Kekebalan Aktif Vaksin dapat mengandung: 1. Virus yang dilemahkan (misalnya vaksin rubella, campak) atau bakteri yang dilemahkan (misalnya vaksin BCG) 2. Virus yang diinaktivasi (contohnya vaksin influenza) atau bakteri yang diinaktivasi, atau 3. Eksotoksin yang didetoksifikasi atau ekstrak dari eksotoksin yang dihasilkan oleh mikroorganisme (contohnya vaksin tetanus). Vaksin merangsang produksi antibodi dan komponen lain dari mekanisme kekebalan tubuh. Vaksin yang berasal dari virus atau bakteri hidup yang dilemahkan (Live attenuated vaccine) biasanya menghasilkan kekebalan yang bertahan lama tetapi tidak selalu selama infeksi alami. Bila diperlukan dua vaksin, (dan tidak tersedia sediaan vaksin kombinasi), maka kedua vaksin tersebut dapat diberikan bersamaan di tempat yang berbeda atau dengan interval paling sedikit 4 minggu. Vaksin yang berasal dari virus atau bakteri yang diinaktivasi (Inactivated vaccine) mungkin memerlukan satu rangkaian injeksi untuk menghasilkan respons antibodi yang adekuat dan pada kebanyakan kasus diperlukan ‘booster’. Lamanya kekebalan beragam dari beberapa bulan hingga beberapa tahun. Beberapa vaksin inaktif diadsorpsi ke dalam ajuvan (contohnya aluminium hidroksida) untuk meningkatkan respons antibodi. EFEK SAMPING. Beberapa vaksin (contohnya poliomielitis) menimbulkan hanya sedikit sekali efek samping, sedangkan lainnya (contohnya campak dan rubella) dapat menimbulkan efek samping yang sangat ringan. Beberapa vaksin dapat menyebabkan sakit pada tempat penyuntikan serta demam ringan dan malaise. Terkadang dapat timbul reaksi yang lebih serius. Reaksi efek samping pasca imunisasi sering disebut KIPI (Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi) atau Adverse Event Following Immunization (AEFI) yaitu semua kejadian sakit dan kematian (yang diperkirakan karena imunisasi) yang terjadi dalam kurun waktu 1 bulan setelah imunisasi, namun pada keadaan tertentu lama pengamatan dapat mencapai 42 hari atau bahkan sampai 6 bulan. Reaksi KIPI harus dilaporkan kepada Komite Nasional KIPI (Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi). Beberapa contoh KIPI yang harus dilaporkan dapat dilihat pada tabel 14.1. Tabel Reaksi KIPI yang harus dilaporkan Periode 24 jam pasca imunisasi Kejadian • Reaksi anafilaktoid (reaksi hipersensitivitas akut) • Anafilaksis • Persistent inconsolable screaming (Menangis keras dan tidak berhenti selama lebih dari 3 jam) • Hypotonic hyporesponsive episode (pasien lemas, tidak bereaksi terhadap rangsangan namun sadar dan tidak syok) • Toxic Shock Syndrome • Reaksi lokal hebat 5 hari • Sepsis pasca • Abses pada bekas imunisasi suntikan 15 hari • Kejang, termasuk pasca kejang demam imunisasi • Ensefalopati 3 bulan • Lumpuh layu pasca • Neuritis brakialis imunisasi • Trombositopenia • Limfadenitis • BCG-itis Diseminata (bakteri hidup BCG 1-12 bulan menyebar ke seluruh pasca tubuh) imunisasi • Osteitis / Osteomielitis (infeksi bakteri hidup BCG pada tulang) Reaksi anafilaksis sangat jarang terjadi namun dapat berakibat fatal (lihat 3.4.3 untuk tatalaksananya). Informasi lebih lengkap tentang efek samping dapat dilihat pada brosur atau informasi produk dari vaksin. Demam pasca imunisasi pada bayi Orangtua harus diberitahu bahwa bila terjadi demam setelah imunisasi, anak dapat diberi parasetamol, dan bila perlu dosis kedua dapat diberikan 6 jam sesudahnya. Ibuprofen dapat digunakan jika parasetamol tidak dapat ditolerir. Orangtua juga perlu diberitahu untuk mencari pertolongan medis apabila demam tetap ada. Dosis parasetamol untuk demam pasca imunisasi pada bayi usia 2-3 bulan adalah 60 mg; sedangkan dosis ibuprofen adalah 50 mg (atau sesuai petunjuk dokter). Bila diperlukan, sediaan tetes oral dapat diperoleh di apotik. KONTRAINDIKASI. Kebanyakan vaksin memiliki beberapa kontraindikasi dasar dan brosur produk harus selalu diperhatikan. Secara umum, vaksinasi harus ditunda bila pasien sedang menderita penyakit akut. Penyakit ringan tanpa demam atau tanpa gangguan sistemik bukan merupakan kontraindikasi. Reaksi anafilaksis yang terjadi setelah pemberian satu dosis vaksin merupakan kontraindikasi dosis berikutnya. Hipersensitif terhadap telur yang terbukti dengan reaksi anafilaksis sebelumnya, adalah kontraindikasi untuk vaksin influenza, vaksin ensefalitis yang ditularkan oleh tangan dan vaksin demam kuning. Beberapa vaksin virus mengandung sejumlah kecil antibakteri; vaksin seperti ini sebaiknya dihindarkan pemberiannya kepada pasien yang sangat sensitif terhadap antibakteri. Bahan tambahan lain pada vaksin dapat juga menyebabkan reaksi alergi walaupun jarang. Berikut ini beberapa eksipien yang ditambahkan pada vaksin dan produk imunologis: Gelatin Penisillin Gentamisin Polimiksin B Kanamisin Streptomisin Neomisin Thiomersal Vaksin hidup tidak boleh rutin diberikan kepada wanita hamil karena dapat membahayakan janin tetapi bila ada risiko yang signifikan untuk terpapar (contohnya terhadap yellow fever), maka kebutuhan akan vaksinasi mengalahkan pertimbangan risikonya pada janin. Tanpa pertimbangan dokter ahli, vaksin hidup tidak boleh diberikan kepada individu dengan gangguan respons imun, baik akibat penyakit (terutama infeksi HIV lihat bagian selanjutnya) maupun akibat pengobatan dosis tinggi kortikosteroid atau obat imunosupresif lainnya. Vaksin hidup tidak boleh diberikan kepada pasien dengan keganasan (malignant condition) yang sedang diberi kemoterapi atau generalised radiotherapy1,2. Respon terhadap vaksin dapat berkurang, dan ada resiko terinfeksi vaksin hidup. Suntikan intramuskular tidak boleh digunakan pada pasien dengan gangguan perdarahan seperti hemofilia atau trombositopenia. Vaksin yang biasanya diberikan secara intramuskular dapat diberikan secara subkutan pada pasien dengan gangguan perdarahan. VAKSIN dan INFEKSI HIV. Pasien positif HIV dengan atau tanpa gejala dapat menerima vaksin hidup berikut ini: MMR (tetapi tidak diberikan pada pasien dengan imunosupresi berat), varicella zoster (hindari jika kekebalan tubuh terganggu secara signifikan)3; dan vaksin inaktif berikut: kolera (oral), difteri, Haemophilus influenzae tipe B, hepatitis A, hepatitis B, influenza, meningokokus, pertusis, pneumokokus, poliomielitis4, rabies, tetanus, typhoid (injeksi). Pasien (dan pada anak dengan) HIV positif tidak boleh menerima: BCG, yellow fever5 Catatan. Petunjuk di atas berbeda dengan petunjuk untuk pasien dengan gangguan sistem imun lainnya.