Penyakit Paru Akibat Debu Industri KEMAJUAN dalam bidang industri di Indonesia meningkat dari tahun ke tahun. Proses pengembangan industri yang menggunakan beraneka ragam teknologi modern sesuai dengan pembangunan perekonomian nasional tersebut mampu menyerap jutaan tenaga kerja. Peningkatan ini memberikan berbagai dampak positif, yaitu terbukanya lapangan kerja dan meningkatnya taraf sosial ekonomi masyarakat. Namun, dampak negatif pun tak dapat dielakkan, salah satunya adalah pencemaran udara oleh debu yang timbul dari proses pengolahan atau hasil industri. Risiko terserang penyakit paru akibat debu tidak hanya mengancam para pekerja, tetapi juga masyarakat yang bermukim di sekitar daerah industri. Pengetahuan yang cukup tentang dampak debu sebenarnya sangat diperlukan untuk dapat mengidentifikasi bahan yang dapat mencemari udara, mengenali kelainan yang timbul, dan melakukan usaha pencegahan. Secara fisik, debu atau particulate dikategorikan sebagai pencemar udara aerosol. Debu terdiri atas dua golongan, yaitu padat (solid) dan cair (likuid). Debu yang terdiri atas partikel-partikel padat dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu dust, fumes, dan smoke. Dust terdiri atas berbagai ukuran mulai dari yang submikroskopik sampai yang besar. Yang berbahaya adalah ukuran yang bisa terhisap ke dalam sistem pernapasan, umumnya lebih kecil dari 100 mikron dan bersifat dapat terhisap ke dalam tubuh. Fumes adalah partikel padat yang terbentuk dari proses evaporasi atau kondensasi. Pemanasan berbagai logam misalnya, menghasilkan uap logam yang kemudian berkondensasi menjadi partikel-partikel metal fumes, misalnya logam (Cd) dan timbal (Pb). Terakhir smoke atau asap adalah produk dari pembakaran bahan organik yang tidak sempurna dan berukuran sekira 0,5 mikron. Sementara itu, partikel cair biasanya disebut mist atau fog (awan) yang dihasilkan melalui proses kondensasi atau atomizing, contoh sederhana adalah hair spray atau obat nyamuk semprot. Partikel debu Dokter spesialis paru dan pernapasan, dr. Emil B. Moerad, Sp.P., menjelaskan debu industri yang terdapat dalam udara dibagi dua, yaitu deposit particulate matter dan suspended particulate matter. Deposit particulate matter yaitu partikel debu yang hanya berada sementara di udara. Partikel ini segera mengendap karena daya tarik bumi. Yang kedua, suspended particulate matter adalah debu yang tetap berada di udara dan tidak mudah mengendap. Menurut Emil, debu dengan berbagai faktor tertentu dapat menyebabkan timbulnya gangguan pada saluran pernapasan. Faktor tersebut antara lain, ukuran partikel, bentuk, konsentrasi, daya larut, sifat kimiawi, dan lama pajanan. ”Debu yang berukuran antara lima hingga 10 mikron bila terisap akan tertahan dan tertimbun pada saluran napas bagian atas, sedangkan yang berukuran antara tiga hingga lima mikron akan tertahan dan tertimbun pada saluran napas tengah,” katanya. Partikel debu yang berukuran satu hingga tiga mikron disebut juga debu respirabel dan merupakan ukuran yang paling berbahaya karena dapat tertahan di saluran pernapasan. Selain itu, debu tersebut juga akan tertimbun mulai dari bronkiolus terminalis atau saluran napas kecil paling ujung sampai ke ”alveoli” atau gelembung-gelembung udara yang merupakan akhir dari saluran pernapasan. Debu yang berukuran kurang dari satu mikron tidak mudah mengendap di alveoli, debu yang ukurannya antara 0,1-0,5 mikron berdifusi dengan gerak Brown keluar masuk alveoli. Bila membentur alveoli, ia dapat tertimbun di situ. Meskipun batas ukuran debu respirabel adalah lima mikron, tetapi debu dengan ukuran lima hingga 10 mikron dengan kadar berbeda dapat masuk ke dalam alveoli. ”Debu yang berukuran lebih dari lima mikron akan dikeluarkan semuanya bila jumlahnya kurang dari 10 partikel per milimeter udara. Namun, bila jumlahnya 1.000 partikel per milimeter udara, 10 persen dari jumlah tersebut akan ditimbun dalam paru,” katanya. Dahulu debu besi, kapur, dan timah digolongkan sebagai debu yang nonfibrogenik atau debu yang tidak menimbulkan reaksi jaringan paru dan tidak merusak paru atau disebut debu inert. Belakangan diketahui bahwa tidak ada debu yang benar-benar aman bagi kesehatan paru. Kelenjar mukus Dalam dosis besar, semua debu bersifat merangsang dan dapat menimbulkan reaksi walaupun ringan. Reaksi tersebut berupa produksi lendir berlebihan. Apabila ini terus berlangsung, dapat terjadi hiperlasi kelenjar mukus atau pertumbuhan kelenjar mukus yang memproduksi lendir secara berlebihan. Debu yang masuk ke saluran napas menyebabkan timbulnya reaksi mekanisme pertahanan tubuh berupa batuk dan bersin. Otot polos di sekitar jalan napas dapat terangsang sehingga menimbulkan penyempitan. Keadaan ini terjadi bila debu melebihi nilai ambang batas. ”Lendir yang ke luar melalui seluruh permukaan saluran pernapasan merupakan bentuk pertahanan tubuh. Bila sistem mukosiliter mengalami gangguan, produksi lendirnya akan bertambah. Kalau mekanisme pengeluarannya juga tidak sempurna, bisa terjadi obstruksi saluran napas atau penyempitan saluran napas,” katanya. Dijelaskan, di seluruh permukaan saluran pernapasan terdapat bulu-bulu halus atau silia dan lendir atau mukus yang bergerak bersama-sama mendorong debu dan kotoran yang masuk keluar saluran pernapasan dalam bentuk batuk. Tidak dapat diobati Dokter Emil yang juga Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Provinsi Kalimantan Timur mengatakan bahwa penyakit paru akibat debu industri punya gejala dan tanda yang mirip dengan penyakit paru lainnya. ”Pasien hendaknya menjalani pemeriksaan radiologis dan faal paru guna menegakkan diagnosis serta menilai kecacatan paru pada penyakit paru akibat debu yang diderita tersebut. Ini merupakan pemeriksaan penunjang yang sangat penting,” katanya. Ia menyebutkan, penyakit paru kerja yang dapat timbul akibat debu industri antara lain adalah pneumokoniosis batubara, silikosis, bronkitis industri, asma kerja, dan kanker paru. Apabila penyakit paru kerja telah terjadi, umumnya penyakit tersebut tidak dapat diobati. Pengobatan pada penyakit paru kerja, katanya, hanya bersifat simptomatis atau bersifat mengurangi gejala dan kelun penderita, sedangkan obat lain yang diberikan bersifat suportif. ”Upaya pencegahan merupakan tindakan yang paling penting pada pencegahan penyakit paru akibat debu industri guna mengurangi laju perkembangan penyakit yang telah terjadi,” katanya. Menurut dia, pekerja hendaknya melakukan pemeriksaan faal paru dan radiologi sebelum menjadi karyawan di suatu perusahaan dan tetap melakukan pemeriksaan secara berkala guna mendeteksi setiap kelainan yang timbul. Selain itu, pekerja diwajibkan memakai alat pelindung berupa masker atau respirator selama bekerja. Bagi seseorang telah menderita penyakit paru, hendaknya melapor dan mengajukan pemindahan ke tempat lain yang tidak terpolusi debu agar dapat mengurangi laju perkembangan penyakit. ”Pekerja hendaknya berhenti merokok, terutama bila bekerja di tempat-tempat yang punya risiko terjadi penyakit bronkitis dan kanker paru karena asap rokok dapat meningkatkan risiko timbulnya penyakit tersebut,” ungkap dr Emil. (Dwi R.)*** Ribuan Warga Sumber Terjangkit Penyakit ISPA Diduga Akibat Pencemaran Limbah Industri Rotan CIREBON, (PR).Ribuan warga di Kecamatan Sumber, Kabupaten Cirebon dan sekitarnya, terjangkit infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) dan penyakit kulit. Diduga kuat, penyakit tersebut merupakan dampak pencemaran limbah pabrik rotan. Penyakit ISPA yang diderita secara massal itu terungkap setelah instansi terkait melakukan pengobatan gratis belum lama ini. Dari 500 warga yang menerima fasilitas pengobatan gratis, Sabtu pekan lalu, 450 warga di antaranya terserang penyakit ISPA dan penyakit kulit. Jumlah warga yang terjangkit ISPA akan jauh lebih besar bila seluruh warga di Kecamatan Sumber memeriksakan kesehatannya ke puskesmas atau dokter. Berdasarkan keterangan medis, penyakit ISPA yang diderita warga diduga akibat pencemaran limbah cair dan udara. Penyakit yang menjangkiti warga tampaknya berasal dari limbah pabrik rotan. Sebab, kebetulan tempat tinggal warga di Sumber berdekatan dengan Kecamatan Plumbon, yang dikenal sebagai kawasan industri, khususnya rotan. Di Kecamatan Plumbon, sedikitnya ada 1.000 pabrik rotan dan pabrik lainnya yang membuang limbah cair secara sembarangan. Limbah sisa produksi atau hasil pembakaran pabrik itu dibuang begitu saja tanpa melalui instalasi pengolahan air limbah (IPAL). Berdasarkan hasil pelaksanaan pengobatan gratis, ISPA dan penyakit kulit menyerang warga dari semua kelompok usia, mulai balita sampai usia 65 tahun. Kondisi ini benarbenar memprihatinkan dan menuntut adanya tanggung jawab sosial dari para pemilik industri rotan yang berada di Plumbon. "Warga yang berobat ke sini, sekira 80 persen terkena ISPA dan penyakit kulit," kata Suparji, dokter yang menangani pasien pengobatan gratis itu. Menurut Suparji, berdasarkan catatan pada pelaksanaan pengobatan gratis, warga yang bermukim sekira 5-10 km dari lokasi pabrik terjangkit penyakit ISPA dan penyakit kulit dengan tingkat yang cukup mengkhawatirkan. Sedangkan yang paling parah dialami warga yang rumahnya lebih dekat, sekira 2-4 km dari lokasi pabrik. "Kami menilai perlu segera dilakukan penelitian khusus. Sebab, limbah jenis ini sangat berbahaya dan harus ada penanganan tim ahli Amdal. Bila tidak, penyakit ISPA yang menyerang warga akan mendorong lahirnya penyakit yang degeneratif (mematikan)," kata Suparji. Berdasarkan hasil diagnosis secara fisik, warga Sumber yang terjangkit ISPA rata-rata menggunakan air sumur eretan untuk keperluan MCK, bahkan untuk memasak dan air minum. Air ledeng sendiri kebetulan tidak masuk ke wilayah permukiman penduduk miskin ini. Dari pemeriksaan mata, lidah, hingga ke jantung, dan paru-paru, kondisi kesehatan penduduk di Sumber, rata-rata buruk dan sangat gampang terserang ISPA dan penyakit kulit. Dalam kondisi seperti itu, mereka justru mengalami kesulitan air bersih karena selama ini cuma menggantungkan air dari sumur eretan. Pelanggaran UU LH Sementara itu, Direktur LSM Yayasan Buruh dan Lingkungan Hidup (YBLH), Yoyon Suharyono, membenarkan banyak pabrik di Plumbon yang membuang limbah sembarangan. Limbah itu dibuang begitu saja ke sungai tanpa terlebih dulu melalui proses IPAL. Akibatnya, pencemaran yang terjadi pada aliran sungai yang melintas di sekitar pabrik sudah sangat memprihatinkan. "Tingkat pencemaran sungai di Plumbon sudah sangat serius. Hal ini dibuktikan hasil penelitian yang menunjukkan kandungan BOD dan COG sungai di Plumbon sudah melebihi ambang batas," katanya. Yoyon menuturkan, pencemaran yang terjadi di sungai Plumbon menunjukkan masih banyaknya industri yang tidak memerhatikan kelestarian lingkungan hidup. Banyak pabrik rotan dan pabrik lainnya yang melanggar UU No. 23/97 tentang Lingkungan Hidup (LH). Untuk mengatasi hal itu, kata Yoyon, pihak YLBH berencana membawa dan mengadukan kasus pencemaran itu ke Kementerian Lingkungan Hidup. "Tapi, sebelum ke Jakarta menemui menteri Lingkungan Hidup, kami akan mengadu dulu ke bupati. Pemkab harus bisa berbuat tegas kepada pabrik-pabrik yang membuang limbah sembarangan," tandasnya. (A-93)*** Pembangunan Daerah Dan Kelestarian Lingkungan Pembangunan Daerah Dan Kelestarian Lingkungan a s, 0 Ja ua 00 Kondisi bumi tidak membaik pasca KTT Bumi di Rio. Melalui laporannya Global Challenge, Global Opportunity, PBB mengeluarkan sejumlah peringatan. 40 persen penduduk bumi mengalami kekurangan air. Permukaan laut meninggi akibat perubahan iklim. Tiga juta orang meninggal dunia akibat pencemaran udara. Semakin banyak jenis flora dan fauna punah. Diprediksi bila tidak ada perubahan maka kekayaan alam akan habis pada 2050, sehingga kebutuhan bahan baku tidak mungkin terpenuhi. Menurut lembaga Dana Alam Dunia, musibah banjir di Eropa Tengah dan pencemaran udara di Asia membuktikan bahwa perlu diambil langkah-langkah penanggulangan selekasnya. Dua tantangan global terbesar saat ini adalah pengikisan kemiskinan dan penghentian degradasi lingkungan. Kedua tantangan ini sangat kompleks, saling terkait dan tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Kedua hal ini juga termaktub di dalam Millenium Development Goals, dimana masyarakat internasional telah membangun komitmen bersama untuk mengatasinya. Tujuan tersebut termasuk di antaranya penghapusan kemiskinan ekstrim dan kelaparan dan sekaligus memastikan keberlanjutan kehidupan. Sementara itu, dalam Pertemuan Dunia untuk Pembangunan Berkelanjutan (WSSD) di Johannesberg, Afrika Selatan, para pemimpin dunia juga telah menegaskan kembali komitmen mereka untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan dengan memastikan tiga aspek utama -lingkungan, sosial, dan ekonomi- dalam pembangunan dengan pola keseimbangan tanpa saling mendominasi. Tercapainya ketiga aspek tersebut secara bersama-sama adalah prasyarat bagi tercapainya pembangunan berkelanjutan dan pada akhirnya dapat menjamin pondasi keberlanjutan kehidupan umat manusia di planet yang semakin rapuh ini. Tumbangnya Orde Baru ternyata tidak otomatis membawa perbaikan lingkungan di alam reformasi ini. Bahkan bencana ekologis bertubi ?tubi menghantam tanah air Indonesiatermasuk Provinsi Riau- yang notebene sedang giat ? giatnya melakukan pembangunan. Sebelum dilakukannya prosesi demokrasi pemilihan presiden secara langsung banyak harapan dari masyarakat agar kelak jika kandidat pilihannya terpilih, maka dengan penuh keteguhan akan membuat agenda perbaikan kerusakan lingkungan secara serius. Bahkan kemudian bermunculan diskusi ? diskusi yang dipelopori oleh para pecinta lingkungan hidup. Segala strategi dirumuskan untuk mencari formula yang tepat dalam melakukan perbaikan ekologis tersebut. Namun, persoalan tidak berhenti disini, karena kita harus berhadapan dengan pemimpin yang jelas-jelas diragukan keberpihakannya kepada rakyat. Tulisan ini mencoba mengurai seputar kesepakatan ? kesepakatan internasional tentang pentingnya memelihara lingkungan hidup, serta Implikasinya bagi Indonesia dan daerah. Disini juga akan dipaparkan penyebab terjadinya kerusakan lingkungan diIndonesia, dampak yang dimunculkan dan sedikit obat penawar terhadap upaya perbaikan lingkungan hidup di Indonesia, khususnya di Provinsi Riau. Tulisan ini juga saya persembahkan sebagai kado ulang tahun hari lingkungan hidup sedunia yang secara kebetulan juga pemerintah dan masyarakat Kota Pekanbaru meraih penghargaan piala Adipura sebagai kota besar terbersih tahun 2005. Selamat atas penghargaan tersebut. Protokol Kyoto dan Implikasinya Ada banyak kesepakatan internasional yang menekankan pentingnya pemeliharaan lingkungan untuk menselaraskan pembangunan disetiap negara. Dalam tulisan ini penulis hanya akan memberikan uraian singkat tentang Protokol Kyoto disertai implikasinya terhadap negara berkembang khususnya Indonesia. Protokol Kyoto dinilai sangat strategis bagi negara berkembang untuk melakukan perbaikan lingkungan hidup. Protokol Kyoto merupakan sebuah kesepakatan internasional yang mengamanatkan negaranegara maju menurunkan emisi gas rumah kaca ( GRK ) rata ? rata sebesar 5,2 persen dari tingkat emisi tahun 1990, pada periode 2008 ? 2012. Protokol Kyoto diratifikasi pada tahun 1997 dan disetujui sebagai mekanisme untuk mereduksi emisi gas rumah kaca. Indonesia sendiri baru meratifikasi protocol Kyoto pada tahun 2004 lalu dan menjadi negara ke-124 setelah Algeria. (Kompas:29 juni 2004) dan sesuai dengan ketentuan pasal 25 protokol Kyoto akan berlaku secara efektif setelah 90 hari diratifikasi oleh paling sedikit 55 negara pihak konvensi, termasuk negara ? negara maju dengan total emisi karbon dioksida paling sedikit 55 persen dari total emisi tahun 1990. Protokol Kyoto menetapkan tiga mekanisme utama dalam implementasinya yaitu (a) Implementasi bersama ( Joint implementation ) yang merupakan kerja sama antar negara maju. (b) Cleant development mechanism atau mekanisme pembangunan bersih, dimana negara maju berinvestasi dinegara berkembang untuk proyek ? proyek yang menghasilkan pengurangan emisi yang tersertifikasi ( certified emission Reduction /CER ) serta (c) Perdagangan emisi dimana negara maju menjual gas rumah kaca yang tidak diemisikan kenegara maju lain yang tidak dapat memenuhi kewajiban. Perlu dicatat bahwa protocol Kyoto hanya mewajibkan bagi negara maju untuk mengurangi tingkat emisinya. Sedangkan negara berkembang (termasuk Indonesia) tidak memiliki kewajiban untuk itu. Pertanyaannya adalah mengapa negara berkembang dan Indonesia perlu terlibat dalam ratifikasi protocol Kyoto? Untuk menjadi anggota tentu harus melakukan ratifikasi terhadap protocol Kyoto untuk kemudian dapat berpartisipasi melalui salah satu dari tiga mekanisme yang ada yaitu mekanisme pembangunan bersih atau Clean Development Mechanism (CDM); satu ? satunya mekanisme yang dapat dilakukan antara negara maju dan negara berkembang. Salah satu manfaat yang diperoleh Indonesia dengan ikut serta dalam protocol Kyoto adalah kita mendapat kemudahan memperoleh dana internasional untuk melakukan pengurangan emisi gas rumah kaca dalam proyek ? proyek Mekanisme Pembangunan Bersih (MPB). Dengan demikian Indonesia dengan potensi hutan tropis bisa mendapat peluang alih teknologi yang rendah emisi, tambahan inventasi, serta bantuan teknis dan keuangan dari negara maju, sebagai kewajibannya meningkatkan kemampuan negara berkembang beradaptasi terhadap dampak perubahan iklim. Yang perlu digaris bawahi adalah bagaimana Kelembagaan dari pemerintah pusat hingga pemerintah daerah. Setelah kita menjadi anggota protocol Kyoto. Apakah masyarakat kecil disetiap pelosok negeri ini memperoleh faedah dari paradigma mekanisme pembangunan bersih. Dalam kontek Ke-Riau-an, fenomena global terhadap lingkungan hidup; seperti banjir besar, kekeringan yang mendorong mudahnya terjadi kebakaran hutan, naiknya permukaan air laut, perubahan pola hujan, meningkatnya suhu, menurunnya kualitas dan kuantitas air bersih serta merebaknya penyakit malaria dan demam berdarah, telah dirasakan diprovinsi yang memiliki SDA terbesar kedua setelah Kalimantan Timur ini. Namun apa kebijakan pemerintah untuk menyelesaikan persoalan ini ? Penderitaan dan bencana ? bencana itu hanya menjadi tontonan tahunan tanpa upaya penyelesaian ! Penulis adalah Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional Universitas Muhammadyah Yogyakarta dan Ketua I Ikatan Keluarga Pelajar Riau Yogyakarta asal Pasirpangaraian Usia Bumi Hanya Tinggal Seabad Lagi. « on: June 28, 2007, 10:16:50 PM » Ketika karbon dari muka bumi terus dilepas ke atmosfer lewat pembakaran bahan bakar fosil dan organik oleh miliaran manusia. Ketika jutaan hektar hutan sebagai pengisap karbon terus ditebang dan kian berkurang. Ketika itulah "bom waktu" mulai bekerja menghancurkan bumi ini. Gas karbon dan gas pencemar lain, seperti sulfur dan nitrogen, yang tergabung dalam kelompok gas rumah kaca (GRK), akibat aktivitas manusia di berbagai sektor akan terlepas ke udara, terkumpul semakin tebal di atmosfer menyelimuti bumi. GRK di lapisan udara atas itu, karena proses kimiawinya, akan memerangkap sinar matahari yang menembus atmosfer masuk ke permukaan bumi. Akibatnya, lingkungan planet biru itu menjadi kian panas. Kondisi suhu bumi yang tak nyaman ini membuat semua sistem yang selama ini berada dalam siklus yang seimbang mulai terganggu. Salah satu yang terusik adalah sistem cuaca, yang pada dasarnya terdiri atas proses pemanasan oleh sinar matahari menjadi uap air yang terkumpul sampai terbentuk awan, lalu diembuskan angin ke daerah yang bertekanan rendah hingga jatuh menjadi hujan. Tanpa perubahan perilaku dan pola konsumsi manusia, juga tanpa upaya mereduksi emisi GRK untuk mengatasi pemanasan bumi, para pakar yang tergabung dalam Intergovermental Panel on Climate Change (IPCC) memperkirakan usia bumi tinggal 70 tahun hingga seabad lagi. Proyeksi itu berdasarkan tren kenaikan suhu udara hingga empat derajat Celsius (C). Tingkat itu dapat tercapai bila emisi GRK terus bertambah dalam beberapa dekade ke depan karena tidak ditegakkannya kebijakan mitigasi perubahan iklim dan pola pembangunan ramah lingkungan dan berkelanjutan. Bila melihat data emisi GRK pada kurun waktu 1970 hingga 2004 yang dikeluarkan IPCC awal Mei lalu, emisi GRK naik 70 persen. Tingkat itu disumbangkan dari sektor energi yang mencapai peningkatan 145 persen. Apa yang terjadi bila suhu rata-rata global naik 2 derajat Celsius? Yang jelas ada sekitar 30 persen spesies yang peka terhadap kenaikan suhu di muka bumi ini akan punah. Hilangnya sepertiga spesies itu berarti mengganggu keseimbangan daur hidup, termasuk mengubah pola penularan penyakit melalui serangga dan hewan. Sementara itu, perubahan pola cuaca meningkatkan kejadian badai dan curah hujan yang tinggi. Lalu, bagaimana bila temperatur udara naik dua kali lipat menjadi 4C? Dampaknya, antara lain, hilangnya 30 persen lahan basah, naiknya kasus penyakit akibat udara panas, banjir dan kekeringan, mengakibatkan angka kematian naik drastis. Ancaman kiamat bumi itu, menurut IPCC, dapat dicegah dengan beberapa skenario untuk menurunkan GRK hingga tahun 2030. Skenario terbaiknya adalah menahan kenaikan suhu bumi hanya 2 C-2,4 C sampai 23 tahun ke depan. Untuk mencapai itu, konsentrasi GRK harus distabilkan pada kisaran 445-490 part per million (ppm). Skenario lain menyebutkan, kenaikan dibatasi sekitar 3,2 C hingga 4&nbsp; C pada kurun waktu yang sama, dengan menjaga jumlah GRK 590-710 ppm. Saat ini tingkat GRK telah melampaui itu semua. Tahun 2005 konsentrasi GRK antara 400 dan 515 ppm. Menurut IPCC, target itu bisa dicapai jika diterapkan kebijakan mitigasi perubahan iklim di tiap negara, yang harus diambil di sektor energi, transportasi, gedung, industri, pertanian, kehutanan, dan manajemen limbah. Di sektor energi, misalnya, harus dikeluarkan kebijakan pengurangan subsidi dan penetapan pajak bagi bahan bakar fosil. Sebaliknya, mewajibkan penggunaan dan penetapan harga listrik dari energi terbarukan. Soal kebijakan yang diterapkan di Indonesia, Kuki Soejachmoen, dari Yayasan Pelangi Indonesia, menilai sudah mengikuti rekomendasi IPCC berupa penerapan energi terbarukan seperti yang tertuang dalam Kebijakan Energi Nasional, dan penggunaan biofuel pada transportasi publik. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam sambutan peresmian Gedung Herbarium Bogoriense di Cibinong Science Center, Rabu (23/5) di Bogor, mengatakan, untuk menyikapi perubahan iklim dan mengantisipasi makin susutnya sumber daya alam harus ditegakkan tiga pilar, yaitu pembuatan kebijakan, perubahan gaya hidup, dan kontribusi teknologi. Presiden meminta pencarian keuntungan ekonomi hendaknya sejalan dengan upaya pelestarian lingkungan hidup, misalnya melalui wisata yang berbasis lingkungan hidup atau ekowisata. <STRONG>Dampak kesehatan</STRONG> Kenaikan suhu pada dekade mendatang membuat kian banyak korban jiwa berjatuhan akibat gelombang panas, banjir, badai, kebakaran hutan, dan kekeringan. Di sisi lain juga meningkatkan kasus malnutrisi, penyakit seperti diare dan infeksi serta masalah gangguan pernapasan dan jantung. Menurut kalkulasi yang dilakukan Tony McMichael dari Australia National University, peningkatan suhu di bumi sejak tahun 1970-an telah menimbulkan dampak berupa 166.000 kematian per tahun pada tahun 2000 akibat penyakit, termasuk diare dan malaria. Kasus tingginya kematian ini terutama di alami negara miskin di kawasan tropis, yang memiliki kemampuan terbatas untuk mengatasinya. Penyakit yang ditularkan oleh nyamuk akan terus meningkat pada masa mendatang. Penelitian yang dilakukan di Kenya, misalnya, menunjukkan korelasi yang kuat antara kenaikan suhu, hujan yang sangat berfluktuasi, dan penyebaran nyamuk malaria ke dataran tinggi, termasuk Nairobi—ibu kota Kenya—yang sebelumnya terlindung dari ancaman penyakit parasit ini. Malnutrisi dan penyakit karena kelangkaan air bersih terutama menyerang dunia berkembang. Penelitian di Eropa yang dilakukan The European Centre for Disease Prevention and Control (ECDPC) memperkirakan setiap kenaikan suhu 1C menyebabkan kenaikan 5 C hingga 10 C kasus pencemaran salmonela pada makanan. Dampak perubahan iklim tidak hanya dialami negara miskin. Negara kaya pun yang umumnya berada di kawasan subtropis tak luput dideranya. Gelombang panas tahun 2003, misalnya, menyebabkan lebih dari 35.000 kematian prematur di Eropa, di antaranya 14.000 terjadi di Perancis. Suhu yang lebih hangat membuat kasus malaria kembali muncul di Eropa, di antaranya di negara perbatasan, seperti Azerbaijan, Georgia, dan Turki, yang telah dinyatakan tereradikasi penyakit ini setelah Perang Dunia II. Penelitian yang dilakukan ECDPC tahun lalu juga menyimpulkan Uni Eropa akan terancam chikungunya, infeksi akibat nyamuk yang telah menyerang India. Kasus di Indonesia Kondisi yang tidak jauh berbeda, seperti merebaknya penyakit parasit akibat vektor nyamuk seperti malaria, demam berdarah, dan chikungunya merebak di berbagai daerah di Indonesia, sejak beberapa tahun terakhir ini terutama pada masa peralihan musim. Kasus penyakit ini dari tahun ke tahun kian banyak menelan korban jiwa. Pemanasan global, menurut pengamatan Vitus Dwi Yunianto, guru besar Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro, juga telah berpengaruh pada merebaknya penyakit pada unggas di Indonesia belakangan ini, termasuk flu burung. "Dengan temperatur lingkungan yang rata-rata di atas 27 C, pertumbuhan unggas terhambat dan kekebalannya terhadap penyakit berkurang," ujar Vitus saat memaparkan orasi ilmiah pengukuhannya sebagai guru besar di Semarang, Kamis (24/5). Cekaman temperatur yang panas itu juga menurunkan metabolisme pada jaringan otot unggas yang dapat menghambat pertumbuhan ayam, menyebabkan kelainan organ dalam tubuh ayam, seperti penurunan ukuran kelenjar tiroid dan adrenalin, serta hati. "Hal ini kemungkinan karena adanya perubahan fungsi endokrin tubuh, dan sitensis protein," papar Vitus. Untuk mengatasinya, perlu dilakukan penambahan hormonal dengan manipulasi hormonal sehingga mengembalikan ayam dalam kondisi semula. Langkah ini dapat ditempuh dengan meningkatkan daya tahan tubuh dan mengembalikan fungsi metabolisme tubuh unggas pada kondisi normal saat mengalami cekaman panas. Ketika karbon dari muka bumi terus dilepas ke atmosfer lewat pembakaran bahan bakar fosil dan organik oleh miliaran manusia. Ketika jutaan hektar hutan sebagai pengisap karbon terus ditebang dan kian berkurang. Ketika itulah "bom waktu" mulai bekerja menghancurkan bumi ini. Gas karbon dan gas pencemar lain, seperti sulfur dan nitrogen, yang tergabung dalam kelompok gas rumah kaca (GRK), akibat aktivitas manusia di berbagai sektor akan terlepas ke udara, terkumpul semakin tebal di atmosfer menyelimuti bumi. GRK di lapisan udara atas itu, karena proses kimiawinya, akan memerangkap sinar matahari yang menembus atmosfer masuk ke permukaan bumi. Akibatnya, lingkungan planet biru itu menjadi kian panas. Kondisi suhu bumi yang tak nyaman ini membuat semua sistem yang selama ini berada dalam siklus yang seimbang mulai terganggu. Salah satu yang terusik adalah sistem cuaca, yang pada dasarnya terdiri atas proses pemanasan oleh sinar matahari menjadi uap air yang terkumpul sampai terbentuk awan, lalu diembuskan angin ke daerah yang bertekanan rendah hingga jatuh menjadi hujan. Tanpa perubahan perilaku dan pola konsumsi manusia, juga tanpa upaya mereduksi emisi GRK untuk mengatasi pemanasan bumi, para pakar yang tergabung dalam Intergovermental Panel on Climate Change (IPCC) memperkirakan usia bumi tinggal 70 tahun hingga seabad lagi. Proyeksi itu berdasarkan tren kenaikan suhu udara hingga empat derajat Celsius (C). Tingkat itu dapat tercapai bila emisi GRK terus bertambah dalam beberapa dekade ke depan karena tidak ditegakkannya kebijakan mitigasi perubahan iklim dan pola pembangunan ramah lingkungan dan berkelanjutan. Bila melihat data emisi GRK pada kurun waktu 1970 hingga 2004 yang dikeluarkan IPCC awal Mei lalu, emisi GRK naik 70 persen. Tingkat itu disumbangkan dari sektor energi yang mencapai peningkatan 145 persen. Apa yang terjadi bila suhu rata-rata global naik 2 derajat Celsius? Yang jelas ada sekitar 30 persen spesies yang peka terhadap kenaikan suhu di muka bumi ini akan punah. Hilangnya sepertiga spesies itu berarti mengganggu keseimbangan daur hidup, termasuk mengubah pola penularan penyakit melalui serangga dan hewan. Sementara itu, perubahan pola cuaca meningkatkan kejadian badai dan curah hujan yang tinggi. Lalu, bagaimana bila temperatur udara naik dua kali lipat menjadi 4C? Dampaknya, antara lain, hilangnya 30 persen lahan basah, naiknya kasus penyakit akibat udara panas, banjir dan kekeringan, mengakibatkan angka kematian naik drastis. Ancaman kiamat bumi itu, menurut IPCC, dapat dicegah dengan beberapa skenario untuk menurunkan GRK hingga tahun 2030. Skenario terbaiknya adalah menahan kenaikan suhu bumi hanya 2 C-2,4 C sampai 23 tahun ke depan. Untuk mencapai itu, konsentrasi GRK harus distabilkan pada kisaran 445-490 part per million (ppm). Skenario lain menyebutkan, kenaikan dibatasi sekitar 3,2 C hingga 4&nbsp; C pada kurun waktu yang sama, dengan menjaga jumlah GRK 590-710 ppm. Saat ini tingkat GRK telah melampaui itu semua. Tahun 2005 konsentrasi GRK antara 400 dan 515 ppm. Menurut IPCC, target itu bisa dicapai jika diterapkan kebijakan mitigasi perubahan iklim di tiap negara, yang harus diambil di sektor energi, transportasi, gedung, industri, pertanian, kehutanan, dan manajemen limbah. Di sektor energi, misalnya, harus dikeluarkan kebijakan pengurangan subsidi dan penetapan pajak bagi bahan bakar fosil. Sebaliknya, mewajibkan penggunaan dan penetapan harga listrik dari energi terbarukan. Soal kebijakan yang diterapkan di Indonesia, Kuki Soejachmoen, dari Yayasan Pelangi Indonesia, menilai sudah mengikuti rekomendasi IPCC berupa penerapan energi terbarukan seperti yang tertuang dalam Kebijakan Energi Nasional, dan penggunaan biofuel pada transportasi publik. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam sambutan peresmian Gedung Herbarium Bogoriense di Cibinong Science Center, Rabu (23/5) di Bogor, mengatakan, untuk menyikapi perubahan iklim dan mengantisipasi makin susutnya sumber daya alam harus ditegakkan tiga pilar, yaitu pembuatan kebijakan, perubahan gaya hidup, dan kontribusi teknologi. Presiden meminta pencarian keuntungan ekonomi hendaknya sejalan dengan upaya pelestarian lingkungan hidup, misalnya melalui wisata yang berbasis lingkungan hidup atau ekowisata. <STRONG>Dampak kesehatan</STRONG> Kenaikan suhu pada dekade mendatang membuat kian banyak korban jiwa berjatuhan akibat gelombang panas, banjir, badai, kebakaran hutan, dan kekeringan. Di sisi lain juga meningkatkan kasus malnutrisi, penyakit seperti diare dan infeksi serta masalah gangguan pernapasan dan jantung. Menurut kalkulasi yang dilakukan Tony McMichael dari Australia National University, peningkatan suhu di bumi sejak tahun 1970-an telah menimbulkan dampak berupa 166.000 kematian per tahun pada tahun 2000 akibat penyakit, termasuk diare dan malaria. Kasus tingginya kematian ini terutama di alami negara miskin di kawasan tropis, yang memiliki kemampuan terbatas untuk mengatasinya. Penyakit yang ditularkan oleh nyamuk akan terus meningkat pada masa mendatang. Penelitian yang dilakukan di Kenya, misalnya, menunjukkan korelasi yang kuat antara kenaikan suhu, hujan yang sangat berfluktuasi, dan penyebaran nyamuk malaria ke dataran tinggi, termasuk Nairobi—ibu kota Kenya—yang sebelumnya terlindung dari ancaman penyakit parasit ini. Malnutrisi dan penyakit karena kelangkaan air bersih terutama menyerang dunia berkembang. Penelitian di Eropa yang dilakukan The European Centre for Disease Prevention and Control (ECDPC) memperkirakan setiap kenaikan suhu 1C menyebabkan kenaikan 5 C hingga 10 C kasus pencemaran salmonela pada makanan. Dampak perubahan iklim tidak hanya dialami negara miskin. Negara kaya pun yang umumnya berada di kawasan subtropis tak luput dideranya. Gelombang panas tahun 2003, misalnya, menyebabkan lebih dari 35.000 kematian prematur di Eropa, di antaranya 14.000 terjadi di Perancis. Suhu yang lebih hangat membuat kasus malaria kembali muncul di Eropa, di antaranya di negara perbatasan, seperti Azerbaijan, Georgia, dan Turki, yang telah dinyatakan tereradikasi penyakit ini setelah Perang Dunia II. Penelitian yang dilakukan ECDPC tahun lalu juga menyimpulkan Uni Eropa akan terancam chikungunya, infeksi akibat nyamuk yang telah menyerang India. Kasus di Indonesia Kondisi yang tidak jauh berbeda, seperti merebaknya penyakit parasit akibat vektor nyamuk seperti malaria, demam berdarah, dan chikungunya merebak di berbagai daerah di Indonesia, sejak beberapa tahun terakhir ini terutama pada masa peralihan musim. Kasus penyakit ini dari tahun ke tahun kian banyak menelan korban jiwa. Pemanasan global, menurut pengamatan Vitus Dwi Yunianto, guru besar Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro, juga telah berpengaruh pada merebaknya penyakit pada unggas di Indonesia belakangan ini, termasuk flu burung. "Dengan temperatur lingkungan yang rata-rata di atas 27 C, pertumbuhan unggas terhambat dan kekebalannya terhadap penyakit berkurang," ujar Vitus saat memaparkan orasi ilmiah pengukuhannya sebagai guru besar di Semarang, Kamis (24/5). Cekaman temperatur yang panas itu juga menurunkan metabolisme pada jaringan otot unggas yang dapat menghambat pertumbuhan ayam, menyebabkan kelainan organ dalam tubuh ayam, seperti penurunan ukuran kelenjar tiroid dan adrenalin, serta hati. "Hal ini kemungkinan karena adanya perubahan fungsi endokrin tubuh, dan sitensis protein," papar Vitus. Untuk mengatasinya, perlu dilakukan penambahan hormonal dengan manipulasi hormonal sehingga mengembalikan ayam dalam kondisi semula. Langkah ini dapat ditempuh dengan meningkatkan daya tahan tubuh dan mengembalikan fungsi metabolisme tubuh unggas pada kondisi normal saat mengalami cekaman panas.