Uploaded by User99038

5. BAB II

advertisement
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Lahan Gambut
Lahan gambut merupakan hasil akumulasi timbunan bahan organik. Lahan
gambut terbentuk secara alami dalam jangka waktu ratusan tahun dari pelapukan
vegetasi yang tumbuh di atasnya. Ciri utama lahan gambut adalah kandungan
karbon minimal 18%, dan ketebalan minimal 50 cm (Nurida et al. 2011). Gambut
terbentuk dalam kondisi lahan basah, dimana genangan air menghalangi aliran
oksigen dari atmosfer yang mencegah daun- daun dan kayu terdekomposisi secara
sempurna (Thornburn et al. 2014).
Tingkat kematangan gambut, serta kedalaman gambut sangat mempengaruhi kualitas lahan gambut. Menurut Najiyati et al. (2005), pematangan
gambut melalui proses pematangan fisik, kimia dan biologi. Pematangan fisik
terjadi dengan adanya pelepasan air (dehidrasi) karena proses pembentukan
drainase, evaporasi (penguapan) dan dihisap oleh akar. Proses ini ditandai dengan
penurunan dan perubahan warna tanah. Pematangan kimia terjadi melalui
penguraian bahan-bahan organik menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana.
Proses pematangan ini akan melepaskan asam-asam organik yang beracun bagi
tanaman dan membuat suasana tanah menjadi asam.
Lahan gambut memainkan peran penting dalam penyimpanan dan
penyerapan karbon (Murdiyarso 2005). Sebagian besar karbon tanah ditemukan di
lahan gambut berkisar 329 hingga 528 Pg (1 Pg = 1015 g = 1 Gt) dan seperlima
dari karbon tanah dunia terletak di lahan gambut. Sekitar 90% lahan gambut
global terletak di daerah temperate dan boreal. Lahan gambut tropis diperkirakan
4
hanya 42 juta ha yang mengandung 20 % dari karbon tanah dunia. Lahan gambut
tropis terutama terletak di Asia Tenggara (Kalimantan, Sumatra, Papua Barat dan
Thailand).
Lahan gambut memberikan beberapa pelayanan (services) ekologi, ekonomi
dan sosial yang potensial untuk dikembangkan sebagai sistem pendukung
kehidupan (life supporting system). Lahan gambut mempunyai fungsi untuk
pelestarian sumberdaya air, peredam banjir, pencegah intrusi air laut, pendukung
berbagai kehidupan, keanekaragaman hayati dan pengendali iklim (Irma et al.
2017). Lahan gambut memiliki sifat yang khusus yaitu sulit untuk pulih apabila
terganggu. Hal ini disebabkan oleh proses pembentukan lahan gambut dari hasil
pembusukan vegetasi yang berlangsung selama ribuan tahun, sehingga
perlindungan terhadap ekosistem lahan gambut penting diterapkan dengan
mengelolanya secara bijak dan memperhatikan keseimbangan ekologi, melalui
pengelolaan yang terintegrasi (Wibowo 2009).
2.2 HTI Akasia
Peningkatan kebutuhan bahan baku dalam bidang industri perkayuan seperti
pulp and paper telah mendorong perluasan hutan tanaman industri (HTI).
Penggunaan lahan mineral untuk HTI mengalami kompetisi dengan penggunaan
lahan lainnya, seperti perkebunan kelapa sawit, karet, dan pertanian sayuran,
sehingga lahan gambut menjadi alternatif dalam perluasan HTI. Perubahan
penggunaan lahan hutan rawa gambut menjadi lahan pertanian termasuk HTI
memiliki beberapa tantangan. Menurut berbagai pihak dapat menyebabkan
kerusakan (degradasi) lahan (Amri 2013).
5
Pembangunan HTI untuk bahan baku pulp dan kertas (HTI-Pulp) khususnya
di wilayah Sumatera, tanaman akasia yang ditanam yaitu A. mangium dan A.
Crassicarpa. A. crassicarpa dapat beradaptasi pada lahan gambut, sehingga
digunakan sebagai tanaman HTI untuk lahan gambut, sedangkan A. mangium
hanya dapat dikembangkan pada lahan mineral (Suhartati et al. 2014). Sebagai
bahan baku pulp, A. crassicarpa termasuk jenis tanaman dengan pertumbuhan
yang cepat (fast growing) dan mempunyai kualitas pulp yang baik. Pemanfaatan
lahan gambut untuk HTI A. crassicarpa selalu diawali dengan pembuatan
drainase untuk meningkatkan ketersediaan oksigen bagi akar supaya tanaman
dapat tumbuh dan berkembang dengan baik (Hooijer et al. 2006).
2.3 Restorasi
Pada kurun waktu kurang lebih dua puluh tahun terakhir, kegiatan konversi
lahan gambut menjadi lahan pertanian, perkebunan kelapa sawit, dan kayu kertas
(pulp wood) diperkirakan telah merusak lahan gambut dengan segala fungsi
ekologisnya. Di sisi lain, lahan gambut merupakan suatu ekosistem yang unik dan
rapuh, karena lahan ini berada dalam suatu lingkungan rawa, yang terletak di
belakang tanggul sungai. Pembukaan lahan gambut melalui penebangan hutan
(land clearing) dan drainase yang tidak hati-hati akan menyebabkan penurunan
permukaan (subsiden) yang cepat, pengeringan yang tak dapat balik (irreversible
drying), dan mudah terbakar (Mubekti 2011).
Pemanfaatan lahan gambut di Indonesia dapat dikatakan kurang
memperhatikan konsep keberlanjutan yang memperhatikan ekosistem gambut
sebagai kesatuan hidrologis dan aset ekologis yang berharga. Dampak dari
kerusakan lahan gambut tersebut mengakibatkan berulangnya kebakaran hutan
6
dan lahan, asap dengan ketebalan sangat besar, banjir dan kekeringan yang pada
gilirannya menyumbang pemanasan global akibat pelepasan karbon sebesar
18.813 juta ton (Badan Restorasi Gambut Republik Indonesia 2016).
Keaadaan ini menuntut untuk segera dilakukannya restorasi untuk
mengembalikan fungsi hidrologis dan ekologis gambut serta untuk meningkatkan
produktivitasnya sehingga fungsi ekosistem gambut dapat segera pulih kembali
(Badan Restorasi Gambut Republik Indonesia 2016). Restorasi gambut
merupakan proses untuk mengembalikan fungsi ekologi lahan gambut, sekaligus
meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang terkena dampak dari menyusutnya
lahan gambut. Jika dipahami dari sisi definisi, restorasi merupakan upaya yang
sama dari tahapan manajemen bencana yang disebut rehabilitasi (Yuliani et al.
2018).
Pemerintah membentuk Badan Restorasi Gambut (BRG) dalam rangka
percepatan pemulihan kawasan dan pengembalian fungsi hidrologis lahan gambut
akibat kebakaran secara khusus, sistematis, terarah, terpadu dan menyeluruh.
Badan Restorasi Gambut bertugas mencapai tiga sasaran restorasi, yaitu: (1)
pemulihan hidrologi, vegetasi dan daya dukung sosial-ekonomi ekosistem gambut
yang terdegradasi; (2) perlindungan ekosistem gambut bagi penyangga kehidupan;
(3) penataan ulang pengelolaan (pemanfaatan) ekosistem gambut secara
berkelanjutan (Badan Restorasi Gambut RI 2016).
2.4 Respirasi Tanah
Respirasi tanah tersusun dari respirasi autotrofik (akar) dan respirasi
heterotrofik (aktivitas mikroba dan hewan tanah), meskipun hanya respirasi
heterotrofik yang bekontribusi dalam pelepasan Karbon dari lahan gambut ke
7
atmosfer (Hergoualc'h et al. 2017). Penggunaan lahan mempengaruhi tingkat
respirasi tanah berdasarkan perbedaan tingkat respirasi akar karena jenis vegetasi
yang berbeda, dan dan juga mempengaruhi suhu tanah, kelembaban tanah, dan
sifat fisikokimia tanah. Hal ini yang akan mempengaruhi tingkat respirasi tanah
secara tidak lansung (Ishikura et al. 2017).
Salah satu komponen yang berperan besar dalam respirasi tanah adalah
aktivitas respirasi akar. Total respirasi tanah sebagian besar dipengaruhi oleh
perakaran tanaman, bervariasi dari 10 hingga 90%. Emisi CO2 yang berasal dari
respirasi akar dinetralisir melalui proses fotosintesis, sedangkan dari dekomposisi
gambut berkontribusi terhadap peningkatan gas rumah kaca (Putri et al. 2016).
Pengukuran respirasi tanah digunakan untuk mengukur aktivitas mikroba sebagai
salah satu penentu kualitas tanah karena cukup sensitif, konsisten, sederhana dan
tidak memerlukan alat yang canggih dan biaya mahal. Respirasi tanah ditentukan
berdasarkan keluaran CO2 atau jumlah O2 yang dibutuhkan oleh mikroba (Reid
2001).
Penelitian yang dilakukan oleh Adachi et al. (2006) di Hutan Pasoh, Negeri
Sembilan, Malaysia, menunjukkan tidak ada perbedaaan yang signifikan terhadap
laju respirasi tanah. Hasil dari penelitian ini memperlihatkan laju respirasi
tertinggi pada perkebunan kelapa sawit sebesar 966 mg CO2/m/ jam, diikuti oleh
hutan sekunder dan hutan primer (838 dan 831 mg CO2/m/ jam). Laju respirasi
tanah pada penelitian ini diukur menggunakan portable soil respiration rate
measuring system (LI-6400, LI-COR, Lincoln, NB, USA) dan soil respiration
chamber. Penelitian yang dilakukan oleh Hergoualc'h et al. (2017) selama 13
bulan dari Juni 2013 sampai Juni 2014 menunjukkan respirasi tanah tertinggi pada
8
perkebunan kelapa sawit umur enam tahun (13,8 ± 0,3 mg C/ha/tahun) diikuti
oleh hutan primer dan perkebunan kelapa sawit umur satu tahun (12, 9 ± 0,3 dan
11,7 ± 0,4 mg C/ha/tahun). Penelitian ini menggunakan portable infra-red
analyzer (EGM-4 Environmental Gas Monitor) yang terhubung dengan soil
respiration chamber (SRC-1). Chamber diletakkan diatas pipa PVC (diameter 10
cm, tinggi 5 cm) yang secara permanen dimasukkan kedalam tanah dengan
kedalaman 5 cm pada setiap titik sampling. Penelitian yang dilakukan Saragih
(2017) di Tembilahan Provinsi Riau, memperlihatkan bahwa laju respirasi tanah
tanpa diperkaya glukosa berkisar antara 3,17- 117,21 mg CO2/g tanah/jam dan
laju respirasi tanah yang diperkaya glukosa berkisar antara 9,33-136,11 mg CO2/g
tanah/jam. Pengukuran laju respirasi tanah tertinggi pada perkebunan kelapa dan
terendah pada hutan sekunder lahan gambut.
2.5 Populasi Mikroba
Organisme tanah tinggal di lapisan permukaan tanah dan horizon tanah yang
lebih dalam. Distribusi vertikal dan horizon tanah biasanya dibatasi oleh
temperatur, kandungan air dan tekstur tanah. Dalam hal ini kandungan bahan
organik mengendalikan proses biotik tanah. Distribusi organisme tanah
mempunyai hubungan erat dengan pori tanah, pertikel tanah, dan akar tanaman
(Agus dan Subiksa 2008).
Keberadaan mikroba tanah sangat besar peranannya dalam perbaikan
kualitas tanah gambut. Menurut Waldrop dan Firestone (2006), mikroba tanah dan
vegetasi memiliki asosiasi yang potensial, sehingga perubahan komposisi vegetasi
akan menyebabkan perubahan komposisi mikroba tanah. Perubahan komposisi
mikroba tanah dapat berdampak pada laju dekomposisi material organik dan
9
aktivitas eksoenzim tanah yang akan berdampak terhadap keberlangsungan siklus
karbon (Jordan et al. 1995).
Ekosistem lahan gambut yang mengalami perubahan tidak mempengaruhi
komunitas mikroba. Hal ini diasumsikan bahwa mikroorganisme ada di manamana dan keanekaragaman mikroba yang tinggi dalam tanah memiliki beberapa
spesies yang memiliki peran fungsional yang sama dalam ekosistem. Demikian
halnya dengan perubahan lingkungan mengubah komunitas mikroba ke
mikroorganisme yang lebih baik dalam beradaptasi dan lebih toleran terhadap
kondisi baru tanpa kehilangan fungsi ekosistem (Preston dan Basiliko 2015).
Bakteri berdasarkan kebutuhan nutrisi dapat dibedakan menjadi bakteri
kopiotrof dan bakteri oligotrof. Bakteri kopiotrof adalah kelompok bakteri yang
mampu hidup dan berkembang pada kondisi yang kaya nutrisi, sedangkan bakteri
oligotrof merupakan kelompok bakteri yang mampu hidup pada kondisi yang
miskin nutrisi (Langer et al. 2004; Yoshida et al. 2007).
Penelitian yang dilakukan oleh Adji et al. (2017) di Kanamit Barat,
Kalimantan Tengah menunjukkan nilai rata- rata respirasi tanah pada lokasi
semak belukar lebih tinggi yaitu 80,00 x 10-4 CFU/g, diikuti dengan perkebunan
kelapa sawit 30,60 x 10-4 CFU/g, dan terendah pada perkebunan karet yaitu 18,00
x 10-4 CFU/g. Tingginya total mikroba pada semak belukar karena lahan semak
belukar ditumbuhi vegetasi campuran yang cukup rapat, sehingga sumber bahan
organik tersedia bagi pertumbuhan dan keragaman mikroba dalam tanah.
Penelitian yang dilakukan oleh Fitria et al. (2014) di Teluk Meranti menunjukkan
total populasi bakteri kopiotrof berkisar antara 0,6x105–1,8x105 CFU/g tanah dan
total populasi bakteri oligotrof berkisar antara 0,5–1,4x105 CFU/g tanah. Total
10
populasi bakteri kopiotrof dan oligotrof tertinggi terdapat pada lokasi kebun sawit
7-8 tahun dan total populasi terendah terdapat pada lokasi hutan primer.
Tingginya total populasi bakteri di lokasi kebun sawit 7-8 tahun dibandingkan
hutan primer disebabkan oleh kegiatan alih fungsi lahan yang dapat mengubah
lingkungan anaerob menjadi aerob.
Jamur adalah mikroba eukariotik yang berbentuk filamen. Jamur biasanya
tumbuh di tempat- tempat yang lembab dan banyak mengandung substrat organik.
Peran jamur dalam suatu ekosistem biasanya sebagai perombak bahan organik,
agen penyakit, simbion yang menguntungkan, dan agen agregasi tanah (Saraswati
et al. 2007) beberapa jamur memiliki kemampuan untuk menghancurkan atau
melapukkan sisa-sisa tanaman yang telah mati yang memiliki kandungan
karbohidrat dan sulit didekomposisi oleh bakteri. Jamur secara lambat dapat
menghancurkan material organik seperti selulosa dan lignin yang bermanfaat
dalam memperkaya tanah dengan bahan-bahan organik (Kartasapoetra dan
Sutedjo 2005).
Tanah yang subur dan lebih asam akan meningkatkan populasi jamur di
tanah (Suciatmih 2006). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Suciatmih (2006)
menunjukkan bahwa total populasi jamur antara 1,3- 8,5 x105 CFU/g tanah,
dengan total populasi di lahan gambut lebih banyak dibandingkan dengan tanah
aluvial. Hasil penelitian Fitria (2014) di Teluk Meranti menunjukkan total
populasi jamur berkisar antara 0,4- 1,0 x105 CFU/g tanah. Total populasi jamur
tertinggi pada ladang jagung dan terendah pada Hutan Primer. Berdasarkan hasil
dari penelitian yang telah dilakukan maka alih fungsi lahan juga dapat berdampak
terhadap total populasi jamur.
11
Download