Teologi dan Sejarah Ibadah Reformed Tugas Refleksi 3 Dosen: Ibu Lidya Siah, BCM, D.W.S. Elny Gunawan (M. Th. Teologi Integratif, 2018) 11 September 2020 Misteri Intervensi Allah dalam Keragaman Liturgi Gereja 1 Dalam materi perkuliahan ‘Ibadah Minggu’ (9/9) dipaparkan bahwa sejarah pembaharuan tata liturgi ibadah Kristen, dimulai dari Martin Luther di Jerman (1521-1523), Ulrich Zwingli di Swiss (1523-1525), Martin Bucer di Perancis (1491-1551), Wolfgang Capito di Jerman (1478-1541); Thomas Cranmer di Inggris (1549-1552); John Calvin (15401545), hingga lahirnya Liturgi Geneva (1562). Menyaksikan panjangnya sejarah pembaharuan tata liturgi ibadah Kristen, saya pun bertanya, “Mengapa Allah memilih mengerjakan proses pembaharuan dan penyusunan tata liturgi ibadah Kristen dalam jangka waktu yang begitu lama (lebih dari 40 tahun)?” Lalu, “Mengapa pembaharuan tata liturgi ibadah Kristen itu dikerjakan oleh beberapa tokoh reformator yang melayani di berbagai gereja/negara? Bukankah hal itu membuat tata liturgi ibadah Kristen yang dihasilkan pun tidak memiliki keseragaman, dengan kata lain, tata liturgi ibadah Kristen itu menjadi beraneka ragam bentuknya berdasarkan dengan konteks pemikiran dan pergumulan para tokoh serta pengaruh budaya gereja lokal masing-masing?”, “Tidakkah Allah menghendaki hanya ada satu tata liturgi ibadah yang sama atau seragam untuk dilaksanakan oleh gerejagereja di dunia? Pertanyaan-pertanyaan itu mengingatkan saya pada istilah pengilhaman organik (Organic Inspiration)2 yang dijumpai dalam matakuliah Doktrin Alkitab. Pengilhaman organik berarti Allah, sang Penulis primer, menggunakan kepribadian-kepribadian dan kultur-kultur yang berbeda dari para penulis sekunder-manusia (lebih dari 40 orang) untuk menuliskan Alkitab (66 kitab – PL dan PB). Itu sebabnya, jika kita mempelajari Alkitab dengna teliti, maka kita akan menjumpai bahwa Alkitab memiliki beraneka ragam bentuk tulisan, gaya bahasa, perbendaharaan kata, penekanan pokok bahasan, perspektif dan lainnya. Keaneragaman itu dipengaruhi oleh sitz im leben3 dari masing-masing penulis yang diinspirasikan oleh Roh Allah.4 Dengan kata lain, pengilhaman organik menyaksikan bahwa ketika Allah mengilhamkan kehendak-Nya kepada para penulis Alkitab, Ia tidak menghilangkan keunikan latar belakang, kepribadian atau karakteristik dari masing-masing penulis. Memang harus diakui bahwa para penulis sekunder-manusia itu tentu memiliki Judul Refleksi diberikan oleh Ibu Lidya Siah – 16 September 2020. Donald G. Bloesch, Holy Scripture: Revelation, Inspiration and Interpretation (Downers Grove, Illinois: Intervarsity Press, 1994), 85-89. Kata ‘diilhamkan’ dalam 2 Timotius 3:16 adalah terjemahan dari kata Yunani, 𝜖 𝑠Theopneustos), gabungan dari kata (Allah) dan (bernapas), yang berarti “dihembuskan atau dinafaskan oleh Allah”, atau “the product of the creative breath of God”. Istilah ini menegaskan fakta bahwa Alkitab benar-benar berasal dari Allah, Alkitab “dihembuskan keluar” oleh Allah. Inspirasi Alkitab dapat juga diartikan bahwa Allah berbicara kepada manusia secara langung melalui karya-Nya yang ajaib sehingga manusia dapat mendengar dan mengerti apa yang difirmankan oleh Allah. 3 Sitz im Leben adalah salah satu istilah penting yang sering digunakan oleh para peneliti Jerman dari aliranaliran kritik bentuk Alkitab. Frasa bahasa Jerman yang sulit diterjemahkan ke dalam bahasa lain ini, Sitz im Leben, secara umum sering diterjemahkan menjadi “setting in life”. Artinya, istilah ini dipakai untuk merujuk pada konteks dimana teks itu telah dibuat, berkaitan dengan situasi dan kondisi original teks pada waktu itu, sehingga makna, tujuan dan fungsi dari teks itu dapat ditemukan. Sitz im Leben juga digunakan untuk merujuk pada latar sosial, etnis, dan budaya suatu situs pada era tertentu. Jadi pada saat menafsirkan teks, objek, atau wilayah, Sitz im Leben patut dipertimbangkan untuk memungkinkan interpretasi kontekstual teks yang tepat. 4 Cornelius Van Til, Pengantar Theologi Sistematik: Prolegomena dan Doktrin Wahyu, Alkitab, dan Allah (Surabaya: Momentum, 2015),293-294. 1 2 sejumlah kelemahan dan keterbatasan, namun ketika para penulis-manusia itu diilhami oleh Roh Allah, maka seluruh keunikan latar belakang, kepribadian atau karakteristik, termasuk kelemahannya, berada dalam pengawasan dan pemeliharaan atau ditanggung oleh Roh Kudus.5 Sebagai contoh, Allah memberikan empat Injil dalam Kitab Suci Kristen, yaitu Matius, Markus, Lukas dan Yohanes. Keempat Injil itu memperlihatkan empat ‘potret’ Yesus Kristus dari angle yang berbeda kepada setiap pembacanya. Injil Matius merupakan Injil pertama, secara tradisi dipercaya sebagai tulisan dari Matius atau Lewi, seorang Yahudi yang berprofesi sebagai pemungut cukai. Injil ini sangat dengan kebiasaan dan budaya Yahudi, karena Injil ini ditujukan untuk para pembaca Yahudi. Injil kedua adalah Injil Markus yang ditulis oleh Yohanes Markus, seorang kemenakan Barnas dan anak Maria, perempuan yang terkemuka di Yerusalem (Kis 12:5-13:5). Injil Markus memuat banyak terjemahan dari kata-kata dalam bahasa Aram dan memberi banyak penjelasan mengenai adat istiadat orang-orang Yahudi. Mengapa demikian? karena Injil Markus ditulis untuk orang-orang Roma dan orang-orang non Yahudi. Lalu, Injil Lukas yang ditulis secara khusus untuk seseorang yang bernama Teofilus (Luk. 1:3-4). Penulis Injil ini adalah Lukas, seorang tabib (dokter), yang mungkin juga merupakan keturunan Yunani. Karena itu, Injil ini ditulis dengan tata bahasa yang sangat baik dalam bahasa Gerika. Injil keempat adalah Injil Yohanes, ditulis oleh Yohanes yang dikenal sebagai "murid yang dikasihi Yesus". Injil ini ditulis dengan gaya penulisan yang sangat unik, karena mencatat aspek-aspek kehidupan Yesus yang tidak dijumpai dalam tiga Injil sinoptik. Adapun tujuan dari penulisan Injil Yohanes ini adalah "supaya kamu percaya, bahwa Yesuslah Mesias, Anak Allah, dan supaya kamu oleh imanmu memperoleh hidup di dalam nama-Nya" (Yohanes 20:30-31). Berbeda dengan ketiga Injil Sinoptik, pada bagian awal tulisannya Injil Yohanes ini telah berfokus pada keilahian Kristus, sebagai Anak Allah yang kekal yang datang ke dunia dalam wujud manusia, dengan demikian kepada pembacanya telah diberikan potret “Allah yang menjadi daging”.6 Keempat Injil itu memberikan empat perspektif ‘potret’ dari riwayat kehidupan, karakter, pengajaran dan pelayanan Yesus yang berbeda satu dengan lainnya. Keanekaragaman perspektif potret Yesus dalam keempat Injil itu dipengaruhi oleh sitz im leben dari masingmasing penulis dan konteks pembacanya. Namun demikian, empat Injil itu menceritakan satu pribadi yang sama, yaitu Yesus Kristus. Keempat Injil tersebut tidak dapat saling menggantikan melainkan saling melengkapi dan terjalin dalam satu benang merah yang sama, yaitu memberikan suatu gambaran Yesus yang paripurna kepada pembaca Alkitab masa kini. Jadi, meskipun Allah memberikan empat Injil yang ditulis melalui pengilhaman organik kepada keempat penulisnya secara progresif, tujuannya adalah mengisahkan satu pribadi Yesus Kristus yang sama, “supaya kamu percaya, bahwa Yesuslah Mesias, Anak Allah, dan supaya kamu oleh imanmu memperoleh hidup dalam nama-Nya.” (Yoh. 20:31). Menyaksikan cara kerja Allah dalam proses penulisan Alkitab, yang melibatkan lebih dari 40 penulis dan dalam rentang waktu yang panjang melalui pengilhaman organik, menolong saya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan saya sendiri dalam paragraf pertama di atas. Akan tetapi, saya tidak bermaksud menyamakan kedudukan para tokoh reformator dengan kedudukan dan otoritas para penulis Kitab Suci. Tidak sama sekali! Namun, saya melihat adanya relevansi antara cara kerja Allah, pengilhaman organik dalam diri para penulis Kitab Suci, dengan cara kerja Allah kepada para tokoh reformator untuk melakukan pembaharuan tata liturgi ibadah gereja. Jika dalam proses penulisan Kitab Suci, pengilhaman organik berarti Allah adalah sang Penulis primer, menggunakan kepribadian-kepribadian dan 5 6 2008). Donald G. Bloesch, Holy Scripture: Revelation, Inspiration and Interpretation, 88. Richard A. Burridge, Four Gospels, One Jesus?: Yesus dalam Empat Injil (Malang: Gandum Mas, kultur-kultur dari para penulis sekunder-manusia, maka dalam proses pembaharuan tata liturgi ibadah Kristen, berdasarkan prinsip ‘pengilhaman organik’ itu dipahami Allah adalah sang Reformator primer, Ia memakai kepribadian-kepribadian dan kultur-kultur dari para reformator sekunder. Artinya, meski pun ada banyak tokoh yang melakukan pembaharuan tata liturgi ibadah gereja, yaitu Luther, Zwingli, Bucer, Capito, Cranmer, Calvin dan lainnya, sesungguhnya Allah sendiri yang mengerjakan pembaharuan tata liturgi ibadah Kristen. Dengan begitu, melalui sitz im leben para tokoh reformator, tata liturgi ibadah gereja yang dihasilkan memiliki bentuk ibadah yang kaya dengan keanekaragaman pengunaan lagu, musik, bahasa, budaya, dan elemen lainnya dalam gereja lokal. Keaneragaman tata liturgi ibadah gereja itu dipengaruhi oleh sitz im leben dari para tokoh reformator yang sepenuhnya berada dibawah intervensi Roh Allah sendiri. Mungkin dapat disimpulkan, tampaknya Allah memang tidak menghendaki hanya terdapat satu tata liturgi ibadah yang sama atau seragam untuk dilaksanakan oleh gereja-gereja di dunia. Jadi keragaman dalam tata liturgi ibadah gereja lokal merupakan sesuatu yang harus diterima sebagai kekayaan yang Allah ciptakan, sebagaimana Ia pun menciptakan beraneka ragam suku bangsa, bahasa dan budaya di atas bumi ini. Akan tetapi, merayakan keragaman tidak berarti mencampuradukan segala sesuatu tanpa makna. Setiap tata liturgi ibadah gereja tetap harus berpusatkan kepada Yesus Kristus, dan disusun berdasarkan prinsip-prinsip Sola Scriptura dengan tujuan Soli Deo Gloria. Selanjutnya, dalam proses penyusunan tata liturgi ibadah gereja, para hamba Tuhan tetap perlu memperhatikan konteks, karakter, dan ekspresi jemaat dari gereja lokal.7 Implikasi pelajaran ini bagi saya pribadi adalah (1) menyadari bahwa tata liturgi ibadah setiap gereja lokal dapat berbeda satu dengan lainnya, namun berdasarkan prinsip-prinsip Sola Scriptura dengan tujuan Soli Deo Gloria, saya wajib menunjukkan sikap hormat dan penyembahan kepada Allah yang sejati, saat mengikuti ibadah gereja lokal. (2) memahami cara kerja Allah dalam proses penulisan Kitab Suci melalui pengilhaman organik yang tidak menghilangkan sitz im leben dari manusianya, maka sebagai hamba Tuhan yang kelak akan melayani di gereja-Nya, pada saat menyusun atau melakukan pembaruan tata liturgi ibadah gereja lokal, saya harus melakukannya berdasarkan prinsip-prinsip Sola Scriptura dengan tujuan Soli Deo Gloria, sambil memperhatikan konteks, karakter, dan ekspresi jemaat dari gereja lokal tersebut. File PDF Refleksi ini dibagikan via WA kepada Pdt. Ribka Lie (Gembala Gereja Kristen Kalam Kudus Bandung-Taman Kopo Indah (GKKK Bandung-TKI)); Ibu Marita Lim (Majelis GKKK Bandung-TKI); Ev. Permia (Guru Agama di SKKK Bandung). 7 Constance M. Cherry, Arsitek Ibadah: Pedoman Merancang Ibadah yang Alkitabiah, Autentik, dan Relevan (Jakarta, Literatur Perkantas bekerja sama dengan Schola Reformata, Departeman Literatur STTRI, 2019), 53, 343-373. Batu penjuru ibadah Kristen adalah Yesus Kristus.