LAPORAN KASUS KEPANITERAAN KLINIK RS ROEMANI MUHAMMADIYAH SEMARANG MEGACOLON dengan KONSTIPASI Disusun Oleh : Wijayanti Indah Purnamasari H2A012011P Pembimbing : dr. Abu Bakar, Sp. Rad dr. Boyanto, Sp. Rad dr. Arinawati, Sp. Rad BAGIAN RADIOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG 2019 1 LEMBAR PENGESAHAN KOORDINATOR KEPANITERAAN KLINIK RADIOLOGI LAPORAN KASUS KEPANITERAAN KLINIK “MEGACOLON dengan KONSTIPASI” Disusun untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik di Bagian Radiologi Rumah Sakit Roemani Muhammadiyah Semarang Disusun Oleh: Wijayanti Indah Purnamasari H2A012011P Telah disetujui oleh Pembimbing: Nama pembimbing Tanda Tangan dr. Abu Bakar, Sp. Rad …………………... dr. Arinawati, Sp.Rad …………………... dr. Boyanto, Sp.Rad …………………... 2 BAB I PENDAHULUAN Ada beberapa pengertian mengenai Megakolon, namun pada intinya sama yaitu penyakit yang disebabkan oleh tidak adekuatnya motilitas pada usus sehingga tidak ada evakuasi usus spontan dan tidak mampunya sphincter rectum berelaksasi. Hirschsprung atau Megakolon adalah penyakit yang ditandai dengan tidak adanya sel – sel ganglion dalam rectum atau bagian rektosigmoid colon dan ketidak adaan ini menimbulkan keabnormalan atau tidak adanya peristaltik serta tidak adanya evakuasi usus spontan. Penyakit Hirschsprung atau Megakolon adalah kelainan bawaan penyebab gangguan pasase usus tersering pada neonatus, dan kebanyakan terjadi pada bayi aterm dengan berat lahir 3 Kg, lebih banyak laki – laki dari pada perempuan.1,2 Pasien dengan penyakit Hirschprung pertama kali dilaporkan pada tahun 1961 oleh Frederick Ruysch, namun seorang dokter anak bernama Harold Hirschprung pada tahun 1886 yang mempublikasikan penjelasan klasik mengenai megakolon kongenital ini.3,4 Penyakit hirschsprung atau megakolon aganglionik bawaan disebabkan oleh kelainan inervasi usus, mulai pada sfingter ani interna dan meluas ke proksimal, melibatkan panjang usus yang bervariasi. Penyakit hirschsprung adalah penyebab obstruksi usus bagian bawah yang paling sering pada neonatus, dengan insiden keseluruhan 1 : 5000 kelahiran hidup. Laki – laki lebih banyak di banding perempuan (4:1) dan Menurut catatan Swenson, 81,1 % dari 880 kasus yang diteliti adalah laki-laki.4 Penyakit hirschsprung mungkin disertai dengan cacat bawaan lain termasuk salah satunya sindrom down serta kelainan kardiovaskuler.2 Megakolon non kongenital juga dapat terjadi sebagai penyulit dari penyakit kolitis, dimana terjadi dilatasi kolon akut atau megakolon toksik dengan paralisis fungsi motorik kolon transversum disertai dilatasi cepat segmen usus tersebut, yang disebabkan oleh progresivitas penyakit di dinding yang dapat 3 dicetuskan oleh pemberian sediaan opiat atau pemeriksaan rontgen barium. Biasanya penderita tampak sakit berat dengan takikardia dan syok toksik.5-8 4 BAB II TINJAUAN KASUS A. Anatomi Dan Fisiologi Gambar 1. Anatomi usus besar manusia Usus besar atau kolon kira-kira 1,5 meter adalah sambungan dari usus halus dan mulai di katup iliokolik atau ilioseikal yaitu tempat sisa makanan lewat. Reflek gastrokolik terjadi ketika makanan masuk lambung dan menimbulkan peristaltic didalam usus besar. Refleks ini menyebabkan defekasi. Kolon mulai pada kantong yang mekar padanya terdapat appendix vermiformis.9 Fungsi serupa dengan tonsil sebagian terletak di bawah sekum dan sebagian dibelakang sekum atau retrosekum. Sekum terletak di daerah iliaka kanan dan menempel pada otot iliopsoas. Disini kolon naik melalui daerah daerah sebelah kanan lumbal dan disebut kolon asendens. Dibawah hati berbelok pada tempat yang disebut flexura hepatica, lalu berjalan melalui tepi daerah epigastrik dan umbilical sebagai kolon transvesus. Dibawah limpa ia berbelok sebagai fleksura sinistra atau flexura linealis dan kemudian berjalan melalui daerah kanan lumbal sebagai kolon 5 desendens. Di daerah kanan iliaka terdapat belokan yang disebut flexura sigmoid dan dibentuk kolon sigmoideus atau kolon pelvis, dan kemudian masuk pelvis besar menjadi rectum.9 Gambar 2. Anatomi rectum dan sigmoid Rektum memiliki 3 buah valvula : superior kiri, medial kanan dan inferior kiri. 2/3 bagian distal rektum terletak di rongga pelvik dan terfiksir, sedangkan 1/3 bagian proksimal terletak dirongga abdomen dan relatif mobile. Kedua bagian ini dipisahkan oleh peritoneum reflektum dimana bagian anterior lebih panjang dibanding bagian posterior. Saluran anal (anal canal) adalah bagian terakhir dari usus, berfungsi sebagai pintu masuk ke bagian usus yang lebih proksimal, dan, dikelilingi oleh sphincter ani (eksternal dan internal) serta otot-otot yang mengatur pasase isi rektum ke dunia luar. Sphincter ani eksterna terdiri dari 3 sling : atas, medial dan depan.9,10 Persyarafan motorik sphincter ani interna berasal dari serabut saraf simpatis (n.hypogastrikus) yang menyebabkan kontraksi usus dan serabut saraf parasimpatis (n.splanchnicus) yang menyebabkan relaksasi usus. Kedua jenis serabut saraf ini membentuk pleksus rektalis. Sedangkan muskulus levator ani 6 dipersyarafi oleh n.sakralis 3 dan 4. Nervus pudendalis mensarafi sphincter ani eksterna dan m.puborektalis. Saraf simpatis tidak mempengaruhi otot rektum. Defekasi sepenuhnya dikontrol oleh n.splanchnicus (parasimpatis). sehingga, kontinensia sepenuhnya dipengaruhi oleh n.pudendalis dan n.splanchnicus pelvik (saraf parasimpatis).9,10 Gambar 3. Sistem saraf autonomik intrinsik pada usus Sistem saraf autonomik intrinsik pada usus terdiri dari 3 pleksus : 1. Pleksus Auerbach : terletak diantara lapisan otot sirkuler dan longitudinal 2. Pleksus Henle : terletak disepanjang batas dalam otot sirkuler 3. Pleksus Meissner : terletak di sub-mukosa Pada penderita penyakit Hirschsprung, tidak dijumpai ganglion pada ke-3 pleksus tersebut. Usus besar memiliki berbagai fungsi yang semuanya berkaitan dengan proses akhir isi usus. Fungsi usus besar yang paling penting adalah absorpsi air dan elektrolit, yang sudah hampir selesai dalam kolon dekstra. Kolon sigmoid berfungsi sebagai reservoir yang menampung massa feses yang sudah terdehidrasi hingga berlangsungnya defekasi. Kolon mengabsorpsi sekitar 800 ml air per hari, namun demikian kapasitas absorpsi air usus besar adalah sekitar 1500-2000 ml/hr. Berat akhir feses yang dikeluarkan per hari sekitar 200 gram, dan 80 - 90 % diantaranya adalah air. 9,10 7 Fisiologi Defekasi Defekasi adalah pengeluaran feses dari anus dan rektum. Hal ini juga disebut bowel movement. Frekuensi defekasi pada setiap orang sangat bervariasi dari beberapa kali perhari sampai 2 atau 3 kali perminggu. Banyaknya feses juga bervariasi setiap orang. Ketika gelombang peristaltik mendorong feses kedalam kolon sigmoid dan rektum, saraf sensoris dalam rektum dirangsang dan individu menjadi sadar terhadap kebutuhan untuk defekasi.10 Defekasi biasanya dimulai oleh dua refleks defekasi yaitu :9,10 1. Refleks defekasi instrinsik Ketika feses masuk kedalam rektum, pengembangan dinding rektum memberi suatu signal yang menyebar melalui pleksus mesentrikus untuk memulai gelombang peristaltik pada kolon desenden, kolon sigmoid, dan didalam rektum. Gelombang ini menekan feses kearah anus. Begitu gelombang peristaltik mendekati anus, spingter anal interna tidak menutup dan bila sphincter eksternal tenang maka feses keluar. 2. Refleks defekasi parasimpatis Ketika serat saraf dalam rektum dirangsang, signal diteruskan ke spinal cord (sakral 2 – 4) dan kemudian kembali ke kolon desenden, kolon sigmoid dan rektum. Sinyal – sinyal parasimpatis ini meningkatkan gelombang peristaltik, melemaskan sphincter anus internal dan meningkatkan refleks defekasi instrinsik. Sphincter anus individu duduk ditoilet atau depan, spingter anus eksternal tenang dengan sendirinya. Pengeluaran feses dibantu oleh kontraksi otot-otot perut dan diaphragma yang akan meningkatkan tekanan abdominal dan oleh kontraksi muskulus levator ani pada dasar panggul yang menggerakkan feses melalui saluran anus. Defekasi normal dipermudah dengan refleksi paha yang meningkatkan tekanan di dalam perut dan posisi duduk yang meningkatkan tekanan kebawah kearah rektum. Jika refleks defekasi diabaikan atau jika defekasi dihambat secara sengaja dengan mengkontraksikan muskulus spingter eksternal, maka rasa terdesak untuk defekasi secara berulang dapat menghasilkan rektum meluas untuk menampung kumpulan feses. 8 Gambar 4. Fisiologi defekasi Defekasi dan kontinensia adalah mekanisme yang saling terkait erat. Kontinensia adalah kegiatan pengeluaran isi rektum secara terkontrol pada wakru dan tempat yang diinginkan. Koordinasi pengeluaran isi rektum sangat kompleks, namun dapat dikelompokkan atas 4 tahapan: Tahap I. Tahap awal ini adalah berupa propulsi isi kolon yang lebih proksimal ke rektum, seiring dengan frekwensi peristaltik kolon dan sigmoid (2-3 kali/hari) serta refleks gastrokolik. Tahap II. Tahap ini disebut sampling reflex atau rectal-anal inhibitory reflex, yakni upaya anorektal mengenali isi rektum dan merelaksasi spinkter ani interna secara involunter. Tahap III. Tahap ini berupa relaksasi spinkter ani eksternal secara involunter. Relaksasi yang terjadi bukanlah relaksasi aktif, melainkan relaksasi akibat kegagalan kontraksi spinkter itu sendiri. Tahap IV. Tahap terakhir ini berupa peninggian tekanan intra abdominal secara volunter dengan menggunakan diafragma dan otot dinding perut, hingga defekasi dapat terjadi.1 9 MEGAKOLON Megakolon adalah dilatasi abnormal dari kolon yang sering disertai oleh paralisis dari peristaltik usus. Selama proses pencernaan makanan, otot – otot pada kolon membawa makanan dengan gerakan peristaltiknya. Ketika kita makan, sel saraf pada dinding usus (sel ganglion dari pleksus saraf) yang menerima sinyal dari otak dan akan menghantarkan informasi ke otot intestinal untuk mendorong isi kolon (feses). Pada keadaan dimana kolon kehilangan atau terjadinya perkembangan abnormal dari sel saraf, isi kolon tidak dapat terdorong dari segmen ini.5,11 Pada kebanyakan kasus, penyakit ini terbatas pada rectum atau region rectosigmoid. Kolon menjadi terhalang oleh feses sebagian maupun total sehingga terjadi konstipasi. Obstruksi didalam kolon menyebabkan tekanan didalamnya menjadi meningkat (diatas zona tanpa ganglion atau area obstruksi), relaksasi dinding usus (ukuran usus lebih besar dari pada normal) serta stagnasi feses akibat obstruksi ini menjadi media infeksi bakteri dan akumulasi toksin yang dapat menyebabkan masalah yang serius.7,8,11 Pada kasus yang lebih ekstrim, feses dapat berkonsolidasi menjadi massa yang keras didalam kolon, yang disebut dengan fecaloma, yang membutuhkan operasi untuk mengeluarkannya. Kolon manusia dikatakan membesar secara abnormal bila diameternya mencapai lebih dari 12 cm di caecum, lebih dari 6,5 cm di rectosigmoid dan lebih dari 8 cm di kolon ascenden.7 Megakolon dapat akut maupun kronik. Juga dapat diklasifikasikan berdasarkan etiologinya, berdasarkan penyebabnya, megakolon dibagi menjadi 2 yaitu megakolon kongenital yang sering disebut dengan penyakit Hirschsprung serta megakolon non kongenital atau akuisita yang biasanya terjadi akibat dari beberapa penyakit tertentu.1,4 Tanda dan gejala eksternal dapat berupa konstipasi yang memanjang, perut kembung, nyeri perut, teraba massa feses yang keras. Pada megakolon toksik dapat ditemukan tanda-tanda berupa demam, kadar kalium darah yang rendah, takikardia dan shock. Pemeriksaan radiologi merupakan pemeriksaan yang 10 penting pada penyakit megakolon. Foto polos abdomen sangat berguna untuk screening awal, setelah foto polos abdomen dapat menemukan adanya megakolon, dapat digunakan barium enema untuk pemeriksaan selanjutnya dengan beberapa alasan:1,11 1. Secara akurat dapat menentukan besarnya kolon. 2. Membantu untuk memisahkan antara adanya megakolon, megarektum, atau keduanya. 3. Membantu untuk melihat anatomi usus besar, dapat digunakan untuk pencernaan tindakan terapi selanjutnya MEGAKOLON KONGENITAL (HIRSCHSPRUNG DISEASE) Definisi Penyakit Megakolon kongenital atau penyakit Hirschsprung adalah suatu kelainan bawaan berupa aganglionik usus, mulai dari sphincter ani interna ke arah proksimal dengan panjang yang bervariasi, tetapi selalu termasuk anus dan setidak-tidaknya sebagian rektum dengan gejala klinis berupa gangguan pasase usus fungsional. Penyakit Hirschprung merupakan suatu penyumbatan yang terjadi pada usus besar karena tidak terdapatnya sel ganglion Auerbach dan Meissner. Penyakit ini lebih dikenal dengan Aganglionalis Kongenital.2,11 Kadang seseorang menderita konstipasi yang begitu parah sehingga pergerakan usus hanya terjadi beberapa hari sekali atau kadang hanya sekali dalam seminggu. Keadaan ini menyebabkan sejumlah besar feses menumpuk di kolon, kadang – kadang menyebabkan distensi kolon dengan diameter 3 – 4 inci. Keadaan ini disebut megakolon atau penyakit Hirschsprung.10 11 Gambar 5. Hirschsprung disease Penyebab paling sering megakolon adalah tidak adanya atau defisiensi sel – sel ganglion pada pleksus mienterikus dalam sebuah kolon sigmoid. Akibatnya baik refleks defekasi maupun motilitas peristaltik kuat tidak terjadi di daerah usus besar ini. Sigmoid sendiri menjadi kecil dan hampir spastic sementara feses tertumpuk di proksimal daerah ini, menyebabkan megakolon pada kolon asenden, transversus dan desenden.10 Epidemiologi Penyebab gangguan pasase usus tersering pada neonatus. Diperkirakan satu diantara 5.000 – 10.000 kelahiran. Penyakit ini lebih sering dijumpai pada anak laki – laki (80%) dari pada wanita dan tersering pada neonatus serta terjadi pada bayi aterm dengan berat lahir 3 Kg.2,6 Menurut catatan Swenson, 81,1 % dari 880 kasus yang diteliti adalah lakilaki. Sedangkan Richardson dan Brown menemukan tendensi faktor keturunan pada penyakit ini (ditemukan 57 kasus dalam 24 keluarga). Beberapa kelainan kongenital dapat ditemukan bersamaan dengan penyakit Hirschsprung, namun hanya 2 kelainan yang memiliki angka yang cukup signifikan yakni Down Syndrome (5-10 %) dan kelainan urologi (3%). Hanya saja dengan adanya fekaloma, maka dijumpai gangguan urologi seperti vesikoureter,hydronephrosis dan gangguan vesica urinaria (mencapai kasus).12 12 refluks 1/3 Etiologi Adapun yang menjadi penyebab Hirschsprung atau Megakolon itu sendiri adalah diduga terjadi karena faktor genetik dan lingkungan sering terjadi pada anak dengan Down syndrom, kegagalan sel neural pada masa embrio dalam dinding usus, gagal eksistensi, kranio kaudal pada myentrik dan sub mukosa dinding plexus.2,3 Beberapa peneliti menyatakan bahwa Hirschsprung disebabkan karena kekurangan migrasi sel saraf untuk berkembang. Sebuah penelitian menilai neural cell adhesion molecules (NCAM) pada Hirschsprung. Usus yang mengandung sel ganglion (kelompok control dan kelompok Hirschsprung) memiliki jumlah NCAM yang banyak, sedangkan tidak terdapat NCAM pada segmen aganglionosis. NCAM dipercaya berperan penting dalam migrasi sel saaraf ke lokasi tertentu selama masa embryogenesis.5,6 Patofisiologi 1,11 - Pada penyakit hirschsprung terdapat absensi ganglion Meissner dan ganglion Auerbach dalam lapisan dinding usus (aganglionik parasimpatik intramural), mulai dari sfingter ani kearah proksimal dengan panjang yang bervariasi. Tujuh puluh sampai delapan puluh persen terbatas di daerah rektosigmoid, 10% sampai seluruh kolon dan sekitar 5% kurang dapat mengenai seluruh usus sampai pylorus. - Tidak terdapatnya ganglion Meissner dan Auerbach mengakibatkan usus yang bersangkutan tidak bekerja normal. Peristaltis tidak mempunyai daya dorong, tidak propulsif, sehingga usus bersangkutan tidak ikut dalam proses evakuasi feses ataupun udara. Akibat gangguan defekasi ini kolon proksimal yang normal akan melebar oleh feses yang tertimbun, membentuk megakolon. Penampilan klinis penderita sebagai gangguan pasase usus. Tiga tanda yang khas, yaitu keterlambatan evakuasi mekonium, muntah hijau dan distensi abdomen. 13 Gambar 6. Patofisiologi terjadinya megakolon - Penampilan makroskopik Bagian usus yang tidak berganglion terlihat spastic, lumen terlihat kecil. Usus dibagian proksimalnya disebut daerah transisi, terlihat mulai melebar dari bagian yang menyempit. Usus di bagian proksimalnya lagi lebih melebar lagi dan umumnya mengecil kembali mendekati kaliber lumen usus normal. Patologi Akibat tidak adanya sel ganglion pada dinding usus, meluas ke proksimal dan berlanjut mulai dari anus sampai panjang yang bervariasi. Tidak adanya inervasi saraf adalah akibat dari kegagalan perpindahan neuroblast dari usus proksimal ke distal.2 Segmen aganglionik terbatas pada rektosigmoid pada 755 penderita; 10% pada seluruh kolon tanpa sel – sel ganglion. Bertambah banyaknya ujung – ujung saraf pada usus yang aganglionik menyebabkan kadar asetilkolinesterase tinggi. Secara histology, tidak di dapatkan pleksus Meissner dan Auerbach dan ditemukan berkas – berkas saraf yang hipertrofi dengan konsentrasi asetilkolinesterase yang tinggi di antara lapisan – lapisan otot dan pada 14 submukosa. Gangguan ini dapat direproduksi pada binatang percobaan dengan merusak reseptor endothelin B.2 Klasifikasi Hirschsprung diklasifikasikan berdasarkan keluasan segmen aganglionnya, yaitu:1,3,11 1. Hirschsprung short segment / Hirschsprung klasik (75%) Daerah aganglionik meliputi rektum sampai sigmoid, ini disebut penyakit hirschsprung klasik. Penyakit ini terbanyak (80%) ditemukan pada anak laki-laki, yaitu lima kali lebih banyak daripada perempuan. 2. Long segment Hirschsprung (20%) Daerah aganglionik meluas lebih tinggi dari sigmoid bahkan dapat mengenai seluruh kolon atau usus halus. 3. Total colonic aganglionosis (3-12%) Bila aganglionik mengenai seluruh kolon 4. Aganglionik universal : seluruh kolon dan hampir seluruh usus halus. Manifestasi klinis Gejala –gejala klinis penyakit hirschsprung biasanya mulai pada saat lahir dengan: - Terlambatnya pengeluaran mekonium Sembilan puluh Sembilan persen bayi lahir cukup bulan mengeluarkan mekonium dalam waktu 48 jam setelah lahir. Peyakit hirschsprung harus dicurigai apabila seseorang bayi cukup bulan (penyakit ini tidak bisa terjadi pada bayi kurang bulan) yang terlambat mengeluarkan tinja. Beberapa bayi akan mengeluarkan mekonium secara normal, tetapi selanjutnya memperlihatkan riwayat konstipasi kronis.1,2,11 - Gagal tumbuh dengan hipoproteinemia Terjadi karena enteropati pembuang – protein, sekarang adalah tanda yang kurang sering karena penyakit hirschsprung biasanya sudah dikenali pada awal perjalanan penyakit. Bayi yang minum ASI tidak dapat menampakkan gejala separah bayi yang minum susu formula. 1,2,11 15 - Kegagalan mengeluarkan tinja Keadaan ini menyebabkan dilatasi bagian proksimal usus besar dan perut menjadi kembung. Karena usus besar melebar, tekanan di dalam lumen meningkat, mengakibatkan aliran darah menurun dan perintang mukosa terganggu. Stasis memungkinkan proliferasi bakteri, sehingga dapat menyebabkan enterokolitis (Clostridium difficle, Staphylococcus aureus, anaerob, koliformis) dengan disertai sepsis dan tanda – tanda obstruksi usus besar. Pengenalan dini penyakit hirschsprung sebelum serangan enterokolitis sangat penting untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas. 1,2,11 - Riwayat seringkali menunjukkan kesukaran mengeluarkan tinja yang semakin berat, yang mulai pada umur minggu – minggu pertama. Massa tinja besar dapat diraba pada sisi kiri perut, tetapi pada pemeriksaan rectum biasanya tidak ada tinja. Tinja ini, jika keluar, mungkin akan berupa butir – butir kecil, seperti pita atau berkonsistensi cair; tidak ada tinja yang besar dan yang berkonsistensi seperti tanah pada penderita dengan konstipasi fungsional. 1,2,11 - Pemeriksaan rectum menunjukkan tonus anus normal dan biasanya disertai dengan semprotan tinja dan gas yang berbau busuk. Serangan intermitten obstruksi intestinum akibat tinja yang tertahan mungkin disertai dengan nyeri dan demam.2,11 16 Diagnosis Penegakkan diagnosis ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang yaitu : - Neonatus hampir selalu dengan berat badan normal, sangat jarang prematur. Anamnesis perjalanan penyakit yang khas dan gambaran klinis perut membuncit seluruhnya merupakan kunci diagnosis.1,2 - Datang ke rumah sakit dengan obstruksi usus, dengan tanda – tanda keterlambatan evakuasi mekonium (lebih dari 24 jam pertama setelah lahir), muntah hijau serta distensi abdomen. Obstruksi ini dapat mereda spontan atau akibat colok dubur yang dilakukan pada waktu pemeriksaan. Pada pemeriksaan colok dubur terasa ujung jari terjepit lumen rectum yang sempit.1,2 - Dikatakan mereda bila neonatus dapat defekasi dengan keluar mekonium bercampur udara, abdomen kempes dan tidak muntah lagi. Kemudian dalam beberapa hari lagi neonatus menunjukkan tanda – tanda obstruksi usus berulang. Selanjutnya neonatus secara klinis menunjukkan gejala sebagai obstipasi kronik dengan disertai abdomen yang buncit.1,11 - Gejala klinis dapat pula timbul pada umur beberapa minggu atau baru menarik perhatian orang tua setelah beberapa bulan.2 17 Pemeriksaan Manometri anorektal Mengukur tekanan sfingter ani interna saat balon dikembangkan di rectum. Pada individu normal, penggembungan rectum mengawali refleks penurunan tekanan sfingter interna. Pada penderita penyakit hirschsprung, tekanan gagal menurun, atau ada kenaikan tekanan paradox karena rectum dikembungkan. Ketepatan diagnostik ini lebih dari 90%, tetapi secara teknis sulit pada bayi muda.2,11 Gambar 7. Pemeriksaan manometri anorektal Pemeriksaan Radiologi - Pemeriksaan foto polos abdomen: terlihat tanda – tanda obstruksi usus letak rendah. Umumnya gambaran kolon sulit dibedakan dengan gambaran usus halus. 2,5,11 - Pemeriksaan foto dengan barium enema: terlihat lumen rekto – sigmoid kecil, bagian proksimalnya terlihat daerah transisi dan kemudian melebar. Permukaan mukosa di bagian usus yang melebar tampak tidak teratur karena proses enterokolitis. Barium enema tidak perlu diteruskan ke arah proksimal bila tanda – tanda penyakit hirschsprung yang khas seperti diatas sudah terlihat. Apabila tanda – tanda yang khas tersebut tidak dijumpai, pemeriksaan barium 18 enema diteruskan untuk mengetahui gambaran kolon proksimal. Mungkin ditemukan penyebab yang lain. Pada penyakit hirschsprung dengan gambaran foto barium enema yang tidak jelas dapat dilakukan foto retensi barium. Foto dibuat 24 sampai 48 jam setelah foto barium enema pertama. Pada foto retensi barium masih terlihat di kolon proksimal, tidak menghilang atau kumpul di daerah distal dan mungkin dijumpai tanda – tanda khas penyakit hirschsprung yang lebih jelas serta gambaran mikrokolon pada hirschsprung segmen panjang. 2,5,11 Gambar 8. Dilatasi colon pada pemeriksaan dengan barium enema Pemeriksaan patologi anatomi Pemeriksaan patologi anatomi dimaksudkan untuk mendeteksi adanya ganglion di lapisan submukosa dan di antara dua lapisan otot. Serta melihat serabut – serabut saraf. Apabila sediaan untuk pemeriksaan patologi anatomi didapat dari biopsy hisap dari mukosa rectum, pemeriksaan hanya untuk melihat ganglion Meissner di lapisan sub-mukosa dan melihat penebalan serabut – serabut saraf. Pada penyakit hirschsprung tidak dijumpai ganglion dan terdapat penebalan serabut – serabut saraf. Biopsi seluruh lapisan rectum dapat dilakukan saat operasi untuk memastikan diagnosis dan derajat keterlibatan. 2,5,11 19 Pemeriksaan histokimia Pada pemeriksaan histokimia aktivitas kolinesterase biasanya meningkat. Biopsy – isapan rectum hendaknya tidak dilakukan kurang dari 2 cm dari linea dentate untuk menghindari daerah normal hipoganglionosis di pinggir anus. Biopsy harus mengandung cukup sampel submukosa untuk mengevaluasi adanya sel ganglion, biopsy dapat diwarnai untuk asetilkolinesterase, untuk mempermudah interpretasi. Penderita dengan aganglionosis menunjukkan banyak sekali berkas saraf hipertrofi yang diwarnai positif untuk asetilkolinesterase dan tidak ada sel ganglion. 2,5,11 Diagnosis banding Banyak kelainan usus dengan penampilan klinik obstruksi yang menyerupai penyakit hirschsprung atau sumbatan anorektum oleh mekonium yang sangat padat, mekonium ileus dan sebagainya. 1. Meconium plug syndrome Riwayatnya sama seperti permulaan penyakit Hirscprung pada neonatus, tapi setelah colok dubur dan mekonium bisa keluar, defekasi selanjutnya normal.2,11 2. Akalasia recti Keadaan dimana sfingter tidak bisa relaksasi sehingga gejalanya mirip dengan Hirschprung tetapi pada pemeriksaan mikroskopis tampak adanya ganglion Meissner dan Auerbach.1,11 Terapi Prinsip penanganan adalah mengatasi obstruksi, mencegah terjadinya enterokolitis, membuang segmen aganglionik dan mengembalikan kontinuitas usus.2,11 Tindakan non bedah - Untuk neonatus dengan obstruksi usus dilakukan terapi konservatif dengan pemasangan sonde lambung, pemasangan pipa rectal untuk mengeluarkan mekonium dan udara (pemasangan harus hati – hati, jangan terjadi salah 20 arah) cara ini juga bertujuan untuk mencegah enterokolitis yang dapat dilakukan bilasan kolon dengan cairan garam faali. Cara ini efektif pada segmen aganglionik yang pendek.11 - Biopsi hisap hendaknya dikerjakan sebelum pemeriksaan colok dubur dan pemasangan pipa rectal. Pemberian antibiotik, lavase kolon dengan irigasi cairan, koreksi elektrolit serta pengaturan nutrisi juga diperlukan.1 Tindakan Pembedahan I. Tindakan bedah sementara - Tindakan kolostomi. Stoma dibuat di bagian kolon yang berganglion paling distal. Kolostomi ini dimaksudkan untuk menjamin pasase usus, dekompresi abdomen dan mencegah penyulit – penyulit yang tidak diinginkan seperti enterokolitis, peritonitis dan sepsis. Manfaat lain dari kolostomi adalah menurunkan angka kematian pada saat dilakukan tindakan bedah definitif dan mengecilkan kaliber usus pada penderita Hirschsprung yang telah besar sehingga memungkinkan dilakukan anastomose. 3,5 II. Tindakan bedah definitif - Tindakan bedah definitif dimaksudkan untuk mereseksi bagian usus yang aganglionik dan mengembalikan kontinuitas usus. Langkah ini dikerjakan bila berat badan bayi sudah cukup. Pada waktu itu megakolon dapat surut, mencapai kolon ukuran normal.1,11 - Ada beberapa prosedur bedah definitif yaitu prosedur Swenson, Duhamel, Endorektal Pull Through dengan modifikasi masingmasing. Pilihan – pilihan operasi adalah melakukan prosedur definitif sesegera mungkin setelah diagnosis ditegakkan atau melakukan kolostomi sementara dan menunggu sampai bayi berumur 6 – 12 bulan untuk melakukan operasi.5,12 21 Gambar 9. Beberapa jenis bedah definitif pada megakolon o Prosedur Swenson Memotong segmen yang tidak berganglion dan melakukan anastomosis usus besar proksimal yang normal dengan rectum 1 – 2 cm di atas garis batas. Terdiri dari rektosigmoidektomi seluas bagian rektosigmoid aganglionik dengan anastomosis koloanal. Operasi ini secara teknis sulit dan mengarah pada pengembangan dua prosedur lain.1,12 Prosedur Swenson dimulai dengan approach ke intra abdomen, melakukan biopsi eksisi otot rektum, diseksi rektum ke bawah hingga dasar pelvik dengan cara diseksi serapat mungkin ke dinding rektum, kemudian bagian distal rektum diprolapskan melewati saluran anal ke dunia luar sehingga saluran anal menjadi terbalik, selanjutnya menarik terobos bagian kolon proksimal (yang tentunya telah direseksi bagian kolon yang aganglionik) keluar melalui saluran anal. Dilakukan pemotongan rektum distal pada 2 cm dari anal verge untuk bagian anterior dan 0,5-1 cm pada bagian posterior, selanjunya dilakukan anastomose end to end dengan kolon proksimal yang telah ditarik terobos tadi. Anastomose dilakukan dengan 2 lapis jahitan, mukosa dan sero-muskuler. Setelah anastomosis selesai, usus dikembalikan ke kavum pelvik / abdomen. Selanjutnya dilakukan reperitonealisasi, dan kavum abdomen ditutup.1,5,12 22 Gambar 10. Prosedur Swenson o Prosedur Duhamel Menguraikan prosedur untuk menciptakan rectum baru, dengan menarik turun usus besar yang berinervasi normal ke belakang rectum yang tidak berganglion. Rectum baru yang dibuat pada prosedur ini mempunyai setengah aganglionik anterior dengans sensasi normal dan setengan ganglionik posterior dengan propulsi normal. Operasi Duhamel adalah yang terbaik pada aganglionis total. Kolon kiri tetap ditinggalkan dan menganastomosis kolon kiri ini pada usus halus.1,5 23 tidak perlu Gambar 11. Prosedur Duhamel o Prosedur Endorectal Pullthrough atau Soave Prosedur yang diuraikan oleh Boley meliputi pengupasan mukosa rectum yang tidak berganglion dan membawa kolon yang berinervasi normal ke lapisan otot yang terkelupas tersebut, dengan demikian memintas usus yang abnormal dari sebelah dalam. anastomosis koloanal dibuat secara tarik terobos (Pull Through) Gambar 12. Prosedur Soave Penyakit hirschsprung segmental yang ultra pendek, segmen yang tanpa ganglion hanya terbatas pada sfingter interna. Gejalanya sama dengan gejala konstipasi fungsional. Sel ganglionik mungkin terdapat pada biopsy isap rectum. Tetapi motilitas rectum akan tidak normal. Eksisi 24 pengupasan mukosa otot rektum, termasuk sfingter anus interna, merupakan tindakan diagnostik dan terapeutik.5,11 Penyakit hirschsprung yang melibatkan segmen panjang merupakan masalah yang sulit. Pemeriksaan biopsy isap rectum akan menunjukkan adanya tanda – tanda penyakit hirschsprung, namun sulit diinterpretasikan pada pemeriksaan radiologi karena tidak ditemukan daerah peralihan. Luasnya aganglionosis hanya dapat ditentukan dari biopsy pada saat laparotomi. 5,11 Bila seluruh kolon aganglionis, sering bersama dengan panjang ileum terminal, anatomosis ileum – anus merupakan terapi pilihan dengan masih mempertahankan bagian kolon yang tidak berganglion untuk mempermudah penyerapan air. Sehingga membantu tinja menjadi keras.5,11 Komplikasi - Sering neonatus meninggal akibat penyulit seperti enterokolitis atau peritonitis dan sepsis.2,11 - Obstruksi kronik yang dapat terjadi pada penyakit hirschsprung dapat disertai oleh diare berat dengan feses yang berbau dan berwarna khas yang disebabkan oleh timbulnya penyulit berupa enterokolitis. Enterokolitis biasa disebabkan oleh bakteri yang tumbuh berlebihan pada daerah kolon yang iskemik akibat disetnsi berlebihan dindingnya. Enterokolitis dapat timbul sebelum tindakan operasi atau berlanjut setelah operasi definitif. 2,11 - Secara garis besarnya, komplikasi pasca tindakan bedah pada penyakit hirschsprung dapat digolongkan atas kebocoran anastomose, stenosis, enterokolitis nekrotikans, dan gangguan fungsi sphincter. 2,11 - Faktor predisposisi terjadinya penyulit pasca operasi diantaranya: usia muda saat operasi, kondisi umum penderita saat operasi, prosedur bedah yang digunakan, keterampilan dan pengalaman dokter bedah, jenis dan cara pemberian antibiotik, serta perawatan pasca bedah. 2,11 25 Prognosis Prognosis baik kalau gejala obstruksi segera diatasi. Penyakit hirschsprung yang diterapi dengan pembedahan umumnya memuaskan. Sebagian besar penderita berhasil mengeluarkan tinja (kontinensia). Penyulit pasca bedah seperti kebocoran anastomosis atau striktur anastomosis umumnya dapat diatasi. Masalah pasca bedah meliputi enterokolitis berulang, striktur, prolaps, abses perianal dan pengotoran tinja. 2,11 MEGAKOLON AKUISITA Megakolon merupakan kondisi dimana terjadi pembesaran kolon, dilatasi kronik, elongasi serta hipertrofi kolon. Megakolon juga dapat terjadi sebagai penyulit dari penyakit kolitis, dimana terjadi dilatasi kolon akut atau megakolon toksik dengan paralisis fungsi motorik kolon transversum disertai dilatasi cepat segmen usus tersebut, yang disebabkan oleh progresivitas penyakit di dinding yang dapat dicetuskan oleh pemberian sediaan opiat atau pemeriksaan rontgen barium. Biasanya penderita tampak sakit berat dengan takikardia dan syok toksik.7,8 Gambar 13. Toksik megakolon Penyakit Chagas adalah penyakit yang endemik di Amerika selatan dan tengah. Pada penyakit chagas, organisme penyebabnya Trypanosoma Cruci 26 menghilangkan persarafan ganglia usus sehingga menyebabkan dilatasi kolon (megakolon).5,7 Megakolon adalah satu komplikasi dari penyakit kronis ini, dimana terjadi kerusakan yang menyebar dari system saraf intramural. Terapi pembedahan yang dilakukan bertujuan untuk mengatasi konstipasi, gangguan buang air besar yang berulang maupun volvulus. Kolektomi subtotal dengan ileoproctostomy memungkinkan terapi pilihan yang sesuai, namun beberapa ahli lebih menyukai abdominoendoanal rectosigmoidectomy.5 Megakolon organik yang didapat, juga dapat terjadi sebagai kondisi yang disebabkan obstruksi mekanis dari colon bawah, rectum maupun anus. Beberapa kasus di sebabkan oleh :5 - Stricture anorectal postoperative - Limphogranuloma venereum - Endometriosis - Radiasi proktitis - Kerusakan anorectal (anorectal injury) - Termasuk trauma yang diakibatkan karena kecelakaan atau trauma seksual Megakolon juga berhubungan dengan kelainan neurologis seperti paraplegia atau poliomyelitis. Konstipasi menjadi masalah utama karena hilangnya otot volunter defekasi. Megakolon sekunder ini dapat normal kembali ketika penyebab primer dapat terobati.5 Megakolon toksik Megakolon toksik merupakan tahap klinis dari colitis akut dengan dilatasi segmental ataupun total dari kolon yang berhubungan dengan tanda toksik dengan gejala klinis yaitu :5,13 - Demam tinggi - Nyeri abdomen - Malaise - Takikardia - Leukositosis 27 - Distensi abdomen - Dehidrasi Kondisi ini dapat berkembang menjadi kondisi toksik dan termasuk kegawat daruratan medis, yang merupakan komplikasi yang mengancam jiwa dari colitis ulseratif (Morbus Chron) serta dapat terjadi sebagai penyakit kronis eksaserbasi akut namun lebih sering berkembang selama timbulnya gejala awal. Penyebab nya tidak diketahui namun beberapa faktor yang menyebabkannya yaitu obat – obatan anti diare, opiate, alkaloid beladona dan barium enema.5,13 Pada keadaan awal penyakit jarang terjadi komplikasi, mungkin dapat berhubungan dengan terapi awal yang cepat dan tepat seperti pada pasien yang sakit berat dapat dilakukan resusitasi untuk memperbaiki homeostasis, pemberian antibiotik untuk membunuh flora bakteri bila mungkin, kortikosteroid intravena (terkecuali pada pasien yang sebelumnya mendapatkan terapi kortikosteroid, dimana segera dilakukan langsung tindakan pembedahan). Terapi pembedahan komplikasi ini adalah kolektomi darurat.5,8 Gambar 14. Penderita toksik megakolon 28 KASUS Catatan Medik Mahasiswa Kepaniteraan Umum Ilmu Radiologi Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Semarang PENYUSUN LAPORAN Nama : Wijayanti Indah Purnamasari PENGESAHAN Nama Dosen : dr. Abu Bakar, Sp.Rad dr. Boyanto, Sp. Rad dr. Arinawati, Sp. Rad I. II. Identitas Pasien a. Nama pasien : Nn. M b. Tanggal lahir : 8 Juni 1998 c. Umur : 20 tahun d. Agama : Islam e. Pekerjaan : Mahasiswa f. Pendidikan terakhir : S1 g. Alamat : Mugas Barat VI / 13 RT 3 RW 6 h. No RM : 53-5X-XX i. Tanggal masuk RS : 17 Januari 2019 j. Tanggal pemeriksaan : 24 Januari 2019 k. Tanggal keluar RS : 24 Januari 2019 ANAMNESIS 1. Keluhan Utama : Nyeri perut 2 Bulan Sebelum Masuk Rumah Sakit 2. Keluhan Tambahan : Perut kembung, diare 3kali/minggu, konstipasi 29 3. Riwayat Penyakit Sekarang : 2 Bulan yang lalu SMRS pasien sering diare 3kali/minggu berisi ampas warna feses coklat tidak ada lendir dan darah, kemudian diperiksakan di tenaga medis terdekat mendapatkan anti diare dan diare berhenti, setelah diare berhenti pasien mengeluh susah BAB, susah kentut, perut kembung dan nyeri di seluruh lapang perut, diperiksakan kembali pasien mendapatkan laktulosa sirup 60 ml 1 X sehari 2. 7 Hari SMRS, Pada tanggal 10 Januari 2019 pukul 20.38 WIB Nn.M datang ke Poli Penyakit Dalam RS Roemani dengan keluhan nyeri perut dan susah BAB. Nyeri dirasakan sejak hari jumat dan terasa semakin memberat pada hari senin sehingga dengan kemauan sendiri pasien datang ke Poli Penyakit Dalam RS Roemani, pasien mendapatkan obat laktulosa sirup 60 ml 1 x sehari 2 dan disarankan rawat inap, keluarga menolak rawat inap. 17 Januari 2019 pasien datang ke poli penyakit dalam RS Roemani pukul 19.06 dengan keluhan nyeri perut, perut kembung dan susah BAB. Pasien rawat inap di bangsal ayub 2 dengan infus 20 tetes/menit, dan dilakukan USG abdomen, EKG, Darah rutin, GDS, Ureum, kreatinin, elektrolit. Keluhan belum BAB seperti ini sering berulang sebelumnya. diare sedikit-sedikit 2x/hari bewarna kecoklatan, lembek, disertai ampas, tanpa lendir maupun darah. Mual dan muntah juga dikeluhkan oleh pasien. Mual selalu mendahului muntah. Muntah selalu terjadi setelah pasien makan, muntah awalnya berisi ampas namun lama kelamaan muntah hanya lendir bewarna putih terjadi terus menerus. Pasien juga mengeluh demam yang hilang timbul. Hilang setelah pasien minum obat penurun panas. 4. Riwayat Penyakit Dahulu : Riwayat sakit yang sama : diakui 2 kali/bulan Riwayat operasi : disangkal 30 Gastritis : disangkal Penyakit jantung : disangkal Hipertensi : disangkal Diabetes mellitus : disangkal Asma : disangkal Alergi obat : disangkal Alergi makanan : disangkal 5. Riwayat Penyakit Keluarga : Tidak ada keluarga yang menderita penyakit yang sama. 6. Riwayat Pribadi : Kebiasaan Merokok : disangkal Kebiasaan minum Alkohol : disangkal Kebiasaan makan sehari-hari : teratur 3 kali sehari Olahraga : Jarang Pasien sebagai mahasiswa, biaya hidup ditanggung keluarga. Pasien tinggal bersama keluarga. Kesan ekonomi baik. Pasien berobat menggunakan BPJS. III. PEMERIKSAAN FISIK Pemeriksaan Umum Keadaan umum : Tampak sakit Kesadaran : Compos mentis Tekanan darah : 120/80 mmHg Nadi : 110x/menit Pernafasan : 20x/menit Suhu : 36,8oC Kulit Warna kuning langsat, turgor kulit baik, ikterus(-) 31 Kepala Normocephali, Rambut hitam Mata Pupil isokor Ø 3mm, refleks cahaya (+/+), konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), edema palpebra (-/-) Telinga sekret (-), perdarahan (-) Hidung Sekret (-), deviasi septum (-), pernapasan cuping hidung (-), epistaksis (-) Mulut Lidah dalam batas normal, sianosis (-) Leher Tidak terdapat pembesaran Tiroid dan KGB, penggunaan otot bantu nafas (-). Dada Paru-paru Inspeksi : normochest, retraksi (-), pergerakansimetris pada saat statis dan dinamis Palpasi : sela iga tidak melebar, nyeri tekan (-) Perkusi : sonor +/+ Auskultasi : vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/- Jantung Inspeksi Palpasi : ictus cordis tidak tampak : ictus cordis teraba pada sela iga V, 2 cm medial dari linea midclavicularis sinistra Perkusi : dalam batas normal Auskultasi : bunyi jantung I-II reguler, tidak terdengar murmur dan gallop pada ke 4 katup jantung 32 Abdomen Inspeksi : 1. Permukaan dinding perut: datar 2. Kulit dinding perut: erupsi (-), icterus (-), spider angioma (-), venectasi (-), striae (-), pigmentasi (-), tumor (-), umbilicus cekung (+), hernia (-), ekimosis (-), tanda cullen (-) 3. Bentuk perut : simetris (+), perut bentuk perut katak (frog’s like appearance) (-). Auskultasi : peristaltic melemah (+) Perkusi : Timpani Palpasi : Nyeri tekan (+) Anggota gerak : akral hangat, tangan Edema -/-, kaki edema /-, sianosis -/-, clubbing finger -/Kelenjar getah bening Submandibula : tidak ditemukan pembesaran Supraklavikula : tidak ditemukan pembesaran Lipat paha : tidak ditemukan pembesaran Leher : tidak ditemukan pembesaran Ketiak : tidak ditemukan pembesaran 33 IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG A. Pemeriksaan Laboratorium 1. Laboratorium (17-1-2019) pukul 20.58 WIB HEMATOLOGI Hasil Unit Nilai Rujukan Hemoglobin 11,2 g/dl 11,7-15,5 Leukosit 8600 /mm3 3600-11000 Hematokrit 34,9 % 40-52 Trombosit 415000 /mm3 150000-440000 Eritrosit 4,17 Juta/ul 4,4-5,9 MCV 84,0 fL 80-100 MCH 26,9 Pg 26-34 MCHC 32,2 % 32-36 RDW 14,2 % 11,5-14,5 MPV 8,4 fL 7,0-11,0 Eosinofil 4,9 % 2-4 Basofil 0,6 % 0-1 Neutrofil 51,1 % 50-70 Limfosit 38,0 % 25-40 Monosit 5,4 % 2-8 Darah Rutin Index Eritrosit Diff Count Kimia Klinik Glukosa sewaktu 78 mg/dl 75-140 Ureum 31 mg/dl 10-50 Creatinin 0,7 mg/dl 0,45-0,75 Kalium 3,4 mEq/L 3,5-5,0 Natrium 143 mEq/L 135-147 Chlorida 103 mEq/L 95-105 Calcium 8,1 mg/dl 8,8-10,0 34 2. Laboratorium (20-1-2019) pukul 20.00 WIB URINE Hasil Unit Nilai Rujukan Urine Lengkap Makroskopis : Warna Kuning Kekeruhan kuning Jernih uroblinogen Negatif <1 Bilirubin Negatif <0,2 Keton Negatif <0,5 Blood Negatif Negatif Probain Negatif <10 Nitrit Negatif Negatif Leukosit Negatif Negatif Reduksi Negatif <15 Berat jenis 1,005 1,015-1,025 PH/Reaksi 5,0 4,8-7,4 Mikroskopis : Epitel 6-12 /LPK 5-15 Leukosit 4-6 /LPB 1-4 Eritrosit 0-2 /LPB 0-1 Kristal Negatif Negatif Bakteri Positif Negatif Lain-lain Negatif Silinder Negatif 35 /LPK Negatif 3. Laboratorium (20-1-2019) pukul 07.36 WIB HEMATOLOGI Hasil Satuan Nilai Rujukan LED 46 mjit IMUNOLOGI / SEROLOGI TB/ICT mm/jam Negatif 36 Negatif B. Pemeriksaan Radiologi 1. Pemeriksaan USG (Gambar 1.a Cavum abdomen) (Gambar 1.b Ren Dextra-sinistra, Lien) 37 (Gambar 1.c Vesika urinaria) (Gambar 1.d Liver) 38 Hepar : Uk normal, struktur parenkim homogeny, ekogenisitas normal, tak tampak nodul, v.porta dan v.hepatica tak tampak melebar, duktus intra-extrahepatica tak melebar. Lien : Uk normal, struktur parenkim homogeny, ekogenisitas normal, tak tampak nodul, tak tampak kalsifikasi, v.lienatis tak melebar. VF : Uk tak melebar, dinding regular, mukosa tak menebal, tak tampak batu/ studge, duktus cystikus tak melebar, CBD tak melebar. Pankreas : tak bisa dinilai Ginjal D/S : Uk normal, struktur parenkim homogeny, ekogenisitas normal, PCS dan ureter tak melebar, batas kortikom eduler jelas, kortex tak menipis, tak tampak batu, tak tampak kista. Aorta Abdominalis : tak melebar, tak tampak limfonodi paraaorta. Vesika urinaria : uk tak melebar, dinding regular, mukosa tak menebal, tak tampak batu / masa, tak tampak divertikel. Tampak gamb udara usus luas mengisi seluruh cav.abdomen Tak tampak cairan bebas intraabdomen. Tak tampak efusi pleura. Kesan : Tampak gambr udara usus luas mengisi seluruh cav.abdomen asal ?? DD Meteorismus/ tumor berisi udara Tak tampak kelainan di organ intraabdomen lainnya diatas secara sonografi Usul : CT Scan Abdomen 39 2. Pemeriksaan X-Foto Thorax Kesan : Diafragma sinistra letak tinggi suspek desakan dari inferior (abdomen) Cor tak membesar Pulmo tenang 3. Pemeriksaan X-Foto Abdomen 2 POSISI 40 Banyak faecal material Garis extraperitoneal fat jelas Tak tampak pneumoperitoneum Kesan : Banyak scibala dalam usus mungkin dalam colon yang lebar. Tak tampak pneumoperitoneum FOLLOW UP Tanggal 17 januari 2019 pukul 21:08 Keterangan S : nyeri perut 2 bulan dan sering diare Tindakan Program USG, sudah disarankan rawat inap tapi menolak. EKG, Darah O: KU CM, TD 110/70 N 82, S 36,4, RR Rutin, GDS, 20. Abdomen: massa intraabdomen teraba Ureum, keras kreatininin, A. Massa intraabdomen elektrolit P: infus RL 20 tts/mnt, ketorolac inj bila kesakitan. 18 januari 2019 pukul 08:42 S : Sakit perut O : KU CM, TD 120/70, N 80, S 36,8 RR 22 teraba massa di intraabdomen. A: massa intraabdomen P: Infus RL 20 tts/menit, ketorolakk inj bila kesakitan USG 19 Januari 2019 pukul 08:23 S : nyeri perut O : KU CM, TD 110/70 N 82, S 36,4, RR 20. A: massa intraabdomen P: konsul bedah Jawaban konsul bedah : S:Konsul dari PD O: Fenomena papan catur 41 USG A: TB ?? P: Tunggu hasil lab LED, Tb ict thorax 20 januari 2019 pukul 09:47 S: perut kembung, riwayat diare sebelumnya, minum obat diare dari faskes 1 O: KU sedang, Kes CM TD 110/80 abdomen cembung +, bissing usus melemah, distensi, nyeri tekan -. A: Meteorismus ileus paralitik P: Inj alinamin 1 amp/12 jam iv, ususl pasang NGT terbuka, dekompresi (jika DPJP acc), puasa sementara 21 januari 2019 pukul 08:43 S: perut masih sebah O: USG : Tampak gamb udara usus luas mengisi seluruh cav.abdomen Tak tampak cairan bebas intraabdomen. Tak tampak efusi pleura. Kesan : Tampak gambr udara usus luas mengisi seluruh cav.abdomen asal ?? DD Meteorismus/ tumor berisi udara Tak tampak kelainan di organ intraabdomen lainnya diatas secara sonografi A: meteorismus skibala susp massa tumor dd mesenterial TB? P: sesuai Bedah 21 januari 2019 S: - pukul 23:00 O:A: Megacolon kongenital 42 P: pasang rectal tube, wash out 22 januari 2019 pukul 08:09 S:sudah BAB dan BAK banyak sekali O: Tampak gamb udara usus luas mengisi seluruh cav.abdomen Tak tampak cairan bebas intraabdomen. Tak tampak efusi pleura. Kesan : Tampak gambr udara usus luas mengisi seluruh cav.abdomen asal ?? DD Meteorismus/ tumor berisi udara Tak tampak kelainan di organ intraabdomen lainnya diatas secara sonografi A: Meagakolon Konstipasi P: flees enema extra 1x Colon in loop 23 januari 2019 S : Perut masih nyeri, perut terasa mules, Program wash Pukul 13.00 WIB BAB terus dan lembek, mual tiap makan out pagi sore O : KU baik, TD 100/80, N 80, S 36,4, RR 20. Nyeri tekan abdomen, abdomen supel, bising usus meningkat, A : Megacolon P : BNO 2 Posisi, KSR 2 X1, ciprofloxaxin 2x500mg, Wash out pagi sore 24 januari 2019 Pukul 13.00 WIB S : sudah BAB dan BAK spontan O : KU baik, TD 110/80, N 82, S 36,8, RR 22, nyeri tekan abdomen (+) sedikit,tidak cembung, perut supel, bissing usus normal 43 A : Megacolon P : infus stop, rawat jalan, dan program operasi. V. RESUME 2 Bulan yang lalu SMRS pasien sering diare 3kali/minggu berisi ampas warna feses coklat tidak ada lendir dan darah, kemudian diperiksakan di tenaga medis terdekat mendapatkan anti diare dan diare berhenti, setelah diare berhenti pasien mengeluh susah BAB, susah kentut, perut kembung dan nyeri di seluruh lapang perut, diperiksakan kembali pasien mendapatkan laktulosa sirup 60 ml 1 X sehari 2. 7 Hari SMRS, Pada tanggal 10 Januari 2019 pukul 20.38 WIB Nn.M datang ke Poli Penyakit Dalam RS Roemani dengan keluhan nyeri perut dan susah BAB. Nyeri dirasakan sejak hari jumat dan terasa semakin memberat pada hari senin sehingga dengan kemauan sendiri pasien datang ke Poli Penyakit Dalam RS Roemani, pasien mendapatkan obat laktulosa sirup 60 ml 1 x sehari 2 dan disarankan rawat inap, keluarga menolak rawat inap. 17 Januari 2019 pasien datang ke poli penyakit dalam RS Roemani pukul 19.06 dengan keluhan nyeri perut, perut kembung dan susah BAB. Pasien rawat inap di bangsal ayub 2 dengan infus 20 tetes/menit, dan dilakukan USG abdomen, EKG, Darah rutin, GDS, Ureum, kreatinin, elektrolit. Keluhan belum BAB seperti ini sering berulang sebelumnya. diare sedikit-sedikit 2x/hari bewarna kecoklatan, lembek, disertai ampas, tanpa lendir maupun darah. Mual dan muntah juga dikeluhkan oleh pasien. Mual selalu mendahului muntah. Muntah selalu terjadi setelah pasien makan, muntah awalnya berisi ampas namun lama kelamaan muntah hanya lendir bewarna putih terjadi terus menerus. Pasien juga mengeluh demam yang hilang timbul. Hilang setelah pasien minum obat penurun panas. Dari pemeriksaan fisik didapatkan pasien tampak sakit, kompos mentis, TD 110/80 mmHg, HR 80 x/mnt, RR : 22 x/mnt, suhu : 36,8, 44 abdomen tampak Cembung minimal, bising usus (+) menurun, Perkusi Timpani, Palpasi Nyeri tekan (+) dan distensi abdomen (+). Dari hasil pemeriksaan USG abdomen didapatkan Tampak gambar udara usus luas mengisi seluruh cav.abdomen asal ??, DD Meteorismus/ tumor berisi udara, Tak tampak kelainan di organ intraabdomen lainnya diatas secara sonografi, Usul : CT Scan Abdomen Pemeriksaan foto thorax didapatkan diafragma sinistra letak tinggi suspek desakan dari inferior (abdomen), Cor tak membesar, Pulmo tenang. Pada pemeriksaan foto abdomen 2 posisi didapatkan banyak scibala dalam usus mungkin dalam colon yang lebar, Tak tampak pneumoperitoneum. C. Diagnosis Megacolon dengan konstipasi. D. Penatalaksanaan Farmakologi : Infus RL 20tetes/mnt Ciprofloxaxin 2 x 500 mg KSR 2x1 Inj omeprazole 1 ampul extra Inj ondansetron 4 mg extra Inj ketorolac 2 x 30mg (b/p) Tindakan Non bedah: Wash out pagi sore Tindakan bedah Rencana kolostomi E. Prognosis Ad vitam : ad bonam Ad fungsionam : ad bonam Ad sanationam : ad bonam 45 DAFTAR PUSTAKA 1. Hamami AH, J Pieter, I Riwanto, T Tjambolang, I Ahmadsyah. Penyakit Hirschsprung. Dalam : R Sjamsuhidajat, W De Jong, editor. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi ke – 2. Jakarta: EGC; 2004. 670-671. 2. Wyllie R. Megakolon Aganglionik bawaan (Penyakit Hirschsprung). Dalam : WE Nelson, RE Behrman, editor. Ilmu kesehatan Anak Nelson. Edisi ke – 15. Volume 2. Jakarta:EGC; 1999.1316 - 1319. 3. Kartono D. Penyakit Hirschsprung : Perbandingan prosedur Swenson dan Duhamel modifikasi. Disertasi. Pascasarjana FKUI. 2009. 4. Fonkalsrud. Hirschsprung’s disease. Dalam: Zinner MJ, Swhartz SI, Ellis H, editors. Maingot’s Abdominal Operation. Edisi ke - 10. New York: Prentice - Hall intl.inc.; 1997. 2097-105. 5. Goldberg SM, S Nivatvongs, DA Rothenberger. Megacolon. Dalam : Schwartz’s Principles of Surgery. SI Schwarts, GT Shires, FC Spencer, WC Hussen. Edisi ke - 5. Volume 2. Library of Congress Cataloging in Publication Data; 1989. 6. Bullard KM, DA Rothenberger. Megacolon. Dalam : Schwartz’s Principles of Surgery. FC Brunicardi, DK Andersen, TR Billiar, DL Dunn, JG Hunter, RE Pullock. Edisi ke - 8. Volume 2. Library of Congress Cataloging in Publication Data; 2005. 7. Silbernagl S. Konstipasi dan Pseudo Obstruksi. Dalam: Teks dan Atlas Berwarna Patofisiologi. S Silbernagl, F Lang. Jakarta: EGC; 2006. 156 – 157. 8. Lindshet GN. Radang Usus Besar. Dalam: Patofisiologi Konsep Klinis Proses – Proses Penyakit. SA Price. LM Wilson. Edisi ke – 6. Volume 1. Jakarta: EGC; 2005. 461 – 463. 9. Snell RS. Anatomi Cavitas Abdominalis. Dalam: Anatomi klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Snell RS. Edisi ke – 6. Jakarta: EGC; 2006 46 10. Guyton AC, JE Hall. Fisiologi Gangguan Gastrointestinal. Dalam: Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Guyton AC, JE Hall. Edisi ke – 11. Jakarta: EGC; 2007 11. Kartono D. Penyakit Hirschsprung Neonatus . Dalam: Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Bagian Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia / RS dr. Cipto Mangunkusumo. Jakarta: Binarupa Aksara. 141-143. 12. Swenson O, Raffensperger JG. Hirschsprung’s disease. In: Raffensperger JG,editor. Swenson’s pediatric surgery. 5th ed. Connecticut:Appleton & Lange; 1990: 555-77 Devuni D. Toxic Megacolon Workout (online). Dalam: Medscape. Juli 2013 (diakses 28 Agustus 2013). Diunduh http://emedicine.medscape.com/article/181054-overview 47 dari :