BAB II STUDI PUSTAKA A. Problem-Based Learning 1. Pengertian Dalam penelitian ini, ada beberapa definisi berikut yang digunakan peneliti untuk memformulasikan problem-based learning pada pembelajaran matematika. Dalam hubungannya dengan definisi dan pemahaman problem-based learning banyak teori yang membicarakan. Definisi berikut ini yang gunakan peneliti dalam memformulasikan problem-based learning pada pembelajaran matematika adalah: “Problem-based learning (PBL) is a method of learning in which learners first encounter a problem followed by a systematic, learner-centered inquiry and reflection process” (Teacher & Educational Development, 2002: 2). Artinya: problem-based learning (PBL) adalah suatu metode pembelajaran di mana peserta didik diberadapkan pada suatu masalah yang tersusun sistematis; penemuan terpusat pada peserta didik dan proses refleksi. (Teacher & Educational Development, 2002: 2) Berdasarkan permasalahan yang diberikan, peserta didik mengidentifikasi pokok bahasan (issue) untuk mengembangkan pemahaman tentang berbagai konsep yang mendasari masalah tadi serta prinsip pengetahuan lainnya yang relevan. Fokus bahasan biasanya berupa masalah (tertulis) mencakup beragam fenomena yang membutuhkan penjelasan. Problem-based learning (PBL) bertujuan agar peserta didik memperoleh dan membentuk pengetahuannya secara efisien dan terintegrasi. Kegiatan untuk memperoleh pengetahuan dan pemahaman baru melalui pembahasan masalah tadi dikenal sebagai “problem first learning” (Harsono, 2004: 2-3). In problem-based learning students learn to be self-directed, independent and interdependent learners motivated to solve a problem. In a PBL course student meet together in small group with a tutor to discuss a set problem. Initially the student explore the problem and formulate hypotheses that might explain the problem. They use this information to determine the further information they require to understand and solve the problem. Student then independently research and gather information that confirms/disconfirms their hypotheses and generates new understandings. These new understandings are presented to the group, which then considers all the information brought in by its members (Kiley, Mulins, & Peterson, 1969:1) 7 Artinya: Dalam problem-based learning (PBL) mahasiswa/siswa belajar dengan terpusat pada dirinya sendiri, bebas dan para siswa saling tergantung yang termotivasi untuk menyelesaikan sebuah masalah. Dalam sebuah pembelajaran PBL siswa bekerja sama dalam kelompok kecil dengan seorang tutor untuk mendiskusikan seperangkat masalah. Pada awalnya siswa menyelidiki masalah dan merumuskan hipotesis untuk menjelaskan masalah. Mereka menggunakan informasi ini untuk menentukan informasi lebih lanjut yang mereka perlukan untuk memahami dan memecahkan masalah. Siswa lalu dengan bebas mengadakan penyelidikan dan menguji hipotesis mereka dan menghasilkan pemahaman-pemahaman baru. pemahaman-pemahaman baru ini lalu diutarakan kepada kelompok, yang kemudian dipertimbangkan dengan semua informasi yang diberikan oleh para anggota nya (Kiley, Mulins, & Peterson, 1969:1). Walker & Leary (Purdue University Press: 2009. Vol. 3 pg. 12). The Interdiciplinary Journal of Problem-based Learning (IJPBL). Diambil tanggal 10 Mei 2009 diungkapkan: “…asked to work in small groups, and most importantly acquire new knowledge only as a necessary step in solving authentic, ill-structured, and cross-disciplinary problems representative of professional practice. Artinya; PBL dilakukan dalam kelompok kecil, untuk memperoleh pengetahuan baru yang merupakan langkah untuk menyelesaikan masalah secara sempurna untuk mengatasi masalah dan memperbaiki kebiasaan yang tidak baik. Dalam artikel: Wood (Leeds LS2 9JT 30 April 2004). Diambil tanggal 20 oktober 2008, diungkapkan: “Some of the members of the group may have knowledge that can help in formulating or partially solving the problem”. Artinya beberapa dari anggota kelompok mungkin mempunyai pengetahuan yang dapat membantu merumuskan pemecahan masalah. Dikatakan pula “PBL embraces the principles of good learning and teaching. It is studentdirected (which encourages selt-sufficiency and is a preparation for life-laong learning), and promotes active and deep learning. PBL menganut prinsip-prinsip belajar dan mengajar yang baik . PBL berpusat pada siswa ( mengarahkan/mendorong siswa untuk mengembangkan diri dan mempersipkan siswa belajar sepanjang hayat), mengembangkan keaktifan dan belajar yang mendalam. Strobel & Van Barneveld (Purdue University Press: 2009. Vol. 3 pg. 46). The Interdiciplinary Journal of Problem-based Learning (IJPBL). Diambil tanggal 10 Mei 2009 diungkapkan: “In contrast to PBL, we considered traditional learning approaches to be large-class, instructor-driven, lecture-based deliveries within a curriculum, which compartmentalized the content”. Maksudnya berbeda dengan PBL , kita mempertimbangkan 8 pembelajaran tradisional dilakukan dalam kelas besar, terpusat pada pengajar, diberikan dengan cara ceramah dengan sebuah kurikulum yang mengutamakan isi. Berdasarkan pendapat para ahli tersebut di atas, penulis mengambil sebuah pemahaman bahwa problem-based learning (PBL) dapat diartikan sebagai suatu metode pembelajaran dimana peserta didik dihadapkan pada suatu masalah sebagai stimulus pembelajaran yang mendorong siswa menggunakan pengetahuannya untuk merumuskan sebuah hipotesis, kemudian diikuti oleh proses pencarian informasi yang bersifat student-centered melalui diskusi dalam sebuah kelompok kecil untuk mendapatkan solusi masalah yang diberikan. Atau dengan kata lain problem-based learning metode pembelajaran yang dipusatkan pada peserta didik dan sebuah masalah mengawali proses pembelajaran (problem first learning). Masalah pokok dijadikan sebagai stimulus dalam mencapai tujuan pembelajaran. Dengan demikian masalah utama tersebut dapat menggali segenap potensi siswa untuk dapat mengarahkan kemampuannya dengan memanfaatkan sumber daya belajar yang ada guna menyelesaikan masalah. Rancangan masalah harus berasal dari permasalahan dilematis dan kompleks yang lazim dialami mereka di dunia nyata. Sehingga akan memotivasi para siswa untuk meneliti dan menemukan solusi terbaik. 2. Kelebihan Metode Problem- Based Learning dalam Pembelajaran Penerapan metode problem based learning tidak hanya meningkatkan hasil belajar tapi juga membekali peserta didik dengan pengalaman belajar menyelesaikan masalah sesuai materi pelajaran secara mandiri. Maka peneliti merumuskan tujuan penerapan problem based learning sebagai berikut: a. Untuk mendekatkan peserta didik pada pembelajaran matematika dengan perkembangan situasi dunia nyata. b. Dapat membantu peserta didik mengembangkan pemikiran dan ketrampilan berpikir secara kritis agar memperoleh kecakapan hidup (life skill). c. Menempatkan peserta didik sebagai subjek dan objek pembelajaran. Selain pertimbangan di atas, Problem based learning dirancang untuk mengembangkan: a. Kemampuan mengintegrasikan (penyatuan) pengetahuan yang dimiliki, kemudian mendasarkan pada konteks pengetahuan khusus b. Kemampuan mengambil keputusan sekaligus mengembangkan sikap dan pemikiran kritis c. Kemampuan belajar mandiri dan membangkitkan semangat untuk belajar sepanjang hayat d. Kecakapan interpersonal, kolaborasi, dan komunikasi e. Konstruksi struktur kognitifnya sendiri dan terampil mengevaluasi 9 f. Perilaku dan etika yang professional (Teacher & Educational Development, University of New Mexico School of Medicine, 2002: 2-3). 3. Penerapan Problem-Based Learning Karaktersitik umum dari problem based learning yakni masalah sebagai awal pembelajaran. Rancangan masalah yang menjadi issue berasal dari masalah dilematis lingkungan sekitar untuk menarik minat peserta didik. Masalah harus disesuaikan dengan kompetensi dasar, materi, dan hasil belajar yang ingin dicapai. Menurut Duch (1997) dan Weiss (2003) permasalahan yang baik dapat mensukseskan pembelajaran. Rancangan permasalahan yang baik adalah: a. Beberapa fakta yang terjadi di dunia nyata di kemas dalam bentuk peta masalah yang dapat menarik minat peserta didik. b. Memilih salah satu fakta yang banyak dibahas oleh mass media menjadi pokok masalah pada bahasan suatu pembelajaran. c. Dapat memotivasi para peserta didik dalam menyusun argumen kuat berdasarkan beberapa informasi maupun referensi yang mereka peroleh. d. Dapat memunculkan sikap saling kerjasama antara peserta didik untuk membahas maupun menyelesaikan masalah tersebut. e. Pertanyaan awal yang disajikan pada masalah dapat menjadi petunjuk peserta didik untuk mengambil peran dalam diskusi. Pertanyaan ini harus: (a) bersifat terbuka terhadap berbagai bidang pengetahuan maupun tanggapan; (b) dapat dihubungkan dengan pengetahuan dasar sebelumnya maupun semua nilai-nilai berbagai aspek sebagai bentuk kontribusi pengembangan masalah atau solusi; (c) dipusatkan pada isu-isu yang dapat mengundang perdebatan atau belum terpecahkan secara tuntas. f. Dapat memotivasi para peserta didik untuk terlibat dalam proses berpikir yang kritis dan analitis. g. Setiap unit-unit spesifik dari pengembangan pokok masalah harus dapat disatukan kembali menjadi bentuk pemahaman suatu materi pembelajaran. Peserta didik sebelumnya telah memiliki dasar pengetahuan, kecakapan, kepercayaan, dan konsep-konsep. Ketika peserta didik dihadapkan pada permasalahan nyata yang dilematis maka mereka akan memperhatikan, mengorganisir, menginterpretasi, dan mendapatkan informasi maupun pengetahuan baru. Penerapan problem based learning dalam pendidikan membantu pembelajar menghubungkan hal-hal apa yang mereka ketahui, mereka perlukan untuk 10 mencapai tingkat pemikiran yang lebih baik (better thinking). (Teacher & Educational Development, University of New Mexico School of Medicine, 2002: 3-4). Awal kegiatan penerapan problem based learning yakni membuat persiapan problem based learning dalam pembelajaran matematika. Hal-hal yang perlu dipersiapan dalam penerapan problem based learning adalah: 1. Menentukan topik atau materi pokok pembelajaran. 2. Menentukan isu-isu permasalahan didunia nyata 3. Menyusun daftar keinginan peserta didik agar belajar dengan nyaman 4. Merancang penyajian masalah untuk dapat memandu peserta didik 5. Menentukan alokasi waktu dan jadwal pertemuan pembelajaran 6. Mengorganisir kelompok belajar 7. Merancang sumber daya belajar 8. Merancang lingkungan belajar yang nyaman untuk mengembangkan “Keterampilan Memproses” peserta didik. 9. Merancang format penilaian proses dan hasil belajar Peran tutor/pengajar dalam proses problem based learning adalah: 1. Pengendali proses a. Bertindak selaku penjaga pintu dan penjaga waktu. b. Sebagai petugas tanpa menjatuhkan sanksi kepada peserta didik (mahasiswa/siswa). c. Campur tangan apabila ada konflik di kalangan peserta didik (mahasiswa/siswa). d. Mendorong terjadinya situasi yang nyaman untuk terlaksananya dinamika kelompok. 2. Pengamat perilaku kelompok a. Mendorong terjadinya interaksi kelompok, keberanian, dan persetujuan. b. Mendorong peserta didik (mahasiswa/siswa) untuk mengembangkan kualitas individual. c. Membantu peserta didik (mahasiswa/siswa) untuk menghayati kemampuan dan menyadari kelemahan mereka. d. Mendorong peserta didik (mahasiswa/siswa) sebagai agen perubahan di dalam kelompok e. Bertindak sebagai role model. 3. Pemecah masalah a. Mendorong terjadinya partisipasi aktif, konsentrasi perhatian, dan diskusi lebih hidup. b. Memeriksa kembali seluruh hasil diskusi, mengembalikan pertanyaan peserta didik (mahasiswa/siswa) untuk dijawab sendiri oleh mereka, memberi komentar dan saran, serta merangsang untuk berpikir misalnya mencoba untuk mengembangkan hipotesis. 11 c. Mendorong peserta didik (mahasiswa/siswa) untuk membahas dan mendefinisikan kembali penjelasan yang ada, membuat hubungan atau kaitan konsep, proses dan sebagainya. d. Mendorong peserta didik (mahasiswa/siswa) untuk menganalisis, membuat sintesis dan evaluasi tentang masalah atau data, serta meringkas hasil diskusi. e. Membantu peserta didik (mahasiswa/siswa) dalam hal identifikasi sumber dan materi belajar. (Harsono, 2004: 31-32) Aktivitas mahasiswa dalam kegiatan pembelajaran. a. Mengidentifikasi pengetahuan dan kecakapan yang dimiliki. b. Mengidentifikasi masalah dan menggali sumber informasi yang relevan. c. Menyelidiki dan menginterpretasi informasi yang terkumpul. d. Belajar secara mandiri (self-directed learning) (Harsono, 2004: 35-42) e. Memprioritaskan beberapa alternatif solusi masalah. f. Mengintegrasikan, pendapat untuk menyeleksi solusi masalah. g. Refleksi diri (Teacher & Education Development, University of New Mexico School of Medicine, 2002: 26 & 29). Aktivitas mahasiswa (a, b, c, e, dan f) mengacu pada “steps for better thinking: a developmental problem solving process” dari. Lynch, Wolcott, & Huber, 2002:1-4; Departemen of Educational Development and Reseach, Rijksuniversiteit Limburg ,1984: 22-32; Advisory & Dairy , 2000:1-3). Berdasarkan definisi, aktifitas pengajar dan perserta didik, maka penerapan pembelajaran dengan metode problem-based learning dapat dilaksanakan dalam 8 delapan tahap berikut ini. 1. Memberikan masalah utama kepada mahasiswa terkait dengan konsep yang dipelajari sebagai stimulus 2. Mengorganisasikan mahasiswa dalam kelompok untuk mengidentifikasi masalah dan menggali informasi yang relevan dengan masalah yang diberikan 3. Memberi kesempatan kepada mahasiswa mengajukan pertanyaan tentang apa yang mereka tidak mengerti terkait dengan masalah yang diberikan 4. Mengarahkan mahasiswa dalam kelompok untuk memprioritaskan beberapa alternatif solusi masalah 5. Mengarahkan mahasiswa dalam kelompok untuk mengintegrasikan pendapat untuk menyeleksi solusi masalah 6. Mendampingi mahasiswa dalam kelompok Memecahkan masalah dengan solusi masalah yang sudah dipilih dan disepakati bersama 12 7. Meminta perwakilan kelompok untuk menyampaikan hasil pemecahan masalah kelompok lain memberikan tanggapan 8. Membimbing mahasiswa melakukan refleksi diri terkait dengan materi dan kebermanfaatkan materi pelajaran dengan kehidupan mereka sehari-hari B. Berpikir Kritis 1. Definisi Berpikir Ada beberapa pendapat ahli yang bisa dijadikan rujukan untuk dapat memahami arti kata berpikir itu sendiri. Menurut Plato (dalam Suryabrata, 1971: 54), berpikir adalah berbicara dalam hati. Plato menjelaskan bahwa berpikir merupakan proses ideasional, masih berupa ide dalam pikiran. Ide ini masih berbentuk pemikiran yang belum diungkapkan. Suryabrata (1971: 54) menanggapi pernyataan ini, bahwa berpikir merupakan aktivitas yang sifatnya ideasional, maksudnya bukan merupakan kegiatan sensoris atau motoris, walaupun dapat pula disertai kedua hal itu namun yang menjadi pokok adalah berfikir lebih menggunakan abstraksi-abstraksi atau ideas. Purwanto (1990: 4) berpendapat bahwa berpikir adalah suatu keaktipan pribadi manusia yang mengakibatkan penemuan yang terarah kepada suatu tujuan. Seoarang manusia berpikir tentu memiliki tujuan untuk menemukan pemahaman/pengertian yang kita kehendaki. Menurut Ruggiero (dalam Johnson, 2006: 187), mengartikan berpikir adalah sebagai aktifitas mental yang membantu merumuskan dan memecahkan masalah, membuat keputusan atau memenuhi keinginan untuk memahami. Sementara itu Chaffe (1994), mendefinisikan berpikir sebagai sebuah proses aktif, teratur dan penuh makna yang kita gunakan untuk memahami dunia. Berpikir dilakukan manusia untuk mamahami realitas kehidupan dengan mengambil keputusan (decision making), memecahkan persoalan (problem solving) dan menghasilkan sesuatu yang baru (creativity). Menurut Taylor (1977), hal seperti ini seperti penarikan kesimpulan dengan melihat berbagai kemungkinan dari realitas internal dan eksternal. Lebih lanjut, menurut pendapatnya berpikir adalah proses penarikan kesimpulan. Thinking is infering process (dalam http://www.ummuasiyah.com). Dari beberapa pendapat ahli yang disampaikan, penulis dapat menarik kesimpulan bahwa berpikir adalah suatu proses mental yang sifatnya ideasional dengan mememahami realitas dalam rangka mengambil keputusan, memecahkan persoalan dan menghasilkan yang baru. 13 2. Kemampuan Berpikir Kritis Ada beberapa definisi klasik mengenai berpikir kritis. Pendapat ini dikemukakan beberapa ahli, yaitu John Dewey, Edward Glaser dan Robert Ennis (dalam Alec Fisher, 2001: 2-4). Dewey (dalam Fisher, 2001: 2) menyebut berpikir kritis dengan berpikir reflektif, kemudian mendefinisikannya sebagai active, persistent, and carefull consideration of a belief or supposed from of knowledge in the light of the grounds which support in the further conclusions to which it tends. Dewey berpendapat bahwa berpikir kritis merupakan sebuah kegiatan aktif, gigih, dan mempertimbangkan dengan hati-hati apa yang dipercayai atau disangka benar dari pengetahuan dengan menggunakan alasan-alasan yang mendukung sebuah kesimpulan. Dewey menekankan hal yang terpenting (essentially) dari berpikir kritis adalah proses yang aktif. Dalam berpikir secara aktif akan memikirkan hal tersebut secara keseluruhan, menanyakan pertanyaan untuk diri sendiri dan menemukan relevansi informasi secara keseluruhan. Glaser (dalam Fisher, 2001: 3) adalah seorang pendukung dari teori Dewey. Glaser menyatakan bahwa berpikir kritis adalah sikap untuk mempertimbangkan dengan bijaksana suatu masalah dan subyek. Ennis (dalam Fisher, 2001: 4) memberikan definisi yang lebih luas. Berpikir kritis adalah berpikir yang beralasan (reasonable), berpikir reflektif yang difokuskan kepada keputusan untuk percaya atau tidak. Penekanan kepada proses dan tahapan berpikir dilontarkan oleh Scriven, berpikir kritis yaitu proses intelektual yang aktif dan penuh dengan keterampilan dalam membuat pengertian atau konsep, mengaplikasikan, menganalisis, membuat sintesis, dan mengevaluasi. Walker (dala Fisher, 2006: 1) semua kegiatan tersebut berdasarkan hasil observasi, pengalaman, pemikiran, pertimbangan, dan komunikasi, yang akan membimbing dalam menentukan sikap dan tindakan. Pendapat senada dikemukakan Anggelo (dalam Fisher, 2006: 6), berpikir kritis adalah mengaplikasikan rasional, kegiatan berpikir yang tinggi, yang meliputi kegiatan menganalisis, mensintesis, mengenal permasalahan dan pemecahannya, menyimpulkan, dan mengevaluasi. Berpikir kritis merupakan salah satu proses berpikir tingkat tinggi yang dapat digunakan dalam pembentukan sistem konseptual siswa. Merujuk lagi pada pendapat Ennis (dalam Fisher, 2006: 54), berpikir kritis adalah cara berpikir reflektif yang masuk akal atau 14 berdasarkan nalar yang difokuskan untuk menentukan apa yang harus diyakini dan dilakukan. Proses berpikir kritis mengharuskan keterbukaan pikiran, kerendahan hati, dan kesabaran. Kualitas tersebut membantu seseorang dalam mencapai pemahaman yang mendalam. Berpikir kritis memungkinkan siswa untuk menemukan kebenaran ditengah banjir informasi dan kejadian yang mengelilingi mereka setiap hari. Johnson (2006: 185) berpendapat, berpikir kritis adalah sebuah proses sistematis yang memungkinkan siswa untuk merumuskan dan mengevaluasi keyakinan dan pendapat mereka sendiri. Berpikir kritis adalah sebuah proses terorganisasi yang memungkinkan siswa untuk mengevaluasi bukti, asumsi, logika, dan bahasa yang mendasari pernyataan orang lain. Dari uraian yang telah disampaikan ahli mengenai definisi bepikir kritis, penulis menyimpulkan berpikir kritis adalah suatu proses berpikir untuk mampu mengkritisi, memilih, memecahkan masalah dan membuat keputusan dengan alasan-alasan rasional yang dapat dipertanggungjawabkan. C. Pemecahan Masalah Matematika 1. Pengertian Masalah Sebelum membahas lebih lanjut tentang pemecahan masalah, terlebih dahulu akan dibahas tentang masalah. Manusia hidup tidak lepas dari masalah, dalam menjalani hidupnya tentu saja akan banyak masalah yang harus dihadapi. Keberhasilan seseorang menjalani hidupnya bergantung dari cara mengatasi masalah, dan dengan adanya masalah manusia lebih banyak belajar. Masalah yang dihadapi seseorang berbeda dengan masalah yang dihadapi orang lain. Suatu pertanyaan atau soal dapat merupakan masalah bagi seseorang tetapi mungkin tidak merupakan masalah bagi orang lain. Menurut Polya (1973) suatu masalah berarti mencari dengan sadar beberapa tindakan yang tepat untuk mencapai suatu tujuan yang jelas, tetapi tujuan tidak dapat segera dicapai. Selanjutnya Polya mengemukakan bahwa di dalam belajar matematika terdapat dua macam masalah yaitu masalah untuk menemukan dan masalah untuk membuktikan. Ruseffendi ( 1988) menyatakan bahwa: Suatu persoalan itu merupakan masalah bagi seseorang. Pertama bila persoalan itu tidak dikenalnya, maksudnya ialah siswa belum memiliki prosedur atau algoritma tertentu untuk menyelesaikannya. Kedua ialah siswa harus mampu menyelesaikannya, baik kesiapan mentalnya maupun pengetahuan siapnya, terlepas dari pada apakah akhirnya ia sampai atau tidak kepada jawabannya. Ketiga sesuatu itu merupakan pemacahan masalah baginya, bila ia ada niat menyelesaikannya. Hudoyo ( 15 1979) berpendapat bahwa: Suatu pertanyaan merupakan suatu masalah apabila pertanyaan tersebut menantang untuk dijawab yang jawabannya tidak dapat dilakukan secara rutin saja. Lebih lanjut pertanyaan yang menantang ini menjadi masalah bagi seseorang bila orang itu menerima tantangan itu. Dengan demikian suatu pertanyaan menjadi masalah bagi siswa, apabila mereka diberi motivasi untuk menjawab masalah itu. Pandangan- pandangan tentang pengertian masalah dalam pembelajaran matematika banyak kesamaannya namun pada prinsipnya sama. Suatu soal atau pertanyaan dikatakan masalah bagi seseorang apabila soal itu tidak dikenalnya atau belum memiliki prosedur atau algoritma tertentu untuk menyelesaikannya. 2. Pemecahan Masalah Matematika Istilah pemecahan masalah ditemui dalam berbagai profesi dan dalam disiplin ilmu yang berbeda serta mempunyai banyak arti. Aisyah (2007) menjelaskan pemecahan masalah dalam interprestasi sebagai tujuan adalah bebas dari soal, prosedur, metode dan konten yang khusus. Yang menjadi pertimbangan khusus disini adalah belajar bagaimana cara menyelesaikan masalah merupakan alasan mengapa metematika itu diajarkan. Interprestasi kedua, matematika sebagai proses muncul sebagai suatu kegiatan yang dinamik, misalnya proses menggunakan suatu pengetahuan kedalam suatu keadaan baru. Hal yang dipentingkan disini adalah metode, strategi, prosedur, heuristic yang digunakan siswa dalam menyelesaikan masalah. Interprestasi pemecahan masalah sebagai keterampilan dasar berhubungan dengan penentuan keterampilan minimal apa yang harus dicapai dalam pengajaran matematika, dan keterampilan dasar apa yang diperlukan seseorang agar dapat menjalankan fungsinya dalam masyarakat. Hudoyo ( 1979) menyatakan pemecahan masalah dapat diartikan sebagai penggunaan matematika baik untuk matematika itu sendiri maupun aplikasi matematika dalam kehidupan sehari- hari dan ilmu pengetahuan yang lain secara kreatif untuk menyelesaikan masalah- masalah yang belum diketahui penyelesaiannya.ataupun masalah- masalah yang belum kita kenal. 3. Tahap- Tahap Pemecahan Masalah Matematika Pemecahan masalah dalam interprestasi sebagai proses diperlukan startegi atau tahaptahap pemecahan masalah. Sejumlah pakar mengemukakan tentang pemecahan masalah. Misalnya Polya ( 1973 ), mengemukakan bahwa terdapat empat tahap utama dalam proses pemecahan masalah yaitu (1) memahami masalah ( understanding the problem ), (2) merencanakan suatu penyelesaian ( devising a plan ), (3) melaksanakan rencana 16 penyelesaian ( carrying out the plan ), (4) memeriksa kembali hasil penyelesaian ( looking back ). Beberapa kegiatan- kegiatan yang diklasifikasikan sebagai pemecahan masalah dalam matematika diantaranya menyelesaikan soal cerita dalam buku teks, menyelesaikan soal- soal tidak rutin atau memecahkan teka- teki, penerapan matematika pada masalah yang dihadapi dalam kehidupan nyata, menciptakan dan menguji konjektur. Gagne ( dalam Ruseffendi, 1988) merinci lima tahap pemecahan yaitu: (1) menyajikan masalah dalam bentuk yang lebih jelas; (2) menyatakan masalah dalam bentuk yang operasional ( dapat dipecahkan ); (3) menyusun hipotesis- hipotesis alternative dan prosedur kerja yang diperkirakan baik untuk dipergunakan dalam memecahkan masalah itu; (4) mengetes hipotesis dan melakukan kerja untukmemperoleh hasilnya ( pengumpulan data, pengolahan data, dan lain- lain); hasilnya mungkin lebih dari sebuah; (5) memeriksa kembali ( mengecek ) apakah hasil yang diperoleh itu benar, mungkin memilih pada pemecahan yang paling baik Dewey ( dalam Sujono, 1998: 215 ) merinci lima tahap pemecahan yaitu: (1) tahu bahwa ada masalah yakni kesadaran akan adanya kesukaran, rasa, putus asa, keheranan, dan keragu- raguan, (2) mengenali masalah yakni klasifikasi dan definisi termasuk pemberian tanda pada tujuan yang dicari, (3) menggunakan pengalaman yang lalu, misalnya informasi yang relevan, penyelesaian soal yang lalu atau gagasan untuk merumuskan hipotesa dan proposisi pemecahan masalah, (4) menguji secara berturut- turut hipotesa atau kemungkinan- kemungkinan penyelesaian, (5) mengevaluasi penyelesaian dan menarik kesimpulan berdasarkan bukti- bukti yang ada. Tahap- tahap pemecahan masalah matematika yang dimaksudkan dalam penelitian ini menggunakan tahapan pemecahan masalah menurut Polya yaitu (1) memahami masalah, (2) merencanakan penyelesaian, (3) melaksanakan penyelesaian, (4) memeriksa kembali hasil, dan ditambah dengan (5) secara keseluruhan. D. Matematika dan Pembelajaran Matematika Istilah Matematika berasal dari bahasa Yunani, mathein atau manthenien yang artinya mempelajari. Kata matematika diduga erat hubungannya dengan kata Sangsekerta, medha atau widya yang artinya kepandaian, ketahuan atau intelegensia (Sri Subariah, 2006:1). Menurut Ruseffendi (1993), matematika adalah terjemahan dari Mathematics. Namun arti atau definisi yang tepat tidak dapat diterapkan secara eksak (pasti) dan singkat karena cabang-cabang matematika makin lama makin bertambah dan makin bercampur satu sama lainnya. Menurut Rusefendi (1993: 27-28) matematika itu terorganisasikan dari unsur-unsur 17 yang tidak didefinisikan, definesi-definisi, aksioma-aksioma dan dalil-dalil yang dibuktikan kebenarannya, sehingga matematika disebut ilmu deduktif. Ruseffendi juga mengutip beberapa definisi matematika menurut pendapat beberapa ahli, yaitu: Menurut James & James matematika adalah ilmu tentang logika mengenai bentuk, susunan, besaran dan konsep-konsep yang saling berhubungan satu sama lainnya dengan jumlah yang banyaknya terbagi ke dalam tiga bidang, yaitu aljabar, analisis dan geometri. Menurut Johnson & Rising matematika merupakan pola pikir, pola mengorganisasikan pembuktian logik, pengetahuan struktur yang terorganisasi memuat: sifat-sifat, teori-teori dibuat secara deduktif berdasarkan unsur yang tidak didefinisikan, aksioma, sifat atau teori yang telah dibuktikan kebenarannya (Reseffendi, 1993: 28). Menurut Reys matematika merupakan telaah tentang pola dan hubungan, suatu jalan atau pola berpikir, suatu seni, suatu bahasa dan suatu alat (Reseffendi, 1993: 28) Menurut Kline matematika bukan pengetahuan tersendiri yang dapat sempurna karena dirinya sendiri, tetapi keberadaanya karena untuk membantu manusia dalam memahami dan menguasai permasalahan sosial, ekonomi dan alam (Reseffendi, 1993: 28) Dengan demikian dapat dikatakan bahwa matematika merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari struktur yang abstrak dan pola hubungan yang ada di dalamnya. Ini berarti bahwa belajar matematika pada hakekatnya adalah belajar konsep, struktur konsep dan mencari hubungan antar konsep dan strukturnya. Ciri khas matematika yang deduktif aksiomatis ini harus diketahui oleh pengajar sehingga mereka dapat mempelajari matematika dengan tepat, mulai dari konsep-konsep sederhana sampai yang komplek. Menurutt Gagne (dalam Nyimas Aisyah, 2007), dalam belajar khususnya metematika terdapat fase-fase. Fase tersebut adalah; (1) fase motivasi, yaitu fase dimana menunjukkan harapan akan tujuan yang akan dicapai, (2) fase pemahaman, yaitu fase perhatian terhadap unsur-unsur tertentu sehingga merupakan tanggapan selektif, (3) fase penguasaan, yaitu fase pengkodean untuk dimasukkan dalam ingatan, (4) fase ingatan, yaitu fase penyimpanan dalam ingatan, (5) fase pengungkapan kembali, yaitu fase pengetahuan yang disimpan dalam ingatan dicari kembali , (6) fase generalisasi, yaitu fase transfer pengetahuan yang dimiliki ke pengetahuan sejenis, (7) fase perbuatan, yaitu fase yang menyatakan bahwa tujuan belajar tercapai, (8) fase umpan balik, yaitu fase penguatan terhadap pencapaian tujuan belajar. Fase ini dalam kenyataannya sulit untuk diamati, dan kebanyakan peserta didik tidak menyadari telah mengalami fase-fase ini. Menurut Ruseffendi bahwa agar peserta didik memahami dan mengerti konsep Matematika seyogyanya diajarkan dengan urutan konsep murni, dilanjutkan dengan konsep 18 notasi, dan diakhiri dengan konsep terapan. Untuk dapat mempelajari struktur matematika dengan baik maka refresentasinya dimulai dengan benda-benda konkrit yang beraneka ragam. Misalnya anak akan lebih cepat memahami arti benda-benda bila disajikan berbagai bentuk dan jenis benda-benda atau dengan kata lain bahwa benda-benda yang akan diamati harus beragam jenisnya. Langkah-langkah yang dapat dilakukan oleh pengajar matematika dalam pembelajaran Matematika adalah sebagai berikut: a. Mengenalkan dengan konsep Matematika melalui benda-benda konkrit. b. Menambah dan memperkaya pengalaman peserta didik. c. Menanamkan konsep melalui jenis permainan. d. Menelaah sifat bersama atau membeda-bedakan jenis dan macam konsep matematika. e. Menerapkan dengan bentuk simbol-simbol. f. Menerapkan konsep-konsep (struktur) Matematika secara formal sehingga sampai pada aksioma dan dalil berdasarkan pengalaman peserta didik. Pengajar dalam melaksanakan pembelajaran matematika diharapkan mampu mendasari dengan pendekatan-pendekatan pembelajaran yang tepat, antara lain : a. Peserta didik harus menggunakan benda-benda konrit dan membuat abstraksinya dari konsep-konsep. b. Materi yang akan diajarkan harus ada hubungannya atau berkaitan dengan yang sudah dipelajari. c. Mengubah suasana abstrak ke dalam suasana konkrit menggunakan simbol. d. Matematika adalah ilmu kreatif oleh karena itu harus diajarkan dengan ilmu seni. Jadi pembelajaran matematika adalah pembelajaran yang dapat menata kemampuan berpikir para peserta didik, bernalar, memecahkan masalah, berkomunikasi, mengaitkan materi matematika dengan keadaan sesungguhnya E. Hasil Penelitian-penelitian yang Relevan Beberapa hasil penelitian yang relevan dengan penelitian ini adalah: 1. Sahat Saragih (2007) dalam penelitian yang berjudul: Menumbuhkembangkan Berpikir Logis dan Sikap Positif terhadap Matematika melalui Pendekatan Matematika Realistik. Penelitian ini dilatarbelakangan oleh keadaan pembelajaran matematika di kelas yang masih didominasi oleh paradigma mengajar yang memiliki ciri-ciri antara lain: guru aktif menyampaikan informasi dan siswa pasif menerima; pembelajaran berfokus (berorientasi) pada guru, bukan pada siswa; ketergantungan siswa pada guru cukup besar; independensi berpikir siswa kurang dikembangkan; pemahaman siswa cenderung pada 19 pemahaman instrumental, bukan pada pemahaman relasional. Dimana Praktek pembelajaran ini jelas tidak memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan ide-ide kreatif, kurang melatih daya nalar, dan tidak terbiasa melihat alternatif lain yang mungkin dapat dipakai dalam menyelesaikan suatu masalah. Dengan sistem pembelajaran seperti ini menyebabkan aktifitas untuk mengembangkan kemampuan berpikir logis dan sikap siswa terhadap matematika sering terabaikan. Akibatnya tidak sedikit siswa yang merasa takut terhadap matematika, merasa terbebani dengan soal-soal matematika, dan bahkan bila mungkin lebih baik menghindari matematika. Dengan penerapan pembelajaran matematika melalui Pendekatan Matematika Realistik dapat memperbaikan pembelajaran matematika dari paradigma mengajar ke paradigma belajar atau pembelajaran yang berpusat pada guru ke pembelajaran yang berpusat pada siswa. Dengan demikian siswa diberikan kesempatan untuk mengalami proses penemuan terbimbing untuk menemukan sendiri konsep matematika dengan menyelesaikan berbagai soal kontekstual. Soal kontekstual mengarahkan siswa membentuk konsep, menyusun model, menerapkan konsep yang telah diketahui, dan menyelesaikannya berdasarkan kaidah matematika yang berlaku. Dari hasil ini akhirnya menumbuhkan kemampuan berpikir logis pada siswa yang akhirnya menghilangkan ketakutan siswa terhadap matematika yang pada akhirnya akan meningkatkan hasil belajar matematika siswa. 2. Muchamad Afcariono (2006). dalam penelitian yang berjudul: Penerapan Pembelajaran Berbasis Masalah untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Siswa pada Mata Pelajaran Biologi. Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan berpikir siawa pada mata pelajaran Biologi dengan menerapan pembelajaran berbasis masalah atau problem-basedlearning. Dari penelitian ini ditemukan bahwa; Pertanyaan dengan tingkat kognitif rendah (C1, C2, dan C3) mengalami penurunan selama proses pembelajaran yang telah dilakukan (Siklus I dan Siklus II). Hal serupa juga terjadi pada jawaban siswa yang mengalami penurunan pada tingkatan kognitif C1 dan C3. Jawaban siswa dengan tingkatan kognitif C2 tidak mengalami perubahan. Pada siklus I, pertanyaan siswa masih cenderung pada pola kemampuan berpikir tingkat rendah (C1, C2, dan C3) dan mengalami perubahan pada siklus II pada pola berpikir tingkat tinggi. Kemampuan berpikir diperoleh dari kemampuan siswa menyampaikan pertanyaan dan jawaban pada saat penyajian hasil laporan atau presentasi hasil laporan. Penerapan pembelajaran berbasis masalah pada mata pelajaran Biologi ternyata dapat meningkatkan kemampuan berpikir siswa kelas X-A SMA Negeri 1 Ngantang. Hal ini dapat dilihat 20 melalui adanya perubahan pada pola pikir siswa berdasarkan tingkatan kognitif. Kemampuan bertanya dan menjawab siswa meningkat dari kemampuan berpikir tingkat rendah (pengetahuan, pemahaman, dan aplikasi) menjadi berpikir tingkat tinggi (analisis, sintesis, dan evaluasi). 3. Sudarman Model (2006) dalam penelitian yang berjudul: Problem Based Learning: Suatu Pembelajaran untuk Mengembangkan dan Meningkatkan Kemampuan Memecahkan Masalah. Hasil penelitian ini mendapatkan satu masalah yang dihadapi dunia pendidikan kita adalah masalah lemahnya proses pembelajaran. Dalam proses pembelajaran, siswa kurang didorong untuk mengembangkan kemampuan berpikir. Proses pembelajaran di kelas diarahkan kepada kemampuan anak untuk menghafal informasi. Otak anak dipaksa untuk mengingat dan menimbun berbagai informasi tanpa dituntut memahami informasi yang diingatnya itu untuk menghubungkan dengan kehidupan sehari-hari. Akibatnya, ketika anak didik lulus dari sekolah, mereka pintar teoritis tetapi mereka miskin aplikasi. Pendidikan di sekolah terlalu menjejali otak anak dengan berbagai bahan ajar yang harus dihafal. Pendidikan tidak diarahkan untuk mengembangkan dan membangun karakter serta potensi yang dimiliki. Dengan kata lain, proses pendidikan kita tidak diarahkan membentuk manusia cerdas, memiliki kemampuan memecahkan masalah hidup, serta tidak diarahkan untuk membentuk manusia kreatif dan inovatif. Permasalahan lain juga terjadi pada kalangan perguruan tinggi. Belajar di perguruan tinggi yang merupakan pilihan strategis untuk mencapai tujuan individual yang berkompeten ternyata masih jauh dari harapan. Belajar di perguruan tinggi tidak hanya dituntut mempunyai keterampilan teknis tetapi juga mempunyai daya dan kerangka pikir serta sikap mental, kepribadian, kearifan, dan mempunyai wawasan yang luas dan berbeda. Buchori (2000) menyebutkan bahwa manusia yang arif adalah manusia yang mempunyai: (1) pengetahuan yang luas, (2) kecerdikan, (3) sikap hati-hati, (4) pemahaman terhadap norma-norma kebenaran, (5) kemampuan mencerna informasi, dan (6) akal sehat. Selain hal tersebut di atas, kemampuan penalaran (reasoning) juga merupakan bagian penting dari kearifan. Kondisi belajar mengajar di perguruan tinggi belum dapat mengubah secara nyata wawasan dan perilaku akademik. Hal ini dapat dilihat dari kualitas penalaran dan pemahaman mahasiswa pada saat pendadaran atau ujian komprehensif. Salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk menentukan kualitas proses pendidikan adalah melalui pendekatan sistem. Melalui pendekatan sistem pembelajaran, kita bisa melihat berbagai aspek yang dapat mempengaruhi keberhasilan suatu proses. 21