PERAN KERJASAMA INTERNASIONAL DALAM PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN CYBERCRIME KHUSUSNYA CYBERPORNOGRAPHY DR. I.B.R. SUPANCANA CHAIRMAN/FOUNDER CENTER FOR REGULATORY RESEARCH Semarang, 6 – Juni 2007 SISTEMATIKA I. II. PENGANTAR KARAKTERISTIK CYBERCRIME DAN TANTANGAN PENGATURAN SERTA PENEGAKAN HUKUMNYA III. KERJASAMA INTERNASIONAL DALAM PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN CYBERCRIME IV. PENUTUP I. PENGANTAR I.A. Fakta dan Data tentang Perkembangan Cybercrime 1. Laporan Computer Associate (CA) Memetakan 7 (tujuh pola serangan yang berpotensi mengancam internet pada tahun 2007. 2. Laporan Federal Trade Commission (FTC) 670.000 kasus fraud dan identity theft tahun 2006 dengan kerugian US $ 1,2 billion. 3. Laporan tengah tahunan Suternet Security Threat Report 157.000 pesan phising unik tahun 2006 dengan kenaikan 81% dibandingkan 2005 4. Laporan AT&T Inc. 19.000 data konsumen terkena serangan hacker I.A Fakta dan Data Cybercrime (Lanjutan) Cyberpornography di Indonesia 1. Menurut Save the Indonesian Children Alliance (ASA), anak-anak sangat mudah mengakses adult materials karena kurangnya regulasi sektor ICT 2. Hasil survey Yayasan Kita dan Buah Hati terhadap 1.705 anak di Jabodetabek menunjukkan 80% anak-anak usia 9-12 tahun telah melihat pornographic material melalui internet dan disk 3. Hasil Survey Jejak kaki Internet Protection mengidentifikasi 27% anak telah mengakses situs porno di Web, 97% diantaranya tahu cara mengaksesnya dan 67% menyatakan jika ada kesempatan akan mengakses cyberporn 4. Di Indonesia ada 30 website baru per-hari yang mengandung pornography, selain yang sudah ada yang berjumlah sekitar 1100 buah. I.B. Ruang Lingkup Cybercrime (luas) 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. Penyiaran Kesusilaan Telematika Hak Kekayaan Intelektual (HKI) Perpajakan Privasi Perdagangan dan Keuangan Terorisme dan lain-lain Lanjutan Ruang Lingkup Cybercrime (sempit) Kejahatan yang berkaitan dengan keamanan komputer dan sistem database Kejahatan yang berkaitan dengan komputer Kejahatan yang berkaitan dengan “Content” Kejahatan yang berkaitan dengan pelanggaran hak cipta & hak-hak lainnya I.C. Cyberpornography sebagai bagian dari cybercrime 1. Batasan pornography 2. Pornography di internet 3. Perbedaan cyberporography dengan pornography lainnya 4. Tantangan yang dihadapi dalam permasalahan cyberpornography, khususnya childpornography I.C.4 Tantangan yang dihadapi dalam permasalahan Cyberpornography, khususnya Childpornography We take steps to ensure that we can obtain evidence necessary to identify child pornographers We must respect the right to privacy and laws protecting it and use proper legal process to obtain data, but we must also make sure that such laws are not so strict that effective enforcement is not possible We must work together, hotlines, law enforcer and private industry We must work together to educate our citizens and consumers about tools and other resources to filter and protect children from harmful content II. KARAKTERISTIK CYBERCRIME DAN TANTANGAN PENGATURAN SERTA PENEGAKAN HUKUMNYA II.A. KARAKTERISTIK CYBERCRIME 1. Bersifat Lintas Batas Nasional (Transnasional) 2. Sifat Anonimity II.A.1 Sifat Transnasional Cybercrime “….Computer related crimes are international in nature, and that important public safety issues must be considered as we work to harness the internet’s power to communicate, engage in commerce and expand people’s educations opportunities across the Globe. Our success in securing our network depend on our ability to develop a coordinated response to criminal activities on our computer system “ Kevin Di Gregory, “Fighting Cybercrime- what are the Challenges Facing Europe”, remarks at meeting before The European Parliament, Sept 19, 2000 Karakteristik Transnational Crime It is committed in more than one State It is Committed in one State but a substantial part of its preparation, planning, direction or control takes place in another State It is committed in one State but involves an organized criminal group that engages in criminal activities in more than one State It is committed in one State but has substantial effects in another State (Article 3.2UN Convention against Transnational Organized Crime) II.A.2 Sifat Anonimity Orang tetap dapat berkomunikasi secara on-line, sementara menyembunyikan identitas yang sebenarnya Sifat anonimity dapat menciptakan hambatan teknis dalam penelusuran pelaku cybercrime II.B. Tantangan Pengaturan dan Pencegahan Hukumnya 1. Permasalahan Yurisdiksi 2. Permasalahan Penetapan Lokasi dan Identifikasi cybercriminals 3. Permasalahan Pengumpulan Alat Bukti 4. Permasalahan Perlindungan Infrastruktur II.B.1 Permasalahan Yurisdiksi Power to legislate Power to hear and adjudicate Subject matter jurisdiction Personal jurisdiction Forum convenience and forum nonconvenience Governing law or choice of law Enforcement of Judgement II.B. 2 Permasalahan Penetapan Lokasi dan Identifikasi Cybercriminals Divested and Diverse Environment Wireless and Satellite Communication Difficulties in real time tracing Technical infrastructure and data retention Anonimity of Internet Connection II.B.3 Permasalahan Pengumpulan Alat Bukti Kesulitan pengumpulan dan penelusuran alat bukti yang berkaitan dengan kapasitas data yang sangat besar Perlunya ahli forensik yang memahami konfigurasi hardware dan software untuk menemukan informasi Kesulitan akses terhadap alat bukti yang diperlukan dalamhal komputer tersebut dienkripsi II.B.4 Kesulitan dalam Merespons Ancaman terhadap Infrastruktur Informasi Adanya pandangan yang berbeda-beda tentang tingkat kerentanannya Kebutuhan untuk menyeimbangkan berbagai kepentingan seperti privasi, daya saing ekonomi, resiko komersial, keamanan nasional dan masalah penegakan hukum Kemungkinan tumpang tindihnya kewenangan diantara instansi yang terkait dengan infrastruktur informasi III. KERJASAMA INTERNASIONAL DALAM PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN CYBERCRIME III.A. Harmonisasi Ketentuan Hukum Nasional dengan Instrumen Hukum Internasional terkait 1. Instrumen Internasional terkait a. Council of Europe Convention on Cybercrime of 2001 b. Instrumen-instrumen terkait dari OECD c. Instrumen-instrumen terkait dari G-8 d. UN Convention against Transnational Organized Crime III.A.1.a Pengaturan Kerjasama Internasional dalam European Convention on Cybercrime Prinsip-prinsip umum (General Principles) * Prinsip-prinsip umum Kerjasama Internasional * Prinsip-prinsip yang berkaitan dengan Ekstradisi * Prinsip-prinsip yang berkaitan dengan Mutual Assistance * Tata cara yang berkaitan dengan bantuan timbal balik dalam hal tidak adanya perjanjian internasional yang berlaku Ketentuan-ketentuan Khusus (Specific Provisions) * Mutual assistance regarding provisional measures * Mutual assistance regarding investigative Powers * 24/7 Network III.A.1.b OECD Guidelines and Initiatives Guidelines for the Security of Information System and Network Toward a Culture of Society of 2002 OECD-APEC Global Forum: Policy Framework for the Digital Economy, 2003 OECD Working Party on Information Security and Privacy OECD Guidelines for Cryptography Policy of 1996 III.A.1.c G-8 Legal Instruments G-8 Principles and Action Plan to Combat Computer Related Crime Tujuan yang hendak dicapai dalam konteks Kerjasama Internasional adalah untuk menghilangkan hambatan pada rejim kerjasama internasional dengan cara: - Pendekatan atas isu dual criminality secara fleksibel - Menjamin sanksi pidana yang setimpal bagi serious computer abuse - Memperluas kerjasama dalam Multijurisdictional Cases - Meningkatkan kemampuan untuk memperoleh kesaksian dari saksi yang berada di luar negeri - Mengintensifkan penggunaan Video link technology sebagai alat untuk mengamankan kesaksian atau pernyataan dari saksi yang berada di luar negeri - Menjamin penyitaan dan sharing atas aset yang diperoleh melalui kejahatan III.A.1.d UN Convention against Transnational Organized Crime Ketentuan-ketentuan penting dalam konteks Kerjasama Internasional: - Prinsip-prinsip kerjasama internasional, yaitu “sovereign equality” dan “territorial integrity” - Kriminalisasi terhadap tindak pidana yang melibatkan “organized criminal group” - Kriminalisasi tindak pidana pencucian uang, termasuk “cyberlaundering” - Kerjasama internasional dalam melakukan penyitaan - Masalah ekstradisi - Bantuan timbal balik dalam masalah pidana - Langkah-langkah kerjasama internasional diantara lembaga-lembaga penegak hukum - Penyerahan terpidana - Dan lain-lain III.A. 2. Pengembangan Hukum Nasional yang berstandar Internasional a. Mengadopsi Ketentuan-ketentuan Internasional yang relevan b. Merumuskan aturan nasional yang memperhatikan “common practices” dan “best practices” secara internasional III.B. Aspek Kerjasama dalam Penegakan Hukum 1. Masalah Ekstradisi 2. Masalah Bantuan Hukum Timbal Balik dalam Bidang Pidana III.B.1 Masalah Ekstradisi Memasukkan cybercrime sebagai extraditable offences Memperluas daftar kejahatan yang dapat diekstradisikan Perlunya revisi Undang-undang tentang Ekstradisi III.B.2 Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana Pemberian pengakuan hukum terhadap pernyataan dan dokumen yang berwujud rekaman elektronik Bantuan timbal balik yang diberikan meliputi seluruh proses dari investigasi, penuntutan hingga pemeriksaan di pengadilan Bantuan timbal balik meliputi: untuk mencari atau mengidentifikasi orang; untuk mendapatkan alat bukti; untuk mengupayakan kehadiran orang; bantuan penyampaian surat; menindaklanjuti putusan pengadilan; bantuan untuk permintaan dikeluarkannya Surat Perintah di negara asing dalam mendapatkan alat bukti III.C. Kerjasama dalam Pencegahan dan Penanggulangan Cyberpornography 1. Pentingnya Kerjasama Internasional Pencegahan dan Penanggulangan Cyberpornography, khususnya Childpornography 2. Langkah-langkah yang direkomendasikan III.C.2 Kerjasama Internasional yang Direkomendasikan dalam Pencegahan dan Penanggulangan Cyberpornography, khususnya Child Pornography Upaya kriminalisasi terhadap cyberpornography Perlunya pemahaman yang sama mengenai pengertian dan cakupan cyberpornography Fasilitasi upaya penegak hukum , termasuk Interpol Standardisasi upaya-upaya pencegahan Interaksi lebih intens antara “central authority” dalam rangka pencegahan dan penanggulangan “cyberpornography” Mengefektifkan proses ekstradisi bagi “cyberpornography criminals” Mengembangkan tata cara discovery dan investigasi Mengoptimalkan bantuan timbal balik dalam masalah pidana, khususnya “cyberpornography” Upaya mengatasi “conflict of laws” IV. PENUTUP A. Peningkatan kuantitas, intensitas, kualitas dan modus operandi cybercrime menimbulkan berbagai persoalan baru dalam upaya pencegahan dan penanggulangannya. B. Cyberpornography sebagai salah satu bentuk cybercrime dan terutama childpornography memerlukan perhatian khusus guna melindungi akhlak masyarakat pada umumnya dan khususnya masa depan anak-anak sebagai generasi penerus bangsa. C. Dengan memperhatikan karakteristik serta perkembangan cybercrime yang berlangsung, maka kerjasama internasional dalam upaya pencegahan dan penanggulangannya merupakan suatu keharusan mutlak. D. Peningkatan kerjasama internasional dalam pencegahan dan penanggulangan cybercrime serta cyberpornography dilaksanakan berdasarkan mekanisme dan best practices yang berlaku dalam tataran internasional, regional dan bilateral dengan memperhatikan sumber-sumber hukum yang terkait. E. Dalam upaya meningkat efektifitas kerjasama internasional, maka bagi Indonesia diperlukan upaya pelembagaan legislasi nasional yang memenuhi standard internasional, baik dari segi cakupan materinya maupun tata caranya guna mempermudah kerjasama yang dilakukan. F. Perlu dilakukan harmonisasi antara legislasi nasional yang berkaitan dengan cybercrime dan cyberpornograhy dengan aturan-aturan yang berlaku, baik pada tataran nasional maupun internasional.