6. BAB II - fkip.unja

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian tanah
Menurut Hanafiah (2007) tanah adalah lapisan permukaan bumi yang secara fisik
berfungsi sebagai tempat tumbuh berkembangnya perakaran penopang tegak
tumbuhnya tanaman dan penyuplai kebutuhan air dan udara, secara kimiawi berfungsi
sebagai gudang dan penyuplai hara dan nutrisi (senyawa organik dan anorganik
sederhana dan unsure-unsur esensial seperti N, P, K, Ca, Mg, S, Cu, Zn, Fe, Mn, B,
Cl, dan lain-lain), dan secara biologis berfungsi sebagai habitat biota (organisme)
yang berpartisipasi aktif dalam penyediaan hara tersebut dan zat-zat aditif (pemacu
tumbuh, proteksi) bagi tanaman, yang ketiganya secara integral mampu menunjang
produktivas baik tanaman pangan, obat-obatan, industry perkebunan, maupun
kehutanan.
Menurut Hardjowigeno (2010) dalam definisi ilmiahnya tanah (soil) adalah
kumpulan dari benda alam dipermukaan bumi yang tersusun dalam horizon-horizon,
terdiri dari campuran bahan mineral, bahan organik, air dan udara, dan merupakan
media untuk tumbuhnya tanaman. Tanah (soil) berbeda dengan lahan (land) karena
lahan meliputi tanah beserta faktor-faktor fisik lingkunganya seperti lereng, hidrologi,
iklim, dan sebagainya.
Menurut Supardi (1983) seorang ahli tanah menganggap tanah sebagai tubuh
alam yang berdimensi dalam dan luas. Ia juga memandang tanah sebagai hasil kerja
gaya-gaya pembangun dan penghancur. Pelapukan bahan organik merupakan
kejadian destruktif, sedangkan pembentukan mineral baru seperti liat, dan
perkembangan suatu horizon merupakan kejadian sintetik. Ia menganggap tanah
sebagai suatu tempat bagi tanaman. Ia juga melihat pentingnya peranan tanaman
dalam pembentukan tanah dan menyadari bahwa kegunaan tanah yang terpenting
ialah untuk becocok tanam.
2.2 Bahan Organik Tanah
Sumber asli bahan organik ialah jaringan tumbuhan. Di alam daun, ranting,
cabang, batang dan akar tumbuhan menyediakan sejumlah bahan organik tiap
tahunnya. Dari tanah yang diusahakan manusia sebagian dari tumbuhan diangkut dari
tanah, tetapi sebagian lainnya tertinggal dalam bentuk akar atau dedaunan yang jatuh.
Bahan tersebut akan mengalami pelapukan dan terangkut kelapisan lebih dalam dan
selanjutnya menjadi satu dengan tanah. Jadi, tumbuhan golongan tinggi tidak saja
merupakan sumber utama bahan pangan bagi berbagai jazad tanah, tetapi juga bagi
penambahan bahan organik yang sangat penting dalam pembentukan tanah.
Binatang biasanya dianggap sebagai penyumbang bahan organik sekunder
setelah tumbuhan. Mereka akan menggunakan bahan organik sebagai sumber energi
dan bila mereka mati jazadnya merupakan sumber bahan organik baru. Bentuk
kehidupan binatang tertentu, terutama cacing tanah, sentipeda, atau semut memainkan
peranan penting dalam pemindahan sisa tanaman dari permukaan ke dalam tanah.
Bahan organik tanah merupakan penimbunan dari sisa tumbuhan dan binatang
yang sebagian telah mengalami pelapukan dan pembentukan kembali. Bahan
demikian berada dalam proses pelapukan aktif dan menjadi mangsa serangan jazad
mikro. Sebagai akibatnya, bahan itu berubah terus dan tidak mantap, dan selalu harus
diperbaharui melalui penambahan sisa-sisa tanaman atau binatang.
Kadar bahan organik tanah mineral tidak melebihi 3% atau 5% dari bobot
tanah. Walaupun jumlahnya sedikit, pengaruh bahan organik terhadap sifat-sifat tanah
dan selanjutnya terhadap pertumbuhan tanaman sangat nyata. Bahan organik
merupakan perekat butiran lepas, dan sumber utama nitrogen, fosfor dan belerang.
Bahan organik mempengaruhi sifat fisik tanah. Bahan organik cenderung
meningkatkan jumlah air yang dapat ditahan tanah dan jumlah air yang tersedia bagi
tanaman. Bahan organik merupakan sumber energi bagi jazad mikro. Tanpa bahan
organik semua kegiatan biokimia terhenti (Supardi, 1983).
Bahan organik dalam tanah terdiri dari bahan organik kasar dan bahan organik
halus atau humus. Humus terdiri dari bahan organik halus berasal dari hancuran
bahan organik kasar serta senyawa-senyawa baru yang dibentuk dari hancuran bahan
organik tersebut melalui kegiatan mikroorganisme di dalam tanah. Humus merupakan
senyawa yang resisten (tidak mudah hancur) berwarna hitam atau coklat dan
mempunyai daya menahan air dan unsur hara tinggi (Hardjowigeno, 2010). Di antara
komponen-komponen aktif secara biologis dari bahan organik tanah adalah,
polisakarida, gula-gula amino, nukleosida, dan belerang organik, serta senyawasenyawa posfor.
http://kimia.upi.edu/utama/bahanajar/kuliah_web/2009/0601119/tanah.html
Bahan organik memiliki peran penting dalam menentukan kemampuan tanah
untuk mendukung tanaman. Oleh karena itu, jika BOT menurun, kemampuan tanah
dalam mendukung produktivitas tanaman juga menurun. Menurunnya kadar bahan
organik tanah merupakan salah satu bentuk kerusakan tanah yang umum terjadi.
Tinggi rendahnya bahan organik juga mempengaruhi jumlah dan aktivitas metabolik
organisme
tanah.
Meningkatnya
kegiatan
organisme
tanah
tersebut
akan
mempercepat dekomposisi bahan organik (Nurmegawati, dkk, 2014).
Tipe senyawa
Tabel 2.1 Klasifikasi senyawa-senyawa organik dalam tanah
Komposisi
Pengaruh/kegunaan
Humus
Sisa degradasi dari penguraian
Kelimpahan
bahan
tanaman, banyak mengandung
meningkatkan sifat fisik tanah,
C, H dan O.
pertukaran
akar,
organik
tempat
persediaan nitrogen.
Lemak-lemak, resin dan lilin
dapat
Secara umum hanya beberapa %
diekstraksi oleh pelarut-pelarut
dari bahan organik tanah yang
organik.
dapat mempengaruhi sifat-sifat
Lemak-lemak
yang
fisik tanah.
Sellulosa, jerami, hemisellulosa.
Makanan
utama
bagi
Sakarida
mikroorganisme
tanah,
membantu menstabilkan agregat
tanah.
Ikatan N pada humus, asam
Nitrogen dalam bahan organik
amino, gula amino.
Penyedia
nitrogen
untuk
kesuburan tanah.
Ester-ester fosfat, fosfolipid.
Senyawa-senyawa fosfor
Sumber dari fosfat tanaman.
(Achmad, 2004).
Kandungan bahan organik (karbon organik) dalam tanah mencerminkan
kualitas tanah yang langsung maupun tidak langsung berpengaruh pada kualitas tanah
tersebut (Editorial dalam Supriyadi, 2008). Bahan organik diwilayah tropika berperan
menyediakan unsur hara N, P dan S yang dilepaskan secara lambat meningkatkan
kapasitas tukar kation (KTK) tanah masam, menurunkan viksasi P karena pemblokan
sisi viksasi oleh radikal organik, membantu memantapkan agregat tanah,
memodifikasi retensi air, dan membentuk kompleks dengan unsur mikro (Sanchez
dalam Supriyadi, 2008). Meskipun kandungan bahan organik kebanyakan tanah
hanya berkisar 2-10 %, peranannya sangat penting (Bot dan Benities dalam
Supriyadi, 2008).
Karbon diperlukan mikroorganisme sebagai sumber energi dan nitrogen
diperlukan untuk membentuk protein. Apabila ketersediaan karbon terbatas (nisbah
C/N terlalu rendah) tidak cukup senyawa sebagai sumber energi yang dapat
dimanfaatkan mikroorganisme untuk mengikat seluruh nitrogen bebas. Apabila
ketersediaan karbon berlebihan (C/N > 40) jumlah nitrogen sangat terbatas sehingga
menjadi faktor pembatas pertumbuhan organisme (Wallace and Terry, 1998).
Adapun faktor yang mempengaruhi kandungan bahan organik tanah yaitu:
1.
Temperatur
Temperatur berpengaruh pada kecepatan dekomposisi bahan organik. Tanah
tropika mempunyai kandungan karbon organik yang rendah karena kondisi
lingkungan yang mendukung dekomposisi bahan organik tanah. Dekomposisi
bahan organik di wilayah tropika dapat mencapai dua sampai lima kali lebih
cepat dibandingkan di wilayah sedang. Setiap peningkatan suhu 10
o
C
menyebabkan kecepatan meningkat menjadi dua kali (Sanchez, 1976).
Tingginya suhu udara (berkisar 27-30 oC) dan kelembaban berkisar 70 – 94%
merupakan pendorong aktivitas mikroorganisme tanah dalam perombakan
bahan organik (Supriyadi, 2008).
2.
Tekstur tanah
Kandungan bahan organik cenderung meningkat dengan meningkatnya
kandungan liat. Ikatan anatara liat dan bahan organik melindungi bahan tersebut
dari aksi dekompodidi oleh mikrobia tanah. Tingginya kandungan liat juga
berpotensi tinggi untuk formasi agregat. Agregat makro akan melindungi bahan
organik dari mineralisasi lebih lanjut (Supriyadi, 2008)
3.
Reaksi tanah
Kondisi tanah asam atau alkali akan berpengaruh pada produksi biomassa dan
aktivitas mikrobia dalam tanah. Tanah yang terlalu asam atau basa akan
mengurangi aktivitas mikroorganisme. Pada kondisi tanah asam fungi yang
berperan dalam kegiatan tersebut sehingga dekomposisi residu tanaman lambat
namun kerja fungi lebih efisien dibandingkan dengan bakteri (Supriyadi, 2008).
Reaksi tanah itu sendiri adalah parameter tanah yang dikendalikan oleh sifat
elektrokimia koloid-koloid tanah. Istilah ini merujuk pada keasaman dan
kebasaan tanah, yang derajatnya ditentukan oleh kadar ion hidrogen dalam
larutan tanah. Keasaman dan kebasaan tanah merupakan kadar baik ion H+
maupun ion OH- yang bersumber dari suatu senyawa. Air adalah sumber kecil
ion H+ karena diasosiasi oleh molekul H2O lemah. Proses yang menghasilkan
ion H+ adalah respirasi akar dan jasad penghuni tanah, perombakan bahan
organik, pelarutan CO2, udara dalam lengas tanah, hidrolisis Al, nitrifikasi,
oksidasi N2, oksidasi S dan pelarutan serta penguraian pupuk kimia
(Tejoyuwono dalam Lestari, 2015).
4.
Input bahan organik
Kuantitas dan kualitas input bahan organik akan berpengaruh pada kandungan
bahan organik tanah. Substrat organik dengan C/N rasio sempit (<25)
menyebabkan dekomposisi berjalan cepat, sebaliknya pada bahan dengan C/N
lebar (>25) maka mendorong imimobilisasi, pembentukan humus, akumulasi
bahan organik dan peningkatan struktur tanah.
5.
Pengolahan tanah
Praktek pertanian seperti pemberoan tanpa tanaman, pembakaran dan
pengankutan sisa tanaman dan pengolaha tanah telah mendorong hilangnya
ahan organik tanah sehingga mengarah pada degradasi struktur. Dekomposisi
bahan orgaik adalah proses aerob, oksigen akan mempercepat proses tersebut.
Dengan pengolahan tanah sisa tanaman dibenamkan bersama udara dan
membuat kontak engan organisme tanah, sehingga mempercepat dekomposisi
menghasilkan CO2 yang dilepaskan udara. Pengolahan yang berulang-ulang
bersamaan penurunan input bahan organik ke dalam tanah menyebabkan
disintegrasi agregat sehingga menjadikan tanah peka pada erosi dan pemadatan
(Lal dalam Lestari, 2015).
2.3 Sifat-sifat tanah
Tanah merupakan campuran dari berbagai mineral, bahan organik, dan air
yang dapat mendukung kehidupan tanaman. Tanah umumnya mempunyai struktur
yang lepas dan mengandung bahan-bahan padat dan rongga-rongga udara. Bagianbagian mineral dari tanah dibentuk dari batuan induk oleh proses-proses pelapukan
fisik, kimia dan biologis. Susunan bahan organik tanah terdiri dari sisa-sisa biomasa
tanaman dari berbagai tingkat penguraian atau pembusukan. Sejumlah besar bakteri,
fungi, dan hewan-hewan seperti cacing tanah dapat ditemukan didalam tanah.
Jenis-jenis tanah tertentu mempunyai lapisan-lapisan yang berbeda bila tanah
itu semakin kedalam. Lapisan-lapisan ini disebut horizon. Lapisan atas, umumnya
terdiri dari ketebalan sampai beberapa inci dan dikenal sebagai horizon A atau tanah
atas (top soil). Lapisan ini merupakan lapisan dimana aktivitas biologis berjalan
secara maksimum dan mengandung paling banyak bahan organik tanah. Ion-ion
logam dan partikel-partikel tanah liat dalam horizon A paling mudah mengalami
pencucian (leaching). Lapisan berikutnya adalah horizon B atau sub soil. Lapisan ini
menerima material-material seperti bahan organik, garam-garam, dan partikel-partikel
clay yang merembes dari lapisan tanah atas. Horizon C tersusun dari pelapukan
batuan induk dimana tanah berasal (Achmad, 2004).
2.4 Temperatur Tanah
Temperatur (suhu) adalah suatu sifat tanah yang sangat penting, secara langsung
mempengaruhi pertumbuhan tanaman, dan juga terhadap kelembaban, aerasi,
struktur, aktivitas mikrobial dan enzimatik, dekomposisi serasah/sisa tanaman dan
ketersediaan hara-hara tanaman. Temperatur tanah merupakan salah satu faktor
tumbuh tanaman yang penting sebagaimana halnya air, udara dan unsur hara. Proses
kehidupan bebijian, akar tanaman dan mikrobia tanah secara langsung dipengaruhi
oleh temperatur tanah. Laju reaksi kimiawi meningkat dua kali lipat untuk setiap 10
o
C kenaikan temperatur.
Temperatur tanah sangat mempengaruhi aktivitas mikrobial tanah. Aktivitas
ini sangat terbatas pada temperatur di bawah 10 oC, laju optimum aktivitas biota
tanah yang menguntungkan terjadi pada temperatur 18-30 oC, seperti bakteri pengikat
N pada tanah berdrainase baik. Nitrifikasi berlangsung optimum pada temperatur
sekitar 30 oC. Pada temperatur di atas 30 oC, lebih banyak unsur K-tertukar
dibebaskan ketimbang pada temperatur yang lebih rendah, sehingga penyerapannya
oleh akar juga meningkat (Hanafiah, 2007).
Temperatur berpengaruh pada kecepatan dekomposisi bahan organik. Tanah
tropika mempunyai kandungan karbon organik rendah karena kondisi lingkungan
mendukung dekomposisi dan mineralisasi bahan organik tanah. Dekomposisi bahan
organik di wilayah tropika bisa mencapai 2-5x lebih cepat dibandingkan di wilayah
sedang. Setiap peningkatan suhu 10 oC menyebabkan kecepatan meningkat menjadi
dua kali (Sanchez dalam Supriyadi, 2008).
2.5 Respirasi Tanah
Respirasi tanah adalah proses pembebasan CO2 dari dalam tanah akibat kegiatan
mikroorganisme tanah atau residu - residu tanaman dan hewan yang membentuk
bahan organik tanah (Sutedjo, dkk, 1991).
Anas dalam Hanafiah (2007) menjelaskan pengukuran respirasi (mikrobia)
tanah merupakan cara yang pertama kali digunakan untuk menentukan tingkat
aktivitas mikrobia tanah. Sampai saat ini metode ini masih merupakan cara yang
paling sering di gunakan, karena hasil yang diperoleh cukup peka, konsisten,
sederhana dan tidak memerlukan peralatan yang mahal dan canggih.
Penetapan respirasi tanah didasarkan pada penetapan :
1)
Jumlah CO2 yang dihasilkan, dan
2)
Jumlah O2 yang digunakan oleh mikrobia tanah.
Pengukuran respirasi ini berkorelasi baik dengan peubah kesuburan tanah yang
berkaitan dengan aktivitas mikrobia seperti :
1)
Kandungan bahan organik,
2)
Transformasi N atau P,
3)
Hasil antara,
4)
pH, dan
5)
Rata-rata jumlah mikroorganisme (Hanafiah, 2007).
Menurut Ragil dalam Soemarno (2010) respirasi tanah merupakan suatu
proses yang terjadi karena adanya kehidupan mikrobia yang melakukan aktifitas
hidup dan berkembang biak dalam suatu masa tanah. Mikrobia dalam setiap
aktifitasnya membutuhkan O2 atau mengeluarkan CO2 yang dijadikan dasar untuk
pengukuran respirasi tanah. Laju respirasi maksimum terjadi setelah beberapa hari
atau beberapa minggu populasi maksimum mikrobia dalam tanah, karena banyaknya
populasi mikrobia mempengaruhi keluaran CO2 atau jumlah O2 yang dibutuhkan
mikrobia. Oleh karena itu, pengukuran respirasi tanah lebih mencerminkan aktifitas
metabolik mikrobia daripada jumlah, tipe, atau perkembangan mikrobia tanah.
Anas dalam Hanafiah (2007) menyebutkan cara penetapan tanah di
laboratorium lebih disukai. Prosedur di laboratorium meliputi penetapan pemakaian
O2 atau jumlah CO2 yang dihasilkan dari sejumlah contoh tanah yang diinkubasi
dalam keadaan yang diatur di laboratorium. Dua macam inkubasi di laboratorium
adalah : 1) Inkubasi dalam keadaan yang stabil (steady-stato), 2) Keadaan yang
berfluktuasi untuk keadaan yang stabil, kadar air, temperatur, kecepatan, aerasi, dan
pengaturan ruangan harus dilakukan dengan sebaik mungkin.
Menurut Widati dalam Saraswati, dkk (2007) pengukuran respirasi di
lapangan dilakukan dengan memompa udara tanah atau dengan menutup permukaan
tanah dengan bejana yang volumenya diketahui. Selain itu, bisa juga dengan
membenamkan tabung untuk mengambil contoh udara di dalam tanah. Pengukuran di
laboratorium meliputi penetapan CO2 yang dihasilkan dari sejumlah contoh tanah
yang kemudian diinkubasi dalam jangka waktu tertentu. Tingkat respirasi tanah
ditetapkan dari tingkat evolusi CO2. Evolusi CO2 tanah dihasilkan dari dekomposisi
bahan organik. Dengan demikian, tingkat respirasi adalah indikator tingkat
dekomposisi bahan organik yang terjadi pada selang waktu tertentu.
Menurut Hakim dan Nurhayati (1986) respirasi dipengaruhi oleh suhu,
umumnya laju respirasi akan menjadi rendah pada suhu yang rendah pula dan
meningkat pada suhu yang tinggi.
2.6 Mikroorganisme Tanah
Dalam proses dekomposisi, mikroorganisme memanfaatkan senyawa karbon
dalam bahan organik untuk memperoleh energi dengan hasil sampingan berupa CO2.
Hal ini yang menyebabkan selama dekomposisi, kadar C bahan organik akan
berkurang sehingga nisbah C/N semakin rendah (Benbi dan Richter dalam Wijanarko,
dkk, 2012).
Jasad yang menggunakan C-organik sebagai sumber energi dan karbonnya
tergolong jasad heterotropik, sedangkan yang dapat menggunakan O2 untuk
aktivitasnya tergolong obligat aerobik, fakultatif aerob atau fakultatif anaerobik. Atas
dasar reaksi di atas, maka pengukuran respirasi ditujukan terhadap aktivitas jasad
mikrobia ini, tidak termasuk jasad ototropik atau heterotropik anaerobik. Seperti yang
kita ketahui apabila dekomposisi bahan organik meningkat, maka akan meningkatkan
aktivitas mikroorganisme serta dapat meningkatkan respirasi tanah. Semakin banyak
CO2 yang dikeluarkan tanah, semakin tinggi aktivitas dan mikroorganisme, hal ini
mengakibatkan semakin tinggi respirasi tanah.
Bahan organik tanah terdiri dari sisa-sisa tanaman dan hewan dari semua
tahapan dekomposisi karena kerja mikroorganisme tanah. Bermacam-macam
senyawa organik yang mencapai tanah dalam bentuk sisa-sisa tanaman atau hewan
tersusun dari karbohidrat yang kompleks, gula sederhana, tepung, selulosa,
hemiselulosa, pectin, getah, lender, protein, lemak, minyak, lilin, resin, alcohol,
aldehid, keton, asam-asam organik, lignin, fenol, tanin, hidrokarbon, alkaloid,
pigmen, dan produk-produk lainnya. Ukuran partikel dalam bahan organik, ciri-ciri
dan jumlah mikroorganisme yang terlibat, sejauh mana ketersediaan C, N, P, dan K,
kandungan kelembapan tanah, temperature, pH, dan aerasinya, adanya senyawasenyawa penghambat dan sebagainya, merupakan sebagian dari faktor-faktor utama
yang mempengarahi laju dekomposisi bahan organik.
Bakteri
merupakan
kelompok
mikroorganisme
yang
paling
banyak
jumlahnya. Dalam tanah subur yang normal, terdapat 10 – 100 juta bakteri di dalam
setiap g tanah. Angka ini mungkin meningkat tergantung dari kandungan bahan
organik suatu tanah tertentu. Hasil akhir dekomposisi adalah CO2, H2O, NO3, SO4,
CH4, NH4 dan H2S, tergantung dari ketersediaan udara.
Pada waktu mikroorganisme tumbuh dan berkembang biak pada sampah
organik, digunakan karbon untuk menyusun bahan selular sel-sel mikroba dengan
membebaskan karbon dioksida, metana, dan bahan-bahan lain yang mudah menguap
(Gambar 2.1). Berlangsung tiga proses parallel selama terjadi dekomposisi: (1)
degradasi sisa-sisa tumbuhan dan hewan oleh selulosa dan enzim-enzim mikroba
lainnya, (2) peningkatan biomassa mikroorganisme yang terdiri dari polisakarida dan
protein, dan (3) akumulasi atau pembebasan hasil akhir (Rao, 1986).
Gambar 2.1 Jalur dekomposisi bahan organik
Pengertian umum yang saat ini banyak dipakai untuk memahami organisme
perombak bahan organik atau biodekomposer adalah organisme pengurai nitrogen
dan karbon dari bahan organik (sisa
(sisa-sisa
sisa organik dari jaringan tumbuhan atau hewan
yang telah mati) yaitu bakteri, fungi, dan aktinomisetes. Perombak bahan organik
terdiri atas perombak primer dan perombak sekunder. Perombak primer adalah
mesofauna perombak bahan organik, seperti Colembolla, Acarina yang berfungsi
meremah-remah
remah bahan organik/serasah menjadi
menjadi berukuran lebih kecil. Cacing tanah
memakan sisa-sisa
sisa remah tadi yang lalu dikeluarkan sebagai faeces setelah melalui
pencernaan dalam tubuh cacing. Perombak sekunder ialah mikroorganisme perombak
bahan organik seperti Trichoderma reesei, T. harzianum, T. koningii, Phanerochaeta
crysosporium, Cellulomonas, Pseudomonas, Thermospora, Aspergillus niger, A.
terreus, Penicillium, dan Streptomyces. Adanya aktivitas fauna tanah, memudahkan
mikroorganisme untuk memanfaatkan bahan organik, sehingga proses mineralisasi
minera
berjalan lebih cepat dan penyediaan hara bagi tanaman lebih baik (Rao, 1986).
2.7 Kandungan Karbon Dalam Tanah
Cadangan karbon pada suatu sistem penggunaan lahan dipengaruhi oleh
jenis
vegetasinya.
Jumlah
karbon
tersimpan
antar
lahan
berbeda-beda,
tergantung pada keragaman dan kerapatan tumbuhan yang ada, jenis tanahnya
serta cara pengelolaannya. Suatu sistem penggunaan lahan yang terdiri dari
pohon dengan spesies yang mempunyai nilai kerapatan kayu tinggi, biomasanya
akan lebih tinggi bila dibandingkan dengan lahan yang mempunyai spesies dengan
nilai kerapatan kayu rendah (Rahayu, dkk, 2007).
Kemampuan hutan dalam menyerap dan menyimpan karbon tidak sama baik
di hutan alam, hutan tanaman, hutan payau, hutan rawa maupun di hutan rakyat
tergantung pada jenis pohon, tipe tanah dan topografi. Oleh karena itu, informasi
mengenai cadangan karbon dari berbagai tipe hutan, jenis pohon, jenis tanah dan
topografi di Indonesia sangat penting (Ginoga, dkk, 2010).
Ginoga, dkk (2010) menyatakan bahwa kemampuan hutan tanaman dalam
menyimpan karbon lebih rendah dibandingkan hutan alam. Pada hutan tanaman
didominasi oleh tanaman yang cenderung monokultur dan tanaman berumur muda.
Kemampuan hutan tanaman dalam menyimpan karbon tersebut akan dipengaruhi oleh
jenis yang ditanam, kondisi tempat tumbuh dan teknik silvikultur atau intensitas
pemeliharannya. Selanjutnya pada hutan lahan kering relatif memiliki kemampuan
menyimpan karbon dalam jumlah lebih besar daripada hutan rawa dan mangrove
karena kemampuannya dalam membangun tegakan yang tinggi dan berdiameter besar
sebagai tempat menyimpan karbon. Hal ini sejalan dengan pendapat Rahayu, dkk
(2007) bahwa hutan alam merupakan penyimpan karbon (C) tertinggi bila
dibandingkan dengan sistem penggunaan lahan (SPL) pertanian, dikarenakan
keragaman pohon yang tinggi.
Menurut Bot dan Benites dalam Supriyadi (2008) Kandungan karbon dalam
tanah mencerminkan kandungan bahan organik dalam tanah yang merupakan tolak
ukur
yang penting untuk pengelolaan tanah.
Bahkan bahan organik dipercaya
sebagai kunci ketahanan terhadap kekeringan dan kelestarian produksi pangan.
Menurut Konova dalam Rosmarkam dan Yuwono (2002) sumber utama CO2
di alam berasal dari dekomposisi bahan organik berupa sisa-sisa tanaman ataupun
hewan dan dari respirasi invertebrate, bakteri, serta fungi.
Karbon organik (C-Organik) merupakan semua jenis senyawa organik yang
terdapat di dalam tanah, termasuk serasah, fraksi bahan organik ringan, biomassa
mikroorganisme, bahan organik terlarut di dalam air, dan bahan organik yang stabil
atau humus. Kadar C-organik tanah cukup bervariasi, tanah mineral biasanya
mengandung C-organik antara 1 hingga 9% sedangkan tanah gambut dan lapisan
organik tanah hutan dapat mengandung 40 sampai 50% C-organik dan biasanya
kurang dari 1% di tanah gurun pasir (Fadhilah, 2010).
Dalam sistem pertanian berkelanjutan, bahan organik tanah memegang
peranan penting khususnya dalam meningkatkan kualitas tanah. Kadar bahan organik
tanah pada waktu tertentu ditentukan oleh keseimbangan antara penambahan bahan
organik dan kehilangan melalui dekomposisi dan pencucian, yang selanjutnya dapat
menunjukkan apakah terjadi penurunan (degradation) atau peningkatan (aggradation),
baik secara keseluruhan maupun hanya sebagian dari pool bahan organik tanah
(Wander, et al dalam Nurida dan Jubaedah, 2015). Dalam suatu ekosistem, siklus
karbon dapat dikonseptualisasikan dari tiga kompartemen sistem yaitu tanah, tanaman
dan atmosfir/udara (Jansen dalam Nurida dan Jubaedah, 2015). Iklim, geologi dan
praktek pengelolaan lahan merupakan faktor utama yang menentukan kandungan
karbon dalam tanah dan tanaman (Yoo, et al dalam Nurida dan Jubaedah, 2015).
Vegetasi atau tanaman secara langsung mempengaruhi konsentrasi CO2 di atmosfir,
panas dan kelembaban tanah dan udara serta menekan erosi tanah (Krinner, et al
dalam Nurida dan Jubaedah, 2015). Distribusi dan kepadatan penutupan lahan oleh
tanaman sangat menentukan kandungan C di lahan hutan, sementara pada lahan yang
diolah secara intensif seperti lahan usaha tani tanaman pangan, hortikultura, padang
penggembalaan, dan lahan alang-alang, kontribusi vegetasi tidak sebesar di lahan
hutan. Karbon dalam tanah disekuestrasi dari atmosfir atau udara dalam bentuk
organik melalui deposisi tanaman dan akumulasi bahan organik recalcitrant dan
bersumber dari bahan induk tanah dalam bentuk bikarbonat dari pelapukan mineral
silikat (Chadwick, et al. 1994). Proses dekomposisi dan sekuestrasi bahan organik
dalam tanah merupakan sumber utama input atau penambahan karbon dalam tanah.
Temperatur, sisa tanaman atau biomas, dan hara akan sangat menentukan proses
dekomposisi biologi dan mineralisasi menjadi dissolved organik carbon (DOC), CO2
dan CH4 (Banco-Cangui dan Lal dalam Nurida dan Jubaedah, 2015). Vegetasi juga
berkontribusi terhadap peningkatan karbon tanah melalui eksudat akar, namun dalam
waktu bersamaan juga menurunkan kandungan karbon melalui respirasi akar
tanaman. Curah hujan berkontribusi terhadap karbon tanah dalam bentuk DOC dan
dissolved inorganik carbon (DIC). Willey, et al. (2000) mengemukakan bahwa
konsentrasi kabon dari presipitasi di daerah beriklim sedang (temperate) sebesar 0,82-
2,00 mg/CL. Deposisi tanah yang terangkut dari tempat lain, merupakan proses
relokasi karbon dari satu tempat ke tempat lain dan besarnya sangat tergantung pada
proses erosi, translokasi, dan akumulasi di suatu tempat (Quinton, et al dalam Nurida
dan Jubaedah, 2015). Pada lahan pertanian, kehilangan karbon terjadi melalui
peningkatan proses dekomposisi bahan organik pada lapisan olah akibat pengolahan
tanah dan hilang terangkut erosi. Proses dekomposisi bahan organik menghasilkan
CO2 melalui respirasi mikroorganisme.
2.8 Degradasi Karbon Tanah
Menurut Kimmnins dalam Nuryadin, K (2003) degradasi menunjukan adanya
disintegrasi dan perubahan batuan dan mineral oleh proses-proses fisik dan kimia.
Degradasi fisik disebabkan oleh tekanan fisik dalam batuan atau mineral. Proses ini
menyebabkan batuan hancur menjadi bahan yang lebih kecil tanpa perubahan
komposisi kimia. Degradasi kimia disebabkan oleh reaksi kimia dan terjadi
perubahan kimia yang jelas pada produk dekomposisinya. Menurut Kamus Lengkap
Kimia dalam Nuryadin, K (2003) degradasi adalah reaksi kimia yang memecah suatu
senyawa menjadi senyawa yang lebih sederhana atau unsur-unsurnya.
Sifat tanah dipengaruhi oleh vegetasi yang hidup dan akumulasi senyawa organik
yang dilepaskan karena terjadi kebakaran. Menurut kimmnins dalam Nuryadin, K
(2003) api memiliki potensi untuk menginduksi perubahan signifikan terhadap tanah.
Hilangnya bahan organik merupakan efek paling utama dalam kebakaran tanah.
Kebakaran mempercepat proses normal mineralisasi bahan organik.
Suhu tanah yang rendah akan memperlambat dekomposisi dan membatasi
kedalaman akar, dimana keduanya menurunkan produksi tanaman dengan membatasi
suplai nutrient. Pengaruh suhu pada dekomposisi ditandai oleh jumlah CO2 yang
dilepaskan dari semua materi lantai hutan yang diinkubasi pada beberapa suhu
(Nuryadin, K, 2003).
Banyaknya bahan organik yang dapat didegradasi baik secara biologis
menggunakan jamur dan bakteri, maupun suhu, ditunjukan oleh kadar CO2 yang
dihasilkan (Sutedjo, dkk dalam Nuryadin, K, 2003). Menurut Kilham dalam
Nuryadin, K (2003) produk akhir dekomposisi senyawa organik dalam tanah adalah
karbondioksida. Oleh karena itu, maka produksi CO2 digunakan sebagai indikator
laju degradasi bahan organik.
2.9 Degradasi Tanah
Dalam keputusan COP ke-9 tahun 2003, degradasi hutan didefinisikan sebagai
“kehilangan setidaknya Y% stok karbon hutan (dan nilai hutan) dalam jangka waktu
lama (selama setidaknya X tahun) sejak waktu T yang disebabkan kegiatan manusia
dan tidak dianggap sebagai deforestasi”. Kegiatan yang biasa menjadi penyebab
degradasi hutan di daerah tropis meliputi :
•
Tebang pilih
•
Kebakaran hutan terbuka dan dalam skala luas
•
Pengumpulan hasil hutan non kayu dan kayu bakar
•
Produksi arang, pengembalaan, kebakaran tegakan bawah, dan peladangan
berpindah.
Defenisi degradasi tanah cukup banyak diungkapkan oleh para pakar tanah,
namun kesemuanya menunjukkan penurunan atau memburuknya sifat-sifat tanah
apabila dibandingkan dengan tanah tidak terdegradasi. Degradasi tanah menurut FAO
adalah hasil satu atau lebih proses terjadinya penurunan kemampuan tanah secara
aktual maupun potensial untuk memproduksi barang dan jasa. Defenisi tersebut
menunjukkan pengertian umum dengan cakupan luas tidak hanya berkaitan dengan
pertanian (Firmansyah, 2003).
Menurut Firmansyah (2003) bentuk degradasi tanah yang terpenting di
kawasan Asia antara lain adalah erosi tanah, degradasi sifat kimia berupa penurunan
kadar bahan organik tanah dan pencucian unsur hara. Perubahan penggunaan lahan
dan pola pengelolaan tanah menyebabkan perubahan kandungan bahan organik tanah.
Makin intensif penggunaan suatu lahan, makin rendah kandungan bahan organik
tanah.
2.9.1 Faktor-Faktor terjadinya Degradasi Tanah
Degradasi tanah pada umumnya disebabkan karena 2 hal yaitu faktor alami dan
akibat faktor campur tangan manusia. Degradasi tanah dan lingkungan, baik oleh ulah
manusia maupun karena ganguan alam, semakin lama semakin meningkat. Lahan
subur untuk pertanian banyak beralih fungsi menjadi lahan non pertanian. Sebagai
akibatnya kegiatan-kegiatan budidaya pertanian bergeser ke lahan-lahan kritis yang
memerlukan infut tinggi dan mahal untuk menghasilkan produk pangan yang
berkualitas (Mahfuz, 2003).
Dibandingkan tanah non terdegradsai, maka tanah terdegradasi lebih rendah
38% C organik tanah, 55% lebih rendah basa-basa dapat ditukar, 56% lebih rendah
biomasa mikroba, 44% lebih rendah kerapatan mikroartropoda, sebaliknya 13% lebih
tinggi berat isi dan 14% pasir. Nilai pH non terdegradasi lebih tinggi daripada tanah
terdegradasi. Begitu pula ditemukan bahwa dekomposisi daun dan pelepasan unsur
hara lebih rendah pada tanah terdegradasi daripada non terdegradasi selama 150
percobaan (Firmansyah, 2003).
Karakteristik tanah terdegradasi umumnya diukur dengan membandingkan
dengan tanah non terdegradasi yaitu tanah hutan. Perbandingan tanah hutan sebagai
tanah non terdegradasi karena memiliki siklus tertutup artinya semua unsur hara di
dalam sistem tanah hutan berputar dan sangat sedikit yang hilang atau keluar dari
sistem siklus hutan. Sedangkan selain tanah hutan merupakan sistem terbuka dimana
siklus hara dapat hilang dari sistem tersebut. Penurunan sifat pada tanah untuk
penggunaan non hutan akan menunjukkan memburuknya sifat-sifat dari tanah
tersebut. Lima proses utama yang terjadi akibat timbulnya tanah yang terdegradasi,
yaitu: menurunnya bahan kandungan bahan organik tanah, perpindahan liat,
memburuknya struktur dan pemadatan tanah, erosi tanah, deplesi dan pencucian
unsur hara (Firmansyah, 2003).
2.10 Titrasi
Salah satu teknik yang paling penting dalam kimia analitik ialah titrasi, yaitu
penambahan secara cermat volume suatu larutan yang mengandung zat A yang
konsentrasinya diketahui, kepada larutan kedua yang mengandung zat B yang
konsentrasinya tidak diketahui, yang akan mengakibatkan reaksi antara keduanya
secara kuantitatif. Selesainya reaksi, yaitu pada titik akhir, ditandai dengan semacam
perubahan fisis, misalnya warna campuran yang bereaksi. Titik akhir dapat dideteksi
dalam campuran reaksi yang tidak berwarna dengan menambahkan zat yang disebut
indikator yang mengubah warna pada titik akhir.
Pada titik akhir jumlah zat kimia A yang telah ditambahkan secara unik berkaitan
dengan bahan kimia B yang tidak diketahui yang semula ada, berdasarkan persamaan
reaksi titrasi. Titrasi memungkinkan kimiawan menentukan jumlah zat yang ada
dalam sampel. Dua penerapan titrasi yang paling lazim melibatkan reaksi netralisasi
asam-basa dan reaksi oksidasi-reduksi (atau redoks) (Oxtoby, 2001).
Suatu larutan standar adalah larutan yang mengandung reagensia dengan bobot
yang diketahui dalam suatu volume tertentu larutan. Larutan standar biasanya
ditambahkan dari dalam sebuah buret. Proses penambahan larutan standar sampai
reaksi tepat lengkap disebut titrasi, dan zat yang akan ditetapkan disebut zat yang
dititrasi. Titik (saat) pada mana reaksi itu tepat lengkap, disebut titik ekuivalen
(setara). Lengkapnya titrasi, lazimnya harus terdeteksi oleh suatu perubahan, yang tak
dapat di salah lihat oleh mata, yang dihasilkan oleh larutan standar itu sendiri atau
lazimnya lagi oleh penambahan suatu reagensia pembantu yang dikenal sebagai
indikator. Setelah reaksi antara zat dan larutan standar praktis lengkap, indikator
harus memberi perubahan visual yang jelas dalam cairan yang sedang dititrasi. Titik
saat ini terjadi disebut titik akhir titrasi.
Tujuan titrasi, misalnya dari suatu larutan basa dengan larutan standar suatu asam,
adalah untuk menetapkan jumlah asam yang secara kimiawi adalah tepat ekuivalen
dengan jumlah basa yang ada. Keadaan (atau saat) pada mana ini dicapai, adalah
disebut titik ekuivalen. Hasilnya adalah larutan air dari garam bersangkutan. Jika
asam ataupun basa nya merupakan elektrolit kuat, larutan yang dihasilkan akan netral
dan mempunyai pH 7, tetapi jika asam atau basa nya merupakan elektrolit lemah
garam itu akan terhidrolisis sampai derajat tertentu, dan larutan pada titik ekuivalen
itu akan sedikit basa atau sedikit basa.
Ada tersedia sejumlah zat yang disebut indikator penetralan atau indikator asambasa, yang memiliki warna-warna yang berbeda bergantung pada konsentrasi ion
hydrogen dari larutan. Ciri khas utama dari indikator adalah bahwa perubahan warna
yang dominan “asam” menjadi warna yang dominan “basa” tidaklah mendadak dan
sekaligus, tetapi berjalan di dalam suatu selang (interval) pH, yang dinamakan selang
perubahan warna indikator. Kedudukan selang perubahan warna pada skala pH
berbeda-beda untuk indikator yang berbeda-beda. Maka untuk kebanyakan titrasi
asam-basa, kita dapat memilih suatu indikator yang memperlihatkan perubahan warna
yang jelas pada pH yang dekat dengan pH pada titik ekuivalen (Basset, dkk, 1994).
2.10.1 Titrasi Asidi - Alkalimetri
Asidimetri dan alkalimetri termasuk reaksi netralisasi yakni reaksi antara ion
hidrogen yang berasal dari asam dengan ion hidroksida yang berasal dari basa untuk
menghasilkan air yang bersifat netral. Netralisasi dapat juga dikatakan sebagai reaksi
antara donor proton (asam) dengan penerima proton (basa).
Asidimetri merupakan penetapan kadar secara kuantitatif terhadap senyawasenyawa yang bersifat basa dengan menggunakan baku asam. Sebaliknya alkalimetri
adalah penetapan kadar senyawa-senyawa yang bersifat asam dengan menggunakan
baku basa (Mursyidi dan Rohman, 2007).
Reaksi asam basa menjadi titik dasar bagi titrasi asam basa. Titrasi asam basa
dapat memberikan titik akhir yang cukup tajam untuk diamati secara visual sehingga
untuk pengamatan digunakan suatu indikator yang memiliki warna berbeda pada
lingkungan pH yang berbeda. Selama titrasi pH larutan berubah seara nyata
(signifikan) bila volume penitrasi mencapai titik ekivalen.
Pada titrasi basa kuat dengan asam kuat, sebelum titik ekivalen larutan
bersifat sangat basa dengan konsentrasi ion hidroksida sama dengan konsentrasi
larutan basa mula-mula. Pada titik ekivalen larutan bersifat netral dan akan menjadi
bersifat asam pada penambahan lebih lanjut volume asam penitrasi. Konsentrasi ion
hidronium sama dengan konsentrasi kelebihan asam (Widodo, dkk. 2009).
2.11 Inkubasi
Menurut Tim Era Media (2008), inkubasi merupakan pemeliharaan organisme,
campuran reaksi dan semacamnya dalam lingkungan temperatur konstan selama
kurun waktu tertentu agar tercapai hasil atau akibat tertentu.
Adapun tujuan dari dilakukannya inkubasi dalam penelitian ini adalah untuk
mengukur kecepatan respirasi dari mikroorganisme dalam tanah. Informasi ini juga
memberikan informasi mengenai stabilitas dari karbon organik dalam tanah.
Untuk melakukan inkubasi ini dapat digunakan alat yang disebut inkubator.
Selain dengan menggunakan alat tersebut, inkubasi dapat pula dilakukan dengan cara
menyimpan sampel di tempat gelap yang memiliki suhu kurang lebih konstan. Perlu
diketahui terlebih dahulu kira-kira suhu dalam ruangan tersebut.
2.11.1 Low Temperature Incubator VI 1000
Secara umum inkubator merupakan sebuah kamar atau kotak yang bersuhu
tetap (biasanya 37oC), tempat kultur bakteri ditumbuhkan (Tim Era Media, 2008).
Low Temperature Incubator VI 1000 dilengkapi dengan temperature
controller berupa tampilan LCD, 2 buah pintu kaca, sistem alarm yang dapat diatur
untuk suhu tinggi maupun rendah. Selain itu, alat ini mempunyai 10 rak sehingga
memungkinkan untuk meletakkan sampel dengan jumlah cukup banyak. Kapasitas
dari inkubator model VI 1000 ini adalah 1000 liter dengan rentang suhu yaitu +2oC
hingga +50oC yang dapat disesuaikan dengan yang kita inginkan.
Adapun prosedur yang harus dilakukan saat mulai menggunakan alat ini
yaitu :
1. Sambungkan alat yang masih kosong ke sumber listrik yang memadai
2. Atur angka suhu sesuai yang diinginkan atau sesuai yang telah ditetapkan pabrik
3. Izinkan suhu ruang diatur ke suhu yang diinginkan
4. Nyalakan pemanas pintu kaca jika terjadi pengembunan di bagian depan pintu
5. Pastikan bahwa alat berfungsi dengan benar sebelum meletakkan produk di dalam
ruang. Untuk produk yang hangat dalam jumlah banyak sangat dianjurkan untuk
ditempatkan secara berangsur-angsur ke dalam ruang untuk mencegah peningkatan
suhu berlebih dan mengakibatkan sistem alarm menjadi aktif. Sediakan jarak yang
tepat antara barang-barang yang berada di dalam suhu tertentu, pastikan untuk
menyalakan tombol alarm (ETS, 2007).
Tabel 2.2 Spesifikasi Low Temperature Incubator
ETS
Maker
VI 600
Model
VI 1000
Dimension external (mm)WxDxH
640x640x1430
1550x650x1430
Dimension internal (mm)WxDxH
700x800x2070
1260x800x2070
600 liters
1000 liters
Capacity
Int & ext chamber
Temp control / range
Epoxy coated mild steel
+2°C to +50°C
Temp fluctuate
± 0.1°C
Internal air circulation
Force air
Refrigerant
Comp recip hermetic
R134A / R407 CFC free
280w
400w
Door lock / caster
Power voltage
Standard LED with alarm system feature
1/4
1/4
230Vac 50Hz single phase
*High & Low alarm adjustable
*Powe failure, visual & audible
*Remote alarm contact
(ETS, 2007).
Download