ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN SISTEM ENDOKRIN (GIGANTISME DAN AKROMEGALI) OLEH KELOMPOK III EURUSIA ITA BRIA (131211123018) EVELINE P.M. MAU (131211123019) LILIK SRIWIYATI NI MADE JULIANDRI FIRMAN MAULANA S. MERY FARIDA PETRUS K S TAGE MUHAMAD ZAINUDIN (131211123020) (131211123021) (131211123022) (131211123023) (131211123024) (131211123025) PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEPERAWATAN UNAIR SURABAYA 2012 1 BAB I PENDAHULUAN A; Latar Belakang Gigantisme adalah kelainan kelebihan GH yang terjadi sebelum penutupan lempeng pertumbuhan epifisis tulang panjang (Kowalak, 2011), sedangkan akromegali adalah kelebihan hormon pertumbuhan (growth hormone, GH) yang dimulai pada usia dewasa sesudah penutupan lempeng epifisis (Kowalak, 2011). Gigantisme ditandai dengan peningkatan umum ukuran tubuh serta lengan dan tungkai yang memanjang berlebihan. Penderita gigantisme biasanya berperawakan tinggi lebih dari 2 meter dengan proporsi tubuh yang normal, hal ini terjadi karena jaringan lunak seperti otot tetap tumbuh. Rahang yang membesar, tulang dahi yang menonjol dan penampakan wajah yang kasar. Gigantisme juga dapat mengalami hiperhidrosis yaitu keadaan dimana terjadinya hipermetabolisme yang menyebabkan keringat berlebih. Penderita dapat pula mengalami gangguan penglihatan apabila tumor pada kelenjar hipofisis menekan chiasma opticum yang merupakan jalur saraf mata. Akromegali biasanya ditandai oleh muka yang khas, suara rendah, sindrom carpal tunnel, pembesaran kaki dan tangan serta arganomegali. Gigantisme biasanya terjadi pada anak-anak atau orang dewasa muda dimana sebelum penutupan lempeng pertumbuhan epifisis tulang (Greenstein & Wood, 2006). Akromegali biasanya pada orang dewasa terdiagnosis pada usia 40-60 tahun. Proses patologis yang mendasar dari gigantisme dan akromegali disebabkan oleh sekresi GH (Growth Hormone) yang berlebihan. Keadaan ini dapat disebabkan oleh adenoma hipofisis anterior atau lebih tepatnya oleh selsel eosinofil yang menyekresi GH dan kelainan dari hipotalamus yang mengarah pada pelepasan GH yang berlebihan yaitu sel-sel somatomedins yang menghasilkan hormon pertumbuhan. GH yang berinteraksi dengan reseptor membran pada hati untuk menyebabkan pengeluaran growthstimulotary ptiutary peptida yang disebut somatomedins. Somatomedins beredar di dalam darah dengan mengikat protein dan kemudian mensistesa 2 protein. Jika penghasil GH terjadi sebelum lempeng epifisis menutup, maka penghasil hormon pertumbuhan lain seperti IGF 1 (Insulin Like Growth Factor1) dan IGF2 (Insulin Like Growth Factor2) yang berperan dalam pembentukan jaringan dan perkembangan organ diproduksi oleh banyak sel terutama oleh hati. IGF1 memberi umpan balik pada glandula ptiutary untuk mengatur sekresi GH yang kemudian akan membuat pertumbuhan jaringan lunak, otot-otot, tulang kartilago, dan osteoblas sehingga terus-menerus mengalami peningkatan termasuk penebalan lidah, mandibula membesar, gigi menjadi renggang, dan dahi menonjol. Kelainan gigantisme sangat langka, dengan sekitar 100 laporan kasus dalam beberapa tahun terakhir. Akromegaly lebih tinggi daripada gigantisme, dengan insiden 3-4 kasus per 1.000.000 lebih dari 95% kasus penyebab dari hiperekskresi GH adalah adonema dari hipofise (Cook,2004, Malmed 2004,Khandwala,2005). Akromegali di Amerika Serikat adalah 3-4 kasus baru per 1.000.000 penduduk pertahun dengan umur rata-rata 40-45 tahun. Studi Bates dkk mendapatkan angka kematian menjadi 2 kali pada kadar GH > 10 mg/ml sedangkan pada kadar < 5 mg/ml angka kematian sama dengan orang normal. Angka kematian dan morbiditi yang terkait dengan akromegali disebabkan oleh dua keadaan yakni efek metabolik dari hipersekresi GH serta efek masa dari adenoma pada hipofise. Kematian pada kelainan gigantisme dan akromegali dapat disebabkan oleh kelainan kardiorespiratori penyakit kardiovaskular yang mencapai 75% dari kasus, GH juga berperan dalam lipolisis di sel adiposa dan mengubah asam lemak menjadi energi, sehingga hormon pertumbuhan ini mengurangi pemecahan glikogen menjadi glukosa di seluruh tubuh, hal ini menyebabkan peningkatan glukosa darah yang beredar di dalam intravaskular. Sifat dari hormon pertumbuhan (GH) yang antagonis insulin membuat sel-sel mengalami hipersensitifitas terhadap insulin. Akibatnya semua glukosa yang beredar di dalam intravaskular tidak dapat ditarik masuk ke intraseluler. Hal ini yang menyebabkan seseorang dengan akromegali dan gigantisme sering mengalami hiperglikemia. Peningkatan gula darah yang terus-menerus akan menstimulasi sel-sel beta pada Pulau Langerhans di pankreas untuk memproduksi insulin sebagai respons untuk 3 mengatur keseimbangan glukosa darah dalam tubuh. Lama-kelamaan sel beta tidak dapat mengkompensasi kebutuhan insulin tubuh sehingga akan terjadi degenerasi sel-sel beta. Keadaan ini dalam jangka waktu yang lama akan mengakibatkan orang tersebut mengalami diabetes mellitus yang mencapai 15-20% kasus dan disebabkan oleh efek dari akses GH dan insulin like growth factor 1 (IGF-1) (Cook, 2004, Malmed 2004, Khandwala, 2005). Efek akromegali jantung tidak terlalu dipahami. Kardiomiopati yang ditandai oleh dilatasi keempat ruang jantung timbul di akhir penyakit dan berkaitan dengan peningkatan kadar GH yang ketika dikoreksi mencapai 75%. Pemeriksaan histologis memperlihatkan peningkatan kolagen dan jaringan ikat fibrosa yang menyebabkan kontraktilitasnya jelek (Gray, 2002). Hipertensi sistemik timbul pada 30% pasien dengan akromegali dan ini dapat menyebabkan hipertrofi ventrikel kiri. Manifestasi lainnya dapat berupa gangguan konduksi, aritmia, hiperlipidemia yang bias mencapai 15-20% (Gray,2002). Kelainan gigantisme dan akromegali yang terjadi akan mengakibatkan meningkatnya metabolisme tubuh dan terganggunya keseimbangan tubuh. Asuhan keperawatan yang tepat sangat diperlukan untuk mengatasi masalah yang muncul akibat gangguan hipofisis yang terjadi. Penatalaksanaan keperawatan yang tepat dan cepat diperlukan agar pasien dapat kembali memenuhi kebutuhan dasarnya secara mandiri. Selain tim medis yang mendiagnosa penyakit dan menangani secara kuratif, peran perawat juga diperlukan untuk memberikan asuhan keperawatan yang efektif. Berdasarkan uraian diatas, penulis mencoba untuk menjelaskan asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan kelenjar hipofisis yang terdiri dari akromegali dan gigantisme. Melalui makalah ini diharapkan mahasiswa mengerti dan memahami asuhan asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan kelenjar hipofisis dengan baik dan benar B; Tujuan 1; Tujuan Umum 4 Setelah proses perkuliahan diharapkan mahasiswa mampu memberikan asuhan keperawatan pasien dengan sistem endokrin secara komprehensif 2; Tujuan Khusus Mahasiswa diharapkan mampu : a; Menjelaskan definisi gigantisme dan akromegali b; Menyebutkan etiologi terjadinya gigantisme dan akromegali c; Menyebutkan tanda dan gejala gigantisme dan akromegali d; Menjelaskan mekanisme terjadinya gigantisme dan akromegali e; Menjelaskan penatalaksanaan gigantisme dan akromegali f; Menyebutkan komplikasi gigantisme dan akromegali g; Menjelaskan prognosis pasien dengan gigantisme dan akromegali h; Mamberikan asuhan keperawatan pada pasien dengan gigantisme dan akromegali C; Manfaat 1; Bagi mahasiswa/mahasiswi Makalah ini hendaknya memberikan masukan dalam pengembangan diri untuk pengembangan pengetahuan mahasiswa/ mahasiswi mengenai pentingnya memahami penyakit gigantisme dan akromegali secara menyeluruh 2; Bagi penulis Dengan makalah ini, di harapkan mampu memberikan pemahaman yang lebih tentang penyakit gigantisme dan akromegali BAB II TINJUAN TEORI 5 A; Definisi 1; Gigantisme a; Kelebihan GH yang terjadi sebelum penutupan lempeng pertumbuhan epifisis tulang panjang (Kowalak, 2011) b; GH berlebihan menyebabkan gigantisme pada masa kehidupan yang lebih awal (Rubenstein, wayne & Bradley, 2007) 2; Akromegali a; Kelebihan hormon pertumbuhan (growth hormone/ GH) yang dimulai pada usia dewasa (sesudah penutupan lempeng epifisis) (Kowalak, 2011) b; GH berlebihan menyebabkan akromegali pada orang dewasa (setelah penyatuan epifisis) (Rubenstein, Wayne & Bradley, 2007) B; Etiologi 1; Kelebihan GH disebabkan oleh adenoma eosinofil atau sel campuran (mixed-cell) pada kelenjar hipofisis anterior. (Kowalak, 2011) 2; Terdapat sekresi GH berlebihan akibat adenoma hipofisis, seringkali oleh sel eosinofil. GH menyebabkan pertumbuhan berlebihan dari jaringan lunak, termasuk kulit, lidah, dan visera serta tulang. Hormon ini memiliki sifat antiinsulin (Rubenstein, wayne & Bradley, 2007) C; Mekanisme Gigantisme disebabkan oleh sekresi GH (Growth Hormone) yang berlebihan. Keadaan ini dapat diakibatkan tumor hipofisis yang mensekresi GH atau karena kelainan hipotalamus yang mengarah pada pelepasan GH secara berlebihan. Penyebab kelebihan produksi hormon pertumbuhan juga berasal dari tumor pada sel-sel somatrotop yang menghasilkan hormon pertumbuhan. Jika adenoma penghasil GH terjadi sebelum lempeng epifisis menutup, seperti pada anak prapubertas, kadar GH yang berlebihan akan menyebabkan gigantisme. Hal ini ditandai dengan peningkatan umum ukuran tubuh serta lengan dan tungkai yang memanjang berlebihan. Penderita gigantisme biasanya berperawakan tinggi lebih dari 2 meter dengan proporsi tubuh yang normal, hal ini terjadi karena jaringan lunak seperti otot tetap tumbuh. Rahang yang membesar, tulang dahi yang menonjol dan penampakan wajah yang kasar. Gigantisme juga dapat mengalami hiperhidrosis yaitu keadaan dimana terjadinya hipermetabolisme yang menyebabkan keringat 6 berlebih. Penderita dapat pula mengalami gangguan penglihatan apabila tumor pada kelenjar hipofisis menekan chiasma opticum yang merupakan jalur saraf mata. Pembesaran jaringan saraf yang tertekan juga mengakibatkan terjadinya sensasi kesemutan dan kelemahan pada lengan dan kaki. Jika peningkatan kadar GH terjadi setelah penutupan lempeng epifisis, maka pasien akan mengalami akromegali, yang pertumbuhannya terutama terjadi pada jaringan lunak, kulit, dan visera, serta pada tulang wajah, tangan, dan kaki, biasanya ini terjadi pada pasien di atas umur 40 tahun. Dan karena hormone pertumbuhan mempengaruhi metabolisme beberapa zat penting tubuh, penderita gigantisme sering mengalami endocrinopathies misalnya hipogonadisme, hiperprolaktinema, diabetes/hiperglikemi. Hiperglikemi terjadi karena produksi hormone pertumbuhan yang sangat banyak menyebabkan hormone pertumbuhan tersebut menurunkan pemakaian glukosa di seluruh tubuh sehingga banyak glukosa yang beredar di pembuluh darah. Dan sel-sel beta pulau Langerhans pancreas menjadi terlalu aktif akibat hiperglikemi dan akhirnya sel-sel tersebut berdegenerasi. Akibatnya, kira-kira 10 persen pasien Gigantisme menderita Diabetes Melitus. D; Manifestasi Klinis Tucker, et al. (2007) menjelaskan pengkajian sistem endokrin meliputi : 1; Data Subjektif a; Perubahan stamina dan kemampuan untuk melakukan aktivitas seharihari (ADL) b; Berkemih, haus, atau lapar yang berlebihan 2; Data Objektif Kowalak (2011) menyebutkan manifestasi klinis pada pasien dengan gigantisme dan akromegali adalah sebagai berikut : Gigantisme a; Rasa sakit pada punggung, artralgia, dan artritis akibat pertumbuhan tulang yang cepat b; Tinggi badan yang berlebihan akibat pertumbuhan berlebihan sebelum lempeng epifisis menutup c; Sakit kepala, muntah, serangan kejang, gangguan penglihatan, dan papiledema (edema pada tempat nervus optikus memasuki rongga 7 bola mata) yang semua terjadi karena tumor yang menekan saraf dan jaringan pada struktur di sekitar d; Defisiensi pada sistem hormon yang lain (jika tumor yang memproduksi GH menghancurkan sel-sel penghasil hormon yang lain) e; Intoleransi glukosa dan diabetes melitus akibat kerja GH yang merupakan antagonis insulin Akromegali a; Diaforesis, b; c; d; e; f; g; h; i; kulit berminyak, hipermetabolisme, hipertrikosis (pertumbuhan rambut yang berlebihan), kelemahan, artralgia, maloklusi gigi, dan organ tambahan kulit yang baru (tipikal) Sakit kepala hebat, kerusakan sistem saraf pusat, hemianopia bilateral (defek pengelihatan), penurunan ketajaman pengelihatan dan kebutaan (jika tumor intrasela tursika menekan kiasma optikum atau nervus optikus) Pertumbuhan berlebihan tulang rawan dan jaringan ikat sehingga pasien tampak seperti raksasa yang khas disertai pembesaran krista supraorbita dan penebalan telinga serta hidung Prognatisme nyata (penonjolan rahang) yang dapat mengganggu gerakan mengunyah Hipertrofi laring, pelebaran sinus paranasal, dan penebalan lidah yang menyebabkan suara pasien menjadi lebih berat dan dalam Penampilan falang distal yang menyerupai kepala anak panah pada foto rontgen, penebalan jari-jari tangan Iritabilitas, sikap permusuhan, dan berbagai gangguan psikologis Tungkai yang melengkung seperti busur (bowleg), dada seperti tong (barrel chest), artritis, osteoporosis, kifosis, hipertensi, dan arteriosklerosis (efek sekresi GH yang berlebihan dan berlangsung lama) Intoleransi glukosa dan diabetes melitus akibat kerja GH sebagai antagonis insulin E; Pemeriksaan Diagnostik Diagnosis akromegali ditegakkan berdasarkan atas temuan klinik, laboratorium, dan pencitraan: 8 1; Pemeriksaan laboratorium Dilakukan untuk mengukur kadar hormon hipofisis dalam serum. Pada pemeriksaan ini ditemukan peningkatan kadar hormone pertumbuhan. Selain itu, dari penilaian terhadap efek perifer hipersekresi hormon pertumbuhan didapatkan peningkatan kadar insulin like growth factor-I (IGF-I). Oleh karena sekresinya yang bervariasi sepanjang hari, pemeriksaan hormon pertumbuhan dilakukan 2 jam setelah pembebanan glukosa 75 gram. 2; Pemeriksaan magnetic resonance imaging (MRI) Dengan kontras diperlukan untuk mengonfirmasi sumber sekresi hormone pertumbuhan. Pemeriksaan MRI dapat memperlihatkan tumor kecil yang berukuran 2 mm. (Cahyanur, Rahmat 2010, hal. 282) F; Penatalaksanaan Rahmat (2010) menjelaskan bahwa pasien akromegali memiliki angka mortalitas dan morbilitas 2 hingga 4 kali lebih tinggi dibandingkan populasi normal. Tata laksana yang adekuat dapat menurunkan angka mortalitas tersebut. Tujuan tata laksana pasien akromegali adalah mengendalikan pertumbuhan massa tumor, menghambat sekresi hormon pertumbuhan dan normalisasi kadar IGF-1. Terdapat 3 modalitas terapi yang dapat dilakukan pada pasien akromegali, yaitu: 1; Pembedahan Tindakan pembedahan diharapkan dapat mengangkat seluruh massa tumor sehingga kendali terhadap sekresi hormon pertumbuhan dapat tercapai. Tindakan ini menjadi pilihan pada pasien dengan keluhan yang timbul akibat kompresi tumor. Ukuran tumor sebelum pembedahan mempengaruhi angka keberhasilan terapi. Pada pasien dengan mikroadenoma (ukuran tumor < 10 mm), angka normalisasi IGF-1 mencapai 75-95% kasus, sementara pada makroadenoma angka normalisasi hormonal lebih rendah, yaitu 40-68%. Selain ukuran tumor, faktor lain yang menentukan keberhasilan tindakan operasi adalah pengelaman dokter bedah dan kadar hormon sebelum operasi. 2; Medikamentosa Terapi medikamentosa pada akromegali terdiri atas 3 golongan yakni: a; Dopamin agonis terdiri atas bromokritin dan cabergoline. Monoterapi dengan cabergoline memiliki efekasi antara 10-35% dalam menormalisasi kadar IGF1. 9 b; Analog somatostatin bekerja menyerupai hormon somatostatin, yaitu menghambat skresi hormon pertumbuhan. Obat golongan ini memiliki efektifitasnya yang tinggi sekitar 70% dalam menormalisasi kadar IGF-1 dan hormon pertumbuhan. Selain itu terapi analog somatostatin juga dapat mengecilkan ukuran tumor (80%), perbaikan fungsi jantung, tekanan darah, serta profilipid. Kendala utama yang dihadapi adalah mahalnya biaya. Analog somatostatin diberikan secara injeksi sub kutan beberapa kali dalam sehari, tetapi saat ini telah ada sediaan baru dengan masa kerjapanjang yang diberikan secara injeksi intra muscular setiap 28 hari sekali. c; Antagonis reseptor hormon pertumbuhan merupakan kelas baru dalam terapi medikamentosa akromegali. Obat ini direkomendasikan pada akromegali yang tidak dapat dikontrol dengan pembedahan, pemberian agonis dopamin, maupun analog somatostatin. Antagonis reseptor hormonpertumbuhan dapat menormalisasi kadar IGF-1 pada 90% pasien. 3; Radioterapi. Radioterapi umumnya tidak digunakan sebagai terapi lini pertama pada kasus akromegali, karena lamanya rentang waktutercapainya terapi efektif sejak pertama kali dimulai. Radioterapi ini memerlukan waktu 10-20 tahun untuk mencapai terapi yang efektif. G; Komplikasi Rahmat (2010) menyebutkan akromegali adalah sebagai berikut : 1; Hemiparesis 2; Gangguan kepribadian 3; Osteoatritis 4; Hipertropi ventrikel jantung 5; Hipertensi 6; Diabetes melitus 7; Hipertrigliseridemia 8; Sleep apnoe 9; Hiperkalsiuria 10; Hiperkalsemia 11; Nefrolitiasis komplikasi gigantisme dan 10 12; Sindrom trowongan karpal (carpal tunnel syndrome) H; Prognosis Pasien akromegali memiliki angka mortalitas dan morbilitas 2 hingga 4 kali lebih tinggi dibandingkan populasi normal. Tata laksana yang adekuat dapat menurunkan angka mortalitas tersebut. Tanpa pengobatan, pasien dengan acromegaly dapat megalami kematian yang cepat karena penyakit ini memiliki efek pada hati, paru, dan otak. Angka prevalensi akromegali diperkirakan mencapai 70 kasus dari 1 juta penduduk, sementara angka kejadian akromegali diperkirakan 3-4 kasus setiap tahunnya dari 1 juta penduduk. Usia rerata pasien yang terdiagnosis akromegali adalah 40-45 tahun. ( Cahyanur, Rahmat 2010, hal. 280) Frekuensi gigantisme di Amerika Serikat sangat jarang, diperkirakan ada 100 kasus yang dilaporkan hingga saat ini. Akromegali lebih sering didapatkan dengan insiden 3-4 kasus per satu juta penduduk pertahun dan prevalensi 40-70 kasus per satu juta populasi. Tidak ada predileksi ras pada gigantisme. Pada orang dewasa kelebihan GH pada perempuan dan pria adalah sama. I; Asuhan Keperawatan 1; Pengkajian Pengkajian Gigantisme dan Akromegali menurut Bradero, Dayrit, dan Siswadi ( 2009: 20-22), adalah sebagai berikut : Data subjektif. a; Riwayat penyakit dahulu b; Riwayat penyakit sekarang c; Riwayat penyakit keluarga d; Riwayat tumbuh kembang e; Perubahan sensori, terutama penglihatan a; Sakit kepala bagian frontal dan temporal, nyeri pada sendi (artralgia), dan nyeri punggung b; Riwayat perubahan pada wajah, tangan, dan kaki, banyak keringat dan kulit tampak berlemak c; Merasa cepat lelah, letargik, dan malas bergerak 11 d; Perubahan pada tingkah laku, misalnya cepat marah, cemas, dan khawatir tentang citra diri f; Mengalami hipogonadisme, keterlambatan maturasi seksual, perubahan menstruasi pada wanita dan perubahan libido : impotensi dan infertilitas pada pria e; Riwayat obat: kontrasepsi oral dan obat psikotropik f; Pengetahuan tentang penyakit, pengobatan, dan hasil pengobatan Data objektif. a; Fungsi saraf kranial II, III, IV, dan VI b; Perubahan pada bentuk wajah: hidung, bibir, dahi, rahang, serta lipatan kulit menjadi besar dan kasar secara progresif. Rahang bawah menjadi besar dan menonjol ke depan sehingga gigi renggang. Jaringan lunak juga tumbuh sehingga wajah kelihatan seperti ada edema. c; Kedua tangan dan kaki membesar secara progresif, jari dan ibu jari tumbuh menebal d; Lidah, kelenjar ludah, limpa, jantung, ginjal, hepar, dan organ lainnya juga membesar e; Perubahan retina bisa menunjukkan papiledema (edema pada saraf optik) f; Status mental dan emosional g; Mobilitas dan perubahan pada sendi h; Tanda-tanda vital i; Berat badan dan tinggi badan j; Pembesaran organ, terutama jantung dan hati serta tanda-tanda yang timbul 2; Diagnosa keperawatan a; Penurunan curah jantung yang berhubungan dengan perubahan kontraktilitas otot jantung b; Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan hipermetabolik c; Gangguan bodi image yang berhubungan dengan perubahan struktur tubuh d; Resiko ketidakstabilan gula darah yang berhubungan dengan periode pertumbuhan yang cepat : akromegali/ gigantisme e; Kelelahan yang berhubungan dengan peningkatan kebutuhan energi akibat hipermetabolik 12 Nyeri akut yang berhubungan dengan peningkatan tekanan intrakranial akibat adanya adenoma kelenjar hipofisis g; Disfungsi seksual yang berhubungan dengan perubahan hormonal : hipogonadisme dan hiperprolaktinema h; Koping individu tidak efektif berhubungan dengan emosi yang labil 3; Rencana keperawatan f; Penurunan curah jantung yang berhubungan dengan perubahan kontraktilitas otot jantung a; Tujuan : klien mampu mempertahankan curah jantung yang adekuat b; Kriteria hasil : 1; Pulsasi nadi perifer kuat 2; Tekanan darah sistolik tidak lebih dari 120 mmHg 3; Denyut jantung 60-100 x/menit dengan irama yang teratur 4; Pengeluaran urine > 30 ml/hr 5; Kulit hangat dan kering 6; Kesadaran dalam batas normal. c; Intervensi 1; Auskultasi jantung adanya takikardi (denyut jantung lebih dari 100 x/menit, bradikardi : HR kurang dari 60x/mnt, dan adanya irama irreguler R : pengkajian pada pasien penting untuk mengetahui irama pada monitor EKG 2; Kaji adanya tanda penrunan cardiac out put : cepat, lambat, atau kekuatan pulsasi perifer, hipotensi, sinkope, napas pendek, nyeri dada, kelemahan, dan kelelahan R : toleransi pasien terhadap distritmia dan kebutuhan penanganan khusus merupakan dasar dari manifestasi klinis adanya penurunan curah jantung 3; Tentukan akut atau kronis distritmia R : distritmia persisten akan menentukan tipe dari terapi yang dibutuhkan untuk mengembalikan irama sinus normal atau mengontrol distritmia untuk mempertahankan curah jantung yang adekuat 4; Kaji riwayat faktor penyebab 13 R : distritmia yang disebabkan oleh kegagalan jantung sulit untuk disembuhkan. Gaya hidup seperti merokok, minum kopi, dan emosi akan mestimulasi distritmia 5; Jika pasien terpasang monitor EKG tentukan tipe distritmia, sinus bradikardi, blok jantung derajat 2 atau 3, atrial fluter atau fibrilasi, ventricular takikardi R : kemampuan untuk mengenali distritmia menentukan terapi yang lebih cepat dan tepat 6; Evaluasi lead monitor yang menampilkan gelombang P yang mencolok di lead II, V1 R : Lead tersebut membedakan atrial dan ventrikular distritmia 7; Kaji kebutuhan melalui jalur IV R : IV line memberikan akses segera untuk pemberian medikasi 8; Monitor respon pasien terhadap aktivitas dengan hati – hati R : pasien dengan distritmia akan mengalami perubahan tanda vital sebagai respon terhadap aktivitas 9; Monitor adanya efek samping terhadap pemberian medikasi R : medikasi yang dirsepkan untuk mengobati distritmia bersifat proaritmiogenic 10; Berikan terapi oksigen sesuai yang diinstruksikan R : oksigen menurunkan iritabilitas sel miokardial dan akan memperbaiki hipoksia penyebab distritmia 11; Jika pasien mengalami distritmia akut lakukan EKG secepatnya R : EKG memberikan informasi untuk mendiagnosa tipe distritmia. EKG sebaiknya dilakukan sebelum pasien kembali ke ritme semula 12; Antisipasi terapi spesifik berdasarkan identifikasi distritmia R : pengetahuan spesifik tentang masalah irama penting untuk mengantisipasi pengobatan yang tepat dan akurat DAFTAR PUSTAKA Bradero, Dayrit, dan Siswadi. 2009. Seri Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Endokrin. Jakarta : EGC. 14 Bulechek, G.M., Butcher H.K., Dochterman J.N, 2008, Nursing Intervention Clasification (NIC), Mosby Elsevier, Oxford Gracia Y.V. Daimboa & Agung Pranoto. 2006. Artikel Tatalaksana seorang penderita gigantisme dengan Makroadenoma hipofisis dan diabetes mellitus. Guyton & Hall. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran edk 11. Jakarta : EGC Herdman, T.H. 2012. NANDA I Nursing Diagnosis : Difinition and Clasification 2012-2014 Mosby Elsevier, St Louis Kowalak, Jenifer P. 2011. Buku Ajar Patofisiologi. Alih Bahasa Andry Hartono. Jakarta : EGC Moorhead, S. et al,. 2008. Nursing Outcome Clasification (NOC), Mosby Elsevier, St Louis Price, et al. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis-Proses Penyakit. Edisi 6 Volume 2. Jakarta : EGC Robbins, Staney, Khumar, Vinnay, Cotran, & Ramzi . 2007. Buku Ajar Patologi edk 2 vol 2. Jakarta : EGC Rahmat, Cahyanur & Pradana Soewondo. 2010. Acromegaly Majalah Kedokteran Indonesia Vol 60 Rubenstein, David, David Wayne, dan John Bradley. 2007. Kedokteran Klinis Edisi 6. Alih Bahasa Annisa Rahmalia. Jakarta : Erlangga Smeltzer, Suzanne dan Breda G. Bare. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8. Jakarta : EGC 15 Wilkinson & Nancy, 2011, Buku Saku Diagnosa keperawatan: Diagnosa NANDA,Intervensi Nic, Kriteria Hasil NOC, Alih bahasa Esty Wahyuningsih. Jakarta : EGC 16