BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Teori dan Hasil Penelitian yang Relevan 1. Problem-Based Learning a. Pengertian Problem-Based Learning Problem-Based Learning merupakan model pembelajaran yang menjadikan masalah keseharian sebagai titik awal dari proses pembelajaran. Jenis masalah yang digunakan berbeda-beda sesuai tingkat kemampuan dan kebutuhan siswa. Masalah yang biasa digunakan merupakan permasalahan yang sering dijumpai dalam kehidupan sehari-hari yang telah dipilih dan disesuaikan dengan objek pembelajaran. Arah proses pembelajaran lebih ditujukan pada proses merumuskan pertanyaan daripada merumuskan jawaban, sehingga pengadaan masalah sebagai dasar proses pembelajaran merupakan hal yang sangat penting pada Problem-Based Learning. Pembelajaran yang menekankan pada proses memungkinkan terciptanya hubungan antara muatan pembelajaran (konten) dengan konteks pembelajaran sehingga dapat meningkatkan motivasi dan pemahaman siswa (Graaff dan Kolmos, 2003: 658). Menurut Boud dan Felleti yang dikutip oleh Muchsini (2004: 17), “Problem-Based Learning is an approach to structuring the curriculum involves confronting students with problems from practice with provide a stimulus from learning.” (Problem-Based Learning adalah sebuah pendekatan untuk menyusun kurikulum yang melibatkan peserta didik dalam menghadapi masalah-masalah dari kehidupan nyata dengan memberikan stimulus dari pembelajaran). White HB dan Richlin dalam Purwito (2006: 17-18) mengemukakan bahwa, “Di dalam Problem-Based Learning siswa bekerja dalam suatu kelompok kecil untuk membahas suatu masalah yang tidak dimengerti dan penting, apa yang tidak mereka ketahui, dan berusaha belajar untuk memecahkan permasalahan tersebut.”. 6 7 Problem-Based Learning merupakan pembelajaran di mana authentic assesment (penilaian yang nyata) dapat diterapkan secara komprehensif (Hamzah dalam Purwito, 2006: 17). Penilaian otentik tidak bisa hanya didasarkan pada penilaian aspek kognitif yang terfokus pada hasil belajar berupa nilai. Hasil belajar itu sendiri dapat dipengaruhi berbagai faktor internal maupun eksternal peserta didik, sehingga tidak bisa menjadi tolok ukur objektif keberhasilan proses belajar siswa. Penilaian otentik dilakukan terhadap keseluruhan kegiatan belajar, termasuk kesesuaian antara hasil belajar dengan tujuan belajar yang ingin dicapai. Penilaian otentik juga mencakup aspek afektif dan psikomotorik siswa sehingga dapat memenuhi upaya evaluasi terhadap ketercapaian tujuan belajar, yaitu mengubah perilaku siswa. Kegiatan belajar mengajar tidak sekedar bersifat menyampaikan dan menerima informasi, tetapi bersifat mengolah informasi sebagai masukan pada upaya peningkatan kemampuan atau pencapaian tujuan belajar untuk mencapai kompetensi dasar yang optimal baik dalam aspek kognitif, afektif dan psikomotor secara simultan. Penerapan Problem-Based Learning dapat mengakomodasi aspek kognitif, afektif, dan psikomotor. Aspek kognitif siswa dapat dinilai dari kemampuan siswa untuk mengajukan masalah dan memecahkan masalah secara tepat dan cepat; seseorang dikatakan mempunyai masalah jika pihak yang bersangkutan menyadari keberadaan suatu situasi memerlukan tindakan dan tidak dengan segera dapat menemukan pemecahannya. Aspek afektif siswa dapat dinilai dari sejauh mana mereka mampu menerima dan menghargai masalah yang diajukan oleh siswa lain. Aspek psikomotor dapat dilihat dari bobot masalah yang dikemukakan melalui hubungan semantik dan sintaksis. b. Pembagian Problem-Based Learning Menurut Hamzah yang dikutip oleh Purwito (2006: 22) ProblemBased Learning (PBL) dibagi menjadi dua yaitu: 8 1) Problem Posing Problem Posing merupakan suatu proses memunculkan masalah dan juga suatu langkah untuk memecahkan masalah yang lebih rumit dari yang sebelumnya. Proses ini dimunculkan dari situasi siswa atau juga guru. 2) Problem Solving Problem Solving merupakan bentuk pemecahan masalah yang meliputi dua aspek yaitu masalah untuk menemukan (problem to find) dan masalah untuk membuktikan (problem to prove) c. Karakteristik Problem-Based Learning Problem-Based Learning merupakan pembelajaran di mana siswa dihadapkan dengan sebuah permasalahan yang dapat dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Masalah tersebut kemudian dianalisis dan diupayakan pemecahannya. Savoi dan Hughes dalam Wena (2009: 17) mengemukakan beberapa karakteristik Problem-Based Learning, sebagai berikut: 1) Belajar diawali dengan mengajukan sebuah permasalahan, 2) Permasalahan yang diberikan dapat dijumpai dalam kehidupan sehari-hari siswa, 3) Mengorganisasikan pembelajaran di seputar permasalahan, bukan di seputar disiplin ilmu, 4) Memberikan tanggung jawab yang besar kepada siswa untuk melakukan pembelajaran mandiri, 5) Memberdayakan kelompok kecil, 6) Menuntut siswa untuk menuangkan hasil kerja mereka dalam sebuah produk dan kinerja. Model Problem-Based Learning tidak memberi penekanan pada penyampaian informasi karena organisasi pembelajaran dengan model ini mengacu kepada permasalahan. Suatu permasalahan kompleks melibatkan banyak disiplin ilmu dalam upaya penyelesaiannya. Siswa tidak dituntut untuk mencari dan menyerap informasi sebanyak mungkin dari kegiatan belajar. 9 Siswa diharapkan mampu mengaplikasikan pengetahuan yang diperolehnya dengan mengacu kepada permasalahan untuk mengatasi permasalahan yang sama pada situasi yang berbeda, atau mengatasi permasalahan berbeda dengan melibatkan banyak disiplin ilmu. d. Tahap Pembelajaran dengan Problem-Based Learning Pembelajaran dengan Problem-Based Learning meliputi beberapa tahap tertentu sebagai berikut: 1) Menemukan masalah, 2) Mendefinisikan masalah, 3) Mengumpulkan fakta, 4) Menyusun hipotesis, 5) Melakukan penelitian, 6) Menyempurnakan masalah yang telah didefinisikan, 7) Menyimpulkan alternatif pemecahan masalah secara kolaboratif, 8) Melakukan pengujian hasil (solusi) pemecahan masalah. Penggunaan Problem Based Learning dalam pembelajaran dapat melatih kemandirian dan percaya diri siswa, karena siswa diminta melakukan penilaian pribadi terhadap suatu masalah. Merumuskan masalah menjadikan siswa bertanggung jawab dalam menemukan penyelesaian masalah tersebut sehingga kebermaknaan belajar dapat diraih siswa. e. Kekuatan Problem Based Learning Menurut Muchsini (2004: 21), penerapan Problem Based Learning memiliki beberapa kekuatan, antara lain: 1) Fokus kebermaknaan, bukan fakta Pembelajaran tradisional mengharuskan siswa mengingat banyak informasi kemudian ‘mengeluarkan’ apa yang diingatnya ketika ujian. Informasi yang cukup banyak tersebut harus diingat siswa sementara kondisi siswa tidak memungkinkan hal tersebut, sehingga akhirnya hanya sedikit informasi yang dapat diserap oleh siswa. Problem-Based Learning 10 tidak hanya menyajikan informasi untuk dihafalkan, tetapi juga memanfaatkan informasi dalam pemecahan masalah sehingga terjadi proses pemaknaan informasi. 2) Meningkatkan kemampuan siswa untuk berinisiatif Problem-Based Learning mengkondisikan siswa untuk mengidentifikasi dan memecahkan masalah, di mana inisiatif sangat diperlukan. Penerapan Problem-Based Learning melatih siswa untuk berinisiatif sehingga dalam prosesnya, kemampuan tersebut dapat meningkat. 3) Pengembangan keterampilan dan pengetahuan Problem-Based Learning memberikan makna lebih pada kegiatan belajar, contoh nyata penerapan dan manfaat yang jelas dari materi yang dipelajari (fakta, konsep, prinsip, dan prosedur). Tingkat kompleksitas suatu masalah yang semakin tinggi, membutuhkan keterampilan dan pengetahuan siswa yang lebih tinggi untuk mampu menyelesaikan masalah tersebut. 4) Pengembangan keterampilan interpersonal dan dinamika kelompok Problem-Based Learning memiliki karakteristik ‘kerjasama’ yang melibatkkan siswa dalam interaksi sosial yang dibutuhkan dalam belajar maupun dalam kehidupan siswa sehari-hari. Pendidikan tradisional yang lebih memfokuskan pada penguasaan informasi seringkali mengabaikan keterampilan ini, sedangkan PBL dapat mengakomodasi baik penyerapan informasi maupun keterampilan interaksi sosial. 5) Pengembangan sikap self-motivated Problem-Based Learning memberi siswa kesempatan untuk merumuskan masalah yang ditemuinya, disertai alternatif solusi yang memungkinkan untuk diterapkan. Kerjasama dalam kelompok yang terdapat di dalamnya menuntut peran aktif setiap anggota kelompok. Hal 11 ini menumbuhkan sikap percaya diri dalam diri siswa yang dapat memunculkan motivasi internal dalam belajar. 6) Tumbuhnya hubungan siswa-fasilitator Problem-Based Learning memberikan kesempatan kepada siswa untuk belajar mandiri sesuai tingkat pemahaman yang dimilikinya. Guru berperan sebagai pembimbing yang diperlukan untuk ‘membingkai’ kegiatan siswa agar tidak menyimpang dalam memahami suatu konsep dan agar aktivitas dalam belajarnya terstruktur dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran. 7) Jenjang penyampaian pembelajaran dapat ditingkatkan Pencapaian yang diharapkan dalam proses pembelajaran dengan Problem-Based Learning memiliki persamaan dengan pembelajaran tradisional yaitu membuat siswa menguasai materi secara luas dan mendalam. Perbedaan capaian antara proses pembelajaran dengan Problem-Based Learning dan pendidikan tradisional adalah pencapaian beberapa keterampilan dan kebermaknaan belajar yang tidak diperoleh dalam pendidikan tradisional. f. Kelemahan Pembelajaran dengan Problem-Based Learning Pembelajaran dengan Problem-Based Learning juga memiliki kelemahan sebagai berikut: 1) Pencapaian akademik dari individu siswa Problem-Based Learning berfokus pada satu masalah spesifik, namun seringkali tidak memiliki ruang lingkup yang memadai. Penerapan PBL dalam pembelajaran dapat menyebabkan pencapaian nilai akademik yang tinggi dalam hal keterampilan siswa memecahkan masalah dalam kehidupan nyata. PBL kurang memungkinkan untuk diterapkan jika penjabaran materi dalam pembelajaran dan kuantias materi yang diserap siswa lebih diutamakan daripada peningkatan keterampilan belajar dan berpikir. 12 2) Waktu yang diperlukan untuk implementasi Waktu yang dibutuhkan mengimplementasikan PBL oleh siswa cenderung dan lebih guru banyak dalam daripada pembelajaran tradisional. Penerapan PBL pada siswa yang belum pernah melaksanakan kegiatan belajar mengajar menggunakan model PBL memerlukan pendampingan dan arahan guru. 3) Perubahan peran siswa dalam proses pembelajaran dengan PBL Pembelajaran tradisional yang selama ini berlangsung di sekolahsekolah menjadikan siswa terbiasa berada dalam kultur pembelajaran pasif. Kegiatan siswa hanya mendengarkan penjelasan guru dan menyalin informasi dalam buku-buku teks untuk memenuhi tuntutan pembelajaran aspek kognitif. Pembelajaran yang menerapkan PBL menuntut siswa berperan aktif dan mandiri. Siswa mengorganisasikan sendiri sumber belajarnya dan bertanggung jawab merekonstruksi pengetahuannya sesuai tingkat emahaman dan kebutuhannya. Perubahan model pembelajaran dari ekspositori menjadi PBL dapat menjadi kendala bagi siswa maupun guru yang baru memulai pembelajaran dengan PBL. Proses transisi dan pembimbingan intensif dalam tahap awal sangat diperlukan agar kegiatan pembelajaran dengan PBL sejalan dengan sintaks PBL yang telah ditetapkan dan siswa dapat mengalami pembelajaran konstruktif yang bermakna. 4) Perubahan peran guru dalam proses pembelajaran dengan PBL Guru berperan sebagai sumber informasi dalam pembelajaran tradisional. Guru terbiasa dengan metode ceramah yang relatif lebih mudah karena hanya bermodalkan pengetahuan yang telah dimiliki ditambah bantuan dari beberapa media pendukung. Pembelajaran dengan model PBL menuntut guru untuk berperan sebagai pembimbing dan fasilitator yang membutuhkan waktu ekstra dan sumber informasi yang 13 lebih luas untuk membantu siswa memecahkan masalah yang mengandung unsur lintas disiplin ilmu. 5) Perumusan masalah yang baik Perumusan masalah merupakan kegiatan mendasar dalam pembelajaran dengan model PBL. Kegiatan merumuskan masalah yang baik tidak mudah dilakukan oleh guru maupun siswa. Pembelajaran dengan model PBL tidak hanya mengajukan permasalahan yang bersifat holistik melainkan juga berfokus mikro dan mendalam. Siswa seringkali kesulitan mengidentifikasi dan merumuskan permasalahan dengan karakter yang kompleks tanpa adanya pemberian informasi oleh guru atau pencarian informasi dari sumber belajar yang ada. g. Langkah Pelaksanaan PBL Menurut White H.B dan Richlin yang dikutip oleh Purwito (2006: 24), langkah-langkah dalam PBL dijelaskan sebagai berikut: 1) Tahap Persiapan Guru melakukan studi pendahuluan baik terhadap materi yang akan disampaikan maupun studi untuk penerapan metode yang akan diterapkan, apakah materi sesuai dengan metode atau tidak. Tindakan berikutnya adalah menentukan tujuan instruksional dari penyampaian materi tersebut, sehingga jelas acuan atau indikatornya yang akan diraih. Dan tahap berikutnya adalah membentuk kelompok, dalam teknik pengelompokan ini siswa yang berkemampuan dan jenis kelaminnya berbeda disatukan dalam satu tim kecil yang terdiri dari tiga sampai delapan orang. Kemudian setelah guru menyajikan teori utama atau topik kompetensi dasar, siswa diharapkan memunculkan permasalahan. 2) Tahap Pemunculan Masalah Permasalahan dapat dimunculkan dari diri siswa maupun dari guru atau dapat juga dari kehidupan sehari-hari. Dalam penelitian ini sangat 14 mungkin bahwa permasalahan sehari-hari banyak menimbulkan permasalahan yang dapat diambil. 3) Tahap Investigasi dan Inquiri Masalah Siswa diharapkan dapat berinvestigasi atau inquiri dalam kehidupan nyata terkait dengan topik yang dibahas. Setelah menemukan masalah, siswa bekerja dalam kelompok untuk merencanakan strategi maupun pelaksanaan untuk memecahkan masalah tersebut. 4) Presentasi Hasil Presentasi hasil merupakan tahap terakhir untuk mengecek hasil karya atau produk dari investigasi dan inquiri dalam rangka memecahkan masalah yang timbul dalam kelompok masing-masing. Presentasi dilakukan di depan kelas sehingga kelompok lain dapat ikut mengevaluasi permasalahan yang disampaikan. Di sisi lain presentasi ini bagi guru adalah merupakan sarana untuk penilaian afektif dan psikomotorik dengan memantau aktivitas siswa dalam berkomunikasi antar kelompok maupun dalam kelompok baik lisan maupun tulisan. Peran guru dalam pelaksanaan model Problem-Based Learning diuraikan pada Tabel 2.1. 15 Tabel 2.1. Perilaku Guru pada Model Problem-Based Learning Tahapan PBL Tahap 1 Orientasi siswa pada masalah Perilaku Guru Guru menjelaskan tujuan pembelajaran, menjelaskan logistik yang dibutuhkan, mengajukan fenomena atau demonstrasi atau cerita untuk memunculkan masalah, memotivasi siswa untuk terlibat aktif dalam pemecahan masalah yang dipilih Tahap 2 Guru membantu siswa mendefinisikan dan Mengorganisasikan siswa mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut Tahap 3 Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan Membimbing penyelidikan informasi yang sesuai, melaksanakan individu dan kelompok eksperimen untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah Tahap 4 Guru membantu siswa dalam merencanakan Mengembangkan& menyajikan dan menyiapkan karya yang sesuai seperti hasil karya laporan, model dan berbagai tugas dengan teman Tahap 5 Guru membantu siswa untuk melakukan Menganalisa dan mengevaluasi refleksi atau evaluasi terhadap penyelidikan proses pemecahan masalah mereka dan proses-proses yang mereka gunakan. (Sumber: Ibrahim dan Nur (dalam Trianto 2007 : 72)) h. Tujuan dan Hasil Belajar PBL Tujuan dan hasil belajar PBL adalah untuk mengembangkan kemampuan keterampilan berpikir, mengembangkan pengetahuan dan keterampilan memecahkan masalah dan keterampilan intelektual, mengembangkan keterampilan belajar mandiri secara efektif. Penilaian dilakukan terhadap konteks permasalahan yang dipelajari siswa, yang terdiri dari penilaian diri sendiri (self assesment) dan penilaian oleh teman (peer assesment). Penilaian dan pemberian umpan balik oleh guru dilakukan terus menerus selama proses pembelajaran berlangsung. 2. Keterampilan Proses Sains a. Klasifikasi Keterampilan Proses Sains 16 Keterampilan Proses Sains (Science Process Skill) dapat diartikan sebagai satu set keterampilan yang dapat ditransfer dan menggambarkan kebiasaan seorang peneliti. Istilah keterampilan proses sains dipopulerkan melalui proyek kurikulum Science-A Process Approach (SAPA) oleh Commission on Science Education of American Association of Science (AAAS) pada tahun 1965. SAPA mengelompokkan keterampilan proses sains menjadi dua kelompok yaitu keterampilan proses sains dasar (Basic Science Process Skill) dan keterampilan proses sains terintegrasi (Integrated Science Process Skill). Pengelompokan tersebut tidak mutlak diberlakukan oleh berbagai kalangan. SAPA merumuskan 12 keterampilan proses sains, yang selanjutnya dispesifikkan lagi menjadi enam keterampilan dasar dan enam keterampilan terintegrasi. SAPA merumuskan 14 keterampilan proses sains yang dibagi menjadi delapan keterampilan proses dasar dan enam keterampilan proses terintegrasi pada perkembangan selanjutnya. Longfield (1999: 1) mengelompokkan keterampilan proses sains menjadi tiga kelompok, yaitu basic, intermediet, dan advance. Rustaman tidak mengelompokkan keterampilan proses sains dalam spesifikasi tertentu (dasar, terintegrasi, dll). Berbagai perbedaan dalam pengelompokan keterampilan proses sains tersebut dapat terjadi karena adanya perbedaan standar pendidikan sains lokal, daerah ataupun nasional. b. Jenis dan Indikator Keterampilan Proses Sains Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, bahwa terdapat perbedaan pengelompokan keterampilan proses sains, di sini secara khusus dipaparkan pengelompokan keterampilan proses sains oleh Rustaman et al (2005: 86-87) seperti pada Tabel 2.1. 17 Tabel 2.2 Jenis Keterampilan Proses Sains dan Indikator Masing-masing Jenis Keterampilan Proses Sains 1. Mengamati (observasi) 2. Mengelompokkan (klasifikasi) 3. Menafsirkan (interpretasi) 4. Meramalkan (prediksi) 5. Mengajukan pertanyaan 6. Berhipotesis 7. Merencanakan percobaan Indikator a. Menggunakan sebanyak mungkin indera b. Mengumpulkan atau menggunakan fakta yang relevan a. Mencatat setiap pengamatan secara terpisah b. Mencari perbedaan dan persamaan c. Mengontraskan ciri-ciri d. Membandingkan e. Mencari dasar pengelompokan f. Menghubungkan hasil pengamatan a. Menghubungkan hasil-hasil pengamatan b. Menemukan pola dalam suatu seri pengamatan c. Menyimpulkan a. Menggunakan pola-pola hasil pengamatan b. Mengemukakan apa yang mungkin terjadi pada keadaan yang belum diamati a. Bertanya apa, bagaimana dan mengapa b. Bertanya untuk meminta penjelasan c. Mengajukan pertanyaan yang berlatar belakang hipotesis a. Mengetahui bahwa ada lebih dari satu kemungkinan penjelasan dari satu kejadian b. Menyadari bahwa suatu penjelasan perlu diuji kebenarannya dalam memperoleh lebih banyak bukti atau menerapkan prosedur pemecahan masalah a. Menentukan alat/ bahan/ sumber yang akan digunakan b. Menentukan variabel atau faktor penentu c. Menentukan apa yang akan diukur, diamati, dicatat 18 Jenis Keterampilan Proses Sains 8. Menggunakan alat/ bahan 9. Menerapkan konsep 10. Berkomunikasi 11. Melaksanakan percobaan/ eksperimentasi (Sumber: Rustaman, 2005: 86-87) Indikator d. Menentukan apa yang akan dilaksanakan berupa langkah kerja a. Memakai alat dan bahan b. Mengetahui alasan mengapa menggunakan alat/ bahan c. Mengetahui bagaimana menggunakan alat dan bahan a. Menggunakan konsep yang telah dipelajari dalam situasi baru b. Menggunakan konsep pada pengalaman baru untuk menjelaskan apa yang sedang terjadi a. Memberikan/ menggambarkan data empiris hasil percobaan atau pengamatan dengan grafik/ tabel/ diagram b. Menyusun dan menyampaikan laporan secara sistematis c. Menjelaskan hasil percobaan atau penelitian d. Membaca grafik/ tabel/ diagram e. Mendiskusikan hasil kegiatan f. Mengubah bentuk penyajian data 19 c. Pembelajaran Keterampilan Proses Sains Pembelajaran yang mengakomodasi keterampilan proses sains dapat dikaji dari berbagai aspek, misalnya hubungan antara keterampilan proses sains dengan aspek hasil belajar yang lain seperti kemampuan berpikir operasional formal, atau hubungan antara prinsip dan metode serta peran guru dalam pembelajaran yang melibatkan keterampilan proses sains. Berikut hanya akan dijabarkan penjelasan mengenai hubungan antara prinsip dan metode serta peran guru dalam pembelajaran yang melibatkan keterampilan proses sains. Radford (2002: 3) mengungkapkan ada tiga kondisi yang harus dipenuhi sebuah pembelajaran agar siswa dapat mengakomodasi keterampilan proses sains, yaitu: 1) Siswa memahami apa itu keterampilan proses sains serta pentingnya dalam pembelajaran, 2) Siswa harus diberi kesempatan untuk mempraktikkan keterampilan proses sains yang dimilikinya, 3) Adanya evaluasi terhadap perkembangan keterampilan proses sains yang dimiliki siswa. Ketiga kondisi di atas dapat dipenuhi oleh metode pemecahan masalah (Keil, 2009). Guru memiliki peran penting dalam memberikan gain yang signifikan bagi penguasaan keterampilan proses sains siswa. Harleen (dalam Rustaman, 2005) mengungkapkan bahwa guru memiliki peran penting dalam pembelajaran keterampilan proses sains, yang dikelompokkan dalam peran umum dan peran khusus. Peran umum guru dijabarkan sebagai berikut: 1) Memberikan kesempatan kepada siswa untuk menggunakan keterampilan proses sains dalam melakukan eksplorasi materi dan fenomena. 20 2) Memberi kesempatan siswa untuk berdiskusi dalam kelompok kecil ataupun kelas. 3) Mendengarkan pembicaraan dan mempelajari produk siswa untuk menemukan proses yang diperlukan untuk membentuk gagasan siswa tersebut. 4) Mendorong siswa untuk mengulas secara kritis terutama tentang kegiatan yang telah dilakukan dalam proses pembelajaran. 5) Memberikan teknik atau strategi untuk meningkatkan keterampilan proses sains yang dimiliki oleh siswa. 3. Hasil Penelitian yang Relevan Penelitian tentang penggunaan model Problem-Based Learning telah banyak dilakukan dan hasilnya menunjukkan bahwa penggunaan model tersebut dapat meningkatkan sikap positif terhadap belajar, perbaikan miskonsepsi, pemahaman konsep, pemecahan masalah, dan keterampilan menggunakan pengetahuan secara praktis dalam kehidupan nyata. Menurut Hasnunidah (2008: 25-26), model Problem-Based Learning dapat meningkatkan keterampilan proses sains siswa meliputi keterampilan mengamati, interpretasi, memprediksi dan mengkomunikasikan. Hasil penelitian Najiullah (2010: 75) menunjukkan bahwa penerapan model Problem-Based Learning dalam pembelajaran dapat meningkatkan ketuntasan hasil belajar klasikal siswa sebesar 29,63% yakni dari 55,55% menjadi 85, 18%. Hasil penelitian Fathoni (2009: 95) menyimpulkan bahwa model Problem-Based Learning efektif untuk meningkatkan hasil belajar siswa secara mandiri, mengembangkan kemampuan berpikir kreatif dan inovatif dalam menghubungkan antara konsep pembelajaran yang diterima dengan pengalaman serta kenyataan yang ditemui di lingkungan sekitar. Hasil penelitian Shalihah (2008: 108) menyimpulkan bahwa model Problem-Based Learning dapat meningkatkan kemampuan afeksi siswa dalam kehidupan sehari-hari. 21 B. Kerangka Berpikir Pembelajaran konvensional yang bersifat teacher-centered tidak memberi kesempatan kepada siswa untuk mengakomodasi keterampilan proses sains yang dibutuhkan dalam belajar sains. Belajar sains tanpa mengakomodasi keterampilan proses sains membuat siswa belajar hanya dengan menghafal. Belajar dengan menghafal membuat siswa ‘menyerap’ informasi yang bersifat jangka pendek. Siswa kurang memahami pengetahuan yang diperolehnya dan tidak kreatif dalam menerapkan pengetahuan yang dimilikinya untuk memecahkan masalah yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari. Belajar sains di dalam kelas idealnya dapat mempermudah keseharian siswa karena fenomena sains tidak lepas dari peristiwa alam sehari-hari (Mahabbati, 2007: 1). Model Problem-Based Learning (PBL) merupakan salah satu model yang menghubungkan antara pengetahuan sehari-hari dan konsep yang benar secara ilmiah. Belajar sains dengan menerapkan model PBL membuat siswa melakukan aktivitas observasi, interpretasi, mengajukan pertanyaan dan berhipotesis untuk menganalisis suatu masalah. Siswa bekerjasama dalam kelompok untuk memecahkan masalah yang kompleks dan mengaplikassikan pemecahan masalah dalam dunia nyata. Mereka mengembangkan keterampilanketerampilan dalam mengumpulkan, mengevaluasi, dan mensintesis sumbersumber yang telah mereka cari sebelumnya dan kemudian mengemukakan sebuah solusi atau lebih untuk masalah tersebut. Siswa yang dapat mengembangkan keterampilan proses sains dalam belajar, akan dapat memahami konsep pembelajaran sains dan mampu menyelesaikan permasalahan dalam kehidupan nyata. Keterampilan proses sains tersebut akan dapat ditingkatkan dengan melakukan inovasi pembelajaran berupa penerapan model Problem-Based Learning (PBL). C. Hipotesis Tindakan Hipotesis merupakan jawaban sementara dari masalah yang telah dirumuskan dan belum diuji kebenarannya sehingga dapat dipertegas atau ditolak 22 secara empiris. Berdasarkan landasan teori yang mencakup tinjauan pustaka, hasil penelitian yang relevan serta kerangka bepikir, maka peneliti merumuskan hipotesis berikut: Penerapan Problem-Based Learning dalam pembelajaran Biologi siswa kelas X-1 SMA Islam 1 Surakarta Tahun Pelajaran 2013/2014 dapat meningkatkan keterampilan proses sains siswa.