BULETIN HASIL KAJIAN Volume 1 Nomor 01, Tahun 2011 Penanggung Jawab Kepala Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Barat Tim Penyunting Nana Sutrisna Karsidi Permadi Agus Nurawan Iskandar Ishaq Hendi Supriyadi Dian Histifarina Ikin Sadikin Penyunting Pelaksana Nadimin Bambang Unggul PS Dian Firdaus Saefudin Penerbit Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat Alamat Redaksi Jalan Kayuambon No. 80, Lembang Bandung Barat 40391 Telepon : 022-2786238 Faksimile : 022-2789846 E-mail : [email protected] Homepage : http//jabar.litbang.deptan.go.id Buletin Hasil Kajian Vol. 1, No. 1 Tahun 2011 BULETIN Pengantar Buletin Hasil Kajian (BHK) merupakan satusatunya medium publikasi BPTP Jawa Barat yang disiapkan secara khusus untuk menampung karya tulis peneliti dan teknisi litkayasa. BHK diharapkan dapat mendukung peningkatan jenjang jabatan fungsional peneliti dan teknisi litkayasa. Selain itu, artikel yang terpublikasi melalui BHK juga merupakan sumbangsih ilmu dan pengalaman yang dapat bermanfaat bagi khalayak pembaca dan pengguna. Secara informal, Tim Penyunting senantiasa berusaha memacu peneliti dan teknisi litkayasa untuk menuliskan pengalamannya dalam bentuk artikel ke BHK. Akan tetapi, pendekatan informasi tersebut sangat terbatas. Karena itu, diperlukan dukungan penuh dari pejabat lingkup BPTP Jawa Barat untuk memacu semangat, membina, dan meningkatkan keterampilan peneliti dan teknisi litkayasa dalam menulis artikel khusunya untuk BHK. Pada kesempatan ini, kami menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada para peneliti dan teknisi litkayasa yang telah mengirimkan artikelnya. Ucapan terimakasih dan penghargaan juga disampaikan kepada para Ketua Kelji yang telah memberikan dorongan semangat dan pembinaan kepada para peneliti dan teknisi litkayasa dalam menulis dan mengirimkan artikel ke BHK. Kami berharap para peneliti dan teknisi litkayasa akan terus bersemangat dalam menulis artikel, didasari niat untuk beribadah dalam memasyarakatkan ilmu dan pengalaman yang dapat bermanfaat bagi khalayak pembaca dan pengguna. Kepada khalayak pembaca dan pengguna, kami berharap untuk mendapatkan tanggapan umpan balik agar pengelolaan dan kinerja BHK semakin meningkat. Penyunting Buletin Hasil Kajian memuat karya tulis kegiatan peneliti dan teknisi litkayasa serta kegiatan lapangan yang disajikan secara Buletin ini diterbitkan mulai tahun 2011, frekuensi satu kali dalam setahun. BPTP JABAR Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat HASIL KAJIAN Volume 1 Nomor 01, Tahun 2011 ISSN 2252-3219 Daftar Isi Peluang Usaha Penangkaran Benih Kentang di Jawa Barat Sumarno Tedy, Endjang Sujitno dan Taemi Fahmi 1-4 Adaptasi Galur Harapan Padi Sawah Ultra Genjah di Cianjur. Iskandar Ishaq , IGP Alit Diratmaja dan Yaya Sukarya ................................................ 5 - 10 Uji Adaptasi Varietas Unggul Baru Padi Inbrida di Kabupaten Tasikmalaya Nana Sutrisna dan Sunjaya .......................... 11 - 14 Kajian Efektivitas Sistem Tanam Legowo 2:1 Dengan Menggunakan Metode Caplak dan Kenca M. Iskandar Ishaq dan Wage R. Rohaeni .... 15 - 17 Kajian Stabilitas Beberapa Model Pengelolaan Tanam Terpadu (PTT) Terhadap Produktivitas Padi Sawah Pada Beberapa Lokasi di Jawa Barat Hasmi Banjar, Nana Sutrisna, dan Wage R. Rohaeni ........................................................ 18 - 22 Tanggap Produktivitas Padi Sawah Varietas Inpari-13 Terhadap Dosis Aplikasi Pemupukan yang Sama pada Lahan Sawah Irigasi di Jawa Barat M. Iskandar Ishaq dan Nandang Sunandar 23 - 32 Pengkajian Pengendalian Penyakit Jamur Akar Teh di Perkebunan Rakyat Agus Nurawan ............................................. 33 - 39 tentang analisis praktis. dengan i Buletin Hasil Kajian Vol. 1, No. 1 Tahun 2011 ii BPTP JABAR Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat Buletin Hasil Kajian Vol. 1, No. 1 Tahun 2011 PELUANG USAHA PENANGKARAN BENIH KENTANG DI JAWA BARAT Sumarno Tedy1, Endjang Sujitno2 Dan Taemi Fahmi2 Peneliti pada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Barat Jalan Kayuambon No. 80 Lembang – Bandung Barat 40391 ABSTRAK Kentang merupakan komoditas yang sangat penting karena komoditas ini digunakan untuk berbagai kebutuhan sehari-hari sehingga permintaan terhadap komoditas ini cukup besar. Namun produksi yang dihasilkan belum sesuai dengan potensi produksinya,salah satu faktor penyebabnya adalah kurangnya penggunaan benih unggul.Pengkajian dilaksanakan di sentra-sentra pengembangan komoditas kentang, di Jawa Barat yaitu di Kabupaten Bandung. Waktu pelaksanaan kegiatan dimulai mulai dari Bulan Mei sampai Desember 2010. Metoda pengambilan data dalam penelitian ini menggunakan metoda desk study dan survey. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan metoda deskriptif, dengan menganalisis data kualitatif dan kuantitatif. Hasil pengkajian menunjukan bahwa sentralisasi penangkar di satu wilayah menjadi kendala dalam dalam pemenuhan kebutuhan benih kentang yang berkualitas di wilayah Jawa Barat, sehingga untuk kelancaran distribusi benih ke setiap sentra pengembangan komoditas perlu dilakukan penambahan dan penyebaran penangkar benih. Hasil analisis finansial usaha penangkaran benih kentang yang dikaji ternyata cukup menguntungkan dengan nilai R/C ratio sebesar 2,38, sedangkan hasil yang diperoleh dari petani penangkar nilai R/C ratio sebesar 2,08. Kata Kunci: Kentang, Penangkaran Peluang Usaha dan PENDAHULUAN Luas penangkaran benih kentang bersertifikat di Jawa Barat tergolong masih kurang akibatnya kebutuhan benih kentang di Jawa Barat yang mencapai ± 32.000 ton pada tahun 2009 belum terpenuhi. Oleh karena itu sangat perlu dikembangkan penangkarpenangkar benih kentang di daerah sentra produksi kentang di Jawa Barat. BPTP JABAR Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat Perbanyakan benih kentang bebas penyakit di Jawa Barat telah dimulai sejak tahun 1991dalam program kerjasama antara pemerintah Republik Indonesia dan Jepang melalui Japan Internasional Corporation Agency (JICA). Kerjasama ini telah menghasilkan: standar minimum virus dan sistem perbanyakan benih secara bertahap mulai dari plantlet/hasil kultur jaringan, G-0, G-1, G-2, G-3, dan G-4. Sampai saat ini ketentuan-ketentuan tersebut masih berlaku dengan tujuan utamanya adalah untuk memperoleh benih kentang bermutu tinggi, bebas dari penyakit dengan harga yang terjangkau oleh petani. Varietas yang dominan beredar di pasaran adalah Granola L. Menurut deskripsinya dalam SK Mentan No 444/KPTS/TP240/6/1993 produksinya 26,5 ton/ha, akan tetapi sekarang ini dari hasil pengamatan di lapangan produksi rata-ratanya hanya 15 ton/ha. Kendala peningkatan produksi kentang diantaranya yaitu : (1) rendahnya kualitas dan kuantitas benih kentang, yang merupakan perhatian utama dalam usaha peningkatan produksi kentang, (2) teknik budidaya yang masih konvensional, (3) faktor topografi, dimana daerah dengan ketinggian tempat dan temperatur yang sesuai untuk pertanaman kentang sangat terbatas, (4) daerah tropis Indonesia merupakan tempat yang optimum untuk perkembangbiakan hama dan penyakit tanaman kentang (Kuntjoro, 2000). Penanaman benih kentang bermutu, tepat waktu dan tepat umur fisiologis adalah faktor utama penentu keberhasilan produksi kentang, upaya penyediaan benih kentang bermutu perlu dilandasi dengan sistem perbenihan yang mapan. Potensi lahan untuk pengembangan tanaman kentang di Jawa Barat diperkirakan mencapai 20.000 ha dengan kebutuhan benih pertahun 1 Buletin Hasil Kajian Vol. 1, No. 1 Tahun 2011 sekitar 32.000 ton. Diprediksi bahwa kebutuhan benih kentang di Jawa Barat baru terpenuhi sekitar 7% (BPSB-TPH, 2010). Realisasi di lapangan luas tanam tanaman kentang di Jawa Barat setiap tahunnya berkisar antara 13.261 ha sampai 17.969 ha. Luas penangkaran benih kentang di Jawa Barat dalam dua tahun terakhir rata-rata 76 ha/ tahun, dengan rata-rata produksi 1.576,5 ton/ tahun. Jumlah ini masih jauh dari kebutuhan benih kentang di Jawa Barat yang mencapai ± 32.000 ton/tahun. Oleh karena itu perlu diperluas areal-areal penangkaran di daerah sentra produksi kentang di Jawa Barat. Oleh karenanya prospek dari industri perbenihan kentang cukup menjanjikan sebagai agribisnis yang mempunyai pasar spesifik dan terbuka luas. Bahkan apabila kita tinjau pula kebutuhan kentang bagi pemenuhan pasar restaurant siap saji yang kini terus berkembang maka segmen pasar benih kentang akan lebih luas lagi. Adapun tujuan penulisan ini adalah untuk memberikan informasi prospek usaha penyediaan benih kentang di wilayah Provinsi Jawa Barat, sehingga dapat dijadikan landasan bagi penentu kebijakan dalam menentukan pengembangan jumlah dan sebaran penangkar benih di sentrasentra produksi kentang di Jawa Barat. BAHAN DAN METODE Pengkajian dilaksanakan di sentra-sentra pengembangan komoditas kentang, di Jawa Barat yaitu di Kabupaten Bandung. Waktu pelaksanaan kegiatan dimulai mulai dari Bulan Mei sampai Desember 2010. Metoda pengambilan data dalam penelitian ini menggunakan metoda desk study dan survei. Data yang dikumpulkan meliputi data primer yang diperoleh dari hasil wawancara dengan responden yakni petani penangkar atau pelaku penangkaran benih/benih kentang. Untuk melengkapi penelitian ini ditunjang dengan data sekunder dari beberapa instansi terkait atau dari dokumentasi lain diantaranya, koran, jurnal, brosur dan yang lainnya. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan metoda deskriptif, dengan menganalisis data kualitatif dan kuantitatif dengan tujuan untuk memberikan deskripsi 2 mengenai subyek penelitian berdasarkan data dari variabel yang diperoleh dari kelompok subyek yang diteliti. HASIL DAN PEMBAHASAN Penyebaran tanaman kentang di Jawa Barat tersebar di beberapa kabupaten diantaranya Kabupaten Bandung, Kabupaten Garut, dan Kabupaten Majalengka. Sebaran penanaman kentang di Jawa Barat dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Luas Tanam Kentang (Ha) pada Berbagai Sentra di Jawa Barat 20052009 Wilayah Bandung Garut Majalengka Kab. Lain Jumlah 2005 2006 2007 2008 2009 10.955 11.511 9.669 7.145 7.007 5.459 4.585 5.086 5.761 4.933 119 750 1.103 1.100 897 13.961 447 2.771 352 424 17.969 17.323 16.135 14.358 13.261 Sumber : Dinas Pertanian Provinsi Jawa Barat, 2010. Dilihatdari kesesuaian wilayah, Kabupaten Bandung merupakan wilayah yang paling sesuai untuk pengembangan tanaman kentang, karena memiliki lahan kering dataran tinggi yang cukup luas, sehingga luas tanam kentang di Kabupaten Bandung dari tahun 2005 – 2009 tercatat berkisar antara 7.007 ha sampai 11.511 ha, kemudian disusul oleh Kabupaten Garut dengan kisaran luas tanam kentang antara 4.585 ha sampai 5.761 ha, dan di Kabupaten Majalengka luas tanam kentang berkisar antara 119 ha sampai 1.103 ha, sedangkan yang tersebar di kabupaten lain berkisar antara 352 ha sampai 13.961 ha sehingga total luas tanam kentang di Jawa Barat dari tahun 2005 sampai tahun 2009 berkisar antara 13.261 ha sampai 17.969 ha, jika kita rata-ratakan berarti setiap tahun luas tanam kentang di Jawa Barat sekitar 15.809 ha. Fluktuasi luas tanam kentang di Jawa Barat dari tahun ke tahun dipengaruhi oleh musim, dimana tanaman kentang dalam pertumbuhannya sangat tergantung pada ketersediaan air, di beberapa wilayah kentang hanya dapat ditanam satu kali dalam satu tahun, namun pada lahanlahan tertentu kentang dapat ditanam setiap musim karena terdapat sumber air yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan air bagi tanaman kentang yang diusahakan. BPTP JABAR Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat Buletin Hasil Kajian Vol. 1, No. 1 Tahun 2011 Tabel 2. Luas Tanam dan Kebutuhan Benih Kentang Jawa Barat Tahun 2005 – 2009 Luas areal (Ha) 2005 17.969 2006 17.323 2007 16.135 2008 14.358 2009 13.261 Rata-rata 15.809 Tahun Kebutuhan Keterangan (Ton)1 28.750,4 R a t a - r a t a 27.716,8 k e b u t u h a n 25.816,0 benih 1,6 ton/ ha 22.978,8 21.217,6 25.294,4 Keterangan : Data diolah Asumsi : 1 Rata-rata kebutuhan benih kentang 1,6 ton/ha Kebiasaan petani dalam usahatani kentang membutuhkan benih sekitar 1,6 ton per hektar, dengan luas areal tanam setiap tahun yang berkisar antara 13.261 – 17.069 ha berarti kebutuhan benih kentang di Jawa Barat pertahunnya berkisar antara 21.217 ton – 28.750 ton, atau jika dirata-ratakan luas areal tanam per tahun seluas 15.809 ha berarti kebutuhan benih kentang per tahun mencapai 25.294 ton. Tabel 3. Ketersedian Benih Kentang di Jawa Barat Tahun 2005 – 2009 Tahun G1 2005 2006 2007 2008 2009 20.488 15.721 3.744 29.044 33.067 Kelas Benih G2 G3 G4 Kg 63.889 706.334 889.422 51.272 609.552 896.721 20.025 130.720 379.261 97.329 739.709 883.711 377.696 906.947 1.594.898 Jumlah 1.680.133 1.573.236 533.750 1.749.793 2.912.608 Sumber: BPSBTPH Provinsi Jawa Barat. 2010 Ketersediaan benih kentang dari berbagai kelas benih di Jawa Barat dari tahun 2005 sampai tahun 2009 berkisar antara 533.750 kg (533,75 ton) sampai 2.912.608 kg (2.912,61 ton) dengan rata-rata ketersediaan benih setiap tahun sekitar 1.689.904 kg (1.689,90 ton), jika kita bandingkan antara ketersediaan benih kentang dengan kebutuhan benih kentang di Provinsi Jawa Barat berarti kebutuhan benih kentang baru terpenuhi sekitar 6,68% yang artinya antara prediksi pemenuhan kebutuhan benih kentang dengan data yang tercatat dari tahun 2005 sampai tahun 2009 terdapat kecocokan. Untuk memenuhi kekurangan benih tersebut, petani kentang memperoleh benih biasanya dari berbagai sumber, antara lain dari sesama petani berupa hasil seleksi sendiri, benih juga diperoleh dari penangkar yang tidak melakukan pendaftaran ke BPSBTPH Prov. Jawa Barat, serta hasil penangkaran sendiri, banyak BPTP JABAR Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat pula petani yang menanam kentang dengan benih produksi sendiri hasil lanjutan dari benih yang berlabel pada musim sebelumnya. Jika kita lihat kenyataan di lapangan dimana kebutuhan benih kentang yang berkualitas belum mampu dipenuhi oleh produksi benih kentang dalam negeri sehingga pasar masih sangat terbuka luas. Prospek penangkaran benih kentang terlihat dari tingkat harga yang belaku untuk benih kentang yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan harga jual benih konsumsi. Tabel 4. Harga Benih Kentang pada Berbagai Kelas Benih di Jawa Barat 2010 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. Kelas Benih G0 G1 G2 G3 G4 Konsumsi Harga 1.500 – 2.000 20.000 – 24.000 15.000 – 17.000 13.000 – 14.000 9.000 – 10.000 3.000 – 5.000 Sumber : Data primer, 2010 Tingkat harga yang bervariasi ini dipengaruhi oleh hukum penawaran dan permintaan, dimana jika permintaan cukup tinggi maka harga benih pun secara otomatis akan meningkat apalagi jika ketersediaan benih sedikit maka harga akan lebih tinggi lagi, demikian pun sebaliknya jika permintaan terhadap benih kurang maka harga pun akan bergerak turun. Untuk menjamin kualitas dari benih kentang yang dihasilkan, para penangkar diharuskan untuk berkoordinasi dengan pihak atau instansi terkait, dalam hal ini adalah BBPK (Balai Besar Pengembangan Kentang) dan BPSBTPH dan Balai Penelitian Sayuran (Balitsa). BBPK dan Balitsa bertanggungjawab dalam penyediaan benih dasar kentang (G0, G1, G2) sedangkan BPSBTPH bertanggungjawab dalam hal pendampingan teknis pelaksanaan penangkaran benih dan sertifikasi benih kentang yang dihasilkan, Analisis Finansial Penangkaran Kentang, Mangga dan Manggis Benih Analisis finansial menunjukkan struktur biaya yang dikeluarkan dan penerimaan yang diperoleh suatu usaha penangkaran dalam menjalankan usahanya. Besarnya biaya produksi mempengaruhi tingkat penerimaan usahatani. Semakin besar biaya produksi yang dikeluarkan, maka penerimaan semakin rendah atau sebaliknya. 3 Buletin Hasil Kajian Vol. 1, No. 1 Tahun 2011 Hasil analisis finansial usaha penangkaran benih kentang di beberapa sentra penangkaran benih menunjukkan hasilnyacukup menguntungkan dengan nilai R/C ratio sebesar 2,08, dengan kata lain bahwa dengan pengeluaran modal sebesar Rp.1,- bisa mendapatkan penerimaan sebesar Rp. 2,08.Pada kegiatan penangkaran benih kentang, terdapat dua sumber penerimaan yaitu dari produk kentang untuk benih dan produk kentang untuk konsumsi. Kentang konsumsi sebagai hasil tambahan petani dari usaha penangkaran. Tabel5. Analisis Finansial Usahatani Penangkaran Benih Kentang G2 ke G3 Tahun 2010 No. Uraian 1. Total biaya 2. Penerimaan kentang benih 3. Penerimaan kentang konsumsi 4. Total penerimaan 5. Keuntungan 6. R/C ratio Jumlah (Rp.) 62.700.000 113.820.000 16.730.000 130.550.000 67.850.000 2.08 Selain pengaruh dari faktor perubahan iklim dan cuaca serta serangan OPT, faktor penggunaan benih kentang yang kurang berkualitas atau bisa kita sebut asal-asalan seperti yang telah disebutkan di atas adalah merupakan faktor utama rendahnya produksi kentang di Indonesia umunya dan secara khusus di Jawa Barat sehingga produksi kentang belum mencapai potensi hasil yang diharapkan, yang menyebabkan tingkat keuntungan petani rendah atau bahkan dapat dikatakan merugi. Untuk itu diiperlukan langkah-langkah pembinaan dan pendampingan agar petani semakin konsisten dalam menggunakan benih kentang yang berkualitas dalam hal ini berlabel atau bersertfikat sehingga produksi yang dihasilkan sesuai dengan yang diharapkan, namun keadaan tersebut perlu didukung oleh upaya untuk memenuhi kebutuhan benih kentang berkualitas yang salah satu cara diantaranya adalah dengan mengembangkan jumlah penangkar, menambah luas areal kebun penangkaran, serta meningkatkan pengetahuan dan keterampilan petani penangkar benih kentang. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan uraian hasil dan pembahasan maka dapat disimpulkan :Luas tanam kentang 4 di Jawa Barat pada periode 2005 – 2009 berkisar antara 13.261 – 17.069 ha dengan luas tanam rata-rata per tahun seluas 15.809 ha, jika diasumsikan kebutuhan benih kentang sebanyak 1,6 ton per ha, maka kebutuhan benih kentang di Jawa Barat berkisar antara 21.217 ton – 28.750 ton atau rata-rata 25.294 ton per tahun, sedangkan benih yang tersedia berkisar antara 533,75 - 2.912,61 ton atau rata-rata 1.689,90 ton, dengan demikian pemenuhan kebutuhan benih kentang Jawa Barat baru terpenuhi sebanyak 6,68%. Untuk memenuhi kebutuhan benih kentang harus dilakukan pengembangan jumlah penangkar dan perbanyakan atau perluasan areal di wilayah sentra produksi Jawa Barat.Hasil analisis finansial usaha penangkaran benih kentang yang ditingkat petani penangkar ternyata cukup menguntungkan dengan nilai R/C ratio sebesar 2,08. Nilai keuntungan diperoleh dari benih kentang dan kentang konsumsi. Saran Untuk mempermudah dan mempercepat pengembangan jumlah penangkar, sebaiknya dilakukan lagi identifikasi dan inventarisasi terhadap para calon penangkar yang sudah melakukan pelatihan penangkaran. Dalam rangka penyebaran penangkar benih ke setiap wilayah sentra pengembangan komoditas diperlukan kebijakan dalam mengatur penyebaran dan pengembangan penangkar benih, sehingga antara sebaran penangkar benih dengan sentra pengembangan komoditas dapat berjalan seimbang, tidak lagi terjadi penumpukan stok benih di suatu wilayah padahal di wilayah lain sangat sulit untuk mendapatkan benih yang berkualitas. DAFTAR PUSTAKA BPSB-TPH Provinsi Jawa Barat, 2003. Peraturan dan Persyaratan Penangkaran Benih Kentang. BPSB-TPH Provinsi Jawa Barat, 2010. Laporan Pelaksanaan dan Realisasi Penangkaran Benih Hortikultura. Dinas Pertanian Jawa Barat, 2009. Statistik Buah-buahan di Jawa Barat..2008. http://www.diperta.jabarprov.go.id/index.php?mod=stati stik&idMenuKiri=520&idKategori=3&link=data StatBuah,diunduh tanggal 22 Januari 2010. Kuntjoro, A. S. 2000. Produksi Umbi Mini Kentang G0 Bebas Virus melalui Perbanyakan Planlet secara Kultur Jaringan di PT. Intidaya Agrolestari (Inagro) Bogor – Jawa Barat. Skripsi. Jurusan Budi Daya Pertanian Fakultas Pertanian IPB. 62p. Suwarno, W. B., 2008. Sistem Perbenihan Kentang di Indonesia. http://www.situshijau. co.id. Diunduh tanggal 9 Juli 2009. BPTP JABAR Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat Buletin Hasil Kajian Vol. 1, No. 1 Tahun 2011 ADAPTASI GALUR HARAPAN PADI SAWAH ULTRA GENJAH DI CIANJUR Iskandar Ishaq , IGP Alit Diratmaja dan Yaya Sukarya Peneliti pada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Barat Jalan Kayuambon No. 80 Lembang – Bandung Barat 40391 ABSTRAK Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu sentra produksi padi utama di Indonesia. Peningkatan produksi dalam rangka mengurangi impor beras dan kemandirian pangan, salah satunya dilakukan melalui penggunaan varietas unggul. Uji multilokasi merupakan salah satu rangkaian proses dalam perakitan varietas unggul baru. Tujuan penelitian ini adalah menelusuri galur harapan padi sawah umur genjah bersama petani responsif di Cianjur. Penelitian dilaksanakan di Desa Cisarandi, Kecamatan Warungkondang, Kabupaten Cianjur. Waktu penelitian pada MH 2009/2010 (September-Desember 2009). Menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 12 nomor genotipe padi sawah (10 GH dan 2 varietas pembanding), diulang sebanyak 4 (empat) kali. Hasil penelitian menunjukkan, terdapat 5 galur harapan yang tergolong ke dalam genotipe padi sawah berumur genjah, dan menunjukkan produktivitas hasil diatas dan setara dengan varietas pembanding yang memiliki peluang diusulkan sebagai padi sawah varietas unggul berumur genjah terutama di Cianjur, Jawa Barat, adalah: galur harapan A (B10970C-MR4-2-111-Si-3-2-4-1), F (B11742-RS*2-3-MR34-1-1-5), E (B11742-RS*2-3-MR-34-1-1-4), dan D (B11742-RS*2-3-MR-34-1-1-3). Kata Kunci: Padi Sawah; Umur Genjah; Multilokasi; Jawa Barat PENDAHULUAN Cianjur salah satu Kabupaten di Provinsi Jawa Barat sudah terkenal secara Nasional sebagai penghasil padi atau beras, yang sangat dikenal dengan beras Cianjur. Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu sentra produksi padi di Indonesia dengan luas panen 1.870.334 ha, produktivitas 53,72 ku/ha dan produksi 10.046.877 t (Ishaq et al., 2008). Peningkatan BPTP JABAR Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat produksi padi nasional pasca tercapainya swasembada beras tahun 1984 belum dapat mengimbangi laju peningkatan jumlah penduduk dan tingkat konsumsi/kapita yang tetap tinggi yaitu 130,1 kg per kapita (Mardianto, 2001 dalam Tjondronegoro, 2008), sehingga sebagian kebutuhan beras kembali dipenuhi dari impor. Pada tahun 2007 volume impor berturut-turut untuk komoditas padi adalah 3% (Ishaq et al., 2008). Para peneliti pemuliaan secara terus menerus berupaya menghasilkan varietasvarietas baru yang mempunyai sifat-sifat unggul sesuai untuk tujuan pengembangan pada masing-masing tipologi wilayah (Harahap dan Silitonga, 1993), sebab produk varietas unggul yang dihasilkan lembaga penelitian bersifat adaptasi luas dan belum ke arah spesifik wilayah tertentu, sehingga varietas yang dihasilkan lebih bersifat umum untuk semua wilayah di Indonesia dan belum memenuhi kriteria spesifik lokasi (Baihaki, 2003; Balitpa, 2004). Untuk menghasilkan suatu varietas unggul dalam sistem penelitian, pemuliaan dan pelepasan varietas tanaman dilakukan melalui serangkaian proses, dimulai dari kegiatan persilangan atau hibridisasi, pembentukan bastar populasi, pedigree, observasi, uji daya hasil pendahuluan, uji daya hasil lanjutan, sampai dengan uji multilokasi sebelum calon varietas dilepas sebagai varietas unggul baru (VUB). Penelusuran galur harapan padi sawah umur genjah sebagai calon varietas perlu dilakukan, dengan bekerja sama dengan patani yang responsif. Galur harapan padi umur genjah yang dimaksud disini adalah galur padi sawah yang berumur 95-100 hari, yang berdaya hasil 10-15 % lebih tinggi dari Dodokan dan Silugonggo, tahan hama dan penyakit utama, serta dengan mutu beras baik. Tujuan penelitian ini adalah menelusuri galur harapan padi sawah umur genjah bersama petani responsif di Cianjur. 5 Buletin Hasil Kajian Vol. 1, No. 1 Tahun 2011 BAHAN DAN METODE Penelitian ini dilakukan melalui pendekatan partisipatif (On-Farm Participatory Research/ Assessment) dengan karakteristik : dilakukan pada lahan petani, dimana petaninya terlibat secara aktif sejak perencanaan sampai dengan evaluasi, terdapat keterlibatan (partisipasi) berbagai pemangku kepentingan lain (stakeholders) seperti dinas pertanian dan pemerintah daerah setempat. Lokasi penelitian di Desa Cisarandi, Kecamatan Warungkondang, Kabupaten Cianjur. Waktu tanam pada tanggal 17 September 2009. Penelitian ini menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) dengan 12 perlakuan dan 4 kali ulangan (Tabel 1). Tabel 1. Perlakuan Galur Harapan Padi Sawah Umur Genjah. Ciannjur. Jawa Barat. NO Perlakuan Galur/Varietas 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 A B C D E F G H Y K L M B10970C-MR-4-2-111-Si-3-2-4-1 B11283-6C-PN-5-MR-2-3-Si-1-2-1-1 B11283-6C-PN-5-MR-2-3-Si-1-3-1-1 B11742-RS*2-3-MR-34-1-1-3 B11742-RS*2-3-MR-34-1-1-4 B11742-RS*2-3-MR-34-1-1-5 B11742-RS*2-3-MR-34-1-2-1 B11742-RS*2-3-MR-34-1-2-3 B11742-RS*2-3-MR-34-1-4-1 B11742-RS*2-3-MR-34-1-4-3 Dodokan Silugonggo Ukuran petakan penelitian 4m x 5m, ulangan 4 kali, Jarak tanam 20cm x 20cm, umur bibit 14-15 hari setelah sebar, tanam 2-3 bibit/ rumpun. Pemupukan dilakukan pada umur tanaman: 1. Umur 0-5 hari setelah tanam: 60 kg urea, 200 kg SP18, 100 kg KCl per ha; 2. Umur 14 hari setelah tanam: 120 kg urea per ha; dan 3. Umur 14 hari setelah tanam: 120 kg urea per ha. Penyiangan dilakukan tiga kali yaitu: 1. Pada umur 14 hari setelah tanam; 2. Pada umur 35 hari setelah tanam; dan 3. Pada umur 49 hari setelah tanam. Pengamatan yang dilakukan adalah: Tinggi Tanaman (cm), Jumlah Anakan Produktif, Umur Berbunga 50% (hari setelah tanam), Umur Panen (80% tan menguning) (hari setelah semai), Jumlah gabah isi (butir), Jumlah gabah hampa (butir), Bobot 1000 butir (k.a 14%) (gr), Hasil gabah per petak (k.a 14%) (kg) dan Serangan OPT (%). Panen dilakukan sesegara mungkin, 6 yaitu apabila sebagian besar (80-90 %) gabah telah bernas dan berwarna kuning. Panen terlalu awal menyebabkan gabah hampa, gabah hijau, dan butir kapur lebih banyak. Panen terlalu lambat menimbulkan kehilangan hasil karena banyak gabah yang rontok pada saat di lapangan. Selain itu dalam proses penggilingan jumlah gabah yang patah akan meningkat. Perontokan gabah sesegera mungkin, paling lama 1-2 hari setelah panen, menggunakan alat perontok. Untuk mendapatkan mutu gabah yang lebih baik, gabah secepatnya dijemur. Ubinan merupakan cara pendugaan hasil panen yang dilakukan dengan menimbang hasil tanaman contoh pada plot panen. Tanaman contoh diambil pada pertengahan plot, tidak pada dua baris paling pinggir dekat pematang. Ukuran ubinan minimal ± 5 m2 di tengah petakan. Jumlah rumpun tanaman dalam ubinan tergantung pada jarak tanam yang digunakan, namun demikian jumlah rumpun tanaman dalam ubinan minimal 120 rumpun per petak. Gabah dirontok dari malainya dan dibersihkan dari kotoran, kemudian ditimbang dan diukur kadar airnya disebut dengan hasil Gabah Kering Panen (GKP). Konversi hasil ubinan ke dalam bentuk Gabah Kering Giling (GKG) dihitung dengan menggunakan rumus berikut (Ishaq dan Ramdhaniati, 2009) : Hasil GKG 14% = ((100-Ka)/86) x GKP Keterangan: Ka : Kadar air (%) GKP : Gabah Kering Panen GKG : Gabah Kering Giling HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Tinggi Tanaman Penampilan karakteristik tinggi tanaman yang diamati umur 60 hari setelah tanam/hst pada seluruh genotipe yang diuji (10 galur dan 2 varietas pembanding), menunjukkan karakter tinggi tanaman secara umum memiliki ratarata pertumbuhan tanaman yang tinggi seperti terlihat berturut-turut pada galur B; C; D; E; G;H; Y;K termasuk pada kedua varietas pembanding (varietas Dodokan dan Silugonggo). Hal itu disebabkan antara lain oleh perbedaan jenis tanah dan ketinggian tempat, dimana lokasi BPTP JABAR Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat Buletin Hasil Kajian Vol. 1, No. 1 Tahun 2011 percobaan yang terletak di Desa Cisarandi, Kecamatan Warungkondang memiliki jenis tanah aluvial dengan ketinggian tempat 650 m dpl (BPP Warungkondang, 2008), Diantara 10 galur yang diuji dibandingkan dengan dua varietas pembandingnya, terlihat bahwa ada 3 galur, yaitu Galur A ,B, dan C memiliki tinggi di atas 100 cm (102,26 cm – 117,42 cm) atau lebih tinggi dibandingkan dengan kedua varietas pembanding (97,51 cm - 98,07 cm), sedangkan 7 galur lainnya (no 4 s.d no 10) memiliki tinggi tanaman lebih rendah (93,35 cm – 94,87 cm) dibandingkan dua varietas pembandingnya, baik varietas Dodokan (98,07 cm) maupun varietas Silugonggo (97,51 cm) (Tabel 2). Tabel 2. Tinggi Tanaman Varietas dan Galur Padi Berumur Genjah. Ciannjur. Jawa Barat. MH 2009/2010. Perlakuan A B C D E F G H Y K L M Galur/Varietas B10970C-MR-4-2-111-Si-3-2-4-1 B11283-6C-PN-5-MR-2-3-Si-1-2-1-1 B11283-6C-PN-5-MR-2-3-Si-1-3-1-1 B11742-RS*2-3-MR-34-1-1-3 B11742-RS*2-3-MR-34-1-1-4 B11742-RS*2-3-MR-34-1-1-5 B11742-RS*2-3-MR-34-1-2-1 B11742-RS*2-3-MR-34-1-2-3 B11742-RS*2-3-MR-34-1-4-1 B11742-RS*2-3-MR-34-1-4-3 Dodokan Silugonggo Tinggi tanaman (cm) 101,47 c 119,87 d 122,13 d 96,13 abc 94,73 ab 92,07 a 96,40 abc 95,00 ab 94,40 ab 95,20 ab 98,73 bc 98,47 bc Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf 0,05 DMRT 2. Jumlah Anakan Produktif Tinggi tanaman dengan jumlah anakan produktif berkorelasi terbalik, yakni semakin tinggi tanaman maka anakan produktifnya semakin sedikit, seperti terlihat pada Galur A; B dan C tinggi tanaman rata-rata di atas 100 cm atau di atas rata-rata varietas pembanding (97,51-98,07 cm), sebaliknya jumlah anakan produktif pada ke-tiga galur tersebut adalah antara 15-17 anakan per rumpun atau berada di bawah rata-rata jumlah anakan produktif dari varietas pembanding-nya yaitu 21-22 anakan per rumpun (Tabel 2 dan Tabel 3). Pertambahan tinggi tanaman dan pertambahan jumlah anakan produktif BPTP JABAR Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat menggambarkan adanya pertambahan biomassa tanaman disebabkan proses pertumbuhan berasal dari hasil fotosintesis, serapan hara dan air yang diolah melalui proses biosintesis. Tanaman padi mengalami pertumbuhan terbatas (determinate), hal itu dicirikan dengan pertambahan organ tanaman, ukuran tanaman dan pertambahan berat yang berhenti pada masa vegetatif setelah memasuki masa generatif. Menurut Sitompul dan Guritno (1995), akumulasi biomassa ke bagian tanaman yang bernilai ekonomis dalam hal ini adalah pembentukan anakan produktif, maka dapat dikatakan bahwa tanaman tersebut tergolong ke dalam tanaman yang efisien dalam pemanfaatan produksi biomassa. Berdasarkan hal itu, maka Galur A, B dan C dapat dikatakan tergolong genotipe tanaman yang kurang efisien dalam pemanfaatan akumulasi biomassa tanaman dibandingkan dengan 7 galur lainnya dan 2 varietas pembanding yang diuji. Tabel 3. Jumlah Anakan Produktif Varietas dan Galur Padi Berumur Genjah. Ciannjur. Jawa Barat. MH 2009/2010. Perlakuan Galur/Varietas A B10970C-MR-4-2-111-Si-32-4-1 B11283-6C-PN-5-MR-2-3-Si1-2-1-1 B11283-6C-PN-5-MR-2-3-Si1-3-1-1 B11742-RS*2-3-MR-34-1-1-3 B11742-RS*2-3-MR-34-1-1-4 B11742-RS*2-3-MR-34-1-1-5 B11742-RS*2-3-MR-34-1-2-1 B11742-RS*2-3-MR-34-1-2-3 B11742-RS*2-3-MR-34-1-4-1 B11742-RS*2-3-MR-34-1-4-3 Dodokan Silugonggo B C D E F G H Y K L M Jumlah anakan produktif (bt) 21,20 19,07 17,73 28,27 29,47 28,53 29,00 29,27 29,47 29,47 26,93 31,07 3. Umur Berbunga 50% Umur berbunga merupakan salah satu parameter pengamatan yang penting disamping keunggulan karakteristik lainnya , sebab dari kegiatan uji multilokasi dan adaptasi padi sawah berumur genjah diharapkan dapat terseleksi galur (genotipe) yang prospektif diusulkan untuk dilepas menjadi varietas unggul baru padi sawah berumur genjah disamping varietas Dodokan dan Silugonggo yang telah dilepas sebagai varietas unggul pada tahun 2001. 7 Buletin Hasil Kajian Vol. 1, No. 1 Tahun 2011 Keragaan umur berbunga 50% dari 10 galur yang diuji tidak ada satu galur-pun yang menunjukkan umur berbunga 50% yang lebih cepat dibandingkan dengan 2 varietas pembanding (umur berbunga 50% 61-62 hst). Diantara 10 galur yang diuji, maka galur A merupakan galur yang paling cepat berbunga (62,5 hst), sedangkan galur yang paling lambat berbunga adalah galur B (73,5 hst). Dengan demikian dilihat berdasarkan keunggulan umur berbunga, maka galur A merupakan galur yang dapat dipilih (mendapat nominasi) untuk diusulkan dilepas sebagai calon varietas berumur genjah, tetapi masih perlu dilihat keunggulan karakteristik lainnya, utamanya hasil dan kualitas gabah atau berasnya berdasarkan hasil evaluasi terhadap preferensi pengguna (Tabel 4). Tabel 4. Umur berbunga 50% (hari) Pada Pertanaman Padi Sawah Umur Genjah. Ciannjur. Jawa Barat. MH 2009/2010. Perlakuan Galur/Varietas A B B10970C-MR-4-2-111-Si-3-2-4-1 B11283-6C-PN-5-MR-2-3-Si-1-21-1 B11283-6C-PN-5-MR-2-3-Si-1-31-1 B11742-RS*2-3-MR-34-1-1-3 B11742-RS*2-3-MR-34-1-1-4 B11742-RS*2-3-MR-34-1-1-5 B11742-RS*2-3-MR-34-1-2-1 B11742-RS*2-3-MR-34-1-2-3 B11742-RS*2-3-MR-34-1-4-1 B11742-RS*2-3-MR-34-1-4-3 Dodokan Silugonggo C D E F G H Y K L M Umur berbunga 50% (hari) 63 71 71 67 66 66 66 68 65 67 63 62 4. Umur Panen (80%) Umur berbunga 50% berpengaruh terhadap umur panen yang ditandai dengan 80% gabah telah menguning. Seperti halnya pada pengamatan umur berbunga 50%, maka hasil pengamatan terhadap umur panen-pun tetap terlihat bahwa tidak ada satu-pun galur dari 10 galur yang diuji tersebut lebih genjah dibandingkan dengan 2 varietas pembanding, kecuali galur H (94 hari) di Kecamatan Cianjur yang berumur sama dengan varietas pembanding, baik varietas Dodokan maupun Silugonggo dan galur A di kecamatan Warungkondang yang berumur panen lebih lambat satu hari dibandingkan 8 dengan pembanding varietas Dodokan dan lebih lambat dua hari dibandingkan dengan varietas Silugonggo (Tabel 5). Tabel 5. Umur panen 80-90% hari setelah sebar (hss) Pada Pertanaman Padi Sawah Umur Genjah. Ciannjur. Jawa Barat. MH 2009/2010. Perlakuan Galur/Varietas A B10970C-MR-4-2-111-Si-3-2-4-1 B B11283-6C-PN-5-MR-2-3-Si-1-2-1-1 C B11283-6C-PN-5-MR-2-3-Si-1-3-1-1 D B11742-RS*2-3-MR-34-1-1-3 E B11742-RS*2-3-MR-34-1-1-4 F B11742-RS*2-3-MR-34-1-1-5 G B11742-RS*2-3-MR-34-1-2-1 H B11742-RS*2-3-MR-34-1-2-3 Y B11742-RS*2-3-MR-34-1-4-1 K B11742-RS*2-3-MR-34-1-4-3 L Dodokan M Silugonggo Keterangan: hss (hari aetelah sebar) Umur panen (hss) 97 105 105 99 98 98 100 101 99 100 96 95 5. Jumlah Gabah per Malai Dari sepuluh galur yang diuji, genotipe yang memiliki jumlah gabah isi lebih banyak dari varietas pembanding (Dodokan dan Silugonggo) dan stabil di dua lokasi, antara lain galur A, B, C, D, E, dan galur G, sedangkan galur F, Y dan galur K memiliki malai isi yang lebih banyak dibandingkan dengan varietas pembanding hanya di Kecamatan Cianjur. Galur B merupakan genotipe yang paling banyak memiliki jumlah gabah per malai, yakni sebanyak 213 butir per malai (100%), tetapi diikuti pula dengan jumlah gabah hampa yang tinggi dengan perbandingan antara jumlah gabah isi dan jumlah gabah hampa berturut-turut 105 butir (49,3%) dan 108 butir (50,7%). Penampilan jumlah gabah isi, jumlah gabah hampa dan jumlah gabah per malai seluruh genotipe yang diuji disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Jumlah gabah per malai pada pertanaman uji multilokasi padi sawah berumur genjah. Cianjur, Jawa Barat. MH 2009/2010 Perlakuan A B Galur/Varietas B10970C-MR-4-2-111-Si-3-24-1 Persentase (%) B11283-6C-PN-5-MR-2-3-Si1-2-1-1 Persentase (%) Isi Gabah Hampa Jml 104 71,2 42 28,8 146 100 107 71,8 42 28,2 149 100 BPTP JABAR Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat Buletin Hasil Kajian Vol. 1, No. 1 Tahun 2011 Perlakuan C D E F G H Y K L M Galur/Varietas B11283-6C-PN-5-MR-2-3-Si1-3-1-1 Persentase (%) B11742-RS*2-3-MR-34-1-1-3 Persentase (%) B11742-RS*2-3-MR-34-1-1-4 Persentase (%) B11742-RS*2-3-MR-34-1-1-5 Persentase (%) B11742-RS*2-3-MR-34-1-2-1 Persentase (%) B11742-RS*2-3-MR-34-1-2-3 Persentase (%) B11742-RS*2-3-MR-34-1-4-1 Persentase (%) B11742-RS*2-3-MR-34-1-4-3 Persentase (%) Dodokan Persentase (%) Silugonggo Persentase (%) Isi Gabah Hampa Jml 129 71,7 99 66,0 107 77,0 89 69,5 102 77,9 77 72,6 91 74,6 94 74,0 98 74,2 100 78,7 51 28,3 51 34,0 32 23,0 39 30,5 29 22,1 29 27,4 31 25,4 33 26,0 34 25,8 27 21,3 180 100 150 100 139 100 128 100 131 100 106 100 122 100 127 100 132 100 127 100 6. Panjang Malai Berdasarkan karakteristik panjang malai terdapat empat genotipe yang memiliki malai lebih panjang dibandingkan dengan varietas pembanding stabil pada semua (dua) lokasi pengujian, yaitu galur A, B, C, dan galur Y. (Tabel 7). Tabel 7. Panjang malai (cm) dan Bobot 1000 butir beberapa galur harapan padi sawah berumur genjah. Cianjur. Jawa Barat. MH 2009/2010 Perlkuan Galur/Varietas A B B10970C-MR-4-2-111-Si-3-2-4-1 B11283-6C-PN-5-MR-2-3-Si-1-21-1 B11283-6C-PN-5-MR-2-3-Si-1-31-1 B11742-RS*2-3-MR-34-1-1-3 B11742-RS*2-3-MR-34-1-1-4 B11742-RS*2-3-MR-34-1-1-5 B11742-RS*2-3-MR-34-1-2-1 B11742-RS*2-3-MR-34-1-2-3 B11742-RS*2-3-MR-34-1-4-1 B11742-RS*2-3-MR-34-1-4-3 Dodokan Silugonggo C D E F G H Y K L M Panjang malai (cm) 24,6 Bobot 1000 butir (gr) 28,26 26,34 26,3 25,02 25,16 24,95 25,35 25,32 25,18 25,50 26,91 25,91 Produktivitas hasil tertinggi ditunjukkan oleh galur B (B11283-6C-PN-5-MR-2-3-Si-12-1-1), diikuti oleh galur K (B11742-RS*2-3MR-34-1-4-3), galur D (B11742-RS*2-3-MRBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat Tabel 8. Produktivitas hasil (t/ha) Pada Pertanaman Padi Sawah Umur Genjah. Ciannjur. Jawa Barat. MH 2009/2010. Perlakuan Galur/Varietas A B B10970C-MR-4-2-111-Si-3-2-4-1 B11283-6C-PN-5-MR-2-3-Si-12-1-1 B11283-6C-PN-5-MR-2-3-Si-13-1-1 B11742-RS*2-3-MR-34-1-1-3 B11742-RS*2-3-MR-34-1-1-4 B11742-RS*2-3-MR-34-1-1-5 B11742-RS*2-3-MR-34-1-2-1 B11742-RS*2-3-MR-34-1-2-3 B11742-RS*2-3-MR-34-1-4-1 B11742-RS*2-3-MR-34-1-4-3 Dodokan Silugonggo C D E F G H Y K L M Keterangan: Produktivitas (t/ha) GKP GKG 8,88 a 7,73 11,16 d 10,55 10,70 9,49 9,75 9,86 10,35 10,18 10,78 9,02 10,76 cd cd abc abcd abcd bcd abcd cd bc cd 9,24 a d 8,59 cd 8,92 cd 7,97 abc 8,44 abcd 8,75 abcd 8,85 cd 8,42 abcd 8,96 cd 7,56 bc 9,20 cd Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf 0,05 DMRT KESIMPULAN DAN SARAN Dari 10 Galur Harapan yang diuji terdapat 4 Galur harapan yang tergolong ke dalam genotipe padi sawah berumur genjah dengan umur panen di bawah 100 hari, dan produktivitas hasil berada di atas rata-rata dari varietas pembanding dan sesuai dengan pilihan petani sekitar lokasi penelitian. Galur harapan tersebut memiliki peluang diusulkan sebagai padi sawah varietas unggul berumur genjah terutama di Jawa Barat, adalah : 27,33 26,8 23,3 24,1 24,0 23,1 21,3 24,7 23,5 24,3 24,0 7. Produktivitas BPTP JABAR 34-1-1-3), galur H (B11742-RS*2-3-MR-34-12-3) dan galur C (B11283-6C-PN-5-MR-2-3Si-1-3-1-1) tidak berbeda nyata dengan varietas Silugonggo (pembanding) (Tabel 8). 1. Galur Harapan Nomor 1 (A) B10970CMR-4-2-111-Si-3-2-4-1 dengan umur berbunga (50% berbunga) 63 hari; umur panen (80-90% gabah menguning) 97 hari; tinggi tanaman 101,47 cm; jumlah anakan produktif 21,20 batang; dan produktivitas hasil 7,73 t/ha GKG. 2. GH Nomor 6 (F) B11742-RS*2-3-MR-34-11-5 dengan umur berbunga (50% berbunga) 66 hari; umur panen (80-90% gabah menguning) 98 hari; tinggi tanaman 92,07 cm; jumlah anakan produktif 28,53 batang; dan produktivitas hasil 8,44 t/ha GKG. 9 Buletin Hasil Kajian Vol. 1, No. 1 Tahun 2011 3. GH Nomor 5 (E) B11742-RS*2-3-MR-34-11-4 dengan umur berbunga (50% berbunga) 66 hari; umur panen (80-90% gabah menguning) 98 hari; tinggi tanaman 94,73 cm; jumlah anakan produktif 29,47 batang; dan produktivitas hasil 7,97 t/ha GKG. 4. GH Nomor 4 (D) B11742-RS*2-3-MR34-1-1-3 dengan umur berbunga (50% berbunga) 67 hari; umur panen (8090% gabah menguning) 99 hari; tinggi tanaman 96,13 cm; jumlah anakan produktif 28,27 batang; dan produktivitas hasil 8,92 t/ha GKG. DAFTAR PUSTAKA Baehaki, A. 2003. “Undang-Undang No. 29 Tahun 2000 Tentang Perlindungan Varietas Tanaman Merupakan Peluang Industri Perbenihan Swasta Meraih Keuntungan”. Makalah disajikan pada Seminar dan Workshop Sosialisasi dan Antisipasi Pelaksanaan Undang-Undang Perlindungan Varietas Tanaman. Pusat Studi Pemuliaan Tanaman. IPB Darnaga Bogor, tanggal 20 Mei 2003. Balitpa. 2004. Deskripsi Varietas Unggul Baru Padi (Dikompilasi oleh : O. S Lesmana, Husni M. Toha, Irsal Las, dan B. Suprihatno). Balai Penelitian Tanaman Padi (Balitpa), Sukamandi. 68h. 10 Harahap, Z. dan Silitonga. 1993. Perbaikan Varietas Padi dalam Padi Buku 2. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Bogor. Ishaq, I, K. Subagyono, I. Nurhati, S. Murtiani, dan S. Ramdhaniati. 2008. Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu (PTT) Serta Perkembangan Pelaksanaan Program Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN) di Jawa Barat. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Barat. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Badan Litbang Pertanian. 103h. Ishaq, I dan S. Ramdhaniati, 2009. Petunjuk Teknis Display Varietas. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Barat. h6-7. Sitompul, S.M dan B. Guritno, 1995. Analisis pertumbuhan tanaman. Gajah Mada University Press. Bulaksumur, Yogyakarta. h160-161. Tjondronegoro, S.M.P., 2008. Padi: Tanaman Ekspansif dari Timur ke Barat h1-6 dalam Suyamto et al., 2008 (penyunting), Padi: Inovasi teknologi dan ketahanan pangan, Sukamandi: Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian. 512h. ISBN 978979-540-037-0 (jilid I). BPTP JABAR Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat Buletin Hasil Kajian Vol. 1, No. 1 Tahun 2011 UJI ADAPTASI VARIETAS UNGGUL BARU PADI INBRIDA DI KABUPATEN TASIKMALAYA Nana Sutrisna dan Sunjaya Peneliti pada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Barat Jalan Kayuambon No. 80 Lembang – Bandung Barat 40391 ABSTRAK Penggunaan benih unggul bermutu (VUB) telah berkontribusi secara nyata terhadap peningkatan produksi sehingga Indonesia mampu mencapai swasembada beras pada tahun 1984 dan 2008. Namun demikian, dampak penggunaan varietas unggul terhadap peningkatan produksi dan mutu produk hanya akan terasa bila VUB tersebut ditanam dalam skala luas. BPTP memiliki peran sangat strategis dalam mendukung pengembangan varietas. BPTP tidak saja merupakan sumber inovasi teknologi bagi, akan tetapi sekaligus sebagai lembaga/intansi yang memiliki mandat untuk menyebarkan informasi teknologi, termasuk VUB kepada petani di lapangan. Tujuan pengkajian adalah mengetahui kemampuan adaptasi dan mengenalkan varietas unggul baru padi inbrida kepada petani, serta respons petani terhadap varietas unggul baru. Pengujian dilaksanan di Kecamatan Rajapolah, Kabupaten Tasikmalaya. Varietas yang diuji adalah Inpari 1, Inpari 3, Inpari 4, Inpari 13, dan Mekongga. Pengujian menggunakan rancangan acak kelompok dengan 5 perlakuan varietas dan diulang 5 kali yang merupakan desa tempat pengujian. Hasil pengujian menunjukan bahwa varietas unggul baru Inpari 13 memberikan hasil tertinggi daripada varietas lainnya. Meskipun secara statistik tidak berbeda nyata dengan varietas Inpari 4 namun petani lebih menyukai Inpari 13. Selain produktivitasnya tinggi Inpari 13 berumur pendek, sehingga dengan percepatan tanam dapat meningkatkan indeks pertanaman (IP) dari 2 menjadi 3 kali atau dari 3 menjadi 4 kali. Kata Kunci: Uji adaptasi, varietas unggul baru, padi inbrida PENDAHULUAN Keberhasilan Indonesia meraih swasembada beras pada tahun 1984 antara lain disebabkan olehditerapkannya komponen teknologi varietas unggul nasional, seperti IR 64. Pada BPTP JABAR Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat tahun berikutnya produktivitas dan produksi padi nasional mengalami penurunan akibat gangguan Organisme Pengganggu Tanaman (OPT). Tahun 2008, Indonesia berhasil meraih kembali swasembada beras dan varietas yang banyak ditanam petani adalah Ciherang. Pengalaman ini menunjukkan bahwa varietas unggul merupakan komponen teknologi yang dapat meningkatkan produktivitas padi. Nugraha (2004) menyatakan bahwa penggunaan varietas unggul dan perbaikan teknik budidaya telah mampu meningkatkan produktivitas secara nyata. Daya hasil padi per satuan luas meningkat dari 2-3 ton/ha menjadi 4-6 ton/ha. Namun demikian, ekplorasi pemanfaatan sumber genetik (varietas) tersebut belum optimal. Selain itu, jika digunakan terus menerus akan muncul masalah baru, yaitu gangguan OPT (hama/penyakit), seperti wereng dan tunggro. Oleh karena itu, pergiliran varietas sangat perlu dilakukan. Badan Litbang Pertanian melalui Balai Penelitian Padi telah menghasilkan beberapa varietas unggul baru padi inbrida, namun belum semuanya dikenal dan dapat diadopsi oleh petani. Ketersediaan benih sumber dan benih sebar secara enam tepat belum dapat terpenuhi, kinerja lembaga produksi dan pengawasan benih belum berjalan optimum, penggunaan benih unggul bermutu (bersertifikat) di tingkat petani masih relatif rendah. Untuk mendapatkan performa hasil maksimal penggunaan varietas unggul baru, memerlukan persyaratan-persyaratan khusus “Presisi” dalam budidayanya seperti kesuburan lahan, pemupukan, mengamankan dari OPT (Anonim, 2003)dan/atau perlakuan spesifik lainnya. Hal ini berarti bahwa penerapan varietas unggul berproduktivitas tinggi harus dilakukan pengawalan dan manajemen teknologi dengan baik. 11 Buletin Hasil Kajian Vol. 1, No. 1 Tahun 2011 Salah satu upaya meningkatkan adopsi varietas unggul baru (VUB) padi inbrida untuk menunjang swasembada pangan khususnya beras secara berkelanjutan, dilakukan “Uji Adaptasi Varietas Ungul Baru Padi Inbrida” yang terintegrasi dalam kegiatan SL-PTT Padi Inbrida. Tujuan pengkajian adalah mengetahui kemampuan adaptasi dan mengenalkan varietas unggul baru padi inbrida kepada petani, serta respons petani terhadap varietas unggul baru. Hasil pengkajian ini diharapkan diperoleh varietas unggul baru padi inbrida spesifik lokasi. BAHAN DAN METODE Pengamatan dilakukan terhadap karakter pertumbuhan (tinggi tanaman dan jumlah anakan), umur panen, hasil dan respon petani terhadap varietas baru yang dikenalkan. Pengamatan hasil panen dilaksanakan secara ubinan dan per petak. Panen dilakukan sesegara mungkin, yaitu apabila sebagian besar (90-95 persen) gabah telah bernas dan berwarna kuning. Perontokan gabah sesegera mungkin, paling lama 1-2 hari setelah panen, menggunakan alat perontok. Untuk mendapatkan mutu gabah yang lebih baik dan harga yang lebih tinggi, gabah secepatnya dijemur. Pengujian dilaksanakan Pengujian dilaksanan di 5 desa, yaitu Desa Pakin, Margasari, Citamba, Kertamukti, dan Pasirhuni, Kecamatan Rajapolah, Kabupaten Tasikmalaya. Dasar pemilihan lokasi, di Kecamatan Rajapolah petani sudah menerapkan teknologi budidaya padi namun produktivitasnya masih rendah dan petani jarang melakukan pergiliran varietas. Waktu pengujian pada musim kemarau (MK1) bulan Maret s,d, Juli 2010. Gabah dirontok dari malainya dan dibersihkan dari kotoran, kemudian ditimbang dan diukur kadar airnya, Gabah Kering Panen (GKP). Konversi hasil ubinan ke dalam Gabah Kering Giling (GKG) dihitung dengan menggunakan rumus berikut: Uji adaptasi dan peragaan VUB ditanam di lahan petani lokasi SL-PTT. Luas petak setiap varietas sekitar 500 m2, sehingga luas keseluruhan setiap lokasi yang merupakan ulangan sekitar 2.500 m2 (Gambar 1). Ka : Kadar air (%) GKP : Gabah Kering Panen GKG : Gabah Kering Giling A B C D E Gambar 1. Tata Letak Uji Adaptasi dan Peragaan Varietas Unggul Baru Padi Inbrida Pengujian menggunakan rancangan acak kelompok dengan 5 perlakuan varietas dan diulang 5 kali yang merupakan desa tempat pengujian. Pelaksanaan pengujian di lapangan dilakukan melalui beberapa tahapan, yaitu: 1. Pemilihan dan Perlakuan Benih 2. Penyiapan Lahan 3. Penanaman 4. Pemeliharaan (penyulaman, pemupukan, penyiangan, dan pengendalian Organisme Penggagu Tanaman. 12 Hasil GKG 14% = ((100-Ka)/86) x GKP Keterangan: Data hasil pengamatan kemudian diolah dengan bantuan software SPSS Statistics17.0. Analisis yang digunakan adalah analisis ragam. Apabila didapatkan hasil bahwa perlakuan berpengaruh nyata terhadap karakter yang diamati, maka dilanjutkan dengan uji Duncan untuk melihat perbedaan pengaruh antar perlakuan HASIL DAN PEMBAHASAN Komponen Pertumbuhan Hasil pengukuran tinggi tanaman dan jumlah anakan (Tabel 1) menunjukkan bahwa kelima VUB yang diuji memilikidaya adaptasi tinggi terhadap kondisi agroekosistem lahan sawah di Kecamatan Rajapolah, Kabupaten Tasikmalaya. Hal ini ditunjukkan dengan tinggi tanaman dan jumlah anakan yang sesuai dengan deskripsi varietas. BPTP JABAR Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat Buletin Hasil Kajian Vol. 1, No. 1 Tahun 2011 Tabel 1. DataTinggi Tanaman dan Jumlah Anakan Beberapa Varietas yang Diuji di Kecamatan Rajapolaj Tahun 2010. No Varietas 1 2 3 4 5 Inpari 1 Inpari 3 Inpari 4 Inpari 13 Mekongga Tinggi Tanaman (cm) 92,4 96,2 97,3 98,6 95,4 Jumlah anakan 23ab 23ab 25c 26cd 22a Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf 0,05 DMRT Tabel 2 juga menunjukkan bahwa tinggi tanaman rata-rata kelima VUB yang diujitergolong sedang. Sementara itu, jumlah anakan bervariasi. Varietas Inpari 13 memiliki jumlah anakan terbanyak dibandingkan dengan varietas lainnya, meskipun tidak berbeda nyata dengan Inpari 4. Dengan demikian, Inpari 13 dan Inpari 4 memberikan pertumbuhan yang lebih baik dibandingan dengan varietas Inpari 1, Inpari 3, dan Mekongga. Komponen Hasil dan Hasil Variabel komponen yang diukur/diamati pada pengujian ini adalah jumlah anakan produktif dan bobot 1000 butir. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa jumlah anakan produktif Inpari 13 lebih banyak dibandingkan dengan VUB lainnya (Tabel 2). Tabel 2. Komponen Hasil pada Uji Adaptasi VUB di Kecamatan Rajapolaj Tahun 2010. No Varietas 1 2 3 4 5 Inpari 1 Inpari 3 Inpari 4 Inpari 13 Mekongga Jumlah anakan produktif 15a 16ab 17bc 18cd 16b Umur panen 110 110 117 103 117 Bobot 1000 butir 26,2cd 23,1a 25,2ab 25,4bc 26,8d hal itu dicirikan dengan pertambahan organ tanaman, ukuran tanaman dan pertambahan berat yang berhenti pada masa vegetatif setelah memasuki masa generatif. Menurut Sitompul dan Guritno (1995), akumulasi biomassa ke bagian tanaman yang bernilai ekonomis dalam hal ini adalah pembentukan anakan produktif, maka dapat dikatakan bahwa Inpari 13 tergolong ke dalam tanaman yang efisien dalam pemanfaatan produksi biomassa. Tabel 2 juga menunjukkan bahwa bobot 1000 butir varietas Mekongga paling tinggi dibandingkan dengan VUB lainnya. Bobot 1000 butir gabah terendah adalah Inpari 3. Umur panen tanaman padi ditandai dengan 80% gabah telah menguning. Karakter umur panen kelima VUB yang diuji sesuai dengan deskripsi varietas. Hasil pengujian menunjukkan bahwa produktivitas tertinggi dihasilkan oleh varietas Inpari 4, namun tidak berbeda nyata dengan varietas Inpari 13 (Tabel 3) Tabel 3. Produktivitas Beberapa Varietas yang Diuji di Kecamatan Rajapolaj Tahun 2010. No Varietas 1 2 3 4 5 Inpari 1 Inpari 3 Inpari 4 Inpari 13 Mekongga Produktivitas (t/ha) GKP GKG 6,47a 5,87a 7,24bc 6,40ab 8,22d 7,45d 7,90cd 7,27cd 7,16ab 6,49bc Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf 0,05 DMRT Preferensi Petani Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf 0,05 DMRT Data preferensi petani terhadap beberapa varietas yang diuji daya adaptasinya sangat penting. Hal ini akan sangat membantu dalam menetapkan rekomendasi variatas spesifik lokasi. Jumlah anakan produktif menggambarkan adanya pertambahan biomassa tanaman disebabkan proses pertumbuhan berasal dari hasil fotosintesis, serapan hara dan air yang diolah melalui proses biosintesis. Tanaman padi mengalami pertumbuhan terbatas (determinate), Hasil pengujian menunjukkan bahwa sekitar 36% petani menyukai varietas Inpari 13, kemudian diikuti varietas Mekongga (25%), Inpari 1 (16%), Inpari 4 (12%), dan Inpari 3 (11%). Inpari 4 meskipun produktivitasnya tertinggi namun kurang disukai petani BPTP JABAR Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat 13 Buletin Hasil Kajian Vol. 1, No. 1 Tahun 2011 khususnya di Kecamatan Rajapolah, Kabupaten Tasikmalaya. Selain umurnya lebih lama, juga rasa nasinya kurang disukai. KESIMPULAN 1. Lima varietas yang diuji memiliki daya adaptasi tinggi di 5 desa Kecamatan Rajapolah. 2. Varietas unggul baru Inpari 13 memberikan hasil tertinggi dibandingkan denganVUB lainnya. 3. Meskipun secara statistik produktivitas Inpari 13 tidak berbeda nyata dengan Inpari 4 namun petani lebih menyukai Inpari 13. Inpari 13 berumur pendek, sehingga dapat digunakan untuk percepatan tanam, meningkatkan indeks pertanaman (IP) dari 2 menjadi 3 kali atau dari 3 menjadi 4 kali DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2003. Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan dalam Kaitannya dengan Sistem Pertanian Organik. Makalah Pengembangan Teknologi Padi di Hotel Kaisar Maret 2003. Baehaki, A. 2003. “Undang-Undang No. 29 Tahun 2000 Tentang Perlindungan Varietas Tanaman Merupakan Peluang Industri Perbenihan Swasta Meraih Keuntungan”. Makalah disajikan pada Seminar dan Workshop Sosialisasi dan Antisipasi Pelaksanaan Undang-Undang Perlindungan Varietas Tanaman. Pusat 14 Studi Pemuliaan Tanaman. IPB Darnaga Bogor, tanggal 20 Mei 2003. Balitpa. 2004. Deskripsi Varietas Unggul Baru Padi (Dikompilasi oleh : O. S Lesmana, Husni M. Toha, Irsal Las, dan B. Suprihatno). Balai Penelitian Tanaman Padi (Balitpa), Sukamandi. 68h. Harahap, Z. dan Silitonga. 1993. Perbaikan Varietas Padi dalam Padi Buku 2. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Bogor. Ishaq, I, K. Subagyono, I. Nurhati, S. Murtiani, dan S. Ramdhaniati. 2008. Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu (PTT) Serta Perkembangan Pelaksanaan Program Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN) di Jawa Barat. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Barat. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Badan Litbang Pertanian. 103h. Ishaq, I dan S. Ramdhaniati, 2009. Petunjuk Teknis Display Varietas. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Barat. h6-7. Sitompul, S.M dan B. Guritno, 1995. Analisis pertumbuhan tanaman. Gajah Mada University Press. Bulaksumur, Yogyakarta. h160-161. Tjondronegoro, S.M.P., 2008. Padi: Tanaman Ekspansif dari Timur ke Barat h1-6 dalam Suyamto et al., 2008 (penyunting), Padi: Inovasi teknologi dan ketahanan pangan, Sukamandi: Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian. 512h. ISBN 978-979-540037-0 (jilid I). BPTP JABAR Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat Buletin Hasil Kajian Vol. 1, No. 1 Tahun 2011 KAJIAN EFEKTIVITAS SISTEM TANAM LEGOWO 2:1 DENGAN MENGGUNAKAN METODE CAPLAK DAN KENCA M. Iskandar Ishaq dan Wage R. Rohaeni Peneliti pada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Barat Jalan Kayuambon No. 80 Lembang – Bandung Barat 40391 ABSTRAK Sistem tanam legowo merupakan teknologi alternatif untuk peningkatkan produktivitas padi sawah dengan meningkatkan populasi perluasan lahan. Sistem ini masih sulit diadopsi oleh petani terutama petani tanam karena membutuhkan waktu tanam yang lebih lama dibanding tegel. sehingga diperlukan teknik tanam legowo yang efektif. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektvitas cara tanam legowo dengan menggunakan 2 model yaitu Model A (menggunakan caplak) dan Model B (menggunakan kenca). Legowo yang diterapkan adalah legowo 2:1 dengan jarak tanam 25 cm x 12.5 cm x 50 cm. tenaga tanam yang digunakan adalah 13 orang dan dilakukan pada luasan lahan 2000 m2. Hasil penelitian menunjukkan Model A yaitu dengan menggunakan caplak lebih efektif dibandingkan Model B yang menggunakan kenca. Waktu ratarata yang dibutuhkan untuk menanam legowo 2:1 seluas 1 ha dengan menggunakan alat caplak adalah 1.61 jam sedangkan dengan menggunakan kenca membutuhkan waktu 2.84 jam. PENDAHULUAN Berbagai usaha dalam meningkatkan produksi beras nasional telah dilakukan. Percepatan peningkatan beras nasional dilakukan dengan berbagai program diantaranya melalui pendampingan teknologi SLPTT Padi sawah. Salah satu kendala utama dalam peningkatan produksi beras nasional adalah mulai berkurangnya lahan produktif padi akibat konversi lahan menjadi perumahan atau areal industri. Data menunjukkan menurunan luas areal padi sawah sebesar 0,36 persen (40.000 ha) per tahun.Irawan et al. (2001) menunjukkan bahwa pada periode 1981-1999 telah terjadi konversi lahan sawah nasional 1.627.514 ha dan 61,6% diantaranya terjadi di pulau jawa. Sehingga satu-satunya jalan adalah melakukan peningkatan produksi padi per luasan hektar karena pencetakan lahan menjadi lahan sawah sangat sulit dilakukan di Pulau jawa. Salah satu peningkatan produksi per luasan hektar padi adalah dengan meningkatkan populasi, BPTP JABAR Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat yaitu dengan sitsem tanam legowo. Sistem tanam legowo-2 adalah salah teknologi alternative yang telah dikaji dalam jangka waktu panjang (empat tahun) dalam meningkatkan produksi padi per hektar. Teknologi legowo dikembangkan untuk memanfaatkan pengaruh barisan pinggir tanaman padi (border effect) yang lebih banyak (Depatremen Pertanian, 1995). Dengan sistem tanam legowo, tanaman padi tumbuh lebih baik dan hasil lebih tinggi karena luasnya border effect dan lorong di petakan sawah sehingga menghasilkan gabah yang lebih bernas. Hasil penelitianBachrein ( 2010) menunjukkan bahwa dengan tersedianya ruangan luas yang memanjang ke satu arah, maka legowo-2 dibandingkan dengan sistem tegel, memberikan beberapa keuntungan diantaranya: peningkatan produksi secara nyata dan konsisten dengan kisaran 12-26,9 dan memudahkan serta mengurangi biaya produksi yang disebabkan karena berkurangnya waktu dan biaya tenaga kerja untuk penyiangan gulma dan pemupukan. Permasalahan dari aplikasi sistem tanam ini adalah kemauan dari tenaga tanam untuk menanam sistem legowo. Jumlah bibit yang harus ditanam lebih banyak sehingga membutuhkan tenaga dan waktu tanaman lebih banyak dibandingkan tegel. Petani tandur yang belum terbiasa akan merasa sulit untuk mengaplikasikan sistem tanam ini. Oleh sebab itu diperlukan kajian untuk mengetahui sistem tanam legowo yang seperti apa yang dapat mempermudah cara tanam legowo. Terdapat 3 cara bertanam oleh petani tandur saat ini diantaranya cara tanam dengan menggunakan caplak, kenca, atau tanpa alat ukur. Untuk cara tanam tanpa alat ukur maka jarak tanam tidak teratur. Oleh sebab itu cara tanam ini tidak dianjurkan untuk digunakan pada sistem tanam legowo. Alat caplak dan kenca menjadi rekomendasi untuk dikaji yang bertujuan untuk melihat seberapa efektif penanaman dengan menggunakan 2 cara ini yang nantinya menjadi rekomendasi bagi petani apabila akan mengaplikasikan sistem tanam legowo. Kajian ini dilakukan pada saat pelaksanaan pendampingan 15 Buletin Hasil Kajian Vol. 1, No. 1 Tahun 2011 teknologi mendukung SLPTT di Kab. Karawang – Jawa Barat. ke depan atau tanam maju (tanju) bukan tanam mundur (tandur). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efektifitas penerapan sistem tanam legowo dengan dua cara (caplak dan kenca). (2) Model B : • Lahan dicaplak menggunakan caplak legowo 2:1 yang telah dibuat dengan arah pencaplakan hanya satu arah saja, yakni hanya ke arah membujur dan tidak dilakukan pencaplakan ke arah melintang, tetapi setelah tenaga pencaplak selesai melakukan pencaplakan dilanjutkan dengan memegang dan mengatur tali “kenca” bersama dengan 1 orang lainnya. Sehingga untuk proses pencaplakan serta pemegang dan pengatur tali “kenca” dibutuhkan tenaga 2 orang. • Tenaga tanam sebanyak 11 orang berdiri menghadap ke arah melintang atau menyamping dari arah legowo pada lahan yang telah dicaplak. Tempat berdiri tenaga tanam adalah pada bagian lahan yang luas (legowo)-nya. • Arah tanam menyamping dan tanam mundur (tandur). BAHAN DAN METODE Pelaksanaan tanam lokasi Demfarm PTT dilakukan selama 2 hari yaitu pada hari minggu, tanggal 19 Juni 2011 sampai dengan Senin, tanggal 20 Juni 2011. Umur bibit yang dipergunakan berumur 20 hss, tanam 1-3 batang/ lubang, sistem legowo 2:1 dengan jarak tanam diantara barisan tanaman 25 cm, jarak tanam di dalam barisan tanaman 12,5 cm dan jarak antara dua barisan tanaman (legowo) 50 cm (25x12,5x50 cm) dengan bantuan caplak legowo 2:1. Sekolah lapangan (pelatihan) penerapan sistem tanam legowo kepada jasa tanam dan petani dilakukan langsung pada lokasi Demfarm PTT Padi Sawah. Sekolah lapangan (pelatihan) sistem tanam legowo dihadiri oleh 50 orang terbagi ke dalam sebanyak 42 orang petani/jasa tanam berasal dari desa setempat (Jayakerta) dan 8 orang petani/jasa tanam berasal dari luar Desa Jayakerta. Dalam SL sistem tanam legowo dihadiri oleh Kepala Seksi Padi Distanhut Kab. Karawang berserta staf (3 orang), Sekertaris BP4K beserta penyuluh pertanian dari BP3K 3 orang). Sebelum penanaman dilakukan pertemuan sosialisasi sistem tanam legowo, pembuatan caplak legowo sesuai jarak tanam yang dikehendaki (25cm x 50 cm) (Gambar 2), pembuatan tali “kenca” panjang 20 meter dan pada setiap jarak 12,5 cm diberi simpul sebagai tanda dan penerapan dua model sistem tanam legowo 2:1. Adapun model penanaman sistem tanam legowo 2:1 yang diperkenalkan dan diuji-cobakan, yaitu : (1) Model A : • Lahan dicaplak menggunakan caplak legowo 2:1 yang telah dibuat dengan arah pencaplakan dua arah, yakni pertama ke arah membujur dan kedua dilanjutkan dengan pencaplakan ke arah melintang. Masing-masing dilakukan oleh 1 orang tenaga pencaplak pria. Sehingga dibutuhkan 2 orang tenaga pencaplak. • Tenaga tanam sebanyak 11 orang berdiri menghadap ke arah membujur pada lahan yang telah dicaplak. Tempat berdiri tenaga tanam adalah pada wilayah legowo-nya. • Arah tanam adalah dari belakang maju menuju 16 Gambar 1. Pelatihan pembuatan caplak legowo 2:1 Gambar 2. Pelatihan Tanam dan Kajian Penerapan dengan Dua Model Sistem Tanam Legowo 2:1 (Model A Dan B) HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan hasil kajian terhadap penerapan dua model tanam sistem legowo 2:1 (Model-A dan Model-B) dengan jumlah tenaga kerja yang terlibat adalah sama banyak yaitu 13 orang (2 orang pria dan 11 orang wanita), maka diketahui bahwa penerapan tanam sistem legowo Model-A membutuhkan waktu tanam 1,61 jam per ha atau kelompok jasa tenaga tanam dalam 1 hari atau 8 jam kerja dapat menyelesaikan pekerjaan penanaman sistem tanam legowo 2:1 seluas 4,97 ha. Sedangkan penerapan Model-B membutuhkan waktu tanam 2,84 jam per ha atau kelompok jasa tenaga tanam dalam 1 hari (8 jam kerja) dapat BPTP JABAR Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat Buletin Hasil Kajian Vol. 1, No. 1 Tahun 2011 menyelesaikan pekerjaan penanaman sistem tanam legowo 2:1 seluas 2,82 ha. Tabel 1. Data estimasi waktu tanam Cara tanam legowo Model A (caplak) Model B (Kenca) Jumlah tenaga tanam 13 orang 13 orang Tabel 2. Kelebihan model Cara tanam legowo Model A Model B Estimasi Waktu tanam waktu yang dibutuhkan terhadap luas per hektar tanam 8 jam untuk 1,61 jam 4.97 ha 8 jam untuk 2.84 jam 2,82 ha dan kekurangan Kelebihan Lebih cepat dan cetakan di tanah lebih jelas Biaya pembuatan alat lebih murah (tambang saja) alat lebih ringan kedua Kekurangan Membutuhkan biaya pembuatan caplak dan berat Lebih lambat sistem tegel. Namun, beberapa permasalahan masih dihadapi seperti daya adopsi petani terutama juru tanam masih sangat rendah. Hal tersebut karena sistem tanam legowo membutuhkan waktu tambahan dibandingkan tegel. Oleh sebab itu, dengan adanya data hasil penelitian ini yang memberikan rekomendasi cara tanam yang efektif untuk sistem tanam legowo diharapkan dapat memberikan gambaran cara mempermudah tanam legowo. Petani cenderung lebih menyukai hanca yang sudah tercetak di tanah dengan menggunakan caplak sehingga tanam lebih cepat. Sedangkan apabila enggunakan kenca (tambang jarak tanam), petani cenderung merasa kagok (kurang leluasa untuk bergerak bertanam. Hal inilah yang diduga membuat waktu yang dibutuhkan untuk tanam legowo dengan menggunakan caplak (Model A) lebih cepat dibandingkan denggan menggunakan Kenca (Model B). KESIMPULAN Namun demikian, terdapat kelebihan dan kekurangan dari 2 model sistem tanam legowo tersebut. Model-A meskipun lebih cepat dibandingkan dengan Model-B tetapi terdapat beberapa kekurangan, diantaranya adalah hasil penanaman terlihat barisan tanaman kurang lurus dan seringkali dijumpai jarak tanam dalam barisan yang tidak sama atau sering dijumpai jarak tanaman dalam barisan bukan 12,5 cm, tapi 25 cm. Sedangkan kelebihan penerapan sistem tanam legowo 2:1 Model-B diantaranya barisan tanaman terlihat lurus dan tanaman dalam barisan terisi penuh oleh tanaman. Hal itu mengindikasikan bahwa Model-A dapat dikembangkan oleh petani dan jasa tenaga tanam setempat dengan syarat pengawasan terhadap tenaga tanam agar tidak ada tempat tanaman dalam barisan yang terlewat atau tidak ditanami. Sedangkan Model-B masih memiliki potensi dikembangkan dengan cara lebih banyak dilakukan pelatihan kepada jasa tenaga tanam agar penggunaan waktu tanam dapat lebih efisien (lebih cepat), sebab penerapan sistem tanam legowo 2:1 Model-B memiliki hasil pekerjaan yang lebih baik dibandingkan dengan Model-A. Sistem tanam legowo sudah terbukti mampu meningkatkan produktivitas padi sawah. Hasil beberapa penelitian telah membuktikan hal tersebut, diantaranya pada penelitian Pahrudin et al. (2004), Bachrein (2010) dan BBP2TP (2011) menunjukkan bahwa produktivitas padi dengan sistem tanam jajar legowo lebih tinggi daripada BPTP JABAR Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat Kesimpulan Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan legowo dengan menggunakan model A (menggunakan caplak) lebih efektif 2 kali lebh cepat dibandingkan model B (menggunakan kenca). Saran Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai waktu yang diperlukan untuk menyamakan kecepatan tanam dengan cara tanam tegel. DAFTAR PUSTAKA Bachrein, S. 2010. Keragaan dan pengembangan sistem tanam legowo-2 pada padi sawah di Kecamatan Banyuresmi. Abstrak JPTP. http://www.diperta. jabarprov.go.id/index.php?mod=statistik&idM enuKiri=520&idKategori=3&link=dataStatB uah. Januari 2012. Departemen Pertanian. 1995. Budidaya Mina Padi Azolla dengan Tanam Jajar Legowo. Departemen Pertanian. Jakarta. 32 hlm. Irawan, B., S. Friyatno. A. Supriyatna, I.S. Anugrah, N.A. Kitom, B. Rachman, dan B. Wiryono. 2001. Perumusan modal kelembagaan konversi lahan pertanian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. Pahrudin, A., Maripul, dan P.R. Dida. 2004. Cara tanam padi sistem tanam legowo endukung usaha tanidi desa Bojong, Cikembar, Sukabumi. Buletin Teknik Pertanian Vol. 9. No. 1. 17 Buletin Hasil Kajian Vol. 1, No. 1 Tahun 2011 KAJIAN STABILITAS BEBERAPA MODEL PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (PTT) TERHADAP PRODUKTIVITAS PADI SAWAH PADA BEBERAPA LOKASI DI JAWA BARAT Hasmi Bandjar, Nana Supriatna, dan Wage Ratna Rohaeni Peneliti pada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Barat Jalan Kayuambon No. 80 Lembang – Bandung Barat 40391 ABSTRAK Penerapan Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) dari satu lokasi ke lokasi lain besar kemungkinan terdapat perbedaan. Perbedaan bisa berupa tingkat adopsi PTT, komponen teknologi spesifik lokasi, dan perbedaan hasil produksi akibat penerapan PTT. Tujuan kajian ini adalah: (1) mengetahui pengaruh interaksi perlakuan model PTT terhadap lokasi dan (2) mendapatkan klarifikasi model PTT padi inbrida spesifik lokasi. Penelitian dilaksanakan di 10 lokasi (Jawa Barat bagian tengah dan selatan), yaitu Caringin, Cibungbulang, Cigudeg, Leuwiliang, Padalarang, Cipatat, Cipeundeuy, Karangtengah, Warungkondang, Bojongpicung, Gekbrong, dan Tanggeung. Di masing-masing lokasi, penelitian menggunakan rancangan kelompok lengkap teracak (RKLT) pada masing-masing lokasi dengan 5 model teknologi PTT sebagai perlakuan diantaranya: model A (PTT dasar+ Pengelolaan tanah sesuai musim pola tanam+ Panen tepat waktu dan gabah segera dirontokan + umur bibit >21 HSS); model B (PTT dasar + Pengelolaan tanah sesuai musim pola tanam + Penggunaan bibit muda umur < 21 hari + Tanam bibit 1-3 batang/ rumpun+ Panen tepat waktu dan gabah segera dirontokan); model C (PTT dasar+ Pengelolaan tanah sesuai musim pola tanam+ Penggunaan bibit muda umur < 21 hari + Tanam bibit 1-3 batang/rumpun + pengairan berselang + penyiangan menggunakan gasrok + Panen tepat waktu dan gabah segera dirontokan); model D (PTT dasar + Pengelolaan tanah sesuai musim pola tanam + Penggunaan bibit muda umur < 21 hari+ Tanam bibit 1-3 batang/ rumpun + Pengairan berselang+Penyiangan menggunakan gasrok); model E( Penggunaan VUB + Benih bermutu + Panen tepat waktu dan gabah segera dirontokan + Sistem budidaya petani). Ulangan dilakukan sebanyak 5 kali. Varietas unggul baru yang digunakan sebagai tanaman indikator adalah Inpari 4. Hasil kajian menunjukan terdapat interaksi model PTT 18 dengan lokasi yang berpengaruh sangat nyata terhadap produktivitas padi Inbrida. Model – model PTT yang diterapkan tidak ada yang stabil pada semua lokasi kajian. Model PTT D adalah model PTT yang spesifik lokasi di Cipatat Kab. Bandung Barat. Model PTT C menghasilkan nilai produktivitas paling tinggi untuk wilayah Leuwliang, namun model ini memiliki amplitudo nilai produktivitas yang tinggi antar lokasinya. Kata kunci : Stabilitas, Model PTT, padi, dan produktivitas (GKP). PENDAHULUAN Peningkatan ketahanan pangan saat ini lebih dititikberatkan pada komoditas padi. Melalui program peningkatan produksi beras nasional, peningkatan ketahanan pangan tersebut didikung oleh dilaksanakannya SLPTT di semua provinsi di beberapa kabupaten terpilih. BPTP Jawa Barat telah melakukan pendampingan di beberapa lokasi di Jawa Barat. Penerapan pengelolaan tanaman terpadu dari satu lokasi ke lokasi lain besar kemungkinan terdapat perbedaan. Perbedaan bisa berupa tingkat adopsi PTT, komponen teknologi spesifik lokasi, dan perbedaan hasil produksi akibat penerapan PTT. Berdasarkan hasil petak demonstrasi yang dilakukan BPTP menunjukkan peningkatan hasil yang berbedabeda dengan penerapan PTT bervariasi menurut lokasi, tingkat, dan skala usaha. Hasil kajian Bandjar et al. (2011a dan 2011b) menunjukkan nilai produktivitas yang berbeda-beda pada beberapa lokasi dari beberapa model PTT yang diterapkan. Sebelumnya menurut Adisarwanto et al. (2008) pada kasus komoditas kedelai, penerapaan PTT berbeda pada setiap agroekologi. Untuk itu diperlukan klarifikasi lebih lanjut agar diperoleh paket/model teknologi spesifik agroekologi untuk mendukung keberlanjutan sistem produksi (sustainable agriculture). Klarifikasi tersebut dapat menggunakan beberapa pendekatan, salah satunya melalui BPTP JABAR Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat Buletin Hasil Kajian Vol. 1, No. 1 Tahun 2011 analisis stabilitas model AMMI (aditif main effect and multiplication interaction). Analisis ini lebih banyak digunakan pada bidang pemuliaan untuk mengetahui stabilitas genetic suatu galur ataupun varietas pada beberapa lokasi (Matchik, 2002). Namun tidak menutup kemungkinan bahwa analisis ini dapat digunakan untuk mengetahui stabilitas model PTT pada beberapa lokasi. Lokasi-lokasi yang menjadi kajian untuk melihat tingkat kestabilan model PTT ini adalah wilayah Jawa Barat bagian tengah dan selatan. Hal tersebut karena topografi yang hampir sama yaitu lokasi-lokasi persawahan yang berada di sekitar perbukitan. Tingkat produktivitas padi sawah dari beberapa model PTT yang telah dikaji pada masing-masing lokasi menunjukkan indikasi perbedaan yang cukup tinggi, sehingga model PTT yang diterapkan perlu dikaji tingkat kestabilannya. Kajian ini memiliki tujuan diantaranya: 1) menjelaskan interaksi model PTT terhadap agroekologi yang berbeda (M x E), dan 2) Padalarang, Cipatat, Cipeundey, Karangtengah, Warungkondang, Bojongpicung, Gekbrong, dan Tanggeung. Tempat kajian merupakan lokasi demplot pengkajian dan peragaan PTT. Penelitian ini dilakukan pada Musim Hujan (MH) 2010/2011 secara serentak. Bahan yang digunakan untuk penelitian diantaranya benih VUB varietas Inpari 4 (sebagai varietas indicator), pupuk Urea, SP-36, dan KCl, pupuk organik, dan pestisida. Peralatan yang digunakan adalah Kit PUTS dan saprotan. Penelitian PTT padi inbrida menggunakan Rancangan Kelompok Lengkap Teracak (RKLT) dengan 5 perlakuan dan diulang 5 kali di 10 lokasi kajian. Dengan luas petak masingmasing perlakuan seluas 100 m2.Lima perlakuan disajikan pada Tabel 1. Pelaksanaan penelitian dimulai dengan pengolahan tanah dan persiapan bibit. Pengambilan sampel tanah dilakukan untuk analisis tanah menggunakan Kit PUTS untuk mendapatkan rekomendasi pupuk anorganik Tabel 1.Daftar perlakuan paket komponen teknologi PTT Model A B C D E Perlakuan PTT Dasar + 7 +12+ umur bibit > 21 hari PTT Dasar +7+ 8+9+12 PTT Dasar +7+8+9+10+11+12 PTT Dasar +7+8+9+10+11 1+2+12+ Sistem budidaya petani*) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Komponen PTT Komponen teknologi PTT Dasar (1-6): VUB Benih bermutu Pemberian pupuk organik Cara tanam legowo 2:1 Pemupukan anorganik spesifik lokasi Pengendalian OPT dengan PHT Komponen PTT pilihan (7-12): Pengelolaan tanah sesuai musim pola tanam Penggunaan bibit muda umur < 21 hari Tanam bibit 1-3 batang/dapur Pengairan berselang Penyiangan menggunakan landak/gasrok Panen tepat waktu dan gabah segera dirontokan Keterangan : *) sistem budidaya petani : sistem tanam tegel, pemupukan tidak menggunakan analisis tanah, dan pengendalian hama berdasarkan kebiasaan petani. untuk mendapatkan klarifikasi model PTT yang spesifik pada lokasi kajian. METODOLOGI Lokasi, Waktu Penelitian, dan Rancangan Percobaan Penelitian dilaksanakan di 10 lokasi (Jawa Barat bagian tengah dan selatan), yaitu Caringin, Cibungbulang, Cigudeg, Leuwiliang, BPTP JABAR Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat P dan K yang dibutuhkan untuk perlakuan A sampai D. Selanjutnya perlakuan masing-masing diaplikasikan pada petak-petak percobaan. Data pengamatan diantaranya tinggi tanaman, jumlah anakan produktif, jumlah gabah isi/malai/ gabah hampa/malai, produktivitas. Data hasil pengamatan kemudian diolah dengan menggunakan analisis ragam gabungan dan AMMI (aditif main effect and multiplication interaction) dengan bantuan software SAS 19 Buletin Hasil Kajian Vol. 1, No. 1 Tahun 2011 system 9.0 dan minitab untuk mendapatkan model PTT yang spesifik untuk suatu lokasi. HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Ragam Gabungan Berdasarkan hasil analisis ragam gabungan terlihat bahwa semua sumber keragaman terhadap hasil produksi berpengaruh sangat nyata. Hal tersebut menjelaskan banyaknya factor yang mempengaruhi keragaman produktivitas pada masing-masing lokasi. Model PTT berpengaruh sangat nyata, begitupun dengan pengaruh lokasi terhadap produktivitas. Jika dilihat dari sumbangan keragaman yang diberikan oleh masing-masing pengaruh (KT sumber keragaman) terlihat bahwa pengaruh lokasi merupakan penyumbang terbesar, disusul oleh pengaruh model PTT dan interaksi Model PTT dengan Lokasi. Dengan demikian penerapan model PTT yang sama akan menghasilkan hasil yang berbeda pada lingkungan yang berbeda. Model PTT yang baik pada slah satu lokasi, belum tentu dapat diterapkan pada lokasi lain. Namun demikian ada model PTT yang memiliki tingkat kestabilan yang baik pada semua lokasi dalam meningkatkan produktivitas. Stabil yang dimaksud disini adalah model PTT tersebut menghasilkan nilai produktivitas yang tidak berbeda jauh antar satu lokasi dengan lokasi lain. Perbandingan produktivitas beberapa model PTT padi sawah pada beberapa lokasi Berdasarkan hasil analisis ragam gabungan sebelumnya, model PTT berbeda sangat nyata pada setiap lokasi yang berbeda dengan tingkat interaksi model PTT yang diterapkan terhadap Tabel 2. Analisis ragam gabungan karakter Produktivitas GKP (ton/ha) pada 10 lokasi. Sumber Keragaman Model PTT Lokasi Ulangan(Lokasi) Lokasi*Model PTT Catatan : db 4 9 40 36 JK KT 11.691 662.894 53.428 69.046 2.9228** 73.6549** 1.3357tn 1.9179** F-hit 3.72 55.14 1.7 2.44 Pr > F 0.0062 0.0001 0.0102 0.0001 % kk 12.91 tn = tidak nyata, * = perlakuan berpengaruh nyata pada taraf 5%, ** = berpengaruh sangat nyata pada taraf 1% Hasil analisis menunjukan bahwa terdapat interaksi model PTT dengan lokasi yang sangat nyata. Hal tersebut menunjukkan pengaruh model PTT berbeda-beda pada setiap lokasi. Vargas et al. (1998) menyatakan bahwa terdapatnya interaksi genotype dan lingkungan akan mempengaruhi keragaan dari tanaman. agroekologi yang berbed sangat nyata pula pada antar lokasinya. Terlihat pada Gambar 2, perbedaan yang sangat signifikan pada nilai produduktivitasnya. Gambar 1 yang dipertegas oleh Tabel 3 menunjukkan terdapat perbedaan produktivitas Gambar 1. Produktivitas pada masing-masing model PTT di setiap lokasi kajian 20 BPTP JABAR Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat Buletin Hasil Kajian Vol. 1, No. 1 Tahun 2011 antar lokasi kajian. Nilai rata-rata produktivitas paling kecil terdapat pada lokasi Karangtengah (Kab. Bandung Barat) dan Tanggeung (Kab. Cianjur) yang masing-masing memiliki nilai produktivitas rata-rata 4.86 ton/ha dan 4.62 ton/ ha . Nilai rata-rata produktivitas paling tinggi terdapat di lokasi Leuwiliang (Kab. Bogor) sebesar 9.80 ton/ha. Varietas padi sendiri yang diguanakan sebagai tanaman indikator adalah Inpari 4. Berdasarkan deskripsi varietas BB Padi (2010), Nilai potensi hasil dari varietas ini adalah 8. 25 ton/ha. Dilihat dari segi varietas saja, perbedaan produktivitas diduga lebih disebabkan karena perbedaan kesuburan tanah. Gambar 2 menunjukkan bahwa model PTT C di Leuwiliang paling menonjol dibandingkan model-model PTT lainnya. Produktivitasnya paling tinggi namun fluktuatif antar lokasi. Hal ini terlihat di lokasi Cigudeg paling Analisis stabilitas Model PTT Grafik biplot dapat memudahkan dalam pengambilan kesimpulan. Hasil pengujian pada beberapa lokasi menunjukkan terdapat pengaruh interaksi antar perlakuan dengan lingkungan yang sangat nyata. Apabila titik koordinat dari model PTT semakin dekat dengan titik pusat maka semakin stabil dan sebaliknya (Sumertajaya, 2007). Artinya model PTT tersebut stabil meningkatkan hasil pada semua lokasi. Berdasarkan hasil kajian, model PTT A dan C adalah paling jauh dari pusat koordinat. Hal tersebut menunjukkan bahwa kedua model ini paling tidak stabil dalam meningkatkan hasil produksi. Model PTT A adalah model paling sederhana dimana komponen teknologi terdiri dari varietas unggul baru dan benih bersertifikat dengan sistem budidaya menurut petani. Hal tersebut jelas bahwa budaya petani pada setiap Gambar 2. Grafik biplot AMMI 1 dan 2 untuk model PTT pada 10 lokasi rendah dibandingkan dengan model lainnya. Mengetahui tingkat kestabilan dan model PTT yang spesifik lokasi maka perlu analisis lebih lanjut untuk menjelaskan interaksi yang terjadi dari model PTT terhadap agroekologi pada lokasi yang berbeda. Salah satunya adalah melalui analisis stabilitas model PTT dengan menggunakan grafik biplot. Tabel 3. Perbandingan produkvitas rata-rata antar lokasi No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Lokasi Leuwiliang Gekbrong Warungkondang Cipeundeuy Padalarang Bojongpicung Cigudeg Cipatat Karangtengah Tanggeung Produkvitas ratarata (ton/ha) 9.8064 9.0776 8.0300 7.6144 6.7660 6.5584 6.3484 6.1680 4.8636 4.6232 BPTP JABAR Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat Duncan grouping a b c c d de de e f f lokasi akan berbeda sehingga hasilnyapun besar kemungkinan berbeda. Sedangkan untuk model PTT C adalah model paling lengkap dimana semua komponen teknologi dasar dan pilihan diterapkan. Model inipun tidak stabil dalam meningkatkan hasil produksi, Hal tersebut diduga pada proses penerapannya kurang efektif dilaksanakan oleh petani kooperator karena terlalu banyak komponen yang diterapkan. Model ini sebenarnya berpotensi menghasilkan nilai produktivitas yang tinggi karena semua komponen PTT diterapkan. Banyaknya komponen teknologi pada paket ini menjadi kendala sendiri pada proses aplikasinya. Pada Gambar 2, terlihat bahwa potensi hasil dengan mengaplikasikan model C terutama pada lokasi leuwiliang sangat menjanjikan dengan nilai produktivitas 11.98 ton/ha. Tentunya untuk mencapai hasil tersebut, penerapan harus benarbenar diaplikasikan oleh petani. 21 Buletin Hasil Kajian Vol. 1, No. 1 Tahun 2011 Model PTT yang paling mendekati pusat koordinat adalah Model PTT B namun jaraknya masih cukup jauh dari pusat koordinat. Sehingga belum dapat dikatakan bahwa model ini adalah model stabil di beberapa lokasi kajian. Hal ini menjelaskan bahwa tidak ada model PTT yang stabil menghasilkan nilai produktivitas yang baik pada semua lokasi, artinya aplikasi model PTT berbeda-beda pada lokasi yang berbeda. Hal tersebut karena dalam 1 model PTT terdapat beberapa komponen teknologi. Antar komponen satu dengan yang lain akan ada efek interaksinya yang menyebabkan pada 1 lokasi akan berbeda dengan lokasi lainnya. Deptan (2008) menyatakan bahwa prinsip PTT menckup 4 unsur yaitu integrasi, interaksi, dinamis dan partisipatif. Seperti telah dijelaskan oleh Vandalisna (2008) bahwapengelolaan tanaman terpadu bersifat spesifik lokasi dengan memperhatikan asupan teknologi (mengintegrasikan teknologi asli petani dengan teknologi maju) dan keseimbangan ekologis tanaman dengan lingkungannya sehingga usahatani dapat berkelanjutan dan menguntungkan dari segi ekonomi. Biplot AMMI2 sebagai alat visualisasi dari analisis AMMI dapat digunakan untuk melihat model-model PTT yang stabil diterapkan pada seluruh lokasi uji atau spesifik pada lokasi tertentu. Model PTT dikatakan stabil jika berada dekat dengan sumbu, sedangkan model PTT yang spesifik lokasi adalah model yang berada jauh dari sumbu utama tapi letaknya berdekatan dengan garis lokasi. Penjelasan model tersebut sama halnya seperti pendugaan tingkat kestabilan suatu genotipe/varietas tanaman yang dijelaskan Mattjik dan Sumertajaya (2000) pada analisis AMMI. Dengan demikian, model PTT D adalah spesifik untuk lokasi L2 (Cipatat). Penilaian adaptasi suatu model PTT tidak dapat disamakan seperti adaptasi genotype tanaman. Model PTT melibatkan komponen teknologi dan komponen daya adopsi petani, artinya dalam satu model PTT terdapat interaksi antar komponen didalamnya, sedangkan stabilitas genotype melibatkan genetic tanaman itu sendirian dengan lingkungan tumbuhnya. Tidak ada factor sosial yang mempengaruhi keragaan genotype tanaman yang diuji pada lokasi yang berbeda. Lain halnya model PTT, istilah terpenting dari penerapan model PTT adalah tingkat adopsi bukan adaptasi dari model PTT itu sendiri. 22 Oleh sebab itu evaluasi kesesuaian lingkungan pengujian harus dilibatkan untuk mengkaji tingkat kestabilan model PTT. Zambormias et al. (2008) menyatakan bahwa kesesuaian lingkungan bertalian dengan pemilihan lokasilokasi yang merupakan lingkungan yang sesuai untuk meningkatkan produksi. Sehingga untuk mengetahui tingkat kestabilan model PTT yang lebih valid pengujian harus dilaksanakan pada lokasi dengan tingkat kesuburan yang hampir sama dan daya adopsi petani yang sama-sama tinggi antar lokasi kajian. KESIMPULAN 1. Terdapat interaksi Model PTT dengan lokasi dan berpengaruh sangat nyata antara terhadap nilai produktivitas padi sawah inbrida. Demikian, tidak ada model PTT yang stabil pada 10 lokasi kajian 2. Model PTT D adalah model yang spesifik untuk lokasi Cipatat dan rata-rata paling tinggi dihasilkan pada model PTT C di lokasi Leuwiliang Kab. Bogor. DAFTAR PUSTAKA Adisarwanto T., D. Harnowo, Marwoto, Suhartina, Riwanodja, dan H. Kuntyastuti. 2008. Prospek pengelolaan tanaman terpadu dalam peningkatan produksi kedelai di lahan sawah. Prosiding Simposium V Tanaman Pangan. BBP2TP. Bogor. 599-607hal. Bandjar, H., N. Sutrisna, dan WR. Rohaeni. 2011. Kajian penerapan Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) padi inbrida spesifik lokasi di Bandung Barat. Dipublikasikan di Seminar Ilmiah Nasional BB Padi: Inovasi Teknologi Padi Mengantisipasi Cekaman Biotik dan Abiotik. 27-28 Juli 2011. Balai Besar Penelitian Padi Sukamandi-Subang. Bandjar, H., N. Sutrisna, dan WR. Rohaeni. 2011. Kajian penerapan Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) padi inbrida spesifik lokasi di Kabupaten Bogor. Seminar PHSL 2011 BB2TP Bogor. Balai Besar Penelitian Padi. 2010. Deskripsi Varietas. Sukamandi. Departemen Pertanian. 2008. Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu Padi. Litbang Pertanian. Jakarta. Matchik A dan IM. Sumertajaya. 2002. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan Minitab Jilid 1. Bogor: Jurusan Statistika FMIPA, Institut Pertanian Bogor. Pengelolaan tanaman terpadu padi lahan rawa lebak. http:// www.litbang.deptan.go.id/berita/one/592/file/B2PTTRawaLebak.pdf. Vandalisna. 2008. Konservasi lahan padi sawah (Oryza sativa , L) dengan sistem Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) didesa Aman Damai Kecamatan Kuala Kabupaten Langkat.Tesis. USU. Sumatera Barat. Vargas, M., J. Crossa, K. Sayre, M. Reynolds, M. E. Ramirez, M. Talbot. 1998. Interpreting genotype x environment interaction in wheat by Partial Least Square Regression. Crop Sci. 38 (3) : 379 – 689. Zambormias, E. dan J. Riry. 2011. Aplication of GGE Biplot for stability and adaptation evaluation of genotypes with multi environment trials data. Jurnal Budidaya Pertanian 4: 84-93 hal. BPTP JABAR Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat Buletin Hasil Kajian Vol. 1, No. 1 Tahun 2011 TANGGAP PRODUKTIVITAS PADI SAWAH VARIETAS INPARI-13 TERHADAP DOSIS APLIKASI PEMUPUKAN YANG SAMA PADA LAHAN SAWAH IRIGASI DI JAWA BARAT Iskandar Ishaq dan Nandang Sunandar Peneliti pada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Barat Jalan Kayuambon No. 80 Lembang – Bandung Barat 40391 ABTRAK Tujuan pengkajian mengetahui tanggap produktivitas hasil panen varietas Inpari13 terhadap efektivitas penggunaan pupuk Petroganik, Phonska dan Urea pada lahan sawah di 17 kabupaten di Jawa Barat. Pengkajian dilakukan melalui (a) pendekatan Partisipatif dan (b) pendekatan Dengan (with) dan Tanpa (without) penerapan Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT). Metode yang dipergunakan adalah Demplot. Pengumpulan data dilakukan melalui observasi dan pengukuran terhadap objek yang diamati. Analisis data dilakukan secara deskriptif dan tabulasi. Hasil pengkajian menunjukkan, bahwa pada umumnya lahan lokasi demplot memiliki karakteristik tanah berlumpur dan mudah dilakukan pengeringan atau pengaturan air drainase dengan ketersediaan air cukup dan dapat diatur, kecuali lokasi demplot di Kabupaten Sukabumi, Cirebon dan Kabupaten Tasikmalaya, terutama pada saat musim kemarau. Produktivitas hasil panen varietas Inpari-13 secara ubinan tertinggi yaitu pada pertanaman demplot di Kabupaten Bandung Barat (hasil 10,46 t/ha GKP) dan hasil ubinan terendah di Kabupaten Bekasi (7,25 t/ ha GKP). Selisih peningkatan hasil demplot dibandingkan dengan hasil petani sekitar paling tinggi berturut-turut adalah Kabupaten Bandung Barat 2,94 t/ha, Karawang 2,05 t/ha, Kuningan 1,88 t/ha, Sukabumi 1,80 t/ha, Sumedang 1,78 t/ ha, Bogor 1,62 t/ha Tasikmalaya 1,60 t/ha. PENDAHULUAN Latar Belakang Dalam rangkapeningkatan produksi padi, pemerintah telah menggulirkan program Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN), diantaranya melalui kegiatan Sekolah Lapangan Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) yang telah dilaksanakan sejak tahun 2007. Pada tahun 2011 pemerintah RI menetapkan sasaran produksi padi sebesar 70,6 juta ton (Ditjen Tanaman Pangan, 2011), sedangkan pemerintah BPTP JABAR Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat provinsi Jawa Barat menetapkan sasaran produksi pada Tahun 2013 sebesar 13 juta ton (Distan Prov. Jabar, 2011). Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu sentra produksi padi yang berkontribusi sebesar 17,6% terhadap produksi nasional. Namun demikian, upaya peningkatan produksi padi sebesar 7% melalaui program Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN) pada tahun 2011 guna mempertahankan swasembada beras yang telah dicapai semakin sulit. Hal itu antara lain disebabkan terjadinya penyusutan lahan pertanian produktif dimana umumnya merupakan lahan sawah berpengairan teknis yang relatif subur beralih fungsi menjadi berbagai kepentingan non pertanian, seperti peruntukkan bagi lahan pemukiman dan lahan usaha industri. Disamping itu adanya penurunan sumberdaya air baik kualitas maupun kuantitas dan terjadinya kompetisi dalam pemanfaatan sumberdaya air bagi usaha non pertanian yang semakin tinggi, perubahan iklim yang berdampak kepada perubahan iklim mikro tanaman padi dan peningkatan serangan organisme penggangu tumbuhan (OPT), degradasi tingkat kesuburan lahan yang disebabkan pemakaian lahan terlalu intensif, pemakaian pupuk kimia (an-organik) terlalu berlebihan dan lain sebagainya, sehingga dengan adanya hambatan tersebut menyebabkan penurunan tingkat produktivitas lahan dan produksi padi. Intensifikasi padi sawah dengan sistem tergenang (anaerob) tidak hanya menghambat berfungsinya kekuatan biologis tanah tetapi juga menghambat perkembangan sistem perakaran tanaman padi. Dalam kondisi anaerob keanekaragaman hayati (biodiversity) tanah akan terhambat. Pertanaman padi dengan sistem aerob (lembab) sebagaimana diharapkan dalam penerapan teknologi PTT melalui sistem pengairan basah kering berselang (intermitten) akan menghasilkan sistem perakaran paling tidak sekitar 3-4 kali lebih besar dibandingkan dengan sistem tergenang. Perkembangan sistem perakaran yang optimal dan didukung oleh 23 Buletin Hasil Kajian Vol. 1, No. 1 Tahun 2011 keanekaragaman hayati dalam tanah dapat meningkatkan potensi hasil padi. Salah satu faktor yang dapat menentukan keanekaragaman hayati tanah adalah aplikasi pupuk organik. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa sekitar 60 persen areal lahan sawah di pulau Jawa memiliki kandungan bahan organik kurang dari 1 persen. Dengan demikian lahan sawah yang selama ini merupakan tulang punggung pertanian dalam memenuhi kebutuhan pangan (beras) nasional, disinyalir tanahnya sudah mulai sakit akibat kejenuhunan masukan pupuk anorganik yang berlebihan (tidak berimbang). Penggunaan pupuk anorganik berkonsentrasi tinggi dan tidak proporsional (berimbang) pada lahan sawah akan berdampak terhadap ketidakseimbangan (ketimpangan) status hara dalam tanah. Sistem pertanian lahan sawah dapat menjadi berkelanjutan (sustainable) apabila kandungan bahan organik tanah lebih dari 2 persen. intensif dan pemakaian pupuk kimia (anorganik) berlebihan, maka PT. Petrokimia Gresik melaksanakan kegiatan Uji Efektivitas Pupuk Petroganik (organik) dan Pupuk Phonska (anorganik) di 17 kabupaten di provinsi Jawa Barat yang bekerjasama dengan BPTP Jawa Barat dalam kegiatan Pendampingan Teknologi Mendukung Sekolah Lapangan Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) serta dalam pelaksanaannya melibatkan dinas pertanian dan badan pelaksana penyuluhan di masing-masing kabupaten. Pengkajian ini diharapkan dapat mempercepat adopsi teknologi pada pengguna (Adyana et al., 1993; Partohardjono et al., 1993). Berbagai jenis dan merek pupuk organik telah diproduksi dan sudah beredar di pasaran baik dalam bentuk pupuk organik cair maupun padat (serbuk atau granul). Demikian pula halnya dengan PT. Petrokimia Gresik telah memproduksi pupuk organik padat dengan nama merek dagang Petroganik. Dalam upaya meningkatkan produksi padi melalui antisipasi degradasi (penurunan) tingkat kesuburan tanah sebagai akibat penggunaan lahan secara Pendekatan Tujuan pengkajian melaksanakan pengujian efektivitas penggunaan pupuk Petroganik, Phonska dan Urea pada beberapa lokasi lahan sawah di Jawa Barat. METODOLOGI PENELITIAN Kegiatan uji efektivitas pupuk organik PT Petrokimia Gresik dalam diseminasi teknologi mendukung SL-PTT Padi Sawah TA 2011 di Jawa Barat dilakukan melalui beberapa pendekatan, diantaranya : (a) Partisipatif, artinya dalam setiap proses diharapkan adanya partisipasi, keterlibatan dan peran serta secara aktif dari semua Tabel 1. Lokasi uji efektivitas pupuk organik PT Petrokimia Gresik dalam diseminasi teknologi mendukung SL-PTT Padi Sawah TA 2011 Di Jawa Barat. No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 24 Lokasi Kabupaten Karawang Indramayu Subang Bekasi Purwakarta Bogor Cianjur Sukabumi Bandung Bandung Barat Sumedang Majalengka Kuningan Cirebon Garut Tasikmayala Ciamis Kecamatan Jayakerta Sliyeg Sukasari Sukakarya Darangdan Nanggung Mande Cikembar Majalaya Cipatat Buah Dua Ligung Pancalang Susukan Banyuresmi Ciawi Ciamis Desa Jayakerta Tambi Lor Mandalawangi Suka Makmur Legoksari Kalongliud Bobojong Cibatu Majasetra Mandalasari Cilangkap Sukawera Tajur Buntu Jatianom Sukasenang Sukamantri Imbanagara Raya Keltan Marga Kaya-I Pelita Massa Bungur Jaya Sri Kaya-II Gawe Rancage Cempaka Rindu Alam Sugih Mukti Sijepat Mekarjaya Mulya Sanepa Sukawera-II Rukun Tani-1 Sri Ganggong Senanghati Mekar Jaya Kuda Muntang Demonstrator H. Nana Aan Subhan H. Ayim Suherman Rohdi Didi Maman-Jajat Didi-Ibing Satibin Maman Otim dkk Tarmu dkk Misngat dkk Maduri dkk Sodikin Enceng dkk Ade Iri dkk Darli Hendarsah dkk BPTP JABAR Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat Buletin Hasil Kajian Vol. 1, No. 1 Tahun 2011 pemangku kepentingan (stakeholders), baik sejak proses perencanaan, pelaksanaan hingga proses evaluasi dan perumusan teknologi. (b) Dengan (with) dan Tanpa (without), artinya dilakukan pengukuran data terhadap beberapa hal yang menjadi cakupan kegiatan melalui seperangkat instrumen pengukuran. Pengumpulan data dilakukan melalui teknik wawancara, observasi dan pengukuran terhadap objek yang diamati pada saat Dengan (with) introduksi teknologi pemupukan yang direkomendasikan oleh PT Petrokimia Gresik dibandingkan dengan Tanpa (without) introduksi teknologi yang direkomendasikan oleh PT Petrokimia Gresik. Lokasi dan Waktu Pengujian efektivitas pupuk dilaksanakan pada 17 lokasi (kabupaten) di Jawa Barat sebagaimana disajikan pada Tabel 1. Waktu pelaksanaan pengujian efektivitas pupuk pada musim kemarau (MK-I) dan MKII Tahun 2011 sebagaimana disajikan pada Tabel 2. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan pada pengujian, diantaranya benih padi varietas Inpari-13, pupuk organik (petroganik) dengan dosis 500 kg/ha, pupuk anorganik tunggal urea dengan dosis 200 kg/ha, pupuk anorganik majemuk NPK phonska dengan dosis 300 kg/ha, pestisida dan bahan pembantu lainnya. Sedangkan, alat yang digunakan pada pengujian ini, antara lain alat pengolahan tanah (traktor, cangkul), arit, dan alat lain yang diperlukan sesuai kebutuhan. Metode Pengujian menggunakan metode Petak Demonstrasi atau Demontrasi Plot (Demplot). Luas lahan yang dipergunakan masingmasing demplot seluas 1 ha terdiri atas 1-6 petani pelaksana dalam satu hamparan. Untuk mengetahui efektivitas penggunaan pupuk Petroganik, Phonska dan Urea pada pertanaman padi Varietas Inpari-13 dibandingkan dengan petani disekitarnya yang menerapkan teknologi pemupukan sesuai dengan kebiasaan setempat. Pengumpulan dan Analisis Data Jenis data yang dikumpulkan terdiri atas karakteristik sumberdaya lahan (tanah dan air) Tabel 2. Waktu pelaksanaan uji efektivitas pupuk organik PT Petrokimia Gresik dalam diseminasi teknologi mendukung SL-PTT Padi Sawah TA 2011 Di Jawa Barat. No Kabupaten 1 Karawang Semai Benih 30/05/2011 2 3 4 Indramayu Subang Bekasi 24/04/2011 24/04/2011 08/05/2011 5 6 7 8 Purwakarta Bogor Cianjur Sukabumi 28/04/2011 01/05/2011 10/05/2011 9 10 11 12 13 14 15 16 17 Bandung Bandung Barat Sumedang Majalengka Kuningan Cirebon Garut Tasikmayala Ciamis 18/04/2011 20/04/2011 02/05/2011 09/04/2011 01/05/2011 04/05/2011 17/04/2011 18/04/2011 Waktu Pelaksanaan Tahapan Kegiatan Tanam Panen FFD Awal Supervisi 19/06/11 15/09/11 14/05/11 14/05 s.d 22/09/11 11/05/11 08/08/11 05/04/11 per minggu 13/05/11 06/08/11 10/05/11 22/06/11 28/05/11 19/08/11 08/05 s.d 26/05/11 08/06/11 14/05/11 25/08/11 13/05/11 Juni-Juli 19/05/11 15/08/11 13/05/11 13/05/11 25/05/11 20/08/11 12/05/11 25/06 s.d 25/07/11 05/05/11 08/08/11 14/04/11 29/04/11 05/05/11 04/08/11 28/04/11 26/06/11 20/05/11 10/08/11 11/05/11 23/06/11 26/04/11 21/07/11 13/05/11 1-2/07/11 18/05/11 19/08/11 10/05/11 02/07/11 25/05/11 16/08/11 20/05/11 16/06/11 04/05/11 09/08/11 13/05/11 01/06/11 05/05/11 03/08/11 10/05/11 11/07/11 FFD Panen 22/09/11 01/08/11 04/08/11 19/08/11 02/08/11 10/08/11 20/08/11 05/08/11 04/08/11 09/08/11 21/07/11 22/08/11 16/08/11 05/08/11 03/08/11 *) Keterangan : FFD = Farmer Field Day BPTP JABAR Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat 25 Buletin Hasil Kajian Vol. 1, No. 1 Tahun 2011 serta karakteristik agronomis meliputi tinggi tanaman, jumlah anakan aktif, jumlah anakan produktif, umur tanaman dapat dipanen baik sejak dari persemaian maupun sejak ditanam, hasil panen dalam bentuk ubinan dan komponen hasil (jumlah gabah isi per malai dan jumlah gabah hampa per malai). Pengumpulan data dilakukan melalui pengamatan (observasi) terhadap 5 (lima) tanaman contoh (sampel) pada masing-masing demplot. Analisis data hasil pengamatan dilakukan secara dekriptif dan tabulasi. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Umum Wilayah Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu sentra produksi padi. Hal itu ditunjukkan dengan potensi luas lahan baku yang dapat ditanami padi cukup luas, yaitu 3.607.534 ha (100%) terbagi ke dalam lahan sawah seluas 925.900 ha (25,67%) dan lahan kering seluas 2.681.634 ha (74.33%). Namun demikian potensi lahan yang dapat ditanami padi dibatasi oleh faktor ketersediaan air irigasi bagi potensi pertumbuhan maksimum tanaman padi. Dari lahan sawah seluas 925.900 ha (25,67%-nya dari total luas lahan di Jawa Barat) berdasarkan ketersediaan air irigasi, maka dapat digolongkan ke dalam : (a) pengairan teknis 380.996 ha; (b) pengairan setengah teknis 116.443 ha; (c) pengairan sederhana 92.543 ha; (d) pengairan pedesaan 158.304 ha; (e) tadah hujan 174.060 ha; (f) pasang surut 46 ha; lebak 567 ha; dan polder lainnya 2.941 ha (Tabel 3). Luas tanam Meskipun potensi luas lahan yang dapat ditanami tanaman padi Di Jawa Barat masih cukup luas, tetapi dalam kenyataannya menghadapi berbagai masalah dan kendala, diantaranya (a) pada lahan sawah irigasi teknis dan setengah teknis, terutama pada daerah yang termasuk kedalam golongan air III dan IV terjadi penurunan debit air yang masuk kedalam lahan sawah, baik yang diakibatkan penurunan debit air (penyusutan) dari sumber irigasi (waduk) itu sendiri maupun adanya kerusakan fisik dan kurang optimumnya fungsi jaringan irigasi teknis (jaringan irigasi primer, sekunder, tersier dan saluran), dengan demikian pada daerah golongan III dan IV sering terjadi defisit air, sehingga terjadi kemunduran waktu tanam bahkan sampai terjadi kegagalan panen, dan (b) pada lahan sawah tadah hujan dan/atau lahan kering lebih dipengaruhi oleh ketidakpastian musim (kemunduran musim hujan) sebagai akibat pengaruh kondisi iklim global (El-Nino dan La-Nina), sehingga juga akan berdampak kurang baik terhadap tingkat produksi dan produktivitas tanaman padi, seperti kemunduran waktu tanam, kekeringan, serangan organisme pengganggu tanaman (OPT) yang akan bermuara kepada penurunan hasil, produksi bahkan sampai terjadi kegagalan panen (puso). Kondisi Sumberdaya Lahan Pada umumnya lahan lokasi demplot memiliki karakteristik tanah yang berlumpur dan mudah dilakukan pengeringan (pengaturan air drainase). Dari seluruh lokasi demplot pengujian sebanyak 15 lokasi (88%) tergolong Tabel 3. Luas lahan sawah untuk pertanaman padi berdasarkan klasifikasi ketersediaan air dan waktu tanam di Jawa Barat. Tahun 2009. No 1 2 3 4 5 6 Klasifikasi Lahan Sawah Irigasi Teknis Irigasi ½ Teknis Irigasi Sederhana Irigasi Pedesaan Tadah Hujan Lebak, Ps Surut, dll. Jumlah Baku Lahan Luas Baku Lahan (ha) 1 kali tanam Sementara Tidak Ditanami 376.108 4.837 51 109.678 6.755 10 83.430 9.108 5 143.886 14.339 79 70.859 102.928 273 1.868 120 1.566 785.829 138.087 1.984 > 2 kali tanam Jumlah Baku Lahan (ha) 380.996 116.443 92.543 158.304 174.060 3.554 925.900 Sumber : Diperta Provinsi Jawa Barat (2009) padi sawah di Jawa Barat dalam setahun adalah 1.709.745 ha dengan indeks pertanaman (IP) rata-rata sebesar 1,8. 26 ke dalam tanah dengan karakteristik berlumpur dan mudah dikeringkan yaitu lokasi demplot di Kabupaten Karawang, Indramayu, Subang, BPTP JABAR Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat Buletin Hasil Kajian Vol. 1, No. 1 Tahun 2011 Bekasi, Purwakarta, Cianjur, Bandung, Bandung Barat, Sumedang, Majalengka, Kuningan, Cirebon, Garut dan Kabupaten Tasikmalaya dan sebanyak 2 lokasi (12%) tergolong kurang berlumpur tapi tetap masih dapat dikeringkan yaitu demplot di Kabupaten Bogor dan Sukabumi. Berdasarkan ketersediaan air, maka sebanyak 14 lokasi demplot (82%) tergolong ke dalam lahan dengan ketersediaan air cukup dan dapat diatur yaitu di Kabupaten Karawang; Indramayu; Subang; Bekasi; Purwakarta; Bogor; Cianjur; Bandung; Bandung Barat; Sumedang; Majalengka; Kuningan; Garut dan Ciamis dan sebanyak 3 lokasi demplot (18%) tergolong ke dalam lahan dengan ketersediaan air kurang terutama pada musim kemarau seperti pada saat itu yaitu di Kabupaten Sukabumi, Cirebon dan Kabupaten Tasikmalaya. Kondisi lahan dan pada demplot uji efektivitas pupuk organik PT Petrokimia Gresik Di Jawa Barat. MK-I dan MK-II Tahun 2011 disajikan pada Tabel 4. No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Kondisi Sumberdaya Lahan Tanah Air Karawang Berlumpur dpt Cukup mudah diatur dikeringkan Indramayu Berlumpur dpt Cukup mudah diatur dikeringkan Subang Berlumpur dpt Cukup mudah diatur dikeringkan Bekasi Berlumpur dpt Cukup mudah diatur dikeringkan Purwakarta Berlumpur dpt Cukup mudah diatur dikeringkan Bogor Dapat Cukup mudah diatur dikeringkan Cianjur Berlumpur dpt Cukup mudah diatur dikeringkan Sukabumi Dapat Kurang saat dikeringkan kemarau, mudah diatur Bandung Berlumpur dpt Cukup mudah diatur dikeringkan Bandung Barat Berlumpur dpt Cukup mudah diatur dikeringkan Sumedang Berlumpur Cukup dapat diatur selalu tergenang Majalengka Berlumpur dpt Cukup mudah diatur dikeringkan 14 Cirebon 15 Garut 16 Tasikmalaya 17 Ciamis • Diantara lima hama utama tanaman padi yang diamati, maka secara umum hama tikus merupakan hama yang paling tinggi intensitas serangannya. Pada lahan sawah lokasi demplot intensitas serangan tikus rata-rata 10,46% lebih tinggi dibandingkan dengan lahan sawah petani sekitar demplot yaitu 9,16%. Dari 17 kabupaten lokasi demplot, maka yang paling berat serangannya berturut-turut adalah lokasi demplot di Kabupaten Indramayu (40%), Bekasi (35%), dan Karawang (20%), sedangkan lahan sawah sebagai lokasi demplot di kabupaten lain intensitas serangannya <10%, berturutturut adalah di Kabupaten Cirebon (8%), Subang (7,5%), Ciamis (5%), Majalengka (5%), Cianjur (2,5%), Tasikmalaya (2%), dan Kabupaten Bandung Barat (0,5%). • Serangan hama dengan intensitas tertinggi kedua setelah hama tikus adalah hama keong mas. Pada lahan sawah lokasi demplot serangan keong mas rata-rata 7% lebih tinggi dibandingkan dengan lahan sawah petani di sekitar lokasi demplot yaitu 4,75%. Wilayah demplot yang terserang keong mas dengan intensitas tertinggi beturut-turut adalah Kabupaten Karawang (20%), Bekasi (5%), Indramayu (2%) dan Majalengka (1%). Serangan hama dengan intensitas tertinggi • Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat Kuningan Dari seluruh lokasi kegiatan pengujian di Jawa Barat berdasarkan pengamatan terhadap intensitas serangan hama utama yang biasa menyerang pertanaman padi, yaitu hama wereng batang coklat (WBC), penggerek batang padi pada fase vegetatif (sundep), penggerek batang padi pada fase generatif (beluk), tikus dan hama keong mas, diketahui sebagai berikut : Lokasi BPTP JABAR 13 Kondisi Sumberdaya Lahan Tanah Air Berlumpur dpt Cukup mudah diatur dikeringkan Berlumpur dpt Kurang saat dikeringkan kemarau, mudah diatur Berlumpur dpt Cukup mudah diatur dikeringkan Berlumpur dpt Kurang saat dikeringkan kemarau, mudah diatur Berlumpur dpt Cukup mudah diatur dikeringkan Kondisi Hama dan Penyakit (Organisme Pengganggu Tumbuhan) Tabel 4. Kondisi lahan dan pada demplot uji efektivitas pupuk organik PT Petrokimia Gresik Di Jawa Barat. MK-I dan MK-II Tahun 2011. No Lokasi 27 Buletin Hasil Kajian Vol. 1, No. 1 Tahun 2011 • ketiga pada lahan sawah lokasi demplot adalah sundep. Demplot petrokimia intensitas serangan sundep rata-rata 5% lebih tinggi dibandingkan dengan lahan sawah petani sekitar demplot yaitu 4,6%. Lokasi yang terlihat terdapat serangan sundep (penggerek batang padi pada fase vegetatif) bukan saja pada wilayah yang terletak di daerah pantai utara (pantura) Jawa Barat, seperti di Kabupaten Karawang, Indramayu, Cirebon, Subang dan Bekasi melainkan juga terlihat pada wilayah tengah dan selatan Jawa Barat, seperti di Kabupaten Cianjur, Bandung, Bandung Barat, Majalengka, Kuningan, dan Kabupaten Tasikmalaya. Serangan hama dengan intensitas tertinggi keempat pada lahan sawah lokasi demplot adalah beluk, tetapi dibandingkn dengan lahan sawah petani sekitar demplot, maka serangan beluk atau penggerek batang padi pada fase generatif rata-rata intensitasnya 2,65% lebih rendah dibandingkan dengan petani sekitar yaitu 6,3%. Sebaran wilayah • serangan beluk sama dengan wilayah serangan sundep. Serangan hama dengan intensitas tertinggi kelima pada lahan sawah lokasi demplot adalah WBC. Namun demikian, serangan WBC pada lahan petani sekitar demplot secara umum lebih tinggi yaitu 3% dibandingkan dengan lahan sawah lokasi demplot petrokimia yaitu 2,3%. Serangan WBC terlihat pada lokasi lahan sawah yang terletak di Kabupaten Bandung, Sumedang dan Kuningan. Keragaan serangan hama baik pada lokasi demplot maupun petani sekitar pada 17 kabupaten di Jawa Barat disajikan pada Gambar 1 dan Tabel 5. Upaya pengendalian hama tikus pada beberapa lokasi dengan intensitas serangan yang relatif tinggi seperti di Kabupaten Indramayu, Karawang, Bekasi dan Cirebon telah dilakukan melalui teknik pengendalian secara kombinasi, diantaranya melalui penggunaan sistem bubu Gambar 1. Intensitas serangan hama pada demplot uji efektivitas pupuk organik PT Petrokimia Gresik Di Jawa Barat. MK-I dan MK-II Tahun 2011 Gambar 2. Hasil tangkapan tikus pada lokasi demplot uji efektivitas pupuk organik PT Petrokimia Gresik di Kabupaten Karawang. MK-II 2011. 28 BPTP JABAR Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat Buletin Hasil Kajian Vol. 1, No. 1 Tahun 2011 Tabel 5. Keragaan intensitas serangan hama utama pada lokasi demplot uji efektivitas pupuk organik PT Petrokimia Gresik Di Jawa Barat. MK-I dan MK-II Tahun 2011 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 *) Lokasi Karawang Petroganik Petani Sekitar Indramayu Petroganik Petani Sekitar Subang Petroganik Petani Sekitar Bekasi Petroganik Petani Sekitar Purwakarta*) Bogor*) Cianjur Petroganik Petani Sekitar Sukabumi Petroganik Petani Sekitar Bandung Petroganik Petani Sekitar Bandung Barat Petroganik Petani Sekitar Sumedang Petroganik Petani Sekitar Majalengka Petroganik Petani Sekitar Kuningan Petroganik Petani Sekitar Cirebon Petroganik Petani Sekitar Garut*) Tasikmalaya Petroganik Petani Sekitar Ciamis Petroganik Petani Sekitar Intensitas Serangan Hama Beluk Tikus WBC Sundep Keong Mas 0% 0% 1% 10% 2% 30% 20% 15% 20% 15% 0% 0% 3% 5% 4% 6% 40% 10% 2% 2% 0% 0% 5% 6% 4% 5% 7,5% 11% - 0% 0% - 20% 5% 35% 5% - - - - 0% 0% 3% 3% 2% 2% 2,5% 2,1% 0% 0% 0% 0% - - 0% 1% - 5% 5% - - - - 0% 0% 2% 3% 0,5% 3% 0,5% 0,5% - 2% 2% - - - - 0% 0% 2% 10% 2% 10% 5% 20% 1% 2% 0% 2% 3,2% 3,0% 2% 2% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 3% 3% 2% 2% 8% 15% 0% 0% 0% 0% 8,0% 3,0% 3% 3% 2% 2% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 5% 15% 0% 0% Keterangan : tidak ada data. perangkap atau trap barrier system (TBS), pengemposan dan gerakan massa melalui gropyokan. Sebagai contoh pada lokasi BPTP JABAR Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat demplot di Kabupaten Karawang berdasarkan pengamatan selama 9 (sembilan) minggu hasil tangkapan tikus melalui penerapan teknik TBS 29 Buletin Hasil Kajian Vol. 1, No. 1 Tahun 2011 Tabel 6. Keragaan intensitas serangan penyakit utama pada lokasi demplot uji efektivitas pupuk organik PT Petrokimia Gresik Di Jawa Barat. MK-I dan MK-II Tahun 2011 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 *) Lokasi Karawang Petroganik Petani Sekitar Indramayu Petroganik Petani Sekitar Subang Petroganik Petani Sekitar Bekasi Petroganik Petani Sekitar Purwakarta*) Bogor*) Cianjur Petroganik Petani Sekitar Sukabumi*) Bandung Petroganik Petani Sekitar Bandung Barat Petroganik Petani Sekitar Sumedang*) Majalengka Petroganik Petani Sekitar Kuningan Petroganik Petani Sekitar Cirebon Petroganik Petani Sekitar Garut*) Tasikmalaya Petroganik Petani Sekitar Ciamis Petroganik Petani Sekitar Tungro Intensitas Serangan Penyakit VKR VKH BLB 0% 0% 0% 2% 0% 1% 5% 10% 0% 0% 1% 2% 0% 1% 5% 7% - - - 5% 10% 0% 0% - 0% 0% - 0% 0% - 5% 5% - 0% 0% - 0% 0% - 0% 0% - 4,4% 4,5% - - - - 5% 5% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0,5% 1,5% 2% 5% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 3% 3% 0% 0% - 0% 0% - 0% 0% - 0% 0% - 0% 0% 0% 0% 0% 0% 2% 2% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0% Keterangan : tidak ada data. dan Gropyokan diketahui, bahwa jumlah populasi tikus yang tertangkap tertinggi berturut-turut adalah pada minggu ke-2 (350 ekor/minggu) dan minggu ke-6 (250 ekor/minggu). Keragaan hasil tangkapan tikus di Kabupaten Karawang disajikan pada Gambar 2. Berdasarkan pengamatan terhadap intensitas serangan penyakit utama pada tanaman padi, yaitu penyakit tungro, virus kerdil 30 rumput (VKR), virus kerdil hampa (VKH) dan hawar daun bakteri atau bacterial leaf blight (Blb), diketahui bahwa penyakit hawar daun bakteri atau BLB merupakan penyakit yang paling tinggi intensitas serangannya, baik pada lahan sawah lokasi demplot maupun lahan sawah petani sekitarnya, terutama pada lokasi berturut-turut di Kabupaten Karawang (5% vs 10%), Indramayu (5% vs 7%), Subang (5% BPTP JABAR Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat Buletin Hasil Kajian Vol. 1, No. 1 Tahun 2011 vs 10%), Bekasi 5% vs 5%), Bandung (5% vs 5%), Cianjur (4,4% vs 4,5%), Kuningan (3% vs 3%), Majalengka (2% vs 5%) dan Bandung Barat (0,5% vs 1,5%). Sedangkan penyakit lain yang terlihat di lapangan adalah VKR dan VKH terutama di Kabupaten Karawang dan Indramayu dengan intensitas serangan relatif rendah (ringan). Intensitas serangan penyakit pada lokasi demplot disajikan pada Tabel 6. Karakteristik Agronomis Tanaman Tinggi Tanaman Tinggi tanaman varietas Inpari-13 pada pertanaman demplot berkisar 85,6 cm di Kabupaten Bogor sampai dengan 112,4 cm di Kabupaten Indramayu, sedangkan pada petani pembanding di sekitar demplot tinggi tanaman berkisar 79,62 cm (varietas Inpari-10) di Kabupaten Sukabumi sampai dengan 108,6 cm (varietas lokal Sogin) di Kabupaten Bandung. Jumlah Anakan Jumlah anakan aktif (fase vegetatif) varietas Inpari-13 pada pertanaman demplot berkisar dari yang paling sedikit yaitu 16,3 anakan di Kabupaten Majalengka sampai dengan anakan paling banyak yaitu 40 anakan di Kabupaten Bandung Barat, sedangkan jumlah anakan aktif pada pertanaman pembanding petani sekitar demplot paling sedikit adalah 17 anakan pada varietas Situ Bagendit di Kabupaten Kuningan sampai dengan anakan aktif terbanyak yaitu 34 anakan pada varietas Ciherang di Kabupaten Bandung Barat. Jumlah Anakan Produktif Jumlah anakan produktif (fase generatif) varietas Inpari-13 pada pertanaman demplot berkisar antara 14 anakan di Kabupaten Bekasi sampai dengan 38 anakan di Kabupaten Bandung Barat, sedangkan jumlah anakan produktif pada varietas pembanding di lokasi lahan petani sekitar demplot berkisar antara 14 anakan pada varietas Situ Bagendit di Kabupaten Kuningan sampai dengan terbanyak 31 anakan pada varietas Ciherang di Kabupaten Bandung Barat. Umur Panen Umur panen tanaman, baik dihitung sejak semai maupun sejak tanam maka umur varietas Inpari-13 pada pertanaman demplot memiliki umur panen cukup beragam yaitu berkisar dari BPTP JABAR Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat paling genjah yaitu berumur 103 hari setelah semai (HSS) di Kabupaten Subang sampai dengan berumur 115 HSS di Kabupaten Bandung. Apabila umur panen dihitung sejak ditanam di lapangan atau hari setelah tanam (HST), maka diketahui bahwa paling genjah adalah berumur 83 HST di Kabupaten Cirebon dan paling dalam adalah berumur 98 HST di Kabupaten Bandung. Pada pertanaman pembanding diketahui bahwa tanaman yang paling genjah dihitung sejak semai adalah berumur 102 HSS varietas Inpari13 di Kabupaten Bekasi sampai dengan berumur paling dalam berumur 125 HSS pada varietas Mekongga di Kabupaten Indramayu, sedangkan bila dihitung sejak tanam maka tanaman yang paling genjah berumur 76 HST pada varietas Inpari-13 di Kabupaten Bekasi sampai dengan paling dalam berumur 104 HST pada varietas Mekongga di Kabupaten Indramayu. Jumlah Gabah Isi dan Jumlah Gabah Hampa Berdasarkan pengamatan komponen hasil jumlah gabah isi dan jumlah gabah hampa pada pertanaman demplot varietas Inpari-13, maka diketahui bahwa jumlah gabah isi terbanyak adalah 245 butir per malai pada pertanaman di Kabupaten Bekasi dan jumlah gabah isi paling sedikit sebanyak 134 butir per malai pada pertanaman demplot di Kabupaten Cianjur dan Sumedang. Jumlah gabah hampa paling sedikit diketahui sebanyak 7 butir per malai pada pertanaman demplot di Kabupaten Cirebon dan jumlah gabah hampa paling banyak 56 butir per malai pada pertanaman demplot di Kabupaten Bogor dan Sumedang. Pada pertanaman pembanding diketahui jumlah gabah isi terbanyak adalah 160 butir per malai pada varietas Sogin (lokal) di Kabupaten Bandung dan jumlah gabah isi paling sedikit adalah 101 butir per malai pada varietas Situ Begendit di Kabupaten Kuningan, sedangkan jumlah gabah hampa paling sedikit adalah 7 butir per malai pada varietas Mekongga di Indramayu dan jumlah gabah hampa per malai terbanyak adalah 27 butir per malai pada varietas Mekongga di Kabupaten Cianjur. Hasil Panen Berdasarkan hasil panen secara ubinan pada pertanaman demplot diketahui, bahwa tertinggi diperoleh pada pertanaman demplot di Kabupaten Bandung Barat yaitu 10,46 t/ha GKP dan hasil ubinan terendah pada pertanaman 31 Buletin Hasil Kajian Vol. 1, No. 1 Tahun 2011 demplot di Kabupaten Bekasi yaitu 7,25 t/ ha GKP. Namun demikian, bila dibandingkan dengan hasil ubinan petani sekitar pada masingmasing lokasi demplot maka kenaikkan hasil atau selisih peningkatan hasil diketahui paling tinggi adalah peningkatan hasil demplot berturutturut di Kabupaten Bandung Barat yaitu dengan peningkatan 2,94 t/ha dibandingkan dengan hasil ubinan petani sekitar (10,46 t/ha vs 7,52 t/ha) diikuti berturut-turut oleh Kabupaten Karawang dengan peningkatan hasil ubinan sebesar 2,05 t/ ha (8,77 t/ha vs 6,72 t/ha); Kabupaten Kuningan 1,88 t/ha (10,12 t/ha vs 8,24 t/ha); Kabupaten Sukabumi 1,80 t/ha (7,47 t/ha vs 5,67 t/ha); Kabupaten Sumedang 1,78 t/ha (10,05 t/ha vs 8,27 t/ha); Kabupaten Bogor 1,62 t/ha (8,50 t/ ha vs 6,88 t/ha); Kabupaten Tasikmalaya 1,60 t/ha (9,10 t/ha vs 7,50 t/ha); dan Kabupaten Majalengka 1,28 t/ha (8,94 t/ha vs 7,66 t/ha). Peningkatan hasil ubinan pada lokasi demplot di kabupaten lainnya meskipun masih menunjukkan lebih tinggi dibandingkan dengan hasil ubinan petani sekitar tetapi kenaikkannya kurang dari 1 t/ha GKP, berturut-turut di Kabupaten Bandung 0,96 t/ha; Kabupaten Ciamis 0,76 t/ha; Kabupaten Purwakarta 0,67 t/ ha; Kabupaten Indramayu 0,66 t/ha; Kabupaten Cirebon 0,60 t/ha; Kabupaten Subang 0,59 t/ha; dan Kabupaten Cianjur 0,10 t/ha, sedangkan di Kabupaten Bekasi hasil ubinan antara demplot dengan petani sekitar tidak berbeda dan di Kabupaten Garut demplot belum panen sehingga belum dapat diketahui hasil ubinannya. Pencapaian hasil panen yang beragam di berbagai lokasi disebabkan adanyan interaksi genotipe (varietas Inpari-13) dan lingkungan (status hara tanah dan aplikasi pemupukan) menyebabkan terjadinya perbedaan respons tanaman pada beberapa kondisi lingkungan (Finlay and Wilkinson, 1963; Eberhart and Russel, 1966). Hasil pengamatan karakteristik agronomis, hasil dan komponen hasil disajikan pada Lampiran 1. KESIMPULAN DAN SARAN • Pada umumnya lahan lokasi demplot memiliki karakteristik tanah yang berlumpur dan mudah dilakukan pengeringan atau pengaturan air drainase dengan ketersediaan air cukup dan dapat diatur, kecuali lokasi demplot di Kabupaten Sukabumi, Cirebon dan Kabupaten Tasikmalaya, terutama pada saat musim kemarau. • Hama tikus merupakan hama yang paling 32 • • tinggi intensitas serangannya, terutama di Kabupaten Indramayu, Bekasi, dan Kabupaten Karawang dengan intensitas 10,46% lebih tinggi dibandingkan dengan lahan sawah petani sekitar demplot dengan intensitas 9,16%. Sedangkan, penyakit yang paling tinggi intensitas serangannya pada lahan sawah lokasi demplot maupun lahan sawah petani sekitarnya adalah hawar daun bakteri atau BLB dengan intensitas berkisar 0,5% sampai dengan 10%. Hasil panen secara ubinan pada pertanaman demplot tertinggi pada pertanaman demplot di Kabupaten Bandung Barat (hasil 10,46 t/ha GKP) dan hasil ubinan terendah di Kabupaten Bekasi (7,25 t/ha GKP). Selisih peningkatan hasil demplot dibandingkan dengan hasil petani sekitar paling tinggi berturut-turut adalah Kabupaten Bandung Barat 2,94 t/ha, Karawang 2,05 t/ha, Kuningan 1,88 t/ha, Sukabumi 1,80 t/ha, Sumedang 1,78 t/ha, Bogor 1,62 t/ ha Tasikmalaya 1,60 t/ha dan Kabupaten Majalengka 1,28 t/ha GKP. DAFTAR PUSTAKA Adyana, M.O., M. Syam dan I. Manwan. 1993. Percepatan proses adopsi teknologi dalam M. Syam, Hermanto, H. Kasim dan Sunihardi (eds.). Kinerja Penelitian Tanaman Pangan. Bogor. h.183-199. Distan Prov. Jabar. 2011. Program dan Kegiatan Perbenihan Tanaman Pangan dalam Mendukung P2BN dan Swasembada di Jawa Barat Tahun 2012. Materi disajikan pada Pertemuan Koordinasi Perbenihan Padi dan Palawija pada tanggal 11-13 Desember 2011 di Lembang. Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat. 32h. Ditjen Tanaman Pangan, 2011. Pra Angka Ramalan (ARAM) III Produksi Tanaman Pangan Tahun 2011. Materi disajikan pada Rapat Pimpinan Kelembagaan Kementerian Pertanian pada tanggal 26 Oktober 2011 di Yogyakarta. Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, Kementerian Pertanian. 107h. Eberhart, S.A., and W.A. Russell. 1966. Stability parameters for comparing varieties. Crop Sci. 6: 36–40. Finlay, K.W., and G.N. Wilkinson. 1963. The analysis of adaptation in a plant breeding programme. Aust. J. Agric. Res. 14: 742–752. Partohardjono, S., I.S, Ismail, Subandi, M.O. Adyana dan D.A. Darmawan. 1993. Peranan sistem usahatani terpadu dalam upaya pengentasan kemiskinan di berbagai agroekosistem dalam M. Syam, Hermanto, H. Kasim dan Sunihardi (eds.). Kinerja Penelitian Tanaman Pangan. Bogor. h.143-182. BPTP JABAR Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat Buletin Hasil Kajian Vol. 1, No. 1 Tahun 2011 PENGKAJIAN PENGENDALIAN PENYAKIT JAMUR AKAR TEH DI PERKEBUNAN RAKYAT Agus Nurawan Peneliti pada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Barat Jalan Kayuambon No. 80 Lembang – Bandung Barat 40391 ABSTRAK Pengendalian Hama Terpadu (PHT) dengan memadukan penerapan berbagai komponen teknologi serta pemanfaatan sumberdaya hayati/nabati dan musuh alami dengan sasaran mempertahankan dan meningkatkan produktivitas tanaman teh rakyat. Disamping itu keberadaan musuh-musuh alami dan lingkungan dapat dipertahankan. Upaya mengendalikan secara kimiawi umumnya menjadi pilihan utama, karena hasilnya lebih cepat nampak. Namun ketergantungan terhadap pestisida kimiawi dan meningkatnya harga pestisida, sehingga tidak terjangkau oleh daya beli petani. Salah satu alternatif pengendalian yang murah dan mudah yaitu dengan memanfaatkan biofungisida Trichoderma koningii, danbelerang sebagai hasil teknologi ramah lingkungan Badan Litbang Pertanian. Pengkajian/penelitian ditujukan untuk mengendalikan penyakit jamur akar yang disebabkan oleh Ganoderma pseudoferreum. Pengkajian dilakukan dilahan petani peserta SL-PHT di Desa Cileunca, Kecamatan Bojong Kabupaten Purwakarta. Menggunakan rancangan demplot dengan luasan 2-3 ha tujuannya untuk mengetahui efektifitas biofungisida. Tahap pertama, dilakukan pemetaan pola penyebaran penyakit serta prosentase serangan penyakit jamur akar ini. Kata Kunci: B i o f u n g i s i d a , Tr i c h o d e r m a koningii, Jamur akar. PENDAHULUAN Teh (Cammelia sinensis), merupakan salah satu komoditas unggulan perkebunan yang menempati prioritas utama di Jawa Barat. Hal ini cukup beralasan karena Jawa Barat merupakan penghasil teh terbesar di Indonesia, dengan kontribusi 70% terhadap produksi teh nasional. Luas perkebunan teh di Jawa Barat mencapai 107.040 hektar, dari luasan tersebut Perkebunan BPTP JABAR Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat Teh Rakyat merupakan yang terbesar (52.630 ha) dibandingkan dengan Perkebunan Besar Swasta (21.259 ha) dan Perkebunan Besar Negara (53.571 ha) (Biro Pusat Statistik, 2009). Masalah utama petani teh perkebunan rakyat adalah rendahnya produktivitas dan harga pucuk teh serta gangguan hama dan penyakit. Hal ini berkaitan dengan berbagai faktor, seperti pemeliharaan tanaman yang kurang intensif yang dapat mengakibatkan penurunan produksi serta kualitas pucuk teh. Akibat kenaikan harga sarana produksi menyebabkan tingginya biaya yang dikeluarkan untuk pemeliharaan, hal ini menjadi penyebab kurangnya pemeliharaan tanaman, pada akhirnya produksi dan kualitas pucuk teh menurun. Menurut Widayat dkk, (2000) bahwa biaya yang dikeluarkan untuk pengendalian hama sebesar 10 – 15% dari seluruh biaya produksi. Harga pucuk teh yang rendah pada tingkat petani dan harga pestisida yang tinggi mengakibatkan pengendalian hama dan penyakit tidak sampai pada sasaran, karena terjadi pengurangan dosis yang tidak sesuai anjuran, sehingga hama menjadi resisten terhadap pestisida tertentu .Salah satu faktor penghambat dalam peningkatan produksi pucuk di kebun teh adalah serangan hama dan penyakit yang dapat menyebabkan kehilangan hasil. Upaya untuk menciptakan tanaman sehat dan terbebas dari serangan hama dan penyakit perlu dilakukan agar tanaman teh dapat berproduksi secara optimal (Arifin, 1997). Penyakit akar yang menyerang tanaman teh sampai sekarang masih merupakan salah satu penyakit yang penting. Dimana serangan penyakit tidak dapat dibiarkan begitu saja, karena lambat laun serangan akan meluas yang mengakibatkan kerugian semakin meningkat, baik dalam kematian tanaman maupun dalam biaya pengendaliannya. Penyakit akar merupakan penyakit yang sulit diberantas, karena gejala yang tampak di atas permukaan tanah biasanya merupakan gejala 33 Buletin Hasil Kajian Vol. 1, No. 1 Tahun 2011 lanjut, sehingga perdu teh yang terserang sudah tidak dapat tertolong lagi. Bahkan perdu yang terserang penyakit akar sebanyak 1% dari total tanaman maka kehilangan produksi dalam waktu sepuluh tahun akan sebesar 10% dari potensi hasil pucuk apabila areal tersebut tidak terserang penyakit akar. Pengendalian penyakit akar pada tanaman teh sampai sekarang masih menggunakan cara tradisional, yaitu dilakukan pembongkaran pada tanaman yang terserang. Usaha tersebut memerlukan waktu lama dan hasilnya kurang memuaskan. Untuk memecahkan masalah tersebut diatas, telah dilakukan penelitian pengendalian penyakit akar dengan memanfaatkan mikroorganisme tanah yang bersifat antagonisme terhadap jamur akar. Salah satu mikroorganisme yang sudah terbukti dapat menekan jamur akar yaitu jamur Trichoderma sp. Jamur ini ternyata bersifat antagonisme terhadap jamur akar dan merupakan biofungisida yang cukup efektif dan aman terhadap pencemaran lingkungan (Arifin, 2000). Jamur Trichoderma dapat hidup pada kisaran pH 3 – 7, tetapi pertumbuhan yang terbaik terjadi pada kisaran pH 4.5 oleh karena itu pada tanah-tanah yang memiliki kisaran pH lebih besar dari 6 penggunaan biofungisida sebaiknya dikombinasikandenganbelerang. Belerang selain dapat menurunkan pH tanah, belerang juga bersifat toksik terhadap Rigidoporuslignosus dan unsur ini dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman (Sinulingga, 1996). Pemberian belerang justru merangsang pertumbuhan T. koningii, baik percobaan lapang maupun laboratorium menunjukkan bahwa T. koningii mempunyai toleransi untuk tumbuh pada media dengan kadar belerang yang tinggi (Basuki dan Sinulingga, 1996). Jamur Trichoderma bersifat antagonisme terhadap jamur patogen dapat menyebabkan lisis dan penciutan pada hifa Ganodermaboninensis yang menyerang kelapa sawit (Abadi, 1997)) dan G. pseudoferreum yang menyerang pada tanaman teh (Arifiin, et. al, 1989). Peristiwa in kemungkinan disebabkan adanya enzim B-(1-3) glukonase dan kitinase yang dihasilkan oleh 34 jamur Trichoderma (Chet, et. al. 1979 dalam Bekti, 1988). Selain itu jamur Trichoderma juga dapat mengeluarkan substansi toksik yang difusikan kedalam medium berupa antibiotik yang larut dalam khloroform termasuk trichodermin dan antibiotik peptida yang dapat menghambat pertumbuhan Fomesannosus (Dennis dan Webster, 1971) BAHAN DAN METODE Lokasi dan Waktu Pelaksanaan Pengkajian dilaksanakan di desa Cileunca, Kecamatan Bojong, Kabupaten Purwakarta. Lokasi tersebut diharapkan dapat mewakili wilayah (sentra) teh perkebunan rakyat di Jawa Barat dan merupakan daerah endemik penyakit akar. Melibatkan 7 orang petani di kelompok tani SLPHT tersebut. Di kelompok tani tersebut sebagian besar sudah mengikuti pelatihan SLPHT. Pengkajian akan dilaksanakan mulai tahun 2004, selama 12 bulan dimulai pada bulan Januari sampai Desember 2004. Perlakuan dilakukan musim kemarau dan musim penghujan. Metode Pengkajian Penelitian diakukan di kebun teh rakyat di daerah Jawa Barat, terutama yang daerah endemi penyakit akar. Kemudian dilakukan pembuatan peta serangan jamur akar serta penyebarannya. Rencana perlakuan yang akan di lakukan di lapangan antara lain : (a) Pengendalian dengan menggunakan serbuk belerang yang tujuannya untuk memperbaiki lingkungan dalam tanah yang baik untuk pertumbuhan dan perkembangan jamur Trichoderma sp secara alami, (b) pengendalian biologi dengan menggunakan jamur Trichoderma dosis 50 gr/tanaman, (c) campuran antara penggunaan belerang 50 g + 50 g Trichoderma sp. (d) kontrol. ( Arifin, 2004). Perlakuan dicoba musim kemarau dan musim penghujan. Model perlakuan ada 2 jenis yaitu: ( 1) Tanaman yang ada dalam plot dibongkar seluruhnya, kemudian dilakukan penanaman baru dalam plot percobaan dengan klon Gambung 3, dan (2) tanaman yang terserang berat saja yang dibongkar kemudian ditanami kembali dengan bibit klon Gambung 3. Kedua model tersebut perlakuannya sama. BPTP JABAR Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat Buletin Hasil Kajian Vol. 1, No. 1 Tahun 2011 petani terhadap teknologi menggunakan alat kuesioner. Gambar 1. Model 1 semua tanaman terserang dalam plot dibongkar kemudian dilakukan penanaman baru dengan klon Gambung 3. Karakter yang diamati dalam penelitian ini antara lain: 1. Pengaruh perlakuan belerang, Trichoderma sp dan kombinasinya. terhadap intensitas penyakit jamur akar (tahun 2005) 2. Prosentase kematian tanaman dilakukan setiap bulan (%) 3. Peta penyebaran penyakit Jamur Akar 4. Respon dan umpan balik petani tehadap teknologi. Pengkajian ini dilakukan melalui pendekatan penelitian FDR (Farmer Driven Research), setiap unit pengkajian 5 x 4 m, dilakukan pada satu hamparan dengan luas 5 ha, melibatkan petani koperator sebanyak 7 orang, direncanakan akan dilakukan dalam 3 perlakuan, 1 kontrol dengan 3 ulangan. HASIL DAN PEMBAHASAN Gejala Serangan penyakit. Gambar 2. Model 2, tanaman asal dalam plot tersebut tidak dibongkar Cara Kerja • Sebelum perlakuan perlu dilakukan survey dan pemetaan serangan jamur akar di lapangan dan tindakan-tindakan yang pernah dilakukan oleh petani selama ini. • Hasil survey terhadap tingkat serangan jamur akar dan tindakan yang pernah dilakukan oleh petani, kemudian ditentukan perlakuan yang disesuaikan dengan kondisi di lapangan. • Menetapkan lokasi bekas serangan penyakit akar dan areal tersebut sebelum di ploting harus dilakukan pembongkaran bekas tanaman yang terserang. • Tanaman yang sudah dicabut dibersihkan dari lokasi tersebut dengan di bakar. • Dilakukan ploting dengan ukuran petak percobaan disesuaikan dengan kondisi di lapangan. • Perlakuan di lapangan disesuaikan dengan perlakuan yang sudah ditentukan. • Menghitung analisis usahatani dan respons BPTP JABAR Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat Penyakit jamur akar merah anggur adalah penyakit akar yang paling berbahaya dalam perkebunan teh terutama pada daerah dataran rendah dan sedang (< 900 m dpl.). Gejala dini dari penyakit akibat patogen ini sulit dideteksi, bila terlihat gejala luar (visual) berupa mulamula daun menuguning sedikit-demi sedikit. Gejala kuning ini dari waktu ke waktu semakin meluas. Gejala lanjut tanaman tampak layu seperti disiram air panas, kemudian daun menjadi rontok akhirnya tanaman mati. Apabila diadakan pembongkaran tanaman, maka akan terlihat miselium yang berwarna putih baik pada akar tunggang maupun akar lateral. Pada bagian akar tanaman yang mati itu ditekan atau dipijit dengan menggunakan tang, maka akan keluar cairan. Waktu gejala awal terlihat sangat bervariasi sejak tanaman sehat sampai dengan terlihat menunjukkan gejala sakit berkisar antara 1 sampai dengan 3 minggu. Sebenarnya pada saat gejala visual belum nampak, akar sudah terinfeksi oleh jamur, namun masa inkubasinya masih berlangsung. Sedangkan proses dari timbulnya gejala serangan hingga tanaman mati rata-rata antara 2 minggu sampai dengan 1 bulan. 35 Buletin Hasil Kajian Vol. 1, No. 1 Tahun 2011 Gambar 3. Gejala awal serangan penyakit jamur akar, nampak daun sudah mulai menguning Gambar 6. Setelah tanaman dibongkar terlihat akar vertikal dan lateral terserang jamur, dengan ditandai miselium yang berwarna putih dan jaringan kayu terlihat berwarna kehitaman. Gambar 4. Gejala penyakit akar selanjutnya adalah daun gugur dan yang tersisa hanya ranting-ranting saja. Gambar 7. Serangan lebih banyak pada kebun teh yang tidak terpelihara dengan baik. Gambar 5. Gejala selanjutnya tanaman teh yang tersisa hanya ranting-ranting saja. Gambar 8. Akibat serangan jamur akar, banyak berkurang. populasi tanaman Penyebab penyakit Beberapa jenis penyakit akar pada tanaman teh : (1) Penyakit akar merah anggur disebabkan oleh patogen Ganoderma pseudoferreum, (2) Penyakit akar merah bata Poria hypolateritia, 36 BPTP JABAR Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat Buletin Hasil Kajian Vol. 1, No. 1 Tahun 2011 (3) Penyakit akar hitam (Rosellinia arcuata dan R. Bunodes), (4) Penyakit leher akar (Ustulina maxima) dan (5) Penyakit kanker belah (Armilaria mellea) (Pusat penelitian Teh dan Kina, 1997). Penyakit akar merah anggur ini, merupakan penyakit yang sangat berbahaya dalam perkebunan teh terutama pada daerah sedang dan rendah dan pada tanah latosol. Di Kecamatan Bojong, Kabupaten Purwakarta ini merupakan perkebunan teh dataran rendah (< 900 m dpl.) dominan yang menyerang adalah patogen G. pseudoferreum. Penyebaran penyakit ini dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain, kondisi tanah latosol yang kondusif untuk pertumbuhan dan perkembangan jamur, dan adanya pohon pelindung yang peka terhadap jamur akar seperti Albizia falcata, A. Sumatrana, Glyricidia sepium sangat membantu penyebaran penyakit. Di Kecamatan Bojong, Kabupaten Purwakarta petani menyisipkan tanaman jenjing (Albizia sp.) sebagai tanaman sela, sehingga membantu penyebaran penyakit, disamping tunggulnya dapat merupakan media untuk pertumbuhan jamur akar tersebut. Cara pengendalian Petani teh di Kecamatan Bojong, Purwakarta pada umumnya tidak mengendalikan penyakit jamur akar ini secara khusus. Tapi bila terdapat serangan tanaman yang cukup parah dan tanaman mulai mengering, tanaman tersebut dibongkar untuk dijadikan kayu bakar. Tetapi dalam penelitian Isdiyanto dan Martosupono, (1996) pengendalian jamur akar dengan menggunakan agensia hayati Trichoderma koningii serta belerang cukup efektif untuk mengendalikan penyakit akar merah G. Pseudoferreum pada tanaman teh. Dosis terbaik adalah 20 g/0,50 m3. Namun perlakuan kombinasi pemberian antara T. Koningii 15-20 g ditambah belerang 20 g/0,50 m3 juga memberikan hasil yang terbaik. Karena ada interaksi yang positif antara pemberian pupuk belerang dengan T. Koningii. Interaksi tersebut disebabkan karena serbuk belerang yang diberikan akan menurunkan pH tanah, sehingga tanah menjadi masam , dan kondisi tersebut secara tidak langsung akan menghambat perkembangan G. Pseudoferreum di pihak lain akan memacu perkembangan T. Koningii. Prosentase serangan jamur akar Serangan penyakit jamur akar G.pseudoferreum sangat merugikan khususnya di Kecamatan Bojong, karena dapat mematikan tanaman dengan prosentase serangan rata-rata 6,48% selama 7 bulan. Bila dilihat data di atas, pada bulan Juli sampai dengan Oktober 2004 peningkatan serangan secara visual sedikit, karena pada bulan-bulan tersebut keadaannya cukup kering karena musim kemarau. Sebaliknya pada bulan 11 dan 12 serangan patogen jadi meningkat, karena keadaan tanah sangat lembab, karena Tabel 1. Prosentase serangan jamur akar dari 7 pemilik kebun yang dijadikan plot pengamatan. No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Nama Petani Sangkan Holil Enok Saefuloh H.Mahfudin Aos Enen Jumlah Populasi (tan) 4.000 1.600 5.000 1.600 3.200 2.400 2.400 20.200 6 159 81 75 55 150 111 123 754 7 165 101 82 60 165 126 134 833 Jumlah serangan (tan) Bulan : 8 9 10 11 172 181 198 250 117 120 124 149 90 92 98 124 64 69 80 84 173 180 185 199 134 147 160 165 138 145 158 167 888 934 1.003 1.138 membongkar tanaman tersebut, masih banyak bagian akar yang tertinggal dan merupakan inokulum yang dapat membantu penyebaran penyakit tersebut. Pada umumnya petani tidak melakukan perlakuan apapun baik untuk pencegahan maupun untuk pengendalian. Hasil BPTP JABAR Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat 12 304 158 140 96 205 186 220 1.309 Rata-rata (%) 7,60 9,87 2,80 6,00 6,41 7,75 9,17 6,48 hujan sudah mulai turun. Hal ini sejalan dengan penelitian Arifin (2004), serangan penyakit akar banyak dijumpai pada tanah laterit tua, juga dibantu dengan kondisi tanah yang lembab perkembangan penyakit akar akan lebih baik dan meningkat. 37 Buletin Hasil Kajian Vol. 1, No. 1 Tahun 2011 Peta penyebaran penyakit jamur akar Hasil survei sementara di beberapa Desa Cibeber yang berada di 2 wilayah Kecamatan Kiara pedes dan Kecamatan Bojong. Tanaman teh yang terserang jamur akar cukup menyebar, dan penyebarannya cenderung tidak mempunyai pola yang jelas. Cenderung menyebar ke segala penjuru. Namun bila dibandingkan di kedua kecamatan tersebut, maka Kecamatan Bojong tingkat serangannya lebih tinggi. Penularan penyakit akar ini berdasarkan pengamatan melalui kontak akar dengan akar baik dengan tanaman teh lagi maupun dengan akar tanaman inang yang mengandung inokulum. Gambar 9. Persentase serangan jamur akar di desa Cileunca, Bojong, Purwakarta 38 BPTP JABAR Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat Buletin Hasil Kajian Vol. 1, No. 1 Tahun 2011 Kecamatan Bojong prosentase serangan selama 6 bulan adalah 6,48%. Perlakuan T. koningii pada musim kemarau tidak ada pengaruh terhadap perkembangan penyakit jamur akar ini, karena kelembaban yang kurang optimal untuk perkembangan agensia hayati tsb. DAFTAR PUSTAKA = Tanaman sehat = Tanaman sakit Gambar 10. Pola penyebaran penyakit akar di pertanaman teh rakyat desa Cibeber, Kabupaten Purwakarta. = Tanaman sehat = Tanaman sakit Gambar 11. Pola penyebaran penyakit akar di pertanaman teh rakyat desa Cileunca, Kecamatan Bojong, Kabupaten Purwakarta. Luas areal yang diamati dalam pembuatan peta pola dan penyebaran penyakit jamur akar ini masing-masing kurang lebih 2 ha. Di desa Cibeber, Kecamatan Kiarapedes, serangan penyakit jamur akar ini dimulai dari pinggir areal, namun setelah diamati selama 6 bulan penyebarannya tidak mempunyai pola tertentu, misalnya mengikuti arus air hujan, dari dataran tinggi ke rendah. Ternyata penyebaran penyakit loncat-loncat secara sporadis, baik dari arah utara, selatan, barat dan timur. Hal ini semakin terbukti, bahwa penularan dan penyebaran penyakit akibat adanya kontak antara tanaman yang sakit dengan tanaman sehat. Baik antara tanaman teh, maupun antara tanaman teh dengan tanaman inang (Albizia falcata atau Glyricidia sepium). KESIMPULAN Peta penyebaran penyakit jamur akar tidak mempunyai pola yang khusus, sporadis dan dapat menyebar ke segala penjuru. Untuk BPTP JABAR Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat Abadi, A.L., 1997. Biologi Ganoderma boninensis pada kelapa sawit (Elaeis gunensis) dan pengaruh beberapa mikroba tanah antagonistik terhadap pertumbuhan . Fakultas Pasca Sarjana IPB. 147 hal. Anonimous, 1997. Petunjuk kultur tehnis tanaman teh. APPI. Pusat Penelitian teh dan Kina Gambung. Arifin, I.S. 1997. Beberapa penyakit penting dan penegendaliannya pada tanaman teh. Prosiding Pertemuan Aplkasi teknologi Pertanian tanaman kakao dan teh. Gambung 26-27 Nopember 1996. Hal 44-50. rifin, I.S. 2000. Potensi antagonisme jamur Trichoderma terhadap penekanan jamur akar Poria hypolateritia. Jurnal Penelitian Teh dan Kina. Pusat Penelitian Teh dan Kina Gambung, APPI. Vol.3(3) Hal. 98102. Arifin, I.S. 2004. Implementasi Pengendalian penyakit akar dengan biofungisida di perkebunan teh. Bahan In house training PTPN VIII, 24-26 Agust 2004. Basuki dan W. Sinulingga. 1996. Penyakit akar putih pada tanaman karet, gejala penyakit, pengendalian hayati, dan saran-saran pengendalian penyakit. Warta Pusat Penelitian Karet. Vol 15 (2).Hal. 87-95. Bekti, D.W.S. 1988. Pengujian antagonisme Aspegillus niger dan Trchoderma sp. terhadap Rhizoctonia solani pada pesemaian kopi. Fak. Pertanian IPB. Dennis, C dan J. Webster. 1971.Antagonism of Fomes annosus in the Rhizosphere of grey adler (Alnus incana) and Norway Spruce (Pica abeis). Eur. Jounal. Path. 10 : 385395. Biro Pusat Statristik. 2009. Jawa Barat Dalam Angka. Pemerintah Propinsi Jawa Barat. Hal. 276 Sinulingga, W. 1996. Usaha-usaha untuk mengatasi meningkatnya serangan penyakit akar putih pada tanama karet. Warta pusat penelitian Karet. Vol. 15(2). Hal. 96-104. Widayat, W. 2000. Budidaya Teh organik dan prospeknya di masa mendatang. Prosiding Pertemuan teknis teh Nasional. Bandung 8-9 Nop. 1999. Pusat Penelitian teh dan Kina Gambung. 39 Buletin Hasil Kajian Vol. 1, No. 1 Tahun 2011 40 BPTP JABAR Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat