Uploaded by User77708

dian umbul prakoso

advertisement
HUBUNGAN KERJASAMA ANTARA RUMAH SAKIT DENGAN
PERUSAHAAN FARMASI DALAM PENGADAAN OBAT-OBATAN DI
RUMAH SAKIT TRIHARSI SURAKARTA
SKRIPSI
Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Syarat-syarat Guna
Memperoleh Derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh :
DIAN UMBUL PRAKOSO
NIM. E.1103055
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2010
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Penulisan Hukum (Skripsi)
HUBUNGAN KERJASAMA ANTARA RUMAH SAKIT DENGAN
PERUSAHAAN FARMASI DALAM PENGADAAN OBATOBATAN DI RUMAH SAKIT TRIHARSI SURAKARTA
Disusun oleh :
DIAN UMBUL PRAKOSO
NIM. E.1103055
Disetujui untuk Dipertahankan
Dosen Pembimbing
Lego Karjoko, SH. MH.
NIP. 196305191988031001
2
PENGESAHAN PENGUJI
Penulisan Hukum (Skripsi)
HUBUNGAN KERJASAMA ANTARA RUMAH SAKIT DENGAN
PERUSAHAAN FARMASI DALAM PENGADAAN OBATOBATAN DI RUMAH SAKIT TRIHARSI SURAKARTA
Disusun oleh :
DIAM UMBUL PRAKOSO
NIM. E.1103055
Telah diterima dan di sahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi)
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta pada :
Hari
:
Tanggal
:
TIM PENGUJI
1. ................................................................
……………………………...
Ketua
2. ................................................................
……………………………...
Sekretaris
……………………………...
Anggota
3. Lego Karjoko, SH. MH.
MENGETAHUI
Dekan,
Mohammad Jamin, S.H. M.Hum.
NIP. 19610930198601101
3
MOTTO
Sabar dalam mengatasi kesulitan dan bertindak bijaksana dalam mengatasinya adalah sesuatu
yang utama.
Kemenangan yang seindah – indahnya dan sesukar – sukarnya yang boleh direbut oleh manusia ialah
menundukan diri sendiri.
(Ibu Kartini )
Harga kebaikan manusia adalah diukur menurut apa yang telah dilaksanakan / diperbuatnya. ( Ali
Bin Abi Thalib )
Apabila anda berbuat kebaikan kepada orang lain, maka anda telah berbuat baik terhadap diri
sendiri. ( Benyamin Franklin )
4
PERSEMBAHAN
-
-
5
-
-
-
6
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan, pembawa terang di alam nyata dan sumber dari
segalaNya. Pemilik segala cinta yang senantiasa melimpahkan rahmat dan karunia
kepada kita. Dengan terselesainya Penulisan Hukum (Skripsi) dengan judul
”HUBUNGAN
KERJASAMA
ANTARA
RUMAH
SAKIT
DENGAN
PERUSAHAAN FARMASI DALAM PENGADAAN OBAT-OBATAN DI
RUMAH SAKIT TRIHARSI SURAKARTA”
Penulisan hukum ini dimaksudkan untuk melengkapi salah satu persyaratan
untuk menempuh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sebelas
Maret Surakarta. Juga menambah wawasan atau pengetahuan setiap pembaca karya
ilmiah ini. Penulis menyadari bahwa, terselesainya penulisan hukum ini karena
bantuan, bimbingan, petunjuk, dukungan moral dan spiritual dari berbagai pihak
yang selalu diberikan kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan hukum ini.
Dengan segala kerendahan hati penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Syamsulhadi, dr. Sp., KJ. Selaku Rektor Universitas Sebelas
Maret Surakarta.
2. Bapak Mohammad. Jamin, SH., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan ijin dan
kesempatan bagi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.
3. Bapak Lego Karjoko, SH., MH, selaku pembimbing dalam penyusunan skripsi
yang telah memberikan waktu, tenaga, pemikiran, motivasi dan bimbingannya
kepada penulis, hingga terselesaikannya skripsi ini.
4. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret yang telah
memberikan ilmu kepada penulis, sehingga dapat menjadi bekal dalam
penulisan skripsi ini.
5. Direktur Rumah Sakit Triharsi Surakarta yang telah memberikan ijin kepada
penulis untuk melakukan penelitian di Poltabes Surakarta.
7
6. Kedua orang tuaku yang telah mendidik, mengorbankan semuanya demi anakanaknya, doa, cinta, kasih sayang dan ridho kalian menjadi kekuatan dan bekal
dalam menjalankan kehidupan ini.
7. Keluarga besarku, terima kasih atas perhatian, nasehat, dukungan, doa, dan
pengorbanannya selama ini.
8. Rekan-rekan ku semua terima kasih atas bantuan dan dukungannya selama ini,
sehingga membantu terselesainya skripsi ini.
9. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam penyusunan penulisan hukum
ini, dan teman-teman yang tidak dapat saya sebutkan satu-persatu.
Penulis menyadari bahwa penulisan hukum ini belum sempurna, kritik dan
saran membangun atas penulisan hukum ini senantiasa penulis harapkan demi
perbaikan dan kemajuan penulis di masa datang. Penulis berharap penulisan hukum
ini dapat bermanfaat bagi penulis dan bagi siapa saja yang membacanya.
Surakarta,
Januari 2010
Penulis
8
DAFTAR ISI
Hal.
HALAMAN JUDUL ..........................................................................................
i
HALAMAN PERSETUJUAN............................................................................
ii
HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................
iii
MOTTO
iv
..............................................................................................................
PERSEMBAHAN ............................................................................................... v
KATA PENGANTAR ........................................................................................ vi
DAFTAR ISI.......................................................................................................
viii
ABSTRAK ..........................................................................................................
x
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah..............................................................
1
B. Rumusan Masalah .......................................................................
5
C. Tujuan Penelitian ........................................................................
6
D. Manfaat Penelitian ......................................................................
7
E. Metode Penelitian........................................................................
7
F.
1.
Jenis Penelitian ....................................................................
8
2.
Sifat Penelitian.....................................................................
8
3.
Pendekatan Penelitian ..........................................................
8
4.
Jenis Data.............................................................................
8
5.
Sumber Data ........................................................................
9
6.
Teknik Pengumpulan Data ..................................................
9
7.
Teknik Analisis Data ........................................................... 10
Sistematika Penulisan .................................................................
10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori............................................................................
1.
12
Tinjauan Umum tentang Hukum Kesehatan ....................... 12
a. Pengertian dan Pengaturan Hukum Kesehatan ............ 12
b. Tujuan dan Asas Hukum Kesehatan ............................ 15
2.
Hubungan Hukum antara Rumah Sakit, Dokter dan Pasien 19
9
3.
a.
Hak dan Kewajiban Rumah Sakit .......................................... 19
b.
Hak dan Kewajiban Dokter ...................................................... 21
c.
Hak dan Kewajiban Pasien ....................................................... 23
Hubungan Hukum antara Dokter dengan Perusahaan
Farmasi .................................................................................................... 27
4.
Hubungan Kerjasama antara Rumah Sakit dengan
Perusahaan Farmasi ............................................................................. 30
B. Kerangka Pemikiran ..................................................................................... 40
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Proses Penyusunan Formularium di Rumah Sakit Triharsi
Surakarta .......................................................................................................... 42
B. Perjanjian Pengadaan Obat-obatan antara Rumah Sakit Triharsi
Surakarta dengan Preusan Farmasi .......................................................... 50
C. Masalah-masalah yang Dihadapi Rumah Sakit Triharsi dalam
Pelaksanaan
Perjanjian
Pengadaan
Obat-obatan
antara
Perusahaan Farmasi dengan Rumah Sakit Triharsi ............................ 69
BAB IV PENUTUP
A. Simpulan .......................................................................................................... 74
B. Saran-saran ...................................................................................................... 75
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
10
ABSTRAK
DIAN UMBUL PRAKOSA. E. 1103055. HUBUNGAN KERJASAMA
ANTARA RUMAH SAKIT DENGAN PERUSAHAAN FARMASI DALAM
PENGADAAN OBAT -OBATAN DI RUMAH SAKIT TRIHARSI
SURAKARTA. Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta, Penulisan
Hukum (Skripsi). 2010.
Penulisan Hukum ini bertujuan mengetahui proses penyusunan formularium
di Rumah Sakit Triharsi Surakarta, mengetahui pelaksanaan perjanjian pengadaan
obat-obatan antara antara Rumah Sakit Triharsi Surakarta dengan perusahaan
farmasi serta masalah-masalah yang dihadapi.
Penelitian Hukum ini merupakan penelitian hukum preskriptif dengan
pendekatan perundang-undangan. Lokasi penelitian di Rumah Sakit Triharsi
Surakarta. Teknik pengumpulan data yang dipergunakan yaitu melalui wawancara
dan penelitian kepustakaan baik berupa buku-buku, peraturan perundangundangan, dokumen, internet dan sebagainya. Untuk memperoleh jawaban
terhadap permasalahan penelitian hukum ini digunakan silogisme deduksi dengan
interpretasi gramatikal.
Hasil pengujian terhadap tiga permasalahan diketahui bahwa proses
penyusunan formularium di Rumah Sakit Triharsi Surakarta Sakit juga mengacu
pada pedoman pengobatan yang berlaku, yaitu mulai dari perencanaan, pengadaan,
pemakaian, monitoring, dan evaluasi. Penerapan Formularium Rumah Sakit harus
selalu dipantau. Hasil pemantauan dipakai untuk pelaksanaan evaluasi dan revisi
agar sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran
(Pasal 15 ayat (2) dan (3) Undang-undang No 44 Tahun 2009 tentang Rumah
Sakit). Perjanjian pengadaan obat-obatan antara antara Rumah Sakit Triharsi
surakarta dengan perusahaan farmasi telah sesuai dengan isi atau materi perjanjian
pengadaan obat-obatan yang telah disepakati kedua belah pihak. Dalam hal ini
pihak PT. Yekatria Husada Farma tinggal mengirim obat-obatan yang telah diminta
dan dipesan oleh pihak Rumah Sakit Triharsi. Perjanjian antara Rumah Sakit
Triharsi dengan PT. Yekatria Husada Farma hanya terbatas pada perjajian jual beli
saja, di mana pedagang besar farmasi, yaitu PT. Yekatria Husada Farma sebagai
pemberi kredit atau penjual atau kreditur. Namun demikian, mengenai hal-hal yang
telah dijanjikan sudah merupakan suatu perjanjian yang sah meskipun
hubungannya hanya terbatas pada penjual dan pembeli saja. PT. Yekatria Husada
Farma hanyaakan mengirimkan dan menyerahkan obat-obatan, apabila ada pesanan
dari Rumah Sakit Triharsi akan membayar dengan sejumlah uang mengenai harga
obat yang telah ditentukan dan disepakati. Masalah-masalah yang dihadapi rumah
sakit Triharsi dalam pelaksanaan perjanjian pengadaan obat-obatan antara
perusahaan farmasi dengan Rumah Sakit Triharsi Surakarta adalah salah satu pihak
ingkar janji dan tidak disiplin. Keterlambatan pengiriman obat-obatan dan
penerimaan obat-obatan yang tidak tepat waktunya maupun keterlambatan dalam
hal pembayaran. Apabila kendala tersebut terjadi bukan karena adanya unsur
kesengajaan, maka permasalahan tersebut diselesaikan secara musyawarah tetapi
jika dalam musyarawah tersebut tidak dicapai kata sepakat maka permasalahan
tersebut diselesaikan melalui pengadilan negeri setempat
11
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pembangunan kesehatan merupakan bagian terpadu dari pembangunan
sumber daya manusia, yaitu mewujudkan bangsa yang maju dan mandiri sejahtera
lahir dan batin. Salah satu ciri bangsa yang maju adalah bangsa yang mempunyai
derajat kesehatan yang tinggi dengan mutu kehidupan yang tinggi pula.
Pembangunan manusia seutuhnya harus mencakup aspek jasmani, kejiwaan dan
intelektual di samping aspek spiritual dan kepribadian. Untuk itu pembangunan
kesehatan ditujukan untuk mewujudkan manusia yang sehat, cerdas, produktif dan
mempunyai daya saing yang tinggi. Pembangunan kesehatan manusia dalam tiap
tahap kehidupan tersebut, sesuai dengan permasalahan kesehatan yang dihadapi
selain berperan dalam pembangunan manusia sebagai insan, pembangunan
kesehatan juga berperan penting dalam membangun manusia sebagai sumber daya
pembangunan.
Kesehatan adalah kebutuhan yang sangat penting bagi manusia karena
merupakan modal utama dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Untuk
mewujudkan suatu masyarakat yang mempunyai derajat kesehatan yang tinggi
maka
pelaksanaan
pembangunan
di
sektor
kesehatan
hendaknya
dapat
memperbaiki dan memperbanyak sarana kesehatan, baik oleh pemerintah maupun
pihak swasta. Dengan adanya lembaga kesehatan diharapkan dapat memberikan
pelayanan kesehatan (mulai dari pencegahan hingga pengobatan) yang mempunyai
peranan penting dalam pembangunan kesehatan, yaitu meningkatkan cakupan dan
mutu layanan agar derajat kesehatan masyarakat menjadi lebih baik untuk
mewujudkan manusia yang sehat, cerdas, dan produktif.
12
Dalam rangka lebih meningkatkan pelayanan kesehatan kepada masyarakat
akan dilanjutkan dan ditingkatkan pembangunan serta kemampuan pusat kesehatan
masyarakat dan rumah sakit, penyediaan tenaga medis dan para medis dan
penyediaan obat-obatan yang semakin merata dan terjangkau oleh rakyat banyak.
Hal ini ditujukan untuk mengusahakan kesempatan lebih luas bagi setiap warga
negara guna mendapatkan derajat kesehatan yang sebaik-baiknya. Usaha ini
merupakan salah satu perwujudan dari ide kesejahteraan rakyat.
Dalam bidang hukum, pemerintah berusaha untuk meningkatkan kesehatan
rakyat dengan memberlakukan peraturan yang berkaitan dengan masalah
kesehatan. Dalam Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
ditegaskan bahwa: “Derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya
dilaksanakan berdasarkan prinsip nondiskriminatif, partisipatif, dan berkelanjutan
dalam rangka pembentukan sumber daya manusia Indonesia, serta peningkatan
ketahanan dan daya saing bangsa bagi pembangunan nasional”.
Dokter pada rumah sakit sebagai profesinya tidak terlepas dari aturan
pelaksanaannya dalam Kode Etik Kedokteran. Dalam Pasal 3 Kode Etik
Kedokteran disebutkan bahwa dalam melakukan profesi kedokterannya seorang
dokter tidak boleh dipengaruhi oleh sesuatu yang mengakibatkan hilangnya
kebebasan dan kemandirian profesi. Di dalam penjelasan dari pasal di atas
menyebutkan perbuatan yang dipandang bertentangan dengan etik adalah:
1. setiap perbuatan yang bersifat memuji diri sendiri;
2. secara sendiri atau bersama-sama menerapkan pengetahuan dan keterampilan
kedokteran dalam segala bentuk tanpa kebebasan profesi;
3. menerima imbalan selain daripada yang layak, sesuai dengan jasanya, kecuali
dengan keikhlasan dan pengetahuan dan atau kehendak pasien;
4. membuat ikatan atau menerima imbalan dari perusahaan farmasi/obat,
perusahaan
alat
kesehatan/kedokteran
atau
badan
lain
yang
dapat
mempengaruhi pekerjaan dokter;
13
5. melibatkan diri secara langsung atau tidak langsung untuk mempromosikan
obat, alat, atau bahan lain guna kepentingan dan keuntungan pribadi dokter
(Penjelasan Pasal 3 Kode Etika Kedokteran).
Dalam hal ini dokter pada rumah sakit ditunjuk untuk melakukan jasa, yaitu
melakukan pelayanan dalam rangka menyembuhkan pasien. Dalam hubungan ini
dokter memberikan informasi mengenai obat yang diperlukan oleh pasien. Dokter
pasti mempunyai hubungan dengan penyedia jasa obat (perusahaan farmasi).
Hubungan antara dokter pada rumah sakit dengan perusahaan farmasi dapat
dilakukan dalam bentuk kerjasama pengadaan obat-obatan. Biasanya bentuk
kerjasama yang dilakukan tertuang dalam bentuk perjanjian. Perjanjian adalah
suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada orang lain atau di mana dua orang
itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal (Subekti, 2002: 1). Dengan adanya
perjanjian tercipta perikatan atau hubungan hukum yang menimbulkan hak dan
kewajiban pada masing-masing pihak yang membuat perjanjian. Dengan kata lain,
para pihak terikat untuk memenuhi perjanjian yang telah dibuat. Dengan kata lain,
para pihak terikat untuk mematuhi kontrak yang telah dibuat. Dalam hal ini fungsi
kontrak sama dengan perundang-undangan, tetapi hanya berlaku khusus terhadap
para pembuatnya saja (Sanusi Bintang dan Dahlan, 2000: 15).
Dengan berperannya rumah sakit sebagai pusat informasi medis dan
kesehatan, maka rasionalisasi penyediaan obat akan dapat dicapai dengan
memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan yang sebenarnya. Dengan demikian,
maka segala sesuatu yang ada pada perusahaan dan penyaluran obat-obatan tidak
mungkin akan sampai pada masyarakat apabila tidak melalui apotik dan rumah
sakit maupun toko obat.
Hubungan antara pasien, dokter dan pihak farmasi rumah sakit sebagai
penyedia layanan kesehatan memang unik. Bila pasien menemui seorang dokter,
maka dokter akan memeriksa kondisi kesehatan pasien dan mendiagnosa penyakit.
Di sini dokter berperan memberikan jasa pengetahuannya di bidang medis sehingga
14
bisa diketahui apa yang merupakan kebutuhan kesehatan (Health Needs) dari
pasien. Dokter berperan mengusulkan dan melakukan tindakan medis atau lainnya
yang dianggap bermanfaat bagi pasien, misalnya memberikan obat baik oral
maupun suntik, merujuk rawat inap, atau bahkan sampai pada tindakan operasi.
Dengan kata lain, dokter membantu menciptakan “Demand” pelayanan kesehatan
dari pasiennya.
Peran dokter menentukan arah pengobatan pasien disebut sebagai “Agency
Relationship”, yaitu dokter berperan sebagai ‘agen’ yang mengambil alih sebagian
peran pasien untuk menentukan arah pengobatan bagi si pasien sendiri. Seseorang
yang diindikasikan mempunyai penyakit jantung koroner misalnya akan disarankan
oleh dokter untuk menjalani operasi Coronary Artery Bypass Grafting atau
prosedur lain yang dianggap sesuai. Pasien yang dalam hal ini berada dalam posisi
sebagai konsumen berada pada pihak yang lemah karena ketidaktahuan dan
ketidakmampuannya mendiagnosa apalagi mengobati penyakitnya
sendiri.
Sedangkan dokter mempunyai pengetahuan, keleluasaan, dan pengaruh yang lebih
kepada pasiennya untuk melakukan apa yang dianggap baik untuk pasiennya.
(Diskusi lebih lanjut lihat Phelps, 1997).
Hubungan dokter dengan pasien terletak pada kenyataan bahwa dalam
hubungan ini lekat dengan hidup-matinya seseorang, kecacatan, kesakitan atau
ketidaknyamanan. Dalam posisinya yang sedang menderita penyakit, biasanya
pasien akan langsung menyerahkan status pengobatan dirinya langsung kepada si
dokter tanpa perlu berkonsultasi dengan dokter lainnya (second opinion).
Walaupun merupakan hak seorang pasien, pada prakteknya pasiennya sungkan,
tidak mau, atau tidak mampu mencari second opinion atas pemeriksaan status
kesehatan dan tindakan yang harus dijalaninya. Kondisi tersebut akan berdampal
pada praktek kolusi antara produsen/distributor farmasi dengan dokter. Umumnya,
dokter meresepkan apa yang dianggap dokter akan bermanfaat dalam proses
pengobatan pasiennya. Pasien lalu membeli obat yang diresepkan itu ke apotek.
15
Pasien dihadapkan pada kenyataan bahwa ia harus menerima apapun (dalam hal
jenis dan jumlah obat) yang diresepkan dokter padanya.
Perusahaan farmasi yang mempunyai merek obat komersial kemudian
memanfaatkan kondisi ini dengan memberikan insentif pada sebagian kalangan
dokter untuk meresepkan obat yang diproduksinya. Walau belum ada studi
akademis tentang kolusi dokter dengan perusahaan farmasi di Indonesia, sudah
menjadi rahasia umum bahwa perusahaan farmasi memberikan insentif finansial
atau fasilitas lainnya pada dokter yang meresepkan obat yang mereka produksi.
Kondisi ini kemudian juga membawa efek pada munculnya berbagai praktek
peresepan yang irasional (Irrational Prescribing), dimana dokter meresepkan obat
antiobiotika atau obat lainnya secara tidak semestinya kepada pasien. Dari sebuah
survey, fenomena peresepan irasional ini dilaporkan terjadi luas di Indonesia (Hadi
et al, 2008b). Walau fenomena ini tidak sepenuhnya merupakan akibat dari moral
hazard yang dikemukakan di atas, peresepan irasional akan mengarah pada
inefesiensi (ekonomi biaya tinggi), pembebanan biaya berlebihan pada pasien dan
keluarganya, serta juga bahaya munculnya resistensi obat yang akan berdampak
buruk dalam jangka panjang.
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, penulis tertarik untuk mengkaji
hubungan kerjasama antara dokter pada rumah sakit dengan perusahaan farmasi
dalam pengadaan obat-obatan. Untuk itu penulis dalam penelitian ini mengambil
judul “Hubungan Kerjasama Antara Rumah Sakit dengan Perusahaan
Farmasi dalam Pengadaan Obat-obatan di Rumah Sakit Triharsi Surakarta”.
B. Rumusan Masalah
Agar permasalahan yang diteliti tidak berkembang luas, maka perlu dibatasi
kajiannya yakni tentang hubungan kerjasama antara rumah sakit dengan
16
perusahaan farmasi dalam pengadaan obat-obatan di Rumah Sakit Triharsi
Surakarta. Adapun rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana proses penyusunan formularium di Rumah Sakit Triharsi
Surakarta?
2. Apakah perjanjian pengadaan obat-obatan antara antara Rumah Sakit Triharsi
Surakarta dengan perusahaan farmasi sudah sesuai dengan formularium?
3. Masalah-masalah apakah yang dihadapi Rumah Sakit Triharsi dalam
pelaksanaan perjanjian pengadaan obat-obatan antara perusahaan farmasi
dengan Rumah Sakit Triharsi?
C. Tujuan Penelitian
Suatu penelitian harus mempunyai tujuan yang jelas dan pasti, karena
tujuan akan menjadi pedoman dalam pengadaan penelitian. Adapun tujuan dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Tujuan Objektif
a. Untuk mengetahui proses penyusunan formularium di Rumah Sakit Triharsi
Surakarta.
b. Untuk mengetahui apakah perjanjian pengadaan obat-obatan antara antara
Rumah Sakit Triharsi Surakarta dengan perusahaan farmasi sudah sesuai
dengan formularium.
c. Untuk mengetahui masalah-masalah yang dihadapi Rumah Sakit Triharsi
dalam pelaksanaan perjanjian pengadaan obat-obatan antara perusahaan
farmasi dengan Rumah Sakit Triharsi.
2. Tujuan Subjektif
a. Menambah wawasan pengetahuan serta pemahaman penulis terhadap
penerapan teori-teori yang penulis terima selama menempuh kuliah dalam
mengatasi masalah hubungan kerjasama antara rumah sakit dengan
perusahaan farmasi dalam pengadaan obat-obatan di rumah sakit.
17
b. Memperoleh data-data yang penulis pergunakan dalam penyusunan skripsi
sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar kesarjanaan dalam ilmu
hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.
D. Manfaat Penelitian
Adapun dalam penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik
untuk kepentingan akademis maupun untuk kepentingan praktis, yaitu:
1. Untuk kepentingan akademis hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat
untuk mengembangkan ilmu hukum khususnya dalam bidang Hukum
Administrasi Negara.
2. Dapat dijadikan pertimbangan bagi Rumah Sakit Triharsi mengenai hal-hal
yang perlu diperhatikan dalam melaksanakan kerjasama pengadaan obat-obatan
dengan perusahaan farmasi.
3. Untuk kepentingan praktis, hasil penelitian ini diharapkan akan dapat
memberikan manfaat bagi pengambil kebijakan di Rumah Sakit Triharsi dalam
mengatasi permasalahan-permasalahan yang dihadapi dalam pelaksanaan
perjanjian pengadaan obat-obatan antara perusahaan farmasi dengan Rumah
Sakit Triharsi.
E. Metode Penelitian
Pengertian metode adalah cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk
mencapai suatu maksud (Poerwodarminto, 1976: 64). Penelitian merupakan
kegiatan ilmiah guna menemukan, mengembangkan, atau menguji kebenaran suatu
pengetahuan yang dilakukan secara ilmiah dan sistematis sesuai dengan pedoman
penulisan suatu karya ilmiah. Metode merupakan suatu unsur yang mutlak harus
ada dalam penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan (Soerjono Soekanto,
18
1986: 7). Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian sebagai
berikut:
1. Jenis Penelitian
Dilihat dari jenisnya, penelitian hukum ini merupakan penelitian hukum
normatif atau doktrinal yang merupakan salah satu jenis penelitian kepustakaan
yaitu dalam penelitian ini penulis mencari dan mendapatkan data yang
diperoleh dari sumber kedua, diantaranya yaitu buku-buku referensi, makalah
seminar, dan sumber pustaka lainnnya tentang perjanjian hubungan kerjasama.
Sumber pencarian data berasal dari instansi/lembaga/pusatpusat informasi dan
dokumentasi lain yang memiliki kapasitas untuk menyediakan bahan-bahan
tersebut yaitu: perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Surakarta (UNS) dan sumber-sumber lain yang representatif untuk mendukung
kesempurnaan dan kelengkapan data.
2. Sifat Penelitian
Penelitian yang digunakan bersifat preskriptif merupakan penelitian
hukum dalam rangka untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum,
maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi
(Peter Mahmud, 2006: 35). Penulis mengevaluasi lalu memberikan penilaian
terhadap realitas yang ada di lapangan dengan pendekatan normatif.
3. Pendekatan Penelitian
Menurut
pendekatan
penelitian
ini
menggunakan
pendekatan
perundang-undangan (statue approach), yaitu menelaah undang-undang dan
regulasi yang terkait dengan isu hukum yang diangkat dan pendekatan analisis
hukum (analythical approach), yaitu peneliti akan menelaah mengkaji secara
mendalam atas bunyi teks sebuah peraturan perundang-undangan.
4. Jenis Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder
yaitu berupa data yang diperoleh dari sumber kedua, diantaranya yaitu buku-
19
buku referensi, makalah, dan sumber pustaka lainnya tentang perjanjian
hubungan kerjasama.
5. Sumber Data
Dalam penelitian hukum normatif doktrinal dipergunakan data yang bersifat
sekunder. Data Sekunder merupakan data yang diperoleh dari bahan
kepustakaan, adapun bahan sekunder yang dibutuhkan adalah:
a. Bahan Hukum Primer
Bahan Hukum Primer adalah bahan hukum yang mengikat secara
langsung antara pihak Rumah Sakit Triharsi dengan perusahaan farmasi
yaitu Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Undang-undang Kesehatan No
36 Tahun 2009, Undang-undang Kedokteran No 29 Tahun 2004, Undangundang Farmasi No 7 Tahun 1963.
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan Hukum Sekunder adalah bahan hukum yang memberikan
penjelasan bahan hukum primer yaitu buku-buku, majalah-majalah, karya
ilmiah, hasil penelitian lainnya yang berhubungan dengan permasalahan.
c. Bahan Hukum tersier
Bahan Hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan
petunjuk terhadap bahan hukum primer dan sekunder, yaitu: kamus hukum,
kamus Bahasa Indonesia, dan bahan hukum lainnya yang memberikan
petunjuk dalam penelitian ini.
6. Teknik Pengumpulan Data
a. Wawancara
Teknik pengumpulan data dengan melakukan Tanya jawab dengan
informan yaitu Direktur, Dokter dan Kepala Bagian Pengadaan Obatobaran Rumah Sakit Triharsi Surakarta.
20
b. Penelitian Kepustakaan
Teknik pengumpulan data ini digunakan dalam rangka memperoleh
data sekunder, yaitu dengan cara membaca, mengkaji dan mempelajari
bahan-bahan referensi yang berkaitan dengan materi yang diteliti.
7. Teknik Analisis Data
Untuk memperoleh jawaban terhadap permasalahan penelitian hukum
ini digunakan silogisme deduksi dengan interpretasi gramatikal. Dalam
penelitian ini, penulis menggunakan eknis analisis deduksi. Metode deduksi
adalah metode yang berpangkal dari pengajuan premis mayor yang kemudian
diajukan premis minor dan dari kedua premis tersebut kemudian ditarik suatu
kesimpulan atau conclusion (Peter Mahmud, 2006: 47).
Penelitian hukum yang dilakukan oleh penulis adalah dengan
menggunakan interpretasi gramatikal. Interpretasi gramatikal merupakan cara
penafsiran atau penjelasan untuk mengetahui makna ketentuan undang-undang
dengan menguraikannya menurut bahasa, susun kata atau bunyinya. Makna
ketentuan undang-undang dijelaskan menurut bahasa sehari-hari yang umum.
Hakim tidaklah terikat erat pada bunyi kata-kata dari undang-undang (Sudikno
Mertokusumo dan A.Pitlo, 19993:14).
F. Sistematika Penelitian
Sistematika dalam penulisan hukum ini merupakan suatau uraian mengenai
susunan dari penulisan itu sendiri yang secara teratur dan terperinci disusun dalam
pembabagan, sehingga dapat memberikan suatu gambaran yang jelas tentang apa
yang ditulis. Tiap-tiap bab mempunyai hubungan satu sama lain yang tidak dapat
terpisahkan. Dalam kerangka ini, penulis akan memberikan uraian tentang hal-hal
pokok yang ada dalam penulisan hukum ini. Adapun sistematika penulisan hukum
ini terdiri dari empat bab, yaitu :
21
Pendahuluan, dalam bab ini penulis mengemukakan mengenai latar
belakang masalah yang merupakan hal-hal yang mendorong penulis untuk
mengadakan penelitian, perumusan masalah merupakan inti permasalahan yang
akan diteliti, tujuan penelitian berisi tujuan dari penulis dalam mengadakan
penelitian, manfaat penelitian merupakan hal-hal yang diambil dari hasil penelitian,
metode penelitian berupa jenis penelitian, sifat penelitian, jenis data, sumber data,
teknik pengumpulan data, dan teknik analisis data selanjutnya adalah sistematika
penulisan hukum yang merupakan kerangka atau susunan isi penelitian.
Tinjauan Pustaka, dalam bab ini berisi tentang teori-teori kepustakaan yang
melandasi penelitian serta mendukung di dalam memecahkan masalah yang
diangkat dalam penulisan hukum ini yaitu : tinjauan umum tentang hukum
kesehatan, hubungan hukum antara rumah sakit, dokter dan pasien, hubungan
hukum antara dokter dengan apotek, hubungan kerjasama antara rumah sakit
dengan perusahaan farmasi dan kerangka pemikiran.
Hasil Penelitian dan Pembahasan, dalam bab ini berisi tentang proses
penyusunan formularium di Rumah Sakit Triharsi Surakarta, apakah perjanjian
pengadaan obat-obatan antara antara Rumah Sakit Triharsi Surakarta dengan
perusahaan farmasi sudah sesuai dengan formularium. Masalah-masalah yang
dihadapi Rumah Sakit Triharsi dalam pelaksanaan perjanjian pengadaan obatobatan antara perusahaan farmasi dengan Rumah Sakit Triharsi.
Penutup, dalam bab ini berisi tentang kesimpulan dan saran-saran.
22
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan Umum tentang Hukum Kesehatan
a. Pengertian dan Pengaturan Hukum Kesehatan
Dalam era reformasi saat ini, hukum memegang peran penting
dalam berbagai segi kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Untuk
mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi setiap orang, yang
merupakan bagian integral dari kesejahteraan, diperlukan dukungan hukum
bagi penyelenggaraan berbagai kegiatan di bidang kesehatan. Perubahan
konsep pemikiran penyelenggaraan pembangunan kesehatan tidak dapat
dielakkan. Pada awalnya pembangunan kesehatan bertumpu pada upaya
pengobatan
penyakit
dan
pemulihan
kesehatan,
bergeser
pada
penyelenggaraan upaya kesehatan yang menyeluruh dengan penekanan
pada upaya pencegahan penyakit dan peningkatan kesehatan. Paradigma ini
dikenal dalam kalangan kesehatan sebagai paradigma sehat. Sebagai
konsekuensi logis dari diterimanya paradigma sehat maka segala kegiatan
apapun harus berorientasi pada wawasan kesehatan, tetap dilakukannya
pemeliharaan dan peningkatan kualitas individu, keluarga dan masyarakat
serta lingkungan dan secara terus menerus memelihara dan meningkatkan
pelayanan kesehatan yang bermutu, merata, dan terjangkau serta
mendorong kemandirian masyarakat untuk hidup sehat. Secara ringkas
untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi setiap orang maka
harus secara terus menerus dilakukan perhatian yang sungguh-sungguh bagi
penyelenggaraan pembangunan nasional yang
23
berwawasan kesehatan, adanya jaminan atas pemeliharaan kesehatan,
ditingkatkannya profesionalisme dan dilakukannya desentralisasi bidang
kesehatan.
Kegiatan-kegiatan tersebut sudah barang tentu memerlukan
perangkat hukum kesehatan yang memadai. Perangkat hukum kesehatan
yang memadai
dimaksudkan agar adanya
kepastian hukum
dan
perlindungan yang menyeluruh baik bagi penyelenggara upaya kesehatan
maupun masyarakat penerima pelayanan kesehatan. Pertanyaan yang
muncul kemudian adalah apakah yang dimaksud dengan hukum kesehatan,
apa yang menjadi landasan hukum kesehatan, materi muatan peraturan
perundang-undangan bidang kesehatan, dan hukum kesehatan di masa
mendatang.
Diharapkan
jawaban
atas
pertanyaan
tersebut
dapat
memberikan sumbangan pemikiran, baik secara teoritikal maupun praktikal
terhadap keberadaan hukum kesehatan. Untuk itu dilakukan kajian
normatif, kajian yang mengacu pada hukum sebagai norma dengan
pembatasan pada masalah kesehatan secara umum melalui tradisi keilmuan
hukum.
Hukum adalah peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh
suatu kekuasaan dalam mengatur pergaulan hidup dalam masyarakat agar
masyarakat bisa teratur. Hukum perdata mengatur subjek dan antar subjek
dalam hubungan interrelasi (kedudukan sederajat) (1887). Hukum pidana
adalah peraturan mengenai hikum KUHP di Indonesia (1 Januari 1918)
Hukum kesehatan (No. 36 Tahun 2009) adalah semua ketentuan hukum
yang berhubungan langsung dengan pemeliharaan / pelayanan dan
penerapannya. Yang diatur menyangkut hak dan kewajiban baik perorangan
dan segenap lapisan masyarakat sebagai penerima pelayanan kesehatan
maupun dari pihak penyelenggara pelayanan kesehatan dalam segala
aspeknya, organisasi, sarana pedoman standar pelayanan medik, ilmu
24
pengetahuan kesehatan dan hukum serta sumber-sumber hukum lainnya.
Hukum kesehatan mencakup komponen-komponen yang berhubungan
dengan kesehatan, contohnya hukum pelayanan kesehatan terhadap
keluarga miskin (Gakin).
Dalam hubungan ini hukum kesehatan yang dikaji dibagi dalam 3
(tiga) kelompok sesuai dengan tiga lapisan ilmu hukum yaitu dogmatik
hukum, teori hukum, dan filsafat hukum. Selanjutnya untuk memecahkan
isu hukum, pertanyaan hukum yang timbul maka digunakan pendekatan
konseptual, statuta, historis, dogmatik, dan komparatif. Namun adanya
keterbatasan waktu maka kajian ini dibatasi hanya melihat peraturan
perundang-undangan bidang kesehatan.
Van der Mijn (1984: 2) di dalam makalahnya menyatakan bahwa,
“…health law as the body of rules that relates directly to the care of health
as well as the applications of general civil, criminal, and administrative
law”. Leenen (1981: 22) mendefinisikan hukum kesehatan adalah “…. het
geheel van rechtsregels, dat rechtstreeks bettrekking heft op de zorg voor
de gezondheid en de toepassing van overig burgelijk, administratief en
strafrecht in dat verband. Dit geheel van rechtsregels omvat niet alleen
wettelijk recht en internationale regelingen, maar ook internationale
richtlijnen gewoonterecht en jurisprudenterecht, terwijl ook wetenschap en
literatuur bronnen van recht kunnen zijn”.
Dari apa yang dirumuskan Leenen tersebut memberikan kejelasan
tentang apa yang dimaksudkan dengan cabang baru dalam ilmu hukum,
yaitu hal-hal yang berkaitan dengan pemeliharaan kesehatan (zorg voor de
gezondheid). Rumusan tersebut dapat berlaku secara universal di semua
negara. Dikatakan demikian karena tidak hanya bertumpu pada peraturan
perundang-undangan
saja
tetapi
mencakup
kesepakatan/peraturan
internasional, asas-asas yang berlaku secara internasional, kebiasaan,
yurisprudensi, dan doktrin.
25
Di sini dapat dilukiskan bahwa sumber hukum dalam hukum
kesehatan meliputi hukum tertulis, yurisprudensi, dan doktrin. Dilihat dari
objeknya, maka hukum kesehatan mencakup segala aspek yang berkaitan
dengan pemeliharaan kesehatan (zorg voor de gezondheid). Dengan
demikian dapat dibayangkan bahwa hukum kesehatan cukup luas dan
kompleks. Jayasuriya (1997: 16 – 28) mengidentifikasikan ada 30 (tiga
puluh) jenis peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
kesehatan.
Secara umum dari lingkup hukum kesehatan tersebut, materi muatan
yang dikandung didalamnya pada asasnya adalah memberikan perlindungan
kepada individu, masyarakat, dan memfasilitasi penyelenggaraan upaya
kesehatan agar tujuan kesehatan dapat tercapai. Jayasuriya bertolak dari
materi muatan yang mengatur masalah kesehatan menyatakan ada 5 (lima)
fungsi yang mendasar, yaitu pemberian hak, penyediaan perlindungan,
peningkatan kesehatan, pembiayaan kesehatan, dan penilaian terhadap
kuantitas dan kualitas dalam pemeliharaan kesehatan (Jayasuriya, 1997:
33).
Dalam perjalanannya diingatkan oleh Pinet (1998: 134) bahwa
untuk mewujudkan kesehatan untuk semua, diidentifikasikan faktor
determinan yang mempengaruhi sekurang-kurangnya mencakup, “...
biological, behavioral, environmental, health system, socio economic, socio
cultural, aging the population, science and technology, information and
communication, gender, equity and social justice and human rights”.
b. Tujuan dan Asas Hukum Kesehatan
Secara global menurut Schuyt (1989: 13) bahwa tujuan yang ingin dicapat
adalah:
1) penyelenggaraan ketertiban sosial;
2) pencegahan dari konflik yang tidak menyenangkan;
26
3) jaminan pertumbuhan dan kemandirian penduduk secara individual;
4) penyelenggaraan pembagian tugas dari berbagai peristiwa yang baik
dalam masyarakat;
5) kanalisasi perubahan sosial.
Hermien Hadiati Koeswadji (1998: 22) menyatakan pada asasnya
hukum kesehatan bertumpu pada hak atas pemeliharaan kesehatan sebagai
hak dasar social (the right to health care) yang ditopang oleh 2 (dua) hak
dasar individual yang terdiri dari hak atas informasi (the right to
information) dan hak untuk menentukan nasib sendiri (the right of self
determination).
Sejalan dengan hal tersebut Roscam Abing (1998: 103) mentautkan
hukum kesehatan dengan hak untuk sehat dengan menyatakan bahwa hak
atas pemeliharaan kesehatan mencakup berbagai aspek yang merefleksikan
pemberian perlindungan dan pemberian fasilitas dalam pelaksanaannya.
Untuk merealisasikan hak atas pemeliharaan bisa juga mengandung
pelaksanaan hak untuk hidup, hak atas privasi, dan hak untuk memperoleh
informasi.
Sebenarnya dalam kajian ini akan disajikan menyangkut seluruh
lingkup hukum kesehatan, namun keterbatasan waktu, maka penyajian
dibatasi pada materi muatan peraturan perundang-undangan bidang
kesehatan. Segala sesuatu yang berkaitan dengan kesehatan seringkali
dikatakan sebagian masyarakat kesehatan dengan ucapan saratnya
peraturan. Peraturan dimaksud dapat berupa peraturan perundang-undangan
yang berlaku umum dan berbagai ketentuan internal bagi profesi dan
asosiasi kesehatan. Agar diperoleh gambaran yang lebih menyeluruh maka
digunakan susunan 3 (tiga) komponen dalam suatu sistem hukum seperti
yang dikemukakan Schuyt.(9) Ketiga komponen dimaksud adalah
keseluruhan peraturan, norma dan ketetapan yang dilukiskan sebagai sistem
27
pengertian, betekenissysteem, keseluruhan organisasi dan lembaga yang
mengemban fungsi dalam melakukan tugasnya, organisaties instellingen
dan keseluruhan ketetapan dan penanganan secara konkret telah diambil
dan dilakukan oleh subjek dalam komponen kedua, beslisingen en
handelingen.
Dalam komponen pertama yang dimaksudkan adalah seluruh
peraturan, norma dan prinsip yang ada dalam penyelenggaraan kegiatan di
bidang kesehatan. Bertolak dari hal tersebut dapat diklasifikasikan ada 2
(dua) bentuk, yaitu ketentuan-ketentuan yang dibuat oleh penguasa dan
ketentuan yang dibuat oleh organisasi profesi dan asosiasi kesehatan.
Hubungan antara keduanya adalah ketentuan yang dibuat oleh organisasi
profesi dan asosiasi kesehatan serta sarana kesehatan hanya mengikat ke
dalam dan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan yang dibuat oleh
penguasa. Menurut inventarisasi yang dilakukan terhadap ketentuan yang
dikeluarkan penguasa dalam bentuk peraturan perundang-undangan
terdapat 2 (dua) kategori, yaitu yang bersifat menetapkan dan yang bersifat
mengatur.
Dari sudut pandang materi muatan yang ada dapat dikatakan
mengandung 4 (empat) obyek, yaitu:
1) Pengaturan yang berkaitan dengan upaya kesehatan;
2) Pengaturan yang berkaitan dengan tenaga kesehatan;
3) Pengaturan yang berkaitan dengan sarana kesehatan;
4) Pengaturan yang berkaitan dengan komoditi kesehatan.
Apabila diperhatikan dari ketentuan tersebut terkandung prinsip
perikemanusiaan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, manfaat, usaha
bersama dan kekeluargaan, adil dan merata, perikehidupan dalam
keseimbangan dan kepercayaan pada kemampuan dan kekuatan sendiri.
Selanjutnya dari ketentuan yang ada dalam keputusan dan peraturan yang
28
dibuat oleh organisasi profesi dan asosiasi bidang kesehatan serta sarana
kesehatan adalah mencakup kode etik profesi, kode etik usaha dan berbagai
standar yang harus dilakukan dalam penyelenggaraan upaya kesehatan.
Apabila diperhatikan prinsip-prinsip yang dikandung dalam
ketentuan ini mencakup 4 (empat) prinsip dasar, yaitu autonomy,
beneficence, non maleficence dan justice (Beauchamp dan Childress, 1994:
38). Sebelum memasuki komponen kedua, perlu dibahas terlebih dahulu
komponen ketiga mengenai intervensi yang berupa penanganan yang
dilakukan berdasarkan ketentuan yang diatur. Komponen ini merupakan
aktualisasi terhadap komponen ideal yang ada dalam komponen pertama.
Bila diperhatikan isi ketentuan yang ada dimana diperlukan penanganan
terdapat 4 (empat) sifat, yaitu:
1) Perintah (gebod) yang merupakan kewajiban umum untuk melakukan
sesuatu;
2) Larangan (verbod) yang merupakan kewajiban umum untuk tidak
melakukan sesuatu;
3) Pembebasan (vrijstelling, dispensatie) berupa pembolehan khusus untuk
tidak melakukan sesuatu yang secara umum diharuskan.
4) Izin (toesteming, permissie) berupa pembolehan khusus untuk
melakukan sesuatu yang secara umum dilarang (Bruggink, 1993: 72).
Tindakan penanganan yang dilakukan apakah sudah benar atau tidak,
kiranya dapat diukur dengan tatanan hukum seperti yang dikemukakan oleh
Nonet dan Selznick, yaitu apakah masih bersifat represif, otonomous atau
responsive.
Selanjutnya dengan komponen kedua tentang organisasi yang ada
dalam penyelenggaraan upaya kesehatan dapat dibagi dalam 2 (dua) bagian
besar yaitu organisasi pemerintah dan organisasi/badan swasta. Pada
organisasi pemerintah mencakup aparatur pusat dan daerah serta
29
departemen dan lembaga pemerintah non departemen. Pada sektor swasta
terdapat berbagai organisasi profesi, asosiasi dan sarana kesehatan yang
mempunyai tugas dan fungsi di bidang kesehatan.
2. Hubungan Hukum antara Rumah Sakit, Dokter dan Pasien
Hak dan Kewajiban Pasien atau Dokter dan Rumah sakit merupakan unsur
yang penting untuk diketahui dan dilaksanakan oleh semua pihak untuk
menjaga rasa saling percaya dan hormat menghormati antara pasien, dokter dan
rumah sakit.
a. Hak dan Kewajiban Rumah Sakit
Didalam memberikan pelayanan kepada pasien dan bermitra dengan
dokter rumah sakit memiliki hak dan kewajiban yang diatur sesuai dengan
Kode Etik Rumah Sakit (KODERSI), Surat Edaran Dirjen Yan Med No:
YM 02.04.3.5.2504 tentang Pedoman Hak dan Kewajiban Pasien, Dokter
dan Rumah Sakit. Hak rumah sakit adalah kekuasaan/ kewenangan yang
dimiliki rumah sakit untuk mendapatkan atau memutuskan untuk berbuat
sesuatu
1) Membuat peraturan-peraturan yang berlaku di rumah sakit sesuai
dengan kondisi/keadaan yang ada di rumah sakit tersebut
2) Memasyarakatkan bahwa pasien harus mentaati segala peraturan rumah
sakit
3) Memasyarakatkan bahwa pasien harus mentaati segala instruksi yang
diberikan dokter kepadanya
4) Memilih tenaga dokter yang akan bekerja di rumah sakit melalui panitia
kredential
5) Menuntut pihak-pihak yang telah melakukan wanprestasi (termasuk
pasien, pihak ketiga, dan lain-lain)
6) Mendapat jaminan dan perlindungan hukum
30
7) Hak untuk mendapatkan imbalan jasa pelayanan yang telah diberikan
kepada pasien
Kewajiban Rumah Sakit :
1) Mematuhi peraturan dan perundangan yang dikeluarkan oleh
Pemerintah
2) Memberikan pelayanan pada pasien tanpa membedakan golongan dan
status pasien
3) Merawat pasien sebaik-baiknya dengan tidak membedakan kelas
perawatan (Duty of Care)
4) Menjaga mutu perawatan tanpa membedakan kelas perawatan (Quality
of Care)
5) Memberikan pertolongan pengobatan di Unit Gawat Darurat tanpa
meminta jaminan materi terlebih dahulu
6) Menyediakan sarana dan peralatan umum yang dibutuhkan
7) Menyediakan sarana dan peralatan medik sesuai dengan standar yang
berlaku
8) Menjaga agar semua sarana dan peralatan senantiasa dalam keadaan
siap pakai
9) Merujuk pasien ke rumah sakit lain apabila tidak memiliki sarana,
prasarana, peralatan dan tenaga yang diperlukan
10) Mengusahakan adanya sistem, sarana dan prasarana pencegahan
kecelakaan dan penanggulangan bencana
11) Melindungi dokter dan memberikan bantuan administrasi dan hukum
bilamana dalam melaksanakan tugas dokter tersebut mendapatkan
perlakuan tidak wajar atau tuntutan hukum dari pasien atau keluarganya
12) Mengadakan perjanjian tertulis dengan para dokter yang bekerja di
rumah sakit tersebut
31
13) Membuat standar dan prosedur tetap untuk pelayanan medik, penunjang
medik, maupun non medik.
14) Mematuhi Kode Etik Rumah Sakit
(KODERSI) b. Hak dan Kewajiban Dokter
Didalam memberikan layanan kedokteran, dokter mempunyai hak
dan kewajiban sebagaimana tercantum dalam Dalam Undang-Undang
Republik Indonesia No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktek Kedokteran; Kode
Etik Kedokteran Indonesia; Pernyataan IDI; Lampiran SK PB IDI dan Surat
edaran Dirjen Yanmed No: YM 02.04.3.5.2504 th. 1997 tentang Pedoman
Hak dan Kewajiban Pasien, Dokter dan Rumah Sakit
HAK DOKTER
Hak dokter adalah kekuasaan/kewenangan dokter untuk mendapatkan atau
memutuskan untuk berbuat sesuatu:
1) Hak pemperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas
sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional.
2) Memberikan pelayanan medis menurut standar profesi dan standar
prosedur operasional serta berdasarkan hak otonomi dan kebutuhan
medis pasien yang sesuai dengan jenis dan strata sarana pelayanan
kesehatan
3) Hak untuk menolak keinginan pasien yang bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan, profesi dan etika.
4) Hak untuk mengakhiri/menghentikan jasa profesionalnya kepada pasien
apabila hubungan dengan pasien sudah berkembang begitu buruk
sehingga kerjasama yang baik tidak mungkin diteruskan lagi dan wajib
menyerahkan pasien kepada dokter lain, kecuali untuk pasien gawat
darurat
5) Hak atas 'privacy’ (berhak menuntut apabila nama baiknya dicemarkan
oleh pasien dengan ucapan atau tindakan yang melecehkan atau
memalukan)
32
6) Hak memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien atau
keluarganya
7) Hak atas informasi atau pemberitahuan pertama dalam menghadapi
pasien yang tidak puas terhadap pelayanannya
8) Hak untuk diperlakukan adil dan jujur, baik oleh rumah sakit maupun
oleh pasien.
9) Hak mendapatkan imbalan jasa profesi yang diberikan berdasarkan
perjanjian dan atau ketentuan/peraturan yang berlaku di rumah sakit
KEWAJIBAN DOKTER
1) Mematuhi peraturan rumah sakit sesuai hubungan hukum antara dokter
tersebut dengan rumah sakit
2) Memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar
prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien yang sesuai dengan
jenis dan strata sarana pelayanan kesehatan
3) Merujuk pasien ke dokter lain/rumah sakit lain yang memiliki keahlian
atau kemampuan yang lebih baik, apabila ia tidak mampu melakukan
suatu pemeriksaan atau pengobatan
4) Memberikan kesempatan kepada pasien agar senantiasa dapat
berhubungan dengan keluarga dan dapat menjalankan ibadah sesuai
dengan keyakinanya.
5) Merahasiakan segala sesuatu yang diketahui tentang pasien (menjaga
kerahasiaan pasien) bahkan setelah pasien meninggal dunia.
6) Melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali ia
yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu melaksanakan.
7) Meminta persetujuan pada setiap melakukan tindakan kedokteran,
khusus untuk tindakan yang berisiko persetujuan dinyatakan secara
tertulis. Persetujuan dimintakan setelah dokter menjelaskan tentang :
diagnosa, tujuan tindakan, alternatif tindakan, risiko tindakan,
komplikasi dan prognose.
33
8) Membuat catatan rekam medis yang baik secara berkesinambungan
berkaitan dengan keadaan pasien.
9) Menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu
kedokteran
10) Memenuhi hal- hal yang telah disepakati/perjanjian yang telah
dibuatnya
11) Bekerjasama dengan profesi dan pihak lain yang terkait secara timbal
balik dalam memberikan pelayanan kepada pasien
12) Dokter wajib mengadakan perjanjian tertulis dengan pihak rumah sakit
13) Dalam melakukan praktik kedokteran di Indonesia wajib memiliki surat
izin praktik dokter.
14) Dalam melakukan praktik kedokteran di Indonesia wajib memiliki surat
tanda registrasi dokter dan surat tanda registrasi dokter.
15) Dokter yang berhalangan menyelenggarakan praktik kedokteran harus
membuat pemberitahuan atau menunjuk dokter pengganti
16) Wajib menyelenggarakan kendali mutu dan kendali biaya dalam
memberikan pelayanan kesehatan.
17) Wajib menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan Sumpah
Dokter dan Kode Etik Kedokteran I ndonesia.
c. Hak dan Kewajiban Pasien
Didalam mendapatkan layanan kesehatan, pasien mempunyai hak dan
kewajiban
sebagaimana
Surat
edaran
DirJen
Yan
Medik
No:
YM.02.04.3.5.2504 Tentang Pedoman Hak dan Kewajiban Pasien, Dokter
dan Rumah Sakit, th.1997; Undang-undang Republik Indonesia No. 29
Tahun 2004 Tentang Praktek Kedokteran dan Pernyataan/SK PB. IDI,
sebagai berikut :
HAK PASIEN
Hak pasien adalah hak-hak pribadi yang dimiliki manusia sebagai pasien:
1) Hak memperoleh informasi mengenai tata tertib dan peraturan yang
berlaku di rumah sakit. Hak atas pelayanan yang manusiawi, adil dan
jujur
34
2) Hak untuk mendapatkan pelayanan medis yang bermutu sesuai dengan
standar profesi kedokteran dan tanpa diskriminasi
3) Hak memperoleh asuhan keperawatan sesuai dengan standar profesi
keperawatan
4) Hak untuk memilih dokter dan kelas perawatan sesuai dengan
keinginannya dan sesuai dengan peraturan yang berlaku di rumah sakit
5) Hak dirawat oleh dokter yang secara bebas menentukan pendapat klinik
dan pendapat etisnya tanpa campur tangan dari pihak luar
6) Hak atas 'second opinion' / meminta pendapat dokter lain
7) Hak atas ”privacy” dan kerahasiaan penyakit yang diderita termasuk
data-data medisnya kecuali apabila ditentukan berbeda menurut
peraturan yang berlaku
8) Hak untuk memperoleh informasi /penjelasan secara lengkap tentang
tindakan medik yang akan dilakukan terhadap dirinya.
9) Hak untuk memberikan persetujuan atas tindakan yang akan dilakukan
oleh dokter sehubungan dengan penyakit yang dideritanya
10) Hak untuk menolak tindakan yang hendak dilakukan terhadap dirinya
dan mengakhiri pengobatan serta perawatan atas tanggung jawab sendiri
sesudah memperoleh informasi yang jelas tentang penyakitnya.
11) Hak didampingi keluarga dan atau penasehatnya dalam beribad dan atau
masalah lainya (dalam keadaan kritis atau menjelang kematian).
12) Hak beribadat menurut agama dan kepercayaannya selama tidak
mengganggu ketertiban dan ketenangan umum/pasien lainya.
13) Hak atas keamanan dan keselamatan selama dalam perawatan di rumah
sakit
14) Hak untuk mengajukan usul, saran, perbaikan atas pelayanan rumah
sakit terhadap dirinya
15) Hak menerima atau menolak bimbingan moril maupun spiritual
35
16) Hak transparansi biaya pengobatan/tindakan medis yang akan dilakukan
terhadap dirinya (memeriksa dan mendapatkan penjelasan pembayaran)
17) Hak akses /'inzage' kepada rekam medis/ hak atas kandungan ISI rekam
medis miliknya
KEWAJIBAN PASIEN
1) Memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah
kesehatannya kepada dokter yang merawat
2) Mematuhi nasihat dan petunjuk dokter dan perawat dalam
pengobatanya.
3) Mematuhi ketentuan/peraturan dan tata-tertib yang berlaku di rumah
sakit
4) Memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima.
5) Berkewajiban memenuhi hal-hal yang telah disepakati/perjanjian yang
telah dibuatnya
Dalam banyak kasus, biasanya pasien datang ke dokter atau Rumah
Sakit dalam keadaan pasrah menyerahkan sepenuhnya pengobatan dirinya
kepada dokter atau Rumah Sakit yang merawatnya. Dia tidak perduli lagi
dengan apa yang akan dilakukan dokter terhadap dirinya berkenaan dengan
penyakitnya. Dengan demikian hubungan pasien dan dokter lebih
menyerupai hubungan orang tua dengan anak, atau bersifat ”paternalistik”.
Dengan makin meningkatnya kesadaran masyarakat akan hakhaknya, hubungan pasien dengan dokter atau pasien dengan Rumah Sakit
mengalami perubahan yang cukup berarti. Saat ini pasien menyadari bahwa
dia harus tahu tentang kondisi penyakitnya serta apa yang akan dilakukan
dokter atau Rumah Sakit terhadap dirinya, bahkan sering kali pasien merasa
perlu berdiskusi dengan dokter yang merawatnya. Dengan demikian
hubungan pasien-dokter atau pasien-Rumah Sakit sudah bergeser menjadi
lebih bersifat ”partnership” atau kemitraan. Tanpa kerja sama dengan
36
pasien, dokter tidak mungkin melakukan pemeriksaan dan memberikan
pengobatan secara optimal, dan keberhasilan seluruh perawatan dan
pengobatan seringkali tergantung kerjasama pasien–dokter-tim medis.
Sebagai pasien di Rumah Sakit setiap orang memiliki hak-hak
tertentu yang perlu Anda ketahui. Hak-hak pasien tersebut di antaranya
adalah:
1) Hak untuk mendapatkan pelayanan yang manusiawi,
2) Hak memperoleh asuhan perawatan yang bermutu baik,
3) Hak untuk memilih dokter yang merawat,
4) Hak untuk meminta dokter yang merawat agar mengadakan konsultasi
dengan dokter lain,
5) Hak atas ”privacy” dan kerahasiaan berkenaan penyakit yang diderita,
6) Hak untuk mendapatkan informasi yang jelas tentang: penyakit yang
diderita; tindakan medis apa yang akan dilakukan dan kemungkinan
timbulnya penyulit sebagai akibat tindakan tersebut; alternatif
pengobatan lain; prognosis atau perjalanan penyakit; serta perkiraan
biaya pengobatan,
7) Hak meminta untuk tidak diinformasikan tentang penyakitnya kepada
orang atau pihak lain,
8) Hak untuk menolak tindakan yang akan dilakukan terhadap dirinya,
9) Hak untuk mengajukan keluhan-keluhan dan memperoleh tanggapan
segera,
10) Hak untuk didampingi keluarga pada saat kondisi kritis,
11) Hak mengakhiri pengobatan dan rawat inap atas tanggung jawab sendiri
12) Hak untuk menjalankan ritual agama dan kepercayaannya di Rumah
Sakit, selama tidak mengganggu pengobatan dan pasien yang lain.
Kewajiban
Namun perlu diketahui dan dipahami bahwa selain hak-hak yang Anda
37
miliki seperti tersebut di atas, sebagai pasien di Rumah Sakit Anda juga
harus memenuhi kewajiban-kewajiban pasien yaitu antara lain:
1) Pasien dan keluarganya berkewajiban untuk mentaati segala peraturan
dan tata tertib di Rumah Sakit,
2) Pasien wajib untuk menceritakan secara jujur tentang segala sesuatu
mengenai penyakit yang dideritanya,
3) Pasien berkewajiban untuk mematuhi segala instruksi dokter dalam
rangka pengobatannya,
4) Pasien dan, atau penanggungnya berkewajiban untuk memenuhi segala
perjanjian yang ditandatanganinya.
5) Dokter dan Rumah Sakit juga memiliki hak dan kewajibankewajibannya, sehingga dengan memahami hak dan kewajiban masingmasing diharapkan proses perawatan dan pengobatan di Rumah Sakit
bisa berjalan dengan baik (http://badanmutu.or.id).
3. Hubungan Hukum antara Dokter dengan Perusahaan Farmasi
Kesehatan yang semakin menjadi prioritas manusia menyebabkan
banyak timbulnya bermacam-macam obat, vitamin dan segala yang
berhubungan dengan farmasi. Hal ini memicu pertumbuhan perusahaan
farmasi. Perusahaan farmasi ini saling berlomba untuk menghasilkan
obat/vitamin terbaik dan mencetak penjualan yang tinggi akan produknya.
Salah satu cara yang digunakan oleh perusahaan farmasi ini untuk pencapaian
target penjualan adalah dengan mendekati para dokter sambil mempromosikan
produknya. Biasanya mereka akan memfasilitasi para dokter ke seminarseminar, dengan syarat bahwa produk mereka akan digunakan oleh dokter itu
terhadap pelayanannya kepada pasien. Hal ini jelas pada akhirnya akan
merugikan pihak pasien. Pertama, obat yang diberikan belum tentu obat yang
terbaik untuk kondisi pasien, kedua adalah perusahaan farmasi akan
mempunyai power yang kuat akan harga produk. Karenanya di Indonesia,
38
Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) telah mengeluarkan surat
edaran Nomor 3509/PB/A.3/02/2009 tanggal 27 Januari 2009, yang berisi
imbauan dan larangan bagi dokter dalam hubungannya dengan industri farmasi
untuk mencegah kolusi. Seorang dokter dalam melakukan pekerjaan
kedokteran tidak boleh dipengaruhi oleh sesuatu yang mengakibatkan
hilangnya kebebasan dan kemandirian profesi.
McDonough dan Doucette (2001: 682-692) mengusulkan satu metode
untuk hubungan kerja kolaboratif antara dolter dan perusahaan farmasi, ada
empat tahap yaitu:
a. Profesisional Awareness
Ini merupakan tahapan dasar (baseline). Pada tahap ini masingmasing profesi sekedar saling mengenal dan mengetahui keberadaannya.
Hubungan masih apa adanya hanya sebatas ketika farmasis menerima resep
dari
dokter,
kemudian
meracil
obat
sesuai
dengan
resep
dan
menyerahkannya kepada pasien. Far,asis mungkin mengkontak dokter jika
terjadi hal-hal tidak jelas yang terkait dengan resep (dosis, nama obat, dan
sebagainya), dan menjawab pertanyaan dokter tentang informasi obat, jika
ada. Tidak ada diskusi lebih lanjut apakah obat telah memberikan hasil
optimal kepada pasien.
b. Professional Recognition
Pada tahapan ini usaha untuk meningkatkan frekuensi dan kualitas
hubungan dokter dan farmasis cenderung unilateral, dengan farmasis yang
harus memulai. Farmasis perlu berusaha untuk membuat dokter menjadi
paham tentang apa yang bisa disumbangkan farmasis terhadap pelayanan
pasien, misalnya menunjukkan keahliannya dalam memberikan informasi
obat yang up to date, memberikan alternatif obat untuk kondisi-kondisi
khusus pasien, dan sebagainya. Berdasarkan hal itu dokter dapat
39
membangun dasar kebercayaan dan menumbuhkan komitmen terhadap
hubungan kerja sama dengan farmasis.
c. Exploration and Trial
Setelah bentuk hubungan kerja sama di sepakati untuk berlanjut,
masuklah pada tahap kedua. Pada tahapan ini partisipan (dokter dan
farmasis) akan menuji kekompakkan, harapan, kepercayaan dan komitmen
mereka terhadap hubungan kerjasama. Dokter mnungkin akan memutuskan
untuk merujuk pasien ke farmasis untuk hal-hal yang terkait dengan obat,
misalnya penyesuaian dosis dan konseling obat, dan mengevaluasi
kompetensi farmasis untuk memutuskan apakah kerjasama ini cukup
bermanfaat dan dapat dilanjutkan. Sebaliknya, farmasis juga dapat menilai
apakah dokter tersebut dapat diajak bekerjasama yang positif.
Pada tahapan ini, jika harapan dokter terhadap farmasisi terpenuhi,
dokter akan memberikan kepercayaan kepada farmasis untuk meneruskan
kerjasama dan bersama-sama memberikan pelayanan yang terbaik pada
pasien. Sebaliknya, jika ternyata harapan masing-masing tidak terpenuhi
dari adanya hubungan ini, maka hubungan kerjasama mungkin akan
berakhir.
d. Professional relationship expansion
Pada tahap ini kuncinya adalah komunikasi, pengembangan norma
tau aturan yang disepakati, penilaian performance, dan resolusi konflik.
Pada fase ini upaya pertukaran masih belum seimbang, dengan farmasis
masih
perlu secara
terus
menerus mengkomunikasikan mengenai
manfaatnya bagi pasien jika mendapat pelayanan farmasi yang tepat. Jika
performance farmasis sesuai dengan ekspektasi dokter, dokter dan farmasis
secara pelan-pelan akan menetapkan lingkup dan kedalaman saling
ketergantungan (interdependence) mereka. Tujuannya adalah memelihara
40
atau meningkatkan kualitas pertukaran sehingga hubungan profesional
dapat terus dikembangkan.
e. Commitment to the collaborative working relationship
Kolaborasi akan semakin mungkin terwujud jika dokter telah
melihat bahwa dengan adanya kerjasama dengan farmasis risiko praktik
pelayanannya menjadi lebih kecil, dan banyak nilai tambah yang diperoleh
dari kepuasan pasien. Komitmen akan lebih mungkin tercapai jika uasaha
dan keinginan berkerja sama dari masing-masing pihak relative sama.
Dokter akan mengandalkan pengetahuan dan keahlian farmasis mengenai
obat-obatan, sementara farmasis akan bersandar pada informasi klinis yang
diberikan oleh dokter ketika akan membantu memanage terapi pasien. Pada
tahap ini pertemuan tatap muka untuk mendiskusikan masalah pasien,
masalah pelayanan, dan hal-hal lain harus dijadwalkan, dan bisa
dikembangkan bersama tenaga kesehatan yang lain. Selain itu, adanya
komitmen kerja sama ini perlu diformulasikan kepada tenaga kesehatan
yang lain sehingga mereka dapat turut terlibat didalamnya.
4. Hubungan Kerjasama antara Rumah Sakit dengan Perusahaan Farmasi
Tenaga kesehatan yang memgang peranan cukup penting di rumah sakit
adalah dokter, di samping tenaga kesehatan lainnya. Setiap perilaku profesional
dokter di rumah sakit dapat disoroti dari segi etik maupun hukum. Pelanggaran
atas norma etik maupun yuridis akan meminta pertanggungjawaan dari
pelanggarnya. Dalam hal dokter di rumah sakit, maka baik dokter maupun
rumah sakit adalah subyek yang dapat dimintai pertanggungjawabannya baik
secara etis maupun yuridis. Dari segi etis, baik dokter maupun rumah sakit
telah memiliki kode etiknya masing-masing (kode etik kedokteran dan kode
etik rumah sakit). Dalam hal terjadi pelanggaran etika kedokteran, maka dokter
pelanggar itulah yang bertanggung jawab, sedangkan bila yang dilanggar
adalah etika rumah sakit, maka rumah sakit itulah yang bertanggung jawab.
41
Dari segi yuridis, pertanggungjawaban (perdata) atas kerugian yang
diderita pasien dapat terletak pada dokter atau rumah sakit. Hal ini tergantung
pada status hubungan kerja dokter tersebut dengan rumah sakit dan jenis kasus
yang terjadi. Layanan rumah sakit dan layanan apotik institusional lainnya telah
berubah secara dramatis dalam satu dekade ini. Perubahan-perubahan tersebut
sejajat dengan perubahan pada sistem perawatan kesehatan. Jenis-jenis obat
yang baru bermunculan dan teknologi yang inovatif telah mengubah cara
penyaluran, penelusuran, dan pemberian obat (Lawrence F. Wolper, 2001:
176).
Sistem informasi apotik dan rumah sakit membantu dokter dan apoteker
dalam menyeleksi, memantau dan mengevaluasi efek dari obat. Perubahanperubahan ini telah mendorong apotik berperan lebih proaktif dalam sistem
perawatan kesehatan. Oleh karena itu, untuk dapat memenuhi kebutuhan obatobatan yang diperlukan, maka rumah sakit menjalin kerjasama dengan
perusahaan farmasi. Kerjasama yang terjadi antara rumah sakit dengan
perusahaan farmasi dituangkan dalam bentuk perjanjian. Bentuk perjanjian
tersebut adalah perjanjian jual-beli.
Jual beli adalah perjanjian konsensuil sebagaimana diatur dalam Pasal
1548 KUH Perdata yang berbunyi: “Jual beli itu dianggap telah terjadi antara
kedua belah pihak, seketika setelahnya orang-orang ini mencapai sepakat
tentang kebendaan tersebut dan harganya, meskipun kebendaan itu belum
diserahkan, maupun harganya belum dibayar”. Berdasarkan rumusan pasal di
atas, secara sederhana dapat dikatakan bahwa pada dasarnya setiap
pemerimaan, yang diwujudkan dalam bentuk pernyataan penerimaan, baik yang
dilakukan secara lisan, maupun yang dibut dalam bentuk tertulis, menunjukkan
saat lahirnya perjanjian.
Jual beli adalah perjanjian yang melahirkan perikatan untuk membrikan
sesatu pada kedua belah pihak dalam perjanjian. Jual beli sebagai perjanjian
42
yang melahirkan perikatan untuk menyerahkan sesuatu, maka dalam konteks
kebendaan yang diperjualbelikan, ditentukan dalam rumusan umum ketentuan
Pasal 1332 dan Pasal 1333 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Pasal 1332
menyebutkan bahwa hanya kebendaan yang dapat diperdagangkan saja yang
dapat menjadi pokok perjanjian. Adapun dalam Pasal 1333 menyebutkan
bahwa suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok perjanjian berupa
suatu kebendaan yang paling sedikit ditentukan jenisnya. Selanjutnya, tidaklah
menjadi halangan bahwa jumlah kebendaan tidak tentu, asal saja jumlah itu
kemudian dapat ditentukan atau dihitung.
Dengan demikian jelaslah bahwa kebendaan yang merupakan obyek
perjanjian yang diperjualbelikan merupakan suatu hal yang mutlak sudah harus
ditentukan, dan bahwa sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1458 Kitab
Undang-undang Hukum Perdata bahwa: “Jual beli itu dianggap telah terjadi
antara kedua belah pihak, seketika setelahnya orang-orang ini mencapai sepakat
tentang kebendaan tersebut dan harganya, meskipun kebendaan itu belum
diserahkan, maupun harganya belum dibayar”. Tanpa adanya obyek jual beli
yang tertentu tersebut, yang telah ditentukan dan disepakati oleh pembeli dan
penjual, maka tidak mungkin ada jual beli. Jika bukan benda tersebut yang akan
diperjualbelikan, maka jual beli tidak akan terjadi. Hal ini sesuai dengan syarat
obyektif sahnya suatu perjanjian.
Jual beli adalah suatu perjanjian bertimbal balik dalam mana pihak yang
satu (si penjual) berjanji untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang,
sedangkan pihak yang lainnya (si pembeli) berjanji untuk membayar harga
yang terdiri atas sejumlah uang sebagai imbalan dari perolehan hak milik
tersebut (R. Subekti, 1995: 1). Perkataan jual-beli menunjukkan bahwa dari
satu pihak perbuatan dinamakan menjual, sedangkan dari pihak yang lain
dinamakan membeli. Istilah yang mencakup dua perbuatan yang bertimbal
balik itu adalah sesuai dengan istilah Belanda “koop en verkoop” yang juga
43
mengandung pengrtian bahwa pihak yang satu “verkoopt” (menjual) sedang
yang lainnya “koopt” (membeli).
Benda yang menjadi obyek perjanjian jual beli harus cukup tertentu,
setidak-tidaknya dapat ditentukan wujud dalam jumlahnya pada saat ia akan
diserahkan hak miliknya kepada si pembeli. Dengan demikian adalah sah
menurut hukum, misalnya jual-beli mengenai panenan yang akan diperoleh
pada suatu waktu dari sebidang tanah tertentu.
Unsur-unsur pokok perjanjian jual-beli adalah barang dan harga. Sesuai
dengan asas konsensualisme yang menjiwai hukum perjanjian hukum perdata
di mana perjanjian jual-beli itu sudah dilahirkan pada detik tercapainya sepakat
mengenai barang dan harga. Begitu kedua belah pihak setuju tentang barang
dan harga, maka lahirlah perjanjian jual-beli yang sah (R. Subekti, 1995: 1).
Konsensualisme berasal dari kata “konsensus” yang berarti kesepakata.
Dengan kesepakatan dimaksudkan bahwa di antara pihak-pihak yang
bersangkutan tercapai suatu persesuaian kehendak. Artinya, apa yang
dikehendaki oleh yang satu adalah pula yang dikehendaki oleh yang lain.
Kedua kehendak itu bertemu dalam “sepakat” tersebut. Tercapainya sepakat ini
dinyatakan oleh kedua belah pihak dengan mengucapkan perkataan, miaslnya:
setuju atau dengan bersama-sama menaruh tanda tangan di bawah pernyataanpernyataan tertulis sebagai tanda (bukti) bahwa kedua belah pihak telah
menyetujui segala apa yang tertera di atas tulisan itu.
Sebagaimana diketahui, hukum perjanjian menurut Kitab Undangundang Hukum Perdata menganut asas konsesualisme. Artinya ialah hukum
perjanjian menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata itu menganut suatu
asas bahwa untuk melahirkan perjanjian cukup dengan sepakat saja dan bahwa
perjanjian itu (dan dengan demikian “perikatan” yang ditimbulkan karenanya)
sudah dilahirkan pada saat atau detik tercapainya konsensus sebagaimana
44
dimaksudkan di atas. Pada detik tersebut perjanjian sudah jadi dan mengikat,
bukannya pada detik-detik lain yang kemudian atau yang sebelumnya.
Oleh karena itu, jual beli adalah perjanjian yang bersifat konsensuil,
dengan pengertian bahwa jual beli telah lahir dan mengikat para pihak, yaitu
penjual dan pembeli segera setelah mencapai kata sepakat mengenai kebendaan
yang diperjualbelikan dan harga yang harus dibayar. Menurut Subekti, asas
konsensualisme dapat ditemukan dalam Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum
Perdata, yaitu pasal-pasal yang mengatur tentang syarat-syarat sahnya suatu
perjanjian dan tidak dari Pasal 1338 (1) sebagaimana diajarkan oleh beberapa
penulis. Pasal 1338 ayat (1) berbunyi: “semua perjanjian yang dibuat secara sah
berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”, maksud dari
pasal tersebut adalah untuk menyatakan tentang kekuatan perjanjian, yaitu
kekukatan yang sama dengan suatu undang-undang. Kekuatan seperti itu diberikan
kepada semua perjanjian yang dibuat secara sah. Perjanjian yang sah adalah
perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum
Perdata yang menyebutkan satu persatu syarat-syarat untuk perjanjian yang sah itu.
Syarat-syarat itu adalah: 1. sepakat, 2. kecakapan,
3. hal tertentu, dan 4. causa (sebab isi) yang halal. Dengan hanya disebutkannya
sepakat saja tanpa dituntutnya sesuatu bentuk cara (formalitas) apapun, seperti
tulisan, pemberian tanda atau panjer dan lain sebagainya, maka dapat
disimpulkan bahwa bilamana sudah tercapai sepakat itu, maka sahlah sudah
perjanjian itu atau mengikatlah perjanjian itu atau berlakulah ia sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Adanya yang dinamakan perjanjian-perjanjian formal atau pula yang
dinamakan perjanjian-perjanjian riil itu merupakan kekecualian. Perjanjian
formal adalah misalnya perjanjian perdamaian yang menurut Pasal 1851 (2)
KUH Perdata harus diadakan secara tertulis, jika tidak maka tidak sah. Adapun
perjanjian riil, misalnya adalah perjanjian pinjam-pakai yang menurut Pasal
45
1740 KUH Perdata baru tercipta dengan diserahkannya barang yang menjadi
obyeknya atau perjanjian penitipan yang menurut Pasal 1694 KUH Perdata
baru terjadi dengan diserahkannya barang yang dititipkan. Untuk perjanjianperjanjian ini tidak cukup dengan adanya sepakat saja, tetapi di samping itu
diperlukan suatu formalitas atau suatu perbuatan yang nyata (riil).
Oleh karena itu, jelas kiranya bahwa asas konsensualisme tersebut
disimpulkan dari Pasal 1320 KUH Perdata dan bukan dari Pasal 1338 (1) KUH
Perdata. Berdasarkan Pasal 1338 (1) KUH Perdata ini lazim disimpulkan suatu
asas lain dari hukum perjanjian KUH Perdata, yaitu adanya atau dianutnya
sistem terbuka atau asas kebebasan berkontrak (beginsel der contractsvrijheid).
Adapun cara menyimpulkannya ialah dengan jalan menekankan pada
perkataan “semua” yang ada dimuka perkataan “perjanjian”. Dikatakan bahwa
Pasal 1338 (1) KUH Perdata itu seolah-olah membuat suatu pernyataan
diperbolehkannya membuat perjanjian apa saja dan itu akan mengikat kita
sebagaimana mengikatnya undang-undang. Pembatasan terhadap kebebasan itu
hanya berupa apa yang dinamakan “ketertiban dan kesusilaan umum”.
Sifat konsensual dari jual-beli juga ditegaskan dalam Pasal 1458 KUH
Perdata yang berbunyi: “Jual-beli dianggap sudah terjadi antara kedua belah
pihak seketika setelah mereka mencapai sepakat tentang barang dan harga,
meskipun barang itu belum diserahkan maupun harganya belum dibayar”.
Hukum perjanjian mengambil asas konsensualisme yang berarti
perkataan sudah mengikat adalah suatu tuntutan kesusilaan. Hal tersebut
merupakan puncak peningkatan martabat manusia yang tersimpul dalam
pepatah een man een man, een woord een woord, yang maksudnya adalah
bahwa dengan diletakkannya kepercayaan pada perkataan orang, maka orang
tersebut
ditingkatkan
martabatnya
setinggi-tingginya
sebagai
manusia.
Berdasarkaan pernyataan tersebut, orang harus dapat dipegang perkataannya itu
adalah suatu tuntutan kesusilaan, memang benar bahwa jika orang ingin
46
dihargai sebagai manusia, maka ia harus dapat dipegang perkataannya atau
ucapannya. Namun bagi hukum yang ingin menyelenggarakan ketertiban dan
menegakkan keadilan dalam masyarakat, asas konsensualisme itu merupakan
suatu tuntutan kepastian hukum. Bahwa orang yang hidup dalam masyarakat
yang teratur harus dapat dipegang perkataan atau ucapannya itu merupakan
suatu tuntutan kepastian hukum yang merupakan satu sendi yang mutlak dari
suatu tata hukum yang baik. Pasal 1338 (1) KUH Perdata yang menyatakan
bahwa perjanjian mengikat sebagai undang-undang tidak memberikan kriteria
untuk apa yang dinamakannya perjanjian itu. Menurut Pasal 1320 KUH Perdata
perjanjian itu cukup apabila sudah tercapai sepakat (konsensus). Inilah yang
kemudian dinamakan konsensualisme.
Kesepakatan berarti persesuaian kehendak. Namun kehendak atau
keinginan ini harus dinyatakan. Kehendak atau keinginan yang disimpan di
dalam hati, tidak mungkin diketahui pihak lain dan karenanya tidak mungkin
melahirkan sepakat yang diperlukan untuk melahirkan suatu perjanjian.
Menyatakan kehendak ini tidak terbatas pada mengucapkan perkataanperkataan, ia dapat dicapai pula dengan memberikan tanda-tanda apa saja yang
dapat menterjemahkan kehendak itu, baik oleh pihak yang mengambil prakarsa,
yaitu pihak yang menerima penawaran tersebut.
Dengan demikian, maka yang akan menjadi alat pengukur tentang
tercapainya persesuaian kehendak tersebut adalah pernyataan-pernyataan yang
telah dilakukan oleh kedua belah pihak. Undang-undang berpangkal pada asas
konsensualisme, namun untuk menilai apakah telah tercapai konsensus, maka
harus berpijak pada pernyataan-pernyataan yang telah dilakukan oleh kedua
belah pihak dan ini juga merupakan tuntutan kepastian hukum.
Pernyataan timbal-balik dari kedua belah pihak merupakan sumber
untuk menetapkan hak dan kewajiban bertimbal balik di antara mereka. Dapat
diktakan bahwa menurut ajaran yang sekarang dianut dan juga menurut
yurisprudensi, pernyataan yang boleh dipegang untuk dijadikan dasar sepakat
47
adalah pernyataan yang secara objeitf dapat dipercaya. Suatu pernyataan yang
dilakukan secara tidak sungguh-sungguh atau yang mengandung suatu
kekhilafan atau kekeliruan tidak boleh dipegang untuk dijadikan dasar
kesepakatan.
Oleh karena itu, sudah tepat apabila adanya konsensus tersebut diukur
dengan pernyataan-pernyataan yang secara bertimbal-balik telah dikeluarkan.
Berdasarkan pernyataan-pernyataan bertimbal-balik itu dianggap bahwa sudah
dilahirkan sepakat yang sekaligus melahirkan perjanjian yang mengikat seperti
(undang-undang). Dengan demikian, akan menjadi jelas apa saja hak dan
kewajiban para pihak.
Sebagaimana diatur dalam pasal 1457 Kitab Undang-undang Hukum
Perdata yang merumuskan jual beli sebagai suatu persetujuan dengan mana
pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan dan
pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan. Berdasarkan
rumusan tersebut dapat diketahui bahwa jual beli melahirkan kewajiban secara
bertimbal balik kepada para pihak yang membuat perjanjian (jual beli) tersebut.
Dari sisi penjal, penjual diwajibkan untuk menyerahkan suatu kebendaan yang
menurut ketentuan Pasal 1332 jo. Pasal 1333 ayat (1) Kitab Undang-undang
Hukum Perdata haruslah kebendaan yang dapat diperdagangkan dan paling
sedikit telah ditentukan jenisnya. Selanjutnya dari sisi pembeli, pembeli
diwajibkan untuk membayar harga pembelian kebendaan tersebut, yang juga
merupakan suatu bentuk perikatan untuk memberikan sesuatu yang dalam hal
ini adalah uang yang telah ditentukan nilai mata uang dan jumlahnya.
Kitab Undang-undang Hukum Perdata tidak memberikan penjelasan
lebih lanjut mengenai pemenuhan persyaratan subyektif dalam jual beli. Oleh
karena itu, maka terhadap pemenuhan syarat subyektif ini dapat ditemukan
dalam ketentuan umum sebagaimana diatur dalam:
48
1. Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang bersifat umum,
yang mengatur megenai syarat-syarat sahnya perjanjian, dan Pasal 1321
hingga Pasal 1328 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yang
berhubungan dengan ketiadaan kesepakatan bebas, dan pasal 1329 sampai
Pasal 1331 Kitab Undang-undang Hukum Perdata sehubungan dengan
ketidakcakapan untuk bertindak.
2. Pasal 1446 hingga Pasal 1450 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yang
berhubungan dengan ketiada pemenuhan syarat-syarat subyektif dalam
perikatan, dan Pasal 1451 dan Pasal 1452 KUH Perdata mengenai akibat
pembatalan perjanjian yang tidak memenuhi syarat subyektif
Dengan kesepakatan tersebut, pembeli terikat dengan kewajiban untuk
membayar harga pembelian, dan penjual terikat untuk menyerahkan kebendaan
yang dijual tersebut. Penyerahan tersebut, oleh penjual kepada pembeli
menurut ketentuan Pasal 1459 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang
menyatakan bahwa hak milik atas barang yang dijual tidak pindah kepada
pembeli selama barang itu belum diserahkan menurut Pasal 612, 613, dan 616
KUH Perdata. Ketentuan dalam pasal ini merupakan cara peralihan hak milik
dari kebendaan yang dijual tersebut.
Dalam kaitannya dengan permasalahan penyerahan hak milik ini, perlu
memperhatikan pula ketentuan Pasal 584 Kitab Undang-undang Hukum
Perdata yang menyatakan bahwa: “Hak milik atas suatu benda tidak dapat
diperoleh dengan cara lain, melainkan dengan pemilikan, karena perlekatan,
karena daluwarsa, karena pewarisan, baik menurut undang-undang maupun
menurut surat wasiat, dan dengan penunjukkan atau penyerahan berdasarkan
suatu peristiwa perdata untuk pemindahan hak milik, yang dilakukan oleh
orang yang berhak untuk berbuat bebas terhadap barang itu”.
Ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 584 Kitab Undang-undang
Hukum Perdata tersebut adalah bersifat mutlak dan tidak dapat ditawar-tawar
49
oleh siapapun juga. Ketentuan yang bersifat memaksa ini harus ditaati oleh
siapa saja. Dengan demikian, tidak mungkin terdapat cara memperoleh hak
milik selain dari yang diatur dalam Pasal 584 Kitab Undang-undang Hukum
Perdata.
Oleh karena itu, jual beli adalah perjanjian yang bertimbal balik yang
melibatkan
eksistensi
dari
sekurang-kurangnya
dua
perikatan
(untuk
memberikan sesuatu) secara bertimbal balik. Ini berarti dalam jual beli secara
tidak langsung juga, jika memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata,
menerbitkan atau melahirkan hak dan kewajiban secara bertimbal balik pada
kedua belah pihak yang ada dalam jual beli tersebut (yaitu penjual dan
pembeli).
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dikatakan bahwa hubungan
kerjasama antara rumah sakit dengan perusahaan farmasi merupakan kerjasama
jual beli obat-obatan. Dikatakan demikian, karena antara rumah sakit dengan
perusahaan farmasi dalam pengadaan obat-obatan, tertuang dalam bentuk
perjanjian. Perjanjian tersebut adalah perjanjian jual beli.
B. Kerangka Pemikiran
Peraturan Perundang-undangan
1. UU No 36 Th 2009 ttg Kesehatan
2. UU No 29 Th 2004 ttg Kedokteran
3. UU No 7 Th 1963 ttg Farmasi
50
Peristiwa Hukum
terdapat kerjasama
antara RS dengan Perusahaan
Farmasi dalam Pengadaan
Obat-obatan di RS Triharsi
Surakarta
Kesimpulan
Kerjasama RS Triharsi dg
Perusahaan Farmasi dalam
Pengadaan Obat-obatan sudah
sesuai dengan daftar
formularium
Dalam rangka memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum,
untuk meningkatkan, mengarahkan dan memberi landasan hukum serta menata
kembali berbagai perangkat hukum yang mengatur penyelenggaraan praktik
kedokteran agar dapat berjalan sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi maka perlu diatur praktik kedokteran dalam suatu undang-undang. Untuk
itu, perlu dibentuk undang-undang berkaitan dengan kesehatan, dokter, farmasi
Formularium rumah sakit merupakan daftar obat yang disepakati bersama
informasinya yang harus diterapkan di rumah sakit. Formularium rumah sakit
disusun oleh Panitia Farmasi dan Terapi (PFT)/Komite Farmasi dan Terapi (KFT)
rumah sakit berdasarkan Daftar Obat
Esensial Nasioanl (DOEN) dan
disempurnakan dengan mempertimbangkan obat lainyang terbukti secara ilmiah
dibutuhkan untuk pelayanan di rumah sakit. Penyusunan formularium rumah sakit
51
harus selalu dipantau. Hasil pemantauan dipalai untuk pelaksanaan evaluasi dan
revisi agar sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
kedokteran.
(1) Van der Mijn, 1984, ”The Development of Health Law in the Nederlands”,
Makalah yang disampaikan dalam Seminar Sehari ”Issues of Health Law”, Tim
Pengkajian Hukum Kedokteran, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen
52
Kehakiman RI bekerja sama dengan PERHUKI dan PB IDI, Jakarta, hal 2.
(2)
H.J.J. Leenen, 1981, Gezondheidszorg en recht, een gezondheidsrechtelijke
studie,
(3)
Samson
uitgeverij,
alphen aan
den
rijn/Brussel,
hal
22.
D.C.Jayasuriya, 1997, Health Law, International and Regional Perspectives,
Har-Anand
Publication
(4)
PUT
Ltd, New
Delhi
Ibid,
India,
hal
16-28.
hal
33.
(5) Genevieve Pinet, 1998, “Health Challenges of The 21st Century a Legislative
Approach to Health Determinants”, Artikel dalam International Digest of Health
Legislations,
Vol
49
No.
1,
1998,
Geneve,
hal
134.
(6) Hermien Hadiati Koeswadji, 1998, Hukum Kedokteran, Studi Tentang
Hubungan Hukum Dalam Mana Dokter Sebagai Salah Satu Pihak, PT. Citra Aditya
Bakti,
Bandung,
hal
22.
(7) Roscam Abing, 1998, “Health, Human Rights and Health Law The Move
Towards Internationalization With Special Emphasis on Europe” dalam journal
International Digest of Health Legislations, Vol 49 No. 1, 1998, Geneve, hal 103
dan
107.
(8) HJJ. Leenen, 1981, Recht en Plicht in de Gezondheidszorg, Samson Uitgeverij,
Alphen
aan
den
Rijn/Brussel.
(9) Schuyt, 1983, Recht en Samenleving, van Gorcum, Assen, hal 11-12.
(10) Lihat Pasal 2 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
(11) Lihat Tom L. Beauchamp dan James F. Childress, Principles of Biomedical
Ethics,
1994,
Oxford
University
Press,
New
(12) Bruggink, 1993, Rechtsrefleeties, Grondbegrippen
Kluwer,
(13)
Responsive
Law,
Schuyt,
hal
Hasper
op.cit,
Torch
38.
uit de Rechtstheorie,
hal
Philipie Nonet dan Philip Selznick, 1978, Law and
Toward,
(14)
Deventer,
York,
72.
Society in Transition,
Books,
hal
New
York.
19.
(15) Hermin Hadiati Koeswadji, 2002, Hukum Untuk Perumahsakitan, PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung, hal 17-18.
53
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Proses Penyusunan Formularium di Rumah Sakit Triharsi Surakarta
Formularium adalah himpunan obat yang diterima/disetujui oleh Tim
Farmasi dan Terapi untuk digunakan di rumah sakit dan dapat direvisi pada
setiap batas waktu yang ditentukan. Komposisi Formularium : Halaman judul
Daftar nama anggota Tim Farmasi dan Terapi Daftar Isi Informasi mengenai
kebijakan dan prosedur di bidang obat. Sistem yang dipakai adalah suatu sistem
dimana prosesnya tetap berjalan terus, dalam arti kata bahwa sementara
Formularium itu digunakan oleh staf medis, di lain pihak Tim Farmasi dan
Terapi mengadakan evaluasi dan menentukan pilihan terhadap produk obat
yang ada di pasaran, dengan lebih mempertimbangkan kesejahteraan pasien.
Pedoman penggunaan yang digunakan akan memberikan petunjuk kepada
dokter, apoteker perawat serta petugas administrasi di rumah sakit dalam
menerapkan sistem formularium. Meliputi :
1. Membuat kesepakatan antara staf medis dari berbagai disiplin ilmu dengan
Tim Farmasi dan Terapi dalam menentukan kerangka mengenai tujuan,
organisasi, fungsi dan ruang lingkup. Staf medis harus mendukung Sistem
Formularium yang diusulkan oleh Tim Farmasi dan Terapi.
2. Staf medis harus dapat menyesuaikan sistem yang berlaku dengan
kebutuhan tiap-tiap institusi.
3. Staf medis harus menerima kebijakan-kebijakan dan prosedur yang ditulis
oleh Tim Farmasi dan Terapi untuk menguasai sistem Formularium yang
dikembangkan oleh Tim Farmasi dan terapi.
4. Membatasi jumlah produk obat yang secara rutin harus tersedia di Instalasi
Farmasi.
54
5. Membuat prosedur yang mengatur pendistribusian obat yang efek terapinya
sama, seperti :
a. Apoteker bertanggung jawab untuk menentukan jenis obat yang sama
untuk disalurkan kepada dokter sesuai produk asli yang diminta.
b. Dokter yang mempunyai pilihan terhadap obat paten tertentu
c. Apoteker harus didasarkan pada pertimbangan farmakologi dan terapi.
bertanggung jawab terhadap kualitas, kuantitas, dan sumber obat dari
sediaan kimia, biologi dan sediaan farmasi yang digunakan oleh dokter
untuk mendiagnosa dan mengobati pasien.
Mengingat pengelolaan obat sangat strategis dan sensitif, maka agar
Tim Farmasi dan Terapi dapat berfungsi optimal dan efektif maka susunan
struktur organisasi Tim Farmasi dan Terapi Rumah Sakir Triharsi Surakarta
harus mengikutsertakan partisipasi dari berbagai profesi. Tim Farmasi dan
Terapi Rumah Sakir Triharsi Surakarta terdiri dari 20 Ketua SMF, 9 farmasis,
komite keperawatan, bidang perawatan dan dari jajaran administrasi struktural
dengan uraian tugas dan tanggung jawab yang jelas agar Tim Farmasi dan
Terapi Rumah Sakir Triharsi Surakarta tersebut berfungsi dengan baik. Untuk
lebih jelas dapat dilihat rincian berikut:
Ketua
: Dr. Dody Firmanda, Sp.A. MA
Wakil ketua
: Dr. Tuti Hermawati Zakaria, Sp.S.
Sekretaris
: Dra. Farida Indyastuti, Apt. SE. MM.
Seksi Pelayanan
Ketua
: Dr. Dewi Lestari, SpKK.
Sekretaris
: Dra. Setiani Haryani, Apt.
Anggota
: Dr. Djati Prasetyo Samsuridzal.
Dr. Pratiwi Andajani, Sp.A.
Dr. Bambang Nugroho, Sp.BO
Dr. Budijatmiko, SpB.
55
Drs. Burhani Husin, Apt. MM.
Desmawati, SKp.
Tugas
: 1. Melaksanakan evaluasi penulisan obat dengan nama obat,
kesesuaian dengan formularium, DOEN serta DPHO.
2. Menyusun daftar untuk obat-obatan gawat darurat.
3. Menentukan automatic stop order.
4. Melaksanakan uji coba alat kesehatan habis pakai.
5. Membuat pedoman penggunaan antibiotik.
Ketua
: Dr. Darma Setya Kusuma, SpP.
Sekretaris
: Dra. Maria Lesilolo, Apt. M.Pharm
Anggota
: Dr. Taufik Zain, SpOG
Dr. Bangun M. Hutagalung, SpPA.
Dr. Ridwan Bachri, SpAN.
Drg. Tuti Mutiah, SpKGA.
Tugas
: 1. Melaksanakan pendidikan yang berkaitan dengan obat.
2. Mengatur jadwal presentasi prinsipal.
3. Melaksanakan audit promosif dan preventif.
4. Melaksanakan audit sumatif.
Seksi Penelitian
Ketua
: Dr. Sulistiowati, Sp.THT
Sekretaris
: Dra. Alfina Rianti, Apt. M.Pharm.
Anggota
: Dr. Idjas Intan Tamba, SpJ.
Dr. Asnawi yanto, SpPK.
Dr. Letaria Aryani, SpRM.
Gustini Widyastuti, S.Si. Apt.
Sulikah, SKp. M.Kes.
56
Tugas
: 1. Melaksanakan pengkajian penggunaan obat.
2. Melaksanakan permintaan rasionalitas, efektivitas dan
keamanan obat.
Ketua
: Dra. Debby, Apt. M.Epid.
Anggota
: Dr. Halim Admahd, SpBS.
: Dr. Dyah Sri Puspitaningrum, SpFt.
Dr. Arnold H. Harahap, Sp.PD.
Dr. Irma Mardiana, SpJp
Dr. Syfvia, Sp.M.
Dra. Eddy Yusuf, Apt. M.Pharm
Tugas
: 1. Melaksanakan pelayanan informasi obat
2. Menerbitkan buletin
Implementasi perincian pelaksanaan langkah-langkah dan kegiatan Tim
Farmasi dan Terapi Rumah Sakit Triharsi Surakarta:
Langkah
Kegiatan
Pelaksana
Waktu
Perencanaan
1. Pemilihan dan pengusulan
obat
2. Perencanaan pengadaan
obat
3. Pengadaan obat
4. Penyimpanan obat
5. Penyaluran (distribusi)
obat
6. penggunaan (prescribing)
dan informasi obat
7. pemberian (dispensing)
dan informasi obat
8. Pemantauan rasionalitas
SMF
2 mg
TFT dan IF
1 mg
TFT dan IF
IF
TFT dan IF
3 bln
Setiap waktu
Setiap waktu
Dokter SMF
Setiap waktu
TFT dan IF
Setiap waktu
Koord E&M
SMF,
TFT dan IF
Kep ruangan, Koord
E&M SMF, TFT dan
IF
Kep ruangan, Koord
E&M SMF, TFT dan
IF
TFT dan IF
Setiap bln
TFT dan IF
6 bln
Pengadaan
Pemakaian
Mobitoring
9. Pemantauan efektivitas
10. Pemantauan keamanan
obat
Evaluasi
(Audit)
11. Audit promotif dan
preventif
12. Audit sumatif
Setiap bln
Setiap waktu
3 bln
57
Penyusunan Formularium Rumah Sakit juga mengacu pada pedoman
pengobatan yang berlaku. Sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 43/Menkes/SK/II/1988 tentang Cara Pembuatan
Obat Yang Baik (CPOB), obat adalah tiap bahan atau campuran bahan yang
dibuat, ditawarkan untuk dibuat, ditawarkan untuk dijual atau disajikan untuk
digunakan dalam pengobatan, peredaran, pencegahan atau diagnosa suatu
penyakit, suatu kelainan fisik atau gejala-gejalanya pada manusia atau hewan,
atau dalam pemulihan, perbaikan atau pengubahan fungsi organis pada manusia
atau hewan. Pengadaan dan pelayanan obat di rumah sakit disesuaikan dengan
standar formularium obat rumah sakit, sedangkan di sarana kesehatan lain
mengacu kepada Daftar Obat Esensial Nasional.
Berkaitan dengan pengelolaan obat di rumah sakit Triharsi Surakarta,
Departemen Kesehatan RI melalui SK No. 85/Menkes/Per/1989, menetapkan
bahwa untuk membantu pengelolaan obat di rumah sakit perlu adanya Panitia
Farmasi dan Terapi, Formularium dan Pedoman Pengobatan. Panitia Farmasi
dan Terapi adalah organisasi yang mewakili hubungan komunikasi antara para
staf medis dengan staf farmasi, sehingga anggotanya terdiri dari dokter yang
mewakili spesialisasi-spesialisasi yang ada di rumah sakit dan apoteker wakil
dari Farmasi Rumah Sakit, serta tenaga kesehatan lainnya.
Sesuai dengan Pasal 15 ayat (2) dan (3) Undang-undang No 44 Tahun
2009 tentang Rumah Sakit bahwa pelayanan sediaan farmasi di Rumah Sakit
harus mengikuti standar pelayanan kefarmasian dan pengelolaan alat kesehatan,
sediaan farmasi, dan bahan habis pakai di Rumah Sakit harus dilakukan oleh
Instalasi farmasi sistem satu pintu. Maksudnya adalah “instalasi farmasi”
adalah
bagian
dari
Rumah
Sakit
yang
bertugas
menyelenggarakan,
mengkoordinasikan, mengatur dan mengawasi seluruh kegiatan pelayanan
farmasi serta melaksanakan pembinaan teknis kefarmasian di Rumah Sakit.
Yang dimaksud dengan sistem satu pintu adalah bahwa rumah sakit hanya
58
memiliki satu kebijakan kefarmasian termasuk pembuatan formularium
pengadaan, dan pendistribusian alat kesehatan, sediaan farmasi, dan bahan
habis pakai yang bertujuan untuk mengutamakan kepentingan pasien.
Beberapa peraturan perundangan sebagai dasar pengelolaan perbekalan
farmasi yang mendasari pelaksanaan pelayanan farmasi di RS sebagai berikut:
1. Undang-Undang No. 9 Tahun 1976 tentang penyimpanan narkotika
2. SK Menkes RI Nomor 453/Menkes/Per/XI/1983 tentang bahan berbahaya
3. Surat Edaran Dirjen Yanmed No 1467/YanMed/RS UMDIK/YMD/XI/89.
tentang Juklak Pembentukan Komite Farmasi dan Terapi di RS.
4. SK Menkes RI No. 983/Menkes/SK/XI/1992 tentang Pedoman Organisasi
RS Umum.
5. SK Dirjen Yanmed No. YM 00.03.2.3.951/95 tentang Juknis Panitia
Farmasi dan Terapi RS.
6. SK Dirjen Yanmed No. HK .00.06.2.3.730 tentang Pembentukan dan Tata
Kerja Komite Medik di RS.
7. Pedoman Standar Farmasi RS (ISFI) tahun 2001.
8. Kode Etik Apoteker Indonesia.
9. Undang-Undang Negara No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen.
10. Undang-Undang Kesehatan No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
11. Standar Pelayanan RS - Depkes (1999).
Farmasi RS mempunyai kebijakan tersendiri, terutama yang berkaitan
dengan administrasi dan aturan serta petunjuk pelaksanaan kefarmasian. Oleh
karenanya, apoteker pimpinan farmasi RS harus:
1.
Mampu membuat program untuk pencapaian tujuan jangka pendek dan
jangka panjang yang didasarkan pada perkembangan dan kecenderungan
dalam perawatan kesehatan di RS.
2.
Mengembangkan rencana dan jadwal untuk mencapai program tersebut.
59
3.
Mengawasi penerapan program tersebut.
4.
Dapat melihat kesalahan/penyimpangan yang terjadi dalam mencapai
tujuan dari program tersebut di atas dan bila perlu harus dapat dikoreksi.
5.
Mengerti benar fungsi RS, sistem administrasi RS, dan memadukan dengan
fungsi Farmasi RS.
6.
Dapat membuat laporan secara kualitatif dan kuantitatif setiap periode
tertentu yang ditetapkan oleh pimpinan RS.
Keanekaragaman obat-obatan yang tersedia serta kompleksnya masalah
keamanan dan efektivitas penggunaan obat menyebabkan pentingnya suatu RS
membentuk program untuk memaksimalkan rasionalisasi penggunaan obat,
sehingga pasien dapat menerima perawatan yang terbaik. Organisasi yang
menyusun dan menjalankan program ini ialah Panitia Farmasi dan Terapi
(PFT). PFT adalah organisasi yang mewakili hubungan komunikasi antara para
staf medis dan staf farmasi. Anggotanya terdiri dari dokter yang mewakili
spesialisasi yang ada di RS dan apoteker wakil dari farmasi RS serta tenaga
kesehatan lainnya. PFT berfungsi mengkaji penggunaan obat, menetapkan
k.ebijakan penggunaan obat, mengelola sistem formularium dan standar terapi
(merujuk pada SK Dirjen Yanmed Nomor YM 00.03.2.3.951). Peran PFT ini
sangat besar dalam perlindungan hukum tenaga kesehatan yang bekerja di RS.
Rumusan perlindungan hukum kesehatan (Undang-Undang Kesehatan No. 36
Tahun 2009 pasal 56) yang nilai normanya cukup padat apabila semua dirinci,
akan mencakup sekurang-kurangnya 11 wajib hukum sebagai berikut :
1. Wajib melaksanakan standar pelayanan kesehatan.
2. Wajib mematuhi standar profesi dan kewenangan ahli.
3. Wajib melaksanakan adequate informasi.
4. Wajib meminta inform consent.
5. Wajib membuat/memelihara medical record (bukan memiliki MR).
6. Wajib memperhatikan risiko medis.
60
7. Wajib menghormati 4 hak azasi pasien (hak informasi, hak memberi
persetujuan, hak rahasia dokter, dan hak atas pendapat kedua).
8. Wajib mematuhi perimbangan dan ketentuan biaya pemeliharaan kesehatan
masyarakat (The system of payment health care and price regulation)
dengan pelayanan berfungsi sosial
9. Wajib mengembangkan kualitas pelayanan kesehatan dengan akreditasi dan
mutu keahlian sesuai dengan perkembangan IPTEK.
10. Wajib menyelenggarakan peradilan profesi secara cepat, tepat, dan
komplementer yang berhubungan dengan self regulation dan self
enforcement dalam tugas profesi. Antara lain dari aktivitas "Komite Medis"
dan medical malpractice comitee maupun kegiatan Majelis Disiplin Tenaga
Kesehatan dan Majelis Pengawasan Pembinaan Etika Pelayanan Medis
(MDTK dan MPPEPM).
11. Wajib memperhatikan norma yang berlaku dalam masyarakat dari norma
etika, norma agama, sampai norma susila dan kesopanan.
Sebelas wajib hukum tenaga kesehatan pada pelaksanaannya yang berkaitan
dengan obat telah tercakup melalui aktivitas dan hasil kerja PFT membuat
Sistem Formularium dan Standar Terapi sehingga dapat memaksimalkan
rasionalitas obat dan malpraktik yang berkaitan dengan obat dapat dihindarkan
(minimalkan).
Penerapan Formularium Rumah Sakit harus selalu dipantau. Hasil
pemantauan dipakai untuk pelaksanaan evaluasi dan revisi agar sesuai dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran. Perlu juga disusun
Formularium Spesialistik merupakan suatu buku yang berisi informasi lengkap
obat-obat yang paling dibutuhkan oleh dokter spesialis bidang tertentu, untuk
pengelolaan pasien dengan indikasi penyakit tertentu. Formularium Spesialistik
disusun untuk meningkatkan ketaatan para dokter spesialis Rumah Sakit
terhadap Formularium Rumah Sakit yang selama ini masih sangat rendah.
61
Bidang spesialisasi tertentu bisa saja mempunyai banyak subspesialisasi,
misalnya bidang spesialisasi Ilmu Kebidanan dan Penyakit Kandungan,
merupakan bidang spesialisasi yang mempunyai banyak subspesialisasi,
sehingga dapat disusun daftar obat esensial khusus untuk ilmu Kebidanan dan
Penyakit Kandungan. Penyusunan Formularium Spesialistik melibatkan baik
asosiasi
profesi
dokter
spesialis
terkait
maupun
masing-masing
subspesialisasinya. Dengan keikutsertaan serta peran aktif para spesialis
diharapkan para spesialis tersebut merasa memiliki sehingga penggunaan obat
rasional dapat diterapkan dengan baik
B. Perjanjian Pengadaan Obat-Obatan antara Antara Rumah Sakit Triharsi
Surakarta Dengan Perusahaan Farmasi
Rumah Sakit Triharsi dalam pengadaan obat-obatan untuk memenuhi
kebutuhan akan obat-obatan mengadakan kerjasama dengan PT. Yekatria
Husada Farma. Adapun isi perjanjian tersebut adalah sebagai berikut.
(1) PIHAK KEDUA menunjuk PIHAK PERTAMA sebagai salah satu
pelaksanaan pengadaa obat-obatan untuk memenuhi kebutuhan obat-obatan
dan peralatan kesehatan yang diperlukan PIHAK KEDUA. PIHAK
PERTAMA atas penunjukkan oleh PIHAK KEDUA tersebut dengan ini
diterima dengan baik oleh PIHAK PERTAMA.
(2) PIHAK PERTAMA berjanji kepada PIHAK KEDUA akan memberikan
data dan menyelenggarakan pengadaan obat-obatan kepada PIHAK
KEDUA dengan sebaik-baiknya.
Pasal 2
Ruang Lingkup
62
(1) Pengadaan obat-obatan oleh PIHAK PERTAMA termasuk dalam Pasal 1
(1) meliputi:
a. Obat-obatan keras termasuk dalam Daftar G
b. Obat-obatan bebas terbatas termasuk Daftar W
c. Obat-obatan bebas
(2) Pengadaan obat-obatan dimaksud pada ayat (1) dari huruf a sampai dengan
huruf c di atas, yang dilakukan oleh PIHAK PERTAMA diluar fasilitas/di
luar yang dirujuk oleh PIHAK KEDUA klaim biayanya menjadi tanggung
jawab PIHAK KEDUA.
(3) Jenis obat-obatan yang dapat diberikan PIHAK PERTAMA adalah obatobatan yang sesuai dengan Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN) Plus
termasuk obat-obatan Generik.
(4) Jadwal waktu pemberian pengadaan obat-obatan oleh PIHAK PERTAMA
diatur sesuai permintaan PIHAK KEDUA.
(5) PIHAK KEDUA membuat laporan terhadap pengadaan obat-obatan yang
dilaksanakan dan bertanggung jawab terhadap pengiriman laporan
pengadaan obat-obatan lanjutan kepada PIHAK PERTAMA setiap
menerima obat-obatan yang diterima dan sesuai dengan pesanan PIHAK
KEDUA.
Pasal 3
Biaya Pengadaan Obat-obatan
(1) PIHAK PERTAMA akan memberikan kepada PIHAK KEDUA berdasar
dengan permintaan tertulis maupun lisan sampai kesepakatan dan daftar
jenis obat-obatan yang disepakati.
(2) Perhitungan biaya tersebut Pasal 3 ayat (1) di atas, meliputi pengadaan
obat-obatan yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) di atas.
(3) Jumlah obat-obatan yang dibayar harganya oleh PIHAK KEDUA kepada
PIHAK PERTAMA adalah sejumlah tertulis dalam lajur yang disediakan
dan disepakati oleh kedua belah pihak. Pembayaran melalui rekening giro.
63
Pasal 4
Cara Pembayaran
(1) PIHAK PERTAMA mengadukan biaya pengadaan obat-obatan termaksud
dalam Pasal 3 kepada PIHAK KEDUA selambat-lamarnya tanggal 10
bulan berikutnya dengan dilengkapi laporan sebagaimana dimaksud Pasal
2 ayat (4).
(2) Pembayaran biaya pengadaan obat-obatan diberikan oleh PIHAK KEDUA
kepada PIHAK PERTAMA dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh)
hari setelah diterimanya pengajuan biaya termaksud dalam ayat (1) pasal
ini, atau dua minggu setelah PIHAK KEDUA menerima obat-obatan yang
dipesan.
(3) Untuk kelancaran pelayanan kepada PIHAK PERTAMA, maka oleh
PIHAK KEDUA dapat diberikan Perskot Kerja (PK) maksimal 50%.
(4) Harga obat-obatan yang diminta oleh PIHAK KEDUA ditentukan oleh
PIHAK PERTAMA dengan pemberitahuan jika terjadi perubahan dalam
jangka waktu tidak kurang dari 10 (sepuluh hari sebelumnya.
(1) Perjanjian kerjasama ini berlaku sejak ditandatanganinya perjanjian ini
untuk jangka waktu 1 (satu) tahun terhitung mulai tanggal 1 Mei 2008
sampai dengan tanggal 1 Mei 2009 dengan tidak mengurangi hak masingmasing pihak untuk mengakhiri perjanjian ini dengan memberitahukan
maksudnya secara tertulis, PIHAK KEDUA kepada PIHAK PERTAMA
atau sebaliknya selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sebelumnya.
(2) Pengakhiran perjanjian ini tidak membebaskan kedua belah pihak untuk
menyelesaikan kewajiban yang sedang berjalan.
(3) Kedua belah pihak akan melakukan peninjauan atas pelaksanaan perjanjian
ini selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sebelum berakhirnya perjanjian ini
64
sebagai bahan pertimbangan untuk perpanjangan perjanjian berikutnya atau
mengakhiri perjanjian ini apabila ternyata hasil evaluasi tidak sesuai dengan
pelaksanaannya.
(4) Apabila perjanjian ini dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, kedua
belahpihak dapat melaksanakan perpanjangan perjanjian berdasarkan
persetujuan kedua belah pihak.
Pasal 6
Sanksi
Apabila pengadaan obat-obatan yang diberikan oleh PIHAK PERTAMA tidak
sesuai dengan standard yang telah diatur dalam Undang-undang Nomor 23
Tahun 1992 atau Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 1993, maka PIHAK
KEDUA berhak membatalkan perjanjian kerjasama ini.
Pasal 7
Perselisihan dan Domisili
Semua perselisihan yang timbul sebagai akibat dari perjanjian ini akan
diselesakan secara musyawarah dan apabila secara musyawarah tidak berhasil,
maka akan ditempuh sesuai dengan saluran hukum yang berlaku.
Pasal 8
Keadaan Memaksa (Force Majeure)
(1) Yang dimaksud dengan keadaan memaksa adalah kebakaran, bencana alam,
pemogokan, huru-hara, peperangan, adanya Peraturan Pemerintah yang
secara langsung mempengaruhi kewajiban masing-masing.
(2) Kedua belah pihak dibebaskan dari kewajiban masing-masing jika terjadi
hal-hal di luar kekuasaan.
(3) Dalam hal terjadi keadaan dimaksud dalam ayat (2), maka PIHAK
PERTAMA berkewajiban memberitahukan kepada PIHAK KEDUA atau
sebaliknya secara tertulis dalam tempo 7 (tujuh) hari kalender setelah
terjadinya Force Majeure.
65
Pasal 9
Lain-lain
Hal-hal yang belum tercakup dalam perjanjian ini akan diatur oleh kedua belah
pihak secara musyawarah dan mufakat, dan kemudian tercantumkannya dalam
suatu kesatuan dan bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian ini.
Pasal 10
Penutup
Demikian perjanjian kerjaasma ini dibuat dan ditandatangani dalam rangkap 4
(empat), 2 (dua) rangkap masing-masing bermaterai cukup sebagai aslinya,
yang mempunyai kekuatan hukum yang sama dan 2 (dua) rangkap lainnya
sebagai duplikat dari aslinya.
Pengadaan obat-obatan yang dilakukan oleh Rumah Sakit Triharsi
merupakan pengadaan yang tertuang dalam bentuk perjanjian. Oleh karena itu,
Rumah Sakit Triharsi mengadakan kerjasama dengan PT. Yekatria Husada
Farma untuk memenuhi kebutuhan akan obat-obatan yang dibutuhkan oleh
pihak rumah sakit. Kerjasama tersebut dilakukan antara pihak PT. Yekatria
Husada Farma dengan apotik dan Rumah Sakit Triharsi. Kerjasama yang
terjadi antara PT. Yekatria Husada Farma dengan apotik dan Rumah Sakit
Triharsi merupakan perjanjian yang tidak lepas dari pengawasan pemerintah,
yang artinya diawasi oleh Departemen Kesehatan setempat.
Perjanjian yang terjadi antara PT. Yekatria Husada Farma dan Rumah
Sakit Triharsi merupakan suatu perjanjian jual beli. Dikatakan sebagai
perjanjian jual-beli, karena terdapat unsur pokok, yaitu adanya barang.
Hal tersebut sesuai dengan pendapat Subekti yang menyatakan bahwa
jual beli adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikat dirinya
untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang dan pihak yang lain untuk
membayar harga yang telah dijanjikan. Yang dijanjikan oleh pihak yang lain,
membayar harga yang telah disetujui. Meskipun tidak disebutkan dalam salah
66
satu pasal undang-undang, namun sudah semestinya bahwa “harga” ini harus
berupa sejumlah uang, karena bila tidak demikian dan harga tersebut berupa
barang, maka bukan lagi jual beli yang terjadi, tetapi tukar-menukar atau barter.
Adapun yang dimaksud barang dalam perjanjian antara PT. Yekatria
Husada Farma dan Rumah Sakit Triharsi adalah obat-obatan. Dengan
demikian, telah terjadi kesepakatan antara PT. Yekatria Husada Farma dan
Rumah Sakit Triharsi untuk melakukan kerjasama pengadaan obat-obatan,
karena dalam perjanjiannya juga mencantumkan klausul biaya. Oleh karena itu,
perjanjian jual beli yang dilakukan tersebut juga sesuai dengan pendapat dari
Gunawan Widjaja dan Kartini Muljadi yang menyatakan bahwa jual beli
merupakan suatu bentuk perjanjian yang melahirkan kewajiban atau perikatan
untuk memberikan sesuatu, yang dalam hal ini terwujud dalam bentuk
penyerahan kebendaan yang dijual oleh penjual dan penyerahan uang oleh
pembeli kepada penjual. Dalam hal ini adalah penyerahan uang oleh Rumah
Sakit Triharsi kepada PT. Yekatria Husada Farma dan diserahkannya obatobata dari PT. Yekatria Husada Farma kepada Rumah Sakit Triharsi.
Perjanjian yang dilakukan antara PT. Yekatria Husada Farma dan
Rumah Sakit Triharsi tersebut sesuai dengan asas konsensualisme sebagaimana
yang terdapat dalam hukum perjanjian, yaitu Kitab Undang-undang Hukum
Perdata. Perjanjian jual-beli sudah lahir atau ada pada saat tercapainya sepakat
antara penjual dan pembeli mengenai unsur-unsur pokok (essentialia) yaitu
barang dan harga. Sifat konsensualisme jual beli ini ditegaskan dalam Pasal
1458 KUH Perdata yang berbunyi, “jual beli dianggap telah terjadi antara
kedua belah pihak sewaktu mereka telah mencapai sepakat tentang barang dan
harga, meskipun barang itu belum diserahkan maupun harganya belum dibayar.
Hal inilah yang juga dilakukan oleh pihak Rumah Sakit Triharsi dengan PT.
Yekatria Husada Farma.
67
Pembelian obat-obatan yang dilakukan oleh Rumah Sakit Triharsi
dengan cara datang sendiri ke PT. Yekatria Husada Farma. Jika melalui
pemesanan, hal tersebut dapat dilakukan melalui salesman atau perantara.
Selain itu, pemesanan juga dilakukan melalui surat. Apabila melalui surat, PT.
Yekatria Husada Farma akan mengirim sesuai dengan permintaan Rumah Sakit
Triharsi atau sesuai dengan keperluan Rumah Sakit yang diantar oleh petugas
dari PT. Yekatria Husada Farma atau dapat diambil sendiri oleh petugas dari
Apotik Rumah Sakit Triharsi sebagai pihak yang memesan.
Hal tersebut sesuai dengan hasil wawancara dengan Ibu Ani Nursanti
sekali Kepala bidang Farmasi, yang mengatakan bahwa pemesanan obat-obatan
yang dilakukan oleh Rumah Sakit Triharsi biasanya dilakukan melalui
salesman atau peranara. Kadang-kadang juga dengan mengirim surat ke PT.
Yekatria Husada Farma kemudian pihak PT. Yekatria Husada Farma mengirim
obat-obatan sesuai yang dipesan oleh pihak Rumah Sakit Triharsi.
Dalam kerjasama yang dilakukan antara pihak Rumah Sakit Triharsi
dan PT. Yekatria Husada Farma juga diatur mengenai cara pembayarannya.
Dalam hal pembayaran, ada kelonggaran pembayaran yang diberikan. Adapun
kelonggaran tersebut adalah pembayaran dapat dilakukan secara kredit dengan
jangka waktu 1 (satu) bulan maupun dapat dibayar secara tunai, dengan catatan
bahwa pesanan tersebut harus ditandatangani oleh Apoteker beserta bukti-bukti
yang otentik, misalnya stempel, surat ijin dan nomor ijin kerja Apoteker yang
bersangkutan.
Dengan sistem pembayaran yang demikian, maka Rumah Sakit
merasakan keringanan dalam hal pembayaran obat-obatan yang dipesan dan
diberikan oleh PT. Yekatria Husada Farma. Dengan demikia, apotik dan
Rumah Sakit dapat mewujudkan cita-cita pemerintah dalam usahanya
meningkatkan kesehatan nasional sebagaimana yang dicanangkan oleh
pemerintah menuju Indonesia Sehat 2010.
68
Apotik dan Rumah Sakit merupakan suatu tempat penyaluran obatobatan PT. Yekatria Husada Farma kepada konsumen atau masyarakat. Sebagai
perusahaan farmasi besar, PT. Yekatria Husada Farma tidak boleh melayani
sendiri secara eceran, tetapi harus melalui apotik dan rumah sakit yang
merupakan jalur penyaluran terakhir.
Sebagai penjual dan penyalur obat-obatan, PT. Yekatria Husada Farma
dalam melakukan perdagangan selalu diawasi dan ditentukan oleh pemerintah,
yaitu di bawah pengawasan Direktur Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan.
Demikian pula saluran operasional yang dilakukan oleh apotik dan rumah sakit,
sebagaimana dikatakan oleh Ibu Ani Nursanti selaku Kepala Bagian Farmasi
Rumah Sakit Triharsi, yaitu: “Apotik dan Rumah Sakit sebagai penyalur
terakhir, saluran operasionalnya selalu diawasi oleh Pengawas Obat dan
Makanan (POM) dengan ditentukan oleh Departemen Kesehatan kemudian
dapat disalurkan langsung kepada konsumen, baik melalui resep maupun
pembelian bebas ke Apotik dan Rumah Sakit, Klinik Instansi Pemerintah atau
Swasta ke Rumah Sakit yang tidak ada apotekernya maupun kepada para
Dokter dan Puskesman”.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dapat diketahui bahwa dalam
hal penyaluran obat-obatan, baik oleh apotik maupun rumah sakit selalu
diawasi oleh pemerintah dalam hal ini oleh Dirjen Pengawasan Obat dan
Makanan sebelum sampai kepada masyarakat. Hal ini dilakukan untuk
menghindari penyalahgunaan obat-obatan yang diperuntukkan bagi kesehatan.
Sebagai pihak penjual, PT. Yekatria Husada Farma yang melakukan
usaha penjualannya di bidang obat-obatan, maka mempunyai kewajibankewajban, yaitu:
a. Menyerahkan obat-obatan yang dipesan oleh apotik dan rumah sakit, rumah
sakit yang ada apotekernya dan tokoh-toko obat bebas dan obat bebas
terbatas.
69
b. Menanggung kerusakan obat-obatan yang dibeli apabila rusaknya masih
dalam kalangan PT. Yekatria Husada Farma, misalnya rusak atau lama di
gudang sehingga obat-obatan tersebut tidak layak untuk dikonsumsi.
Adapun apotik dan rumah sakit berkewajiban untuk membayar harga
pembelian sesuai dengan waktu yang telah dijanjikan dan di tempat
sebagaimana ditetapkan dalam perjanjian.
Perjanjian antara Rumah Sakit Triharsi dengan PT. Yekatria Husada
Farma hanya terbatas pada perjanjian jual beli saja, di mana pedagang besar
farmasi, yaitu PT. Yekatria Husada Farma sebagai pemberi kredit atau penjual
atau kreditu. Adapun Rumah Sakit Triharsi sebagai pembeli atau debitur.
Namun demikian, mengenai hal-hal yang telah dijanjikan sudah merupakan
suatu perjanjian yang sah meskipun hubungannya hanya terbatas pada penjual
dan pembeli saja. PT. Yekatria Husada Farma hanya akan mengirimkan dan
menyerahkan obat-obatan, apabila ada pesanan dari Rumah Sakit Triharsi akan
membayar dengan sejumlah uang mengenai harga obat yang telah ditentukan
dan disepakati secara kredit atau cash lunak dengan jangka waktu 1 (satu)
bulan, maupun dapat secara tunai. Khusus untuk obat-obatan terlarang seperti
obat bius atau narkotika pembayarannya dilakukan secara tunai dan terbatas
dalam pembeliannya.
Mengenai obat-obatan atau narkotika, tidak semua perusahaan farmasi
dapat memenuhi permintaan akan jenis obat ini. Biasanya, hanya perusahaan
farmasi tertentu saja yang ditunjuk oleh pemerintah untuk menyalurkan obatobat tersebut. Hal tersebut dikarenakan, obat terlarang termasuk dalam daftar
golongan O dan cara memperolehnya memerlukan syarat-syarat atau prosedur
khusus, yaitu:
1. Mengisi surat pesanan atau permintaan obat-obatan terlarang/narkotika
yang telah disediakan oleh perusahaan farmasi yang ditunjuk.
70
2. Menyebutkan dalam hal kebutuhan obat tersebut untuk kepentingan apa dan
siapa.
3. Memberikan tanda tangan dan nama terang serta nomor surat, Surat Ijin
Kerja Apoteker dari Apotik dan Rumah Sakit yang memesan sebagai
penanggung jawab obat terlarang tersebut.
4. Menyebutkan alamat terang apotik dan rumah sakit/lembaga lain yang
membutuhkan obat tersebut dalam surat permintaan.
Berdasarkan uraian tersebut, dapat diketahui bahwa semua barangbarang farmasi termasuk obat-obatan dari PT. Yekatria Husada Farma tidak
mungkin akan sampai pada konsumen atau masyarakat apabila tidak melalui
apotik dan rumah sakit, toko obat atau rumah sakit yang ada apotekernya.
Apotik, rumah sakit, toko obat atau rumah sakit yang ada apotekernya
merupakan jalur terakhir dan sebagai pengecer obat atau barang-barang farmasi
kepada masyarakat atau konsumen.
Untuk melaksanakan suatu perjanjian, lebih dahulu harus ditetapkan
secara tegas dan cermat apa saja isi perjanjian tersebut. Dengan kata, apa saja
hak dan kewajiban masing-masing pihak. Biasanya orang mengadakan suatu
perjanjian dengan tidak mengatur atau menetapkan secara teliti hak dan
kewajiban mereka. Biasanya perjanjian tersebut hanya menetapkan hal-hal
yang pokok dan penting saja. Misalnya, dalam jual beli hanya ditetapkan
tentang barang mana yang dibeli, jenisnya, jumlahnya, dan harganya. Dalam
jual beli tidak ditetapkan tentang tempat penyerahan barang, biaya pengantaran,
tempat dan waktu pembayaran, bagaimana jika barang musnah di perjalanan
dan lain sebagainya.
Dalam pelaksanaan perjanjian pengadaan obat-obatan antara Rumah
Sakit Triharsi dengan PT. Yekatria Husada Farma telah sesuai dengan isi atau
materi perjanjian pengadaan obat-obatan yang telah disepakati. Adapun
pelaksanaan perjanjian pengadaan obat-obatan tersebut adalah:
1. Pengadaan Obat-obatan
71
Prosedur pengadaan obat-obatan telah sesuai materi perjanjian, yaitu
sesuai Pasal 1 ayat (1) baik untuk pengadaan obat-obatan daftar O, dattar G,
daftar W maupun obat-obatan bebas.
Pengadaan di luar fasilitas yang tidak dirujuk pihak kedua, klaim
biayanya ditanggung oleh pihak kedua untuk obat-obatan kategori obat
bebas sesuai Pasal 2 ayat (2). Pengadaan obat-obatan ini sesuai dengan
Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN) Plus, termasuk obat-obatan generik
sesuai Pasal 2 ayat (3). Sedangkan jadwal waktu penyerahan obat-obatan
dari pihak pertama yang diatur dan disesuaikan dengan permintaan pihak
kedua (Rumah Sakit Triharsi) sesuai dengan Pasal 2 ayat (4).
2. Pembiayaan dan Cara Pembayaran
Untuk pengadaan obat-obatan, pihak pertama akan memberikan
obat-obatan yang dipesan dan diminta oleh pihak kedua baik secara lisan
maupun tertulis atas dasar perjanjian pengadaan obat-obatan (sesuai Pasal 3
ayat (1)). Dalam hal pembayaran ini pihak pertama mengajukan biaya
pengadaan obat-obatan yang telah diterima oleh pihak kedua setiap tanggal
10 tiap bulan, sesuai dengan Pasal 4 ayat (1). Perhitungan biaya tersebut
meliputi pengadaan obat-obatan yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1).
Pembayaran biaya pengadaan obat-obatan diberikan oleh pihak
kedua kepada pihak pertama dapat diberikan uang muka kerja maksimal
50% (lima puluh persen) dari harga obat yang harus dibayar sesuai Pasal 4
ayat (3).
3. Sanksi Hukum
Jika terjadi ketidaksesuaian pengadaan obat-obatan yang diberikan
oleh pihak pertama dengan standard yang telah diatur dalam Undangundang Nomor 36 Tahun 2009, pihak kedua sesuai Pasal 6 Perjanjian
Pengadaan
Obat-obatan
berhak
membatalkan
perjanjian
kerjasama
pengadaan obat-obatan tersebut.
72
Dalam hubungannya dengan kejadian perselisihan antara pihak pertama
dengan pihak kedua dalam hal pengadaan obat-obatan, jika tidak dapat
diselesaikan sesuai dengan hukum dan peraturan yang berlaku, yaitu dengan
menunjuk peradilan tetap, yaitu Pengadilan Negeri Surakarta (Pasal 7). Dalam
pelaksanaan perjanjian pengadaan obat-obatan ini kedua belah pihak
menghargai dan mentoleransi keadaan memaksa yang bukan dikehendaki oleh
masing-masing pihak, di mana kedua pihak saling memberitahukan keadaan
memaksa ini sesuai Pasal 8 ayat (3).
Mekanisme yang dilakukan oleh Rumah Sakit Triharsi untuk
mendapatkan obat-obatan melalui prosedur yang dikembangkan berdasar isi
perjanjian pengadaan obat-obatan yang dibutuhkan. Selain dilakukan dengan
pesanan, Rumah Sakit Triharsi tidak menggunakan mediator atau perantara,
tetapi dilakukan secara langsung.
Perantara sebagai penyalur tidak sah dalam hubungannya dengan
pekerjaan sebagai penyalur obat atau barang-barang farmasi. Hal tersebut
dikarenakan dapat menimbulkan akibat diluar tanggungan perusahaan atau
distributor farmasi. Kecuali jika perantara itu resmi bekerja pada PT. Yekatria
Husada Farma, maka secara otomatis memikul tanggung jawab dan dapat
terkena saksi. Namun, secara hukum tidak bertanggung jawab tentang akibat
yang menimpa diri perantara sebagai penyalur yang tidak sah, baik berupa
sanksi pidana maupun sanksi-sanksi lain yang dibebankan kepada diri perantara
tersebut.
Dalam melakukan pendistribusian dan penyaluran obat PT. Yekatria
Husada Farma mempunyai kewajiban bahwa setiap 3 (tiga) bulan sekali wajib
melaporkan barang-barang yang dibeli maupun yang dijual ke Apotik maupun
Rumah Sakit kepada Departemen Kesehatan Daerah dengan melalui Badan
Penelitian Pengawasan Pembinaan Obat dan Makanan (BP3OM).
73
Perantara dalam dunia perdagangan farmasi atau obat-obatan memikul
tanggung jawab hukum serta akibat hukum yang terbagi dalam 2 (dua) macam,
yaitu:
1. Perantara yang dimaksud sebagai tenaga salesman. Yang dimaksudkan
perantara sebagai tenaga salesman adalah tugas mereka menjual ke toko
atau apotik dan rumah sakit, tetapi tidak sembarangan obat dapat
diperjualbelikan secara bebas.
Salesman adalah perantara dalam arti yang sah. Salesman masih
dapat melaksanakan tugasnya meskipun dalam menjual obat-obatan melalui
instansi PT. Yekatria Husada Farma. Atau perantara tersebut mendapat
pesanan di luar kota dan salesman dapat memperoleh order langsung dari
PT. Yekatria Husada Farma.
2. Perantara dengan kata lain sebagai calo atau sales freelance dalam dunia
perdagangan farmasi atau obat-obatan. Meksipun, calo dilarang dan juga
suatu bentuk pelanggaran tetapi dalam perdagangan farmasi, masih tetap
ada. Calo adalah orang yang tidak mempunyai hak dan melakukan
penyaluran kepada pembeli. Dengan kata lain bahwa calo adalah perantara
liar. Bagi calo sebagai perantara liar yang tidak mempunyai ijin kerja dapat
terkena sanksi, sehingga penjual pun juga akan terkena sanksi apabila
masih melayani penjualan obat terhadap calo.
Sanksi dari perantara sebagai calo tersebut adalah:
a. Bagi penyalur dapat berakibat dicabutnya ijin usaha perdagangan
farmasi atau obat, karena menjual barang atau obat kepada orang lain
yang tidak mempunyai ijin usaha dagang di bidang kefarmasian. Tidak
adanya penanggung jawab farmasi, tidak adanya domisili kantor dan
sebagainya, maka perjanjian ini merupakan suatu perjanjian yang tidak
sah menurut undang-undang.
74
b. Barang-barang disita untuk negara dan untuk mengedarkan obat tersebut
(calo) dikenakan sanksi hukum.
c. Demikian pula terhadap si pembeli dianggap sebagai si pelanggar,
karena membeli barang-barang yang tidak diawasi oleh pemerintah.
Tidak melalui penyalur-penyalur obat yang telah ditentukan oleh apotik
da rumah sakit maupun PT. Yekantria Husada Farma.
Hubungan perantara dengan sub bagian agen yang terdapat pada PT.
Yekatria Husada Farma adalah perantara sebagai salesman, yaitu kewajibankewajiban dari tenaga sales untuk menjual atau mengirim obat-obatan ke subsub agen di daerah Surakarta dengan melihat jenis-jenis obat yang dikirim.
Apotik dan rumah sakit, toko obat dan rumah sakit sebagai agen
merupakan badan usaha yang menyalurkan obat-obatan ke konsumen, sehingga
konsumen atau masyarakat mengharapkan supaya harga obat-obatan di apotik
dan rumah sakit, toko obat maupun rumah sakit dapat dijangkau oleh
masyarakat luas, dengan kata lain perkataan, bahwa masyarakat menghadapkan
adanya harga obat yang serendah-rendahnya agar semua orang mampu
membelinya.
Jadi, hubungan antara perantara dengan sub agen di sini adalah
perantara sebagai salesman yang mengirimkan obat-obatan ke apotik dan
rumah sakit. Adapun sub agen adalah tempat di mana obat dikirim dari PT.
Yekatria Husada Farma dengan melalui perantara. Sedangkan dalam
hubungannya dengan pelaksanaan pengadaan obat-obatan dengan Rumah Sakit
Triharsi tidak melalui perantara. Sesuai dengan isi perjanjian pihak Rumah
Sakit Triharsi memesan secara langsung, baik tertulis maupun lisan dengan
pihak PT. Yekatria Husada Farma untuk pengadaan obat-obatan guna
memenuhi kebutuhan pokok pihak Rumah Sakit Triharsi.
Sebagaimana terdapat dalam Pasal 1313 Kitab Undang-undang Hukum
Perdata (KUH Perdata) disebutkan tentang definisi perjanjian, yaitu suatu
75
perbutan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu
orang lain atau lebih. Tetapi dalam pengertian tersebut sama sekali tidak
menjelaskan tentang perikatan padahal ada hubungan erat antara perikatan
dengan perjanjian. Oleh karena itu, dengan adanya perjanjian antara Rumah
Sakit Triharsi dengan PT. Yekatria Husada Farma maka timbul suatu hubungan
antara dua orang atau dua perusahaan yang dinamakan perikatan atau
perjanjian.
Sebagaimana yang dinytakan oleh Mark A. Hall sebagai berikut: “Law
has always regarded those who receive medical care much more as patients
that as cconsumers. Like family law, medical law is as much about status as it
is about contract. Patients and physicians contractual obligations are forged in
the context of someone who is sick and vulnerable seeking care in a therapeutic
relationship that entails special responsibility for the patient’s welfare”.
(Hukum selalu memperhatikan siapa yang membutuhkan perawatan kesehatan
lebih dari sekedar pasien sebagai konsumen. Seperti kesehatan keluarga,
hukum kesehatan adalah mengenai posisi konsumen dalam sebuah kontrak.
Pasien dan tenaga kesehatan terkadang terlupakan dalam isi perjanjian dimana
orang yang sakit dan membutuhkan perawatan dalam transaksi terapeutik
merupakan tanggung jawab khusus untuk kesehatan para pasien)”.
Sehubungan dengan syarat kesepakatan mereka yang mengikat diri
dalam KUHPerdata dicantumkan beberapa hal yang merupakan faktor yang
dapat menimbulkan cacat pada kesepakatan tersebut. Dilihat dari syarat-syarat
sahnya perjanjian ini, maka Asser (dalam Nugroho Hariadi, P, 2008)
membedakan bagian perjanjian, yaitu bagian inti (wezenlijk oordeel) dan
bagian yang bukan inti (non wezenlijk oordeel). Bagian inti disebutkan
esensialia, bagian non inti terdiri dari naturalia dan aksidentialia.
1. Esensialia, bagian ini merupakan sifat yang harus ada di dalam kontrak,
sifat yang menentukan atau menyebabkan kontrak itu tercipta
76
(constructieve oordeel). Seperti, persetujuan antara para pihak dan objek
perjanjian.
Apabila dilihat dari perjanjian antara Rumah Sakit Triharsi dengan
PT. Yekatria Husada Farma, maka perjanjian tersebut telah memenuhi
unsur esensialia, yaitu sebagaimana tercantum dalam Pasal 5 ayat (1).
Dalam Pasal 5 ayat (1) disebutkan tentang kesepakatan untuk pengadaan
obat-obatan. Adapun bunyi kesepakatan tersebut adalah perjanjian
kerjasama ini berlaku sejak ditandatanganinya perjanjian ini untuk jangka
waktu 1 (satu) tahun terhitung mulai tanggal 1 Mei 2008 sampai dengan
tanggal 1 Mei 2009 dengn tidak mengurangi hak masing-masing pihak
untuk mengakhiri perjanjian ini dengan memberitahukan maksudnya secara
tertulis, PIHAK KEDUA kepada PIHAK PERTAMA atau sebaliknya
selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sebelumnya.
Berdasarkan isi perjanjian tersebut, maka telah tercipta suatu kontrak
kerjasama antara Rumah Sakit Triharsi dengan PT. Yekatria Husada Farma.
Kontrak kerjasama tersebut merupakan suatu bentuk kesepakatan yang
mengikat kedua belah pihak untuk dapat memenuhi hak dan kewajiban
masing-masing sesuai dengan kesepakatan yang telah dibuat.
2. Naturalia, bagian ini merupakan sifat bawaan (natuur) perjanjian sehingga
secara diam-diam melekat pada kontrak, seperti menjamin tidak ada cacat
dalam benda yang dijual (vrijwaring)
Apabila diperhatikan lebih lanjut dalam perjanjian antara Rumah
Sakit Triharsi dengan PT. Yekatria Husada Farma, maka perjanjian ini telah
memenuhi unsur naturalia. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 6. Dalam Pasal
6 disebutkan bahwa apabila pengadaan obat-obatan yang diberikan oleh
PIHAK PERTAMA tidak sesuai dengan standard yang telah diatur dalam
Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 atau Peraturan Pemerintah Nomor
77
23 Tahun 1993, maka PIHAK KEDUA berhak membatalkan perjanjian
kerjasama ini.
Berdasarkan bunyi pasal tersebut, maka ada jaminan dari PIHAK
PERTAMA untuk dapat memenuhi permintaan dari PIHAK KEDUA sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini
disebabkan telah ada standar tersendiri dalam hal pengadaan obat-obatan.
Oleh karena itu, dalam pengadaan obat-obatan ini harus sesuai dengan
standar yang berlaku, apabila tidak maka perjanjian dapat dibatalkan.
3. Aksidentialia, bagian ini merupakan sifat yang melekat pada perjanjian
dalam hal secara tegas diperjanjian oleh para pihak, seperti ketentuanketentuan mengenai domisili para pihak.
Dalam perjanjian antara Rumah Sakit Triharsi dengan PT. Yekatria
Husada Farma juga telah memenuhi unsur aksidentialia. Unsur ini
ditunjukkan dalam Pasal 7 yang berunyi bahwa semua perselisihan yang
timbul sebagai akibat dari perjanjian ini akan diselesaikan secara
musyarawah, dan apabila secara musyawarah tidak berhasil, maka akan
ditempuh sesuai dengan saluran hukum yang berlaku.
Berdasarkan bunyi pasal tersebut maka ketentuan tentang domisili
juga telah dicantumkan. Pencantuman domisili ini untuk mempermudah
bagi para pihak apabila terjadi perselisihan. Dengan adanya ketentuan
tentang domisili ini, akan membuat kedudukan masing-masing pihak
menjadi lebih jelas
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat diketahui bahwa perjanjian
antara Rumah Sakit Triharsi dengan PT. Yekatria Husada Farma tidak
menimbulkan kecacatan dalam kesepakatan yang telah mereka buat. Hal
tersebut dikarenakan syarat kesepakatan mereka yang mengikat diri dalam
KUHPerdata yang sudah tercakup semuanya. Dalam perjanjian tersebut sudah
memenuhi unsur esensialia, naturalia, aksidentialia.
78
Butir-butir kesepakatan dalam perjanjian antara Rumah Sakit Triharsi
dengan PT. Yekatria Husada Farma, khususnya dalam salah satu pasalnya
menyebutkan pengadaan obat-obatan yang dilakukan harus memenuhi standar
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal
tersebut dilakukan untuk memberikan perlindungan bagi pasien supaya tidak
menimblkan masalah di kemudian hari. Terutama obat-obatan diberikan kepada
pasien sebagai salah satu faktor penunjang kesembuhan pasien. Oleh karena itu,
dalam perjanjiannya menyebutkan tentang standar pengadaan obat-obatannya.
Hal tersebut sesuai dengan pendapat Markus Hartmann dan Florence
Hartmen-Vareilles yang menyatakan sebagai berikut: “protecting patients,
either in medical interventions or as consumers of medicinal products or as
participants in clinical trials, and facilitating access to innovative medicinal
products are tqo distinct but interacting regulatory processes”. (Melindungi
pasien, selain merupakan intervensi kesehatan atau sebagai konsumen dari
suatu produk kesehatanatau sebagai tenaga kesehatan serta terhadap akses
fasilitas pada inovasi produk kesehatan merupakan dua hal yang berbeda tetapi
saling berkaitan dalam proses regulasinya).
Senada
dengan
pendapat
yang
dinyatakan
oleh
Dhrubajyoti
Bhattacharya sebagai berikut: “a developing country’s fear of being left behind
and not having access to future medicines is a legitimate concern, particularly
during a state of public health emergency”. (negara berkembang tidak perlu
takut ketinggalan dan tidak mempunyai akses dalam hal legitimasi dalam hal
pengobatan selama negara tersebut dalam keadaan darurat masalah kesehatan
masyarakat).
Berdasarkan pernyataan tersebut, maka dapat diketahui bahwa dalam
hal pelayanan kesehatan perlindungan terhadap pasien merupakan hal yang
utama. Oleh karena itu, segala peraturan yang dibuat oleh rumah sakit
79
dimaksudkan untuk dapat melindungi pasien. Termasuk dalam hal ini adalah
pengadaan obat-obatan yang dilakukan oleh pihak rumah sakit.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa hubungan
kerjasama antara rumah sakit dengan perusahaan farmasi dalam pengadaan
obat-obatan adalah berdasarkan perjanjian antara dokter dengan perusahaan
farmasi dalam hal pemenuhan kebutuhan akan obat-obatan yang dibutuhkan
oleh rumah sakit. Dengan demikian, hubungan kerjasama tersebut berdasarkan
pada asas kepercayaan antara pihak rumah sakit yang dalam hal ini diwakili
oleh dokter dengan perusahaan farmasi.
Dokter sebagai profesinya tidak terlepas dari aturan pelaksaannya dalam
kode Etik Kedoktera. Dalam Pasal 3 Kode Etik Kedokteran disebutkan bahwa
dalam melakukan kedokterannya seorang dokter tidak boleh dipengaruhi oleh
sesuatu yang mengakibatkan hilangnya kebebasan dan kemandirian profesi.
Perbuatan yang dianggap bertentangan dengan etik kedokteran dalam
hal pengadaan obat-obatan, yaitu membuat ikatan atau menerima imbalan dari
perusahaan farmasi/obat yang dapat mempengaruhi pekerjaan dokter. Hal
inilah yang sering kali terjadi antara dokter dengan perusahaan farmasi, di
mana dokter sering menerima imbalan dari perusahaan farmasi jik telah terjadi
kesepakatan. Padahal perbuatan tersebut secara etika tidak diperbolehkan.
Selain itu, dengan adanya unsur kepercayaan tersebut, dokter dapat
melakukan perbuatan yang tidak seharusnya dilakukan, misalnya jika telah
terikat pada satu produk, maka dokter akan menggunakan produk tersebut.
Padahal dalam kenyataan dokter dapat melakukan pembelian tidak hanya pada
satu produk tertentu saja, tetapi dapat melakukan pembelian terhadap produk
lainnya. Hal ini dikarenakan tiap-tiap rumah sakit memiliki kode-kode tertentu
sehingga dokter hanya melakukan pembelian pada satu produk obat tertentu
sesuai dengan yang telah disepakati antara dokter dengan perusahaan farmasi.
80
C. Masalah-masalah
yang
Dihadapi
Rumah
Sakit
Triharsi
dalam
Pelaksanaan Perjanjian Pengadaan Obat-obatan antara Perusahaan
Farmasi dengan Rumah Sakit Triharsi
Suatu perjanjian merupakan suatu peristiwa di mana seorang berjanji
kepada seorang lain atau di mana dua orang saling berjanji untuk melaksanakan
sesuatu. Berdasarkan macam hal yang dijanjikan untuk dilaksanakan, perjanjian
dibagi dalam tiga macam, yaitu: perjanjian untuk memberikan/menyerahkan
suatu barang, perjanjian untuk berbuat sesuatu, dan perjanjian untuk tidak
berbuat sesuatu. Adapun perjanjian pengadaan obat-obatan yang dilakukan oleh
PT. Yekatria Husada Farma dan Rumah Sakit Triharsi merupakan perjanjian
untuk memberikan/menyerahkan suatu barang, yaitu perjanjian jual beli. Suatu
persoalan dalam hukum perjanjian ialah jika si debitur tidak menepati janjinya.
Hal inilah yang sering kali menjadi kendala dalam pelaksanaan suatu kegiatan
usaha yang berdasarkan pada perjanjian.
Setiap melakukan suatu kegiatan, pasti terdapat kendala-kendala atau
hambatan-hambatan yang terjadi. Termasuk juga dalam hal ini adalah kendala
dalam hal pelaksanaan perjanjian pengadaan obat-obatan yang dilakukan antara
PT. Yekatria Husada Farma dengan Rumah Sakit Triharsi. Kendala-kendala
yang dihadapi tersebut adalah:
1. Masalah Kedudukan Para Pihak
Apabila telah timbul hubungan hukum antara PT. Yekatria Husada
Farma dengan Rumah Sakit Triharsi, dimana PT. Yekatria Husada Farma
berkedudukan
sebagai
penjual/keditu
dan
Rumah
Sakit
Triharsi
berkedudukan sebagai pembeli/debitur, jika terjadi perselisihan, misalnya
dalam hal ketidaktepatan dalam waktu pembayaran atau keterlambatan
dalam pengiriman barnag-barang farmasi, termasuk obat-obatan, perkara ini
dapat diselesaikan sendiri oleh Rumah Sakit Triharsi, karena PT. Yekatria
Husada Farma tidak mempunyai peraturan khusus, maka penyelesaian
81
masalahnya diselesaikan di Pengadilan Negeri setempat jika tidak ada kata
mufakat dalam musyawarah.
Dengan demikian, perkara-perkara yang terjadi di Rumah Sakit
Triharsi dalam hubungan dengan perjanjian pengadaan obat-obatan dengan
pihak PT. Yekatria Husada Farma, pada umumnya mengenai masalah
utang-piutang dan pada kenyataannya penyelesaiannya belum ada yang
sampai ke pengadilan, karena pihak rumah sakit selalu memenuhi isi
perjanjian pengadaan obat-obatan dan masalah yang timbul dapat
diselesaikan dengan baik.
2. Masalah Kepatuhan pada Isi Perjanjian
Kepatuhan terhadap isi perjanjian oleh para pihak apabila dilakukan,
akan menimbulkan saling percaya dari para pihak. Akan tetapi, jika
kepatuhan akan perjanjian tidak dilakukan akan menimbulkan saling
percaya dari para pihak yang mengikatkan diri dalam perjanjian.
Ketidakpatuhan Rumah Sakit Triharsi dapat terjadi apabila obatobatan yang telah dikirim oleh PT. Yekatria Husada Farma tidak dibayar
sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati. Dengan demikian, PT.
Yekatria Husada Farma tidak akan mengirim obat-obatan lagi ke apotik dan
rumah sakit tersebut, selama pembayaran belum dipenuhi serta apotik dan
rumah sakit dilarang untuk melakukan pemesanan obat-obatan. Apabila
kepatuhan-kepatuhan antara kedua belah pihak dilakukan dengan baik,
maka hubungan kerjasama dagang antara penjual dan pembeli akan terus
berjalan lancar dan pemutusan hubungan kerja dalam dunia perdagangan
kemungkinan kecil sekali terjadi.
Jadi, kepatuhan hukum antara Rumah Sakit Triharsi sebagai
pemesan dan pembeli obat-obatan, wajib dikirim atau diberikan obat-obatan
yang dipesan dan dibeli oleh Rumah Sakit Triharsi setelah melalui prosedur
yang ditetapkan. Kemudian pihak Rumah Sakit Triharsi wajib membayar
82
dengan tepat seperti apa yang telah dijanjikan. Apabila hal tersebut tidak
dipatuhi, maka akibatnya bagi rumah sakit adalah tidak dilayani lagi
pengiriman obat-obatan yang telah dipesan oleh PT. Yekatria Husada
Farma.
Apabila PT. Yekatria Husada Farma tidak mematuhi isi dari
peraturan perundang-undangan, maka akan mendapatkn peringatan dari
Departemen Kesehatan. Peringatan dari pihak Departemen Kesehatan ini
akan membawa konsekuensi bahwa rumah sakit, kemungkinan tidak akan
memesan dan membeli obat-obat ke PT. Yekatria Husada Farma dan
berpindah ke perusahaan lainnya. Oleh karena itu, antara PT. Yekatria
Husada Farma dan Rumah Sakit Triharsi diharapkan selalu menjaga
hubungan kerja dalam lapangan perdagangan obat-obatan. Kedua belah
pihak selalu bekerjasama antara keduanya saling menjaga dan mematuhi
peraturan perundangan mengenai pengadaan obat-obatan dengan sebaikbaiknya agar terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Lebih dari itu kedua
belah pihak berupaya mematuhi segala peraturan yang telah ditetapkan baik
oleh pemerintah maupun oleh kedua belah pihak sendiri.
3. Cara menyelesaikan masalah yang timbul sebagai akibat hubungan hukum
yang terjadi antara para pihak yang terlibat dalam perjanjian
Apabila perusahaan mengadakan suatu hubungan hukum atau suatu
perjanjian dengan perusahaan lain, maka ada kemungkinan akan terjadi
adanya suatu penyimpangan. Penyimpangan tersebut dapat terjadi hanya
berupa penyimpangan kecil. Artinya, penyimpangan tersebut dapat
diselesaikan oleh kedua belah pihak yang bersangkutan. Namun, apabila
terjadi penyimpangan dari perjanjian yang tidak dapat segera diselesaikan
oleh kedua belah pihak, maka keputusan dapat sampai ke pengadilan negeri
yang merupakan putusan terakhir atau penyelesaian akhir.
83
Apabila pelaksanaan perjanjian pengadaan obat-obatan antara
Rumah Sakit Triharsi dan PT. Yekatria Husada Farma terjadi suatu
penyimpangan, maka sebelum diadakan pemutusan hubungan kerjasama,
perselisihan tersebut diselesaikan secara damai, yaitu melalui Departemen
Kesehatan setempat sebelum diajukan ke pengadilan negeri.
Lain halnya apabila Rumah Sakit Triharsi sebagai pembeli di mana
setiap 2 (dua) atau 3 (tiga) bulan berkewajiban untuk melaporkan ke
Departemen Kesehatan. Hal tersebut dikarenakan setiap pembelian obatobatan harus dilaporkan ke Departemen Kesehatan setempat. Oleh karena
itu, jika terjadi penyimpangan, misalnya dalam hal pembayaran, Rumah
Sakit Triharsi dapat dikenakan sanksi dan mendapat surat teguran keras
dengan memerintahkan PT. Yekatria Husada Farma dilarang melayani
rumah sakit tersebut selama belum menyelesaikan tanggung jawab atas
laporan tersebut.
Demikan pula, dengan PT. Yekatria Husada Farma apabila tidak
menyelesaikan kewajibannya mengenai laporan tentang pendistribusian
obat-obatannya juga akan dikenakan sanksi. Sanksi yang diberikan oleh
Departemen Kesehatan kepada PT. Yekatria Husada Farma adalah dilarang
untuk menyalurkan obat-obatan maupun teguran keras dari Departemen
Kesehatan setempat.
Apabila timbul perkara yang diajukan ke Pengadilan Negeri dalam
kaitannya dengan masalah atau kasus yang dihadapi, baik yang menyangkut
perdata maupun pidana, maka hal-hal tersebut tidak akan dapat diselesaikan
oleh Departemen Kesehatan apabila tidak dibantu oleh penegak hukum
yang berwenang. Sehubungan dengan hal tersebut setelah mengadakan
wawancara dengan Ibu Hartiyah, selaku Kepala Bidang Personalia, jika ada
permasalahan antara pihak Rumah Sakit Triharsi dengan PT. Yekatria
Husada Farma yang diselesaikan oleh Pengadilan Negeri setempat biasanya
84
hanya perkara-perkara kecil seperti lalai dalam pembayaran. Namun,
semuanya itu dapat diselesaikan secara musyawarah.
85
BAB IV
PENUTUP
D. Simpulan
1. Proses penyusunan formularium di Rumah Sakit Triharsi Surakarta Sakit
juga mengacu pada pedoman pengobatan yang berlaku, yaitu mulai dari
perencanaan, pengadaan, pemakaian, monitoring, dan evaluasi. Penerapan
Formularium Rumah Sakit harus selalu dipantau. Hasil pemantauan dipakai
untuk pelaksanaan evaluasi dan revisi agar sesuai dengan perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran (Pasal 15 ayat (2) dan (3)
Undang-undang No 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit).
2. Perjanjian pengadaan obat-obatan antara antara Rumah Sakit Triharsi
surakarta dengan perusahaan farmasi telah sesuai dengan isi atau materi
perjanjian pengadaan obat-obatan yang telah disepakati kedua belah pihak.
Dalam hal ini pihak PT. Yekatria Husada Farma tinggal mengirim obatobatan yang telah diminta dan dipesan oleh pihak Rumah Sakit Triharsi.
Perjanjian antara Rumah Sakit Triharsi dengan PT. Yekatria Husada Farma
hanya terbatas pada perjajian jual beli saja, di mana pedagang besar
farmasi, yaitu PT. Yekatria Husada Farma sebagai pemberi kredit atau
penjual atau kreditur. Namun demikian, mengenai hal-hal yang telah
dijanjikan sudah merupakan suatu perjanjian yang sah meskipun
hubungannya hanya terbatas pada penjual dan pembeli saja. PT. Yekatria
Husada Farma hanyaakan mengirimkan dan menyerahkan obat-obatan,
apabila ada pesanan dari Rumah Sakit Triharsi akan membayar dengan
sejumlah uang mengenai harga obat yang telah ditentukan dan disepakati.
3. Masalah-masalah yang dihadapi rumah sakit Triharsi dalam pelaksanaan
perjanjian pengadaan obat-obatan antara perusahaan farmasi dengan Rumah
Sakit Triharsi Surakarta adalah salah satu pihak ingkar janji dan tidak
disiplin. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Subekti yang menyatakan
bahwa persoalan dalam hukum perjanjian ialah jika si debitur tidak
menepati janjinya. Hal inilah yang sering kali menjadi kendala dalam
pelaksanaan suatu kegiatan usaha yang berdasarkan pada perjanjian.
86
Permasalahan ini dapat saja terjadi pada kedua belah pihak. Keterlambatan
pengiriman obat-obatan dan penerimaan obat-obatan yang tidak tepat
waktunya maupun keterlambatan dalam hal pembayaran. Apabila kendala
tersebut
terjadi
bukan
karena
adanya
unsur
kesengajaan,
maka
permasalahan tersebut diselesaikan secara musyawarah tetapi jika dalam
musyarawah tersebut tidak dicapai kata sepakat maka permasalahan
tersebut diselesaikan melalui pengadilan negeri setempat
E. Saran
Sehubungan dengan pelaksanaan pendistribusian dan penyaluran
barang-barang farmasi yang dilakukan oleh PT. Yekatria Husada Farma dengan
Rumah Sakit Triharsi meskipun telah sesuai dengn perjanjian yang dibuat tetapi
hendaknya dapat lebih tepat lagi dalam hal pengiriman obat-obatan maupun
pembayarannya. Hal tersebut dikarenakan ketersediaan obat-obatan berkaitan
dengan kesehatan pasien yang sedang berobat.
87
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2002. Kode Etik Kedokteran Indonesia dan Pedoman Pelaksanaan Kode
Etik Kedokteran Indonesia. Jakarta: IDI.
Burhan Ashshofa. 2001. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Genevieve Pinet, 1998, “Health Challenges of The 21st Century a Legislative
Approach to Health Determinants”, Artikel dalam International Digest of
Health Legislations, Vol 49 No. 1, 1998, Geneve
HB. Sutopo. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif, Dasar Teori dan Terapannya
dalam Penelitian. Surakarta: UNS Press.
HFA. Vollamar. 1996. Pengantar Studi Hukum Perdata Jilim II. Terjemahan IS
Adiwimarta. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Hermien Hadiati Koeswadji, 1998, Hukum Kedokteran, Studi Tentang Hubungan
Hukum Dalam Mana Dokter Sebagai Salah Satu Pihak, PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung,
_______________________, 2002, Hukum Untuk Perumahsakitan, PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung
Ismail Saleh. 1990. Hukum dan Ekonomi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Jayasuriya, 1997, Health Law, International and Regional Perspectives, Har-Anand
Publication PUT Ltd, New Delhi India
J. Satrio. 1999. Hukum Perikatan: Perikatan pada Umumnya. Bandung: Alumni.
J. Satrio. 1999. Hukum Periktan yang Lahir dari Perjanjian, Buku 1. Bandung: PT.
Citra Aditya Bhakti.
Matthew B. Miles and A. Michael Huberman. 2007. Analisis Data Kualitatif.
Jakarta: UI Press.
Nugroho Hariadi P, 2008. Aspek Hukum Perdata dalam Kontrak Dagang
Elektronik, Artikel, www.google.com.
Patrik Purwahid.1986. Asas Etikad Baik dan Kepatuhan dalam Perjanjian.
Semarang: UNDIP.
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2006
88
R. Subekti. 2002. Hukum Perjanjian. Jakarta: PT. Intermassa.
R. Subekti. 1995. Aneka Perjanjian, Cetakan Kesepuluh. Bandung: Citra Aditya
Bakti.
R. Subekti. 1996. Pokok-pokok Hukum Perdata. Jakarta: Intermassa.
R. Subekti dan R. Tjitrosudibjo. 2005. Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
Jakarta: Pradnya Paramita.
R. Setiawan. 1999. Pokok-pokok Hukum Perikatan. Bandung: Putra Aabardin.
Roscam Abing, 1998, “Health, Human Rights and Health Law The Move Towards
Internationalization With Special Emphasis on Europe” dalam journal
International Digest of Health Legislations, Vol 49 No. 1, 1998, Geneve,
hal 103 dan 107.
Sanusi Bintang dan Dahlan. 2000. Pokok-pokok Hukum Ekonomi dan Bisnis.
Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
Sudikno Mertokusumo. 1983. Aneka Perjanjian. Jakarta: Bina Cipta.
Sunaryati Hartono. 1988. Hukum Ekonomi Pembangunan Indonesia. Jakarta:
BPHN-Bina Cipta.
Van der Mijn, 1984, ”The Development of Health Law in the Nederlands”,
Makalah yang disampaikan dalam Seminar Sehari ”Issues of Health Law”,
Tim Pengkajian Hukum Kedokteran, Badan Pembinaan Hukum Nasional
Departemen Kehakiman RI bekerja sama dengan PERHUKI dan PB IDI,
Jakarta
Wolper, Lawrence F. 2001. Administrasi Layanan, Prinsip, Praktik, Struktur dan
Penyampaian, Edisi 2. Jakarta: EGC.
Undang-undang No 7 Th 1963 tentang Farmasi
Undang-undang No 29 Th 2004 tentang Kedokteran
Undang-undang No 36 Th 2009 tentang Kesehatan
Undang-undang No 44 Th 2009 tentang Rumah Sakit
89
Download