Praktik Homoseksual di Pondok Pesantren

advertisement
Praktik Homoseksual di Pondok Pesantren
27 Februari 2010 Red Tinggalkan komentar Go to comments
Bila mendengar praktik homoseksual dikecam oleh para pemimpin agama, hal ini
mungkin sudah lumrah lagi bagi kebanyakan orang. Karena homoseks, seolah tidak
punya hak seksual sama sekali. Namun penelitian Iskandar Dzulkarnain, justru
menunjukkan bahwa dalam ruang-ruang tertentu, para santri agama Islam melakukan
praktik homoseksual ini. Thesis yang dirampungkan Iskandar di program sosiologi
Universitas Gadjah Mada, berjudul Perilaku Homoseksual di Pondok Pesantren, juga
menjadi bahan diskusi pada seminar bulanan GAYa NUSANTARA baru-baru ini.
Iskandar sempat mondok di dua pesantren di Sumenep, yang terkenal cukup kental keIslamannya. Salah satu pondok yang dikunjunginya adalah pesantren tradisional bernama
An-Naqiyah. Yang ditemukan di sana adalah, praktik homoseksual dengan mudah dapat
dijumpai dan bahkan dilakukan dengan cukup terbuka di dalamnya. Sedangkan pesantren
lain yang dikunjungi Iskandar adalah pondok modern, Al-Amanah. Di sini perilaku
homoseksual amat tertutup, tapi praktiknya masih dilakukan.
Pondok Pesantren An-Naqiyah dan perilaku
homoseksual
Kebanyakan pondok pesantren amat ketat membatasi pergaulan antara lawan jenis.
Kedekatan antara lelaki dan perempuan yang bukan muhrimnya dianggap tabu. Pondok
Pesantern An-Naqiyah di Sumenep tidak terkecuali. Menurut Iskandar, mereka
memisahkan setiap santri laki-laki dengan santri perempuan di dalam pondokannya,
bahkan para santri laki-laki tidak diperbolehkan sembarangan untuk memasuki wilayah
nyai-nyai atau putri para kiai.
Kamar-kamar di bagi para santri di pondokan ini lebih ditetapkan sesuai dengan
keinginan santri. Tapi, pada umumnya santri paling seniorlah yang menjadi ketua kamar
tersebut. Setiap kamar yang berukuran sekitar 5 x 5 meter, dijejali 20 hingga 30 orang.
Jadi, kamar itu fungsinya amat terbatas: hanya untuk beristirahat, menyimpan barang,
atau berganti pakaian. Kegiatan lainnya seperti belajar dan tidur biasa dilakukan di depan
kamar masing-masing atau di beranda masjid. Kamar mandi yang juga amat terbatas,
membuat para santri mempunyai kebiasaan untuk mandi bertelanjang bersama-sama. Di
sinilah keakraban sesama pria semakin menemukan lahannya. Obrolan, gurauan dan
diskusi terbuka tentang hasrat seksual para santri bukanlah hal yang aneh.
Lewat observasi, wawancara, atau percakapan sehari-hari dengan para penghuni pondok
ini, Iskandar menyimpulkan bahwa ada tiga pola relasi homoseksual di antara para
santri di pondok pesantren An-Naqiyah. Pertama: relasi dengan ikatan, kedua: relasi
tanpa ikatan, dan terakhir: relasi seksual untuk kenikmatan.
Pola relasi homoseksual dengan ikatan biasanya melibatkan santri senior dengan santri
yang baru saja mendaftar. Ketika baru masuk, beberapa pendaftar yang muda (berumur
12-13 tahun), telah diincar oleh santri yunior yang menerimanya. Seringkali di saat
pendaftaran itu, terjadilah kesepakatan di antara kedua santri tersebut. Biasanya kedua
santri tersebut akan menempati kamar yang sama, karena kesepakatan di antara mereka
untuk saling membantu, saling menjaga, dan saling memberi, dan saling mengasihi.
Santri senior dalam hal ini adalah ketua kamar yang disegani oleh penghuni kamar yang
lain, sehingga tidak ada santri-santri penghuni kamar lain yang berani melawannya.
Dalam kesehariannya kedua santri tersebut akan bersama, saling bergandengan ke
manapun mereka pergi. Dalam hubungan ini juga terdapat sistem kekuasaan yang tidak
setara, yaitu santri senior bertindak sebagai suami yang konvensional: ialah yang
menjaga, membimbing, memberi petuah, dan terkadang juga harus memberi nafkah.
Sedangkan santri yunior tersebut berlaku sebagai sosok istri yang menurut terhadap
suami, bersedia menemani dan melayani suami kapanpun dan di manapun, serta
memasak untuknya.
Biasanya hubungan ini dilakukan di kamar yang mereka tempati. Karena di kamar
tersebut santri senior menjadi ketua kamar, jadi ia mempunyai lebih banyak hak dari yang
lain. Dalam pola ini biasanya pasangan tersebut hanya saling memeluk, mencium,
meskipun tidak menutup kemungkinan lebih jauh. Dari wawancara Iskandar dengan
seorang santri senior, bahkan juga terjadi gesek-gesek alat kelamin ke paha atau bahkan
ke ketiak pasangannya. Pola ini juga tidak menutup kemungkinan terjadinya hubungan
dengan penetrasi anus. Begitu umumnya hubungan homoseksual ini di pesantren AnNaqiyah, sehingga para santri di pondok itu terkadang mengejek mereka yang tidak
mempunyai pasangan atau yang tidak melakukan hubungan homoseksual dengan santri
lainnya.
Di antara santri muda yang mendaftar, beberapa ada yang tahu kalau hubungan
homoseksual akan terjadi bila mereka masuk pesantren. Hal ini seperti sudah menjadi
pengetahuan umum di antara banyak santri, yang diturunkan pada lainnya. Tapi, karena
masyarakat semakin tertutup, terkadang hal ini tidak dibicarakan lagi dan menimbulkan
kekagetan pada santri baru.
Para santri senior ini akan mencari “sasarannya” pada malam hari. Yang dijadikan
“sasaran” kebanyakan adalah santri yunior yang sedang tidur. Santri senior biasanya
mengikuti santri yunior yang diincarnya dan kemudian tidur di dekat santri itu.
Kebiasaan para santri untuk tidur dengan sarung dan tidak menggunakan celana juga
menjadi faktor yang memudahkan hubungan ini. Biasanya santri yunior yang menjadi
sasaran, karena kesenioran sang pelaku bisa menekan kemarahan sang santri yunior
ketika mereka mengetahui telah menjadi “korban”.
Pola relasi homoseksual yang ketiga adalah seks untuk kenikmatan. Pada pola ini, tidak
dikenal istilah santri senior dengan santri yunior. Karena relasi ini kebanyakan terjadi
antara para santri yang seangkatan, juga tidak menutup kemungkinan mereka yang
sekamar. Kesempatan yang terbatas bagi sesama santri yunior terkadang justru
menambah kegairahan seksual ketika melakukannya. Terkadang, mereka juga melakukan
berkelompok. Misalnya, santri yang lebih kalem, penakut dan penurut, untuk dijadikan
korban dalam pola relasi seksual untuk kenikmatan ini. Korban tersebut akan dipegang
beramai-ramai, dan kemudian salah satu dari kelompok santri tersebut yang melakukan
pemaksaan onani terhadap korban tersebut sampai ia mencapai klimaks.
Walau praktik homoseksual di dalam pondok ini cukup terbuka, biasanya mereka
enggan menceritakannya di luar lingkungan pesantren, karena kuatir akan stigma yang
ada. Beberapa dari santri itu memang masih mengakuinya tanpa ragu-ragu bila ditanya,
namun ada juga yang tidak mau mengakuinya.
Perilaku Homoseksual di Pondok Modern Al-Amanah
Institusi modern seringkali melakukan represi terhadap tubuh dan seksualitas. Pada masa
Orde Baru, tubuh manusia adalah salah satu sasaran utama kekuasaan yang ada: Ia harus
tunduk pada otoritas pemerintah sehingga mudah disetir untuk melakukan apa saja demi
keuntungan si penguasa. Institusi modern terkadang penuh dengan kemauan seperti ini,
seperti penjara dan rumah sakit jiwa. Ukuran kejahatan dan ketidak-warasan seringkali
tergantung pada kehendak sang penguasa saat itu. Pramoedya Ananta Toer-pun sempat
dijebloskan penjara dan bahkan dianggap gila pada masa Orde Baru. Perempuan yang
dianggap terlalu terbuka seksualitasnya juga akan dikecam habis-habisan, dan ini dapat
dilihat dari lahirnya Undang-undang anti pornografi.
Hal serupa dapat ditemui Iskandar Dzulkarnain di pondok pesantren yang dianggap
modern, Al-Amanah. Kedisiplinan merupakan hal yang sangat dikedepankan ketimbang
yang lain. Kontrol terhadap setiap perilaku santrinya amat kuat, dan pada akhirnya
memberi kuasa yang besar pada pemimpin institusi pondok pesantren tersebut.
Contohnya, pemimpin pondok pesantren Al-Amanah mempunyai kuasa untuk mengusir
para santri yang berperilaku tidak disiplin atau melanggar peraturan.
Secara seksualitas, para santri di Al-Amanah hampir sama dengan santri di An-Naqiyah,
yakni mereka hidup terpisah dari lawan jenisnya pada usia masa-masa pubertas, ketika
dorongan seksual atau libido mereka sedang kuat-kuatnya. Namun dengan kolotnya
peraturan yang ada di Al-Amanah menjadikannya sulit bagi para santri untuk
mengekspresikan gairah seksualitas mereka.
Pondok pesantren Al-Amanah adalah cerminan dari institusi modern yang telah
melahirkan homophobia dalam kehidupan sehari-hari. Perilaku sesama jenis ada dan tak
bisa dipungkiri di sana, namun harus dirahasiakan sebisa mungkin.
Diskusi dan pernyataan hadirin:
Pengakuan dari beberapa hadirin pun bermunculan sesudah presentasi Iskandar selesai.
Beberapa di sana yang sempat mondok di pesantren mengakui adanya hubungan seperti
ini. Bahkan salah satu dari menyatakan pernah berhubungan dengan seorang santri
senior, tapi kemudian santri ini tidak ragu-ragu mengecam perilaku homoseksual di
depan umum.
Mungkin ini juga salah satu ciri ke-modern-an kita. Yang karena merasa telah beradab
sehingga terkadang menyangkal adanya gairah seksualitas, dan menghubungkannya
dengan dunia kebinatangan (walaupun manusia sebenarnya bisa dikategorikan sebagai
hewan). Tapi, pada sisi yang lain, mereka masih mempunyai hasrat itu dan tidak bisa
menahannya. Lalu, diam-diam melakukannya di balik pintu.
Yang saya kritisi pada perilaku homoseksual di pesantren ini bukanlah
homoseksualitas itu sendiri, namun adanya relasi kekuasaan yang amat kuat di sana. Para
santri senior seakan mendapat dominasi kenikmatan, sedangkan yang yunior masih harus
menjadi sasaran atau bahkan korban mereka.
Begitu juga ketika para santri di pondok An-Naqiyah dengan sengaja memilih salah
seorang santri yang lebih kalem dan penurut untuk dipaksa beronani. Masih ada unsur
kekuasaan yang meraja lela di antara kenikmatan ini. Di pondok An-Naqiyah yang lebih
menekankan kesetaraan ketimbang disiplin yang memberi kekuasaan pada pemimpinnya,
masih ada hierarki dalam praktik seksualitas itu sendiri. Ketidak-mampuan para santri
yunior untuk marah ketika sadar bahwa mereka telah menjadi korban, merupakan wujud
penindasan tersendiri.
Mungkin, justru inilah yang perlu diperdebatkan kembali. Bahwa relasi kuasa bisa
berlapis-lapis adanya. Bahwa ia dapat terjadi tidak saja di dalam wacana ketertutupan,
namun juga keterbukaan seks. Bukan orientasi seksual dari praktik itu yang seharusnya
dipermasalahkan, selama yang bersangkutan melakukannya atas dasar saling suka dan
tidak ada tekanan sama sekali. Pendaftar baru dari pesantren itu tentunya merasa rikuh,
sungkan dan bahkan terintimidasi oleh santri senior, sehingga hubungan antar keduanya
patut dipertanyakan lebih jauh.
Bila keterbukaan itu ada, paling tidak masih ada celah, bagaimanapun kecilnya, untuk
mengungkap hal ini, karena ia masih disebutkan daripada ditiadakan sama sekali.
Sedangkan bila praktik itu dirahasiakan, maka para penguasalah yang menjadi semakin
mendapat angin karena ia bisa melakukan hampir apa saja, tanpa perlu membahasnya.
Keterbungkaman adalah hal yang amat menguntungan bagi sang penguasa. Bukankah
dalam masa Orde Baru, Soeharto begitu menggebu dengan menyensor apa saja, untuk
membungkan mulut rakyatnya? Bukankah dia yang begitu bernafsu menekankan
moralitas Pancasila dan mengharuskan anak-anak menghafalkannya, sedangkan ia sendiri
bisa melaksanakan kekejiannya dengan leluasa?
Oleh Soe Tjen Marching (Majalah Bhinneka, edisi 5 “Seks, Mengapa Tabu”)
http://annunaki.wordpress.com/2010/02/27/praktik-homoseksual-di-pondok-pesantren/
Homoseksualitas dan Buddhisme
Diarsipkan di bawah: Pemikiran Buddhis — Liu @ 11:44 pm
Tags: homoseksualitas dan Buddhisme, homoseksual buddhis, homoseksual, agama
buddha dan homoseksualitas
Homoseksualitas dan Buddhisme
Pendahuluan
Banyak dari kita yang mempertanyakan bagaimana agama Buddha memandang masalah
homoseksualitas yang belakangan ini menimbulkan pro dan kontra di berbagai belahan
dunia, khususnya Dunia Barat. Di Indonesia sendiri perdebatan mengenai masalah ini
belum besar. Sebagian mungkin masih bertanya-tanya, khususnya dari kalangan umat
Buddha. Tulisan ini dihadirkan guna memberikan penjelasan tentang Homoseksualitas,
sehingga diharapkan kita sebagai umat Buddha tidak langsung menghakimi kaum
homoseksual.
Tulisan saya ini sebagian besar mengacu pada tulisan A. L. De Silva yang berjudul
“Homosexuality and Theravada Buddhism”.
Willy Yandi Wijaya
Agustus 2007
Homoseksualitas dan Buddhisme
Di zaman modern ini, kita tentu tidak asing lagi mendengar kata “homoseksualitas”.
Istilah homoseksualitas mengacu pada daya tarik seksual antara orang yang berjenis
kelamin sama, bisa sesama pria ( disebut gay ) maupun sesama wanita ( lesbian ). Kata
“homoseks” sendiri mengacu pada hubungan seksual antara orang yang berjenis kelamin
sama.
Homoseksualitas bukanlah penyimpangan seksual. Masyarakat umum di Indonesia masih
banyak yang berpikir bahwa homoseksualitas adalah salah satu kelainan atau
penyimpangan seksual dan tidak alami. Kita tidak bisa mengatakan bahwa
homoseksualitas itu adalah suatu penyimpangan karena ketertarikan seksual sendiri (
orientasi seksual ) seseorang dipengaruhi oleh banyak faktor, terutama lingkungan.
Ketertarikan seksual seseorang sudah terbentuk sejak ia masih kecil, sehingga bisa saja
pengalaman masa kecil seseorang membuat orientasi seksualnya menjadi homoseksual
atau heteroseksual.
Kita juga tidak bisa mengatakan bahwa homoseksualitas itu tidak alami. Buktinya saat ini
terdapat banyak kaum homoseksual di berbagai negara, suku maupun ras. Artinya
memang alami terjadi pada masyarakat. Bahkan homoseksual telah ada sejak dahulu,
dapat kita temukan pada peradaban Yunani kuno. Di India sendiri ( zaman sang Buddha )
sudah ada kaum homoseksual yang feminis. Di dalam Vinaya ada dikatakan tipe orang
yang disebut sebagai “pandaka”. Di dalam Vinaya dikatakan bahwa seorang pandaka
tidak diperbolehkan ditahbiskan menjadi seorang Bhikkhu. Apabila secara tidak sengaja
telah ditahbiskan, orang tersebut akan dikeluarkan dari Sangha. Menurut penjelasan
kitab, hal itu disebabkan karena para pandaka tersebut penuh dengan nafsu dan keinginan
seksual. Kata “pandaka” sering diterjemahkan sebagai banci atau seorang homoseksual
yang berperilaku seperti wanita. Buddha sendiri sangat memahami akan sifat manusia
dan mengetahui bahwa para pandaka yang penuh nafsu seksual tersebut akan sangat sulit
menjalankan hidup selibat daripada seorang heteroseksual, sehingga tidak
memasukkannya sebagai anggota Sangha. Jadi istilah “pandaka” kemungkinan besar
bukan mengacu pada homoseksual secara umum, namun pada homoseksual yang
bertingkah laku seperti wanita dan penuh nafsu seksual. Di dalam Vinaya dinyatakan
dengan tegas bahwa seorang anggota Sangha dilarang berhubungan seksual, sehingga
pandaka yang dimaksud tersebut tidak diperbolehkan masuk dalam komunitas Sangha.
Di dalam Sutta Pali tidak disebutkan dengan tegas hal-hal yang berhubungan dengan
homoseksualitas sehingga kita dapat mengasumsikan bahwa hal-hal yang berhubungan
dengan homoseksualitas dapat kita telaah dengan cara yang sama seperti terhadap
heteroseksual. Dalam kehidupan umat Buddha awam antara pria dan wanita, dimana ada
kesepakatan bersama dan tidak adanya penyelewengan, dimana hubungan seksual adalah
sebuah ungkapan cinta, rasa hormat, kehangatan dan kesetiaan, maka mereka tidak
melanggar sila ke tiga Pancasila Buddhis. Begitu pula untuk dua orang yang berjenis
kelamin sama yang saling menyukai. Selama mereka saling setia dan menghormat, tidak
melakukan penyelewengan, itu berarti tidak melanggar sila ke tiga Pancasila Buddhis.
Perlu kita pahami bahwa nafsu seksual atau libido seorang homoseksual tidak berbeda
dengan seorang heteroseksual —hanya orientasi seksualnya yang berbeda.
Agama Buddha tidak seperti agama lain dalam memandang homoseksualitas. Di banyak
agama, homoseksualitas dipandang sebagai sesuatu yang buruk yang tidak seharusnya
ada. Ajaran Buddha dalam melihat segala hal selalu berdasarkan banyak pertimbangan.
Tidak secara mutlak menghakimi suatu hal itu baik atau buruk, benar atau salah. Di
dalam etika Buddhisme landasan berpikirnya adalah berdasarkan kebijaksanaan dan
welas asih, bukan tradisi, tabu maupun tahayul yang berkembang dalam masyarakat. Jadi
dalam melihat berbagai hal yang menyangkut tentang homoseksualitas, sebagai umat
Buddha, kita perlu mempertimbangkan banyak hal sebelum memutuskan.
Untuk mengetahui etika seksualitas dalam ajaran Buddha, kita dapat menemukan dalam
Pancasila Buddhis sila ke tiga yakni menghindari perilaku seksual yang tidak wajar.
Memakai tipu muslihat, pemerasan atau paksaan kepada seseorang untuk melakukan
hubungan intim dengan kita adalah perilaku seksual yang tidak wajar (salah). Perzinahan
merupakan suatu bentuk perilaku yang tidak wajar karena sebelum menikah seseorang
sudah berjanji setia dengan pasangan hidupnya. Lebih lanjut, di dalam Anggutara Nikaya
V:266 disebutkan bahwa berhubungan seksual dengan anak di bawah umur, pasangan
orang lain, orang hukuman, saudara kandung, dan orang yang hidup selibat (Bhikkhu)
dikategorikan sebagai perilaku seksual yang salah. Jadi umat Buddha awam perlu
mematuhi etika seksualitas dalam bertindak seperti yang diajarkan Buddha, baik ia
seorang heteroseksual maupun homoseksual, sehingga tercipta keharmonisan dalam
hidup. Untuk kasus seorang Homoseksual, berarti sama saja seperti seorang heteroseksual
hanya pasangan hidupnya yang sesama jenis.
Di dalam ajaran Buddha, kita tidak bisa mengatakan bukanlah objek dari nafsu seksual
seseorang yang menentukan apakah suatu hubungan seksual seseorang baik atau buruk,
melainkan alasan yang melandasi tindakan tersebut. Walau demikian, kadangkala
Buddha menganjurkan seseorang untuk menghindari perilaku tertentu, bukan berarti hal
ini salah dari sudut pandang etika, namun karena akan bertentangan dengan norma-norma
sosial atau melanggar hukum yang berlaku. Untuk kasus seperti ini, Buddha mengatakan
agar berusaha menjauhkan diri dari perilaku seperti itu agar membebaskan ia dari
kecemasan dan rasa malu yang disebabkan ketidaksesuaian dengan norma masyarakat
atau melanggar hukum. Homoseksualitas sudah tentu masuk dalam kategori ini. Dalam
hal ini, seorang homoseksual harus memutuskan apakah ia akan mengikuti norma-norma
sosial atau mencoba mengubah sikap publik atau masyarakat umum dalam melihat
homoseksualitas.
Banyak yang mengatakan, ”Jika homoseksual dilegalkan, akan banyak orang, termasuk
kaum muda akan menjadi gay atau lesbi.” Pernyataan ini menggambarkan
kesalahpahaman serius terhadap sifat alami homoseksualitas atau mungkin suatu potensi
homoseksualitas dalam diri orang yang membuat penyataan tersebut. Hal ini sama
lucunya dengan mengatakan bahwa jika bunuh diri bukanlah perbuatan yang melanggar
hukum, maka semua orang akan melakukannya. Apapun penyebab homoseksualitas
(banyak pendapat dan perdebatan tentang hal ini), seseorang pastinya tidak akan memilih
menjadi seorang homoseksual. Orientasi seksual seorang homoseksual adalah hasil dari
genetis (bawaan sejak lahir) atau perkembangan sejak anak-anak dari seseorang, sama
halnya dengan seorang heteroseksual. Jadi mau mengubah orientasi seksual seseorang
adalah sangat sulit atau bahkan tidak mungkin.
Beberapa orang berpendapat bahwa pasti ada yang tidak beres dalam diri seorang
homoseksual karena banyaknya kaum homoseksual yang jiwa atau emosinya terganggu.
Kelihatannya ada benarnya dibalik pernyataan ini. Di barat sendiri kita dapat menemukan
banyak homoseksual yang menderita masalah kejiwaan, kecanduan alkohol, dan perilaku
seksual yang tidak wajar. Namun, menurut data kaum homoseksual menduduki peringkat
tertinggi dalam kasus bunuh diri. Kemungkinan besar bahwa para homoseksual yang
bunuh diri tersebut secara kejiwaan tertekan. Mereka diperlakukan secara tidak adil oleh
masyarakat hanya karena orientasi seksual yang berbeda. Inilah yang menjadi suatu hal
yang perlu diperhatikan dan alasan kenapa homoseksualits harus dipahami dan diterima
sebagai bagian dari masyarakat.
Memang belakangan ini penerimaan terhadap kaum homoseksualitas mulai terjadi,
terutama di negara-negara Barat. Di Indonesia sendiri, masyarakat umum masih
menganggap jijik, aneh, atau tidak wajar terhadap seorang homoseksual. Masyarakat
Buddhis Indonesia sendiri mulai menunjukkan toleransi terhadap kaum homoseksual,
walaupun masih ada yang belum menerima sepenuhnya konsep homoseksualitas dan
memahaminya. Ajaran Buddha sendiri akan melihat homoseksualitas sendiri sebagai
sesuatu yang wajar dan tidak bisa disalahkan atau dibenarkan. Buddha mengajarkan agar
jangan terikat oleh nafsu seksual yang berapi-api. Perilaku seksual seharusnya dilakukan
dengan wajar entah oleh seorang heteroseksual maupun homoseksual. Ketika kita melihat
seorang homoseksual yang bertindak dengan cinta kasih, jujur dan baik dengan seorang
heteroseksual yang bertindak buruk, penuh kebencian dan keserakahan, yang manakah
yang lebih dapat kita terima? Lalu bagaimana dengan sebaliknya?
Daftar pustaka
Dhammika, Shravasti. 2006. Good Question Good Answer. Yayasan Penerbit karaniya
Parrinder, Geoffrey. 2005. Teologi Seksual. Yogyakarta : LkiS Yogyakarta
Priastana, Jo. 2004. Buddhadharma dan Seksualitas. Jakarta : Yasodhara Puteri
Silva, A.L De. “Homosexuality and Theravada Buddhism” dari
http://www.buddhanet.net
Referensi Website:
http://id.wikipedia.org/wiki/Homoseksualitas
http://en.wikipedia.org/wiki/Homosexuality
http://id.wikipedia.org/wiki/Heteroseksual
http://willyyandi.wordpress.com/category/buddhisme/page/4/
Download