REFERAT AMOEBIASIS HEPAR BLOK TROPICAL MEDICINE Pembimbing: dr. Dwi Adi Nugroho Kelompok 6 Eviyanti Ratna S. G1A010063 Meta Mukhsinina P. G1A010064 Mey Harsanti G1A010065 Nurvynda Pratiwi G1A010066 Agista Khoirul M. G1A010067 Atep Lutpia P. G1A010069 Mochamad Riski K. G1A010071 Sarah Shafira A. G1A010072 Yuni Purwati G1A010059 KEMENTRIAN PENDIDIKAN NASIONAL UNIVERSITAS JENDRAL SOEDIRMAN FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN JURUSAN KEDOKTERAN PURWOKERTO 2013 1 KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas pertolongan-Nya kami dapat menyelesaikan tugas referat yang berjudul AMOEBIASIS HEPAR ini tepat pada waktunya. Penulisan referat ini bertujuan meningkatkan pengetahuan mahasiswa mengenai salah satu penyakit yang berkaitan dengan kondisi tropis. Kami mengucapkan terima kasih kepada: 1. dr. Dwi Adi Nugroho selaku dosen pembimbing yang telah berkenan membimbing kami selama proses penyusunan laporan referat ini. 2. Seluruh dosen dan staf pengajar Jurusan Kedokteran, Universitas Jenderal Soedirman khususnya kepada dosen dan pengajar blok Tropical Medicine. 3. Orang tua yang telah membantu dalam bentuk dana dan doa. 4. Teman-teman angkatan 2010. 5. Semua pihak yang telah memberikan bantuan, sehingga laporan referat ini bisa diselesaikan. Kami sadar bahwa dalam penulisan referat ini masih jauh dari sempurna dikarenakan ini merupakan referat pertama yang kami susun. Namun, referat ini dapat membantu terutama dalam kasus medis amoebiasis. Walaupun demikian, “tiada gading yang tak retak” sehingga kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar penyusunan laporan referat ini bisa mencapai sempurna. Kami berharap, semoga referat ini dapat bermanfaat bagi pembaca maupun penyusun. Purwokerto, September 2013 Penyusun 2 DAFTAR ISI Halaman judul.........................................................................................................1 Kata pengantar................................................................................................2 Daftar isi........................................................................................................3 Pendahuluan...................................................................................................4 Tinjauan pustaka.............................................................................................5 Pembahasan...................................................................................................16 Kesimpulan....................................................................................................18 Daftar pustaka...............................................................................................19 3 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Amoebiasis hepar merupakan komplikasi ekstra intestinal dari infeksi Entamoeba hystolitica. Penyakit ini masih sering dijumpai terutama di negara tropis. Dahulu penyakit ini lebih dikenal sebagai abese tropik, karena disangka hanya terdapat di daerah tropik atau subtropik saja. Ternyata hal tersebut tidaklah benar, karena kemudian ditemukan juga tersebar di seluruh dunia (Hadi, 2002). Entamoeba hystolitica sangat endemis di daerah India, Afrika, Meksiko, Amerika Selatan dan Tengah, dan Asia. Penularan terjadi melalui rute fekal-oral, dan status sosio-ekonomi yang lebih rendah dengan sanitasi yang tidak layak merupakan faktor predisposisi terhadap infeksi. Praktik seksual oral-anal dan penyakit psikiatrik atau retardasi mental telah ditetapkan sebagai faktor risiko. Perjalanan atau imigrasi dari wilayah endemik sering kali menjadi faktor yang menyebabkan orang-orang di negara maju terinfeksi oleh parasit ini (Cook, 2002). Insidensi amoebiasis hepar terutama terdapat di negara tropik dan subtropik dengan sanitasi yang masih buruk seperti India, Pakistan, Indonesia, Asia Afrika, dan Meksiko. Penyakit ini lebih sering ditemukan pada orang dewasa pria daripada wanita dengan perbandingan 4:1. Pada kurang lebih 5% penderita amoebiasis timbul komplikasi pada hati (Hadi, 2002). B. Tujuan 1. Mahasiswa dapat mengetahui definisi, penyebab, juga tanda dan gejala Amoebiasis Hepar. 2. Mahasiswa dapat mengetahui struktur organ secara fisiologis, anatomi, dan histologi dari hepar. 3. Mahasiswa dapat mengetahui patofisiologis dan patogenesis Amoebiasis Hepar. 4. Mahasiswa dapat mengetahui pemeriksaan penunjang untuk penegakkan diagnosis Amoebiasis Hepar. 5. Mahasiswa dapat mengetahui prognosis dan terapi Amoebiasis Hepar. 4 TINJAUAN PUSTAKA A. Definisi Abses hati adalah bentuk infeksi pada hati yang disebabkan karena infeksi bakteri, parasit, jamur maupun nekbrosis steril yang bersumber dari sistem gastrointestinal yang ditandai dengan adanya proses supurasi dengan pembentukan pus di dalam parenkim hati (Price, 2006). B. Etiologi Abses hati dibagi atas dua secara umum, yaitu abses hati amoeba dan abses hati pyogenik. 1. Abses hati amoeba Didapatkan beberapa spesies amoeba yang dapat hidup sebgai parasit non patogen dalam mulut dan usus, tapi hanya Enteremoeba histolytica yang dapat menyebabkan penyakit. Hanya sebagian individu yang terinfeksi Enteremoeba histolytica yang memberi gejala invasif, sehingga di duga ada dua jenis E. Histolytica yaitu starin patogen dan non patogen. Bervariasinya virulensi strain ini berbeda berdasarkan kemampuannya menimbulkan lesi pada hepar (Sudoyo, 2006). E.histolytica di dlam feces dapat di temukan dalam dua bentuk vegetatif atau tropozoit dan bentuk kista yang bisa bertahan hidup di luar tuibuh manusia. Kista dewasa berukuran 10-20 mikron, resisten terhadap suasana kering dan asam. Bentuk tropozoit akan mati dalam suasana kering dan asam. Trofozoit besar sangat aktif bergerak, mampu memangsa eritrosit, mengandung protease yaitu hialuronidase dan mukopolisakaridase yang mampu mengakibatkan destruksi jaringan (Sudoyo, 2006). 2. Abses hati piogenik Infeksi terutama disebabkan oleh kuman gram negatif dan penyebab yang terbanyak adalah E.coli. Selain itu, penyebabnya juga adalah streptococcus faecalis, Proteus vulgaris, dan Salmonellla Typhi. Dapat pula bakteri anaerob seperti bakteroides, aerobakteria, akttinomesis, dan streptococcus anaerob. 5 Untuk penetapannya perlu dilakukan biakan darah, pus, empedu, dan swab secara anaerob maupun aerob (Sudoyo, 2006). C. Morfologi Entamoeba Amuba ini memiliki bentuk tropozoid dan kista. Bentuk tropozoid memiliki ciriciri (Brotowidjoyo,1987): 1. 10-60 mikron 2. Sitoplasma bergranuler dan memiliki eritrosit yang merupakan penanda penting untuk diagnosisnya 3. Terdapat inti pada entamubadi tandai dengan kromosom padat,yang terletak di tengah inti serta kromatin yang tersebar dipinggir inti 4. Bergerak progresif dengan alat gerak ektoplasma yang lebar disebut psudopodia. Kista memiliki ciri-ciri (Brotowidjoyo,1987): 1. Bentuk memadat mendekati bulat ukuran 10-20mikron 2. Kista matang memiliki 4 buah inti entamuba 3. Tidak di jumpailagi eritrosit di dalam sitoplasmanya 4. Kista yang belom matang memiliki glikogen,berbentuk seperti cerutu namun biasanya menghilag setelah kista matang. D. Daur Hidup Entamoeba Daur hidup E. histolytica sangat sederhana, dimana parasit ini di dalam usus besar akan memperbanyak diri. Dari sebuah kista akan terbentuk 8 tropozoit yang apabila tinja dalam usus besar konsistensinya padat maka, tropozoit langsung akan terbentuk menjadi kista dan dikeluarkan bersama tinja, sementara apabila konsistensinya cair maka, pembentukan kista terjadi diluar tubuh. (Brotowidjoyo,1987). Amoebiasis terdapat diseluruh dunia (kosmopolit) terutama didaerah tropik dan daerah beriklim sedang. Dalam daur hidupya Entamoeba histolytica memiliki 3 stadium yaitu (Brotowidjoyo,1987): 1. Bentuk histolitika. 2. Bentuk minuta 3. bentuk kista 6 Bentuk histolitika dan bentuk minuta adalah bentuk trofozoit. Perbedaan antara kedua bentuk tropozoit tersebut adalah bahwa bentuk histolytika bersifat fatogen dan mempunyai ukuran yang lebih besar dari bentuk minuta. Bentuk histolitika berukuran 20 – 40 mikron, mempunyai inti entamoeba yang terdapat di endoplasma. Ektoplasma bening homogen terdapat di bagian tepi sel, dapat dilihat dengan nyata. Pseudopodium yang dibentuk dari ektoplasma, besar dan lebih seperti daun, di bentuk dengan mendadak, pergerakannya cepat. Endoplasma berbutir halus biasanya tidak mengandung bakteri atau sisa makanan, tetapi mengandung sel darah merah. Bentuk histolytica ini patogen dan dapat hidup dijaringan usus besar, hati, paru, otak, kulit dan vagina. Bentuk ini berkembang biak secara belah pasang di jaringan dan dapat merusak jaringan tersebut sesuai dengan nama spesiesnya. Entomoeba histolitica (histo= jaringan, lysis = hancur). Bentuk minuta adalah bentuk pokok esensial, tanpa bentuk minuta daur hidup tidak dapat berlangsung, besamya 10-20 mikron. Inti entamoeba terdapat di endoplasma yang berbutir-butir. Endoplasma tidak mengandung sel darah merah tetapi mengandung bakteri dan sisa makanan. Ektoplasma tidak nyata, hanya tampak bila membentuk pseudopodium. Pseudopodium dibentuk perlahan-lahan sehingga pergerakannya lambat. Bentuk minuta berkembang biak secara belah pasang dan hidup sebagai komensal di rongga usus besar, tetapi dapat berubah menjadi bentuk histolitika yang patogen. Bentuk kista dibentuk di rongga usus besar, besamya 10 -20 mikron, berbentuk bulat lonjong, mempunyai dinding kista dan ada inti entamoeba. Dalam tinja bentuk ini biasanya berinti 1 atau 2, kadangkadang terdapat yang berinti 2. Di endoplasma terdapat benda kromatoid yang besar, menyerupai lisong dan terdapat juga vakuol glikogen. Benda kromatoid dan vakuol glikogen dianggap sebagai makanan cadangan, karena itu terdapat pada kista muda. Pada kista matang, benda kromatoid dan vakuol glikogen biasanya tidak ada lagi. Bentuk kista ini tidak patogen, tetapi dapat merupakan bentuk infektif. Entamoeba histolytica biasanya hidup sebagai bentuk minuta di rongga ususbesar manusia, berkembang biak secara belah pasang, kemudian dapat membentuk dinding dan berubah menjadi bentuk kista. Kista dikeluarkan bersama tinja. Dengan adanya dinding kista, bentuk kista dapat bertahan terhadap pengaruh buruk di luar tubuh manusia (Brotowidjoyo,1987). 7 E. Manifestasi klinis Manifestasi klinis pada amebiasis hepar dapat bermacam-macam. Gejala dapat timbul mendadak atau perlahan-lahan. Pada stadium akut gejalanya lebih nyata dan biasanya timbul dalam 2 minggu infeksi atau tertunda selama beberapa bulan. Mulainya dengan sedikit demi sedikit nyeri kolik perut dengan gerakan usus yang sering (6-8 gerakan/24 jam). Diare disertai dengan tenesmus dan tinja bercampur dengan darah dan cukup banyak mengandung lendir dengan sedikit leukosit. Demam hanya dikeluhkan oleh sebagian penderita dan berkeringat di malam hari. Rasa nyeri bagian perut kanan atas terasa seperti tertusuk dan panas. Selain itu pasien juga merasakan anoreksia, mual dan muntah, perasaan lemah dan penurunan berat badan (Sylvia, 2006). Dapat juga timbul rasa nyeri pada bagian dada kanan bawah akibat iritasi pada pleura diagfragma dan akhirnya dapat timbul tanda-tanda pleuritis. Rasa nyeri tersebut menjalar kepunggung atau scapula kanan. Selain itu juga dapat disertai batuk saat nyeri perut (Djaenudin, 2009). F. Patomekanisme Amebiasis hati disebabkan oleh entamoeba hystolitica. Hanya sebagian kecil individu yang terinfeksi E.hystolitica yang memberi gejala amebiasis invasif, sehingga ada dugaan ada 2 jenis E.hystolitica yaitu strain patogen dan non patogen. Bervariasinya virulensi berbagai strain E.hystolitica ini berbeda berdasarkan kemampuannya menimbulkan lesi pada hati. Patogenesis amebiasis hati belum dapat diketahi secara pasti. Ada beberapa mekanisme yang telah dikemukakan antara lain: faktor virulensi parasit yang menghasilkan toksin, ketidakseimbangan nutrisi, faktor resistensi parasit, imunodepresi pejamu, berubah-ubahnya antigen permukaan dan penurunan imunitas cell-mediated (Mansjoer, 2001). Secara singkat dapat dikemukakan 2 mekanisme( Mansjoer, 2001): 1. Strain E.hystolitica ada yang patogen dan non patogen. 8 2. Secara genetik E.hystolitica dapat menyebabkan invasi tetapi tergantung pada interaksi yang kompleks antara parasit dengan lingkungan saluran cerna terutama pada flora bakteri. Mekanisme terjadinya amebiasis hati: 1. penempelan E.hystolitica pada mukus usus. 2. pengerusakan sawar intestinal. 3. lisis sel epitel intestinal serta sel radang. Terjadinya supresi respons imun cellmediated yand disebabkan enzim atau toksin parasit, juga dapat karena penyakit tuberkulosis, malnutrisi, keganasan dll. 4. penyebaran ameba ke hati. Penyebaran ameba dari usus ke hati sebagian besar melalui vena porta. Terjadi fokus akumulasi neutrofil periportal yang disertai nekrosis dan infiltrasi granulomatosa. Lesi membesar, bersatu dan granuloma diganti dengan jaringan nekrotik. Bagian nekrotik ini dikelilingi kapsul tipis seperti jaringan fibrosa. Amebiasis hati ini dapat terjadi berbulan atau tahun setelah terjadinya amebiasis intestinal dan sekitar 50% amebiasis hati terjadi tanpa didahului riwayat disentri amebiasis. Masa inkubasi dapat terjadi dalam beberapa hari hingga beberapa bulan. E.histolytica terdapat dalam dua bentuk yaitu kista dan trofozoit yang bergerak. Penularan terjadi melalui bentuk kista yang tahan suasana asam. Di dalam lumen usus halus, dinding kista pecah mengeluarkan trofozoit yang akan menjadi dewasa dalam lumen kolon. Trofozoit menginvasi dinding usus dengan cara mengeluarkan enzim proteolitik, pelepasan bahan toksik menyebabkan reaksi inflamasi dan terjadi destruksi mukosa. Selanjutnya timbul ulkus dengan kedalaman mencapai submukosa atau lapisan muskularis, tepi ulkus menebal dan sedikit reaksi radang. Akibat invasi amuba ke dinding usus, timbul reaksi imunitas humoral dan imunitas cell-mediated amebisidal berupa makrofag lymphokineactivated serta limfosit sitotoksik CD8. Invasi yang mencapai lapisan muskularis dinding kolon dapat menimbulkan jaringan granulasi dan terbentuk massa yang disebut ameboma, sering terjadi di sekum atau kolon asenden (Sudoyo, 2006). 9 Skema bagan Terjadinya Amoebiasis hepar (Suzzane, 2001): (Bagan terjadinya amoebiasis hepar. Suzzane, 2001) Skema bagan Pengaruh abses hepar terhadap kebutuhan dasar manusia: (Bagan pengaruh abses hepar terhadap kebutuhan manusia. Suzzane, 2001) 10 G. Penegakan diagnosis Untuk diagnosis amoebiasis hati dapat dilihat dari Anamnesis, Pemeriksaan Fisik, dan Pemeriksaan Penunjang dan dapat digunakan menggunakan kriteria Sherlock, kriteria Ramachandran atau criteria Lamont dan Pooler (Grendel et al, 2003): 1. Anamnesis Gejalanya dapat berupa diare yang hilang-timbul dan sembelit, banyak buang gas (flatulensi) dan kram perut. Bila disentuh perut akan terasa nyeri dan tinja bisa mengandung darah serta lendir. Bisa terjadi demam ringan. 2. Pemeriksaan Fisik Pada pemeriksaan didapatkan penderita tampak kesakitan. Kalau jalan membungkuk ke depan kanan sambil memegang perut kanan atas yang sakit, badan teraba panas, hati membesar dan bengkak. Pada tempat abses teraba lembek dan nyeri tekan. Di bagian yang di tekan dengan satu jari terasa nyeri, berarti tempat tersebutlah tempatnya abses. Rasa nyeri tekan dengan satu jari mudah diketahui terutama bila letaknya di interkostal bawah lateral. Ini menunjukkan tanda Ludwig positif dan merupakan tanda khas abses hepatis. Lokalisasi abses yang terbanyak ialah di lobus kanan, jarang di lobus kiri. Batas paru-paru hati meninggi. Ikterus jarang sekali ditemukan. 3. Pemeriksaan Laboratorium Pada pemeriksaan tinja jarang sekali ditemukan ameba. Menurut beberapa kepustakaan ditemukan sekitar 4 – 10%. Ditemukannya ameba dalam tinja. Jumlah lekosit meninggi sekitar 10 - 20 ribu/mm3. Pada bentuk akut sering jumlah. Lekosit melebihi 16.000/mm3, sedang pada bentuk kronik terdapat sekitar 13.000/mm3. Tes faal hati menunjukkan batas-batas normal. Pada keadaan yang berat dapat ditemukan penurunan kadar albumin dan sedikit peninggian kadar globulin, dengan protein total dalam batas normal. 4. Pemeriksaan Rontgen Pada foto Toraks terlihat diafragma kanan meninggi. Apabila dengan pemeriksaan sinar tembus jelas Nampak bahwa diafragma kanan selain meninggi juga tak bergerak, bentuk diafragma melengkung ke atas atau 11 bagian tengah diafragma kanan meninggi, berarti adanya abses hati. Pada abses di lobus kiri hati, gambaran seperti tersebut di atas tidak nyata. Abses di lobus kiri hati sering memberikan penekanan pada lambung, yang dapat dilihat pada foto lambung dengan kontras barium. 5. Fotopolos abdomen Kelainan dapat berupa hepatomegali, gambaran ileus, gambaran udara bebas di atas hati 6. Ultrasonografi Gambaran ultrasonografi yaituakan terlihat suatu daerah kosong atau daerah sonolusen di hati dengan dinding ireguler. Bila intensitas atau gain ditinggikan, akan terlihat sedikit pengisian internal ekho. Cara pemeriksaan ultrasonografi ini mudah dikerjakan, tidak menimbulkan efek sampingan atau merusak jaringan. 7. Pemeriksaan serologi Menunjukkan sensitifitas yang tinggi terhadap kuman. Terdapat juga beberapa kriteria-kriteria yang bisa digunakan dalam menegakan diagnosis abses hepar, yaitu: 1. Kriteria Sherlock Gejala klinis yang timbul berupa hepatomegali yang nyeri tekan, respon baik terhadap obat amoebisid, leukositosis, peninggian diafragma kanan dan pergerakan yang kurang, aspirasi pus, pada USG didapatkan rongga dalam hati, dan tes hemaglutinasi positif. 2. Kriteria Ramachandran Diagnosis abses hepar dapat ditegakkan bila ditermukan minimal 3 hal sebagai berikut: hepatomegali yang nyeri, riwayat disentri, leukositosis, kelainan radiologis, respon terhadap terapi amoebisid. 3. Kriteria Lamont dan Pooler Diagnosis dapat ditegakkan bila ditemukan minimal 3 hal berikut: hepatomegali yang nyeri, kelainan hematologis, kelainan radiologis, pus 12 amoebik, tes serologik positif, kelainan sidikan hati, dan respon baik dengan terapi amoebisid. H. Gambaran Histopatologi Gambaran histopatologi menggambarkan area yang nekrosis dan kongesi vascular.Ada sedikit peradangan pada kontras dengan perpanjangan lesi tersebut. Amuba dapat ditemukan di lapisan permukaan ulkus atau di sekitarnya. Menyerang pembuluh darah kecil submukosa, tropozoit mendapatkan akses ke mesenterium superior dan menyebar keseluruh aliran darah. Lalu mencapai system portal dan menyebabkan mikroembolus dan infrak pembuluh darah kecil. Melawan komplemen mediasi, tropozoit lolos ke liver dan menyebabkan area tersebut nekrosisfokal (Salles, 2006). Amuba melisiskan neutrophil di tepilesi, pelepasan mediator dan menyebabkan kematian hepatosit, memperluas kerusakan sel hati yang jauh dan meningkatkan jumlah lesi kecil yang bergabung untuk mengembang ke lesi yang besar menjadi abses. Dalam cavitas berisikan eksudat dan bervariasi dalam warna, mulai dari krem-putih sampai coklat kotor dan merah muda. Hampir selalu steril, kecuali jika infeksi sekunder telah terjadi yang memungkinkan diagnosis banding dari abses piogenik. Amoeba dapat ditemukan di tepi lesi, tetapi jarang terdeteksi dalam pus atau dalam cavitas(Salles, 2006). 13 Gambar 1.Invasi submukosa oleh tropozoit. Lesi menyebar ke lateral membuat ulkus amebic berbentuk labu (Histopatology, UFPA, Araujo R.) I. Penatalaksanaan 1. Terapi Obat Abses hati ameba tanpa komplikasi lain dapatmenunjukan penyembuhan yang besar biladiterapi hanya dengan antiameba. Pengobatanyang dianjurkan adalah (Wijaya, 2004): a. Metronidazole Metronidazole merupakan derivat nitroimidazole. Dosis yang dianjurkan untuk kasus abses hati ameba adalah 3 x 750 mg per hari selama 7 – 10hari. Derivat nitroimidazole lainnya yang dapat digunakan adalah tinidazole dengan dosis 3 x 800mg perhari selama 5 hari. b. Dehydroemetine(DHE) Merupakan derivat diloxaninefuroate. Dosis yang direkomendasikan untuk mengatasi abses liver sebesar 3 x 500 mg per hari selama 10 hari. c. Chloroquin Dosis yang dianjurkan adalah 1 g/hari selama 2 hari dan di ikuti 500 mg/hari selama 20 hari. 2. Tindakan Aspirai terapeutik Apabila pengobatan medikamentosa dengan berbagai cara tersebut di atas tidak berhasil (72 jam) atau bila terapi dcngan metronidazol merupakan kontra indikasi seperti pada kehamilan, perlu dilakukan aspirasi (Thompson, 2003). 3. Drainase Perkutan Drainase perkutan abses dilakukan dengan tuntunan USG abdomen atau CT scan abdomen. Penyulit yang dapat terjadi: perdarahan, perforasi organ intra abdomen, infeksi, ataupun terjadi kesalahan dalam penempatan kateter untuk drainase (Thompson, 2003). 4. Drainase Bedah Pembedahan diindikasikan untuk penanganan abses yang tidak berhasil membaik dengan cara yang lebih konservatif. Juga diindikasikan untuk perdarahan yang jarang tcrjadi tetapi mengancam jiwa penderita, disertai atau tanpa adanya ruptur abses. Penderita dengan septikemia karena abses amuba 14 yangmengalami infeksi sekunder juga direncanakan untuk tindakan bedah, khususnya bila usaha dekompresi perkutan tidak berhasil. Laparoskopi juga di dahulukan untuk kemungkinan dalam mengevaluasi tcrjadinya ruptur abses amuba intraperitoneal (Thompson, 2003). Berdasarkan kesepakatan PEGI (Perhimpunan Endoskopi astrointestinal Indonesia) dan PPHI (Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia) dapat digunakan suatu algoritma berdasarkan diameter dari abses sebagai berikut (Andri, 2004): 1. Abses hati dengan diameter 1-5 cm: terapi medikamentosa bila respon negatif maka dilakukan aspirasi. 2. Abses hati dengan diameter 5-8 cm: terapi aspirasi berulang. 3. Abses hati dengan diameter ≥ 8cm: drainase perkutan J. Komplikasi Komplikasi yang paling sering adalah berupa rupture abses sebesar 5 – 15,6%, perforasi abses keberbagai organ tubuh seperti ke pleura, paru, pericardium, usus, intraperitoneal atau kulit. Kadang-kadang dapat terjadi superinfeksi, terutama setelah aspirasi atau drainase (Rasjid, 2004). K. Prognosis Prognosis dari abses hati dipangaruhi oleh beberapa hal sebagai berikut (Friedman, 2003): 1. Virulensi parasit. 2. Status imunitas dan keadaan nutrisi. 3. Usia penderita, prognosis akan baik bila usia dewasa muda. 4. Cara timbulnya penyakit serta letak dan jumlah abses, prognosis akan memburuk bila terjadi abses di lobus kiri atau multiple. 15 PEMBAHASAN Entamoba histolytica adalah penyebab infeksi parasite yang paling umum di negara tropis. Abses hati yang disebabkan oleh amoeba merupakan masalah penting di Negara yang beriklim tropis karena menyumbang angka kesakitan dan tingginya jumlah penerimaan pasien di rumah sakit. Abses hati adalah suatu rongga supuratif dalam hati yang dihasilkan dari invasi dan multiplikasi mikroorganisme yang masuk melalui pembuluh darah. Abses hati dapat menyebabkan kematian jika pengobatan yang dilakukan tidak tepat dan tidak adekuat. Pengobatan standar abses hati adalah dengan terapi medikasi antibiotik. Penggunaan jarum aspirasi dapat digunakan sebagai terapi tambahan. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Rustam Khan, Saeed Hamid, Shahab Abid dkk tahun 2008, menyebutkan bahwa penggunaan aspirasi jarum dapat meningkatkan respon terhadap pengobatan antibiotik, mengurangi lama waktu perawatan di rumah sakit dan total biaya perawatan (Khan et al, 2008). Kemajuan terbaru dalam bidang radiologi, sonografi dan tomografi scanning komputerisasi perut menyebabkan diagnosis dini dan pengobatan pasien akibat abses hati menunjukan hasil yang cukup baik. Pengobatan utama abses hati adalah dengan terapi medikamentosa. Jika pengobatan medikamentosa gagal dilakukan, maka pilihan terapi adalah dengan aspirasi jarum atau kateter drainase. Meskipun aspirasi jarum dipandu oleh USG (ultrasonografi), tetapi tindakan ini merupakan suatu tindakan invasif yang dilakukan pada organ yang sangat vaskuler sehingga dapat beresiko terjadinya komplikasi berupa perdarahan. Oleh karena itu, aspirasi jarum masih menjadi isu yang diperdebatkan untuk pengobatan abses hati. Pengobatan abses hati dengan drainase kateter telah banyak digunakan dan dilaporkan tingkat keberhasilannya mencapai 70-100%. Sebuah studi yang dilakukan oleh Yu SCH, Ho SSM, Lau WY, et al tahun 2004 mengklaim bahwa aspirasi jarum sifatnya lebih sederhana, lebih murah dan sama efektifnya dengan drainase subkutan (SCH, 2004). Sebuah penelitian yang dilakukan oleh sukhjeet singh dkk tahun 2013, terhadap 60 responden dan dibagi menjadi 2 kelompok yaitu kelompok dengan catheter drainage (PCD) dan needle aspiration (PNA), menunjukan hasil yang cukup signifikan. Pada kelompok PNA yang terdiri dari 30 responden, 23 16 responden berhasil diobati dengan 9 diantaranya membutuhkan satu kali aspirasi 10 responden membutuhkan dua kali aspirasi, dan 4 pasien memerlukan tiga kali aspirasi. 7 dari 30 responden dinyatakan gagal karena tidak menunjukkan penurunan yang signifikan pada rongga abses bahkan setelah 3 kali aspirasi. Dari 7 responden yang gagal terapi PNA dilanjutkan dengan terapi PCD. 6 responden menunjukkan keberhasilan terapi sedangkan 1 responden tidak melanjutkan terapi PCD. Sedangkan pada kelompok yang dilakukan intervensi PCD menunjukan 30 responden berhasil diterapi. Keuntungan utama dari PNA dibandingkan dengan PCD yaitu: 1. PNA kurang inasif dan lebih murah dibandingkan PCD. 2. Dapat menghindari masalah yang berkaitan dengan komplikasi pemasangan kateter drainase seperti gangguan nyeri dan selulit didaerah pemasangan kateter (Singh, 2013). Tingkat keberhasilan PNA setelah aspirasi pertama 30%, setelah aspirasi kedua 63% dan setelah aspirasi ketiga 77%. Namun, pada prosedur PNA yang berulang kurang dapat diterima karena menyebabkan trauma yang tidak menyenangkan. Bahkan setelah aspirasi berulang tingkat keberhasilan jauh dari 100%. Oleh karena itu pasien yang gagal setelah aspirasi ketiga ditawarkan untuk melakukan PCD. Kelemahan dari aspirasi jarum adalah tidak mampu mengevaluasi kental dan tebalnya nanah yang terdapat pada abses. Kecepatan reakumulasi nanah juga dapat menjadi alasan kegagalan tindakan aspirasi jarum (Singh, 2013). Sedangkan keuntungan dari PCD adalah penempatan kateter drainase dapat menyediakan drainase terus menerus untuk nanah sehingga mencegah reakumulasi. Berdasarkan penelitian ini tidak ada laporan kekambuhan. Komplikasi yang dilaporkan dan kematian responden dari penelitian sebelumya juga tidak terbukti pada penelitian terbaru ini, selama prosedur yang dilakukan benar, selain itu kontaminasi bakteri juga tidak terjadi pada PCD. Namun dapat terjadi pada aspirasi jarum yang berulang (Singh, 2013). 17 KESIMPULAN 1. Amoebiasis hepar merupakan komplikasi ekstra intestinal dari infeksi Entamoeba hystolitica. 2. Untuk diagnosis amoebiasis hati dapat dilihat dari Anamnesis, Pemeriksaan Fisik, dan Pemeriksaan Penunjang. 3. Terapi yang dapat digunakan berupa terapi obat, tindakan aspirasi, drainase perkutan, dan drainase bedah 18 DAFTAR PUSTAKA Andri LA, Rasjid HA. 2004. Abses amuba pada hepar. DexaMedica 2004; 21-6 . Aru W, Sudoyo, dkk. 2006. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam, jilid 1 Edisi Empat. Balai Penerbitan FK-UI: jakarta Cook, G. C. 2002. Problem Gastroenterologi Daerah Tropis. Jakarta: EGC. Friedman SL, Quaid KR, Grendel JH. Infection of the liver, parasitic infection of the liver. Cur- rent, Diagnosis & Treatment in Gastroenterology. 2nd ed. New York: McGraw - Hill Companies, toe; 2003.p.586-7. Hadi, Sujono. 2002. Gastroenterologi. Bandung: Alumni. Mansjoer, Arief. 2001. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 1 Edisi Ketiga. Media Aesculapius: Jakarta. Halaman 512. Price, Sylvia a. 2006. Gangguan System Gastro Intestinal, dalam buku Patofiologi, Jilid 1, Penerbit Buku Kedokteran. Jakarta :EGC Rustam Khan, Saeed Hamid, Shahab Abid, et al. Predictive factors for early aspiration in liver abscess. World J Gastroenterol 2008 April 7; 14(13). Santoso M, Wijaya. 2004. Diagnostik dan penatalaksanaan abses amebiasis hati. DexaMedica Smeltzer, Suzanne C. Bare Brenda G. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal – Bedah Brunner &Suddarth, Edisi 8. Jakarta : EGC Sukhjeet Singh, Poras Chaudhary, Neeraj Saxena, Sachin Khandelwal, et al. Treatment of liver abscess: prospective randomized comparison of catheter drainage and needle aspiration. Ann Gastroenterol 2013; 26 (3): 1-8. Sylvia a. Price, 2006. Gangguan System Gastro Intestinal, dalam buku Patofisiologi Jilid 1 Penerbit Buku Kedokteran. Jakarta: EGC Thompson JE, Forlenza S, Verma R. 2003. Amebic liver abcess: a therapeutic approach. Rev Infection Diseases Yu SCH, Ho SSM, Lau WY, et al. Treatment of pyogenic liver abscess: prospective randomized comparison of catheter drainage and needle aspiration. Hepatology 2004;39:932-938. 19