Uploaded by Aurima Hanun Kusuma

10056 LAPORAN KASUS FIX RADIOLOGI

LAPORAN KASUS
KEPANITERAAN KLINIK
RS ROEMANI MUHAMMADIYAH SEMARANG
MEGACOLON dengan KONSTIPASI
Disusun Oleh :
Wijayanti Indah Purnamasari
H2A012011P
Pembimbing :
dr. Abu Bakar, Sp. Rad
dr. Boyanto, Sp. Rad
dr. Arinawati, Sp. Rad
BAGIAN RADIOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG
2019
1
LEMBAR PENGESAHAN KOORDINATOR KEPANITERAAN KLINIK
RADIOLOGI
LAPORAN KASUS KEPANITERAAN KLINIK
“MEGACOLON dengan KONSTIPASI”
Disusun untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik
di Bagian Radiologi
Rumah Sakit Roemani Muhammadiyah Semarang
Disusun Oleh:
Wijayanti Indah Purnamasari H2A012011P
Telah disetujui oleh Pembimbing:
Nama pembimbing
Tanda Tangan
dr. Abu Bakar, Sp. Rad
…………………...
dr. Arinawati, Sp.Rad
…………………...
dr. Boyanto, Sp.Rad
…………………...
2
BAB I
PENDAHULUAN
Ada beberapa pengertian mengenai Megakolon, namun pada intinya sama
yaitu penyakit yang disebabkan oleh tidak adekuatnya motilitas pada usus
sehingga tidak ada evakuasi usus spontan dan tidak mampunya sphincter rectum
berelaksasi. Hirschsprung atau Megakolon adalah penyakit yang ditandai dengan
tidak adanya sel – sel ganglion dalam rectum atau bagian rektosigmoid colon dan
ketidak adaan ini menimbulkan keabnormalan atau tidak adanya peristaltik serta
tidak adanya evakuasi usus spontan. Penyakit Hirschsprung atau Megakolon
adalah kelainan bawaan penyebab gangguan pasase usus tersering pada neonatus,
dan kebanyakan terjadi pada bayi aterm dengan berat lahir 3 Kg, lebih banyak laki
– laki dari pada perempuan.1,2
Pasien dengan penyakit Hirschprung pertama kali dilaporkan pada tahun
1961 oleh Frederick Ruysch, namun seorang dokter anak bernama Harold
Hirschprung pada tahun 1886 yang mempublikasikan penjelasan klasik mengenai
megakolon kongenital ini.3,4 Penyakit hirschsprung atau megakolon aganglionik
bawaan disebabkan oleh kelainan inervasi usus, mulai pada sfingter ani interna
dan meluas ke proksimal, melibatkan panjang usus yang bervariasi. Penyakit
hirschsprung adalah penyebab obstruksi usus bagian bawah yang paling sering
pada neonatus, dengan insiden keseluruhan 1 : 5000 kelahiran hidup. Laki – laki
lebih banyak di banding perempuan (4:1) dan Menurut catatan Swenson, 81,1 %
dari 880 kasus yang diteliti adalah laki-laki.4 Penyakit hirschsprung mungkin
disertai dengan cacat bawaan lain termasuk salah satunya sindrom down serta
kelainan kardiovaskuler.2
Megakolon non kongenital juga dapat terjadi sebagai penyulit dari
penyakit kolitis, dimana terjadi dilatasi kolon akut atau megakolon toksik dengan
paralisis fungsi motorik kolon transversum disertai dilatasi cepat segmen usus
tersebut, yang disebabkan oleh progresivitas penyakit di dinding yang dapat
3
dicetuskan oleh pemberian sediaan opiat atau pemeriksaan rontgen barium.
Biasanya penderita tampak sakit berat dengan takikardia dan syok toksik.5-8
4
BAB II
TINJAUAN KASUS
A. Anatomi Dan Fisiologi
Gambar 1. Anatomi usus besar manusia
Usus besar atau kolon kira-kira 1,5 meter adalah sambungan dari
usus halus dan mulai di katup iliokolik atau ilioseikal yaitu tempat sisa
makanan lewat. Reflek gastrokolik terjadi ketika makanan masuk lambung
dan menimbulkan peristaltic didalam usus besar. Refleks ini menyebabkan
defekasi. Kolon mulai pada kantong yang mekar padanya terdapat
appendix vermiformis.9
Fungsi serupa dengan tonsil sebagian terletak di bawah sekum dan
sebagian dibelakang sekum atau retrosekum. Sekum terletak di daerah
iliaka kanan dan menempel pada otot iliopsoas. Disini kolon naik melalui
daerah daerah sebelah kanan lumbal dan disebut kolon asendens. Dibawah
hati berbelok pada tempat yang disebut flexura hepatica, lalu berjalan
melalui tepi daerah epigastrik dan umbilical sebagai kolon transvesus.
Dibawah limpa ia berbelok sebagai fleksura sinistra atau flexura linealis
dan kemudian berjalan melalui daerah kanan lumbal sebagai kolon
5
desendens. Di daerah kanan iliaka terdapat belokan yang disebut flexura
sigmoid dan dibentuk kolon sigmoideus atau kolon pelvis, dan kemudian
masuk pelvis besar menjadi rectum.9
Gambar 2. Anatomi rectum dan sigmoid
Rektum memiliki 3 buah valvula : superior kiri, medial kanan dan inferior
kiri. 2/3 bagian distal rektum terletak di rongga pelvik dan terfiksir, sedangkan 1/3
bagian proksimal terletak dirongga abdomen dan relatif mobile. Kedua bagian ini
dipisahkan oleh peritoneum reflektum dimana bagian anterior lebih panjang
dibanding bagian posterior. Saluran anal (anal canal) adalah bagian terakhir dari
usus, berfungsi sebagai pintu masuk ke bagian usus yang lebih proksimal, dan,
dikelilingi oleh sphincter ani (eksternal dan internal) serta otot-otot yang mengatur
pasase isi rektum ke dunia luar. Sphincter ani eksterna terdiri dari 3 sling : atas,
medial dan depan.9,10
Persyarafan motorik sphincter ani interna berasal dari serabut saraf
simpatis (n.hypogastrikus) yang menyebabkan kontraksi usus dan serabut saraf
parasimpatis (n.splanchnicus) yang menyebabkan relaksasi usus. Kedua jenis
serabut saraf ini membentuk pleksus rektalis. Sedangkan muskulus levator ani
6
dipersyarafi oleh n.sakralis 3 dan 4. Nervus pudendalis mensarafi sphincter ani
eksterna dan m.puborektalis. Saraf simpatis tidak mempengaruhi otot rektum.
Defekasi sepenuhnya dikontrol oleh n.splanchnicus (parasimpatis). sehingga,
kontinensia sepenuhnya dipengaruhi oleh n.pudendalis dan n.splanchnicus pelvik
(saraf parasimpatis).9,10
Gambar 3. Sistem saraf autonomik intrinsik pada usus
Sistem saraf autonomik intrinsik pada usus terdiri dari 3 pleksus :
1. Pleksus Auerbach : terletak diantara lapisan otot sirkuler dan longitudinal
2. Pleksus Henle
: terletak disepanjang batas dalam otot sirkuler
3. Pleksus Meissner : terletak di sub-mukosa
Pada penderita penyakit Hirschsprung, tidak dijumpai ganglion pada ke-3
pleksus tersebut. Usus besar memiliki berbagai fungsi yang semuanya berkaitan
dengan proses akhir isi usus. Fungsi usus besar yang paling penting adalah
absorpsi air dan elektrolit, yang sudah hampir selesai dalam kolon dekstra. Kolon
sigmoid berfungsi sebagai reservoir yang menampung massa feses yang sudah
terdehidrasi hingga berlangsungnya defekasi. Kolon mengabsorpsi sekitar 800 ml
air per hari, namun demikian kapasitas absorpsi air usus besar adalah sekitar
1500-2000 ml/hr. Berat akhir feses yang dikeluarkan per hari sekitar 200 gram,
dan 80 - 90 % diantaranya adalah air. 9,10
7
Fisiologi Defekasi
Defekasi adalah pengeluaran feses dari anus dan rektum. Hal ini juga
disebut bowel movement. Frekuensi defekasi pada setiap orang sangat bervariasi
dari beberapa kali perhari sampai 2 atau 3 kali perminggu. Banyaknya feses juga
bervariasi setiap orang. Ketika gelombang peristaltik mendorong feses kedalam
kolon sigmoid dan rektum, saraf sensoris dalam rektum dirangsang dan individu
menjadi sadar terhadap kebutuhan untuk defekasi.10
Defekasi biasanya dimulai oleh dua refleks defekasi yaitu :9,10
1. Refleks defekasi instrinsik
Ketika feses masuk kedalam rektum, pengembangan dinding rektum
memberi suatu signal yang menyebar melalui pleksus mesentrikus untuk memulai
gelombang peristaltik pada kolon desenden, kolon sigmoid, dan didalam rektum.
Gelombang ini menekan feses kearah anus. Begitu gelombang peristaltik
mendekati anus, spingter anal interna tidak menutup dan bila sphincter eksternal
tenang maka feses keluar.
2. Refleks defekasi parasimpatis
Ketika serat saraf dalam rektum dirangsang, signal diteruskan ke spinal
cord (sakral 2 – 4) dan kemudian kembali ke kolon desenden, kolon sigmoid dan
rektum. Sinyal – sinyal parasimpatis ini meningkatkan gelombang peristaltik,
melemaskan sphincter anus internal dan meningkatkan refleks defekasi instrinsik.
Sphincter anus individu duduk ditoilet atau depan, spingter anus eksternal tenang
dengan sendirinya.
Pengeluaran feses dibantu oleh kontraksi otot-otot perut dan diaphragma
yang akan meningkatkan tekanan abdominal dan oleh kontraksi muskulus levator
ani pada dasar panggul yang menggerakkan feses melalui saluran anus. Defekasi
normal dipermudah dengan refleksi paha yang meningkatkan tekanan di dalam
perut dan posisi duduk yang meningkatkan tekanan kebawah kearah rektum. Jika
refleks defekasi diabaikan atau jika defekasi dihambat secara sengaja dengan
mengkontraksikan muskulus spingter eksternal, maka rasa terdesak untuk defekasi
secara berulang dapat menghasilkan rektum meluas untuk menampung kumpulan
feses.
8
Gambar 4. Fisiologi defekasi
Defekasi dan kontinensia adalah mekanisme yang saling terkait erat.
Kontinensia adalah kegiatan pengeluaran isi rektum secara terkontrol pada wakru
dan tempat yang diinginkan. Koordinasi pengeluaran isi rektum sangat kompleks,
namun dapat dikelompokkan atas 4 tahapan: Tahap I. Tahap awal ini adalah
berupa propulsi isi kolon yang lebih proksimal ke rektum, seiring dengan
frekwensi peristaltik kolon dan sigmoid (2-3 kali/hari) serta refleks gastrokolik.
Tahap II. Tahap ini disebut sampling reflex atau rectal-anal inhibitory reflex,
yakni upaya anorektal mengenali isi rektum dan merelaksasi spinkter ani interna
secara involunter.
Tahap III. Tahap ini berupa relaksasi spinkter ani eksternal
secara involunter. Relaksasi yang terjadi bukanlah relaksasi aktif, melainkan
relaksasi akibat kegagalan kontraksi spinkter itu sendiri.
Tahap IV. Tahap
terakhir ini berupa peninggian tekanan intra abdominal secara volunter dengan
menggunakan diafragma dan otot dinding perut, hingga defekasi dapat terjadi.1
9
MEGAKOLON
Megakolon adalah dilatasi abnormal dari kolon yang sering disertai oleh
paralisis dari peristaltik usus. Selama proses pencernaan makanan, otot – otot pada
kolon membawa makanan dengan gerakan peristaltiknya. Ketika kita makan, sel
saraf pada dinding usus (sel ganglion dari pleksus saraf) yang menerima sinyal
dari otak dan akan menghantarkan informasi ke otot intestinal untuk mendorong
isi kolon (feses). Pada keadaan dimana kolon kehilangan atau terjadinya
perkembangan abnormal dari sel saraf, isi kolon tidak dapat terdorong dari
segmen ini.5,11
Pada kebanyakan kasus, penyakit ini terbatas pada rectum atau region
rectosigmoid. Kolon menjadi terhalang oleh feses sebagian maupun total sehingga
terjadi konstipasi. Obstruksi didalam kolon menyebabkan tekanan didalamnya
menjadi meningkat (diatas zona tanpa ganglion atau area obstruksi), relaksasi
dinding usus (ukuran usus lebih besar dari pada normal) serta stagnasi feses akibat
obstruksi ini menjadi media infeksi bakteri dan akumulasi toksin yang dapat
menyebabkan masalah yang serius.7,8,11
Pada kasus yang lebih ekstrim, feses dapat berkonsolidasi menjadi massa
yang keras didalam kolon, yang disebut dengan fecaloma, yang membutuhkan
operasi untuk mengeluarkannya. Kolon manusia dikatakan membesar secara
abnormal bila diameternya mencapai lebih dari 12 cm di caecum, lebih dari 6,5
cm di rectosigmoid dan lebih dari 8 cm di kolon ascenden.7
Megakolon dapat akut maupun kronik. Juga dapat diklasifikasikan
berdasarkan etiologinya, berdasarkan penyebabnya, megakolon dibagi menjadi 2
yaitu megakolon kongenital yang sering disebut dengan penyakit Hirschsprung
serta megakolon non kongenital atau akuisita yang biasanya terjadi akibat dari
beberapa penyakit tertentu.1,4
Tanda dan gejala eksternal dapat berupa konstipasi yang memanjang, perut
kembung, nyeri perut, teraba massa feses yang keras. Pada megakolon toksik
dapat ditemukan tanda-tanda berupa demam, kadar kalium darah yang rendah,
takikardia dan shock. Pemeriksaan radiologi merupakan pemeriksaan yang
10
penting pada penyakit megakolon. Foto polos abdomen sangat berguna untuk
screening awal, setelah foto polos abdomen dapat menemukan adanya megakolon,
dapat digunakan barium enema untuk pemeriksaan selanjutnya dengan beberapa
alasan:1,11
1. Secara akurat dapat menentukan besarnya kolon.
2. Membantu untuk memisahkan antara adanya megakolon, megarektum,
atau keduanya.
3. Membantu untuk melihat anatomi usus besar, dapat digunakan untuk
pencernaan tindakan terapi selanjutnya
MEGAKOLON KONGENITAL (HIRSCHSPRUNG DISEASE)
Definisi
Penyakit Megakolon kongenital atau penyakit Hirschsprung adalah suatu
kelainan bawaan berupa aganglionik usus, mulai dari sphincter ani interna ke arah
proksimal dengan panjang yang bervariasi, tetapi selalu termasuk anus dan
setidak-tidaknya sebagian rektum dengan gejala klinis berupa gangguan pasase
usus
fungsional. Penyakit Hirschprung merupakan suatu penyumbatan yang
terjadi pada usus besar karena tidak terdapatnya sel ganglion Auerbach dan
Meissner. Penyakit ini lebih dikenal dengan Aganglionalis Kongenital.2,11
Kadang seseorang menderita konstipasi yang begitu parah sehingga
pergerakan usus hanya terjadi beberapa hari sekali atau kadang hanya sekali
dalam seminggu. Keadaan ini menyebabkan sejumlah besar feses menumpuk di
kolon, kadang – kadang menyebabkan distensi kolon dengan diameter 3 – 4 inci.
Keadaan ini disebut megakolon atau penyakit Hirschsprung.10
11
Gambar 5. Hirschsprung disease
Penyebab paling sering megakolon adalah tidak adanya atau defisiensi sel
– sel ganglion pada pleksus mienterikus dalam sebuah kolon sigmoid. Akibatnya
baik refleks defekasi maupun motilitas peristaltik kuat tidak terjadi di daerah usus
besar ini. Sigmoid sendiri menjadi kecil dan hampir spastic sementara feses
tertumpuk di proksimal daerah ini, menyebabkan megakolon pada kolon asenden,
transversus dan desenden.10
Epidemiologi
Penyebab gangguan pasase usus tersering pada neonatus. Diperkirakan satu
diantara 5.000 – 10.000 kelahiran. Penyakit ini lebih sering dijumpai pada anak
laki – laki (80%) dari pada wanita dan tersering pada neonatus serta terjadi pada
bayi aterm dengan berat lahir 3 Kg.2,6
Menurut catatan Swenson, 81,1 % dari 880 kasus yang diteliti adalah lakilaki. Sedangkan Richardson dan Brown menemukan tendensi faktor keturunan
pada penyakit ini (ditemukan 57 kasus dalam 24 keluarga). Beberapa kelainan
kongenital dapat ditemukan bersamaan dengan penyakit Hirschsprung, namun
hanya 2 kelainan yang memiliki angka yang cukup signifikan yakni Down
Syndrome (5-10 %) dan kelainan urologi (3%). Hanya saja dengan adanya
fekaloma,
maka
dijumpai
gangguan
urologi
seperti
vesikoureter,hydronephrosis dan gangguan vesica urinaria (mencapai
kasus).12
12
refluks
1/3
Etiologi
Adapun yang menjadi penyebab Hirschsprung atau Megakolon itu sendiri
adalah diduga terjadi karena faktor genetik dan lingkungan sering terjadi pada
anak dengan Down syndrom, kegagalan sel neural pada masa embrio dalam
dinding usus, gagal eksistensi, kranio kaudal pada myentrik dan sub mukosa
dinding plexus.2,3
Beberapa peneliti menyatakan bahwa Hirschsprung disebabkan karena
kekurangan migrasi sel saraf untuk berkembang. Sebuah penelitian menilai neural
cell adhesion molecules (NCAM) pada Hirschsprung. Usus yang mengandung sel
ganglion (kelompok control dan kelompok Hirschsprung) memiliki jumlah
NCAM yang banyak, sedangkan tidak terdapat NCAM pada segmen
aganglionosis. NCAM dipercaya berperan penting dalam migrasi sel saaraf ke
lokasi tertentu selama masa embryogenesis.5,6
Patofisiologi 1,11
-
Pada penyakit hirschsprung terdapat absensi ganglion Meissner dan
ganglion Auerbach dalam lapisan dinding usus (aganglionik parasimpatik
intramural), mulai dari sfingter ani kearah proksimal dengan panjang yang
bervariasi. Tujuh puluh sampai delapan puluh persen terbatas di daerah
rektosigmoid, 10% sampai seluruh kolon dan sekitar 5% kurang dapat
mengenai seluruh usus sampai pylorus.
-
Tidak terdapatnya ganglion Meissner dan Auerbach mengakibatkan usus
yang bersangkutan tidak bekerja normal. Peristaltis tidak mempunyai daya
dorong, tidak propulsif, sehingga usus bersangkutan tidak ikut dalam
proses evakuasi feses ataupun udara. Akibat gangguan defekasi ini kolon
proksimal yang normal akan melebar oleh feses yang tertimbun,
membentuk megakolon. Penampilan klinis penderita sebagai gangguan
pasase usus. Tiga tanda yang khas, yaitu keterlambatan evakuasi
mekonium, muntah hijau dan distensi abdomen.
13
Gambar 6. Patofisiologi terjadinya megakolon
-
Penampilan makroskopik
Bagian usus yang tidak berganglion terlihat spastic, lumen terlihat kecil.
Usus dibagian proksimalnya disebut daerah transisi, terlihat mulai melebar
dari bagian yang menyempit. Usus di bagian proksimalnya lagi lebih
melebar lagi dan umumnya mengecil kembali mendekati kaliber lumen
usus normal.
Patologi
Akibat tidak adanya sel ganglion pada dinding usus, meluas ke proksimal
dan berlanjut mulai dari anus sampai panjang yang bervariasi. Tidak adanya
inervasi saraf adalah akibat dari kegagalan perpindahan neuroblast dari usus
proksimal ke distal.2
Segmen aganglionik terbatas pada rektosigmoid pada 755 penderita; 10%
pada seluruh kolon tanpa sel – sel ganglion. Bertambah banyaknya ujung – ujung
saraf pada usus yang aganglionik menyebabkan kadar asetilkolinesterase tinggi.
Secara histology, tidak di dapatkan pleksus Meissner dan Auerbach dan
ditemukan berkas
–
berkas
saraf
yang hipertrofi
dengan
konsentrasi
asetilkolinesterase yang tinggi di antara lapisan – lapisan otot dan pada
14
submukosa. Gangguan ini dapat direproduksi pada binatang percobaan dengan
merusak reseptor endothelin B.2
Klasifikasi
Hirschsprung
diklasifikasikan berdasarkan keluasan segmen aganglionnya,
yaitu:1,3,11
1. Hirschsprung short segment / Hirschsprung klasik (75%)
Daerah aganglionik meliputi rektum sampai sigmoid, ini disebut penyakit
hirschsprung klasik. Penyakit ini terbanyak (80%) ditemukan pada anak
laki-laki, yaitu lima kali lebih banyak daripada perempuan.
2. Long segment Hirschsprung (20%)
Daerah aganglionik meluas lebih tinggi dari sigmoid bahkan dapat
mengenai seluruh kolon atau usus halus.
3. Total colonic aganglionosis (3-12%)
Bila aganglionik mengenai seluruh kolon
4. Aganglionik universal : seluruh kolon dan hampir seluruh usus halus.
Manifestasi klinis
Gejala –gejala klinis penyakit hirschsprung biasanya mulai pada saat lahir dengan:
-
Terlambatnya pengeluaran mekonium
Sembilan puluh Sembilan persen bayi lahir cukup bulan mengeluarkan
mekonium dalam waktu 48 jam setelah lahir. Peyakit hirschsprung harus
dicurigai apabila seseorang bayi cukup bulan (penyakit ini tidak bisa
terjadi pada bayi kurang bulan) yang terlambat mengeluarkan tinja.
Beberapa bayi akan mengeluarkan mekonium secara normal, tetapi
selanjutnya memperlihatkan riwayat konstipasi kronis.1,2,11
-
Gagal tumbuh dengan hipoproteinemia
Terjadi karena enteropati pembuang – protein, sekarang adalah tanda yang
kurang sering karena penyakit hirschsprung biasanya sudah dikenali pada
awal perjalanan penyakit. Bayi
yang minum ASI tidak dapat
menampakkan gejala separah bayi yang minum susu formula. 1,2,11
15
-
Kegagalan mengeluarkan tinja
Keadaan ini menyebabkan dilatasi bagian proksimal usus besar dan perut
menjadi kembung. Karena usus besar melebar, tekanan di dalam lumen
meningkat, mengakibatkan aliran darah menurun dan perintang mukosa
terganggu. Stasis memungkinkan proliferasi bakteri, sehingga dapat
menyebabkan enterokolitis (Clostridium difficle, Staphylococcus aureus,
anaerob, koliformis) dengan disertai sepsis dan tanda – tanda obstruksi
usus besar. Pengenalan dini penyakit hirschsprung sebelum serangan
enterokolitis sangat penting untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas.
1,2,11
-
Riwayat seringkali menunjukkan kesukaran mengeluarkan tinja yang
semakin berat, yang mulai pada umur minggu – minggu pertama. Massa
tinja besar dapat diraba pada sisi kiri perut, tetapi pada pemeriksaan
rectum biasanya tidak ada tinja. Tinja ini, jika keluar, mungkin akan
berupa butir – butir kecil, seperti pita atau berkonsistensi cair; tidak ada
tinja yang besar dan yang berkonsistensi seperti tanah pada penderita
dengan konstipasi fungsional. 1,2,11
-
Pemeriksaan rectum menunjukkan tonus anus normal dan biasanya disertai
dengan semprotan tinja dan gas yang berbau busuk. Serangan intermitten
obstruksi intestinum akibat tinja yang tertahan mungkin disertai dengan
nyeri dan demam.2,11
16
Diagnosis
Penegakkan diagnosis ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
penunjang yaitu :
-
Neonatus hampir selalu dengan berat badan normal, sangat jarang
prematur. Anamnesis perjalanan penyakit yang khas dan gambaran klinis
perut membuncit seluruhnya merupakan kunci diagnosis.1,2
-
Datang ke rumah sakit dengan obstruksi usus, dengan tanda – tanda
keterlambatan evakuasi mekonium (lebih dari 24 jam pertama setelah
lahir), muntah hijau serta distensi abdomen. Obstruksi ini dapat mereda
spontan atau akibat colok dubur yang dilakukan pada waktu pemeriksaan.
Pada pemeriksaan colok dubur terasa ujung jari terjepit lumen rectum yang
sempit.1,2
-
Dikatakan mereda bila neonatus dapat defekasi dengan keluar mekonium
bercampur udara, abdomen kempes dan tidak muntah lagi. Kemudian
dalam beberapa hari lagi neonatus menunjukkan tanda – tanda obstruksi
usus berulang. Selanjutnya neonatus secara klinis menunjukkan gejala
sebagai obstipasi kronik dengan disertai abdomen yang buncit.1,11
-
Gejala klinis dapat pula timbul pada umur beberapa minggu atau baru
menarik perhatian orang tua setelah beberapa bulan.2
17
Pemeriksaan Manometri anorektal
Mengukur tekanan sfingter ani interna saat balon dikembangkan di rectum.
Pada individu normal, penggembungan rectum mengawali refleks penurunan
tekanan sfingter interna. Pada penderita penyakit hirschsprung, tekanan gagal
menurun, atau ada kenaikan tekanan paradox karena rectum dikembungkan.
Ketepatan diagnostik ini lebih dari 90%, tetapi secara teknis sulit pada bayi
muda.2,11
Gambar 7. Pemeriksaan manometri anorektal
Pemeriksaan Radiologi
-
Pemeriksaan foto polos abdomen: terlihat tanda – tanda obstruksi usus
letak rendah. Umumnya gambaran kolon sulit dibedakan dengan gambaran
usus halus. 2,5,11
-
Pemeriksaan foto dengan barium enema: terlihat lumen rekto – sigmoid
kecil, bagian proksimalnya terlihat daerah transisi dan kemudian melebar.
Permukaan mukosa di bagian usus yang melebar tampak tidak teratur
karena proses enterokolitis.
Barium enema tidak perlu diteruskan ke arah proksimal bila tanda – tanda
penyakit hirschsprung yang khas seperti diatas sudah terlihat. Apabila
tanda – tanda yang khas tersebut tidak dijumpai, pemeriksaan barium
18
enema diteruskan untuk mengetahui gambaran kolon proksimal. Mungkin
ditemukan penyebab yang lain.
Pada penyakit hirschsprung dengan gambaran foto barium enema yang
tidak jelas dapat dilakukan foto retensi barium. Foto dibuat 24 sampai 48
jam setelah foto barium enema pertama. Pada foto retensi barium masih
terlihat di kolon proksimal, tidak menghilang atau kumpul di daerah distal
dan mungkin dijumpai tanda – tanda khas penyakit hirschsprung yang
lebih jelas serta gambaran mikrokolon pada hirschsprung segmen panjang.
2,5,11
Gambar 8. Dilatasi colon pada pemeriksaan dengan barium enema
Pemeriksaan patologi anatomi
Pemeriksaan patologi anatomi dimaksudkan untuk mendeteksi adanya ganglion di
lapisan submukosa dan di antara dua lapisan otot. Serta melihat serabut – serabut
saraf. Apabila sediaan untuk pemeriksaan patologi anatomi didapat dari biopsy
hisap dari mukosa rectum, pemeriksaan hanya untuk melihat ganglion Meissner di
lapisan sub-mukosa dan melihat penebalan serabut – serabut saraf. Pada penyakit
hirschsprung tidak dijumpai ganglion dan terdapat penebalan serabut – serabut
saraf. Biopsi seluruh lapisan rectum dapat dilakukan saat operasi untuk
memastikan diagnosis dan derajat keterlibatan. 2,5,11
19
Pemeriksaan histokimia
Pada pemeriksaan histokimia aktivitas kolinesterase biasanya meningkat.
Biopsy – isapan rectum hendaknya tidak dilakukan kurang dari 2 cm dari linea
dentate untuk menghindari daerah normal hipoganglionosis di pinggir anus.
Biopsy harus mengandung cukup sampel submukosa untuk mengevaluasi adanya
sel
ganglion,
biopsy
dapat
diwarnai
untuk
asetilkolinesterase,
untuk
mempermudah interpretasi. Penderita dengan aganglionosis menunjukkan banyak
sekali berkas saraf hipertrofi yang diwarnai positif untuk asetilkolinesterase dan
tidak ada sel ganglion. 2,5,11
Diagnosis banding
Banyak kelainan usus dengan penampilan klinik obstruksi yang menyerupai
penyakit hirschsprung atau sumbatan anorektum oleh mekonium yang sangat
padat, mekonium ileus dan sebagainya.
1. Meconium plug syndrome
Riwayatnya sama seperti permulaan penyakit Hirscprung pada neonatus,
tapi setelah colok dubur dan mekonium bisa keluar, defekasi selanjutnya
normal.2,11
2. Akalasia recti
Keadaan dimana sfingter tidak bisa relaksasi sehingga gejalanya mirip
dengan Hirschprung tetapi pada pemeriksaan mikroskopis tampak adanya
ganglion Meissner dan Auerbach.1,11
Terapi
Prinsip
penanganan
adalah
mengatasi
obstruksi,
mencegah
terjadinya
enterokolitis, membuang segmen aganglionik dan mengembalikan kontinuitas
usus.2,11
Tindakan non bedah
-
Untuk neonatus dengan obstruksi usus dilakukan terapi konservatif dengan
pemasangan sonde lambung, pemasangan pipa rectal untuk mengeluarkan
mekonium dan udara (pemasangan harus hati – hati, jangan terjadi salah
20
arah) cara ini juga bertujuan untuk mencegah enterokolitis yang dapat
dilakukan bilasan kolon dengan cairan garam faali. Cara ini efektif pada
segmen aganglionik yang pendek.11
-
Biopsi hisap hendaknya dikerjakan sebelum pemeriksaan colok dubur dan
pemasangan pipa rectal. Pemberian antibiotik, lavase kolon dengan irigasi
cairan, koreksi elektrolit serta pengaturan nutrisi juga diperlukan.1
Tindakan Pembedahan
I.
Tindakan bedah sementara
-
Tindakan kolostomi. Stoma dibuat di bagian kolon yang berganglion
paling distal. Kolostomi ini dimaksudkan untuk menjamin pasase
usus, dekompresi abdomen dan mencegah penyulit – penyulit yang
tidak diinginkan seperti enterokolitis, peritonitis dan sepsis. Manfaat
lain dari kolostomi adalah menurunkan angka kematian pada saat
dilakukan tindakan bedah definitif dan mengecilkan kaliber usus
pada
penderita
Hirschsprung
yang
telah
besar
sehingga
memungkinkan dilakukan anastomose. 3,5
II.
Tindakan bedah definitif
-
Tindakan bedah definitif dimaksudkan untuk mereseksi bagian usus
yang aganglionik dan mengembalikan kontinuitas usus. Langkah ini
dikerjakan bila berat badan bayi sudah cukup. Pada waktu itu
megakolon dapat surut, mencapai kolon ukuran normal.1,11
-
Ada beberapa prosedur bedah definitif yaitu prosedur Swenson,
Duhamel, Endorektal Pull Through dengan modifikasi masingmasing.
Pilihan – pilihan operasi adalah melakukan prosedur definitif
sesegera mungkin setelah diagnosis ditegakkan atau melakukan
kolostomi sementara dan menunggu sampai bayi berumur 6 – 12
bulan untuk melakukan operasi.5,12
21
Gambar 9. Beberapa jenis bedah definitif pada megakolon
o Prosedur Swenson
Memotong segmen yang tidak berganglion dan melakukan
anastomosis usus besar proksimal yang normal dengan rectum 1 –
2 cm di atas garis batas. Terdiri dari rektosigmoidektomi seluas
bagian rektosigmoid aganglionik dengan anastomosis koloanal.
Operasi ini secara teknis sulit dan mengarah pada pengembangan
dua prosedur lain.1,12
Prosedur Swenson dimulai dengan approach ke intra
abdomen, melakukan biopsi eksisi otot rektum, diseksi rektum ke
bawah hingga dasar pelvik dengan cara diseksi serapat mungkin ke
dinding rektum, kemudian bagian distal rektum diprolapskan
melewati saluran anal ke dunia luar sehingga saluran anal menjadi
terbalik, selanjutnya menarik terobos bagian kolon proksimal (yang
tentunya telah direseksi bagian kolon yang aganglionik) keluar
melalui saluran anal. Dilakukan pemotongan rektum distal pada 2
cm dari anal verge untuk bagian anterior dan 0,5-1 cm pada bagian
posterior, selanjunya dilakukan anastomose end to end dengan
kolon proksimal yang telah ditarik terobos tadi. Anastomose
dilakukan dengan 2 lapis jahitan, mukosa dan sero-muskuler.
Setelah anastomosis selesai, usus dikembalikan ke kavum pelvik /
abdomen. Selanjutnya dilakukan reperitonealisasi, dan kavum
abdomen ditutup.1,5,12
22
Gambar 10. Prosedur Swenson
o Prosedur Duhamel
Menguraikan prosedur untuk menciptakan rectum baru, dengan
menarik turun usus besar yang berinervasi normal ke belakang
rectum yang tidak berganglion. Rectum baru yang dibuat pada
prosedur ini mempunyai setengah aganglionik anterior dengans
sensasi normal dan setengan ganglionik posterior dengan propulsi
normal. Operasi Duhamel adalah yang terbaik pada aganglionis
total.
Kolon
kiri
tetap
ditinggalkan
dan
menganastomosis kolon kiri ini pada usus halus.1,5
23
tidak
perlu
Gambar 11. Prosedur Duhamel
o Prosedur Endorectal Pullthrough atau Soave
Prosedur yang diuraikan oleh Boley meliputi pengupasan mukosa
rectum yang tidak berganglion dan membawa kolon yang
berinervasi normal ke lapisan otot yang terkelupas tersebut, dengan
demikian memintas usus yang abnormal dari sebelah dalam.
anastomosis koloanal dibuat secara tarik terobos (Pull Through)
Gambar 12. Prosedur Soave
Penyakit hirschsprung segmental yang ultra pendek, segmen yang
tanpa ganglion hanya terbatas pada sfingter interna. Gejalanya sama
dengan gejala konstipasi fungsional. Sel ganglionik mungkin terdapat pada
biopsy isap rectum. Tetapi motilitas rectum akan tidak normal. Eksisi
24
pengupasan mukosa otot rektum, termasuk sfingter anus interna,
merupakan tindakan diagnostik dan terapeutik.5,11
Penyakit
hirschsprung
yang
melibatkan
segmen
panjang
merupakan masalah yang sulit. Pemeriksaan biopsy isap rectum akan
menunjukkan adanya tanda – tanda penyakit hirschsprung, namun sulit
diinterpretasikan pada pemeriksaan radiologi karena tidak ditemukan
daerah peralihan. Luasnya aganglionosis hanya dapat ditentukan dari
biopsy pada saat laparotomi. 5,11
Bila seluruh kolon aganglionis, sering bersama dengan panjang
ileum terminal, anatomosis ileum – anus merupakan terapi pilihan dengan
masih mempertahankan bagian kolon yang tidak berganglion untuk
mempermudah penyerapan air. Sehingga membantu tinja menjadi
keras.5,11
Komplikasi
-
Sering neonatus meninggal akibat penyulit seperti enterokolitis atau
peritonitis dan sepsis.2,11
-
Obstruksi kronik yang dapat terjadi pada penyakit hirschsprung dapat
disertai oleh diare berat dengan feses yang berbau dan berwarna khas yang
disebabkan oleh timbulnya penyulit berupa enterokolitis. Enterokolitis
biasa disebabkan oleh bakteri yang tumbuh berlebihan pada daerah kolon
yang iskemik akibat disetnsi berlebihan dindingnya. Enterokolitis dapat
timbul sebelum tindakan operasi atau berlanjut setelah operasi definitif. 2,11
-
Secara garis besarnya, komplikasi pasca tindakan bedah pada penyakit
hirschsprung dapat digolongkan atas kebocoran anastomose, stenosis,
enterokolitis nekrotikans, dan gangguan fungsi sphincter. 2,11
-
Faktor predisposisi terjadinya penyulit pasca operasi diantaranya: usia
muda saat operasi, kondisi umum penderita saat operasi, prosedur bedah
yang digunakan, keterampilan dan pengalaman dokter bedah, jenis dan
cara pemberian antibiotik, serta perawatan pasca bedah. 2,11
25
Prognosis
Prognosis baik kalau gejala obstruksi segera diatasi. Penyakit hirschsprung
yang diterapi dengan pembedahan umumnya memuaskan. Sebagian besar
penderita berhasil mengeluarkan tinja (kontinensia). Penyulit pasca bedah seperti
kebocoran anastomosis atau striktur anastomosis umumnya dapat diatasi. Masalah
pasca bedah meliputi enterokolitis berulang, striktur, prolaps, abses perianal dan
pengotoran tinja. 2,11
MEGAKOLON AKUISITA
Megakolon merupakan kondisi dimana terjadi pembesaran kolon, dilatasi
kronik, elongasi serta hipertrofi kolon. Megakolon juga dapat terjadi sebagai
penyulit dari penyakit kolitis, dimana terjadi dilatasi kolon akut atau megakolon
toksik dengan paralisis fungsi motorik kolon transversum disertai dilatasi cepat
segmen usus tersebut, yang disebabkan oleh progresivitas penyakit di dinding
yang dapat dicetuskan oleh pemberian sediaan opiat atau pemeriksaan rontgen
barium. Biasanya penderita tampak sakit berat dengan takikardia dan syok
toksik.7,8
Gambar 13. Toksik megakolon
Penyakit Chagas adalah penyakit yang endemik di Amerika selatan dan
tengah. Pada penyakit chagas, organisme penyebabnya Trypanosoma Cruci
26
menghilangkan persarafan ganglia usus sehingga menyebabkan dilatasi kolon
(megakolon).5,7
Megakolon adalah satu komplikasi dari penyakit kronis ini, dimana terjadi
kerusakan yang menyebar dari system saraf intramural. Terapi pembedahan yang
dilakukan bertujuan untuk mengatasi konstipasi, gangguan buang air besar yang
berulang maupun volvulus. Kolektomi subtotal dengan ileoproctostomy
memungkinkan terapi pilihan yang sesuai, namun beberapa ahli lebih menyukai
abdominoendoanal rectosigmoidectomy.5
Megakolon organik yang didapat, juga dapat terjadi sebagai kondisi yang
disebabkan obstruksi mekanis dari colon bawah, rectum maupun anus. Beberapa
kasus di sebabkan oleh :5
-
Stricture anorectal postoperative
-
Limphogranuloma venereum
-
Endometriosis
-
Radiasi proktitis
-
Kerusakan anorectal (anorectal injury)
-
Termasuk trauma yang diakibatkan karena kecelakaan atau trauma seksual
Megakolon juga berhubungan dengan kelainan neurologis seperti paraplegia atau
poliomyelitis. Konstipasi menjadi masalah utama karena hilangnya otot volunter
defekasi. Megakolon sekunder ini dapat normal kembali ketika penyebab primer
dapat terobati.5
Megakolon toksik
Megakolon toksik merupakan tahap klinis dari colitis akut dengan dilatasi
segmental ataupun total dari kolon yang berhubungan dengan tanda toksik dengan
gejala klinis yaitu :5,13
-
Demam tinggi
-
Nyeri abdomen
-
Malaise
-
Takikardia
-
Leukositosis
27
-
Distensi abdomen
-
Dehidrasi
Kondisi ini dapat berkembang menjadi kondisi toksik dan termasuk kegawat
daruratan medis, yang merupakan komplikasi yang mengancam jiwa dari colitis
ulseratif (Morbus Chron) serta dapat terjadi sebagai penyakit kronis eksaserbasi
akut namun lebih sering berkembang selama timbulnya gejala awal. Penyebab nya
tidak diketahui namun beberapa faktor yang menyebabkannya yaitu obat – obatan
anti diare, opiate, alkaloid beladona dan barium enema.5,13
Pada keadaan awal penyakit jarang terjadi komplikasi, mungkin dapat
berhubungan dengan terapi awal yang cepat dan tepat seperti pada pasien yang
sakit berat dapat dilakukan resusitasi untuk memperbaiki homeostasis, pemberian
antibiotik untuk membunuh flora bakteri bila mungkin, kortikosteroid intravena
(terkecuali pada pasien yang sebelumnya mendapatkan terapi kortikosteroid,
dimana segera dilakukan langsung tindakan pembedahan). Terapi pembedahan
komplikasi ini adalah kolektomi darurat.5,8
Gambar 14. Penderita toksik megakolon
28
KASUS
Catatan Medik
Mahasiswa Kepaniteraan Umum
Ilmu Radiologi
Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Semarang
PENYUSUN LAPORAN
Nama
: Wijayanti Indah Purnamasari
PENGESAHAN
Nama Dosen : dr. Abu Bakar, Sp.Rad
dr. Boyanto, Sp. Rad
dr. Arinawati, Sp. Rad
I.
II.
Identitas Pasien
a. Nama pasien
: Nn. M
b. Tanggal lahir
: 8 Juni 1998
c. Umur
: 20 tahun
d. Agama
: Islam
e. Pekerjaan
: Mahasiswa
f. Pendidikan terakhir
: S1
g. Alamat
: Mugas Barat VI / 13 RT 3 RW 6
h. No RM
: 53-5X-XX
i. Tanggal masuk RS
: 17 Januari 2019
j. Tanggal pemeriksaan
: 24 Januari 2019
k. Tanggal keluar RS
: 24 Januari 2019
ANAMNESIS
1. Keluhan Utama :
Nyeri perut 2 Bulan Sebelum Masuk Rumah Sakit
2. Keluhan Tambahan :
Perut kembung, diare 3kali/minggu, konstipasi
29
3. Riwayat Penyakit Sekarang :
2 Bulan yang lalu SMRS pasien sering diare 3kali/minggu berisi
ampas warna feses coklat tidak ada lendir dan darah, kemudian
diperiksakan di tenaga medis terdekat mendapatkan anti diare dan diare
berhenti, setelah diare berhenti pasien mengeluh susah BAB, susah
kentut, perut kembung dan nyeri di seluruh lapang perut, diperiksakan
kembali pasien mendapatkan laktulosa sirup 60 ml 1 X sehari 2.
7 Hari SMRS, Pada tanggal 10 Januari 2019 pukul 20.38 WIB
Nn.M datang ke Poli Penyakit Dalam RS Roemani dengan keluhan
nyeri perut dan susah BAB. Nyeri dirasakan sejak hari jumat dan terasa
semakin memberat pada hari senin sehingga dengan kemauan sendiri
pasien datang ke Poli Penyakit Dalam RS Roemani, pasien
mendapatkan obat laktulosa sirup 60 ml 1 x sehari 2 dan disarankan
rawat inap, keluarga menolak rawat inap.
17 Januari 2019 pasien datang ke poli penyakit dalam RS
Roemani pukul 19.06 dengan keluhan nyeri perut, perut kembung dan
susah BAB. Pasien rawat inap di bangsal ayub 2 dengan infus 20
tetes/menit, dan dilakukan USG abdomen, EKG, Darah rutin, GDS,
Ureum, kreatinin, elektrolit.
Keluhan belum BAB seperti ini sering berulang sebelumnya.
diare sedikit-sedikit 2x/hari bewarna kecoklatan, lembek, disertai
ampas, tanpa lendir maupun darah. Mual dan muntah juga dikeluhkan
oleh pasien. Mual selalu mendahului muntah. Muntah selalu terjadi
setelah pasien makan, muntah awalnya berisi ampas namun lama
kelamaan muntah hanya lendir bewarna putih terjadi terus menerus.
Pasien juga mengeluh demam yang hilang timbul. Hilang setelah pasien
minum obat penurun panas.
4. Riwayat Penyakit Dahulu :
Riwayat sakit yang sama : diakui 2 kali/bulan
Riwayat operasi
: disangkal
30
Gastritis
: disangkal
Penyakit jantung
: disangkal
Hipertensi
: disangkal
Diabetes mellitus
: disangkal
Asma
: disangkal
Alergi obat
: disangkal
Alergi makanan
: disangkal
5. Riwayat Penyakit Keluarga :
Tidak ada keluarga yang menderita penyakit yang sama.
6. Riwayat Pribadi :
Kebiasaan Merokok
: disangkal
Kebiasaan minum Alkohol
: disangkal
Kebiasaan makan sehari-hari
: teratur 3 kali sehari
Olahraga
: Jarang
Pasien sebagai mahasiswa, biaya hidup ditanggung keluarga. Pasien
tinggal bersama keluarga. Kesan ekonomi baik. Pasien berobat
menggunakan BPJS.
III.
PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan Umum
Keadaan umum
: Tampak sakit
Kesadaran
: Compos mentis
Tekanan darah
: 120/80 mmHg
Nadi
: 110x/menit
Pernafasan
: 20x/menit
Suhu
: 36,8oC
Kulit
Warna kuning langsat, turgor kulit baik, ikterus(-)
31
Kepala
Normocephali, Rambut hitam
Mata
Pupil isokor Ø 3mm, refleks cahaya (+/+), konjungtiva pucat (-/-), sklera
ikterik (-/-), edema palpebra (-/-)
Telinga
sekret (-), perdarahan (-)
Hidung
Sekret (-), deviasi septum (-), pernapasan cuping hidung (-), epistaksis (-)
Mulut
Lidah dalam batas normal, sianosis (-)
Leher
Tidak terdapat pembesaran Tiroid dan KGB, penggunaan otot bantu nafas
(-).
Dada
Paru-paru
Inspeksi
: normochest, retraksi (-), pergerakansimetris pada saat
statis dan dinamis
Palpasi
: sela iga tidak melebar, nyeri tekan (-)
Perkusi
: sonor +/+
Auskultasi
: vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/-
Jantung
Inspeksi
Palpasi
: ictus cordis tidak tampak
: ictus cordis teraba pada sela iga V, 2 cm medial dari linea
midclavicularis sinistra
Perkusi
: dalam batas normal
Auskultasi
: bunyi jantung I-II reguler, tidak terdengar murmur dan
gallop pada ke 4 katup jantung
32
Abdomen
Inspeksi
:
1. Permukaan dinding perut: datar
2. Kulit dinding perut: erupsi (-), icterus (-), spider angioma (-),
venectasi (-), striae (-), pigmentasi (-), tumor (-), umbilicus cekung
(+), hernia (-), ekimosis (-), tanda cullen (-)
3. Bentuk perut : simetris (+), perut bentuk perut katak (frog’s like
appearance) (-).
Auskultasi
: peristaltic melemah (+)
Perkusi
: Timpani
Palpasi
: Nyeri tekan (+)
Anggota gerak : akral hangat, tangan Edema -/-, kaki edema /-, sianosis -/-,
clubbing finger -/Kelenjar getah bening
Submandibula
: tidak ditemukan pembesaran
Supraklavikula
: tidak ditemukan pembesaran
Lipat paha
: tidak ditemukan pembesaran
Leher
: tidak ditemukan pembesaran
Ketiak
: tidak ditemukan pembesaran
33
IV.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
A. Pemeriksaan Laboratorium
1. Laboratorium (17-1-2019) pukul 20.58 WIB
HEMATOLOGI
Hasil
Unit
Nilai Rujukan
Hemoglobin
11,2
g/dl
11,7-15,5
Leukosit
8600
/mm3
3600-11000
Hematokrit
34,9
%
40-52
Trombosit
415000
/mm3
150000-440000
Eritrosit
4,17
Juta/ul
4,4-5,9
MCV
84,0
fL
80-100
MCH
26,9
Pg
26-34
MCHC
32,2
%
32-36
RDW
14,2
%
11,5-14,5
MPV
8,4
fL
7,0-11,0
Eosinofil
4,9
%
2-4
Basofil
0,6
%
0-1
Neutrofil
51,1
%
50-70
Limfosit
38,0
%
25-40
Monosit
5,4
%
2-8
Darah Rutin
Index Eritrosit
Diff Count
Kimia Klinik
Glukosa sewaktu
78
mg/dl
75-140
Ureum
31
mg/dl
10-50
Creatinin
0,7
mg/dl
0,45-0,75
Kalium
3,4
mEq/L
3,5-5,0
Natrium
143
mEq/L
135-147
Chlorida
103
mEq/L
95-105
Calcium
8,1
mg/dl
8,8-10,0
34
2. Laboratorium (20-1-2019) pukul 20.00 WIB
URINE
Hasil
Unit
Nilai
Rujukan
Urine Lengkap
Makroskopis :
Warna
Kuning
Kekeruhan
kuning
Jernih
uroblinogen
Negatif
<1
Bilirubin
Negatif
<0,2
Keton
Negatif
<0,5
Blood
Negatif
Negatif
Probain
Negatif
<10
Nitrit
Negatif
Negatif
Leukosit
Negatif
Negatif
Reduksi
Negatif
<15
Berat jenis
1,005
1,015-1,025
PH/Reaksi
5,0
4,8-7,4
Mikroskopis :
Epitel
6-12
/LPK
5-15
Leukosit
4-6
/LPB
1-4
Eritrosit
0-2
/LPB
0-1
Kristal
Negatif
Negatif
Bakteri
Positif
Negatif
Lain-lain
Negatif
Silinder
Negatif
35
/LPK
Negatif
3. Laboratorium (20-1-2019) pukul 07.36 WIB
HEMATOLOGI
Hasil
Satuan
Nilai
Rujukan
LED
46
mjit
IMUNOLOGI / SEROLOGI
TB/ICT
mm/jam
Negatif
36
Negatif
B. Pemeriksaan Radiologi
1. Pemeriksaan USG
(Gambar 1.a Cavum abdomen)
(Gambar 1.b Ren Dextra-sinistra, Lien)
37
(Gambar 1.c Vesika urinaria)
(Gambar 1.d Liver)
38
Hepar
: Uk normal, struktur parenkim homogeny, ekogenisitas
normal, tak tampak nodul, v.porta dan v.hepatica tak
tampak melebar, duktus intra-extrahepatica tak melebar.
Lien
: Uk normal, struktur parenkim homogeny, ekogenisitas
normal, tak tampak nodul, tak tampak kalsifikasi, v.lienatis
tak melebar.
VF
: Uk tak melebar, dinding regular, mukosa tak menebal,
tak tampak batu/ studge, duktus cystikus tak melebar,
CBD tak melebar.
Pankreas
: tak bisa dinilai
Ginjal D/S : Uk normal, struktur parenkim homogeny, ekogenisitas
normal, PCS dan ureter tak melebar, batas kortikom eduler
jelas, kortex tak menipis, tak tampak batu, tak tampak
kista.
Aorta Abdominalis : tak melebar, tak tampak limfonodi paraaorta.
Vesika urinaria
: uk tak melebar, dinding regular, mukosa tak
menebal, tak tampak batu / masa, tak tampak
divertikel.
Tampak gamb udara usus luas mengisi seluruh cav.abdomen
Tak tampak cairan bebas intraabdomen.
Tak tampak efusi pleura.
Kesan
:
Tampak gambr udara usus luas mengisi seluruh cav.abdomen asal ??
DD Meteorismus/ tumor berisi udara
Tak tampak kelainan di organ intraabdomen lainnya diatas secara
sonografi
Usul : CT Scan Abdomen
39
2. Pemeriksaan X-Foto Thorax
Kesan :
Diafragma sinistra letak tinggi suspek desakan dari inferior (abdomen)
Cor tak membesar
Pulmo tenang
3. Pemeriksaan X-Foto Abdomen 2 POSISI
40
Banyak faecal material
Garis extraperitoneal fat jelas
Tak tampak pneumoperitoneum
Kesan :
Banyak scibala dalam usus mungkin dalam colon yang lebar.
Tak tampak pneumoperitoneum
FOLLOW UP
Tanggal
17 januari 2019
pukul 21:08
Keterangan
S : nyeri perut 2 bulan dan sering diare
Tindakan
Program USG,
sudah disarankan rawat inap tapi menolak.
EKG, Darah
O: KU CM, TD 110/70 N 82, S 36,4, RR
Rutin, GDS,
20. Abdomen: massa intraabdomen teraba
Ureum,
keras
kreatininin,
A. Massa intraabdomen
elektrolit
P: infus RL 20 tts/mnt, ketorolac inj bila
kesakitan.
18 januari 2019
pukul 08:42
S : Sakit perut
O : KU CM, TD 120/70, N 80, S 36,8 RR
22 teraba massa di intraabdomen.
A: massa intraabdomen
P: Infus RL 20 tts/menit, ketorolakk inj
bila kesakitan USG
19 Januari 2019
pukul 08:23
S : nyeri perut
O : KU CM, TD 110/70 N 82, S 36,4, RR
20.
A: massa intraabdomen
P: konsul bedah
Jawaban konsul bedah :
S:Konsul dari PD
O: Fenomena papan catur
41
USG
A: TB ??
P: Tunggu hasil lab LED, Tb ict thorax
20 januari 2019
pukul 09:47
S: perut kembung, riwayat diare
sebelumnya, minum obat diare dari faskes
1
O: KU sedang, Kes CM TD 110/80
abdomen cembung +, bissing usus
melemah, distensi, nyeri tekan -.
A: Meteorismus ileus paralitik
P: Inj alinamin 1 amp/12 jam iv, ususl
pasang NGT terbuka, dekompresi (jika
DPJP acc), puasa sementara
21 januari 2019
pukul 08:43
S: perut masih sebah
O: USG : Tampak gamb udara usus luas
mengisi seluruh cav.abdomen
Tak tampak cairan bebas intraabdomen.
Tak tampak efusi pleura.
Kesan :
Tampak gambr udara usus luas mengisi
seluruh cav.abdomen asal ??
DD Meteorismus/ tumor berisi udara
Tak tampak kelainan di organ
intraabdomen lainnya diatas secara
sonografi
A: meteorismus skibala susp massa tumor
dd mesenterial TB?
P: sesuai Bedah
21 januari 2019
S: -
pukul 23:00
O:A: Megacolon kongenital
42
P: pasang rectal tube, wash out
22 januari 2019
pukul 08:09
S:sudah BAB dan BAK banyak sekali
O: Tampak gamb udara usus luas mengisi
seluruh cav.abdomen
Tak tampak cairan bebas intraabdomen.
Tak tampak efusi pleura.
Kesan :
Tampak gambr udara usus luas mengisi
seluruh cav.abdomen asal ??
DD Meteorismus/ tumor berisi udara
Tak tampak kelainan di organ
intraabdomen lainnya diatas secara
sonografi
A: Meagakolon Konstipasi
P: flees enema extra 1x
Colon in loop
23 januari 2019
S : Perut masih nyeri, perut terasa mules,
Program wash
Pukul 13.00 WIB
BAB terus dan lembek, mual tiap makan
out pagi sore
O : KU baik, TD 100/80, N 80, S 36,4,
RR 20. Nyeri tekan abdomen, abdomen
supel, bising usus meningkat,
A : Megacolon
P : BNO 2 Posisi, KSR 2 X1,
ciprofloxaxin 2x500mg, Wash out pagi
sore
24 januari 2019
Pukul 13.00 WIB
S : sudah BAB dan BAK spontan
O : KU baik, TD 110/80, N 82, S 36,8,
RR 22, nyeri tekan abdomen (+)
sedikit,tidak cembung, perut supel,
bissing usus normal
43
A : Megacolon
P : infus stop, rawat jalan, dan program
operasi.
V.
RESUME
2 Bulan yang lalu SMRS pasien sering diare 3kali/minggu berisi
ampas warna feses coklat tidak ada lendir dan darah, kemudian
diperiksakan di tenaga medis terdekat mendapatkan anti diare dan diare
berhenti, setelah diare berhenti pasien mengeluh susah BAB, susah kentut,
perut kembung dan nyeri di seluruh lapang perut, diperiksakan kembali
pasien mendapatkan laktulosa sirup 60 ml 1 X sehari 2.
7 Hari SMRS, Pada tanggal 10 Januari 2019 pukul 20.38 WIB
Nn.M datang ke Poli Penyakit Dalam RS Roemani dengan keluhan nyeri
perut
dan susah BAB. Nyeri dirasakan sejak hari jumat dan terasa
semakin memberat pada hari senin sehingga dengan kemauan sendiri
pasien datang ke Poli Penyakit Dalam RS Roemani, pasien mendapatkan
obat laktulosa sirup 60 ml 1 x sehari 2 dan disarankan rawat inap, keluarga
menolak rawat inap.
17 Januari 2019 pasien datang ke poli penyakit dalam RS Roemani
pukul 19.06 dengan keluhan nyeri perut, perut kembung dan susah BAB.
Pasien rawat inap di bangsal ayub 2 dengan infus 20 tetes/menit, dan
dilakukan USG abdomen, EKG, Darah rutin, GDS, Ureum, kreatinin,
elektrolit.
Keluhan belum BAB seperti ini sering berulang sebelumnya. diare
sedikit-sedikit 2x/hari bewarna kecoklatan, lembek, disertai ampas, tanpa
lendir maupun darah. Mual dan muntah juga dikeluhkan oleh pasien. Mual
selalu mendahului muntah. Muntah selalu terjadi setelah pasien makan,
muntah awalnya berisi ampas namun lama kelamaan muntah hanya lendir
bewarna putih terjadi terus menerus. Pasien juga mengeluh demam yang
hilang timbul. Hilang setelah pasien minum obat penurun panas.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan pasien tampak sakit, kompos
mentis, TD 110/80 mmHg, HR 80 x/mnt, RR : 22 x/mnt, suhu : 36,8,
44
abdomen tampak Cembung minimal, bising usus (+) menurun, Perkusi
Timpani, Palpasi Nyeri tekan (+) dan distensi abdomen (+).
Dari hasil pemeriksaan USG abdomen didapatkan Tampak gambar
udara usus luas mengisi seluruh cav.abdomen asal ??, DD Meteorismus/
tumor berisi udara, Tak tampak kelainan di organ intraabdomen lainnya
diatas secara sonografi, Usul : CT Scan Abdomen
Pemeriksaan foto thorax didapatkan diafragma sinistra letak tinggi
suspek desakan dari inferior (abdomen), Cor tak membesar, Pulmo tenang.
Pada pemeriksaan foto abdomen 2 posisi didapatkan banyak
scibala dalam usus mungkin dalam colon yang lebar, Tak tampak
pneumoperitoneum.
C. Diagnosis
Megacolon dengan konstipasi.
D. Penatalaksanaan
Farmakologi :
Infus RL 20tetes/mnt
Ciprofloxaxin 2 x 500 mg
KSR 2x1
Inj omeprazole 1 ampul extra
Inj ondansetron 4 mg extra
Inj ketorolac 2 x 30mg (b/p)
Tindakan Non bedah:
Wash out pagi sore
Tindakan bedah
Rencana kolostomi
E. Prognosis
Ad vitam
: ad bonam
Ad fungsionam
: ad bonam
Ad sanationam
: ad bonam
45
DAFTAR PUSTAKA
1. Hamami AH, J Pieter, I Riwanto, T Tjambolang, I Ahmadsyah.
Penyakit Hirschsprung. Dalam : R Sjamsuhidajat, W De Jong, editor.
Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi ke – 2. Jakarta: EGC; 2004. 670-671.
2. Wyllie R. Megakolon Aganglionik bawaan (Penyakit Hirschsprung).
Dalam : WE Nelson, RE Behrman, editor. Ilmu kesehatan Anak
Nelson. Edisi ke – 15. Volume 2. Jakarta:EGC; 1999.1316 - 1319.
3. Kartono D. Penyakit Hirschsprung : Perbandingan prosedur Swenson
dan Duhamel modifikasi. Disertasi. Pascasarjana FKUI. 2009.
4. Fonkalsrud. Hirschsprung’s disease. Dalam: Zinner MJ, Swhartz SI,
Ellis H, editors. Maingot’s Abdominal Operation. Edisi ke - 10. New
York: Prentice - Hall intl.inc.; 1997. 2097-105.
5. Goldberg SM, S Nivatvongs, DA Rothenberger. Megacolon. Dalam :
Schwartz’s Principles of Surgery. SI Schwarts, GT Shires, FC Spencer,
WC Hussen. Edisi ke - 5. Volume 2. Library of Congress Cataloging
in Publication Data; 1989.
6. Bullard KM, DA Rothenberger. Megacolon. Dalam : Schwartz’s
Principles of Surgery. FC Brunicardi, DK Andersen, TR Billiar, DL
Dunn, JG Hunter, RE Pullock. Edisi ke - 8. Volume 2. Library of
Congress Cataloging in Publication Data; 2005.
7. Silbernagl S. Konstipasi dan Pseudo Obstruksi. Dalam: Teks dan Atlas
Berwarna Patofisiologi. S Silbernagl, F Lang. Jakarta: EGC; 2006.
156 – 157.
8. Lindshet GN. Radang Usus Besar. Dalam: Patofisiologi Konsep Klinis
Proses – Proses Penyakit. SA Price. LM Wilson. Edisi ke – 6. Volume
1. Jakarta: EGC; 2005. 461 – 463.
9. Snell RS. Anatomi Cavitas Abdominalis. Dalam: Anatomi klinik untuk
Mahasiswa Kedokteran. Snell RS. Edisi ke – 6. Jakarta: EGC; 2006
46
10. Guyton AC, JE Hall. Fisiologi Gangguan Gastrointestinal. Dalam:
Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Guyton AC, JE Hall. Edisi ke – 11.
Jakarta: EGC; 2007
11. Kartono D. Penyakit Hirschsprung Neonatus . Dalam: Kumpulan
Kuliah Ilmu Bedah. Bagian Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia / RS dr. Cipto Mangunkusumo. Jakarta:
Binarupa Aksara. 141-143.
12. Swenson
O,
Raffensperger
JG.
Hirschsprung’s
disease.
In:
Raffensperger JG,editor. Swenson’s pediatric surgery. 5th ed.
Connecticut:Appleton & Lange; 1990: 555-77
Devuni D. Toxic Megacolon Workout (online). Dalam: Medscape. Juli
2013
(diakses
28
Agustus
2013).
Diunduh
http://emedicine.medscape.com/article/181054-overview
47
dari
: