam Kecerdasan Manusia (Multiple
Intelegencies)
C. Pemahaman tentang Urgensi IQ, EQ, dan SQ dalam Proses Pendidikan
III. PEMBAHASAN
Berkaitan dengan pokok bahasan di atas, maka dalam pembahasan pada
makalah ini terdidiri dari; pengertian SQ (spiritual quotient), macam-macam
kecerdasan manusia (multiple intelegencies) dan memahami urgensi IQ, EQ, dan
SQ dalam proses pendidikan, yang diuraikan sebagai berikut:
A. Pemahaman tentang SQ (Spiritual Quotient)
1. Pengertian SQ
Sebelum membahas lebih jauh tentang Spiritual Quotient (yang
kemudian disingkat menjadi SQ), maka sebagai langkah awal, akan
dipaparkan pandangan beberapa tokoh dalam bidang ini.
Penemu SQ adalah seorang ahli yang bernama Danah Zohar dan Ian
Marshall, yang mendefinisikan SQ sebagai berikut (Gardner, 2003):
a. Suatu keperluan penting yang dimiliki oleh para hambat Tuhan untuk
dapat berhubungan dengan Tuhannya
b. Kemampuan untuk menghidupkan kebenaran yang paling dalam yaitu
mewujudkan hal yang terbaik, utuh dan paling manusiawi dari dalam
batin
c. Merupakan gagasan, energi, nilai, visi, dorongan dan arah panggilan
hidup bersama cinta
d. SQ adalah bukti ilmiah, ini nyata ketika kami merasakan keamanan
(Secure), kedamaian (peace), penuh cinta (love) dan bahagia (happy),
ketika dibedakan dalam suatu kondisi yang dirasakan tidak aman, tidak
bahagia dan tidak cinta (Paul Edwards)
2
e. SQ adalah pencarian manusia akan makna hidup dan merupakan motivasi
utama dalam hidupnya. Kearifan spiritual adalah sikap hidup arif dan
bijak secara spiritual yang cenderung mengisi lembaran hidup kita
menjadi lebih bermakna dan bijak, bisa menyikapi segala sesuatu secara
lebih jernih dan benar sesuai hati nuraninya, itulah kecerdasan spiritual
(Viktor Frank-Psikolog)
f. SQ akan membimbing manusia dalam merencanakan sesuatu yang
menjadi tujuan hidupnya, yaitu hidup yang penuh kedamaian secara
spiritual. Mendidik hati menjadi benar
Sementara menurut beberapa pakar lain, SQ menurut Munandir
(2001: 122) adalah sebuah istilah yang tersusun dalam dua kata yaitu
“kecerdasan” dan “spiritual”. Kecerdasan adalah kemampuan seseorang
untuk memecahkan masalah yang dihadapinya, terutama masalah yang
menuntut kemampuan fikiran. Berbagai batasan-batasan yang dikemukakan
oleh para ahli didasarkan pada teorinya masing-masing. Selanjutnya
Munandir menyebutkan bahwa Intelegence dapat pula diartikan sebagai
kemampuan yang berhubungan dengan abstraksi-abstraksi, kemampuan
mempelajari sesuatu, kemampuan menangani situasi-situasi baru.
Mimi Doe & Marsha Walch mengungkapkan bahwa spiritual adalah
dasar bagi tumbuhnya harga diri, nilai-nilai, moral, dan rasa memiliki. Ia
memberi arah dan arti bagi kehidupan kita tentang kepercayaan mengenai
adanya kekuatan non-fisik yang lebih besar dari pada kekuatan diri kita;
Suatu kesadaran yang menghubungkan kita langsung dengan Tuhan, atau
apa pun yang kita namakan sebagai sumber keberadaan kita. Spiritual juga
berarti kejiwaan, rohani, batin, mental, moral (Gardner, 2003).
Jadi berdasarkan arti dari dua kata tersebut kecerdasan spiritual
dapat diartikan sebagai kemampuan seseorang untuk menghadapi dan
memecahkan masalah yang berhubungan dengan nilai, batin, dan kejiwaan.
Kecerdasan ini terutama berkaitan dengan abstraksi pada suatu hal di luar
kekuatan manusia yaitu kekuatan penggerak kehidupan dan semesta.
Menurut Tony Buzan kecerdasan spiritual adalah yang berkaitan
dengan menjadi bagian dari rancangan segala sesuatu yang lebih besar,
meliputi “melihat suatu gambaran secara menyeluruh”. Sementara itu,
kecerdasan spiritual menurut Stephen R. Covey (1997) adalah pusat paling
mendasar di antara kecerdasan yang lain, karena dia menjadi sumber
bimbingan bagi kecerdasan lainnya. Kecerdasan spiritual mewakili
kerinduan akan makna dan hubungan dengan yang tak terbatas.
2. Prinsip Kecerdasan Spiritual
Agustian (2005) dalam bukunya menuliskan adanya 6 prinsip dalam
kecerdasan spiritual berdasarkan rukun iman, yaitu :
3
a. Prinsip bintang (star principle), berdasarkan iman kepada Allah SWT.
Yaitu kepercayaan atau keimanan kepada Allah SWT. Semua tindakan
hanya untuk Allah, tidak mengharap pamrih dari orang lain dan
melakukannya sendiri.
b. Prinsip malaikat (angel principle), berdasarkan iman kepada Malaikat.
Semua tugas dilakukan dengan disiplin dan sebaik-baiknya sesuai dengan
sifat malaikat yang dipercaya oleh Allah untuk menjalankan segala
perintah-Nya.
c. Prinsip kepemimpinan (leadership principle), berdasarkan iman kepada
rasul. Seorang pemimpin harus memiliki prinsip yang teguh, agar mampu
menjadi pemimpin yang sejati. Seperti halnya Rasullullah SAW, seorang
pemimpin sejati yang dihormati oleh semua orang.
d. Prinsip pembelajaran (learning principle), berdasarkan iman kepada kitab.
Suka membaca dan belajar untuk menambah pengetahuan dan mencari
kebenaran yang hakiki. Berpikir kritis terhadap segala hal dan menjadikan
Al-Qur’an sebagai pedoman dalam bertindak.
e. Prinsip masa depan (vision principle), berdasarkan iman kepada hari akhir.
Berorientasi terhadap tujuan, baik jangka pendek, jangka menengah
maupun jangka panjang. Semua itu karena keyakinan akan adanya hari
kemudian dimana setiap individu akan mendapat balasan terhadap setiap
tindakan yang dilakukan.
f. Prinsip keteraturan (well organized principle) berdasarkan iman kepada
Qodlo dan Qodar. Setiap keberhasilan dan kegagalan, semua merupakan
takdir yang telah ditentukan oleh Allah. Hendaknya berusaha dengan
sungguh-sungguh dan berdoa kepada Allah swt.
3. Ciri-Ciri Kecerdasan Spiritual
Berdasarkan teori Zohar dan Marshall (2001) dan Sinetar (2001),
ciri-ciri kecerdasan spiritual adalah sebagai berikut (Gardner, 2003):
a. Mempunyai kesadaran diri. Adanya tingkat kesadaran yang tinggi dan
mendalam sehingga bisa menyadari antuasi yang datang dan
menanggapinya.
b. Mempunyai visi. Ada pemahaman tentang tujuan hidupnya, mempunyai
kualitas hidup yang diilhami oleh visi dan nilai-nilai.
c. Fleksibel. Mampu bersikap fleksibel, menyesuaikan diri secara spontan
dan aktif untuk mencapai hasil yang baik, mempunyai pandangan yang
pragmatis (sesuai kegunaan) dan efisien tentang realitas.
d. Berpandangan holistik. Melihat bahwa diri sendiri dan orang lain saling
terkait dan bisa melihat keterkaitan antara berbagai hal. Dapat
memandang kehidupan yang lebih besar sehingga mampu menghadapi
dan memanfaatkan serta melampaui, kesengsaraan dan rasa sehat serta
memandangnya sebagai suatu visi dan mencari makna dibaliknya.
4
e. Melakukan
perubahan.
Terbuka
terhadap
perbedaan,
memiliki
kemudahan untuk bekerja melawan konvensi dan status quo, menjadi
orang yang bebas merdeka.
f. Sumber inspirasi. Mampu menjadi sumber inspirasi bagi orang lain,
mempunyai gagasan-gagasan yang segar dan aneh.
g. Refleksi diri, mempunyai kecenderungan apakah yang mendasar dan
pokok.
4. Faktor-Faktor yang Mendukung Kecerdasan Spiritual
Menurut Sinetar (Atkurison, 1987) otoritas intuitif, yaitu kejujuran,
keadilan, kesamaan perlakuan terhadap semua orang, mampunyai faktor
yang mendorong kecerdasan spiritual. Suatu dorongan yang disertai oleh
pandangan luas tentang tuntutan hidup dan komitmen untuk memenuhinya.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan spiritual menurut
Agustian (2005) adalah inner value (nilai-nilai spiritual dari dalam) yang
berasal dari dalam diri (suara hati), seperti transparency (keterbukaan),
responsibilities (tanggung jawab), accountabilities (kepercayaan), fairness
(keadilan) dan social wareness (kepedulian sosial). Faktor kedua adalah
drive yaitu dorongan dan usaha untuk mencapai kebenaran dan
kebahagiaan.
Zohar dan Marshall (2001) mengungkapkan ada beberapa faktor
yang mempengaruhi kecerdasan spiritual yaitu (Gardner, 2003):
a. Sel Saraf Otak
Otak menjadi jembatan antara kehidupan bathin dan lahiriah kita.
Ia mampu menjalankan semua ini karena bersifat kompleks, luwes,
adaptif dan mampu mengorganisasikan diri. Menurut penelitian yang
dilakukan pada era 1990-an dengan menggunakan WEG (Magneto –
Encephalo – Graphy) membuktikan bahwa osilasi sel saraf otak pada
rentang 40 Hz merupakan basis bagi kecerdasan spiritual.
b. Titik Tuhan (God Spot)
Dalam peneltian Rama Chandra menemukan adanya bagian
dalam otak, yaitu lobus temporal yang meningkat ketika pengalaman
religius atau spiritual berlangsung. Dia menyebutnya sebagai titik Tuhan
atau God Spot. Titik Tuhan memainkan peran biologis yang menentukan
dalam pengalaman spiritual. Namun demikian, titik Tuhan bukan
merupakan syarat mutlak dalam kecerdasan spiritual. Perlu adanya
integrasi antara seluruh bagian otak, seluruh aspek dari dan seluruh segi
kehidupan.
5. Aspek-Aspek Dalam Kecerdasan Spiritual
Sinetar (Atkurison, 1987) menuliskan beberapa aspek dalam
kecerdasan spiritual, yaitu :
5
a. Kemampuan seni untuk memilih, kemampuan untuk memilih dan menata
hingga ke bagian-bagian terkecil ekspresi hidupnya berdasarkan suatu
visi batin yang tetap dan kuat yang memungkinkan hidup
mengorganisasikan bakat.
b. Kemampuan seni untuk melindungi diri. Individu mempelajari keadaan
dirinya, baik bakat maupun keterbatasannya untuk menciptakan dan
menata pilihan terbaiknya.
c. Kedewasaaan yang diperlihatkan. Kedewasaan berarti kita tidak
menyembunyikan kekuatan-kekuatan kita dan ketakutan dan sebagai
konsekuensinya memilih untuk menghindari kemampuan terbaik kita.
d. Kemampuan mengikuti cinta. Memilih antara harapan-harapan orang lain
di mata kita penting atau kita cintai.
e. Disiplin-disiplin pengorbanan diri. Mau berkorban untuk orang lain,
pemaaf tidak prasangka mudah untuk memberi kepada orang lain dan
selalu ingin membuat orang lain bahagia.
Menurut Buzan (Adwidol, 2007) ada sepuluh aspek-aspek
dalam kecerdasan spiritual yaitu mendapatkan gambaran menyeluruh
tentang jagad raya, menggali nilai-nilai, visi dan panggilan hidup, belas
kasih, memberi dan menerima, kekuatan tawa, menjadi kanak-kanak
kembali, kekuatan ritual, ketentraman, dan cinta.
Selain dari hal di atas, menurut Robbins & Judge dalam bukunya
yang berjudul Organizational Behavior (Adwidol, 2007) menyebutkan
budaya spiritualitas yang perlu dibentuk adalah:
a. Strong Sense of Purpose.Meskipun pencapaian keuntungan itu penting,
tetapi hal itu tidak menjadi nilai utama dari suatu organisasi dengan
budaya spiritual. Karyawan membutuhkan adanya tujuan perusahaan
yang lebih bernilai, yang biasanya dinyatakan dalam bentuk visi dan misi
organisasi.
b. Trust and Respect.Organisasi dengan budaya spiritual senantiasa
memastikan terciptanya kondisi saling percaya, adanya keterbukaan dan
kejujuran. Salah satunya dalam bentuk manajer dan karyawan tidak takut
untuk melakukan dan mengakui kesalahan.
c. Humanistic Work Practices. Jam kerja yang fleksibel, penghargaan
berdasarkan kerja tim, mempersempit perbedaan status dan imbal jasa,
adanya jaminan terhadap hak-hak individu pekerja, kemampuan
karyawan, dan keamanan kerja merupakan bentuk-bentuk praktik
manajemen sumber daya manusia yang bersifat spiritual.
d. Toleration of Employee Expression. Organisasi dengan budaya spiritual
memiliki toleransi yang tinggi terhadap bentuk-bentuk ekspresi emosi
karyawan. Humor, spontanitas, keceriaan di tempat kerja tidak dibatasi.
Saat ini sudah cukup banyak perusahaan yang menerapkan budaya
spiritualitas di tempat kerja.
6
B. Macam-Macam Kecerdasan Manusia (Multiple Intelegencies)
Kita telah mengenal berbagai kecerdasan manusia diantaranya IQ, EQ,
SQ, dan Multiple Intelligence.
1. Kecerdasan Intelektual [Intelligence Quotient (IQ)]
Kecerdasan Intelektual/ Intelligence Quotient (IQ) merupakan
kecerdasan dasar yang berhubungan dengan proses kognitif, pembelajaran
(kecerdasan intelektual) cenderung menggunakan kemampuan matematislogis dan bahasa, pada umumnya hanya mengembangkan kemampuan
kognitif (menulis, membaca, menghafal, menghitung dan menjawab).
Kecerdasan ini dikenal dengan kecerdasan rasional karena menggunakan
potensi rasio dalam memecahkan masalah, penilaian kecerdasan dapat
dilakukan melalui tes atau ujian daya ingat, daya nalar, penguasaan kosa
kata, ketepatan menghitung, mudah menganalisis data. Dengan ujian seperti
dapat dilihat tingkat kecerdasan intelektual seseorang.
Kecerdasan intelektual muncul sejak dalam kehidupan keluarga dan
masyarakat, sejak anak di dalam kandungan (masa pranata) sampai tumbuh
menjadi dewasa. Kecerdasan intelektual (inteligensi) merupakan aspek
psikologis yang dapat mempengaruhi kuantitas dan kualitas seseorang
dalam perolehan pembelajaran.
Kecerdasan intelektual (IQ) pada umumnya dapat diartikan sebagai
kemampuan psiko-fisik untuk mereaksi rangsangan atau diri dengan
lingkungan dengan cara yang tepat (Campbell, 2002).
Semenjak zaman pencerahan yang mengagungkan kemajuan ilmu
pengetahuan sebagai lambang kemajuan peradaban, intilegensi naik daun
dan dianggap sebagai prediktor utama kesuksesan, bahkan mungkin satusatunya. Sehingga salah kaprah terhadap konsep IQ dan terjadi
pemberhalaan IQ. Sering terjadi pertukaran konsep dikalangan awam antara
inteligensi (intelligence) dan IQ.
Inteligensi adalah sebuah konsep, yang dioperasionalisasikan dengan
suatu alat ukur, dan keluaran dari alat ukur inilah yang berupa IQ. Angka
yang keluar adalah angka berdasarkan satuan tertentu. Semacam “gram”
untuk “berat”, dan “meter” untuk “jarak”. Konsep inilah yang harus
diluruskan agar tidak menimbulkan beragam penafsiran : IQ adalah satuan
ukur.
Untuk mengukur tingkat inteligensi anak, dapat digunakan tes IQ
(Intelligence Quotient) misalnya dari Binet Simon. Dari hasil tes Binet
Simon, dibuatlah penggolongan inteligensi sebagai berikut:
a. Genius > 140;
b. Gifted > 130;
c. Superior > 120;
d. Normal 90-110;
7
e. Debil 60-79;
f. Imbesil 40-55;
g. Idiot > 30. (Campbell, 2002).
Inteligensi orang satu dengan yang lain cenderung berbeda-beda. Hal
ini karena adanya beberapa faktor yang mempengaruhinya, antara lain:
a. Faktor pembawaan, dimana faktor ini ditentukan oleh sifat yang dibawa
sejak lahir.
b. Faktor minat dan pembawaan yang khas, dimana minat mengarahkan
perbuatan kepada suatu tujuan dan merupakan dorongan bagi perbuatan
itu.
c. Faktor pembentukan, dimana pembentukan adalah segala keadaan diluar
diri seseorang yang mempengaruhi perkembangan inteligensi.
d. Faktor kematangan, dimana tiap organ dalam tubuh manusia mengalami
pertumbuhan dan perkembangan. Setiap organ manusia baik fisik
maupun psikis, dapat dikatakan telah matang jika ia telah tumbuh atau
berkembang hingga mencapai kesanggupan menjalankan fungsinya
masing-masing.
e. Faktor kebebasan, yang berarti manusia dapat memilih metode tertentu
dalam memecahkan masalah yang dihadapi. Di samping kebebasan
memilih metode juga bebas memilih masalah yang sesuai dengan
kebutuhannya.
Kelima faktor itu saling terkait satu dengan yang lain. Jadi, untuk
menentukan kecerdasan seseorang, tidak dapat hanya berpedoman kepada
salah satu faktor tersebut (Iskandar, 2009).
2. Kecerdasan Emosi [Emotional Quotient (EQ)]
Sesuai dengan berjalannya zaman, manusia mulai menyadari bahwa
faktor emosi tidak kalah pentingnya dalam mendukung sebuah kesuksesan,
bahkan dipandang lebih penting dari pada inteligensi. Daniel Goleman telah
mempopulerkan pada pertengahan 1990-an. Seperti juga IQ, konsep
kecerdasan emosi ini dioperasionalisasikan menjadi alat ukur dan
keluarannya disebut EQ (Goleman, 1999).
Konsep ini muncul dari beberapa pengalaman, bahwa kecerdasan
intelektual yang tinggi saja tidak cukup untuk mengantarkan orang menuju
sukses. Menurut Goleman (1999) pengembangan kecerdasan emosional,
orang-orang sukses selain memiliki kecerdasan intelektual yang tinggi tetapi
juga memliki stabilitas, motivasi kerja yang tinggi, mampu mengendalikan
stres, tidak mudah putus asa, dan lain-lain. Pengalaman-pengalaman
demikian, memperkuat keyakinan bahwa disamping kecerdasan intelektual
juga ada kecerdasan emosional. Orang yang memiliki kecerdasan emosional
yang tinggi adalah mereka yang mampu mengendalikan diri
8
(mengendalikan gejolak emosi), mampu menerima kenyataan, dapat
merasakan kesenangan meskipun dalam kesulitan (Goleman, 1999).
Demikian pula penerapannya dalam kehidupan organisasi,
inteligensi tidak lagi dianggap satu-satunya faktor menentukan kinerja
seseorang. Dalam konsep kompetensi faktor-faktor seperti motivasi,
keterampilan interpersonal, dan kepemimpinan mendapat perhatian yang
cukup signifikan (Yantarto, 2003).
Tokoh-tokoh seperti Sternberg, Baron dan Salovey, menyebutkan
adanya lima domain kecerdasan pribadi dalam bentuk kecerdasan
emosional, yaitu (Campbell, 2002):
a. Kemampuan mengenali emosi diri
Kemampuan mengenali emosi diri merupakan kemampuan
seseorang dalam mengenali perasaannya sendiri sewaktu perasaan atau
emosi itu muncul. Ini sering dikatakan sebagai dasar dari kecerdasan
emosional. Seseorang yang mampu mengenali emosinya sendiri adalah
bila ia memiliki kepekaan yang tajam atas perasaan mereka yang
sesungguhnya dan kemudian mengambil keputusan-keputusan secara
mantap. Misalnya sikap yang diambil dalam menentukan berbagai
pilihan, seperti memilih sekolah, sahabat, pekerjaan sampai kepada
pemilihan pasangan hidup.
b. Kemampuan mengelola emosi
Kemampuan mengelola emosi merupakan kemampuan seseorang
untuk mengendalikan perasaannya sendiri sehingga tidak meledak dan
akhirnya dapat mempengaruhi perilakunya secara salah. Mungkin dapat
diibaratkan sebagai seorang pilot pesawat yang dapat membawa
pesawatnya ke suatu kota tujuan dan kemudian mendaratkannya secara
mulus. Misalnya seseorang yang sedang marah, maka kemarahan itu,
tetap dapat dikendalikan secara baik tanpa harus menimbulkan akibat
yang akhirnya disesalinya di kemudian hari.
c. Kemampuan memotivasi diri
Kemampuan memotivasi diri merupakan kemampuan untuk
memberikan semangat kepada diri sendiri untuk melakukan sesuatu
yang baik dan bermanfaat. Dalam hal ini terkandung adanya unsur
harapan optimisme yang tinggi, sehingga seseorang memiliki kekuatan
semangat untuk melakukan suatu aktivitas tertentu. Misalnya dalam hal
belajar, bekerja, menolong orang lain dan sebagainya.
d. Kemampuan mengenali emosi orang lain
Kemampuan mengenali emosi orang lain (empati) merupakan
kemampuan untuk mengerti perasaan dan kebutuhan orang lain,
sehingga orang lain akan merasa senang dan dimengerti perasaannya.
Anak-anak yang memiliki kemampuan ini, yaitu sering pula disebut
9
sebagai kemampuan berempati, mampu menangkap pesan non verbal
dari orang lain seperti nada bicara, gerak-gerik maupun ekspresi wajah
dari orang lain tersebut. Dengan demikian anak-anak ini akan cenderung
disukai orang.
e. Kemampuan membina hubungan sosial
Kemampuan membina hubungan sosial merupakan kemampuan
untuk mengelola emosi orang lain, sehingga tercipta keterampilan sosial
yang tinggi dan membuat pergaulan seseorang menjadi lebih luas. Anakanak dengan kemampuan ini cenderung mempunyai banyak teman,
pandai bergaul dan menjadi lebih populer.
Disini dapat kita simpulkan betapa pentingnya kecerdasan
emosional dikembangkan pada diri siswa (peserta didik). Karena betapa
banyak kita jumpai siswa (peserta didik), dimana mereka begitu cerdas
di sekolah, begitu cemerlang prestasi akademiknya, namun bila tidak
dapat mengelola emosinya, seperti mudah marah, mudah putus asa atau
angkuh dan sombong, maka prestasi tersebut tidak akan banyak
bermanfaat untuk dirinya. Ternyata kecerdasan emosional perlu lebih
dihargai dan dikembangkan pada peserta didik sedini mungkin dari
tingkat pendidikan usia dini sampai ke Perguruan Tinggi. Karena hal
inilah yang mendasari keterampilan seseorang di tengah masyararakat
kelak, sehingga akan membuat seluruh potensinya dapat berkembang
secara lebih optimal (Djaali, 2008).
Selain itu kecerdasan emosi berkaitan dengan pemahaman diri
dan orang lain, beradaptasi dan menghadapi lingkungan sekitar, dan
penyesuaian secara cepat agar lebih berhasil dalam mengatasi tuntutan
lingkungan.
3. Kecerdasan Spiritual [Spiritual Quotient (SQ)]
Kecerdasan spiritual (SQ) merupakan kemampuan individu terhadap
mengelola nilai-nilai, norma-norma dan kualitas kehidupan dengan
memanfaatkan kekuatan-kekuatan pikiran bawah sadar atau lebih dikenal
dengan suara hati (God Spot).
Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Hajj ayat 46, sebagai
berikut:
   
   
   











 
Artinya:
10
“Maka Apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka
mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau
mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar?
Karena Sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta,
ialah hati yang di dalam dada”. (Q.S. Al-Haj : 46) (Departemen
Agama RI, 2001).
Kecerdasan spiritual disini bermakna bahwa seseorang individu yang
memiliki rasa tanggung jawab kepada sang pencipta serta kemampuan
mengkhayati nilai-nilai agama. Keridlaan dapat diartikan sebagai
kemampuan seseorang untuk menerima dengan hati yang rela dengan
peraturan peraturan yang telah digariskan oleh agama. Tanggung jawab
kepada sang pencipta dapat membantu seseorang untuk terus belajar dan
bekerja keras tanpa rasa jenuh. Allah membimbing siapa saja yang ridla
kepada-Nya melalui jalan-jalan keselamatan dan membawa mereka dengan
izin-Nya keluar dari kegelapan menuju cahaya. Sebagaimana tujuan
diciptakannya manusia, dalam surat al-Maidah ayat 16:
    



  






 
Artinya:
“Dengan kitab Itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti
keridlaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah
mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang
terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan
yang lurus.” (Q.S. Al-Maidah :16) (Departemen Agama RI, 2001).
Kecerdasan spiritual (SQ) yang memadukan antara kecerdasan
intelektual dan emosional menjadi syarat penting agar manusia dapat lebih
memaknai hidup dan menjalani hidup penuh berkah. Terutama pada masa
sekarang, dimana manusia modern terkadang melupakan mata hati dalam
melihat segala sesuatu.
Manusia modern adalah manusia yang mempunyai kualitas
intelektual yang memadai, karena telah menempuh pendidikan yang
memadai pula. Salah satu ciri yang kental dalam diri manusia modern
adalah suka membaca. Hal ini sejalan dengan syariat Islam, dimana syariat
pertamanya adalah membaca. Namun, terkadang kualitas intelektual
tersebut tidak dibarengi dengan kualitas iman atau emosional yang baik,
sehingga berkah yang diharapkan setiap manusia dalam hidupnya tidak
dapat diperoleh.
11
K.H. Ali Yafie menyatakan, ibadah yang dijalankan oleh umat Islam
seharusnya bukan hanya merupakan suatu kewajiban, sehingga menjadi
beban. Akan tetapi ibadah hendaknya menjadi kebutuhan hidup yang
mutlak. Dengan menjadikan ibadah sebagai kebutuhan mutlak, tiap umat
Islam akan selalu rindu untuk menjalankan ibadah. Dengan kata lain, upaya
mi’raj atau mendekatkan diri kepada Allah SWT sebagai salah satu wujud
dari makna hidup manusia dapat diusahakan tanpa menjadikannya suatu
beban.
Sementara itu, Komaruddin Hidayat memaparkan beberapa ciri
manusia modern yang terjadi dalam dua kelompok besar, yaitu beragama
dan tidak beragama. Ciri-ciri tersebut adalah rasional, mengandalkan
kekuatan pribadi, selalu penuh dengan rencana dan kompetitif. Namun, ia
memberi penekanan bahwa manusia modern dalam Islam tidak boleh
melupakan mata hati dalam melihat segala sesuatu. Hal ini membutuhkan
kecerdasan spiritual, lanjutnya, sehingga hati dan nalar akan dapat bekerja
sama (Agustian, 2007).
Proses pembersihan diri dan upaya untuk menjernihkan hati, dengan
tujuan memunculkan kemampuan mendengar suara hati terdalam yang
merupakan sumber kebijaksanaan dan motivasi. Pengaktifan, pembangkitan
secara mental dan spiritual untuk memunculkan kemampuan dan potensi
yang tersembunyi, pengisian dengan sifat-sifat Allah yang agung dan indah,
memunculkan sifat-sifat yang baik, membangun citra positif yang
mempesonakan.
Pengembangan potensi diri adalah suatu metode untuk melepaskan,
mengarahkan, mengendalikan kekuatan pikiran bawah sadar (unconscious
mind), sehingga menjadi suatu langkah nyata dalam kehidupan sehari-hari,
sekaligus pola pengasahannya, melalui berbagai aplikasi dan keilmuan
canggih berdasar kekuatan do’a dan dzikir yang digali dari al-Qur’an dan
Hadits, menjadi modal dasar untuk pencapaian jalan keluar terbaik, untuk
mencapai kerukunan, untuk mencapai harkat kehidupan yang lebih tinggi
sepanjang perjalanan kehidupan. Bilamana setiap manusia bisa
mengendalikan emosinya, maka kehidupan akan menjadi lebih indah.
Untuk itu setiap manusia perlu mendapatkan suatu pelatihan dan
pemahaman tentang kecerdasan emosi (EQ) dengan semangat spiritual
(SQ), sehingga terjadi suatu perpaduan yang dahsyat untuk membangun
karakter manusia yang sempurna, baik di dunia, di masyarakat maupun di
mata Tuhan SWT.
Mampu memberi makna luhur terhadap pekerjaan dan tugas sehari
hari sehingga manusia akan merasakan makna kehidupan yang sangat indah
dan menyenangkan ketika sedang bertugas dan tetap tegar saat menghadapi
masalah yang berat sekalipun. Meningkatkan dan membangkitkan berbagai
12
kemampuan dan potensi untuk memunculkan kekuatan spiritual terdalam
(inner power) sehingga menjadi sumber kecerdasan spiritual dengan
kekuatan do’a dan dzikir agar manusia terangkat ke permukaan, lebih tinggi
dari sebelumnya.
Dalam al-Qur’an, selain mengajarkan tuntunan beribadah secara
sempurna terkandung juga suatu teknologi yang luar biasa untuk mencapai
suatu tujuan-tujuan tertentu dan berbagai keilmuan yang membutuhkan
pengkajian lebih dalam lagi untuk memahaminya dan menggunakannya
untuk kemajuan umat manusia.
Berbagai penelitian mengenai tubuh manusia bahkan membuat kita
lebih terpesona lagi akan kebesaran Allah SWT dalam menciptakan
manusia. Bagaimana ciptaan yang sempurna ini bekerja, berpikir, bergerak,
menganalisa, mengambil keputusan, memunculkan berbagai gagasan yang
indah dan hebat, hingga manusia ini bisa berhasil menjadi terkenal,
berkemampuan logik maupun spiritual, mempunyai emosi (IQ, EQ, SQ)
yang bila dipergunakan secara positif-konstruktif akan memberi suatu
hikmah pencapaian yang luar biasa.
4. Multiple Intelligence (Kecerdasan Ganda)
Akhir-akhir ini banyak dibahas konsep kecerdasan ganda (Multiple
Intelligence). Konsep ini berawal dari karya Horward Gardner (dalam buku
Frames of Mind, 2003), yang didasarkan atas hasil penelitiannya selama
beberapa tahun tentang kapasitas kognitif manusia (human cognitive
capacities).
Gardner menolak asumsi, bahwa kognisi manusia merupakan satu
kesatuan dan individu hanya mempunyai kecerdasan tunggal. Meskipun
sebagian besar individu menunjukkan penguasaan seluruh spectrum
kecerdasan, tiap individu memiliki tingkat penguasaan yang berbeda.
Individu memiliki beberapa kecerdasan, dan kecerdasan-kecerdasan itu
bergabung menjadi satu kesatuan membentuk kemampuan pribadi yang
cukup tinggi.
Menurutnya, dalam diri manusia terdapat banyak potensi yang
belum dikembangkan dan bahkan kadang-kadang potensi tersebut telah kita
kubur gara-gara kesibukan kita sehari-hari, seperti pekerjaan, mengurus
rumah tangga atau sekolah. Dalam penemuannya, setidaknya ada delapan
kecerdasan yang patut di perhitungkan secara sungguh-sungguh sebagai
sebuah kecerdasan juga. Delapan kecerdasan itu diantaranya sebagai
berikut:
a. Kecerdasan matematis-logis (logical-mathematical intelligence)
Kecerdasan matematis-logis merupakan kecakapan untuk menghitung,
mengkuantitatif,
merumuskan
13
proposisi
dan
hipotesis,
serta
memecahkan perhitungan-perhitungan matematis yang kompleks. Para
ilmuwan, ahli matematis, akuntan, insinyur, pemogram komputer adalah
orang-orang yang tinggi dalam kecerdasan logis matematisnya.
b. Kecerdasan bahasa (linguistic intelligence)
Kecerdasan bahasa merupakan kecakapan berfikir melalui kata-kata,
menggunakan bahasa untuk menyatakan dan memaknai arti yang
kompleks. Para penulis, ahli bahasa, sastrawan, jurnalis, adalah orangorang yang memiliki kecerdasan linguistik yang tinggi.
c. Kecerdasan visual (visual-spatial intelligence)
Kecerdasan visual merupakan kecakapan berpikir dalam ruang tiga
dimensi. Seorang yang memilik inteligensi visual-ruang yang tinggi
seperti pilot, nahkoda, astronot, pelukis, arsitek, perancang dan lain-lain.
Mampu menangkap bayangan ruang internal dan eksternal, untuk
penentuan arah dirinya atau benda yang dikendalikan, atau mengubah,
mengkreasi dan menciptakan karya-karya tiga dimensi nyata.
d. Kecerdasan kinestik atau gerakan fisik (kinesthetic intelligence)
Kecerdasan kinestetik atau gerakan fisik merupakan kecakapan
melakukan gerakan dan keterampilan kecekatan fisik seperti dalam olah
raga, atletik, menari, kerajinan tangan, bedah, dan lain-lain. Orang-orang
yang memiliki kecerdasan kinestetik yang tinggi adalah para
olahragawan, penari, pencipta tari, pengrajin profesional, dokter bedah,
dan lain-lain.
e. Kecerdasan musik (musical intelligence)
Kecerdasan musik merupakan kecakapan untuk menghasilkan dan
menghargai musik, sensitivitas terhadap melodi, ritme, nada, tangga
nada, menghargai bentuk-bentuk ekspresi musik. Komponis, dirigen,
musisi, kritikus, musik, pembuat instrumen musik, penyanyi, pengamat
music adalah orang-orang yang memiliki kecerdasan musik yang tinggi.
f. Kecerdasan hubungan sosial (interpersonal intelligence)
Kecerdasan hubungan sosial merupakan kecakapan memahami dan
merespon serta berinteraksi dengan orang lain dengan tepat, watak,
temperamen, motivasi dan kecenderungan terhadap orang lain. Orang
orang yang memiliki kecerdasan hubungan sosial di antaranya guru,
konselor, pekerja sosial, aktor, pimpinan masyarakat, politikus, dan lainlain. [15]
g. Kecerdasan kerohaniahan (intrapersonal intelligence)
Kecerdasan kerohaniahan merupakan kecakapan memahami kehidupan
emosional, membedakan emosi orang-orang, pengetahuan tentang
kekuatan dan kelemahan diri. Kecakapan membentuk persepsi yang
tepat terhadap orang, menggunakannya dalam merencanakan dan
14
mengarahkan kehidupan yang lain. Agamawan, psikolog, psikiater,
filosof, adalah mereka yang memiliki kecerdasan pribadi yang tinggi.
h. Kecerdasan naturalistik
Kecerdasan naturalistik merupakan kemampuan seorang siswa (peserta
didik), guru (pendidik) untuk peka terhadap lingkungan alam. Misalnya
senang berada di lingkungan yang terbuka seperti pantai, gunung, cagar
alam, hutan, dan sebagainya. Anak-anak dengan kecerdasan seperti ini
cenderung suka mengobservasi lingkungan alam seperti aneka macam
bebatuan, jenis-jenis lapisan tanah, aneka macam flora dan fauna,
benda-benda di angkasa, dan lain sebagainya (Djaali, 2008).
C. Urgensi IQ, EQ, dan SQ dalam Proses Pendidikan
Para ahli psikologi menyebutkan bahwa IQ hanya mempunyai peran
sekitar 20% dalam menentukan keberhasilan hidup, sedangkan 80% sisanya
ditentukan oleh faktor-faktor yang lain (Yantarto, 2003).
Manusia memiliki tiga kecerdasan yaitu kecerdasan intelektual (IQ),
kecerdasan emosi (EQ), dan kecerdasan spiritual (SQ). Ketiga-tiga kemampuan
sangat membantu seseorang dalam meningkatkan kualitas diri, mengabaikan
salah satu kemampuan tersebut mengakibatkan banyak individu dililit masalah
secara pribadi maupun sosial masyarakat. Selama ini masyarakat mempercayai
dan mengagung-agungkan secara dominan salah satu kecerdasan yaitu
kecerdasan intelektual (IQ).
IQ (Intelligence Quotient) yang tinggi tidak menjamin seseorang akan
meraih kesuksesan. Realitas menunjukkan bahwa banyak orang IQ-nya tinggi,
tetapi tidak selalu berhasil dalam hidupnya. Seperti hasil penelitian Gardner,
seorang professor pendidikan Harvard melakukan riset kecerdasan manusia, ia
mematahkan mitos bahwa Intelligence Quotient (IQ) tetap, tidak berubah, jika
seseorang terlahir dengan kondisi IQ sedang, maka IQ-nya tidak pernah bisa
bertambah maupun berkurang. Artinya, jika seseorang terlahir dengan
kecerdasan intelektual (IQ) yang cukup, akan sulit mendapatkan IQ yang
superior (jenius), begitu pula sebaliknya. Tetapi, Emotional Quotient (EQ)
dapat dikembangkan seumur hidup dengan belajar. Kecerdasan emosi
merupakan kemampuan seseorang untuk memecahkan masalah dan
menghasilkan produk dalam suatu setting yang bermacam-macam dalam situasi
yang nyata.
Menurut Iskandar Doktor Psikologi Pendidikan dari Universitas
Kebangsaan Malaysia menyatakan bahwa pembelajaran di lembaga pendidikan
sekolah dan perguruan tinggi kita selama ini cenderung menggunakan
kemampuan metamatis-logis dan bahasa, (kecerdasan intelektual) akibatnya
membunuh kemampuan lainnya (Rakhmat, 2009).
Dengan munculnya teori kecerdasan emosi (EQ) dan kecerdasan
spiritual (SQ), Dr. Iskandar berpendapat bahwa teori kecerdasan emosi (EQ)
15
dan kecerdasan spiritual (SQ) dapat diaplikasikan sebagai pendekatan
pengajaran dan pembelajaran yang lebih memahami kemampuan intrapersonal
dan interpersonal, pendidik dan peserta didik, kemampuan afektif peserta didik
yang berbeda tidak bisa didekati dengan metode pembelajaran yang sama
(Rakhmat, 2009).
Sadar atau tidak sekolah-sekolah kita saat ini dari SD sampai Perguruan
Tinggi, pada umumnya hanya mengembangkan kemampuan kognitif siswa saja
(menulis, membaca, menghafal, menghitung dan menjawab) sesuai dengan
instruksi guru atau dosen (tenaga pendidik), tanpa pernah memberi kesempatan
siswa untuk berpikir, bekerja dan mengetahui pengalaman baru. Hal ini seolaholah masa depan anak-anak kita itu, sangat ditentukan oleh kemampuan kognitif
atau kemampuan intelektual (IQ), hipotesis ini menjadi benar karena memang
untuk masuk lembaga pendidikan yang bermutu, masa depannya ditentukan
dengan waktu diruangan lebih kurang 3 jam, yaitu pada ujian masuk.
Bagaimana tenaga pendidik (guru dan dosen) serta peserta didik (siswa
dan mahasiswa) menyikapi fenomena pendidikan yang penuh dengan dikotomi
antara idealisme pendidikan dengan kondisi riil yang terjadi di masyarakat?
Menurut Iskandar, pendidik atau peserta didik hendaklah lebih kreatif dan
inovatif dalam menggunakan instink dan talenta pendidik dan peserta didik.
Bagaimana proses belajar mengajar yang mengantar masa depan anak-anak
dalam konsep ujian-ujian itu tetap berjalan, tetapi proses pembelajaran dengan
memberikan pengalaman hidup yang berhubungan dengan materi pembelajaran
yang diajarkan tetap dikembangkan sehingga terintegrasi antara teori dan
prakteknya.
Melihat potensi intelektual dan kecerdasan emosi yang demikian besar,
muncul pertanyaan, bagaimana pendidik dan peserta didik dapat
mengembangkan pembelajaran berkualitas? Pertama, secara sederhana dapat
dinyatakan, bahwa untuk mengembangkan IQ pendidik dan peserta didik, perlu
mengadakan percepatan pembelajaran (accelerated learning). Dalam
percepatan belajar kita akan belajar bagaimana cara belajar (learn how to
learn). Termasuk dalam kategori ini adalah kemampuan matematis dan
linguistik (membaca cepat, menghafal cepat, mencatat efektif, berfikir kreatif,
berhitung cepat). Kedua, untuk mengembangkan EQ pendidik dan peserta didik
dalam pembelajaran perlu menyadari dan meyakini bahwa emosi itu adalah
benar-benar ada dan riil serta dapat mengelola emosi menjadi kekuatan untuk
mencapai prestasi (kemampuan intrapersonal dan interpersonal).
Mengamati perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi masa
sekarang dan kedepan, maka dunia pendidikan kita harus mampu menerapkan
model pembelajaran yang berbasis kecerdasan intelektual, kecerdasan emosi,
kecerdasan spiritual (IESQ). Kecerdasan yang memahami kebenaran dalam
setiap situasi, yaitu memiliki kecerdasan intelektual (IQ) yang tinggi,
16
kecerdasan emosi (EQ) yang dewasa, kecerdasan spiritual (SQ) yang mantap
untuk pencapaian yang cerdas dan praktis.
Dalam implementasi proses pengajaran dan pembelajaran dituntut sikap
kritis, kreatif, dan inovatif, para pendidik dan peserta didik dalam upaya
mengubah model pengajaran dan pembelajaran mereka, bukan sesuai dengan
kecerdasan pendidik melainkan sesuai dengan kecerdasan peserta didik,
maknanya seorang pendidik hendaklah mampu mengkomunikasikan materi
pembelajaran sesuai dengan kemampuan peserta didik.
Tidak kalah menariknya adalah perlunya konsep spiritual sebagai
penunjang kesuksesan. Konsep inteligensi spiritual ini tidak hanya mencakup
hubungan vertical dengan Tuhan saja tetapi juga hubungan horisontal terhadap
sesama makhluk Tuhan, jika dinyatakan sebagai SQ, tentu ini harus
dioperasionalisasikan menjadi alat ukur. Tapi hasil pengukuran ini harus di
apresiasikan secara hati-hati, karena sifatnya sangatlah subyektif, dan agak sulit
diperbandingkan seperti layaknya satuan ukur yang lain.
Relevansinya dengan dunia pendidikan? Dunia pendidikan sedang
menggalakkan peningkatan profesionalisme guru, dosen (pendidik) untuk
meningkatkan kualitas hasil pendidikan. Diharapkan dengan didudukkan para
guru guru dan dosen (pendidik) dengan “inteligensi, emosi dan spiritual” yang
tinggi dan stabil, akan lebih “sukses” dalam mengelola kegiatan pembelajaran.
Organisasi pendidikan adalah sistem yang terbuka dalam arti sangat
dipengaruhi oleh lingkungan tempatnya berada. Ketika lingkungan makin
menyadari betapa faktor-faktor etika harus menjadi perhatian disamping
tujuannya sebagai mencetak SDM, maka organisasi pun harus beradaptasi.
Sementara sekolah dan perguruan tinggi merupakan tempat para siswa
dan mahasiswa (peserta didik) melaksanakan kegiatan proses pembelajaran,
yang dapat melahirkan dan menghasilkan SDM yang berkualitas (Djaali, 2008).
IV. KESIMPULAN
Berdasarkan pokok bahasan dan pembahasan di atas maka dapat diambil
beberapa kesimpulan, sebagai berikut:
1. Macam-macam kecerdasan yang dimiliki manusia antara lain yaitu kecerdasan
Intelektual/ Intelligence Quotient (IQ), kecerdasan emosi/ Emotional Quotient
(EQ), kecerdasan spiritual/ Spiritual Quotient (SQ). IQ merupakan kecerdasan
dasar yang berhubungan dengan proses kognitif, pembelajaran (kecerdasan
intelektual) cenderung menggunakan kemampuan matematis-logis dan bahasa,
pada umumnya hanya mengembangkan kemampuan kognitif (menulis,
membaca, menghafal, menghitung dan menjawab). Sesuai dengan berjalannya
zaman, manusia mulai menyadari bahwa faktor emosi juga tidak kalah
pentingnya dalam mendukung sebuah kesuksesan, bahkan dipandang lebih
17
penting dari pada inteligensi. Kecerdasan ini dipopulerkan oleh Daniel Goleman
pada pertengahan 1990-an.
2. Kecerdasan spiritual (SQ) adalah sebagai pelengkap yang memadukan antara
kecerdasan intelektual dan emosional menjadi syarat penting agar manusia
dapat lebih memaknai hidup dan menjalani hidup penuh berkah.
3. Ketiga kemampuan tersebut sangat membantu seseorang dalam meningkatkan
kualitas diri, mengabaikan salah satu kemampuan tersebut mengakibatkan
banyak individu dililit masalah secara pribadi maupun sosial masyarakat.
4. Mengamati perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi masa sekarang dan
kedepan, maka dunia pendidikan kita juga harus mampu menerapkan model
pembelajaran yang berbasis kecerdasan intelektual, kecerdasan emosi,
kecerdasan spiritual (IESQ). Kecerdasan yang memahami kebenaran dalam
setiap situasi, yaitu memiliki kecerdasan intelektual (IQ) yang tinggi,
kecerdasan emosi (EQ) yang dewasa, kecerdasan spiritual (SQ) yang mantap
untuk pencapaian yang cerdas dan praktis.
V. PENUTUP
Demikianlah makalah yang dapat Kami susun. Kami sadar makalah ini
masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun
sangat Kami harapkan demi perbaikan makalah selanjutnya. Kami minta maaf
apabila ada kesalahan dalam penulisan dan isi makalah ini. Semoga makalah ini
bermanfaat bagi kita semua. Amin.
18
DAFTAR PUSTAKA
Adwidol, 2007. Psikologi kepribadian Timur/ Behavior Stimulus. Universitas
Muhammadiyah Malang, Malang.
Agustian, Ary Ginanjar. (2005). ESQ Power. PT. ARGA, Jakarta.
Atkurison, Rita L., dan Taufiq, Nurdjanah, 1987. Pengantar Psikologi. PT. Erlangga,
Jakarta.
Covey, Stephen R., 1997. Kepemimpinan Yang Berprinsip/ Alih Bahsa: Yulius
Sanjaya. Bina Rupa Aksara, Jakarta.
Departemen Agama RI, 2001. Al-Qur’an dan Terjemahnya (Transliterasi ArabLatin) Model Perbaris. CV. Asy-Syifa’, Semarang.
Djaali, 2008. Psikologi Pendidikan. PT. Bumi Aksara, Jakarta.
Campbell, Linda, Campbell, Bruce and Dickinson, Dee, 2002. Multiple Intellegences/
Metode Terbaru Melesatkan Kecerdasan, Penerjemah: Tim Inisiasi:
Suryadi Nomi, Amir Kumadin. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Gardner, Howard. 2003, Multiple intelligences, Kecerdasan Majemuk, Teori dan
Praktek (Berisi wawancara-wawancara dengan Howard Gardner),
Interaksara, Jakarta. Dikutip dari makalah Muhammad Alwi, “Multiple
Intelligences; Kecerdasan Menurut Howard Gardner & Implementasinya
(Strategi Pengajaran Dikelas)”.
Goleman, Daniel, 1999. Kecerdasan Emosi unuk Mencapai Puncak Prestasi/ Daniel
Goleman: Alih Bahasa, Alex Kantjono Widodo. Inisiasi Press, Jakarta.
Iskandar, 2009. Psikologi Pendidikan (Sebuah Orientasi Baru). Gaung Persada (GP)
Press, Jakarta.
Munandir, 2001. Ensiklopedia Pendidikan. Um Press, Malang.
Rakhmat, Jalaludin, 2009. Psikologi Komunikasi. PT. Remaja Rosdakarya, Bandung.
M. Moeliono, Anton, dkk., 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka,
Jakarta.
Mustaqim, 2008. Psikologi Pendidikan. Pustaka Belajar, Yogyakarta.
Sudrajat, Akhmad. 2009. Psikologi Pendidikan. PE-AP Press, Kuningan.
Syaodih Sukmadinata, Nana, 2009. Landasan Psikologi Proses Pendidikan. PT.
Remaja Rosdakarya, Bandung.
Yantarto, Kifud, 2003. Psikologi Kepribadian Timur. Pustaka Belajar, Yogyakarta.
19
Download