UPAYA MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIKA PESERTA DIDIK PADA MATERI ATURAN SINUS DAN COSINUS MENGGUNAKAN MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM BASED LEARNING DI KELAS X IPA 1 SMA ALMUTTAQIN TASIKMALAYA (Penelitian Tindakan Kelas terhadap Peserta Didik Kelas X IPA 1 SMA Almuttaqin Tahun Pelajaran 2019/2020) PROPOSAL PENELITIAN TINDAKAN KELAS Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Akhir Loka Karya Program Pendidikan Profesi Guru Dalam Jabatan (PPG DalJab) Oleh Prana Jomantara, S.Pd. 19026818010153 PENDIDIKAN PROFESI GURU DALAM JABATAN UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA 2019 1 A. Judul Penelitian Upaya Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Peserta Didik pada Materi Aturan Sinus dan Cosinus Menggunakan Model Pembelajaran Problem Based Learning di Kelas X IPA 1 SMA Almuttaqin Tasikmalaya. B. Latar Belakang Masalah Salah satu mata pelajaran yang penting untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) serta menunjang dalam kehidupan sehari-hari, yaitu pelajaran matematika. Hal ini karena matematika memberi peluang berkembangnya kemampuan menalar yang logis, sistematik, kritis, cermat, kreatif, menumbuhkan rasa percaya diri, serta mengembangkan sikap objektif dan terbuka dalam menyelesaikan permasalahan. Kegiatan matematika dapat memberikan sumbangan penting dalam mengembangkan kemampuan berpikir. Hal ini sangat diperlukan dalam menghadapi tantangan di dalam kehidupan sehari-hari. Matematika bersifat universal, karena matematika mencakup banyak aspek kehidupan manusia. Berkaitan dengan hal tersebut, Sumarmo (2014: 3) berpendapat: „Matematika dikenal pula sebagai ilmu yang terstruktur dan sistematis dalam arti bagian-bagian matematika tersusun seacara hierarkhis dan terjalin dalam hubungan fungsional yang erat, sifat keteraturan yang indah dan kemampuan analisis kuantitatif, yang akan membantu menghasilkan model matematika yang diperlukan dalam pemecahan masalah dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan dan masalah kehidupan sehari-hari.‟ Mengingat peran matematika yang sangat penting dalam proses peningkatan kualitas sumber daya manusia, maka upaya untuk meningkatkan kualitas pembelajaran matematika memerlukan perhatian yang serius, sehingga diharapkan dapat menciptakan peserta didik yang aktif dan mahir dalam menganalisis dan memecahkan masalah, khususnya pemecahan masalah matematika yang kompleks. 2 Kemampuan pemecahan masalah merupakan salah satu kemampuan yang sangat penting, karena merupakan salah satu kemampuan yang banyak dipakai dalam kehidupan sehari-hari. Dalam proses pembelajarannya, peserta didik dimungkinkan memperoleh pengalaman menggunakan pengetahuan serta keterampilan yang sudah dimilikinya untuk memecahkan masalah. Pentingnya memiliki kemampuan pemecahan masalah dikemukakan juga oleh Asikin (Sumarmo, 2014: 452) yaitu: “Membantu siswa menajamkan cara berpikir, sebagai alat untuk menilai pemahaman siswa, membantu siswa mengorganisasi pengetahuan matematik mereka, membantu siswa membangun pengetahuan matematikanya, meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematik, memajukan penalarannya, membangun kemampuan diri, meningkatkan keterampilan sosialnya, serta bermanfaat dalam mendirikan komunitas matematik.” Namun kenyataannya beberapa peserta didik masih kesulitan dalam belajar matematika dan masih ada yang menganggap bahwa matematika hanya sekedar berhitung atau sekedar menghafal rumus. Beberapa peserta didik menerima pengajaran di sekolah apa adanya yang disampaikan oleh pendidik, tanpa mempertanyakan dan tanpa tahu manfaat matematika dalam kehidupan sehari-hari mereka. Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan peneliti pada peserta didik setiap tahunnya di SMA Almuttaqin Tasikmalaya, hasil ulangan pada materi Aturan Sinus dan Cosinus selama 3 tahun terakhir rata-rata hanya 30% yang mencapai Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM). Masih banyak peserta didik yang belum tuntas pada ulangan tersebut. KKM yang ditetapkan oleh pendidik pada materi Aturan Sinus dan Cosinus adalah 75. Berbeda dengan nilai ulangan harian pada materi eksponen dan logaritma, peserta didik mendapatkan nilai yang lebih tinggi dibandingan dengan nilai ulangan harian pada materi Aturan Sinus dan Cosinus dengan nilai KKM yang sama. Hal ini disebabkan karena pada pokok bahasan Aturan Sinus dan Cosinus lebih menekankan kemampuan pemecahan masalah matematika. Peserta didik dituntut harus mampu menyelesaikan masalah secara sistematis. 3 Banyak faktor yang mempengaruhi belum tercapainya ketuntasan belajar tersebut, diantaranya peserta didik saat menyelesaikan soal matematika kurang mampu mengaitkan konsep-konsep matematika antara kosep yang satu dengan kosep yang lainnya. Hal ini tercermin dari ketidakmampuan peserta didik dalam menyelesaikan soal matematika berbentuk cerita yang diberikan oleh guru. Ketika diberikan soal-soal latihan, mereka tidak tahu apa yang harus dilakukan. Hal ini dikarenakan peserta didik tidak mampu memahami soal dengan baik. Selain itu kebanyakan peserta didik kurang sistematis dan kurang memperhatikan langkah-langkah penyelesaiannya. Mereka hanya mementingkan hasil akhir jawaban sehingga banyak langkah-langkah yang tidak ditempuh, padahal itu merupakan langkah yang menentukan hasil akhir jawaban. Berdasarkan hasil observasi ini, maka diperlukan suatu upaya untuk mengatasi masalah tersebut, yaitu pendidik perlu mendesain model pembelajaran yang lebih tepat dan sesuai dengan karakter peserta didik. Dengan pemilihan model dan metode yang tepat diharapkan peserta didik dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematik. Arends (Suprijono, 2009: 46) menyatakan “model pembelajaran mengacu pada pendekatan yang akan digunakan, termasuk di dalamnya tujuan-tujuan pembelajaran, tahaptahap dalam kegiatan pembelajaran, lingkungan pembelajaran, dan pengelolaan kelas.” Salah satu model yang cocok untuk menunjang pendekatan pembelajaran scientific dan memberdayakan peserta didik agar mandiri dalam belajar adalah Problem-Based Learning (PBL). Model PBL cocok jika diimplementasikan dengan pendekatan scientific karena memiliki 5 sintaks yang sesuai dengan pendekatan tersebut. Salah satu keunggulan model Problem-Based Learning yaitu dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis, menumbuhkan inisiatif peserta didik dalam bekerja, motivasi internal untuk belajar, dan dapat mengembangkan hubungan interpersonal dalam bekerja kelompok (Kemendikbud, 2014: 187). 4 Berdasarkan keunggulan model pembelajaran Problem-Based Learning ini maka diharapkan model PBL dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah peserta didik. Berdasarkan hal tersebut maka peneliti akan melakukan penelitian tindakan kelas (PTK) dengan judul “Upaya Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Peserta Didik pada Materi Aturan Sinus dan Cosinus Menggunakan Model Pembelajaran Problem Based Learning di Kelas X IPA 1 SMA Almuttaqin Tasikmalaya”. C. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, peneliti mengemukakan rumusan masalah dalam penelitian ini: Apakah kemampuan pemecahan masalah matematika peserta didik dapat meningkat melalui pembelajaran menggunakan model Problem-Based Learning? D. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka penelitian ini tujuannya adalah untuk mengkaji kemampuan pemecahan masalah matematika melalui penerapan model pembelajaran Problem-Based Learning. E. Manfaat Penelitian Hasil penelitian tindakan kelas ini diharapkan dapat bermanfaat langsung bagi peserta didik, pendidik, dan pihak sekolah. Manfaat tersebut masing-masing dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Bagi peserta didik dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah, serta dapat memberikan pengalaman untuk meningkatkan motivasi belajar dalam pembelajaran matematika, serta dapat menanamkan sikap saling tolong menolong, kerjasama antar teman satu kelompok, dan saling membantu dalam penyelesaian persoalan yang dihadapi dalam kelompoknya terkait dengan soal pemecahan masalah matematika. 2. Bagi pendidik khususnya pada mata pelajaran matematika sebagai masukan dalam memilih alternatif model pembelajaran bervariasi yang dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematika sehingga dapat menghasilkan tujuan pembelajaran yang optimal. 5 3. Bagi sekolah, hasil penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas pembelajaran, khususnya pada pelajaran matematika. 4. Bagi peneliti sebagai acuan untuk mempelajari dan mengetahui lebih lanjut tentang prosedur penelitian serta bahan bagi peneliti lain yang akan meneliti hal-hal yang relevan dengan penelitian ini. F. Definisi Operasional Untuk menghindari kesalahan pemahaman dan perbedaan penafsiran terhadap variabel yang digunakan, maka definisi operasional yang perlu dijelaskan adalah: 1. Pembelajaran berbasis masalah (problem based learning) adalah suatu model pembelajaran yang menggunakan masalah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi peserta didik untuk belajar tentang cara berpikir kritis dan keterampilan pemecahan masalah, serta untuk memperoleh pengetahuan dan konsep yang esensial dari materi pelajaran. Model pembelajaran PBL yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada Arends. Fase dari PBL adalah: (1) orientasi peserta didik kepada masalah; (2) mengorganisasikan peserta didik untuk belajar; (3) membimbing penyelidikan individual maupun kelompok; (4) mengembangkan dan menyajikan hasil karya; (5) menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah. 2. Kemampuan pemecahan masalah matematika adalah kemampuan peserta didik dalam upaya mencari jalan keluar dari suatu persoalan matematika. Penilaian kemampuan pemecahan masalah dapat diukur dengan cara memberikan skor pada tiap fase penyelesaian soal, sehingga dapat mengukur tiap tahap secara keseluruhan yang memuat keempat tahap pemecahhan masalah menurut Polya (memahami masalah, merencanakan penyelesaian, menyelesaikan masalah serta melihat kembali hasil). G. Landasan Teori 1. Model Problem-Based Learning Problem-Based Learning merupakan suatu model yang berbasis pada permasalahan sehari-hari, dan melatih peserta didik untuk 6 memecahkan masalah. Menurut Kemendikbud (2014: 54) Problem-Based Learning adalah “Model pembelajaran yang dirancang agar siswa mendapat pengetahuan yang penting, yang membuat mereka mahir dalam memecahkan masalah, dan memiliki model belajar sendiri serta memiliki kecapakan berpartisipasi dalam tim. Proses pembelajarannya menggunakan pendekatan yang sistemik untuk memecahkan masalah atau menghadapi tantangan yang nanti diperlukan dalam kehidupan sehari-hari.‟ Problem-Based Learning merupakan sebuah model pembelajaran yang membantu peserta didik menjadi pembelajar yang mandiri, serta dapat membantu peserta didik mengembangkan keterampilan berpikir, berkomunikasi dan keterampilan pemecahan masalah. Sesuai yang dikemukakan Margetson (1994) (Rusman,2013: 230) “kurikulum PBM membantu untuk meningkatkan keterampilan belajar sepanjang hayat dalam pola pikir yang terbuka, reflektif, kritis, dan belajar aktif. Kurikulum PBM memfasilitasi keberhasilan memecahkan masalah, komunikasi, kerja kelompok dan keterampilan interpersonal dengan lebih baik dibanding pendekatan yang lain”. Model Problem-Based Learning tidak dirancang untuk membantu pendidik memberikan informasi sebanyak-banyaknya, melainkan pendidik hanya sebagai fasilitator. Kemendikbud (2014:54) menyampaikan peran peserta didik dan pendidik dalam pembelajaran berbasis masalah seperti pada tabel berikut ini. 7 Tabel 1 Peran Peserta Didik dan Pendidik dalam Pembelajaran Berbasis Masalah Pendidik sebagai pelatih Peserta didik sebagai problem solver Masalah sebagai awal tantangan dan motivasi o Asking about thinking o Peserta yang aktif o Menarik untuk (bertanya tentang o Terlibat langsung dipecahkan pemikiran) dalam o Menyediakan o Memonitor pembelajaran kebutuhan yang ada pembelajaran o Membangun hubungannya dengan o Probing (menantang pembelajaran pelajaran yang peserta didik untuk dipelajari berfikir) o Menjaga agar peserta didik terlibat o Mengatur dinamika kelompok o Menjaga berlangsungnya proses Sumber: Kemendikbud (2014:54) Problem-Based Learning dikembangkan untuk membantu peserta didik mengembangkan dan mengasah kemampuan yang sudah jadi dalam benaknya dan mereka mengkonstruksi sendiri pengetahuannya. Wilkerson dan Gijselaers (White,2001: 1) menyatakan Problem-Based Learning ditandai dengan pendekatan yang berpusat pada peserta didik, pendidik sebagai "fasilitator bukan penyebar," dan masalah terbuka (di Problem-Based Learning, ini disebut "ill-structured ") yang berfungsi sebagai stimulus awal dan kerangka kerja untuk pembelajaran. Maksud "ill-structured" dalam PBL yaitu masalah yang disajikan merupakan masalah dunia nyata yang mengambang. Pada model Problem-Based Learning, sebelum pembelajaran dimulai peserta didik diberikan suatu masalah. Agar pembelajarannya berjalan dengan baik maka menurut Amir (2009:32) “masalah yang disajikan harus dirancang agar merangsang dan memicu peserta didik untuk menjalankan pembelajaran dengan baik”. Maggi dan Claire 8 (Wulandari, 2013: 182) mengemukakan bahwa ada beberapa cara untuk menyajikan suatu masalah yang dapat menarik minat peserta didik sehingga proses pembelajaran tidak monoton dan membosankan. Beberapa cara tersebut yaitu: a. Dimulai dengan memberikan sebuah masalah yang sesuai dengan pengetahuan dasar siswa sehingga akan menumbuhkan rasa antusias siswa tersebut. b. Menyajikan sebuah masalah yang mampu menggali rasa keingintahuan siswa, misalnya sebuah masalah yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari. c. Masalah yang disajikan masih berupa teka-teki yang harus dipecahkan. d. Pastikan bahwa penyampaian masalah tersebut menarik minat siswa. e. Masalah yang diangkat sebaiknya berkaitan dengan kehidupan nyata. Berdasarkan uraian tersebut model Problem-Based Learning cocok untuk mengembangkan kemampuan pemecahan masalah peserta didik, karena model Problem-Based Learning didahului dengan permasalahan yang harus dipecahkan. Dasari (Sumarmo,2014: 384) mengemukakan beberapa karakteristik Pembelajaran Berbasis Masalah atau Problem-Based Learning yaitu: a. Masalah harus berkaitan dengan kurikulum, b. Masalah bersifat tak terstruktur, solusi tidak tunggal, dan prosesnya bertahap. c. Siswa memecahkan masalah dan guru sebagai fasilitator. d. Siswa hanya diberi masalah. e. Penialaian berbasis performa autentik. Pada pelaksanaannya agar pembelajaran berlangsung dengan baik dan terarah, maka ada beberapa fase atau tahapan yang harus dilalui dalam Problem-Based Learning. Suprijono, Agus (2009:73) mengemukakan bahwa pembelajaran berbasis masalah terdiri dari 5 fase dan perilaku. Fase-fase dan perilaku tersebut merupakan tindakan berpola. Pola ini diciptakan agar hasil pembelajaran dengan pengembangan pembelajaran berbasis masalah dapat diwujudkan. 9 Sintaks pembelajaran berbasis masalah terlihat pada Tabel 2 (Suyanto dan Jihad,2013: 155): Tabel 2 Langkah-langkah pembelajaran Problem-Based Learning Fase ke- Indikator Aktivitas/Kegiatan Pendidik 1 Mengarahkan peserta didik pada masalah Pendidik menjelaskan tujuan pembelajaran, menjelaskan logistik yang dibutuhkan, memotivasi peserta didik terlibat pada aktivitas pemecahan masalah yang dipilihnya. 2 Mengorganisasikan peserta didik untuk belajar Pendidik membantu peserta didik mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan degan masalah yang akan dipecahkan. 3 Membimbing penyelidikan individual maupun kelompok Pendidik mendorong peserta didik untuk mengumpulkan informasi yang sesuai, melaksanakan eksperimen untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah yang dihadapi peserta didik. 4 Mengembangkan Pendidik membantu peserta didik dan dan menyajikan hasil merencanakan dan menyiapkan karya karya nyata yang sesuai seperti laporan, video, dan model dan membantu mereka untuk berbagi tugas dengan temannya. 5 Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah Pendidik membantu peserta didik untuk melakukan refleksi atau evaluasi terhadap hasil penyelidikan mereka dan proses-proses yang mereka gunakan berupa langkah-langkah pemecahan masalah dari masalah yang muncul dan dihadapi oleh peserta didik. 10 Berdasarkan uraian tersebut, pelaksanaan model Problem-Based Learning terdiri dari 5 tahap, yaitu: Tahap pertama, adalah proses mengarah peserta didik pada masalah. Pada tahap pembelajaran dimulai dengan pendidik terlebih dahulu menyampaikan tujuan pembelajaran, dan menginformasikan bagaimana proses belajar yang akan dilaksanakan. Pada tahap ini juga pendidik membagi peserta didik ke dalam kelompok-kelompok kecil heterogen. Tahap kedua, mengorganisasikan peserta didik untuk belajar. Pada tahap ini pendidik membantu peserta didik dalam mendefiniskan mengorganisasikan tugas belajar peserta didik yang berhubungan dengan masalah. Peserta didik membagi tugas kelompok dalam diskusi untuk menyelsaikan permasalahan. Tahap ketiga, membimbing penyelidikan individual maupun kelompok. Tahap ini pendidik membantu peserta didik dalam mengumpulkan informasi dan fakta yang sesuai dengan masalah yang diberikan. Tahap keempat, mengembangkan dan menyajikan hasil karya. Setelah diskusi kelompok, perwakilan kelompok dipersilahkan untuk menyajikan hasil diskusi kelompok mengenai bahan ajar, kelompok lain memberi tanggapan serta pendidik memberikan klarifikasi dan meluruskan konsep apabila peserta didik mengalami kekeliruan. Tahap kelima, menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah. Peserta didik melakukan evaluasi terhadap proses kegiatan pembelajaran, dan pendidik membantu mengarahkan serta memberikan penjelasan terhadap konsep yang tepat. Problem-Based Learning merupakan suatu model pembelajaran yang mempunyai banyak kelebihan, menurut Kemendikbud (2014: 187) Kelebihan PBL diantaranya: a. Dengan PBL akan terjadi pembelajaran bermakna. Peserta didik yang belajar memecahkan suatu masalah maka mereka akan menerapkan pengetahuan yang dimilikinya atau berusaha 11 mengetahui pengetahuan yang akan diperlukan. Belajar dapat semakin bermakna dan dapat diperluas ketika peserta didik berhadapan dengan sitausi dimana konsep diterapkan. b. Dalam situasi PBL, peserta didik mengintegrasikan pengetahuan dan keterampilan secara simultan dan mengaplikasikannya dalam konteks yang relevan. c. PBL dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis, menumbuhkan inisiatif peserta didik dalam bekerja, motivasi internal untuk belajar, dan dapat mengembangkan hubungan interpersonal dalam bekerja kelompok. Dari beberapa pendapat yang telah diuraikan sebelumnya, peneliti menyimpulkan model Problem-Based Learning adalah suatu model pembelajaran yang diawali dengan sutau permasalahan kontekstual untuk mengembangkan kemampuan pemecahan masalah matematika melalui langkah-langkah: mengarahkan mengorganisasikan peserta peserta didik untuk didik pada belajar, masalah, membimbing penyelidikan individual maupun kelompok, mengembangkan dan menyajikan hasil karya, menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah. 2. Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Peserta Didik Masalah merupakan sesuatu yang timbul karena adanya kesenjangan antara harapan dengan kenyataan, dan permasalahan tersebut harus diselesaikan dan dipecahkan. Proses mengatasi kesenjangan tersebut disebut sebagai proses memecahkan masalah. Menurut Baroody (Husna, et.al, 2013: 84) masalah dapat didefinisikan “Sebagai situasi puzzling, di mana seseorang tertarik untuk mengetahui penyelesaiannya, akan tetapi strategi penyelesaiannya tidak serta merta tersedia, lebih jelasnya suatu problems memuat 1) keinginan untuk mengetahui; 2) tidak adanya cara yang jelas untuk mendapatkan penyelesaiannya; dan 3) memerlukan suatu usaha dalam menyelesaikannya.” Permasalahan juga banyak terjadi di lingkungan sekolah, begitu juga dalam pembelajaran matematika yang harus diselesaikan dengan cara berpikir tingkat tinggi. 12 Krulik, Stephen dan Jesse A. Rudnick (1988:3) berpendapat Pembelajaran Berbasis Masalah merupakan suatu proses, di mana seorang individu menggunakan pengetahuan, keterampilan dan pemahaman yang diperoleh sebelumnya untuk menemukan solusi dari situasi atau masalah yang dihadapi. Sumarmo (2014: 76) menyebutkan pemecahan masalah matematika mempunyai dua makna, yaitu: a. Sebagai suatu pendekatan pembelajaran, yang digunakan untuk menemukann kembali dan memahami materi/konsep/prinsip matematika. Pembelajaran diawali dengan penyajian masalah atau situasi yang kontekstual kemudian melalui induksi siswa menemukan konsep/prinsip matematika. b. Sebagai kegiatan belajar yang meliputi: mengidentifikasi kecukupan data untuk pemecahan masalah, membuat model matematika, memilih dan menerapkan strategi, menginterpretasi hasil sesuai permasalahan asal, dan memeriksa kebenaran hasil atau jawaban. Agar menjadi seorang pemecah masalah yang baik peserta didik harus difasilitasi permasalahan secara kontekstual serta didukung oleh keterampilan pemecahan masalah yang baik pula. Proses pemecahan masalah merupakan salah satu kemampuan yang harus dikuasai oleh peserta didik sekolah menengah. Cooney (Sumarmo,2014: 445) mengemukakan “kemampuan pemilikan kemampuan pemecahan masalah membantu peserta didik berpikir analitik dalam mengambil keputusan dalam kehidupan sehari-hari dan membantu meningkatkan kemampuan berpikir kritis dalam menghadapi situasi baru.” Berdasarkan uraian sebelumnya, seorang peserta didik dapat mengembangkan kemampuan berpikrinya jika dibiasakan menyelesaikan soal-soal pemecahan masalah matematika. Kemudian untuk mengukur kemampuan pemecahan masalah matematika diperlukan beberapa indikator. Adapun indikator tersebut menurut Sumarmo (2014:128) sebagai berikut: 13 a. Mengidentifikasi kecukupan data untuk pemecahan masalah. b. Membuat model matematika dari suatu situasi atau masalah sehari-hari dan menyelesaikannya. c. Memilih dan menarapkan strategi untuk menyelesaikan masalah matematika dan atau diluar matematika. d. Menjelaskan atau menginterpretasi hasil sesuai permasalahan asal, serta memeriksa kembali hasil atau jawaban. e. Menerapkan matematika secara bermakna. Dalam memecahkan suatu permasalahan terdapat beberapa tahapan yang harus ditempuh, secara garis besar menurut Polya (1973:5), first, we have to understand the problem; we have to see clearly what is required. Second, we have to see how the various items are connected, how the unknown is linked to the data, in order to obtain the idea of the solution, to make plan. Third, we carry out our plan. Fourth, we look back at the completed solution, we review and discuss it Jadi Polya menyatakan bahwa, agar peserta didik lebih terarah dalam menyelesaikan masalah matematika, ada empat tahapan yang harus ditempuh, yaitu: i. Understand the Problem (Memahami Masalah) Pada tahap ini peserta didik harus memahami terlebih dahulu masalah yang dikerahui, dan peserta didik harus melihat dengan jelas apakah datanya sudah cukup, atau apa saja data yang dibutuhkan dalam masalah tersebut. ii. Devising a Plan (Merencanakan Penyelesaian) Setelah memahami masalah, selanjutnya peserta didik melakukan rencana penyelesaian masalah. Menemukan hubungan antara data yang diperoleh dengan hal-hal yang belum diketahui serta mencari solusi ataupun strategi pemecahan masalah. iii. Carry Out the Plan (Menyelesaikan Masalah) Tahap selanjutnya yaitu menjalankan rencana atau melakukan perhitungan untuk menemukan solusi, periksalah tiap langkah dengan seksama untuk membuktikan bahwa cara itu benar. 14 iv. Look Back (Melihat Kembali Hasil) Tahap terakhir, melihat kembali hasil terhadap solusi yang didapat. Penilaian kemampuan pemecahan masalah dapat diukur dengan cara memberikan skor pada tiap fase penyelesaian soal, sehingga dapat mengukur tiap tahap secara keseluruhan memuat keempat tahap pemecahhan masalah. Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa kemampuan pemecahan masalah matematika adalah salah satu kemampuan dasar yang harus dimiliki oleh peserta didik. Pemecahan masalah juga sebagai upaya mencari jalan keluar dalam mencapai tujuan, berarti dalam pembelajaran pemecahan masalah lebih mengutamakan proses dan strategi peserta didik dalam menyelesaikan masalah daripada sekedar hasil. 3. Materi Aturan Sinus dan Cosinus Berdasarkan Kurikulum 2013 revisi 2017 materi aturan sinus dan cosinus disampaikan pada peserta didik SMA kelas X semester genap. Tabel 3 Kompetensi Dasar dan Indikator Pencapaian Kompetensi Materi Aturan Sinus dan Cosinu Kompetensi Dasar 3.12 Menerapkan aturan sinus dan cosinus Indikator Pencapaian Kompetensi 3.12.1 Menentukan panjang sisi atau besar sudut suatu segitiga dengan aturan sinus 3.12.2 Menentukan panjang sisi atau besar sudut suatu segitiga dengan aturan kosinus 15 4.12 Menyelesaikan permasalah 4.12.1 Menerapkan aturan sinus kontekstual dengan aturan dalam menyelesaikan sinus dan kosinus masalah kontekstual 4.12.2 Menerapkan aturan kosinus dalam menyelesaikan masalah kontekstual Sumber: Permendikbud Tahun 2016 Nomor 24 Lampiran 16 a. Aturan Sinus Dalam tiap segitiga ABC, perbandingan panjang sisi dengan sinus sudut yang berhadapan dengan sisi itu mempunyai nilai yang sama, dirumuskan sebagai berikut. b. Aturan Cosinus Pada segitiga A berlaku aturan cosinus yang dapat dinyatakan dengan persamaan sebagai berikut. Jika dalam diketahui sisi-sisi , , dan maka besar sudut-sudut A, B, dan C dapat ditentukan melalui persamaan 16 H. Hipotesis Tindakan Ruseffendi (2005:23) menyebutkan “hipotesis itu adalah penjelasan atau jawaban tentatif (sementara) tentang tingkah laku, fenomena (gejala), atau kejadian yang akan terjadi, bisa juga mengenai kejadian yang sedang berjalan”. Maka dari itu peneliti merumuskan bahwa hipotesis dari penelitian ini adalah Kemampuan pemecahan masalah matematika peserta didik meningkat melalui pembelajaran menggunakan model Problem-Based Learning. I. Metode Penelitian 1. Tempat Penelitian Penelitian ini akan dilaksanakan di SMA Almuttaqin Tasikmalaya yang beralamat di Jl. Ahmad Yani, Sukamanah, Kec. Cipedes, Tasikmalaya, Jawa Barat. 2. Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan mulai dari bulan Oktober 2019 sampai dengan bulan April 2020. Untuk lebih jelasnya, jadwal penelitian dapat dilihat dalam tabel 4. Tabel 4 Jadwal Pelaksanaan Penelitian Tindakan Kelas Bulan/ Minggu ke No Oktober Kegiatan I 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Pematangan dan konsultasi topik PTK Penyusunan proposal PTK Penyususnan instrument PTK Pelaksanaan siklus I Analisis data Pelaksanaan siklus II Analisis data Penyusunan Laporan PTK Pendaftaran seminar hasil PTK II III Februari IV I II III Maret IV I II III April IV I II III IV 17 10 11 Seminar hasil PTK Revisi Laporan Hasil PTK 3. Jenis Penelitian Bentuk penelitian ini adalah Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Ebbus (dalam Rochiati Wiriaatmadja, 2008) mengemukakan penelitian tindakan adalah kajian sistematik dari upaya perbaikan pelaksanaan praktek pendidikan oleh sekelompok guru dengan melakukan tindakantindakan dalam pembelajaran, berdasarkan refleksi mereka mengenai hasil dari tindakan-tindakan tersebut. Sedangkan Elliot (dalam Rochiati Wiriaatmadja, 2008) melihat penelitian tindakan sebagai kajian dari sebuah situasi sosial dengan kemungkinan tindakan untuk memperbaiki kualitas sosial tersebut. Penelitian tindakan kelas oleh guru dapat merupakan kegiatan reflektif dalam berpikir dan bertindak dari guru. Dewey (dalam Rochiati Wiriaatmadja, 2008) mengartikan berpikir reflektif dalam pengalaman pendidikan sebagai selalu aktif, ulet, dan selalu mempertimbangkan segala bentuk pengetahuan yang akan diajarkan berdasarkan keyakinan adanya alasan-alasan yang mendukung dan memikirkan kesimpulan dan akibatakibatnya ke mana pengetahuan itu akan membawa peserta didik. Sedangkan tindakan reflektif pendidik dalam praktek sehariharinya, yang harus banyak melakukan pengambilan kesimpulan, dan untuk mencapai kesimpulan yang benar itu ia perlu bereksperimen dan melakukan tes. Logika pertumbuhan menyuruhnya memikirkan saransaran perbaikan, mengujinya melalui pengamatan objek dan peristiwa, mengambil kesimpulan, mencobanya dalam tindakan, yang membuktikan kehandalan perbaikan itu, atau menyambut perbaikan, atau menolaknya sama sekali (Dewey dalam Rochiati Wiriaatmadja, 2008). Pelaksanaan PTK ada empat tahap menurut Suharsimi Arikunto (2009) yaitu perencanaan, pelaksanaan, pengamatan, dan refleksi. Model siklus PTK digambarkan sebagai berikut. 18 Perencanaan Refleksi SIKLUS I Pelaksanaan Pengamatan Perencanaan Refleksi SIKLUS II Pelaksanaan Pengamatan Gambar 1. Bagan Siklus PTK (Suharsimi Arikunto, dkk, 2009) Kegiatan yang dilakukan pada setiap tahap adalah sebagai berikut: a) Perencanaan (planning). Dalam tahap perencanaan ini peneliti akan menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), Lembar Kerja Peserta Didik (LKPD), lembar pengamatan, menentukan skor dasar individu yang diperoleh dari hasil ulangan pada materi sebelumnya, dan mengelompokkan peserta didik. Pada tahap perencanaan ini peneliti berdiskusi dengan guru matematika SMA Almuttaqin Tasikmalaya yang dalam hal ini akan menjadi pengamat dalam penelitian. Diskusi ini bertujuan untuk merumuskan hal-hal teknis yang akan peneliti gunakan dalam menganalisis dan meningkatkan pemahaman atau tindakan peneliti di kelas. Selain itu, diskusi ini juga berguna agar peneliti dan pengamat sama-sama memahami prosedur yang akan peneliti terapkan di kelas penelitian. b) Pelaksanaan Tindakan (action). Pada tahap ini, peneliti bertindak sebagai pendidik dalam melaksanakan proses pembelajaran yang berpedoman pada rencana pelaksanaan pembelajaran yang telah disusun. Peneliti melakukan kegiatan pembelajaran sesuai dengan 19 RPP-1 sampai RPP-3 yang dilaksanakan pada siklus I, sedangkan RPP-4 sampai RPP-6 yang dilaksanakan pada siklus II. c) Pengamatan (observing). Pengamatan dalam penelitian ini akan dilakukan oleh guru matematika SMA Almuttaqin Tasikmalaya. Kegiatan ini dilakukan untuk menelaah kondisi objektif pada saat tindakan dilakukan. Guru sebagai pengamat akan mengamati peneliti tentang bagaimana proses belajar mengajar berlangsung yang akan ditinjau dari aspek peserta didik, peneliti, materi, media pembelajaran, dan model pembelajaran yang akan digunakan, serta bagaimana hasil belajar yang dicapai oleh peserta didik. d) Refleksi (reflecting). Pada tahap ini, peneliti dan guru pengamat membahas hasil pengamatan pelaksanaan pembelajaran setiap pertemuan. Hal ini bertujuan untuk menghasilkan rekonstruksi terhadap proses pembelajaran yang telah peneliti lakukan sehingga memberikan dasar perbaikan pada perencanaan tindakan berikutnya. 4. Subjek Penelitian Sugiyono (2013: 61) menyatakan bahwa subjek penelitian adalah orang-orang yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulan. Subjek penelitian tindakan kelas ini adalah peserta didik kelas X IPA 1 SMA Almuttaqin Tasikmalaya tahun pelajaran 2019/2020 yang terdiri dari 36 siswa. 5. Perencanaan Penelitian Penelitian tindakan kelas ini mengikuti model Kemmis dan Taggart yang dilakukan dalam bentuk siklus, masing-masing siklus terdiri dari empat tahap, yaitu tahap perencanaan, pelaksanaan, observasi dan refleksi. Siklus berakhir apabila hasil penelitian yang diperoleh sudah mencapai indikator keberhasilan penelitian. Pelaksanaan penelitian ini melibatkan guru mata pelajaran matematika yang mengajar kelas X IPA 1 SMA Almuttaqin Tasikmalaya, melalui langkah-langkah sebagai berikut. 20 a. Siklus I Siklus I dengan kompetensi dasar menerapkan rumus aturan sinus. Adapun langkah-langkah yang dilakukan yaitu: 1) Perencanaan Rencana pelaksanaan tindakan merupakan rencana yang terstruktur, namun tidak menutup kemungkinan untuk mengalami perubahan sesuai dengan situasi dan keadaan yang tepat. Adapun perencanaannya adalah sebagai berikut: a) Menyusun silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) untuk 2 siklus yang dirancang sesuai model Problem-Based Learning, materi yang disampaikan adalah aturan sinus. b) Melakukan kolaborasi dengan guru mata pelajaran, peneliti bertindak sebagai pendidik dan guru mata pelajaran sebagai observer. c) Membuat bahan ajar dan Lembar Kerja Peserta Didik untuk materi aturan sinus. d) Menyiapkan penghargaan yang akan diberikan kepada masingmasing kelompok. e) Merancang tes formatif yaitu untuk mengetahui kemampuan pemecahan masalah peserta didik dan jawabannnya yang digunakan untuk penilaian, dan membuat lembar observasi aktivitas peserta didik dan pendidik. 2) Pelaksanaan Dalam tahap ini apa yang telah direncanakan pada tahap perencanaan akan dilaksanakan sesuai jadwal yang telah dibuat. Pelaksanaan penelitian ini tidak mengganggu kegiatan di sekolah, karena urutan materi berjalan sesuai dengan kurikulum yang sudah ada di sekolah. Adapun tindakan yang dilakukan tiap siklus adalah : a) Pendahuluan (1) Melakukan presensi terhadap peserta didik 21 (2) Menyampaikan tujuan pembelajaran (3) Melakukan apersepsi (4) Memberikan motivasi belajar kepada peserta didik dalam mempelajari materi aturan sinus b) Kegiatan Inti Pada saat awal pembelajaran peserta didik dikondisikan dalam kelompok-kelompok yang telah dibuat oleh pendidik. Kemudian melakukan tahap-tahap sesuai dengan sintak model Problem-Based Learning (1) orientasi peserta didik kepada masalah, (2) lalu pendidik mengorganisasikan peserta didik untuk belajar, (3) dan peserta didik diminta untuk menyelidiki permasalah tersebut dengan bimbingan pendidik, (4) setelah melakukan penyelidikan secara individu dan kelompok, peserta didik menyajikan hasil karyanya, (5) setelah semua tahapan dilakukan peserta didik menganalisa dan mengevaluasi proses pemecahan masalah. c) Penutup Pendidik memberikan tugas rumah dan memberi informasi materi pada pembelajaran selanjutnya. 3) Observasi dan Evaluasi Observasi terhadap kegiatan belajar dilakukan saat implementasi untuk mengetahui jalannya proses pembelajarannya. Pada akhir siklus pertama diakhiri dengan tes. Berdasarkan hasil tes, maka tahap berikutnya dapat dilaksanakan. 4) Refleksi Pada tahap ini peneliti sekaligus pendidik melakukan evaluasi dari pelaksanaan tindakan pada siklus I yang digunakan sebagai bahan pertimbangan perencanaan pembelajaran siklus berikutnya. Jika hasil yang diharapkan belum tercapai maka 22 dilakukan perbaikan yang dilaksanakan pada siklus kedua dan selanjutnya. b. Siklus II Pelaksanaan siklus II dilaksanakan setelah mempelajari hasil refleksi pada siklus I yaitu bagaimana hasilnya, apa kekurangannya, apa akibatnya dan apa yang harus dilakukan selanjutnya. Hal ini dilakukan agar pada siklus II dilaksanakan tindakan yang lebih efektif. Tahaptahap pada siklus II sama dengan yang dilakukan pada siklus I dengan materi yang disampaikan adalah aturan cosinus. 6. Instrumen Penelitian Instrumen yang digunakan untuk memperoleh data adalah: a. Instrumen pembelajaran Instrumen pembelajaran pada penelitian adalah silabus pembelajaran dan RPP kelas X materi Aturan Sinus dan Cosinus. b. Instrumen pengumpulan data 1) Tes Kemampuan pemecahan masalah Pada penelitian ini, peneliti menggunakan soal tes kemampuan pemecahan masalah matematika untuk mengetahui kemampuan pemecahan masalah matematika peserta didik. Soal tes kemampuan pemecahan masalah matematika berbentuk uraian sebanyak 2 soal untuk setiap siklus. Masing-masing diberi skor sesuai dengan pedoman penskoran pemecahan masalah berikut: 23 Tabel 5 Rubrik Pemberian Skor Tes Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Indikator Pemecahan Masalah Matematika Jawaban Tidak ada jawaban Mengidentifikasi data diketahui, data ditanyakan, kecukupan data untuk pemecahan masalah Mengidentifikasi strategi yang dapat ditempuh Menyelesaikan model matematika disertai alas an Memeriksa kebenaran solusi yang diperoleh 0 Mengidentifikasi data diketahui, ditanyakan, dan kecukupan data/unsur serta melengkapinya bila diperlukan dan menyatakannya dalam simbol matematika yang relevan Menyusun model matematika masalah dalam bentuk gambar dan atau ekspresi matematika Mengidentifikasi beberapa strategi yang dapat digunakan untuk menyelesaikan model matematika yang bersangkutan Menetapkan/memilih strategi yang paling relevan dan menyelesaikan model matematika berdasarkan gambar dan ekspresi matematika yang telah disusun Memilih atau menentukan solusi yang relevan Memeriksa kebenaran solusi ke masalah asal c. Lembar Observasi Keterlaksanaan Pembelajaran Lembar observasi keterlaksanaan pembelajaran diisi oleh observer, dengan kisi-kisi sebagai berikut: Tabel 6 Kisi-kisi Lembar Observasi Pendidik dalam Pelaksanaan Pembelajaran Matematika No. Indikator 1. Pendahuluan 2. Mengarahkan peserta didik pada masalah 3. Mengorganisasikan peserta didik untuk belajar 4. Membimbing penyelidikan individu atau kelompok 5. Mengkondisikan peserta didik untuk mengembangkan dan menyajikan hasil karya 6. Menganalisis dan mengevaluasi proses pembelajaran dengan model Problem-Based Learning 7. Penutup Skor Nomor Butir 0-3 0-3 0-2 0-3 0-2 0-2 24 7. Teknik Pengumpulan Data a. Tes Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Peserta Didik Teknik pengumpulan data untuk mengukur kemampuan pemecahan masalah matematika peserta didik, yaitu dengan diberikan tes kemampuan pemecahan masalah matematika berupa soal uraian, yang akan diberikan di setiap akhir siklus. b. Data lembar pengamatan (observasi) keterlaksanaan pembelajaran yang diisi oleh observer dengan mengacu pada kategori pengamatan yang sudah ditentukan. 8. Teknik Analisis Data Data yang telah terkumpul dari hasil observasi, tes tertulis, dan angket diolah dihitung berdasarkan persentase. a. Data kemampuan pemecahan masalah 1) Daya serap perorangan, seorang peserta didik disebut tuntas belajar jika telah mencapai nilai KKM 75. 2) Daya serap klasikal suatu kelas dapatlah disebut tuntas belajar bila di kelas tersebut terdapat 80% yang telah mencapai KKM 75. ∑ ∑ = jumlah peserta didik yang mendapat nilai lebih dari atau sama dengan 75 jumlah peserta didik keseluruhan ∑ , dimana ∑ = jumlah nilai b. Data observasi keterlaksanaan pembelajaran Pengolahan data hasil observasi dilakukan dengan cara menghitung persentase komponen yang diobservasi, dengan rumus: A = Persentase komponen yang diobservasi F = banyaknya komponen harapan yang diobservasi. S = Jumlah keseluruhan komponen yang diobservasi. 25 Selanjutnya penentuan persentase jawaban peserta didik untuk masing-masing item pernyataan/pertanyaan dalam lembar pengamatan, digunakan kriteria berikut: Tabel 7 Kriteria Penafsiran Lembar Pengamatan Persentase Jawaban (%) 90 – 100 75 – 69 55 – 74 40 – 54 0 - 39 Kriteria Sangat Baik Baik Cukup Baik Kurang Sangat Kurang 9. Kriteria Keberhasilan Tindakan Indikator keberhasilan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Penilaian dengan tes (data hasil kemampuan pemecahan masalah peserta didik) 1) Perorangan: Peserta didik dianggap tuntas belajar jika mencapai KKM ≥ 75. 2) Kelompok: kelas dianggap tuntas belajar jika kelas tersebut terdapat 80% dari peserta didik yang mencapai KKM ≥ 75. b. Penilaian non tes Keterlaksanaan pembelajaran model Problem-Based Learning dilakukan dengan observasi secara langsung terhadap pendidik. Observasi dengan menggunakan checklist ya atau tidak, kemudian hasilnya dipersentase dan diterjemahkan secara kualitatif. 26 Daftar Pustaka Amir, Taufiq. 2010. Inovasi Pendidikan Melalui Problem Based Learning. Kencana. Jakarta. Al-Tabany, Trianto Ibnu Badar. 2014. Mendesain Model Pembelajaran Inovatif, Progresif, dan Kontekstual. Prenadamedia Group. Jakarta. Dimyati dan Mudjiono. 2006. Belajar dan Pembelajaran. Rineka Cipta. Jakarta. Hamzah, Ali dan Muhlisrarini. 2014. Perencanaan dan Strategi Pembelajaran Matematika. Rajawali Pers. Jakarta. Kasim, M. (2013). Kurikulum 2013 Menekankan Praktik, Bukan Hafalan. [Online]. Tersedia di: http://www.republika.co.id/berita/pendidikan/eduaction/13/12/11/mxn1xq kurikulum-2013-menekankan-praktik-bukan-hafalan. Diakses 9 Agustus 2017 Kunandar. 2011. Langkah Mudah Penelitian Tindakan Kelas Sebagai Pengembangan Profesi Guru. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Muniroh, Alimul. 2015. Academic Engagement: Penerapan Model Problem Based Learning di Madrasah. LKIS Pelangi Aksara. Yogyakarta. Muri Yusuf. 2015. Asesmen dan Evaluasi Pendidikan. Prenadamedia Group. Jakarta. Depdikbud. 2014. Permendikbud No. 59 Tahun 2014 tentang Kurikulum 2013 Sekolah Menengah Atas/ Madrasah Aliyah. Kemendikbud. Jakarta Depdikbud. 2016. Permendikbud No. 22 Tahun 2016 tentang Standar Proses Pendidikan Dasar dan Menengah. Kemendikbud. Jakarta. Depdikbud. 2016. Permendikbud No. 23 Tahun 2016 tentang Standar Penilaian Pendidikan Dasar dan Menengah. Kemendikbud. Jakarta. Depdikbud. 2016. Permendikbud No. 24 Tahun 2016 tentang Kompetensi Inti dan Kompetensi dasar Pelajaran pada Kurikulum 2013 pada Pendidikan Dasar dan Menengah. Kemendikbud. Jakarta. Rochiati Wiriaatmadja. 2008. Metode Penelitian Tindakan Kelas. Remaja Rosdakarya. Bandung. Sagala, Syaiful. 2005. Konsep dan Makna Pembelajaran. Alfabeta. Bandung. 27 Sahriah, S. 2012. Analisis Kesalahan Siswa dalam Menyelesaikan Soal Matematika Materi Bentuk Operasi Aljabar Kelas VII SMP Negeri 2 Malang. (Online). http//jurnalonline.um.ac.id/data/artikel/artikel9EEC 8FEB3F87AC825C375098E45CB689.pdf. (diakses 7 Oktober 2017) Slameto, 2010. Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya. Rineka Cipta. Jakarta. Sudjana. 2000. Strategi Pembelajaran. Falah Production. Bandung. Sugiyono, 2008. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Alfabeta. Bandung. Suharsimi Arikunto. 2009. Penelitian Tindakan Kelas. Bumi Aksara. Jakarta Suprijono, Agus. 2009. Cooperative Learning. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Suyono dan Hariyanto. 2012. Belajar dan Pembelajaran. Remaja Rosdakarya. Bandung. Widjajanti, Djamilah Bondan. 2011. Problem Based Learning dan Contoh Implementasi. Makalah 10 Maret 2011. FMIPA UNY. Yogyakarta. Zulkarnain dan Susda Heleni. 2011. Strategi Pembelajaran Matematika. Universitas Riau. Pekanbaru. Zulkarnain, 2011. Pembelajaran yang Diawali dengan Pemberian Soal Cerita untuk Meningkatkan Hasil Belajar Matematika dan Sikap Terhadap Matematika Siswa Kelas V-A SDN 004 Rumbai Pekanbaru. Jurnal Pendidikan, 2(01). (Online). https://ejournal.unri.ac.id/index.php/JP/article/view/659/652 (diakses 19 Desember 2017)