HUBUNGAN KERJASAMA ANTARA RUMAH SAKIT DENGAN PERUSAHAAN FARMASI DALAM PENGADAAN OBAT-OBATAN DI RUMAH SAKIT TRIHARSI SURAKARTA SKRIPSI Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Syarat-syarat Guna Memperoleh Derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Oleh : DIAN UMBUL PRAKOSO NIM. E.1103055 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010 PERSETUJUAN PEMBIMBING Penulisan Hukum (Skripsi) HUBUNGAN KERJASAMA ANTARA RUMAH SAKIT DENGAN PERUSAHAAN FARMASI DALAM PENGADAAN OBATOBATAN DI RUMAH SAKIT TRIHARSI SURAKARTA Disusun oleh : DIAN UMBUL PRAKOSO NIM. E.1103055 Disetujui untuk Dipertahankan Dosen Pembimbing Lego Karjoko, SH. MH. NIP. 196305191988031001 2 PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum (Skripsi) HUBUNGAN KERJASAMA ANTARA RUMAH SAKIT DENGAN PERUSAHAAN FARMASI DALAM PENGADAAN OBATOBATAN DI RUMAH SAKIT TRIHARSI SURAKARTA Disusun oleh : DIAM UMBUL PRAKOSO NIM. E.1103055 Telah diterima dan di sahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta pada : Hari : Tanggal : TIM PENGUJI 1. ................................................................ ……………………………... Ketua 2. ................................................................ ……………………………... Sekretaris ……………………………... Anggota 3. Lego Karjoko, SH. MH. MENGETAHUI Dekan, Mohammad Jamin, S.H. M.Hum. NIP. 19610930198601101 3 MOTTO Sabar dalam mengatasi kesulitan dan bertindak bijaksana dalam mengatasinya adalah sesuatu yang utama. Kemenangan yang seindah – indahnya dan sesukar – sukarnya yang boleh direbut oleh manusia ialah menundukan diri sendiri. (Ibu Kartini ) Harga kebaikan manusia adalah diukur menurut apa yang telah dilaksanakan / diperbuatnya. ( Ali Bin Abi Thalib ) Apabila anda berbuat kebaikan kepada orang lain, maka anda telah berbuat baik terhadap diri sendiri. ( Benyamin Franklin ) 4 PERSEMBAHAN - - 5 - - - 6 KATA PENGANTAR Puji syukur saya panjatkan, pembawa terang di alam nyata dan sumber dari segalaNya. Pemilik segala cinta yang senantiasa melimpahkan rahmat dan karunia kepada kita. Dengan terselesainya Penulisan Hukum (Skripsi) dengan judul ”HUBUNGAN KERJASAMA ANTARA RUMAH SAKIT DENGAN PERUSAHAAN FARMASI DALAM PENGADAAN OBAT-OBATAN DI RUMAH SAKIT TRIHARSI SURAKARTA” Penulisan hukum ini dimaksudkan untuk melengkapi salah satu persyaratan untuk menempuh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. Juga menambah wawasan atau pengetahuan setiap pembaca karya ilmiah ini. Penulis menyadari bahwa, terselesainya penulisan hukum ini karena bantuan, bimbingan, petunjuk, dukungan moral dan spiritual dari berbagai pihak yang selalu diberikan kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan hukum ini. Dengan segala kerendahan hati penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Bapak Prof. Dr. Syamsulhadi, dr. Sp., KJ. Selaku Rektor Universitas Sebelas Maret Surakarta. 2. Bapak Mohammad. Jamin, SH., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan ijin dan kesempatan bagi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. 3. Bapak Lego Karjoko, SH., MH, selaku pembimbing dalam penyusunan skripsi yang telah memberikan waktu, tenaga, pemikiran, motivasi dan bimbingannya kepada penulis, hingga terselesaikannya skripsi ini. 4. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret yang telah memberikan ilmu kepada penulis, sehingga dapat menjadi bekal dalam penulisan skripsi ini. 5. Direktur Rumah Sakit Triharsi Surakarta yang telah memberikan ijin kepada penulis untuk melakukan penelitian di Poltabes Surakarta. 7 6. Kedua orang tuaku yang telah mendidik, mengorbankan semuanya demi anakanaknya, doa, cinta, kasih sayang dan ridho kalian menjadi kekuatan dan bekal dalam menjalankan kehidupan ini. 7. Keluarga besarku, terima kasih atas perhatian, nasehat, dukungan, doa, dan pengorbanannya selama ini. 8. Rekan-rekan ku semua terima kasih atas bantuan dan dukungannya selama ini, sehingga membantu terselesainya skripsi ini. 9. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam penyusunan penulisan hukum ini, dan teman-teman yang tidak dapat saya sebutkan satu-persatu. Penulis menyadari bahwa penulisan hukum ini belum sempurna, kritik dan saran membangun atas penulisan hukum ini senantiasa penulis harapkan demi perbaikan dan kemajuan penulis di masa datang. Penulis berharap penulisan hukum ini dapat bermanfaat bagi penulis dan bagi siapa saja yang membacanya. Surakarta, Januari 2010 Penulis 8 DAFTAR ISI Hal. HALAMAN JUDUL .......................................................................................... i HALAMAN PERSETUJUAN............................................................................ ii HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................ iii MOTTO iv .............................................................................................................. PERSEMBAHAN ............................................................................................... v KATA PENGANTAR ........................................................................................ vi DAFTAR ISI....................................................................................................... viii ABSTRAK .......................................................................................................... x BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah.............................................................. 1 B. Rumusan Masalah ....................................................................... 5 C. Tujuan Penelitian ........................................................................ 6 D. Manfaat Penelitian ...................................................................... 7 E. Metode Penelitian........................................................................ 7 F. 1. Jenis Penelitian .................................................................... 8 2. Sifat Penelitian..................................................................... 8 3. Pendekatan Penelitian .......................................................... 8 4. Jenis Data............................................................................. 8 5. Sumber Data ........................................................................ 9 6. Teknik Pengumpulan Data .................................................. 9 7. Teknik Analisis Data ........................................................... 10 Sistematika Penulisan ................................................................. 10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori............................................................................ 1. 12 Tinjauan Umum tentang Hukum Kesehatan ....................... 12 a. Pengertian dan Pengaturan Hukum Kesehatan ............ 12 b. Tujuan dan Asas Hukum Kesehatan ............................ 15 2. Hubungan Hukum antara Rumah Sakit, Dokter dan Pasien 19 9 3. a. Hak dan Kewajiban Rumah Sakit .......................................... 19 b. Hak dan Kewajiban Dokter ...................................................... 21 c. Hak dan Kewajiban Pasien ....................................................... 23 Hubungan Hukum antara Dokter dengan Perusahaan Farmasi .................................................................................................... 27 4. Hubungan Kerjasama antara Rumah Sakit dengan Perusahaan Farmasi ............................................................................. 30 B. Kerangka Pemikiran ..................................................................................... 40 BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Proses Penyusunan Formularium di Rumah Sakit Triharsi Surakarta .......................................................................................................... 42 B. Perjanjian Pengadaan Obat-obatan antara Rumah Sakit Triharsi Surakarta dengan Preusan Farmasi .......................................................... 50 C. Masalah-masalah yang Dihadapi Rumah Sakit Triharsi dalam Pelaksanaan Perjanjian Pengadaan Obat-obatan antara Perusahaan Farmasi dengan Rumah Sakit Triharsi ............................ 69 BAB IV PENUTUP A. Simpulan .......................................................................................................... 74 B. Saran-saran ...................................................................................................... 75 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN 10 ABSTRAK DIAN UMBUL PRAKOSA. E. 1103055. HUBUNGAN KERJASAMA ANTARA RUMAH SAKIT DENGAN PERUSAHAAN FARMASI DALAM PENGADAAN OBAT -OBATAN DI RUMAH SAKIT TRIHARSI SURAKARTA. Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta, Penulisan Hukum (Skripsi). 2010. Penulisan Hukum ini bertujuan mengetahui proses penyusunan formularium di Rumah Sakit Triharsi Surakarta, mengetahui pelaksanaan perjanjian pengadaan obat-obatan antara antara Rumah Sakit Triharsi Surakarta dengan perusahaan farmasi serta masalah-masalah yang dihadapi. Penelitian Hukum ini merupakan penelitian hukum preskriptif dengan pendekatan perundang-undangan. Lokasi penelitian di Rumah Sakit Triharsi Surakarta. Teknik pengumpulan data yang dipergunakan yaitu melalui wawancara dan penelitian kepustakaan baik berupa buku-buku, peraturan perundangundangan, dokumen, internet dan sebagainya. Untuk memperoleh jawaban terhadap permasalahan penelitian hukum ini digunakan silogisme deduksi dengan interpretasi gramatikal. Hasil pengujian terhadap tiga permasalahan diketahui bahwa proses penyusunan formularium di Rumah Sakit Triharsi Surakarta Sakit juga mengacu pada pedoman pengobatan yang berlaku, yaitu mulai dari perencanaan, pengadaan, pemakaian, monitoring, dan evaluasi. Penerapan Formularium Rumah Sakit harus selalu dipantau. Hasil pemantauan dipakai untuk pelaksanaan evaluasi dan revisi agar sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran (Pasal 15 ayat (2) dan (3) Undang-undang No 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit). Perjanjian pengadaan obat-obatan antara antara Rumah Sakit Triharsi surakarta dengan perusahaan farmasi telah sesuai dengan isi atau materi perjanjian pengadaan obat-obatan yang telah disepakati kedua belah pihak. Dalam hal ini pihak PT. Yekatria Husada Farma tinggal mengirim obat-obatan yang telah diminta dan dipesan oleh pihak Rumah Sakit Triharsi. Perjanjian antara Rumah Sakit Triharsi dengan PT. Yekatria Husada Farma hanya terbatas pada perjajian jual beli saja, di mana pedagang besar farmasi, yaitu PT. Yekatria Husada Farma sebagai pemberi kredit atau penjual atau kreditur. Namun demikian, mengenai hal-hal yang telah dijanjikan sudah merupakan suatu perjanjian yang sah meskipun hubungannya hanya terbatas pada penjual dan pembeli saja. PT. Yekatria Husada Farma hanyaakan mengirimkan dan menyerahkan obat-obatan, apabila ada pesanan dari Rumah Sakit Triharsi akan membayar dengan sejumlah uang mengenai harga obat yang telah ditentukan dan disepakati. Masalah-masalah yang dihadapi rumah sakit Triharsi dalam pelaksanaan perjanjian pengadaan obat-obatan antara perusahaan farmasi dengan Rumah Sakit Triharsi Surakarta adalah salah satu pihak ingkar janji dan tidak disiplin. Keterlambatan pengiriman obat-obatan dan penerimaan obat-obatan yang tidak tepat waktunya maupun keterlambatan dalam hal pembayaran. Apabila kendala tersebut terjadi bukan karena adanya unsur kesengajaan, maka permasalahan tersebut diselesaikan secara musyawarah tetapi jika dalam musyarawah tersebut tidak dicapai kata sepakat maka permasalahan tersebut diselesaikan melalui pengadilan negeri setempat 11 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan kesehatan merupakan bagian terpadu dari pembangunan sumber daya manusia, yaitu mewujudkan bangsa yang maju dan mandiri sejahtera lahir dan batin. Salah satu ciri bangsa yang maju adalah bangsa yang mempunyai derajat kesehatan yang tinggi dengan mutu kehidupan yang tinggi pula. Pembangunan manusia seutuhnya harus mencakup aspek jasmani, kejiwaan dan intelektual di samping aspek spiritual dan kepribadian. Untuk itu pembangunan kesehatan ditujukan untuk mewujudkan manusia yang sehat, cerdas, produktif dan mempunyai daya saing yang tinggi. Pembangunan kesehatan manusia dalam tiap tahap kehidupan tersebut, sesuai dengan permasalahan kesehatan yang dihadapi selain berperan dalam pembangunan manusia sebagai insan, pembangunan kesehatan juga berperan penting dalam membangun manusia sebagai sumber daya pembangunan. Kesehatan adalah kebutuhan yang sangat penting bagi manusia karena merupakan modal utama dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Untuk mewujudkan suatu masyarakat yang mempunyai derajat kesehatan yang tinggi maka pelaksanaan pembangunan di sektor kesehatan hendaknya dapat memperbaiki dan memperbanyak sarana kesehatan, baik oleh pemerintah maupun pihak swasta. Dengan adanya lembaga kesehatan diharapkan dapat memberikan pelayanan kesehatan (mulai dari pencegahan hingga pengobatan) yang mempunyai peranan penting dalam pembangunan kesehatan, yaitu meningkatkan cakupan dan mutu layanan agar derajat kesehatan masyarakat menjadi lebih baik untuk mewujudkan manusia yang sehat, cerdas, dan produktif. 12 Dalam rangka lebih meningkatkan pelayanan kesehatan kepada masyarakat akan dilanjutkan dan ditingkatkan pembangunan serta kemampuan pusat kesehatan masyarakat dan rumah sakit, penyediaan tenaga medis dan para medis dan penyediaan obat-obatan yang semakin merata dan terjangkau oleh rakyat banyak. Hal ini ditujukan untuk mengusahakan kesempatan lebih luas bagi setiap warga negara guna mendapatkan derajat kesehatan yang sebaik-baiknya. Usaha ini merupakan salah satu perwujudan dari ide kesejahteraan rakyat. Dalam bidang hukum, pemerintah berusaha untuk meningkatkan kesehatan rakyat dengan memberlakukan peraturan yang berkaitan dengan masalah kesehatan. Dalam Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan ditegaskan bahwa: “Derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dilaksanakan berdasarkan prinsip nondiskriminatif, partisipatif, dan berkelanjutan dalam rangka pembentukan sumber daya manusia Indonesia, serta peningkatan ketahanan dan daya saing bangsa bagi pembangunan nasional”. Dokter pada rumah sakit sebagai profesinya tidak terlepas dari aturan pelaksanaannya dalam Kode Etik Kedokteran. Dalam Pasal 3 Kode Etik Kedokteran disebutkan bahwa dalam melakukan profesi kedokterannya seorang dokter tidak boleh dipengaruhi oleh sesuatu yang mengakibatkan hilangnya kebebasan dan kemandirian profesi. Di dalam penjelasan dari pasal di atas menyebutkan perbuatan yang dipandang bertentangan dengan etik adalah: 1. setiap perbuatan yang bersifat memuji diri sendiri; 2. secara sendiri atau bersama-sama menerapkan pengetahuan dan keterampilan kedokteran dalam segala bentuk tanpa kebebasan profesi; 3. menerima imbalan selain daripada yang layak, sesuai dengan jasanya, kecuali dengan keikhlasan dan pengetahuan dan atau kehendak pasien; 4. membuat ikatan atau menerima imbalan dari perusahaan farmasi/obat, perusahaan alat kesehatan/kedokteran atau badan lain yang dapat mempengaruhi pekerjaan dokter; 13 5. melibatkan diri secara langsung atau tidak langsung untuk mempromosikan obat, alat, atau bahan lain guna kepentingan dan keuntungan pribadi dokter (Penjelasan Pasal 3 Kode Etika Kedokteran). Dalam hal ini dokter pada rumah sakit ditunjuk untuk melakukan jasa, yaitu melakukan pelayanan dalam rangka menyembuhkan pasien. Dalam hubungan ini dokter memberikan informasi mengenai obat yang diperlukan oleh pasien. Dokter pasti mempunyai hubungan dengan penyedia jasa obat (perusahaan farmasi). Hubungan antara dokter pada rumah sakit dengan perusahaan farmasi dapat dilakukan dalam bentuk kerjasama pengadaan obat-obatan. Biasanya bentuk kerjasama yang dilakukan tertuang dalam bentuk perjanjian. Perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada orang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal (Subekti, 2002: 1). Dengan adanya perjanjian tercipta perikatan atau hubungan hukum yang menimbulkan hak dan kewajiban pada masing-masing pihak yang membuat perjanjian. Dengan kata lain, para pihak terikat untuk memenuhi perjanjian yang telah dibuat. Dengan kata lain, para pihak terikat untuk mematuhi kontrak yang telah dibuat. Dalam hal ini fungsi kontrak sama dengan perundang-undangan, tetapi hanya berlaku khusus terhadap para pembuatnya saja (Sanusi Bintang dan Dahlan, 2000: 15). Dengan berperannya rumah sakit sebagai pusat informasi medis dan kesehatan, maka rasionalisasi penyediaan obat akan dapat dicapai dengan memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan yang sebenarnya. Dengan demikian, maka segala sesuatu yang ada pada perusahaan dan penyaluran obat-obatan tidak mungkin akan sampai pada masyarakat apabila tidak melalui apotik dan rumah sakit maupun toko obat. Hubungan antara pasien, dokter dan pihak farmasi rumah sakit sebagai penyedia layanan kesehatan memang unik. Bila pasien menemui seorang dokter, maka dokter akan memeriksa kondisi kesehatan pasien dan mendiagnosa penyakit. Di sini dokter berperan memberikan jasa pengetahuannya di bidang medis sehingga 14 bisa diketahui apa yang merupakan kebutuhan kesehatan (Health Needs) dari pasien. Dokter berperan mengusulkan dan melakukan tindakan medis atau lainnya yang dianggap bermanfaat bagi pasien, misalnya memberikan obat baik oral maupun suntik, merujuk rawat inap, atau bahkan sampai pada tindakan operasi. Dengan kata lain, dokter membantu menciptakan “Demand” pelayanan kesehatan dari pasiennya. Peran dokter menentukan arah pengobatan pasien disebut sebagai “Agency Relationship”, yaitu dokter berperan sebagai ‘agen’ yang mengambil alih sebagian peran pasien untuk menentukan arah pengobatan bagi si pasien sendiri. Seseorang yang diindikasikan mempunyai penyakit jantung koroner misalnya akan disarankan oleh dokter untuk menjalani operasi Coronary Artery Bypass Grafting atau prosedur lain yang dianggap sesuai. Pasien yang dalam hal ini berada dalam posisi sebagai konsumen berada pada pihak yang lemah karena ketidaktahuan dan ketidakmampuannya mendiagnosa apalagi mengobati penyakitnya sendiri. Sedangkan dokter mempunyai pengetahuan, keleluasaan, dan pengaruh yang lebih kepada pasiennya untuk melakukan apa yang dianggap baik untuk pasiennya. (Diskusi lebih lanjut lihat Phelps, 1997). Hubungan dokter dengan pasien terletak pada kenyataan bahwa dalam hubungan ini lekat dengan hidup-matinya seseorang, kecacatan, kesakitan atau ketidaknyamanan. Dalam posisinya yang sedang menderita penyakit, biasanya pasien akan langsung menyerahkan status pengobatan dirinya langsung kepada si dokter tanpa perlu berkonsultasi dengan dokter lainnya (second opinion). Walaupun merupakan hak seorang pasien, pada prakteknya pasiennya sungkan, tidak mau, atau tidak mampu mencari second opinion atas pemeriksaan status kesehatan dan tindakan yang harus dijalaninya. Kondisi tersebut akan berdampal pada praktek kolusi antara produsen/distributor farmasi dengan dokter. Umumnya, dokter meresepkan apa yang dianggap dokter akan bermanfaat dalam proses pengobatan pasiennya. Pasien lalu membeli obat yang diresepkan itu ke apotek. 15 Pasien dihadapkan pada kenyataan bahwa ia harus menerima apapun (dalam hal jenis dan jumlah obat) yang diresepkan dokter padanya. Perusahaan farmasi yang mempunyai merek obat komersial kemudian memanfaatkan kondisi ini dengan memberikan insentif pada sebagian kalangan dokter untuk meresepkan obat yang diproduksinya. Walau belum ada studi akademis tentang kolusi dokter dengan perusahaan farmasi di Indonesia, sudah menjadi rahasia umum bahwa perusahaan farmasi memberikan insentif finansial atau fasilitas lainnya pada dokter yang meresepkan obat yang mereka produksi. Kondisi ini kemudian juga membawa efek pada munculnya berbagai praktek peresepan yang irasional (Irrational Prescribing), dimana dokter meresepkan obat antiobiotika atau obat lainnya secara tidak semestinya kepada pasien. Dari sebuah survey, fenomena peresepan irasional ini dilaporkan terjadi luas di Indonesia (Hadi et al, 2008b). Walau fenomena ini tidak sepenuhnya merupakan akibat dari moral hazard yang dikemukakan di atas, peresepan irasional akan mengarah pada inefesiensi (ekonomi biaya tinggi), pembebanan biaya berlebihan pada pasien dan keluarganya, serta juga bahaya munculnya resistensi obat yang akan berdampak buruk dalam jangka panjang. Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, penulis tertarik untuk mengkaji hubungan kerjasama antara dokter pada rumah sakit dengan perusahaan farmasi dalam pengadaan obat-obatan. Untuk itu penulis dalam penelitian ini mengambil judul “Hubungan Kerjasama Antara Rumah Sakit dengan Perusahaan Farmasi dalam Pengadaan Obat-obatan di Rumah Sakit Triharsi Surakarta”. B. Rumusan Masalah Agar permasalahan yang diteliti tidak berkembang luas, maka perlu dibatasi kajiannya yakni tentang hubungan kerjasama antara rumah sakit dengan 16 perusahaan farmasi dalam pengadaan obat-obatan di Rumah Sakit Triharsi Surakarta. Adapun rumusan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana proses penyusunan formularium di Rumah Sakit Triharsi Surakarta? 2. Apakah perjanjian pengadaan obat-obatan antara antara Rumah Sakit Triharsi Surakarta dengan perusahaan farmasi sudah sesuai dengan formularium? 3. Masalah-masalah apakah yang dihadapi Rumah Sakit Triharsi dalam pelaksanaan perjanjian pengadaan obat-obatan antara perusahaan farmasi dengan Rumah Sakit Triharsi? C. Tujuan Penelitian Suatu penelitian harus mempunyai tujuan yang jelas dan pasti, karena tujuan akan menjadi pedoman dalam pengadaan penelitian. Adapun tujuan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Tujuan Objektif a. Untuk mengetahui proses penyusunan formularium di Rumah Sakit Triharsi Surakarta. b. Untuk mengetahui apakah perjanjian pengadaan obat-obatan antara antara Rumah Sakit Triharsi Surakarta dengan perusahaan farmasi sudah sesuai dengan formularium. c. Untuk mengetahui masalah-masalah yang dihadapi Rumah Sakit Triharsi dalam pelaksanaan perjanjian pengadaan obat-obatan antara perusahaan farmasi dengan Rumah Sakit Triharsi. 2. Tujuan Subjektif a. Menambah wawasan pengetahuan serta pemahaman penulis terhadap penerapan teori-teori yang penulis terima selama menempuh kuliah dalam mengatasi masalah hubungan kerjasama antara rumah sakit dengan perusahaan farmasi dalam pengadaan obat-obatan di rumah sakit. 17 b. Memperoleh data-data yang penulis pergunakan dalam penyusunan skripsi sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar kesarjanaan dalam ilmu hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret. D. Manfaat Penelitian Adapun dalam penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik untuk kepentingan akademis maupun untuk kepentingan praktis, yaitu: 1. Untuk kepentingan akademis hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk mengembangkan ilmu hukum khususnya dalam bidang Hukum Administrasi Negara. 2. Dapat dijadikan pertimbangan bagi Rumah Sakit Triharsi mengenai hal-hal yang perlu diperhatikan dalam melaksanakan kerjasama pengadaan obat-obatan dengan perusahaan farmasi. 3. Untuk kepentingan praktis, hasil penelitian ini diharapkan akan dapat memberikan manfaat bagi pengambil kebijakan di Rumah Sakit Triharsi dalam mengatasi permasalahan-permasalahan yang dihadapi dalam pelaksanaan perjanjian pengadaan obat-obatan antara perusahaan farmasi dengan Rumah Sakit Triharsi. E. Metode Penelitian Pengertian metode adalah cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai suatu maksud (Poerwodarminto, 1976: 64). Penelitian merupakan kegiatan ilmiah guna menemukan, mengembangkan, atau menguji kebenaran suatu pengetahuan yang dilakukan secara ilmiah dan sistematis sesuai dengan pedoman penulisan suatu karya ilmiah. Metode merupakan suatu unsur yang mutlak harus ada dalam penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan (Soerjono Soekanto, 18 1986: 7). Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian sebagai berikut: 1. Jenis Penelitian Dilihat dari jenisnya, penelitian hukum ini merupakan penelitian hukum normatif atau doktrinal yang merupakan salah satu jenis penelitian kepustakaan yaitu dalam penelitian ini penulis mencari dan mendapatkan data yang diperoleh dari sumber kedua, diantaranya yaitu buku-buku referensi, makalah seminar, dan sumber pustaka lainnnya tentang perjanjian hubungan kerjasama. Sumber pencarian data berasal dari instansi/lembaga/pusatpusat informasi dan dokumentasi lain yang memiliki kapasitas untuk menyediakan bahan-bahan tersebut yaitu: perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS) dan sumber-sumber lain yang representatif untuk mendukung kesempurnaan dan kelengkapan data. 2. Sifat Penelitian Penelitian yang digunakan bersifat preskriptif merupakan penelitian hukum dalam rangka untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi (Peter Mahmud, 2006: 35). Penulis mengevaluasi lalu memberikan penilaian terhadap realitas yang ada di lapangan dengan pendekatan normatif. 3. Pendekatan Penelitian Menurut pendekatan penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan (statue approach), yaitu menelaah undang-undang dan regulasi yang terkait dengan isu hukum yang diangkat dan pendekatan analisis hukum (analythical approach), yaitu peneliti akan menelaah mengkaji secara mendalam atas bunyi teks sebuah peraturan perundang-undangan. 4. Jenis Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yaitu berupa data yang diperoleh dari sumber kedua, diantaranya yaitu buku- 19 buku referensi, makalah, dan sumber pustaka lainnya tentang perjanjian hubungan kerjasama. 5. Sumber Data Dalam penelitian hukum normatif doktrinal dipergunakan data yang bersifat sekunder. Data Sekunder merupakan data yang diperoleh dari bahan kepustakaan, adapun bahan sekunder yang dibutuhkan adalah: a. Bahan Hukum Primer Bahan Hukum Primer adalah bahan hukum yang mengikat secara langsung antara pihak Rumah Sakit Triharsi dengan perusahaan farmasi yaitu Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Undang-undang Kesehatan No 36 Tahun 2009, Undang-undang Kedokteran No 29 Tahun 2004, Undangundang Farmasi No 7 Tahun 1963. b. Bahan Hukum Sekunder Bahan Hukum Sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan bahan hukum primer yaitu buku-buku, majalah-majalah, karya ilmiah, hasil penelitian lainnya yang berhubungan dengan permasalahan. c. Bahan Hukum tersier Bahan Hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk terhadap bahan hukum primer dan sekunder, yaitu: kamus hukum, kamus Bahasa Indonesia, dan bahan hukum lainnya yang memberikan petunjuk dalam penelitian ini. 6. Teknik Pengumpulan Data a. Wawancara Teknik pengumpulan data dengan melakukan Tanya jawab dengan informan yaitu Direktur, Dokter dan Kepala Bagian Pengadaan Obatobaran Rumah Sakit Triharsi Surakarta. 20 b. Penelitian Kepustakaan Teknik pengumpulan data ini digunakan dalam rangka memperoleh data sekunder, yaitu dengan cara membaca, mengkaji dan mempelajari bahan-bahan referensi yang berkaitan dengan materi yang diteliti. 7. Teknik Analisis Data Untuk memperoleh jawaban terhadap permasalahan penelitian hukum ini digunakan silogisme deduksi dengan interpretasi gramatikal. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan eknis analisis deduksi. Metode deduksi adalah metode yang berpangkal dari pengajuan premis mayor yang kemudian diajukan premis minor dan dari kedua premis tersebut kemudian ditarik suatu kesimpulan atau conclusion (Peter Mahmud, 2006: 47). Penelitian hukum yang dilakukan oleh penulis adalah dengan menggunakan interpretasi gramatikal. Interpretasi gramatikal merupakan cara penafsiran atau penjelasan untuk mengetahui makna ketentuan undang-undang dengan menguraikannya menurut bahasa, susun kata atau bunyinya. Makna ketentuan undang-undang dijelaskan menurut bahasa sehari-hari yang umum. Hakim tidaklah terikat erat pada bunyi kata-kata dari undang-undang (Sudikno Mertokusumo dan A.Pitlo, 19993:14). F. Sistematika Penelitian Sistematika dalam penulisan hukum ini merupakan suatau uraian mengenai susunan dari penulisan itu sendiri yang secara teratur dan terperinci disusun dalam pembabagan, sehingga dapat memberikan suatu gambaran yang jelas tentang apa yang ditulis. Tiap-tiap bab mempunyai hubungan satu sama lain yang tidak dapat terpisahkan. Dalam kerangka ini, penulis akan memberikan uraian tentang hal-hal pokok yang ada dalam penulisan hukum ini. Adapun sistematika penulisan hukum ini terdiri dari empat bab, yaitu : 21 Pendahuluan, dalam bab ini penulis mengemukakan mengenai latar belakang masalah yang merupakan hal-hal yang mendorong penulis untuk mengadakan penelitian, perumusan masalah merupakan inti permasalahan yang akan diteliti, tujuan penelitian berisi tujuan dari penulis dalam mengadakan penelitian, manfaat penelitian merupakan hal-hal yang diambil dari hasil penelitian, metode penelitian berupa jenis penelitian, sifat penelitian, jenis data, sumber data, teknik pengumpulan data, dan teknik analisis data selanjutnya adalah sistematika penulisan hukum yang merupakan kerangka atau susunan isi penelitian. Tinjauan Pustaka, dalam bab ini berisi tentang teori-teori kepustakaan yang melandasi penelitian serta mendukung di dalam memecahkan masalah yang diangkat dalam penulisan hukum ini yaitu : tinjauan umum tentang hukum kesehatan, hubungan hukum antara rumah sakit, dokter dan pasien, hubungan hukum antara dokter dengan apotek, hubungan kerjasama antara rumah sakit dengan perusahaan farmasi dan kerangka pemikiran. Hasil Penelitian dan Pembahasan, dalam bab ini berisi tentang proses penyusunan formularium di Rumah Sakit Triharsi Surakarta, apakah perjanjian pengadaan obat-obatan antara antara Rumah Sakit Triharsi Surakarta dengan perusahaan farmasi sudah sesuai dengan formularium. Masalah-masalah yang dihadapi Rumah Sakit Triharsi dalam pelaksanaan perjanjian pengadaan obatobatan antara perusahaan farmasi dengan Rumah Sakit Triharsi. Penutup, dalam bab ini berisi tentang kesimpulan dan saran-saran. 22 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Umum tentang Hukum Kesehatan a. Pengertian dan Pengaturan Hukum Kesehatan Dalam era reformasi saat ini, hukum memegang peran penting dalam berbagai segi kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi setiap orang, yang merupakan bagian integral dari kesejahteraan, diperlukan dukungan hukum bagi penyelenggaraan berbagai kegiatan di bidang kesehatan. Perubahan konsep pemikiran penyelenggaraan pembangunan kesehatan tidak dapat dielakkan. Pada awalnya pembangunan kesehatan bertumpu pada upaya pengobatan penyakit dan pemulihan kesehatan, bergeser pada penyelenggaraan upaya kesehatan yang menyeluruh dengan penekanan pada upaya pencegahan penyakit dan peningkatan kesehatan. Paradigma ini dikenal dalam kalangan kesehatan sebagai paradigma sehat. Sebagai konsekuensi logis dari diterimanya paradigma sehat maka segala kegiatan apapun harus berorientasi pada wawasan kesehatan, tetap dilakukannya pemeliharaan dan peningkatan kualitas individu, keluarga dan masyarakat serta lingkungan dan secara terus menerus memelihara dan meningkatkan pelayanan kesehatan yang bermutu, merata, dan terjangkau serta mendorong kemandirian masyarakat untuk hidup sehat. Secara ringkas untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi setiap orang maka harus secara terus menerus dilakukan perhatian yang sungguh-sungguh bagi penyelenggaraan pembangunan nasional yang 23 berwawasan kesehatan, adanya jaminan atas pemeliharaan kesehatan, ditingkatkannya profesionalisme dan dilakukannya desentralisasi bidang kesehatan. Kegiatan-kegiatan tersebut sudah barang tentu memerlukan perangkat hukum kesehatan yang memadai. Perangkat hukum kesehatan yang memadai dimaksudkan agar adanya kepastian hukum dan perlindungan yang menyeluruh baik bagi penyelenggara upaya kesehatan maupun masyarakat penerima pelayanan kesehatan. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah yang dimaksud dengan hukum kesehatan, apa yang menjadi landasan hukum kesehatan, materi muatan peraturan perundang-undangan bidang kesehatan, dan hukum kesehatan di masa mendatang. Diharapkan jawaban atas pertanyaan tersebut dapat memberikan sumbangan pemikiran, baik secara teoritikal maupun praktikal terhadap keberadaan hukum kesehatan. Untuk itu dilakukan kajian normatif, kajian yang mengacu pada hukum sebagai norma dengan pembatasan pada masalah kesehatan secara umum melalui tradisi keilmuan hukum. Hukum adalah peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh suatu kekuasaan dalam mengatur pergaulan hidup dalam masyarakat agar masyarakat bisa teratur. Hukum perdata mengatur subjek dan antar subjek dalam hubungan interrelasi (kedudukan sederajat) (1887). Hukum pidana adalah peraturan mengenai hikum KUHP di Indonesia (1 Januari 1918) Hukum kesehatan (No. 36 Tahun 2009) adalah semua ketentuan hukum yang berhubungan langsung dengan pemeliharaan / pelayanan dan penerapannya. Yang diatur menyangkut hak dan kewajiban baik perorangan dan segenap lapisan masyarakat sebagai penerima pelayanan kesehatan maupun dari pihak penyelenggara pelayanan kesehatan dalam segala aspeknya, organisasi, sarana pedoman standar pelayanan medik, ilmu 24 pengetahuan kesehatan dan hukum serta sumber-sumber hukum lainnya. Hukum kesehatan mencakup komponen-komponen yang berhubungan dengan kesehatan, contohnya hukum pelayanan kesehatan terhadap keluarga miskin (Gakin). Dalam hubungan ini hukum kesehatan yang dikaji dibagi dalam 3 (tiga) kelompok sesuai dengan tiga lapisan ilmu hukum yaitu dogmatik hukum, teori hukum, dan filsafat hukum. Selanjutnya untuk memecahkan isu hukum, pertanyaan hukum yang timbul maka digunakan pendekatan konseptual, statuta, historis, dogmatik, dan komparatif. Namun adanya keterbatasan waktu maka kajian ini dibatasi hanya melihat peraturan perundang-undangan bidang kesehatan. Van der Mijn (1984: 2) di dalam makalahnya menyatakan bahwa, “…health law as the body of rules that relates directly to the care of health as well as the applications of general civil, criminal, and administrative law”. Leenen (1981: 22) mendefinisikan hukum kesehatan adalah “…. het geheel van rechtsregels, dat rechtstreeks bettrekking heft op de zorg voor de gezondheid en de toepassing van overig burgelijk, administratief en strafrecht in dat verband. Dit geheel van rechtsregels omvat niet alleen wettelijk recht en internationale regelingen, maar ook internationale richtlijnen gewoonterecht en jurisprudenterecht, terwijl ook wetenschap en literatuur bronnen van recht kunnen zijn”. Dari apa yang dirumuskan Leenen tersebut memberikan kejelasan tentang apa yang dimaksudkan dengan cabang baru dalam ilmu hukum, yaitu hal-hal yang berkaitan dengan pemeliharaan kesehatan (zorg voor de gezondheid). Rumusan tersebut dapat berlaku secara universal di semua negara. Dikatakan demikian karena tidak hanya bertumpu pada peraturan perundang-undangan saja tetapi mencakup kesepakatan/peraturan internasional, asas-asas yang berlaku secara internasional, kebiasaan, yurisprudensi, dan doktrin. 25 Di sini dapat dilukiskan bahwa sumber hukum dalam hukum kesehatan meliputi hukum tertulis, yurisprudensi, dan doktrin. Dilihat dari objeknya, maka hukum kesehatan mencakup segala aspek yang berkaitan dengan pemeliharaan kesehatan (zorg voor de gezondheid). Dengan demikian dapat dibayangkan bahwa hukum kesehatan cukup luas dan kompleks. Jayasuriya (1997: 16 – 28) mengidentifikasikan ada 30 (tiga puluh) jenis peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan kesehatan. Secara umum dari lingkup hukum kesehatan tersebut, materi muatan yang dikandung didalamnya pada asasnya adalah memberikan perlindungan kepada individu, masyarakat, dan memfasilitasi penyelenggaraan upaya kesehatan agar tujuan kesehatan dapat tercapai. Jayasuriya bertolak dari materi muatan yang mengatur masalah kesehatan menyatakan ada 5 (lima) fungsi yang mendasar, yaitu pemberian hak, penyediaan perlindungan, peningkatan kesehatan, pembiayaan kesehatan, dan penilaian terhadap kuantitas dan kualitas dalam pemeliharaan kesehatan (Jayasuriya, 1997: 33). Dalam perjalanannya diingatkan oleh Pinet (1998: 134) bahwa untuk mewujudkan kesehatan untuk semua, diidentifikasikan faktor determinan yang mempengaruhi sekurang-kurangnya mencakup, “... biological, behavioral, environmental, health system, socio economic, socio cultural, aging the population, science and technology, information and communication, gender, equity and social justice and human rights”. b. Tujuan dan Asas Hukum Kesehatan Secara global menurut Schuyt (1989: 13) bahwa tujuan yang ingin dicapat adalah: 1) penyelenggaraan ketertiban sosial; 2) pencegahan dari konflik yang tidak menyenangkan; 26 3) jaminan pertumbuhan dan kemandirian penduduk secara individual; 4) penyelenggaraan pembagian tugas dari berbagai peristiwa yang baik dalam masyarakat; 5) kanalisasi perubahan sosial. Hermien Hadiati Koeswadji (1998: 22) menyatakan pada asasnya hukum kesehatan bertumpu pada hak atas pemeliharaan kesehatan sebagai hak dasar social (the right to health care) yang ditopang oleh 2 (dua) hak dasar individual yang terdiri dari hak atas informasi (the right to information) dan hak untuk menentukan nasib sendiri (the right of self determination). Sejalan dengan hal tersebut Roscam Abing (1998: 103) mentautkan hukum kesehatan dengan hak untuk sehat dengan menyatakan bahwa hak atas pemeliharaan kesehatan mencakup berbagai aspek yang merefleksikan pemberian perlindungan dan pemberian fasilitas dalam pelaksanaannya. Untuk merealisasikan hak atas pemeliharaan bisa juga mengandung pelaksanaan hak untuk hidup, hak atas privasi, dan hak untuk memperoleh informasi. Sebenarnya dalam kajian ini akan disajikan menyangkut seluruh lingkup hukum kesehatan, namun keterbatasan waktu, maka penyajian dibatasi pada materi muatan peraturan perundang-undangan bidang kesehatan. Segala sesuatu yang berkaitan dengan kesehatan seringkali dikatakan sebagian masyarakat kesehatan dengan ucapan saratnya peraturan. Peraturan dimaksud dapat berupa peraturan perundang-undangan yang berlaku umum dan berbagai ketentuan internal bagi profesi dan asosiasi kesehatan. Agar diperoleh gambaran yang lebih menyeluruh maka digunakan susunan 3 (tiga) komponen dalam suatu sistem hukum seperti yang dikemukakan Schuyt.(9) Ketiga komponen dimaksud adalah keseluruhan peraturan, norma dan ketetapan yang dilukiskan sebagai sistem 27 pengertian, betekenissysteem, keseluruhan organisasi dan lembaga yang mengemban fungsi dalam melakukan tugasnya, organisaties instellingen dan keseluruhan ketetapan dan penanganan secara konkret telah diambil dan dilakukan oleh subjek dalam komponen kedua, beslisingen en handelingen. Dalam komponen pertama yang dimaksudkan adalah seluruh peraturan, norma dan prinsip yang ada dalam penyelenggaraan kegiatan di bidang kesehatan. Bertolak dari hal tersebut dapat diklasifikasikan ada 2 (dua) bentuk, yaitu ketentuan-ketentuan yang dibuat oleh penguasa dan ketentuan yang dibuat oleh organisasi profesi dan asosiasi kesehatan. Hubungan antara keduanya adalah ketentuan yang dibuat oleh organisasi profesi dan asosiasi kesehatan serta sarana kesehatan hanya mengikat ke dalam dan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan yang dibuat oleh penguasa. Menurut inventarisasi yang dilakukan terhadap ketentuan yang dikeluarkan penguasa dalam bentuk peraturan perundang-undangan terdapat 2 (dua) kategori, yaitu yang bersifat menetapkan dan yang bersifat mengatur. Dari sudut pandang materi muatan yang ada dapat dikatakan mengandung 4 (empat) obyek, yaitu: 1) Pengaturan yang berkaitan dengan upaya kesehatan; 2) Pengaturan yang berkaitan dengan tenaga kesehatan; 3) Pengaturan yang berkaitan dengan sarana kesehatan; 4) Pengaturan yang berkaitan dengan komoditi kesehatan. Apabila diperhatikan dari ketentuan tersebut terkandung prinsip perikemanusiaan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, manfaat, usaha bersama dan kekeluargaan, adil dan merata, perikehidupan dalam keseimbangan dan kepercayaan pada kemampuan dan kekuatan sendiri. Selanjutnya dari ketentuan yang ada dalam keputusan dan peraturan yang 28 dibuat oleh organisasi profesi dan asosiasi bidang kesehatan serta sarana kesehatan adalah mencakup kode etik profesi, kode etik usaha dan berbagai standar yang harus dilakukan dalam penyelenggaraan upaya kesehatan. Apabila diperhatikan prinsip-prinsip yang dikandung dalam ketentuan ini mencakup 4 (empat) prinsip dasar, yaitu autonomy, beneficence, non maleficence dan justice (Beauchamp dan Childress, 1994: 38). Sebelum memasuki komponen kedua, perlu dibahas terlebih dahulu komponen ketiga mengenai intervensi yang berupa penanganan yang dilakukan berdasarkan ketentuan yang diatur. Komponen ini merupakan aktualisasi terhadap komponen ideal yang ada dalam komponen pertama. Bila diperhatikan isi ketentuan yang ada dimana diperlukan penanganan terdapat 4 (empat) sifat, yaitu: 1) Perintah (gebod) yang merupakan kewajiban umum untuk melakukan sesuatu; 2) Larangan (verbod) yang merupakan kewajiban umum untuk tidak melakukan sesuatu; 3) Pembebasan (vrijstelling, dispensatie) berupa pembolehan khusus untuk tidak melakukan sesuatu yang secara umum diharuskan. 4) Izin (toesteming, permissie) berupa pembolehan khusus untuk melakukan sesuatu yang secara umum dilarang (Bruggink, 1993: 72). Tindakan penanganan yang dilakukan apakah sudah benar atau tidak, kiranya dapat diukur dengan tatanan hukum seperti yang dikemukakan oleh Nonet dan Selznick, yaitu apakah masih bersifat represif, otonomous atau responsive. Selanjutnya dengan komponen kedua tentang organisasi yang ada dalam penyelenggaraan upaya kesehatan dapat dibagi dalam 2 (dua) bagian besar yaitu organisasi pemerintah dan organisasi/badan swasta. Pada organisasi pemerintah mencakup aparatur pusat dan daerah serta 29 departemen dan lembaga pemerintah non departemen. Pada sektor swasta terdapat berbagai organisasi profesi, asosiasi dan sarana kesehatan yang mempunyai tugas dan fungsi di bidang kesehatan. 2. Hubungan Hukum antara Rumah Sakit, Dokter dan Pasien Hak dan Kewajiban Pasien atau Dokter dan Rumah sakit merupakan unsur yang penting untuk diketahui dan dilaksanakan oleh semua pihak untuk menjaga rasa saling percaya dan hormat menghormati antara pasien, dokter dan rumah sakit. a. Hak dan Kewajiban Rumah Sakit Didalam memberikan pelayanan kepada pasien dan bermitra dengan dokter rumah sakit memiliki hak dan kewajiban yang diatur sesuai dengan Kode Etik Rumah Sakit (KODERSI), Surat Edaran Dirjen Yan Med No: YM 02.04.3.5.2504 tentang Pedoman Hak dan Kewajiban Pasien, Dokter dan Rumah Sakit. Hak rumah sakit adalah kekuasaan/ kewenangan yang dimiliki rumah sakit untuk mendapatkan atau memutuskan untuk berbuat sesuatu 1) Membuat peraturan-peraturan yang berlaku di rumah sakit sesuai dengan kondisi/keadaan yang ada di rumah sakit tersebut 2) Memasyarakatkan bahwa pasien harus mentaati segala peraturan rumah sakit 3) Memasyarakatkan bahwa pasien harus mentaati segala instruksi yang diberikan dokter kepadanya 4) Memilih tenaga dokter yang akan bekerja di rumah sakit melalui panitia kredential 5) Menuntut pihak-pihak yang telah melakukan wanprestasi (termasuk pasien, pihak ketiga, dan lain-lain) 6) Mendapat jaminan dan perlindungan hukum 30 7) Hak untuk mendapatkan imbalan jasa pelayanan yang telah diberikan kepada pasien Kewajiban Rumah Sakit : 1) Mematuhi peraturan dan perundangan yang dikeluarkan oleh Pemerintah 2) Memberikan pelayanan pada pasien tanpa membedakan golongan dan status pasien 3) Merawat pasien sebaik-baiknya dengan tidak membedakan kelas perawatan (Duty of Care) 4) Menjaga mutu perawatan tanpa membedakan kelas perawatan (Quality of Care) 5) Memberikan pertolongan pengobatan di Unit Gawat Darurat tanpa meminta jaminan materi terlebih dahulu 6) Menyediakan sarana dan peralatan umum yang dibutuhkan 7) Menyediakan sarana dan peralatan medik sesuai dengan standar yang berlaku 8) Menjaga agar semua sarana dan peralatan senantiasa dalam keadaan siap pakai 9) Merujuk pasien ke rumah sakit lain apabila tidak memiliki sarana, prasarana, peralatan dan tenaga yang diperlukan 10) Mengusahakan adanya sistem, sarana dan prasarana pencegahan kecelakaan dan penanggulangan bencana 11) Melindungi dokter dan memberikan bantuan administrasi dan hukum bilamana dalam melaksanakan tugas dokter tersebut mendapatkan perlakuan tidak wajar atau tuntutan hukum dari pasien atau keluarganya 12) Mengadakan perjanjian tertulis dengan para dokter yang bekerja di rumah sakit tersebut 31 13) Membuat standar dan prosedur tetap untuk pelayanan medik, penunjang medik, maupun non medik. 14) Mematuhi Kode Etik Rumah Sakit (KODERSI) b. Hak dan Kewajiban Dokter Didalam memberikan layanan kedokteran, dokter mempunyai hak dan kewajiban sebagaimana tercantum dalam Dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktek Kedokteran; Kode Etik Kedokteran Indonesia; Pernyataan IDI; Lampiran SK PB IDI dan Surat edaran Dirjen Yanmed No: YM 02.04.3.5.2504 th. 1997 tentang Pedoman Hak dan Kewajiban Pasien, Dokter dan Rumah Sakit HAK DOKTER Hak dokter adalah kekuasaan/kewenangan dokter untuk mendapatkan atau memutuskan untuk berbuat sesuatu: 1) Hak pemperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional. 2) Memberikan pelayanan medis menurut standar profesi dan standar prosedur operasional serta berdasarkan hak otonomi dan kebutuhan medis pasien yang sesuai dengan jenis dan strata sarana pelayanan kesehatan 3) Hak untuk menolak keinginan pasien yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, profesi dan etika. 4) Hak untuk mengakhiri/menghentikan jasa profesionalnya kepada pasien apabila hubungan dengan pasien sudah berkembang begitu buruk sehingga kerjasama yang baik tidak mungkin diteruskan lagi dan wajib menyerahkan pasien kepada dokter lain, kecuali untuk pasien gawat darurat 5) Hak atas 'privacy’ (berhak menuntut apabila nama baiknya dicemarkan oleh pasien dengan ucapan atau tindakan yang melecehkan atau memalukan) 32 6) Hak memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien atau keluarganya 7) Hak atas informasi atau pemberitahuan pertama dalam menghadapi pasien yang tidak puas terhadap pelayanannya 8) Hak untuk diperlakukan adil dan jujur, baik oleh rumah sakit maupun oleh pasien. 9) Hak mendapatkan imbalan jasa profesi yang diberikan berdasarkan perjanjian dan atau ketentuan/peraturan yang berlaku di rumah sakit KEWAJIBAN DOKTER 1) Mematuhi peraturan rumah sakit sesuai hubungan hukum antara dokter tersebut dengan rumah sakit 2) Memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien yang sesuai dengan jenis dan strata sarana pelayanan kesehatan 3) Merujuk pasien ke dokter lain/rumah sakit lain yang memiliki keahlian atau kemampuan yang lebih baik, apabila ia tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan 4) Memberikan kesempatan kepada pasien agar senantiasa dapat berhubungan dengan keluarga dan dapat menjalankan ibadah sesuai dengan keyakinanya. 5) Merahasiakan segala sesuatu yang diketahui tentang pasien (menjaga kerahasiaan pasien) bahkan setelah pasien meninggal dunia. 6) Melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali ia yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu melaksanakan. 7) Meminta persetujuan pada setiap melakukan tindakan kedokteran, khusus untuk tindakan yang berisiko persetujuan dinyatakan secara tertulis. Persetujuan dimintakan setelah dokter menjelaskan tentang : diagnosa, tujuan tindakan, alternatif tindakan, risiko tindakan, komplikasi dan prognose. 33 8) Membuat catatan rekam medis yang baik secara berkesinambungan berkaitan dengan keadaan pasien. 9) Menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran 10) Memenuhi hal- hal yang telah disepakati/perjanjian yang telah dibuatnya 11) Bekerjasama dengan profesi dan pihak lain yang terkait secara timbal balik dalam memberikan pelayanan kepada pasien 12) Dokter wajib mengadakan perjanjian tertulis dengan pihak rumah sakit 13) Dalam melakukan praktik kedokteran di Indonesia wajib memiliki surat izin praktik dokter. 14) Dalam melakukan praktik kedokteran di Indonesia wajib memiliki surat tanda registrasi dokter dan surat tanda registrasi dokter. 15) Dokter yang berhalangan menyelenggarakan praktik kedokteran harus membuat pemberitahuan atau menunjuk dokter pengganti 16) Wajib menyelenggarakan kendali mutu dan kendali biaya dalam memberikan pelayanan kesehatan. 17) Wajib menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan Sumpah Dokter dan Kode Etik Kedokteran I ndonesia. c. Hak dan Kewajiban Pasien Didalam mendapatkan layanan kesehatan, pasien mempunyai hak dan kewajiban sebagaimana Surat edaran DirJen Yan Medik No: YM.02.04.3.5.2504 Tentang Pedoman Hak dan Kewajiban Pasien, Dokter dan Rumah Sakit, th.1997; Undang-undang Republik Indonesia No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktek Kedokteran dan Pernyataan/SK PB. IDI, sebagai berikut : HAK PASIEN Hak pasien adalah hak-hak pribadi yang dimiliki manusia sebagai pasien: 1) Hak memperoleh informasi mengenai tata tertib dan peraturan yang berlaku di rumah sakit. Hak atas pelayanan yang manusiawi, adil dan jujur 34 2) Hak untuk mendapatkan pelayanan medis yang bermutu sesuai dengan standar profesi kedokteran dan tanpa diskriminasi 3) Hak memperoleh asuhan keperawatan sesuai dengan standar profesi keperawatan 4) Hak untuk memilih dokter dan kelas perawatan sesuai dengan keinginannya dan sesuai dengan peraturan yang berlaku di rumah sakit 5) Hak dirawat oleh dokter yang secara bebas menentukan pendapat klinik dan pendapat etisnya tanpa campur tangan dari pihak luar 6) Hak atas 'second opinion' / meminta pendapat dokter lain 7) Hak atas ”privacy” dan kerahasiaan penyakit yang diderita termasuk data-data medisnya kecuali apabila ditentukan berbeda menurut peraturan yang berlaku 8) Hak untuk memperoleh informasi /penjelasan secara lengkap tentang tindakan medik yang akan dilakukan terhadap dirinya. 9) Hak untuk memberikan persetujuan atas tindakan yang akan dilakukan oleh dokter sehubungan dengan penyakit yang dideritanya 10) Hak untuk menolak tindakan yang hendak dilakukan terhadap dirinya dan mengakhiri pengobatan serta perawatan atas tanggung jawab sendiri sesudah memperoleh informasi yang jelas tentang penyakitnya. 11) Hak didampingi keluarga dan atau penasehatnya dalam beribad dan atau masalah lainya (dalam keadaan kritis atau menjelang kematian). 12) Hak beribadat menurut agama dan kepercayaannya selama tidak mengganggu ketertiban dan ketenangan umum/pasien lainya. 13) Hak atas keamanan dan keselamatan selama dalam perawatan di rumah sakit 14) Hak untuk mengajukan usul, saran, perbaikan atas pelayanan rumah sakit terhadap dirinya 15) Hak menerima atau menolak bimbingan moril maupun spiritual 35 16) Hak transparansi biaya pengobatan/tindakan medis yang akan dilakukan terhadap dirinya (memeriksa dan mendapatkan penjelasan pembayaran) 17) Hak akses /'inzage' kepada rekam medis/ hak atas kandungan ISI rekam medis miliknya KEWAJIBAN PASIEN 1) Memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah kesehatannya kepada dokter yang merawat 2) Mematuhi nasihat dan petunjuk dokter dan perawat dalam pengobatanya. 3) Mematuhi ketentuan/peraturan dan tata-tertib yang berlaku di rumah sakit 4) Memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima. 5) Berkewajiban memenuhi hal-hal yang telah disepakati/perjanjian yang telah dibuatnya Dalam banyak kasus, biasanya pasien datang ke dokter atau Rumah Sakit dalam keadaan pasrah menyerahkan sepenuhnya pengobatan dirinya kepada dokter atau Rumah Sakit yang merawatnya. Dia tidak perduli lagi dengan apa yang akan dilakukan dokter terhadap dirinya berkenaan dengan penyakitnya. Dengan demikian hubungan pasien dan dokter lebih menyerupai hubungan orang tua dengan anak, atau bersifat ”paternalistik”. Dengan makin meningkatnya kesadaran masyarakat akan hakhaknya, hubungan pasien dengan dokter atau pasien dengan Rumah Sakit mengalami perubahan yang cukup berarti. Saat ini pasien menyadari bahwa dia harus tahu tentang kondisi penyakitnya serta apa yang akan dilakukan dokter atau Rumah Sakit terhadap dirinya, bahkan sering kali pasien merasa perlu berdiskusi dengan dokter yang merawatnya. Dengan demikian hubungan pasien-dokter atau pasien-Rumah Sakit sudah bergeser menjadi lebih bersifat ”partnership” atau kemitraan. Tanpa kerja sama dengan 36 pasien, dokter tidak mungkin melakukan pemeriksaan dan memberikan pengobatan secara optimal, dan keberhasilan seluruh perawatan dan pengobatan seringkali tergantung kerjasama pasien–dokter-tim medis. Sebagai pasien di Rumah Sakit setiap orang memiliki hak-hak tertentu yang perlu Anda ketahui. Hak-hak pasien tersebut di antaranya adalah: 1) Hak untuk mendapatkan pelayanan yang manusiawi, 2) Hak memperoleh asuhan perawatan yang bermutu baik, 3) Hak untuk memilih dokter yang merawat, 4) Hak untuk meminta dokter yang merawat agar mengadakan konsultasi dengan dokter lain, 5) Hak atas ”privacy” dan kerahasiaan berkenaan penyakit yang diderita, 6) Hak untuk mendapatkan informasi yang jelas tentang: penyakit yang diderita; tindakan medis apa yang akan dilakukan dan kemungkinan timbulnya penyulit sebagai akibat tindakan tersebut; alternatif pengobatan lain; prognosis atau perjalanan penyakit; serta perkiraan biaya pengobatan, 7) Hak meminta untuk tidak diinformasikan tentang penyakitnya kepada orang atau pihak lain, 8) Hak untuk menolak tindakan yang akan dilakukan terhadap dirinya, 9) Hak untuk mengajukan keluhan-keluhan dan memperoleh tanggapan segera, 10) Hak untuk didampingi keluarga pada saat kondisi kritis, 11) Hak mengakhiri pengobatan dan rawat inap atas tanggung jawab sendiri 12) Hak untuk menjalankan ritual agama dan kepercayaannya di Rumah Sakit, selama tidak mengganggu pengobatan dan pasien yang lain. Kewajiban Namun perlu diketahui dan dipahami bahwa selain hak-hak yang Anda 37 miliki seperti tersebut di atas, sebagai pasien di Rumah Sakit Anda juga harus memenuhi kewajiban-kewajiban pasien yaitu antara lain: 1) Pasien dan keluarganya berkewajiban untuk mentaati segala peraturan dan tata tertib di Rumah Sakit, 2) Pasien wajib untuk menceritakan secara jujur tentang segala sesuatu mengenai penyakit yang dideritanya, 3) Pasien berkewajiban untuk mematuhi segala instruksi dokter dalam rangka pengobatannya, 4) Pasien dan, atau penanggungnya berkewajiban untuk memenuhi segala perjanjian yang ditandatanganinya. 5) Dokter dan Rumah Sakit juga memiliki hak dan kewajibankewajibannya, sehingga dengan memahami hak dan kewajiban masingmasing diharapkan proses perawatan dan pengobatan di Rumah Sakit bisa berjalan dengan baik (http://badanmutu.or.id). 3. Hubungan Hukum antara Dokter dengan Perusahaan Farmasi Kesehatan yang semakin menjadi prioritas manusia menyebabkan banyak timbulnya bermacam-macam obat, vitamin dan segala yang berhubungan dengan farmasi. Hal ini memicu pertumbuhan perusahaan farmasi. Perusahaan farmasi ini saling berlomba untuk menghasilkan obat/vitamin terbaik dan mencetak penjualan yang tinggi akan produknya. Salah satu cara yang digunakan oleh perusahaan farmasi ini untuk pencapaian target penjualan adalah dengan mendekati para dokter sambil mempromosikan produknya. Biasanya mereka akan memfasilitasi para dokter ke seminarseminar, dengan syarat bahwa produk mereka akan digunakan oleh dokter itu terhadap pelayanannya kepada pasien. Hal ini jelas pada akhirnya akan merugikan pihak pasien. Pertama, obat yang diberikan belum tentu obat yang terbaik untuk kondisi pasien, kedua adalah perusahaan farmasi akan mempunyai power yang kuat akan harga produk. Karenanya di Indonesia, 38 Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) telah mengeluarkan surat edaran Nomor 3509/PB/A.3/02/2009 tanggal 27 Januari 2009, yang berisi imbauan dan larangan bagi dokter dalam hubungannya dengan industri farmasi untuk mencegah kolusi. Seorang dokter dalam melakukan pekerjaan kedokteran tidak boleh dipengaruhi oleh sesuatu yang mengakibatkan hilangnya kebebasan dan kemandirian profesi. McDonough dan Doucette (2001: 682-692) mengusulkan satu metode untuk hubungan kerja kolaboratif antara dolter dan perusahaan farmasi, ada empat tahap yaitu: a. Profesisional Awareness Ini merupakan tahapan dasar (baseline). Pada tahap ini masingmasing profesi sekedar saling mengenal dan mengetahui keberadaannya. Hubungan masih apa adanya hanya sebatas ketika farmasis menerima resep dari dokter, kemudian meracil obat sesuai dengan resep dan menyerahkannya kepada pasien. Far,asis mungkin mengkontak dokter jika terjadi hal-hal tidak jelas yang terkait dengan resep (dosis, nama obat, dan sebagainya), dan menjawab pertanyaan dokter tentang informasi obat, jika ada. Tidak ada diskusi lebih lanjut apakah obat telah memberikan hasil optimal kepada pasien. b. Professional Recognition Pada tahapan ini usaha untuk meningkatkan frekuensi dan kualitas hubungan dokter dan farmasis cenderung unilateral, dengan farmasis yang harus memulai. Farmasis perlu berusaha untuk membuat dokter menjadi paham tentang apa yang bisa disumbangkan farmasis terhadap pelayanan pasien, misalnya menunjukkan keahliannya dalam memberikan informasi obat yang up to date, memberikan alternatif obat untuk kondisi-kondisi khusus pasien, dan sebagainya. Berdasarkan hal itu dokter dapat 39 membangun dasar kebercayaan dan menumbuhkan komitmen terhadap hubungan kerja sama dengan farmasis. c. Exploration and Trial Setelah bentuk hubungan kerja sama di sepakati untuk berlanjut, masuklah pada tahap kedua. Pada tahapan ini partisipan (dokter dan farmasis) akan menuji kekompakkan, harapan, kepercayaan dan komitmen mereka terhadap hubungan kerjasama. Dokter mnungkin akan memutuskan untuk merujuk pasien ke farmasis untuk hal-hal yang terkait dengan obat, misalnya penyesuaian dosis dan konseling obat, dan mengevaluasi kompetensi farmasis untuk memutuskan apakah kerjasama ini cukup bermanfaat dan dapat dilanjutkan. Sebaliknya, farmasis juga dapat menilai apakah dokter tersebut dapat diajak bekerjasama yang positif. Pada tahapan ini, jika harapan dokter terhadap farmasisi terpenuhi, dokter akan memberikan kepercayaan kepada farmasis untuk meneruskan kerjasama dan bersama-sama memberikan pelayanan yang terbaik pada pasien. Sebaliknya, jika ternyata harapan masing-masing tidak terpenuhi dari adanya hubungan ini, maka hubungan kerjasama mungkin akan berakhir. d. Professional relationship expansion Pada tahap ini kuncinya adalah komunikasi, pengembangan norma tau aturan yang disepakati, penilaian performance, dan resolusi konflik. Pada fase ini upaya pertukaran masih belum seimbang, dengan farmasis masih perlu secara terus menerus mengkomunikasikan mengenai manfaatnya bagi pasien jika mendapat pelayanan farmasi yang tepat. Jika performance farmasis sesuai dengan ekspektasi dokter, dokter dan farmasis secara pelan-pelan akan menetapkan lingkup dan kedalaman saling ketergantungan (interdependence) mereka. Tujuannya adalah memelihara 40 atau meningkatkan kualitas pertukaran sehingga hubungan profesional dapat terus dikembangkan. e. Commitment to the collaborative working relationship Kolaborasi akan semakin mungkin terwujud jika dokter telah melihat bahwa dengan adanya kerjasama dengan farmasis risiko praktik pelayanannya menjadi lebih kecil, dan banyak nilai tambah yang diperoleh dari kepuasan pasien. Komitmen akan lebih mungkin tercapai jika uasaha dan keinginan berkerja sama dari masing-masing pihak relative sama. Dokter akan mengandalkan pengetahuan dan keahlian farmasis mengenai obat-obatan, sementara farmasis akan bersandar pada informasi klinis yang diberikan oleh dokter ketika akan membantu memanage terapi pasien. Pada tahap ini pertemuan tatap muka untuk mendiskusikan masalah pasien, masalah pelayanan, dan hal-hal lain harus dijadwalkan, dan bisa dikembangkan bersama tenaga kesehatan yang lain. Selain itu, adanya komitmen kerja sama ini perlu diformulasikan kepada tenaga kesehatan yang lain sehingga mereka dapat turut terlibat didalamnya. 4. Hubungan Kerjasama antara Rumah Sakit dengan Perusahaan Farmasi Tenaga kesehatan yang memgang peranan cukup penting di rumah sakit adalah dokter, di samping tenaga kesehatan lainnya. Setiap perilaku profesional dokter di rumah sakit dapat disoroti dari segi etik maupun hukum. Pelanggaran atas norma etik maupun yuridis akan meminta pertanggungjawaan dari pelanggarnya. Dalam hal dokter di rumah sakit, maka baik dokter maupun rumah sakit adalah subyek yang dapat dimintai pertanggungjawabannya baik secara etis maupun yuridis. Dari segi etis, baik dokter maupun rumah sakit telah memiliki kode etiknya masing-masing (kode etik kedokteran dan kode etik rumah sakit). Dalam hal terjadi pelanggaran etika kedokteran, maka dokter pelanggar itulah yang bertanggung jawab, sedangkan bila yang dilanggar adalah etika rumah sakit, maka rumah sakit itulah yang bertanggung jawab. 41 Dari segi yuridis, pertanggungjawaban (perdata) atas kerugian yang diderita pasien dapat terletak pada dokter atau rumah sakit. Hal ini tergantung pada status hubungan kerja dokter tersebut dengan rumah sakit dan jenis kasus yang terjadi. Layanan rumah sakit dan layanan apotik institusional lainnya telah berubah secara dramatis dalam satu dekade ini. Perubahan-perubahan tersebut sejajat dengan perubahan pada sistem perawatan kesehatan. Jenis-jenis obat yang baru bermunculan dan teknologi yang inovatif telah mengubah cara penyaluran, penelusuran, dan pemberian obat (Lawrence F. Wolper, 2001: 176). Sistem informasi apotik dan rumah sakit membantu dokter dan apoteker dalam menyeleksi, memantau dan mengevaluasi efek dari obat. Perubahanperubahan ini telah mendorong apotik berperan lebih proaktif dalam sistem perawatan kesehatan. Oleh karena itu, untuk dapat memenuhi kebutuhan obatobatan yang diperlukan, maka rumah sakit menjalin kerjasama dengan perusahaan farmasi. Kerjasama yang terjadi antara rumah sakit dengan perusahaan farmasi dituangkan dalam bentuk perjanjian. Bentuk perjanjian tersebut adalah perjanjian jual-beli. Jual beli adalah perjanjian konsensuil sebagaimana diatur dalam Pasal 1548 KUH Perdata yang berbunyi: “Jual beli itu dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak, seketika setelahnya orang-orang ini mencapai sepakat tentang kebendaan tersebut dan harganya, meskipun kebendaan itu belum diserahkan, maupun harganya belum dibayar”. Berdasarkan rumusan pasal di atas, secara sederhana dapat dikatakan bahwa pada dasarnya setiap pemerimaan, yang diwujudkan dalam bentuk pernyataan penerimaan, baik yang dilakukan secara lisan, maupun yang dibut dalam bentuk tertulis, menunjukkan saat lahirnya perjanjian. Jual beli adalah perjanjian yang melahirkan perikatan untuk membrikan sesatu pada kedua belah pihak dalam perjanjian. Jual beli sebagai perjanjian 42 yang melahirkan perikatan untuk menyerahkan sesuatu, maka dalam konteks kebendaan yang diperjualbelikan, ditentukan dalam rumusan umum ketentuan Pasal 1332 dan Pasal 1333 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Pasal 1332 menyebutkan bahwa hanya kebendaan yang dapat diperdagangkan saja yang dapat menjadi pokok perjanjian. Adapun dalam Pasal 1333 menyebutkan bahwa suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok perjanjian berupa suatu kebendaan yang paling sedikit ditentukan jenisnya. Selanjutnya, tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah kebendaan tidak tentu, asal saja jumlah itu kemudian dapat ditentukan atau dihitung. Dengan demikian jelaslah bahwa kebendaan yang merupakan obyek perjanjian yang diperjualbelikan merupakan suatu hal yang mutlak sudah harus ditentukan, dan bahwa sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1458 Kitab Undang-undang Hukum Perdata bahwa: “Jual beli itu dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak, seketika setelahnya orang-orang ini mencapai sepakat tentang kebendaan tersebut dan harganya, meskipun kebendaan itu belum diserahkan, maupun harganya belum dibayar”. Tanpa adanya obyek jual beli yang tertentu tersebut, yang telah ditentukan dan disepakati oleh pembeli dan penjual, maka tidak mungkin ada jual beli. Jika bukan benda tersebut yang akan diperjualbelikan, maka jual beli tidak akan terjadi. Hal ini sesuai dengan syarat obyektif sahnya suatu perjanjian. Jual beli adalah suatu perjanjian bertimbal balik dalam mana pihak yang satu (si penjual) berjanji untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang, sedangkan pihak yang lainnya (si pembeli) berjanji untuk membayar harga yang terdiri atas sejumlah uang sebagai imbalan dari perolehan hak milik tersebut (R. Subekti, 1995: 1). Perkataan jual-beli menunjukkan bahwa dari satu pihak perbuatan dinamakan menjual, sedangkan dari pihak yang lain dinamakan membeli. Istilah yang mencakup dua perbuatan yang bertimbal balik itu adalah sesuai dengan istilah Belanda “koop en verkoop” yang juga 43 mengandung pengrtian bahwa pihak yang satu “verkoopt” (menjual) sedang yang lainnya “koopt” (membeli). Benda yang menjadi obyek perjanjian jual beli harus cukup tertentu, setidak-tidaknya dapat ditentukan wujud dalam jumlahnya pada saat ia akan diserahkan hak miliknya kepada si pembeli. Dengan demikian adalah sah menurut hukum, misalnya jual-beli mengenai panenan yang akan diperoleh pada suatu waktu dari sebidang tanah tertentu. Unsur-unsur pokok perjanjian jual-beli adalah barang dan harga. Sesuai dengan asas konsensualisme yang menjiwai hukum perjanjian hukum perdata di mana perjanjian jual-beli itu sudah dilahirkan pada detik tercapainya sepakat mengenai barang dan harga. Begitu kedua belah pihak setuju tentang barang dan harga, maka lahirlah perjanjian jual-beli yang sah (R. Subekti, 1995: 1). Konsensualisme berasal dari kata “konsensus” yang berarti kesepakata. Dengan kesepakatan dimaksudkan bahwa di antara pihak-pihak yang bersangkutan tercapai suatu persesuaian kehendak. Artinya, apa yang dikehendaki oleh yang satu adalah pula yang dikehendaki oleh yang lain. Kedua kehendak itu bertemu dalam “sepakat” tersebut. Tercapainya sepakat ini dinyatakan oleh kedua belah pihak dengan mengucapkan perkataan, miaslnya: setuju atau dengan bersama-sama menaruh tanda tangan di bawah pernyataanpernyataan tertulis sebagai tanda (bukti) bahwa kedua belah pihak telah menyetujui segala apa yang tertera di atas tulisan itu. Sebagaimana diketahui, hukum perjanjian menurut Kitab Undangundang Hukum Perdata menganut asas konsesualisme. Artinya ialah hukum perjanjian menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata itu menganut suatu asas bahwa untuk melahirkan perjanjian cukup dengan sepakat saja dan bahwa perjanjian itu (dan dengan demikian “perikatan” yang ditimbulkan karenanya) sudah dilahirkan pada saat atau detik tercapainya konsensus sebagaimana 44 dimaksudkan di atas. Pada detik tersebut perjanjian sudah jadi dan mengikat, bukannya pada detik-detik lain yang kemudian atau yang sebelumnya. Oleh karena itu, jual beli adalah perjanjian yang bersifat konsensuil, dengan pengertian bahwa jual beli telah lahir dan mengikat para pihak, yaitu penjual dan pembeli segera setelah mencapai kata sepakat mengenai kebendaan yang diperjualbelikan dan harga yang harus dibayar. Menurut Subekti, asas konsensualisme dapat ditemukan dalam Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yaitu pasal-pasal yang mengatur tentang syarat-syarat sahnya suatu perjanjian dan tidak dari Pasal 1338 (1) sebagaimana diajarkan oleh beberapa penulis. Pasal 1338 ayat (1) berbunyi: “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”, maksud dari pasal tersebut adalah untuk menyatakan tentang kekuatan perjanjian, yaitu kekukatan yang sama dengan suatu undang-undang. Kekuatan seperti itu diberikan kepada semua perjanjian yang dibuat secara sah. Perjanjian yang sah adalah perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang menyebutkan satu persatu syarat-syarat untuk perjanjian yang sah itu. Syarat-syarat itu adalah: 1. sepakat, 2. kecakapan, 3. hal tertentu, dan 4. causa (sebab isi) yang halal. Dengan hanya disebutkannya sepakat saja tanpa dituntutnya sesuatu bentuk cara (formalitas) apapun, seperti tulisan, pemberian tanda atau panjer dan lain sebagainya, maka dapat disimpulkan bahwa bilamana sudah tercapai sepakat itu, maka sahlah sudah perjanjian itu atau mengikatlah perjanjian itu atau berlakulah ia sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Adanya yang dinamakan perjanjian-perjanjian formal atau pula yang dinamakan perjanjian-perjanjian riil itu merupakan kekecualian. Perjanjian formal adalah misalnya perjanjian perdamaian yang menurut Pasal 1851 (2) KUH Perdata harus diadakan secara tertulis, jika tidak maka tidak sah. Adapun perjanjian riil, misalnya adalah perjanjian pinjam-pakai yang menurut Pasal 45 1740 KUH Perdata baru tercipta dengan diserahkannya barang yang menjadi obyeknya atau perjanjian penitipan yang menurut Pasal 1694 KUH Perdata baru terjadi dengan diserahkannya barang yang dititipkan. Untuk perjanjianperjanjian ini tidak cukup dengan adanya sepakat saja, tetapi di samping itu diperlukan suatu formalitas atau suatu perbuatan yang nyata (riil). Oleh karena itu, jelas kiranya bahwa asas konsensualisme tersebut disimpulkan dari Pasal 1320 KUH Perdata dan bukan dari Pasal 1338 (1) KUH Perdata. Berdasarkan Pasal 1338 (1) KUH Perdata ini lazim disimpulkan suatu asas lain dari hukum perjanjian KUH Perdata, yaitu adanya atau dianutnya sistem terbuka atau asas kebebasan berkontrak (beginsel der contractsvrijheid). Adapun cara menyimpulkannya ialah dengan jalan menekankan pada perkataan “semua” yang ada dimuka perkataan “perjanjian”. Dikatakan bahwa Pasal 1338 (1) KUH Perdata itu seolah-olah membuat suatu pernyataan diperbolehkannya membuat perjanjian apa saja dan itu akan mengikat kita sebagaimana mengikatnya undang-undang. Pembatasan terhadap kebebasan itu hanya berupa apa yang dinamakan “ketertiban dan kesusilaan umum”. Sifat konsensual dari jual-beli juga ditegaskan dalam Pasal 1458 KUH Perdata yang berbunyi: “Jual-beli dianggap sudah terjadi antara kedua belah pihak seketika setelah mereka mencapai sepakat tentang barang dan harga, meskipun barang itu belum diserahkan maupun harganya belum dibayar”. Hukum perjanjian mengambil asas konsensualisme yang berarti perkataan sudah mengikat adalah suatu tuntutan kesusilaan. Hal tersebut merupakan puncak peningkatan martabat manusia yang tersimpul dalam pepatah een man een man, een woord een woord, yang maksudnya adalah bahwa dengan diletakkannya kepercayaan pada perkataan orang, maka orang tersebut ditingkatkan martabatnya setinggi-tingginya sebagai manusia. Berdasarkaan pernyataan tersebut, orang harus dapat dipegang perkataannya itu adalah suatu tuntutan kesusilaan, memang benar bahwa jika orang ingin 46 dihargai sebagai manusia, maka ia harus dapat dipegang perkataannya atau ucapannya. Namun bagi hukum yang ingin menyelenggarakan ketertiban dan menegakkan keadilan dalam masyarakat, asas konsensualisme itu merupakan suatu tuntutan kepastian hukum. Bahwa orang yang hidup dalam masyarakat yang teratur harus dapat dipegang perkataan atau ucapannya itu merupakan suatu tuntutan kepastian hukum yang merupakan satu sendi yang mutlak dari suatu tata hukum yang baik. Pasal 1338 (1) KUH Perdata yang menyatakan bahwa perjanjian mengikat sebagai undang-undang tidak memberikan kriteria untuk apa yang dinamakannya perjanjian itu. Menurut Pasal 1320 KUH Perdata perjanjian itu cukup apabila sudah tercapai sepakat (konsensus). Inilah yang kemudian dinamakan konsensualisme. Kesepakatan berarti persesuaian kehendak. Namun kehendak atau keinginan ini harus dinyatakan. Kehendak atau keinginan yang disimpan di dalam hati, tidak mungkin diketahui pihak lain dan karenanya tidak mungkin melahirkan sepakat yang diperlukan untuk melahirkan suatu perjanjian. Menyatakan kehendak ini tidak terbatas pada mengucapkan perkataanperkataan, ia dapat dicapai pula dengan memberikan tanda-tanda apa saja yang dapat menterjemahkan kehendak itu, baik oleh pihak yang mengambil prakarsa, yaitu pihak yang menerima penawaran tersebut. Dengan demikian, maka yang akan menjadi alat pengukur tentang tercapainya persesuaian kehendak tersebut adalah pernyataan-pernyataan yang telah dilakukan oleh kedua belah pihak. Undang-undang berpangkal pada asas konsensualisme, namun untuk menilai apakah telah tercapai konsensus, maka harus berpijak pada pernyataan-pernyataan yang telah dilakukan oleh kedua belah pihak dan ini juga merupakan tuntutan kepastian hukum. Pernyataan timbal-balik dari kedua belah pihak merupakan sumber untuk menetapkan hak dan kewajiban bertimbal balik di antara mereka. Dapat diktakan bahwa menurut ajaran yang sekarang dianut dan juga menurut yurisprudensi, pernyataan yang boleh dipegang untuk dijadikan dasar sepakat 47 adalah pernyataan yang secara objeitf dapat dipercaya. Suatu pernyataan yang dilakukan secara tidak sungguh-sungguh atau yang mengandung suatu kekhilafan atau kekeliruan tidak boleh dipegang untuk dijadikan dasar kesepakatan. Oleh karena itu, sudah tepat apabila adanya konsensus tersebut diukur dengan pernyataan-pernyataan yang secara bertimbal-balik telah dikeluarkan. Berdasarkan pernyataan-pernyataan bertimbal-balik itu dianggap bahwa sudah dilahirkan sepakat yang sekaligus melahirkan perjanjian yang mengikat seperti (undang-undang). Dengan demikian, akan menjadi jelas apa saja hak dan kewajiban para pihak. Sebagaimana diatur dalam pasal 1457 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang merumuskan jual beli sebagai suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan. Berdasarkan rumusan tersebut dapat diketahui bahwa jual beli melahirkan kewajiban secara bertimbal balik kepada para pihak yang membuat perjanjian (jual beli) tersebut. Dari sisi penjal, penjual diwajibkan untuk menyerahkan suatu kebendaan yang menurut ketentuan Pasal 1332 jo. Pasal 1333 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Perdata haruslah kebendaan yang dapat diperdagangkan dan paling sedikit telah ditentukan jenisnya. Selanjutnya dari sisi pembeli, pembeli diwajibkan untuk membayar harga pembelian kebendaan tersebut, yang juga merupakan suatu bentuk perikatan untuk memberikan sesuatu yang dalam hal ini adalah uang yang telah ditentukan nilai mata uang dan jumlahnya. Kitab Undang-undang Hukum Perdata tidak memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai pemenuhan persyaratan subyektif dalam jual beli. Oleh karena itu, maka terhadap pemenuhan syarat subyektif ini dapat ditemukan dalam ketentuan umum sebagaimana diatur dalam: 48 1. Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang bersifat umum, yang mengatur megenai syarat-syarat sahnya perjanjian, dan Pasal 1321 hingga Pasal 1328 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yang berhubungan dengan ketiadaan kesepakatan bebas, dan pasal 1329 sampai Pasal 1331 Kitab Undang-undang Hukum Perdata sehubungan dengan ketidakcakapan untuk bertindak. 2. Pasal 1446 hingga Pasal 1450 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yang berhubungan dengan ketiada pemenuhan syarat-syarat subyektif dalam perikatan, dan Pasal 1451 dan Pasal 1452 KUH Perdata mengenai akibat pembatalan perjanjian yang tidak memenuhi syarat subyektif Dengan kesepakatan tersebut, pembeli terikat dengan kewajiban untuk membayar harga pembelian, dan penjual terikat untuk menyerahkan kebendaan yang dijual tersebut. Penyerahan tersebut, oleh penjual kepada pembeli menurut ketentuan Pasal 1459 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa hak milik atas barang yang dijual tidak pindah kepada pembeli selama barang itu belum diserahkan menurut Pasal 612, 613, dan 616 KUH Perdata. Ketentuan dalam pasal ini merupakan cara peralihan hak milik dari kebendaan yang dijual tersebut. Dalam kaitannya dengan permasalahan penyerahan hak milik ini, perlu memperhatikan pula ketentuan Pasal 584 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa: “Hak milik atas suatu benda tidak dapat diperoleh dengan cara lain, melainkan dengan pemilikan, karena perlekatan, karena daluwarsa, karena pewarisan, baik menurut undang-undang maupun menurut surat wasiat, dan dengan penunjukkan atau penyerahan berdasarkan suatu peristiwa perdata untuk pemindahan hak milik, yang dilakukan oleh orang yang berhak untuk berbuat bebas terhadap barang itu”. Ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 584 Kitab Undang-undang Hukum Perdata tersebut adalah bersifat mutlak dan tidak dapat ditawar-tawar 49 oleh siapapun juga. Ketentuan yang bersifat memaksa ini harus ditaati oleh siapa saja. Dengan demikian, tidak mungkin terdapat cara memperoleh hak milik selain dari yang diatur dalam Pasal 584 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Oleh karena itu, jual beli adalah perjanjian yang bertimbal balik yang melibatkan eksistensi dari sekurang-kurangnya dua perikatan (untuk memberikan sesuatu) secara bertimbal balik. Ini berarti dalam jual beli secara tidak langsung juga, jika memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, menerbitkan atau melahirkan hak dan kewajiban secara bertimbal balik pada kedua belah pihak yang ada dalam jual beli tersebut (yaitu penjual dan pembeli). Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dikatakan bahwa hubungan kerjasama antara rumah sakit dengan perusahaan farmasi merupakan kerjasama jual beli obat-obatan. Dikatakan demikian, karena antara rumah sakit dengan perusahaan farmasi dalam pengadaan obat-obatan, tertuang dalam bentuk perjanjian. Perjanjian tersebut adalah perjanjian jual beli. B. Kerangka Pemikiran Peraturan Perundang-undangan 1. UU No 36 Th 2009 ttg Kesehatan 2. UU No 29 Th 2004 ttg Kedokteran 3. UU No 7 Th 1963 ttg Farmasi 50 Peristiwa Hukum terdapat kerjasama antara RS dengan Perusahaan Farmasi dalam Pengadaan Obat-obatan di RS Triharsi Surakarta Kesimpulan Kerjasama RS Triharsi dg Perusahaan Farmasi dalam Pengadaan Obat-obatan sudah sesuai dengan daftar formularium Dalam rangka memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum, untuk meningkatkan, mengarahkan dan memberi landasan hukum serta menata kembali berbagai perangkat hukum yang mengatur penyelenggaraan praktik kedokteran agar dapat berjalan sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi maka perlu diatur praktik kedokteran dalam suatu undang-undang. Untuk itu, perlu dibentuk undang-undang berkaitan dengan kesehatan, dokter, farmasi Formularium rumah sakit merupakan daftar obat yang disepakati bersama informasinya yang harus diterapkan di rumah sakit. Formularium rumah sakit disusun oleh Panitia Farmasi dan Terapi (PFT)/Komite Farmasi dan Terapi (KFT) rumah sakit berdasarkan Daftar Obat Esensial Nasioanl (DOEN) dan disempurnakan dengan mempertimbangkan obat lainyang terbukti secara ilmiah dibutuhkan untuk pelayanan di rumah sakit. Penyusunan formularium rumah sakit 51 harus selalu dipantau. Hasil pemantauan dipalai untuk pelaksanaan evaluasi dan revisi agar sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran. (1) Van der Mijn, 1984, ”The Development of Health Law in the Nederlands”, Makalah yang disampaikan dalam Seminar Sehari ”Issues of Health Law”, Tim Pengkajian Hukum Kedokteran, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen 52 Kehakiman RI bekerja sama dengan PERHUKI dan PB IDI, Jakarta, hal 2. (2) H.J.J. Leenen, 1981, Gezondheidszorg en recht, een gezondheidsrechtelijke studie, (3) Samson uitgeverij, alphen aan den rijn/Brussel, hal 22. D.C.Jayasuriya, 1997, Health Law, International and Regional Perspectives, Har-Anand Publication (4) PUT Ltd, New Delhi Ibid, India, hal 16-28. hal 33. (5) Genevieve Pinet, 1998, “Health Challenges of The 21st Century a Legislative Approach to Health Determinants”, Artikel dalam International Digest of Health Legislations, Vol 49 No. 1, 1998, Geneve, hal 134. (6) Hermien Hadiati Koeswadji, 1998, Hukum Kedokteran, Studi Tentang Hubungan Hukum Dalam Mana Dokter Sebagai Salah Satu Pihak, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal 22. (7) Roscam Abing, 1998, “Health, Human Rights and Health Law The Move Towards Internationalization With Special Emphasis on Europe” dalam journal International Digest of Health Legislations, Vol 49 No. 1, 1998, Geneve, hal 103 dan 107. (8) HJJ. Leenen, 1981, Recht en Plicht in de Gezondheidszorg, Samson Uitgeverij, Alphen aan den Rijn/Brussel. (9) Schuyt, 1983, Recht en Samenleving, van Gorcum, Assen, hal 11-12. (10) Lihat Pasal 2 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. (11) Lihat Tom L. Beauchamp dan James F. Childress, Principles of Biomedical Ethics, 1994, Oxford University Press, New (12) Bruggink, 1993, Rechtsrefleeties, Grondbegrippen Kluwer, (13) Responsive Law, Schuyt, hal Hasper op.cit, Torch 38. uit de Rechtstheorie, hal Philipie Nonet dan Philip Selznick, 1978, Law and Toward, (14) Deventer, York, 72. Society in Transition, Books, hal New York. 19. (15) Hermin Hadiati Koeswadji, 2002, Hukum Untuk Perumahsakitan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal 17-18. 53 BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Proses Penyusunan Formularium di Rumah Sakit Triharsi Surakarta Formularium adalah himpunan obat yang diterima/disetujui oleh Tim Farmasi dan Terapi untuk digunakan di rumah sakit dan dapat direvisi pada setiap batas waktu yang ditentukan. Komposisi Formularium : Halaman judul Daftar nama anggota Tim Farmasi dan Terapi Daftar Isi Informasi mengenai kebijakan dan prosedur di bidang obat. Sistem yang dipakai adalah suatu sistem dimana prosesnya tetap berjalan terus, dalam arti kata bahwa sementara Formularium itu digunakan oleh staf medis, di lain pihak Tim Farmasi dan Terapi mengadakan evaluasi dan menentukan pilihan terhadap produk obat yang ada di pasaran, dengan lebih mempertimbangkan kesejahteraan pasien. Pedoman penggunaan yang digunakan akan memberikan petunjuk kepada dokter, apoteker perawat serta petugas administrasi di rumah sakit dalam menerapkan sistem formularium. Meliputi : 1. Membuat kesepakatan antara staf medis dari berbagai disiplin ilmu dengan Tim Farmasi dan Terapi dalam menentukan kerangka mengenai tujuan, organisasi, fungsi dan ruang lingkup. Staf medis harus mendukung Sistem Formularium yang diusulkan oleh Tim Farmasi dan Terapi. 2. Staf medis harus dapat menyesuaikan sistem yang berlaku dengan kebutuhan tiap-tiap institusi. 3. Staf medis harus menerima kebijakan-kebijakan dan prosedur yang ditulis oleh Tim Farmasi dan Terapi untuk menguasai sistem Formularium yang dikembangkan oleh Tim Farmasi dan terapi. 4. Membatasi jumlah produk obat yang secara rutin harus tersedia di Instalasi Farmasi. 54 5. Membuat prosedur yang mengatur pendistribusian obat yang efek terapinya sama, seperti : a. Apoteker bertanggung jawab untuk menentukan jenis obat yang sama untuk disalurkan kepada dokter sesuai produk asli yang diminta. b. Dokter yang mempunyai pilihan terhadap obat paten tertentu c. Apoteker harus didasarkan pada pertimbangan farmakologi dan terapi. bertanggung jawab terhadap kualitas, kuantitas, dan sumber obat dari sediaan kimia, biologi dan sediaan farmasi yang digunakan oleh dokter untuk mendiagnosa dan mengobati pasien. Mengingat pengelolaan obat sangat strategis dan sensitif, maka agar Tim Farmasi dan Terapi dapat berfungsi optimal dan efektif maka susunan struktur organisasi Tim Farmasi dan Terapi Rumah Sakir Triharsi Surakarta harus mengikutsertakan partisipasi dari berbagai profesi. Tim Farmasi dan Terapi Rumah Sakir Triharsi Surakarta terdiri dari 20 Ketua SMF, 9 farmasis, komite keperawatan, bidang perawatan dan dari jajaran administrasi struktural dengan uraian tugas dan tanggung jawab yang jelas agar Tim Farmasi dan Terapi Rumah Sakir Triharsi Surakarta tersebut berfungsi dengan baik. Untuk lebih jelas dapat dilihat rincian berikut: Ketua : Dr. Dody Firmanda, Sp.A. MA Wakil ketua : Dr. Tuti Hermawati Zakaria, Sp.S. Sekretaris : Dra. Farida Indyastuti, Apt. SE. MM. Seksi Pelayanan Ketua : Dr. Dewi Lestari, SpKK. Sekretaris : Dra. Setiani Haryani, Apt. Anggota : Dr. Djati Prasetyo Samsuridzal. Dr. Pratiwi Andajani, Sp.A. Dr. Bambang Nugroho, Sp.BO Dr. Budijatmiko, SpB. 55 Drs. Burhani Husin, Apt. MM. Desmawati, SKp. Tugas : 1. Melaksanakan evaluasi penulisan obat dengan nama obat, kesesuaian dengan formularium, DOEN serta DPHO. 2. Menyusun daftar untuk obat-obatan gawat darurat. 3. Menentukan automatic stop order. 4. Melaksanakan uji coba alat kesehatan habis pakai. 5. Membuat pedoman penggunaan antibiotik. Ketua : Dr. Darma Setya Kusuma, SpP. Sekretaris : Dra. Maria Lesilolo, Apt. M.Pharm Anggota : Dr. Taufik Zain, SpOG Dr. Bangun M. Hutagalung, SpPA. Dr. Ridwan Bachri, SpAN. Drg. Tuti Mutiah, SpKGA. Tugas : 1. Melaksanakan pendidikan yang berkaitan dengan obat. 2. Mengatur jadwal presentasi prinsipal. 3. Melaksanakan audit promosif dan preventif. 4. Melaksanakan audit sumatif. Seksi Penelitian Ketua : Dr. Sulistiowati, Sp.THT Sekretaris : Dra. Alfina Rianti, Apt. M.Pharm. Anggota : Dr. Idjas Intan Tamba, SpJ. Dr. Asnawi yanto, SpPK. Dr. Letaria Aryani, SpRM. Gustini Widyastuti, S.Si. Apt. Sulikah, SKp. M.Kes. 56 Tugas : 1. Melaksanakan pengkajian penggunaan obat. 2. Melaksanakan permintaan rasionalitas, efektivitas dan keamanan obat. Ketua : Dra. Debby, Apt. M.Epid. Anggota : Dr. Halim Admahd, SpBS. : Dr. Dyah Sri Puspitaningrum, SpFt. Dr. Arnold H. Harahap, Sp.PD. Dr. Irma Mardiana, SpJp Dr. Syfvia, Sp.M. Dra. Eddy Yusuf, Apt. M.Pharm Tugas : 1. Melaksanakan pelayanan informasi obat 2. Menerbitkan buletin Implementasi perincian pelaksanaan langkah-langkah dan kegiatan Tim Farmasi dan Terapi Rumah Sakit Triharsi Surakarta: Langkah Kegiatan Pelaksana Waktu Perencanaan 1. Pemilihan dan pengusulan obat 2. Perencanaan pengadaan obat 3. Pengadaan obat 4. Penyimpanan obat 5. Penyaluran (distribusi) obat 6. penggunaan (prescribing) dan informasi obat 7. pemberian (dispensing) dan informasi obat 8. Pemantauan rasionalitas SMF 2 mg TFT dan IF 1 mg TFT dan IF IF TFT dan IF 3 bln Setiap waktu Setiap waktu Dokter SMF Setiap waktu TFT dan IF Setiap waktu Koord E&M SMF, TFT dan IF Kep ruangan, Koord E&M SMF, TFT dan IF Kep ruangan, Koord E&M SMF, TFT dan IF TFT dan IF Setiap bln TFT dan IF 6 bln Pengadaan Pemakaian Mobitoring 9. Pemantauan efektivitas 10. Pemantauan keamanan obat Evaluasi (Audit) 11. Audit promotif dan preventif 12. Audit sumatif Setiap bln Setiap waktu 3 bln 57 Penyusunan Formularium Rumah Sakit juga mengacu pada pedoman pengobatan yang berlaku. Sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 43/Menkes/SK/II/1988 tentang Cara Pembuatan Obat Yang Baik (CPOB), obat adalah tiap bahan atau campuran bahan yang dibuat, ditawarkan untuk dibuat, ditawarkan untuk dijual atau disajikan untuk digunakan dalam pengobatan, peredaran, pencegahan atau diagnosa suatu penyakit, suatu kelainan fisik atau gejala-gejalanya pada manusia atau hewan, atau dalam pemulihan, perbaikan atau pengubahan fungsi organis pada manusia atau hewan. Pengadaan dan pelayanan obat di rumah sakit disesuaikan dengan standar formularium obat rumah sakit, sedangkan di sarana kesehatan lain mengacu kepada Daftar Obat Esensial Nasional. Berkaitan dengan pengelolaan obat di rumah sakit Triharsi Surakarta, Departemen Kesehatan RI melalui SK No. 85/Menkes/Per/1989, menetapkan bahwa untuk membantu pengelolaan obat di rumah sakit perlu adanya Panitia Farmasi dan Terapi, Formularium dan Pedoman Pengobatan. Panitia Farmasi dan Terapi adalah organisasi yang mewakili hubungan komunikasi antara para staf medis dengan staf farmasi, sehingga anggotanya terdiri dari dokter yang mewakili spesialisasi-spesialisasi yang ada di rumah sakit dan apoteker wakil dari Farmasi Rumah Sakit, serta tenaga kesehatan lainnya. Sesuai dengan Pasal 15 ayat (2) dan (3) Undang-undang No 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit bahwa pelayanan sediaan farmasi di Rumah Sakit harus mengikuti standar pelayanan kefarmasian dan pengelolaan alat kesehatan, sediaan farmasi, dan bahan habis pakai di Rumah Sakit harus dilakukan oleh Instalasi farmasi sistem satu pintu. Maksudnya adalah “instalasi farmasi” adalah bagian dari Rumah Sakit yang bertugas menyelenggarakan, mengkoordinasikan, mengatur dan mengawasi seluruh kegiatan pelayanan farmasi serta melaksanakan pembinaan teknis kefarmasian di Rumah Sakit. Yang dimaksud dengan sistem satu pintu adalah bahwa rumah sakit hanya 58 memiliki satu kebijakan kefarmasian termasuk pembuatan formularium pengadaan, dan pendistribusian alat kesehatan, sediaan farmasi, dan bahan habis pakai yang bertujuan untuk mengutamakan kepentingan pasien. Beberapa peraturan perundangan sebagai dasar pengelolaan perbekalan farmasi yang mendasari pelaksanaan pelayanan farmasi di RS sebagai berikut: 1. Undang-Undang No. 9 Tahun 1976 tentang penyimpanan narkotika 2. SK Menkes RI Nomor 453/Menkes/Per/XI/1983 tentang bahan berbahaya 3. Surat Edaran Dirjen Yanmed No 1467/YanMed/RS UMDIK/YMD/XI/89. tentang Juklak Pembentukan Komite Farmasi dan Terapi di RS. 4. SK Menkes RI No. 983/Menkes/SK/XI/1992 tentang Pedoman Organisasi RS Umum. 5. SK Dirjen Yanmed No. YM 00.03.2.3.951/95 tentang Juknis Panitia Farmasi dan Terapi RS. 6. SK Dirjen Yanmed No. HK .00.06.2.3.730 tentang Pembentukan dan Tata Kerja Komite Medik di RS. 7. Pedoman Standar Farmasi RS (ISFI) tahun 2001. 8. Kode Etik Apoteker Indonesia. 9. Undang-Undang Negara No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. 10. Undang-Undang Kesehatan No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. 11. Standar Pelayanan RS - Depkes (1999). Farmasi RS mempunyai kebijakan tersendiri, terutama yang berkaitan dengan administrasi dan aturan serta petunjuk pelaksanaan kefarmasian. Oleh karenanya, apoteker pimpinan farmasi RS harus: 1. Mampu membuat program untuk pencapaian tujuan jangka pendek dan jangka panjang yang didasarkan pada perkembangan dan kecenderungan dalam perawatan kesehatan di RS. 2. Mengembangkan rencana dan jadwal untuk mencapai program tersebut. 59 3. Mengawasi penerapan program tersebut. 4. Dapat melihat kesalahan/penyimpangan yang terjadi dalam mencapai tujuan dari program tersebut di atas dan bila perlu harus dapat dikoreksi. 5. Mengerti benar fungsi RS, sistem administrasi RS, dan memadukan dengan fungsi Farmasi RS. 6. Dapat membuat laporan secara kualitatif dan kuantitatif setiap periode tertentu yang ditetapkan oleh pimpinan RS. Keanekaragaman obat-obatan yang tersedia serta kompleksnya masalah keamanan dan efektivitas penggunaan obat menyebabkan pentingnya suatu RS membentuk program untuk memaksimalkan rasionalisasi penggunaan obat, sehingga pasien dapat menerima perawatan yang terbaik. Organisasi yang menyusun dan menjalankan program ini ialah Panitia Farmasi dan Terapi (PFT). PFT adalah organisasi yang mewakili hubungan komunikasi antara para staf medis dan staf farmasi. Anggotanya terdiri dari dokter yang mewakili spesialisasi yang ada di RS dan apoteker wakil dari farmasi RS serta tenaga kesehatan lainnya. PFT berfungsi mengkaji penggunaan obat, menetapkan k.ebijakan penggunaan obat, mengelola sistem formularium dan standar terapi (merujuk pada SK Dirjen Yanmed Nomor YM 00.03.2.3.951). Peran PFT ini sangat besar dalam perlindungan hukum tenaga kesehatan yang bekerja di RS. Rumusan perlindungan hukum kesehatan (Undang-Undang Kesehatan No. 36 Tahun 2009 pasal 56) yang nilai normanya cukup padat apabila semua dirinci, akan mencakup sekurang-kurangnya 11 wajib hukum sebagai berikut : 1. Wajib melaksanakan standar pelayanan kesehatan. 2. Wajib mematuhi standar profesi dan kewenangan ahli. 3. Wajib melaksanakan adequate informasi. 4. Wajib meminta inform consent. 5. Wajib membuat/memelihara medical record (bukan memiliki MR). 6. Wajib memperhatikan risiko medis. 60 7. Wajib menghormati 4 hak azasi pasien (hak informasi, hak memberi persetujuan, hak rahasia dokter, dan hak atas pendapat kedua). 8. Wajib mematuhi perimbangan dan ketentuan biaya pemeliharaan kesehatan masyarakat (The system of payment health care and price regulation) dengan pelayanan berfungsi sosial 9. Wajib mengembangkan kualitas pelayanan kesehatan dengan akreditasi dan mutu keahlian sesuai dengan perkembangan IPTEK. 10. Wajib menyelenggarakan peradilan profesi secara cepat, tepat, dan komplementer yang berhubungan dengan self regulation dan self enforcement dalam tugas profesi. Antara lain dari aktivitas "Komite Medis" dan medical malpractice comitee maupun kegiatan Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan dan Majelis Pengawasan Pembinaan Etika Pelayanan Medis (MDTK dan MPPEPM). 11. Wajib memperhatikan norma yang berlaku dalam masyarakat dari norma etika, norma agama, sampai norma susila dan kesopanan. Sebelas wajib hukum tenaga kesehatan pada pelaksanaannya yang berkaitan dengan obat telah tercakup melalui aktivitas dan hasil kerja PFT membuat Sistem Formularium dan Standar Terapi sehingga dapat memaksimalkan rasionalitas obat dan malpraktik yang berkaitan dengan obat dapat dihindarkan (minimalkan). Penerapan Formularium Rumah Sakit harus selalu dipantau. Hasil pemantauan dipakai untuk pelaksanaan evaluasi dan revisi agar sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran. Perlu juga disusun Formularium Spesialistik merupakan suatu buku yang berisi informasi lengkap obat-obat yang paling dibutuhkan oleh dokter spesialis bidang tertentu, untuk pengelolaan pasien dengan indikasi penyakit tertentu. Formularium Spesialistik disusun untuk meningkatkan ketaatan para dokter spesialis Rumah Sakit terhadap Formularium Rumah Sakit yang selama ini masih sangat rendah. 61 Bidang spesialisasi tertentu bisa saja mempunyai banyak subspesialisasi, misalnya bidang spesialisasi Ilmu Kebidanan dan Penyakit Kandungan, merupakan bidang spesialisasi yang mempunyai banyak subspesialisasi, sehingga dapat disusun daftar obat esensial khusus untuk ilmu Kebidanan dan Penyakit Kandungan. Penyusunan Formularium Spesialistik melibatkan baik asosiasi profesi dokter spesialis terkait maupun masing-masing subspesialisasinya. Dengan keikutsertaan serta peran aktif para spesialis diharapkan para spesialis tersebut merasa memiliki sehingga penggunaan obat rasional dapat diterapkan dengan baik B. Perjanjian Pengadaan Obat-Obatan antara Antara Rumah Sakit Triharsi Surakarta Dengan Perusahaan Farmasi Rumah Sakit Triharsi dalam pengadaan obat-obatan untuk memenuhi kebutuhan akan obat-obatan mengadakan kerjasama dengan PT. Yekatria Husada Farma. Adapun isi perjanjian tersebut adalah sebagai berikut. (1) PIHAK KEDUA menunjuk PIHAK PERTAMA sebagai salah satu pelaksanaan pengadaa obat-obatan untuk memenuhi kebutuhan obat-obatan dan peralatan kesehatan yang diperlukan PIHAK KEDUA. PIHAK PERTAMA atas penunjukkan oleh PIHAK KEDUA tersebut dengan ini diterima dengan baik oleh PIHAK PERTAMA. (2) PIHAK PERTAMA berjanji kepada PIHAK KEDUA akan memberikan data dan menyelenggarakan pengadaan obat-obatan kepada PIHAK KEDUA dengan sebaik-baiknya. Pasal 2 Ruang Lingkup 62 (1) Pengadaan obat-obatan oleh PIHAK PERTAMA termasuk dalam Pasal 1 (1) meliputi: a. Obat-obatan keras termasuk dalam Daftar G b. Obat-obatan bebas terbatas termasuk Daftar W c. Obat-obatan bebas (2) Pengadaan obat-obatan dimaksud pada ayat (1) dari huruf a sampai dengan huruf c di atas, yang dilakukan oleh PIHAK PERTAMA diluar fasilitas/di luar yang dirujuk oleh PIHAK KEDUA klaim biayanya menjadi tanggung jawab PIHAK KEDUA. (3) Jenis obat-obatan yang dapat diberikan PIHAK PERTAMA adalah obatobatan yang sesuai dengan Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN) Plus termasuk obat-obatan Generik. (4) Jadwal waktu pemberian pengadaan obat-obatan oleh PIHAK PERTAMA diatur sesuai permintaan PIHAK KEDUA. (5) PIHAK KEDUA membuat laporan terhadap pengadaan obat-obatan yang dilaksanakan dan bertanggung jawab terhadap pengiriman laporan pengadaan obat-obatan lanjutan kepada PIHAK PERTAMA setiap menerima obat-obatan yang diterima dan sesuai dengan pesanan PIHAK KEDUA. Pasal 3 Biaya Pengadaan Obat-obatan (1) PIHAK PERTAMA akan memberikan kepada PIHAK KEDUA berdasar dengan permintaan tertulis maupun lisan sampai kesepakatan dan daftar jenis obat-obatan yang disepakati. (2) Perhitungan biaya tersebut Pasal 3 ayat (1) di atas, meliputi pengadaan obat-obatan yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) di atas. (3) Jumlah obat-obatan yang dibayar harganya oleh PIHAK KEDUA kepada PIHAK PERTAMA adalah sejumlah tertulis dalam lajur yang disediakan dan disepakati oleh kedua belah pihak. Pembayaran melalui rekening giro. 63 Pasal 4 Cara Pembayaran (1) PIHAK PERTAMA mengadukan biaya pengadaan obat-obatan termaksud dalam Pasal 3 kepada PIHAK KEDUA selambat-lamarnya tanggal 10 bulan berikutnya dengan dilengkapi laporan sebagaimana dimaksud Pasal 2 ayat (4). (2) Pembayaran biaya pengadaan obat-obatan diberikan oleh PIHAK KEDUA kepada PIHAK PERTAMA dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) hari setelah diterimanya pengajuan biaya termaksud dalam ayat (1) pasal ini, atau dua minggu setelah PIHAK KEDUA menerima obat-obatan yang dipesan. (3) Untuk kelancaran pelayanan kepada PIHAK PERTAMA, maka oleh PIHAK KEDUA dapat diberikan Perskot Kerja (PK) maksimal 50%. (4) Harga obat-obatan yang diminta oleh PIHAK KEDUA ditentukan oleh PIHAK PERTAMA dengan pemberitahuan jika terjadi perubahan dalam jangka waktu tidak kurang dari 10 (sepuluh hari sebelumnya. (1) Perjanjian kerjasama ini berlaku sejak ditandatanganinya perjanjian ini untuk jangka waktu 1 (satu) tahun terhitung mulai tanggal 1 Mei 2008 sampai dengan tanggal 1 Mei 2009 dengan tidak mengurangi hak masingmasing pihak untuk mengakhiri perjanjian ini dengan memberitahukan maksudnya secara tertulis, PIHAK KEDUA kepada PIHAK PERTAMA atau sebaliknya selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sebelumnya. (2) Pengakhiran perjanjian ini tidak membebaskan kedua belah pihak untuk menyelesaikan kewajiban yang sedang berjalan. (3) Kedua belah pihak akan melakukan peninjauan atas pelaksanaan perjanjian ini selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sebelum berakhirnya perjanjian ini 64 sebagai bahan pertimbangan untuk perpanjangan perjanjian berikutnya atau mengakhiri perjanjian ini apabila ternyata hasil evaluasi tidak sesuai dengan pelaksanaannya. (4) Apabila perjanjian ini dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, kedua belahpihak dapat melaksanakan perpanjangan perjanjian berdasarkan persetujuan kedua belah pihak. Pasal 6 Sanksi Apabila pengadaan obat-obatan yang diberikan oleh PIHAK PERTAMA tidak sesuai dengan standard yang telah diatur dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 atau Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 1993, maka PIHAK KEDUA berhak membatalkan perjanjian kerjasama ini. Pasal 7 Perselisihan dan Domisili Semua perselisihan yang timbul sebagai akibat dari perjanjian ini akan diselesakan secara musyawarah dan apabila secara musyawarah tidak berhasil, maka akan ditempuh sesuai dengan saluran hukum yang berlaku. Pasal 8 Keadaan Memaksa (Force Majeure) (1) Yang dimaksud dengan keadaan memaksa adalah kebakaran, bencana alam, pemogokan, huru-hara, peperangan, adanya Peraturan Pemerintah yang secara langsung mempengaruhi kewajiban masing-masing. (2) Kedua belah pihak dibebaskan dari kewajiban masing-masing jika terjadi hal-hal di luar kekuasaan. (3) Dalam hal terjadi keadaan dimaksud dalam ayat (2), maka PIHAK PERTAMA berkewajiban memberitahukan kepada PIHAK KEDUA atau sebaliknya secara tertulis dalam tempo 7 (tujuh) hari kalender setelah terjadinya Force Majeure. 65 Pasal 9 Lain-lain Hal-hal yang belum tercakup dalam perjanjian ini akan diatur oleh kedua belah pihak secara musyawarah dan mufakat, dan kemudian tercantumkannya dalam suatu kesatuan dan bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian ini. Pasal 10 Penutup Demikian perjanjian kerjaasma ini dibuat dan ditandatangani dalam rangkap 4 (empat), 2 (dua) rangkap masing-masing bermaterai cukup sebagai aslinya, yang mempunyai kekuatan hukum yang sama dan 2 (dua) rangkap lainnya sebagai duplikat dari aslinya. Pengadaan obat-obatan yang dilakukan oleh Rumah Sakit Triharsi merupakan pengadaan yang tertuang dalam bentuk perjanjian. Oleh karena itu, Rumah Sakit Triharsi mengadakan kerjasama dengan PT. Yekatria Husada Farma untuk memenuhi kebutuhan akan obat-obatan yang dibutuhkan oleh pihak rumah sakit. Kerjasama tersebut dilakukan antara pihak PT. Yekatria Husada Farma dengan apotik dan Rumah Sakit Triharsi. Kerjasama yang terjadi antara PT. Yekatria Husada Farma dengan apotik dan Rumah Sakit Triharsi merupakan perjanjian yang tidak lepas dari pengawasan pemerintah, yang artinya diawasi oleh Departemen Kesehatan setempat. Perjanjian yang terjadi antara PT. Yekatria Husada Farma dan Rumah Sakit Triharsi merupakan suatu perjanjian jual beli. Dikatakan sebagai perjanjian jual-beli, karena terdapat unsur pokok, yaitu adanya barang. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Subekti yang menyatakan bahwa jual beli adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikat dirinya untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan. Yang dijanjikan oleh pihak yang lain, membayar harga yang telah disetujui. Meskipun tidak disebutkan dalam salah 66 satu pasal undang-undang, namun sudah semestinya bahwa “harga” ini harus berupa sejumlah uang, karena bila tidak demikian dan harga tersebut berupa barang, maka bukan lagi jual beli yang terjadi, tetapi tukar-menukar atau barter. Adapun yang dimaksud barang dalam perjanjian antara PT. Yekatria Husada Farma dan Rumah Sakit Triharsi adalah obat-obatan. Dengan demikian, telah terjadi kesepakatan antara PT. Yekatria Husada Farma dan Rumah Sakit Triharsi untuk melakukan kerjasama pengadaan obat-obatan, karena dalam perjanjiannya juga mencantumkan klausul biaya. Oleh karena itu, perjanjian jual beli yang dilakukan tersebut juga sesuai dengan pendapat dari Gunawan Widjaja dan Kartini Muljadi yang menyatakan bahwa jual beli merupakan suatu bentuk perjanjian yang melahirkan kewajiban atau perikatan untuk memberikan sesuatu, yang dalam hal ini terwujud dalam bentuk penyerahan kebendaan yang dijual oleh penjual dan penyerahan uang oleh pembeli kepada penjual. Dalam hal ini adalah penyerahan uang oleh Rumah Sakit Triharsi kepada PT. Yekatria Husada Farma dan diserahkannya obatobata dari PT. Yekatria Husada Farma kepada Rumah Sakit Triharsi. Perjanjian yang dilakukan antara PT. Yekatria Husada Farma dan Rumah Sakit Triharsi tersebut sesuai dengan asas konsensualisme sebagaimana yang terdapat dalam hukum perjanjian, yaitu Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Perjanjian jual-beli sudah lahir atau ada pada saat tercapainya sepakat antara penjual dan pembeli mengenai unsur-unsur pokok (essentialia) yaitu barang dan harga. Sifat konsensualisme jual beli ini ditegaskan dalam Pasal 1458 KUH Perdata yang berbunyi, “jual beli dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak sewaktu mereka telah mencapai sepakat tentang barang dan harga, meskipun barang itu belum diserahkan maupun harganya belum dibayar. Hal inilah yang juga dilakukan oleh pihak Rumah Sakit Triharsi dengan PT. Yekatria Husada Farma. 67 Pembelian obat-obatan yang dilakukan oleh Rumah Sakit Triharsi dengan cara datang sendiri ke PT. Yekatria Husada Farma. Jika melalui pemesanan, hal tersebut dapat dilakukan melalui salesman atau perantara. Selain itu, pemesanan juga dilakukan melalui surat. Apabila melalui surat, PT. Yekatria Husada Farma akan mengirim sesuai dengan permintaan Rumah Sakit Triharsi atau sesuai dengan keperluan Rumah Sakit yang diantar oleh petugas dari PT. Yekatria Husada Farma atau dapat diambil sendiri oleh petugas dari Apotik Rumah Sakit Triharsi sebagai pihak yang memesan. Hal tersebut sesuai dengan hasil wawancara dengan Ibu Ani Nursanti sekali Kepala bidang Farmasi, yang mengatakan bahwa pemesanan obat-obatan yang dilakukan oleh Rumah Sakit Triharsi biasanya dilakukan melalui salesman atau peranara. Kadang-kadang juga dengan mengirim surat ke PT. Yekatria Husada Farma kemudian pihak PT. Yekatria Husada Farma mengirim obat-obatan sesuai yang dipesan oleh pihak Rumah Sakit Triharsi. Dalam kerjasama yang dilakukan antara pihak Rumah Sakit Triharsi dan PT. Yekatria Husada Farma juga diatur mengenai cara pembayarannya. Dalam hal pembayaran, ada kelonggaran pembayaran yang diberikan. Adapun kelonggaran tersebut adalah pembayaran dapat dilakukan secara kredit dengan jangka waktu 1 (satu) bulan maupun dapat dibayar secara tunai, dengan catatan bahwa pesanan tersebut harus ditandatangani oleh Apoteker beserta bukti-bukti yang otentik, misalnya stempel, surat ijin dan nomor ijin kerja Apoteker yang bersangkutan. Dengan sistem pembayaran yang demikian, maka Rumah Sakit merasakan keringanan dalam hal pembayaran obat-obatan yang dipesan dan diberikan oleh PT. Yekatria Husada Farma. Dengan demikia, apotik dan Rumah Sakit dapat mewujudkan cita-cita pemerintah dalam usahanya meningkatkan kesehatan nasional sebagaimana yang dicanangkan oleh pemerintah menuju Indonesia Sehat 2010. 68 Apotik dan Rumah Sakit merupakan suatu tempat penyaluran obatobatan PT. Yekatria Husada Farma kepada konsumen atau masyarakat. Sebagai perusahaan farmasi besar, PT. Yekatria Husada Farma tidak boleh melayani sendiri secara eceran, tetapi harus melalui apotik dan rumah sakit yang merupakan jalur penyaluran terakhir. Sebagai penjual dan penyalur obat-obatan, PT. Yekatria Husada Farma dalam melakukan perdagangan selalu diawasi dan ditentukan oleh pemerintah, yaitu di bawah pengawasan Direktur Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan. Demikian pula saluran operasional yang dilakukan oleh apotik dan rumah sakit, sebagaimana dikatakan oleh Ibu Ani Nursanti selaku Kepala Bagian Farmasi Rumah Sakit Triharsi, yaitu: “Apotik dan Rumah Sakit sebagai penyalur terakhir, saluran operasionalnya selalu diawasi oleh Pengawas Obat dan Makanan (POM) dengan ditentukan oleh Departemen Kesehatan kemudian dapat disalurkan langsung kepada konsumen, baik melalui resep maupun pembelian bebas ke Apotik dan Rumah Sakit, Klinik Instansi Pemerintah atau Swasta ke Rumah Sakit yang tidak ada apotekernya maupun kepada para Dokter dan Puskesman”. Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dapat diketahui bahwa dalam hal penyaluran obat-obatan, baik oleh apotik maupun rumah sakit selalu diawasi oleh pemerintah dalam hal ini oleh Dirjen Pengawasan Obat dan Makanan sebelum sampai kepada masyarakat. Hal ini dilakukan untuk menghindari penyalahgunaan obat-obatan yang diperuntukkan bagi kesehatan. Sebagai pihak penjual, PT. Yekatria Husada Farma yang melakukan usaha penjualannya di bidang obat-obatan, maka mempunyai kewajibankewajban, yaitu: a. Menyerahkan obat-obatan yang dipesan oleh apotik dan rumah sakit, rumah sakit yang ada apotekernya dan tokoh-toko obat bebas dan obat bebas terbatas. 69 b. Menanggung kerusakan obat-obatan yang dibeli apabila rusaknya masih dalam kalangan PT. Yekatria Husada Farma, misalnya rusak atau lama di gudang sehingga obat-obatan tersebut tidak layak untuk dikonsumsi. Adapun apotik dan rumah sakit berkewajiban untuk membayar harga pembelian sesuai dengan waktu yang telah dijanjikan dan di tempat sebagaimana ditetapkan dalam perjanjian. Perjanjian antara Rumah Sakit Triharsi dengan PT. Yekatria Husada Farma hanya terbatas pada perjanjian jual beli saja, di mana pedagang besar farmasi, yaitu PT. Yekatria Husada Farma sebagai pemberi kredit atau penjual atau kreditu. Adapun Rumah Sakit Triharsi sebagai pembeli atau debitur. Namun demikian, mengenai hal-hal yang telah dijanjikan sudah merupakan suatu perjanjian yang sah meskipun hubungannya hanya terbatas pada penjual dan pembeli saja. PT. Yekatria Husada Farma hanya akan mengirimkan dan menyerahkan obat-obatan, apabila ada pesanan dari Rumah Sakit Triharsi akan membayar dengan sejumlah uang mengenai harga obat yang telah ditentukan dan disepakati secara kredit atau cash lunak dengan jangka waktu 1 (satu) bulan, maupun dapat secara tunai. Khusus untuk obat-obatan terlarang seperti obat bius atau narkotika pembayarannya dilakukan secara tunai dan terbatas dalam pembeliannya. Mengenai obat-obatan atau narkotika, tidak semua perusahaan farmasi dapat memenuhi permintaan akan jenis obat ini. Biasanya, hanya perusahaan farmasi tertentu saja yang ditunjuk oleh pemerintah untuk menyalurkan obatobat tersebut. Hal tersebut dikarenakan, obat terlarang termasuk dalam daftar golongan O dan cara memperolehnya memerlukan syarat-syarat atau prosedur khusus, yaitu: 1. Mengisi surat pesanan atau permintaan obat-obatan terlarang/narkotika yang telah disediakan oleh perusahaan farmasi yang ditunjuk. 70 2. Menyebutkan dalam hal kebutuhan obat tersebut untuk kepentingan apa dan siapa. 3. Memberikan tanda tangan dan nama terang serta nomor surat, Surat Ijin Kerja Apoteker dari Apotik dan Rumah Sakit yang memesan sebagai penanggung jawab obat terlarang tersebut. 4. Menyebutkan alamat terang apotik dan rumah sakit/lembaga lain yang membutuhkan obat tersebut dalam surat permintaan. Berdasarkan uraian tersebut, dapat diketahui bahwa semua barangbarang farmasi termasuk obat-obatan dari PT. Yekatria Husada Farma tidak mungkin akan sampai pada konsumen atau masyarakat apabila tidak melalui apotik dan rumah sakit, toko obat atau rumah sakit yang ada apotekernya. Apotik, rumah sakit, toko obat atau rumah sakit yang ada apotekernya merupakan jalur terakhir dan sebagai pengecer obat atau barang-barang farmasi kepada masyarakat atau konsumen. Untuk melaksanakan suatu perjanjian, lebih dahulu harus ditetapkan secara tegas dan cermat apa saja isi perjanjian tersebut. Dengan kata, apa saja hak dan kewajiban masing-masing pihak. Biasanya orang mengadakan suatu perjanjian dengan tidak mengatur atau menetapkan secara teliti hak dan kewajiban mereka. Biasanya perjanjian tersebut hanya menetapkan hal-hal yang pokok dan penting saja. Misalnya, dalam jual beli hanya ditetapkan tentang barang mana yang dibeli, jenisnya, jumlahnya, dan harganya. Dalam jual beli tidak ditetapkan tentang tempat penyerahan barang, biaya pengantaran, tempat dan waktu pembayaran, bagaimana jika barang musnah di perjalanan dan lain sebagainya. Dalam pelaksanaan perjanjian pengadaan obat-obatan antara Rumah Sakit Triharsi dengan PT. Yekatria Husada Farma telah sesuai dengan isi atau materi perjanjian pengadaan obat-obatan yang telah disepakati. Adapun pelaksanaan perjanjian pengadaan obat-obatan tersebut adalah: 1. Pengadaan Obat-obatan 71 Prosedur pengadaan obat-obatan telah sesuai materi perjanjian, yaitu sesuai Pasal 1 ayat (1) baik untuk pengadaan obat-obatan daftar O, dattar G, daftar W maupun obat-obatan bebas. Pengadaan di luar fasilitas yang tidak dirujuk pihak kedua, klaim biayanya ditanggung oleh pihak kedua untuk obat-obatan kategori obat bebas sesuai Pasal 2 ayat (2). Pengadaan obat-obatan ini sesuai dengan Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN) Plus, termasuk obat-obatan generik sesuai Pasal 2 ayat (3). Sedangkan jadwal waktu penyerahan obat-obatan dari pihak pertama yang diatur dan disesuaikan dengan permintaan pihak kedua (Rumah Sakit Triharsi) sesuai dengan Pasal 2 ayat (4). 2. Pembiayaan dan Cara Pembayaran Untuk pengadaan obat-obatan, pihak pertama akan memberikan obat-obatan yang dipesan dan diminta oleh pihak kedua baik secara lisan maupun tertulis atas dasar perjanjian pengadaan obat-obatan (sesuai Pasal 3 ayat (1)). Dalam hal pembayaran ini pihak pertama mengajukan biaya pengadaan obat-obatan yang telah diterima oleh pihak kedua setiap tanggal 10 tiap bulan, sesuai dengan Pasal 4 ayat (1). Perhitungan biaya tersebut meliputi pengadaan obat-obatan yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1). Pembayaran biaya pengadaan obat-obatan diberikan oleh pihak kedua kepada pihak pertama dapat diberikan uang muka kerja maksimal 50% (lima puluh persen) dari harga obat yang harus dibayar sesuai Pasal 4 ayat (3). 3. Sanksi Hukum Jika terjadi ketidaksesuaian pengadaan obat-obatan yang diberikan oleh pihak pertama dengan standard yang telah diatur dalam Undangundang Nomor 36 Tahun 2009, pihak kedua sesuai Pasal 6 Perjanjian Pengadaan Obat-obatan berhak membatalkan perjanjian kerjasama pengadaan obat-obatan tersebut. 72 Dalam hubungannya dengan kejadian perselisihan antara pihak pertama dengan pihak kedua dalam hal pengadaan obat-obatan, jika tidak dapat diselesaikan sesuai dengan hukum dan peraturan yang berlaku, yaitu dengan menunjuk peradilan tetap, yaitu Pengadilan Negeri Surakarta (Pasal 7). Dalam pelaksanaan perjanjian pengadaan obat-obatan ini kedua belah pihak menghargai dan mentoleransi keadaan memaksa yang bukan dikehendaki oleh masing-masing pihak, di mana kedua pihak saling memberitahukan keadaan memaksa ini sesuai Pasal 8 ayat (3). Mekanisme yang dilakukan oleh Rumah Sakit Triharsi untuk mendapatkan obat-obatan melalui prosedur yang dikembangkan berdasar isi perjanjian pengadaan obat-obatan yang dibutuhkan. Selain dilakukan dengan pesanan, Rumah Sakit Triharsi tidak menggunakan mediator atau perantara, tetapi dilakukan secara langsung. Perantara sebagai penyalur tidak sah dalam hubungannya dengan pekerjaan sebagai penyalur obat atau barang-barang farmasi. Hal tersebut dikarenakan dapat menimbulkan akibat diluar tanggungan perusahaan atau distributor farmasi. Kecuali jika perantara itu resmi bekerja pada PT. Yekatria Husada Farma, maka secara otomatis memikul tanggung jawab dan dapat terkena saksi. Namun, secara hukum tidak bertanggung jawab tentang akibat yang menimpa diri perantara sebagai penyalur yang tidak sah, baik berupa sanksi pidana maupun sanksi-sanksi lain yang dibebankan kepada diri perantara tersebut. Dalam melakukan pendistribusian dan penyaluran obat PT. Yekatria Husada Farma mempunyai kewajiban bahwa setiap 3 (tiga) bulan sekali wajib melaporkan barang-barang yang dibeli maupun yang dijual ke Apotik maupun Rumah Sakit kepada Departemen Kesehatan Daerah dengan melalui Badan Penelitian Pengawasan Pembinaan Obat dan Makanan (BP3OM). 73 Perantara dalam dunia perdagangan farmasi atau obat-obatan memikul tanggung jawab hukum serta akibat hukum yang terbagi dalam 2 (dua) macam, yaitu: 1. Perantara yang dimaksud sebagai tenaga salesman. Yang dimaksudkan perantara sebagai tenaga salesman adalah tugas mereka menjual ke toko atau apotik dan rumah sakit, tetapi tidak sembarangan obat dapat diperjualbelikan secara bebas. Salesman adalah perantara dalam arti yang sah. Salesman masih dapat melaksanakan tugasnya meskipun dalam menjual obat-obatan melalui instansi PT. Yekatria Husada Farma. Atau perantara tersebut mendapat pesanan di luar kota dan salesman dapat memperoleh order langsung dari PT. Yekatria Husada Farma. 2. Perantara dengan kata lain sebagai calo atau sales freelance dalam dunia perdagangan farmasi atau obat-obatan. Meksipun, calo dilarang dan juga suatu bentuk pelanggaran tetapi dalam perdagangan farmasi, masih tetap ada. Calo adalah orang yang tidak mempunyai hak dan melakukan penyaluran kepada pembeli. Dengan kata lain bahwa calo adalah perantara liar. Bagi calo sebagai perantara liar yang tidak mempunyai ijin kerja dapat terkena sanksi, sehingga penjual pun juga akan terkena sanksi apabila masih melayani penjualan obat terhadap calo. Sanksi dari perantara sebagai calo tersebut adalah: a. Bagi penyalur dapat berakibat dicabutnya ijin usaha perdagangan farmasi atau obat, karena menjual barang atau obat kepada orang lain yang tidak mempunyai ijin usaha dagang di bidang kefarmasian. Tidak adanya penanggung jawab farmasi, tidak adanya domisili kantor dan sebagainya, maka perjanjian ini merupakan suatu perjanjian yang tidak sah menurut undang-undang. 74 b. Barang-barang disita untuk negara dan untuk mengedarkan obat tersebut (calo) dikenakan sanksi hukum. c. Demikian pula terhadap si pembeli dianggap sebagai si pelanggar, karena membeli barang-barang yang tidak diawasi oleh pemerintah. Tidak melalui penyalur-penyalur obat yang telah ditentukan oleh apotik da rumah sakit maupun PT. Yekantria Husada Farma. Hubungan perantara dengan sub bagian agen yang terdapat pada PT. Yekatria Husada Farma adalah perantara sebagai salesman, yaitu kewajibankewajiban dari tenaga sales untuk menjual atau mengirim obat-obatan ke subsub agen di daerah Surakarta dengan melihat jenis-jenis obat yang dikirim. Apotik dan rumah sakit, toko obat dan rumah sakit sebagai agen merupakan badan usaha yang menyalurkan obat-obatan ke konsumen, sehingga konsumen atau masyarakat mengharapkan supaya harga obat-obatan di apotik dan rumah sakit, toko obat maupun rumah sakit dapat dijangkau oleh masyarakat luas, dengan kata lain perkataan, bahwa masyarakat menghadapkan adanya harga obat yang serendah-rendahnya agar semua orang mampu membelinya. Jadi, hubungan antara perantara dengan sub agen di sini adalah perantara sebagai salesman yang mengirimkan obat-obatan ke apotik dan rumah sakit. Adapun sub agen adalah tempat di mana obat dikirim dari PT. Yekatria Husada Farma dengan melalui perantara. Sedangkan dalam hubungannya dengan pelaksanaan pengadaan obat-obatan dengan Rumah Sakit Triharsi tidak melalui perantara. Sesuai dengan isi perjanjian pihak Rumah Sakit Triharsi memesan secara langsung, baik tertulis maupun lisan dengan pihak PT. Yekatria Husada Farma untuk pengadaan obat-obatan guna memenuhi kebutuhan pokok pihak Rumah Sakit Triharsi. Sebagaimana terdapat dalam Pasal 1313 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata) disebutkan tentang definisi perjanjian, yaitu suatu 75 perbutan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Tetapi dalam pengertian tersebut sama sekali tidak menjelaskan tentang perikatan padahal ada hubungan erat antara perikatan dengan perjanjian. Oleh karena itu, dengan adanya perjanjian antara Rumah Sakit Triharsi dengan PT. Yekatria Husada Farma maka timbul suatu hubungan antara dua orang atau dua perusahaan yang dinamakan perikatan atau perjanjian. Sebagaimana yang dinytakan oleh Mark A. Hall sebagai berikut: “Law has always regarded those who receive medical care much more as patients that as cconsumers. Like family law, medical law is as much about status as it is about contract. Patients and physicians contractual obligations are forged in the context of someone who is sick and vulnerable seeking care in a therapeutic relationship that entails special responsibility for the patient’s welfare”. (Hukum selalu memperhatikan siapa yang membutuhkan perawatan kesehatan lebih dari sekedar pasien sebagai konsumen. Seperti kesehatan keluarga, hukum kesehatan adalah mengenai posisi konsumen dalam sebuah kontrak. Pasien dan tenaga kesehatan terkadang terlupakan dalam isi perjanjian dimana orang yang sakit dan membutuhkan perawatan dalam transaksi terapeutik merupakan tanggung jawab khusus untuk kesehatan para pasien)”. Sehubungan dengan syarat kesepakatan mereka yang mengikat diri dalam KUHPerdata dicantumkan beberapa hal yang merupakan faktor yang dapat menimbulkan cacat pada kesepakatan tersebut. Dilihat dari syarat-syarat sahnya perjanjian ini, maka Asser (dalam Nugroho Hariadi, P, 2008) membedakan bagian perjanjian, yaitu bagian inti (wezenlijk oordeel) dan bagian yang bukan inti (non wezenlijk oordeel). Bagian inti disebutkan esensialia, bagian non inti terdiri dari naturalia dan aksidentialia. 1. Esensialia, bagian ini merupakan sifat yang harus ada di dalam kontrak, sifat yang menentukan atau menyebabkan kontrak itu tercipta 76 (constructieve oordeel). Seperti, persetujuan antara para pihak dan objek perjanjian. Apabila dilihat dari perjanjian antara Rumah Sakit Triharsi dengan PT. Yekatria Husada Farma, maka perjanjian tersebut telah memenuhi unsur esensialia, yaitu sebagaimana tercantum dalam Pasal 5 ayat (1). Dalam Pasal 5 ayat (1) disebutkan tentang kesepakatan untuk pengadaan obat-obatan. Adapun bunyi kesepakatan tersebut adalah perjanjian kerjasama ini berlaku sejak ditandatanganinya perjanjian ini untuk jangka waktu 1 (satu) tahun terhitung mulai tanggal 1 Mei 2008 sampai dengan tanggal 1 Mei 2009 dengn tidak mengurangi hak masing-masing pihak untuk mengakhiri perjanjian ini dengan memberitahukan maksudnya secara tertulis, PIHAK KEDUA kepada PIHAK PERTAMA atau sebaliknya selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sebelumnya. Berdasarkan isi perjanjian tersebut, maka telah tercipta suatu kontrak kerjasama antara Rumah Sakit Triharsi dengan PT. Yekatria Husada Farma. Kontrak kerjasama tersebut merupakan suatu bentuk kesepakatan yang mengikat kedua belah pihak untuk dapat memenuhi hak dan kewajiban masing-masing sesuai dengan kesepakatan yang telah dibuat. 2. Naturalia, bagian ini merupakan sifat bawaan (natuur) perjanjian sehingga secara diam-diam melekat pada kontrak, seperti menjamin tidak ada cacat dalam benda yang dijual (vrijwaring) Apabila diperhatikan lebih lanjut dalam perjanjian antara Rumah Sakit Triharsi dengan PT. Yekatria Husada Farma, maka perjanjian ini telah memenuhi unsur naturalia. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 6. Dalam Pasal 6 disebutkan bahwa apabila pengadaan obat-obatan yang diberikan oleh PIHAK PERTAMA tidak sesuai dengan standard yang telah diatur dalam Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 atau Peraturan Pemerintah Nomor 77 23 Tahun 1993, maka PIHAK KEDUA berhak membatalkan perjanjian kerjasama ini. Berdasarkan bunyi pasal tersebut, maka ada jaminan dari PIHAK PERTAMA untuk dapat memenuhi permintaan dari PIHAK KEDUA sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini disebabkan telah ada standar tersendiri dalam hal pengadaan obat-obatan. Oleh karena itu, dalam pengadaan obat-obatan ini harus sesuai dengan standar yang berlaku, apabila tidak maka perjanjian dapat dibatalkan. 3. Aksidentialia, bagian ini merupakan sifat yang melekat pada perjanjian dalam hal secara tegas diperjanjian oleh para pihak, seperti ketentuanketentuan mengenai domisili para pihak. Dalam perjanjian antara Rumah Sakit Triharsi dengan PT. Yekatria Husada Farma juga telah memenuhi unsur aksidentialia. Unsur ini ditunjukkan dalam Pasal 7 yang berunyi bahwa semua perselisihan yang timbul sebagai akibat dari perjanjian ini akan diselesaikan secara musyarawah, dan apabila secara musyawarah tidak berhasil, maka akan ditempuh sesuai dengan saluran hukum yang berlaku. Berdasarkan bunyi pasal tersebut maka ketentuan tentang domisili juga telah dicantumkan. Pencantuman domisili ini untuk mempermudah bagi para pihak apabila terjadi perselisihan. Dengan adanya ketentuan tentang domisili ini, akan membuat kedudukan masing-masing pihak menjadi lebih jelas Berdasarkan uraian di atas, maka dapat diketahui bahwa perjanjian antara Rumah Sakit Triharsi dengan PT. Yekatria Husada Farma tidak menimbulkan kecacatan dalam kesepakatan yang telah mereka buat. Hal tersebut dikarenakan syarat kesepakatan mereka yang mengikat diri dalam KUHPerdata yang sudah tercakup semuanya. Dalam perjanjian tersebut sudah memenuhi unsur esensialia, naturalia, aksidentialia. 78 Butir-butir kesepakatan dalam perjanjian antara Rumah Sakit Triharsi dengan PT. Yekatria Husada Farma, khususnya dalam salah satu pasalnya menyebutkan pengadaan obat-obatan yang dilakukan harus memenuhi standar berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal tersebut dilakukan untuk memberikan perlindungan bagi pasien supaya tidak menimblkan masalah di kemudian hari. Terutama obat-obatan diberikan kepada pasien sebagai salah satu faktor penunjang kesembuhan pasien. Oleh karena itu, dalam perjanjiannya menyebutkan tentang standar pengadaan obat-obatannya. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Markus Hartmann dan Florence Hartmen-Vareilles yang menyatakan sebagai berikut: “protecting patients, either in medical interventions or as consumers of medicinal products or as participants in clinical trials, and facilitating access to innovative medicinal products are tqo distinct but interacting regulatory processes”. (Melindungi pasien, selain merupakan intervensi kesehatan atau sebagai konsumen dari suatu produk kesehatanatau sebagai tenaga kesehatan serta terhadap akses fasilitas pada inovasi produk kesehatan merupakan dua hal yang berbeda tetapi saling berkaitan dalam proses regulasinya). Senada dengan pendapat yang dinyatakan oleh Dhrubajyoti Bhattacharya sebagai berikut: “a developing country’s fear of being left behind and not having access to future medicines is a legitimate concern, particularly during a state of public health emergency”. (negara berkembang tidak perlu takut ketinggalan dan tidak mempunyai akses dalam hal legitimasi dalam hal pengobatan selama negara tersebut dalam keadaan darurat masalah kesehatan masyarakat). Berdasarkan pernyataan tersebut, maka dapat diketahui bahwa dalam hal pelayanan kesehatan perlindungan terhadap pasien merupakan hal yang utama. Oleh karena itu, segala peraturan yang dibuat oleh rumah sakit 79 dimaksudkan untuk dapat melindungi pasien. Termasuk dalam hal ini adalah pengadaan obat-obatan yang dilakukan oleh pihak rumah sakit. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa hubungan kerjasama antara rumah sakit dengan perusahaan farmasi dalam pengadaan obat-obatan adalah berdasarkan perjanjian antara dokter dengan perusahaan farmasi dalam hal pemenuhan kebutuhan akan obat-obatan yang dibutuhkan oleh rumah sakit. Dengan demikian, hubungan kerjasama tersebut berdasarkan pada asas kepercayaan antara pihak rumah sakit yang dalam hal ini diwakili oleh dokter dengan perusahaan farmasi. Dokter sebagai profesinya tidak terlepas dari aturan pelaksaannya dalam kode Etik Kedoktera. Dalam Pasal 3 Kode Etik Kedokteran disebutkan bahwa dalam melakukan kedokterannya seorang dokter tidak boleh dipengaruhi oleh sesuatu yang mengakibatkan hilangnya kebebasan dan kemandirian profesi. Perbuatan yang dianggap bertentangan dengan etik kedokteran dalam hal pengadaan obat-obatan, yaitu membuat ikatan atau menerima imbalan dari perusahaan farmasi/obat yang dapat mempengaruhi pekerjaan dokter. Hal inilah yang sering kali terjadi antara dokter dengan perusahaan farmasi, di mana dokter sering menerima imbalan dari perusahaan farmasi jik telah terjadi kesepakatan. Padahal perbuatan tersebut secara etika tidak diperbolehkan. Selain itu, dengan adanya unsur kepercayaan tersebut, dokter dapat melakukan perbuatan yang tidak seharusnya dilakukan, misalnya jika telah terikat pada satu produk, maka dokter akan menggunakan produk tersebut. Padahal dalam kenyataan dokter dapat melakukan pembelian tidak hanya pada satu produk tertentu saja, tetapi dapat melakukan pembelian terhadap produk lainnya. Hal ini dikarenakan tiap-tiap rumah sakit memiliki kode-kode tertentu sehingga dokter hanya melakukan pembelian pada satu produk obat tertentu sesuai dengan yang telah disepakati antara dokter dengan perusahaan farmasi. 80 C. Masalah-masalah yang Dihadapi Rumah Sakit Triharsi dalam Pelaksanaan Perjanjian Pengadaan Obat-obatan antara Perusahaan Farmasi dengan Rumah Sakit Triharsi Suatu perjanjian merupakan suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain atau di mana dua orang saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu. Berdasarkan macam hal yang dijanjikan untuk dilaksanakan, perjanjian dibagi dalam tiga macam, yaitu: perjanjian untuk memberikan/menyerahkan suatu barang, perjanjian untuk berbuat sesuatu, dan perjanjian untuk tidak berbuat sesuatu. Adapun perjanjian pengadaan obat-obatan yang dilakukan oleh PT. Yekatria Husada Farma dan Rumah Sakit Triharsi merupakan perjanjian untuk memberikan/menyerahkan suatu barang, yaitu perjanjian jual beli. Suatu persoalan dalam hukum perjanjian ialah jika si debitur tidak menepati janjinya. Hal inilah yang sering kali menjadi kendala dalam pelaksanaan suatu kegiatan usaha yang berdasarkan pada perjanjian. Setiap melakukan suatu kegiatan, pasti terdapat kendala-kendala atau hambatan-hambatan yang terjadi. Termasuk juga dalam hal ini adalah kendala dalam hal pelaksanaan perjanjian pengadaan obat-obatan yang dilakukan antara PT. Yekatria Husada Farma dengan Rumah Sakit Triharsi. Kendala-kendala yang dihadapi tersebut adalah: 1. Masalah Kedudukan Para Pihak Apabila telah timbul hubungan hukum antara PT. Yekatria Husada Farma dengan Rumah Sakit Triharsi, dimana PT. Yekatria Husada Farma berkedudukan sebagai penjual/keditu dan Rumah Sakit Triharsi berkedudukan sebagai pembeli/debitur, jika terjadi perselisihan, misalnya dalam hal ketidaktepatan dalam waktu pembayaran atau keterlambatan dalam pengiriman barnag-barang farmasi, termasuk obat-obatan, perkara ini dapat diselesaikan sendiri oleh Rumah Sakit Triharsi, karena PT. Yekatria Husada Farma tidak mempunyai peraturan khusus, maka penyelesaian 81 masalahnya diselesaikan di Pengadilan Negeri setempat jika tidak ada kata mufakat dalam musyawarah. Dengan demikian, perkara-perkara yang terjadi di Rumah Sakit Triharsi dalam hubungan dengan perjanjian pengadaan obat-obatan dengan pihak PT. Yekatria Husada Farma, pada umumnya mengenai masalah utang-piutang dan pada kenyataannya penyelesaiannya belum ada yang sampai ke pengadilan, karena pihak rumah sakit selalu memenuhi isi perjanjian pengadaan obat-obatan dan masalah yang timbul dapat diselesaikan dengan baik. 2. Masalah Kepatuhan pada Isi Perjanjian Kepatuhan terhadap isi perjanjian oleh para pihak apabila dilakukan, akan menimbulkan saling percaya dari para pihak. Akan tetapi, jika kepatuhan akan perjanjian tidak dilakukan akan menimbulkan saling percaya dari para pihak yang mengikatkan diri dalam perjanjian. Ketidakpatuhan Rumah Sakit Triharsi dapat terjadi apabila obatobatan yang telah dikirim oleh PT. Yekatria Husada Farma tidak dibayar sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati. Dengan demikian, PT. Yekatria Husada Farma tidak akan mengirim obat-obatan lagi ke apotik dan rumah sakit tersebut, selama pembayaran belum dipenuhi serta apotik dan rumah sakit dilarang untuk melakukan pemesanan obat-obatan. Apabila kepatuhan-kepatuhan antara kedua belah pihak dilakukan dengan baik, maka hubungan kerjasama dagang antara penjual dan pembeli akan terus berjalan lancar dan pemutusan hubungan kerja dalam dunia perdagangan kemungkinan kecil sekali terjadi. Jadi, kepatuhan hukum antara Rumah Sakit Triharsi sebagai pemesan dan pembeli obat-obatan, wajib dikirim atau diberikan obat-obatan yang dipesan dan dibeli oleh Rumah Sakit Triharsi setelah melalui prosedur yang ditetapkan. Kemudian pihak Rumah Sakit Triharsi wajib membayar 82 dengan tepat seperti apa yang telah dijanjikan. Apabila hal tersebut tidak dipatuhi, maka akibatnya bagi rumah sakit adalah tidak dilayani lagi pengiriman obat-obatan yang telah dipesan oleh PT. Yekatria Husada Farma. Apabila PT. Yekatria Husada Farma tidak mematuhi isi dari peraturan perundang-undangan, maka akan mendapatkn peringatan dari Departemen Kesehatan. Peringatan dari pihak Departemen Kesehatan ini akan membawa konsekuensi bahwa rumah sakit, kemungkinan tidak akan memesan dan membeli obat-obat ke PT. Yekatria Husada Farma dan berpindah ke perusahaan lainnya. Oleh karena itu, antara PT. Yekatria Husada Farma dan Rumah Sakit Triharsi diharapkan selalu menjaga hubungan kerja dalam lapangan perdagangan obat-obatan. Kedua belah pihak selalu bekerjasama antara keduanya saling menjaga dan mematuhi peraturan perundangan mengenai pengadaan obat-obatan dengan sebaikbaiknya agar terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Lebih dari itu kedua belah pihak berupaya mematuhi segala peraturan yang telah ditetapkan baik oleh pemerintah maupun oleh kedua belah pihak sendiri. 3. Cara menyelesaikan masalah yang timbul sebagai akibat hubungan hukum yang terjadi antara para pihak yang terlibat dalam perjanjian Apabila perusahaan mengadakan suatu hubungan hukum atau suatu perjanjian dengan perusahaan lain, maka ada kemungkinan akan terjadi adanya suatu penyimpangan. Penyimpangan tersebut dapat terjadi hanya berupa penyimpangan kecil. Artinya, penyimpangan tersebut dapat diselesaikan oleh kedua belah pihak yang bersangkutan. Namun, apabila terjadi penyimpangan dari perjanjian yang tidak dapat segera diselesaikan oleh kedua belah pihak, maka keputusan dapat sampai ke pengadilan negeri yang merupakan putusan terakhir atau penyelesaian akhir. 83 Apabila pelaksanaan perjanjian pengadaan obat-obatan antara Rumah Sakit Triharsi dan PT. Yekatria Husada Farma terjadi suatu penyimpangan, maka sebelum diadakan pemutusan hubungan kerjasama, perselisihan tersebut diselesaikan secara damai, yaitu melalui Departemen Kesehatan setempat sebelum diajukan ke pengadilan negeri. Lain halnya apabila Rumah Sakit Triharsi sebagai pembeli di mana setiap 2 (dua) atau 3 (tiga) bulan berkewajiban untuk melaporkan ke Departemen Kesehatan. Hal tersebut dikarenakan setiap pembelian obatobatan harus dilaporkan ke Departemen Kesehatan setempat. Oleh karena itu, jika terjadi penyimpangan, misalnya dalam hal pembayaran, Rumah Sakit Triharsi dapat dikenakan sanksi dan mendapat surat teguran keras dengan memerintahkan PT. Yekatria Husada Farma dilarang melayani rumah sakit tersebut selama belum menyelesaikan tanggung jawab atas laporan tersebut. Demikan pula, dengan PT. Yekatria Husada Farma apabila tidak menyelesaikan kewajibannya mengenai laporan tentang pendistribusian obat-obatannya juga akan dikenakan sanksi. Sanksi yang diberikan oleh Departemen Kesehatan kepada PT. Yekatria Husada Farma adalah dilarang untuk menyalurkan obat-obatan maupun teguran keras dari Departemen Kesehatan setempat. Apabila timbul perkara yang diajukan ke Pengadilan Negeri dalam kaitannya dengan masalah atau kasus yang dihadapi, baik yang menyangkut perdata maupun pidana, maka hal-hal tersebut tidak akan dapat diselesaikan oleh Departemen Kesehatan apabila tidak dibantu oleh penegak hukum yang berwenang. Sehubungan dengan hal tersebut setelah mengadakan wawancara dengan Ibu Hartiyah, selaku Kepala Bidang Personalia, jika ada permasalahan antara pihak Rumah Sakit Triharsi dengan PT. Yekatria Husada Farma yang diselesaikan oleh Pengadilan Negeri setempat biasanya 84 hanya perkara-perkara kecil seperti lalai dalam pembayaran. Namun, semuanya itu dapat diselesaikan secara musyawarah. 85 BAB IV PENUTUP D. Simpulan 1. Proses penyusunan formularium di Rumah Sakit Triharsi Surakarta Sakit juga mengacu pada pedoman pengobatan yang berlaku, yaitu mulai dari perencanaan, pengadaan, pemakaian, monitoring, dan evaluasi. Penerapan Formularium Rumah Sakit harus selalu dipantau. Hasil pemantauan dipakai untuk pelaksanaan evaluasi dan revisi agar sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran (Pasal 15 ayat (2) dan (3) Undang-undang No 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit). 2. Perjanjian pengadaan obat-obatan antara antara Rumah Sakit Triharsi surakarta dengan perusahaan farmasi telah sesuai dengan isi atau materi perjanjian pengadaan obat-obatan yang telah disepakati kedua belah pihak. Dalam hal ini pihak PT. Yekatria Husada Farma tinggal mengirim obatobatan yang telah diminta dan dipesan oleh pihak Rumah Sakit Triharsi. Perjanjian antara Rumah Sakit Triharsi dengan PT. Yekatria Husada Farma hanya terbatas pada perjajian jual beli saja, di mana pedagang besar farmasi, yaitu PT. Yekatria Husada Farma sebagai pemberi kredit atau penjual atau kreditur. Namun demikian, mengenai hal-hal yang telah dijanjikan sudah merupakan suatu perjanjian yang sah meskipun hubungannya hanya terbatas pada penjual dan pembeli saja. PT. Yekatria Husada Farma hanyaakan mengirimkan dan menyerahkan obat-obatan, apabila ada pesanan dari Rumah Sakit Triharsi akan membayar dengan sejumlah uang mengenai harga obat yang telah ditentukan dan disepakati. 3. Masalah-masalah yang dihadapi rumah sakit Triharsi dalam pelaksanaan perjanjian pengadaan obat-obatan antara perusahaan farmasi dengan Rumah Sakit Triharsi Surakarta adalah salah satu pihak ingkar janji dan tidak disiplin. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Subekti yang menyatakan bahwa persoalan dalam hukum perjanjian ialah jika si debitur tidak menepati janjinya. Hal inilah yang sering kali menjadi kendala dalam pelaksanaan suatu kegiatan usaha yang berdasarkan pada perjanjian. 86 Permasalahan ini dapat saja terjadi pada kedua belah pihak. Keterlambatan pengiriman obat-obatan dan penerimaan obat-obatan yang tidak tepat waktunya maupun keterlambatan dalam hal pembayaran. Apabila kendala tersebut terjadi bukan karena adanya unsur kesengajaan, maka permasalahan tersebut diselesaikan secara musyawarah tetapi jika dalam musyarawah tersebut tidak dicapai kata sepakat maka permasalahan tersebut diselesaikan melalui pengadilan negeri setempat E. Saran Sehubungan dengan pelaksanaan pendistribusian dan penyaluran barang-barang farmasi yang dilakukan oleh PT. Yekatria Husada Farma dengan Rumah Sakit Triharsi meskipun telah sesuai dengn perjanjian yang dibuat tetapi hendaknya dapat lebih tepat lagi dalam hal pengiriman obat-obatan maupun pembayarannya. Hal tersebut dikarenakan ketersediaan obat-obatan berkaitan dengan kesehatan pasien yang sedang berobat. 87 DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2002. Kode Etik Kedokteran Indonesia dan Pedoman Pelaksanaan Kode Etik Kedokteran Indonesia. Jakarta: IDI. Burhan Ashshofa. 2001. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Genevieve Pinet, 1998, “Health Challenges of The 21st Century a Legislative Approach to Health Determinants”, Artikel dalam International Digest of Health Legislations, Vol 49 No. 1, 1998, Geneve HB. Sutopo. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif, Dasar Teori dan Terapannya dalam Penelitian. Surakarta: UNS Press. HFA. Vollamar. 1996. Pengantar Studi Hukum Perdata Jilim II. Terjemahan IS Adiwimarta. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Hermien Hadiati Koeswadji, 1998, Hukum Kedokteran, Studi Tentang Hubungan Hukum Dalam Mana Dokter Sebagai Salah Satu Pihak, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, _______________________, 2002, Hukum Untuk Perumahsakitan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung Ismail Saleh. 1990. Hukum dan Ekonomi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Jayasuriya, 1997, Health Law, International and Regional Perspectives, Har-Anand Publication PUT Ltd, New Delhi India J. Satrio. 1999. Hukum Perikatan: Perikatan pada Umumnya. Bandung: Alumni. J. Satrio. 1999. Hukum Periktan yang Lahir dari Perjanjian, Buku 1. Bandung: PT. Citra Aditya Bhakti. Matthew B. Miles and A. Michael Huberman. 2007. Analisis Data Kualitatif. Jakarta: UI Press. Nugroho Hariadi P, 2008. Aspek Hukum Perdata dalam Kontrak Dagang Elektronik, Artikel, www.google.com. Patrik Purwahid.1986. Asas Etikad Baik dan Kepatuhan dalam Perjanjian. Semarang: UNDIP. Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2006 88 R. Subekti. 2002. Hukum Perjanjian. Jakarta: PT. Intermassa. R. Subekti. 1995. Aneka Perjanjian, Cetakan Kesepuluh. Bandung: Citra Aditya Bakti. R. Subekti. 1996. Pokok-pokok Hukum Perdata. Jakarta: Intermassa. R. Subekti dan R. Tjitrosudibjo. 2005. Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Jakarta: Pradnya Paramita. R. Setiawan. 1999. Pokok-pokok Hukum Perikatan. Bandung: Putra Aabardin. Roscam Abing, 1998, “Health, Human Rights and Health Law The Move Towards Internationalization With Special Emphasis on Europe” dalam journal International Digest of Health Legislations, Vol 49 No. 1, 1998, Geneve, hal 103 dan 107. Sanusi Bintang dan Dahlan. 2000. Pokok-pokok Hukum Ekonomi dan Bisnis. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. Sudikno Mertokusumo. 1983. Aneka Perjanjian. Jakarta: Bina Cipta. Sunaryati Hartono. 1988. Hukum Ekonomi Pembangunan Indonesia. Jakarta: BPHN-Bina Cipta. Van der Mijn, 1984, ”The Development of Health Law in the Nederlands”, Makalah yang disampaikan dalam Seminar Sehari ”Issues of Health Law”, Tim Pengkajian Hukum Kedokteran, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman RI bekerja sama dengan PERHUKI dan PB IDI, Jakarta Wolper, Lawrence F. 2001. Administrasi Layanan, Prinsip, Praktik, Struktur dan Penyampaian, Edisi 2. Jakarta: EGC. Undang-undang No 7 Th 1963 tentang Farmasi Undang-undang No 29 Th 2004 tentang Kedokteran Undang-undang No 36 Th 2009 tentang Kesehatan Undang-undang No 44 Th 2009 tentang Rumah Sakit 89