Uploaded by diahayuningrumamini99

LP Hirschprung

advertisement
LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN HIRSCHPRUNG
DISEASE DI RUANG PERINATOLOGI RSUD dr. SOEBANDI JEMBER
Oleh:
Diah Ayuningrum Amini, S.Kep
NIM 202311101093
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS
FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
2021
Laporan Pendahuluan
Asuhan Keperawatan Anak dengan Hirschprung Disease
Oleh : Diah Ayuningrum Amini, S.Kep
1. Diagnosa Medis
Hirschprung Disease
2. Proses Terjadinya Penyakit Hirschprung
a. Pengertian Hirschprung
Penyakit hirschprung atau yang juga disebut dengan megakolon
konginetal adalah suatu kelainan bawaan berupa tidak adanya ganglion pada
usus besar, mulai dari sfingter ani interna ke arah proksimal dan termasuk
rectum yang tidak diketahui secara pasti penyebabnya. Gejala yang muncul
pada penderita hirschprung yaitu gangguan pasase usus (PerMenKes, 2017).
Sedangkan menurut Chhabra S., dkk (2019), kondisi penyakit hirschprung
disebabkan karena kegagalan kolonisasi usus distal oleh saraf enterik prekursor
selama perkembangan embrio pada usia kehamilan minggu ke-5 hingga ke-12.
Pada kondisi normal, otot-otot yang ada di usus akan memeras dan
mendorong feses (kotoran) secara ritmis melalui rektum, namun pada kasus
penyakit hirschsprung saraf yang mengendalikan otot-otot ini (sel ganglion)
hilang dari bagian usus sehingga tinja tidak dapat didorong melalui usus secara
lancar. Akibat dari kondisi tersebut maka kotoran akan menumpuk di bagian
bawah hingga menyebabkan pembesaran pada usus dan juga kotoran dapat
menjadi keras kemudian membuat bayi tidak dapat BAB (RSUP dr. Sardjito,
2020). Pada bayi baru lahir dengan hirschprung, mekonium tidak dapat
dikeluarkan dalam waktu 24-48 jam setelah kelahiran (Mayo Clinic, 2019).
b. Epidemiologi
Angka kejadian penyakit hirschsprung secara internasional adalah
1:1.500 sampai dengan 1:7.000 kelahiran hidup. Sedangkan insiden penyakit
hirschsprung yang terjadi di Indonesia belum begitu jelas. Jika diperkirakan
angka insiden yang dapat terjadi yaitu 1 diantara 5000 kelahiran hidup, maka
dapat diprediksi dengan jumlah penduduk 220 juta dan tingkat kelahiran 35 per
juta kelahiran, akan lahir 1400 bayi setiap tahunnya dengan penyakit
hirschsprung. Di RSUPN Cipto Mangunkusomo Jakarta, ada 20 sampai 40
penderita penyakit Hirschsprung yang dirujuk setiap tahunnya (PerMenKes,
2017).
Risiko tertinggi terjadinya penyakit Hirschprung biasanya pada pasien
yang mempunyai riwayat keluarga penyakit hirschprung dan pada pasien
penderita Syndrome Down, sekitar 5-15% dari pasien dengan penyakit
hirschsprung juga memiliki trisomi 21. Kejadian pada bayi laki-laki lebih
banyak dari pada perempuan dengan perbandingan 4:1 dan ada kenaikan
insidensi pada kasus-kasus dengan faktor risiko familial yang rata-rata
mencapai 6% (Mustaqqin dan Sari, 2011).
c. Etiologi
Kondisi penyakit hirschsprung dapat disebabkan oleh beberapa faktor
menurut Suryandari (2018), yaitu terdiri dari:
1) Masa kehamilan
Terjadinya gangguan pada proses migrasi sel-sel kristaneuralis yang
menyebabkan terjadinya segmen usus yang aganglionik.
2) Penyebab genetik
Mutasi genetik adalah salah satu faktor penyebab terjadinya penyakit
hisprung. Mutasi genetik pada Ret proto-onkogen dan sel neurotrofik glial.
3) Kondisi terkait
Sindrom Down, 5-15% pasien dengan penyakit hisprung juga mengalami
trisomi 21. Sindrom Down adalah kelainan kromosom di mana ada
tambahan salinan kromosom 21, dengan karakteristik fitur wajah, cacat
jantung bawaan, dan keterlambatan perkembangan anak.
Pada kasus ringan, kondisi hirschprung mungkin tidak terdeteksi
sampai masa anak-anak. Seorang anak lebih berisiko terkena penyakit
hirschprung jika ada riwayat genetik dengan kelainan tersebut. Hirschprung
juga sering dikaitkan dengan penyakit sindrom Down. Anak laki-laki lebih
cenderung mengalami penyakit hirschprung daripada anak perempuan
(Stanford Children’s Health, 2016).
d. Manifestasi Klinis
Terdapat beberapa tanda dan gejala yang mungkin muncul pada
penderita hirschprung yaitu(Hockenberry dkk, 2017; Luanne & Haile, 2017) :
1) Bayi Baru lahir
Ditandai dengan kegagalan mengeluarkan mekonium dalam 24 hingga 48
jam setelah lahir, penolakan untuk memberi makan, muntah berwarna
kehijauan dan terjadi distensi perut.
2) Masa bayi
Ditandai mengalami kegagalan tumbuh/ failureto thrive (FTT), konstipasi,
distensi perut, muntah terus menerus, demam dan diare.
3) Masa anak
Ditandai mengalami sembelit, keluar kotoran seperti pita dan berbau busuk,
distensi perut, terjadi peristaltik, teraba masa tinja, penampilan anak kurang
gizi dan mengalami anemia.
Komplikasi yang paling serius dan harus diwaspadai akibat dari
penyakit hirschsprung biasanya adalah enterocolitis, prerforasi usus dan sepsis
yang merupakan penyebab dari kematian. Manifestasi yang mungkin muncul
pada penyakit hirschsprung dengan komplikasi enterokolitis yaitu distensi
abdomen, demam dengan disertai diare berupa feses cair bercampur mukus dan
berbau busuk, dengan atau tanpa darah dan umumnya berwarna kecoklatan
(PerMenKes, 2017).
e. Klasifikasi
Kondisi pada penyakit hirschprung dapat dibedakan menjadi dua jenis,
yatu terdiri dari:
1) Segmen pendek
Segmen pendek aganglionisis dimulai dari anus hingga sigmoid, terjadi
sekitar 70% dan sering ditemukan pada laki-laki. Pada tipe segmen pendek
yang umum insidennya 5 kali lebih besar pada laki-laki dibandingkan
dengan perempuan.
2) Segmen panjang
Daerah aganglionisis bisa melampaui sigmoid, bahkan bisa mengenai
seluruh kolon. Laki-laki dan perempuan memiliki peluang yang sama.
f. Patofisiologi
Penyakit hirschprung terjadi karena tidak adanya atau kekurangan selsel ganglion yang berasal dari puncak saraf. Pada kondisi normal, neuroblasts
ditemukan di usus kecil pada minggu ke-7 kehamilan dan akan mencapai usus
besar pada minggu ke-12 kehamilan. Kemungkinan yang dapat menjadi
penyebabdari penyakit hirschsprung adalah kecacatan dalam migrasi
neuroblast sehingga menyebabkan kegagalan turunnya neuroblast untuk
berada di lokasinya yaitu di usus besar. Selain itu, terjadi kegagalan neuroblas
untuk bertahan hidup, berkembang biak juga dapat menyebabkan gagalnya
neuroblast turun kearah usus besar (Imseis dan Gariepy, 2012).
Tidak adanya ganglion yang berada di pleksus auerbach yang terletak
pada lapisan otot dan pleksus meissner pada submukosa, mengakibatkan
hipertrofi pada serabut saraf dan terjadinya kenaikan kadar asetilkolinesterase.
Enzim ini merupakan produksi serabut saraf secara spontan dari saraf
parasimpatik ganglia otonom dalam mencegah akumulasi neurotransmiter
asetilkolin pada neuromuskular junction. Ganguan inervasi parasimpatis ini
akan menyebabkan incoordinate peristalsis, sehingga mengganggu propulsi isi
usus. Obstruksi yang terjadi secara kronik akan menyebabkan distensi
abdomen yang dapat beresiko terjadinya enterokolitis (PerMenKes, 2017).
Kondisi tersebut juga dapat mengakibatkan bagian proksimal dari
daerah transisi terjadi penebalan dan pelebaran dinding usus dengan
penimbunan feses dan gas yang banyak (Wagner, 2018). Anak dengan
hirschsprung memiliki risiko kondisi yang lebih serius seperti radang usus
(enterokolitis) atau lubang di dinding usus (perforasi usus) dapat menyebabkan
terjadinya infeksi serius dan mungkin berakibat kematian (NIH, 2019).
g. Pemeriksaan Diagnostik
Menurut PerMenKes (2017), terdapat beberapa pemeriksaan yang dapat
dlakukan untuk mendeteksi penyakit hirschprung, yaitu:
1) Foto Polos Abdomen
Foto polos abdomen dapat menyingkirkan diagnosis lain, seperti
peritonitis intrauterin atau perforasi gaster. Foto polos abdomen dapat
memperlihatkan loop distensi usus dengan penumpukan udara di daerah
rektum. Pada hasil foto untuk penyakit hirschsprung pada neonatus
cenderung akan menampilkan gambaran obstuksi usus letak rendah, meski
pada bayi tidak selalu mudah untuk membedakan antara distensi usus halus
dan usus besar. Sedangkan pada pasien bayi dan anak gambaran distensi
kolon dan gambaran massa feses akan lebih jelas terlihat. Pengambilan foto
pada posisi tengkurap kadang-kadang terlihat jelas bayangan udara dalam
rektosigmoid dengan tanda-tanda klasik penyakit hirschsprung.
2) Barium Enema
Pemeriksaan enema barium merupakan pemeriksaan diagnostik
terpenting untuk mendeteksi penyakit hirschsprung. Pemeriksaan enema
barium harus dikerjakan pada neonatus yang mengalami keterlambatan
evakuasi mekonium dan disertai dengan distensi abdomen dan muntah hijau
meskipun dengan pemeriksaan colok dubur gejala dan tanda-tanda obstruksi
usus telah mereda atau menghilang. Tanda-tanda klasik radiografik yang
khas untuk penyakit hirschsprung adalah:
a) Segmen sempit dari sfingter anal dengan panjang tertentu.
b) Zona transisi, daerah perubahan dari segmen sempit ke segmen dilatasi.
c) Segmen dilatasi.
Terdapat 3 jenis gambaran zona transisi yang dijumpai pada
pemeriksaan barium enema, yatu:
- Abrupt, perubahan mendadak
- Cone, bentuk seperti corong atau kerucut
- Funnel, bentuk seperti cerobong
Penggunaan
water-soluble
contrast
enema
(WSCE)
dapat
memberikan hasil yang lebih sensitive dan spesifik untuk mendeteksi
penyakit hirschprung. Pada pasien dengan perforasi usus, WSCE juga dapat
memberikan hasil yang lebih baik dan bila terjadi ekstravasasi kontras
karena sudah terjadi perforasi usus, tidak akan terjadi resiko seperti
ekstravasasi barium yang sulit dibersihkan dan akan memberikan efek
barium staining yang permanen pada pemeriksaan X-ray dikemudian hari.
3) Foto Retensi Barium
Apabila dari foto barium enema tidak terlihat tanda-tanda khas HD,
maka dapat dilanjutkan dengan foto retensi barium, yakni foto setelah 24-48
jam barium dibiarkan membaur dengan feces. Gambaran khasnya adalah
terlihatnya barium yang membaur dengan feces kearah proksimal kolon.
Sedangkan pada penderita yang bukan Hirschsprung namun disertai dengan
obstipasi kronis, maka barium terlihat menggumpal di daerah rektum dan
sigmoid.
4) Anal manometri (balon ditiupkan dalam rektum untuk mengukur tekanan
dalam rektum)
Sebuah balon kecil ditiupkan pada rektum. Ano-rektal manometri
mengukur tekanan dari otot sfingter anal dan seberapa baik seorang dapat
merasakan perbedaan sensasi dari rektum yang penuh. Pada anak-anak yang
memiliki penyakit Hirschsprung otot pada rektum tidak relaksasi secara
normal. Selama tes, pasien diminta untuk memeras, santai, dan
mendorong. Tekanan otot spinkter anal diukur selama aktivitas. Saat
memeras, seseorang mengencangkan otot spinkter seperti mencegah sesuatu
keluar. Mendorong, seseorang seolah mencoba seperti pergerakan usus. Tes
ini biasanya berhasil pada anak-anak yang kooperatif dan dewasa.
5) Biopsi rektum
Pemeriksaan jenis ini merupakan tes paling akurat untuk penyakit
Hirschsprung. Dokter mengambil bagian sangat kecil dari rektum untuk
dilihat di bawah mikroskop. Anak-anak dengan penyakit Hirschsprung akan
tidak memiliki sel-sel ganglion pada sampel yang diambil. Pada biopsi
hisap, jaringan dikeluarkan dari kolon dengan menggunakan alat penghisap.
Karena tidak melibatkan pemotongan jaringan kolon maka tidak diperlukan
anestesi. Jika biopsi menunjukkan adanya ganglion, penyakit Hirschsprung
tidak terbukti. Jika tidak terdapat sel-sel ganglion pada jaringan contoh,
biopsi full-thickness biopsi diperlukan untuk mengkonfirmasi penyakit
Hirschsprung. Pada biopsi full-thickness lebih banyak jaringan dari lapisan
yang lebih dalam dikeluarkan secara bedah untuk kemudian diperiksai di
bawah mikroskop. Tidak adanya sel-sel ganglion menunjukkan penyakit
Hirschsprung.
6) Pemeriksaan Genetik
Minimal terdapat 12 gen yang dianggap berperan terhadap terjadinya
penyakit hirschsprung, yaitu RET, GDNF, NRTN, SOX10, EDNRB, EDN3,
ECE1, ZFHX1B, TCF4, PHOX2B, KBP1, dan L1CAM. Namun, mutasi pada
gen-gen di atas hanya ditemukan pada 21% pasien penyakit hirschsprung.
Sebaliknya, polimorfisme pada intron 1 gen RET (rs2435357) ditemukan
pada hampir 80% pasien hirschsprung, sehingga polimorfisme ini dianggap
sebagai faktor risiko mayor untuk terjadinya penyakit hirschsprung.
7) Laboratorium
a) Kimia Darah : Pada kebanyakan pasien temuan elektrolit dan panel renal
biasanya dalam batas normal. Anak dengan diare memiliki hasil yang
sesuai dengan dehidrasi. Pemeriksaan ini dapat membantu mengarahkan
pada penatalaksanaan cairan dan elektrolit.
b) Darah Rutin : Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui hematokrit
dan platelet preoperatif.
c) Profil Koagulasi : Pemeriksaan ini dilakukan untuk memastikan tidak ada
gangguan pembekuan darah yang perlu dikoreksi sebelum operasi
dilakukan.
h. Penanganan
Terdapat beberapa tatalaksana dari penyakit hirschsprung yang dapat
dilakukab baik secara medis maupun non medis, yaitu:
1) Dekompresi
Dekompresi dilakukan bila terdapat perut kembung dan muntah
berwarna hijau dengan pemasangan pipa orogaster/nasogaster dan pipa
rektum serta dilakukan irigasi feces dengan menggunakan NaCl 0.9% 10-20
cc/kgBB, bila irigasi efektif dapat dilanjutkan sampai cairan yang keluar
relatif bersih (PerMenKes, 2017).
2) Perbaikan Keadaan Umum
a) Resusitasi cairan dan koreksi elektrolit
b) Antibiotic spectrum luas untuk mencegah sepsis
c) Rehabilitasi nutrisi (PerMenKes, 2017).
3) Penatalaksanaan Medis
a) Prosedur Penarikan Usus (laparoscopic pull-throught)
Pada prosedur ini dokter akan memotong dan membuang bagian usus
besar yang tidak memiliki saraf, kemudian menyambung usus yang sehat
langsung ke anus (Holcomb,2010).
b) Prosedur Swenson
Tujuan swenson pull-through adalah untuk menghilangkan seluruh kolon
aganglionik, dengan end-to-end anastomosis di atas anal sphingter.
operasi awalnya dilakukan melalui laparotomi, dengan anatomosis
dilakukan
perineum
setelah
mengalami
rektum
aganglionik
(Holcomb,2010).
c) Prosedur Soave
Prosedur Soave melibatkan reseksi mukosa dan submukosa rektum dan
menarik melalui ganglion usus normal melalui manset berotot
aganglionik rektum. Itu diperkenalkan pada 1960-an dan awalnya tidak
termasuk bergabung secara formal. Itu tergantung pada pembentukan
jaringan parut antara segmen pull-through dan usus aganglionik
sekitarnya (Holcomb,2010).
d) Prosedur Duhamel
Prosedur duhamel adalah tindakan operasi yang memotong usus besar
yang tidak memiliki saraf dan pembuluh darah, lali menyambung usus
besara yang memiliki saraf dengan stapler linear untuk membuat lumen
baru(Holcomb,2010).
4) Penatalaksanaan Non Medis
Berikut adalah gaya hidup dan pengobatan rumahan yang dapat
digunakan untuk mengatasi hirschsprung:
a) Memberikan makanan berserat tinggi
Apabila anak makan makanan yang padat, berikan makanan
berserat tinggi. Seperti gandum utuh, buah-buahan dan sayuran serta
batasi roti tawar dan makanan berserat rendah lainnya. Karena
peningkatan makanan berserat tinggi secara tiba-tiba dapat memperburuk
sembelit pada awalnya, berikan makanan berserat tinggi secara perlahan.
b) Tingkatkan cairan
Dorong anak untuk minum lebih banyak air. Apabila sebagian
atau seluruh usus besar anak diangkat, anak mungkin akan mengalami
kesulitan menyerap cukup air. Minum lebih banyak air dapat membantu
anak tetap terhidrasi, yang dapat membantu meringankan sembelit.
c) Dorong anak untuk aktif secara fisik: Aktivitas aerobik harian dapat
membantu buang air secara rutin.
d) Laksatif
Apabila anak tidak merespon atau tidak dapat mentolerir
peningkatan serat, air atau aktivitas fisik, laksatif tertentu – obat untuk
membantu buang air besar- dapat membantu mengurangi sembelit.
3. Pathway
Tidak adanya segmen aganglionic
Tidak adanya atau kekurangan sel-sel ganglion parasimpatik otonom
Penyakit Hirschprung
Hipertrofi otot kolon pada sub
proksimal (zona peralihan
antara usus dan persyarafan)
Kegagalan springter anal internal relaksasi
Respon keluarga & anak
terhadap hospitalisasi
Motilitas usus menurun
Respon psikologis perawatan
dan pengobatan
Kolon distal berdilatasi
Terjadi konstipasi atau obstipasi
Ansietas
Akumulasi feses dan gas
Mikroorganisme berkembang
biak di kolon
Gangguan pada
usus besar
Tindakan operasi
Akumulasi enterocolitis
Gerakan peristaltik
tidak teratur
Luka terbuka
(terpasang stoma)
Tidak dapat mendorong
yang dicerna
Terputusnya
kontinuitas jaringan
Diare
Resiko ketidakseimbangan
elektrolit
Resiko Infeksi
Kerusakan integritas
kulit/ jaringan
Tidak dapat mendorong
yang dicerna
Penekanan organ
paru-paru
Hipertrofi otot kolon dan
distensi abdomen
Hambatan upaya
napas
Gangguan
gastrointestinal
Pola Napas
Tidak Efektif
Perut terasa kembung,
mual, muntah
Intake nutrisi inadekuat,
kehilangan cairan dan
elektrolit
Defisit nutrisi
Terputusnya
kontinuitas jaringan
Merangsang saraf
neurotransmitter
Nyeri akut
Resiko Aspirasi
4. Asuhan keperawatan
a. Pengkajian
Anamnesa
1) Identitas klien
Meliputi nama, umur (kebanyakan terjadi pada bayi aterm), jenis
kelamin (lebih banyak laki–laki dari pada perempuan), pendidikan,
alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan jam MRS, nomor
registrasi, dan diagnosis medis.
2) Keluhan utama Klien
Masalah yang dirasakan klien yang sangat mengganggu pada saat
dilakukan pengkajian, pada klien Hirschsprung distensi abdomen.
Masalah yang dirasakan klien yang sangat mengganggu pada saat
dilakukan pengkajian, pada klien Hirschsprung misalnya, sulit BAB,
distensi abdomen, kembung, muntah.
3) Riwayat kesehatan sekarang
Yang diperhatikan adanya keluhan mekonium keluar setelah 24 jam
setelah lahir, distensi abdomen dan muntah hijau atau fekal.
4) Riwayat kesehatan masa lalu
a) Riwayat Antenatal Care: pemeriksaan yang dilakukan pada setiap
trimester (apakah rutin dilakukan, dimana, siapa yang memeriksa),
pemeriksaan penunjang (seperti USG), TBJ: <3000gram, penyulit
selama kehamilan
b) Riwayat intranatal: aterm, BBL <3000gram
c) Riwayat Post natal: meconium keluar > 24jam, muntah berwarna
hijau, terlihat distensi abdomen, konstipasi, kemungkinan dapat
terjadi enterokolitis
5) Riwayat Nutrisi
Makan dan minum berkurang, nafsu makan menurun karena merasa
mual dan muntah serta adanya distensi abdomen.
6) Riwayat psikologis
Pada anak yang dirawat di rumah sakit cenderung mengalami stress
karena hospitalisasi
7) Riwayat kesehatan keluarga
Apakah ada anggota keluarga menderita penyakit yang sama
8) Riwayat sosial
Tidak terganggu
9) Riwayat tumbuh kembang
Proses perkembangan tidak mengalami gangguan. Proses pertumbuhan
kemungkinan mengalami keterlambatan akibat asupan nutrisi yang
kurang disebabkan oleh nafsu makan anak menurun karena merasa
mual, muntah dan begah.
10) Riwayat kebiasaan sehari-hari
Kebutuhan istirahat dan aktifitas terganggu, anak menjadi sering rewel
karena keluhan sakit perut
Pemeriksaan Fisik
1) Breathing (B1)
Terlihat otot bantu pernapasan, pernapasan cuping hidung, respiration
rate meningkat, anak mengeluh sesak, suara napas vesikuler.
2) Blood (B2)
Nadi dalam batas normal, tidak teraba pembesaran jantung, palpasi
jantun redup, auskultasi S1 S2 tunggal.
Terdapat kemungkinan kenaikan suhu apabila telah terjadi enterokolitis
3) Brain (B3)
Kesadaran compos mentis, tidak terdapat gangguan pada system syaraf
4) Bladder (B4)
Dalam batas normal
5) Bowel (B5)
Pasien atau keluarga mengeluhkan pasien tidak bisa BAB, terlihat
adanya distensi abdomen, perut kembung,
bising usus menurun,
terdapat nyeri tekan, pasien mengalami muntah (frekuensi dan
karakteristik muntah), adanya kram, tenderness.
6) Bone (B6)
Keterlambatan pertumbuhan tulang akibat asupan nutrisi berkurang.
b. Diagnosa Keperawatan
1) Konstipasi (D.0049) b.d penyakit hirsprung
2) Defisit nutrisi (D.0019) b.d enterokolitis
3) Resiko ketidakseimbangan elektrolit (D.0037) d.d disfungsi regulasi
endokrin
4) Nyeri akut (D.0077) b.d agen pencedera fisik (prosedur operasi)
5) Gangguan integritas kulit/jaringan (D.0129) b.d luka post operasi
6) Resiko infeksi (D.0142) d.d tindakan invasif
7) Ansietas (D.0080) b.d kondisi diagnosis penyakit
b. Intervensi Keperawatan
Diagnosa
No.
keperawatan
(SDKI)
1.
Konstipasi
(D.0049)
Tujuan dan kriteria hasil
(SLKI)
Intervensi
(SIKI)
Konstipasi tidak dirasakan kembali setelah
diberikan asuhan keperawatan selama …x24
jam, dengan kriteria hasil:
Eliminasi Fekal (L.04033)
1. Distensi abdomen menurun
2. Teraba massa pada rektal hilang
3. Nyeri abdomen menurun
4. Kram abdomen menurun
5. Peristaltik usus membaik
6. Keluhan defekasi lama dan sulit menurun
7. Mengejan saat defekasi menurun
Manajemen eliminasi fekal (I.04151)
Observasi
1. Monitor BAB (mis. warna, frekuensi,
konsistensi dan volume)
2. Monitor tanda dan gejala diare, konstipasi atau
impaksi
3. Identifikasi masalah usus (periksa pergerakkan
usus, tanda dan gejala ruptur usus)
4. Identifikasi pengobatan yang berefek pada
kondisi gastrointestinal
Terapeutik
5. Berikan air hangat setelah makan
6. Jadwalkan waktu defekasi bersama pasien
7. Sediakan makanan tinggi serat
Edukasi
8. Jelaskan jenis makanan yang membantu
meningkatkan keteraturan peristaltik usus
9. Anjurkan pengurangan asupan makanan yang
meningkatkan pembentukan gas
10. Anjurkan meningkatkan asupan cairan
Kolaborasi
11. Kolaborasi pemberian obat supositoria, jika
perlu
2.
Defisit
(D.0019)
nutrisi Nutrisi pasien terpenuhi sesuai kebutuhan setelah Manajemen nutrisi (I.03119)
diberikan asuhan keperawatan selama …x24 Observasi
jam, dengan kriteria hasil: :
1. Identifikasi status nutrisi
2. Identifikasi alergi dan intolerasi makanan
Fungsi gastrointestinal (L.03019)
1. Toleransi terhadap makanan membaik
3. Identifikasi makanan yang disukai pasien
2. Nafsu makan meningkat
4. Identifikasi kebutuhan kalori dan jenis nutrien
3. Mual menurun
5. Identifikasi perlunya penggunaan selang
4. Muntah menurun
nasogastrik
5. Dispepsia menurun
6. Monitor asupan makanan
7. Monitor berat badan
Status nutrisi (L.03030)
6. Porsi makan yang dihabiskan meningkat
8. Monitor hasil pemeriksaan laboratorium
7. Rasa cepat kenyang menurun
Terapeutik
8. Diare tidak ada
9. Lakukan oral hygine sebelum makan, jika perlu
10. Berikan makanan tinggi serat untuk mencegah
konstipasi
11. Berikan makanan tinggi protein dan kalori
12. Berikan suplemen makanan, jika perlu
Edukasi
13. Anjurkan posisi duduk jika pasien mampu
14. Ajarkan diet yang diprogramkan
Kolaborasi
3.
Resiko
ketidakseimbangan
elektrolit (D.0037)
15. Kolaborasi pemeberian medikasi sebelum
makan (mis. pereda nyeri, antiemetik), jika perlu
16. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan
jumlah kalori dan jenis nutrien yang dibutuhkan
Resiko ketidakseimbangan elektrolit teratasi Manajemen elektrolit (I.03102)
setelah diberikan asuhan keperawatan selama Observasi
…x24 jam, dengan kriteria hasil:
1. Identifikasi tanda dan gejala ketidakseimbangan
kadar elektrolit
Keseimbangan cairan (L.03028)
1. Kelembapan membran mukosa meningkat
2. Identifikasi
penyebab
ketidakseimbangan
2. Edema menurun
elektrolit
3. Asites menurun
3. Identifikasi kehilangan elektrolit melalui cairan
4. TD membaik
(mis. diare)
5. Mata cekung membaik
4. Monitor kadar elektrolit
6. Turgor kulit membaik
5. Monitor efek samping pemberian elektrolit
7. Berat badan membaik
Terapeutik
6. Berikan cairan sesuai kebutuhan pasien jika
perlu
7. Berikan diet yang tepat (mis. tinggi kalium,
rendah natrium)
Edukasi
8. Jelaskan jenis, penyebab dan penanganan
ketidakseimbangan elektrolit
Kolaborasi
9. Kolaborasi pemberian suplemen elektrolit (mis.
oral, IV, NGT) sesuai indikasi
4.
Nyeri
(D.0077)
5.
Gangguan
integritas
kulit/jaringan
(D.0129)
akut Nyeri yang dirasakan pasien berkurang setelah
diberikan asuhan keperawatan selama …x24
jam, dengan kriteria hasil:
Tingkat nyeri (L.08066)
1. Keluhan nyeri menurun
2. Nampak wajah meringis tidak ada
3. Sikap protektif pada area yang dirasa nyeri
menurun
4. Kesulitan tidur menurun
5. Ketegangan otot menurun
6. Mampu
mobilisasi
atau
beraktifitas
meningkat
7. Pola tidur membaik
Pemberian Analgesik (I.08243)
Observasi
1. Identifikasi karakteristik nyeri
2. Identifikasi riwayat alergi obat
3. Identifikasi kesesuaian jenis analgesik dengan
tingkat keparahan nyeri
Terapeutik
4. Tetapkan target efektifitas analgesik untuk
mengoptimalkan respons pasien
5. Dokumentasikan respon terhadap efek analgesik
dan efek yang tidak diinginkan
Edukasi
6. Jelaskan efek terapi dan efek samping obat
Kolaborasi
7. Berkolaborasi pemberian dosis dan jenis
analgesik
Nyeri pasien hilang dan kemerahan pada luka Perawatan luka (I.14564)
mereda setelah diberikan asuhan keperawatan Observasi
selama …x24 jam, dengan kriteria hasil:
1. Monitor karakteristik luka (mis. drainase,
warna, ukuran dan bau)
Integritas kulit dan jaringan (L.14125)
2. Monitor tanda-tanda infeksi
1. Perfusi jaringan meningkat
Terapeutik
2. Perdarahan menurun
3. Lepaskan balutan dan plester secara perlahan
3. Suhu kulit membaik
4. Nekrosis tidak ada
6.
Resiko
(D.0142)
4. Ganti balutan sesuai jumlah eksudat
5. Bersihkan dengan cairan NaCl / pembersih
nontoksi sesuai kebutuhan
Pemulihan pasca bedah (L.14129)
5. Area luka operasi membaik
6. Pasang balutan sesuai jenis luka
6. Mobilitas meningkat
7. Pertahankan teknik steril saat melakukan
7. Kemampuan melakukan perawatan diri
perawatan luka
meningkat
Edukasi
8. Jelaskan tanda dan gejala infeksi
9. Anjurkan mengkonsumsi makanan tinggi kalori
dan protein
10. Ajarkan prosedur perawatan luka secara mandiri
Kolaborasi
11. Kolaborasi pemberian antibiotik
infeksi Resiko infeksi teratasi setelah diberikan asuhan Pencegahan infeksi (I.14539)
keperawatan selama …x24 jam, dengan kriteria Observasi
hasil:
1. Monitor tanda dan gejala infeksi lokal dan
sistemik
Tingkat infeksi (L.14137)
Terapeutik
1. Demam menurun
2. Berikan perawatan kulit
2. Nyeri menurun
3. Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan
3. Personal hygine meningkat
pasien serta lingkungan pasien
4. Kemerahan menurun
4. Pertahankan teknik aseptic
Edukasi
Status imun (L.14133)
5. Ajarkan cara mencuci tangan dengan benar
5. Sel darah putih membaik
7.
Ansietas (D.0080)
6. Integritas kuli meningkat
6. Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi
7. Suhu tubuh membaik dalam rentang normal
7. Anjurkan meningkatkan asupan cairan
Ansietas teratasi setelah diberikan asuhan Reduksi ansietas (I.09314)
keperawatan selama …x24 jam
Observasi
1. Monitor tanda-tanda ansietas (verbal dan
KH :
nonverbal)
Tingkat ansietas (L.09093)
Terapeutik
1. Verbalisasi kebingungan menurun
2. Ciptakan
suasana
terapeutik
untuk
2. Verbalisasi khawatir akibat kondisi yang
menumbuhkan kepercayaan
dihadapi menurun
3. Temani pasien untuk mengurangi kecemasan
3. Perilaku gelisah menurun
4. Pahami situasi yang membuat ansietas
4. Tremor menurun
5. Dengarkan dengan penuh perhatian
5. Pucat menurun
6. Gunakan pendekatan yang tenang dan
6. Konsentrasi membaik
meyakinkan
Edukasi
7. Informasikan secara faktual mengenai diagnosis,
pengobatan dan prognosis
8. Anjurkan keluarga untuk tetap menemani pasien
9. Anjurkan mengungkapkan perasaan dan persepsi
10.
Latih teknik relaksasi
Kolaborasi
11.
Kolaborasi pemberian obat anti ansietas jika
perlu
DAFTAR PUSTAKA
Chhabra, S., Harwood, R., & Kenny, S. E. 2019. Hirschsprung’s Disease. Surgery
(Oxford). doi:10.1016/j.mpsur.2019.09.005.
Hockenberry, M., Wilson, D. & Rodgers, C. C., 2017. Wong's Essentials Of
Pediatric Nursing. 10 Ed. St. Louis, Missouri: Elsevier.
Holcomb. G.W., Patrick. J.M., Daniel. J.O. 2010. Ashcraft Pediatrict Surgery
Sixth Edition. Kansas City: Elsevier.
Imseis, E. dan C. E. Gariepy. 2012. Hirschsprung Disease in Pediatric, in
Walker, A. (ed.) Gastrointestinal Disease. Vol. 1. PMPH-USA.
Keputusan
Menteri
Kesehatan
Republik
Indonesia
Nomor
HK.01.07/MENKES.474/2017. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran
Tata Laksana Penyakit Hirschprung. 27 September 2017. Jakarta.
Luanne, L.-P. & Haile, G., 2017. Safe Maternity And Pediatric Nursing Care.
Philadelphia: Davis Company.
Mayo Clinic. 2019. Hirschsprung’s Disease. https://www.mayoclinic.org/diseasesconditions/hirschsprungs-disease/symptoms-causes/syc-20351556.
[Diakses pada 07 Maret 2021].
Mustaqqin, A. dan K. Sari. 2011. Gangguan Gastrointestinal: Aplikasi Asuhan
Keperawatan Medikal Bedah. Salemba Medika: Jakarta
National Institute of Health (NIH). 2019. Hirschsprung Disease.
https://ghr.nlm.nih.gov/condition/hirschsprung-disease [Diakses pada 07
Maret 2021].
RSUP. Dr. Sardjito. 2020. Waspada Penyakit Hirschsprung Pada Bayi Baru Lahir.
https://sardjito.co.id/2020/01/31/waspada-penyakit-hirschsprung-pada-bayi
-baru-lahir/. [Diakses pada 07 Maret 2021]
Stanford Children’s Health. 2016. Hirschsprung Disease in Children.
https://www.stanfordchildrens.org/en/topic/default?id=hirschsprungsdisease-90-P01999 [Diakses pada 07 Maret 2021].
Suryandari, A. E. 2018. Analisis Faktor yang Mempengaruhi Hirschsprung Di
Rumah Sakit Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto. Prosiding: Seminar
Nasional dan Presentasi Hasil-Hasil Penelitian Pengabdian Masyarakat.
8-18.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2016. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia.
Edisi III. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional
Indonesia.
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia.
Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.
Tim Pokja SLKI DPP PPNI. 2019. Standar Luaran Keperawatan Indonesia. Edisi
II. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.
Wagner, J. P. 2018. Hirschsprung Disease. https://emedicine.medscape.
com/article/178493-overview [Diakses pada 07 Maret 2021].
Download
Study collections