BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan teknologi penerbangan sangat berperan terhadap ekonomi nasional maupun internasional suatu bangsa, memperpendek jarak satu negara dengan negara lain, memelihara perdamaian dunia, mendekatkan pergaulan hidup bangsa satu dengan bangsa lain, mempercepat komunikasi satu negara dengan negara lain, serta menciptakan saling pengertian satu bangsa dengan bangsa lain. Dalam dunia penerbangan, untuk pertama kalinya dalam sejarah peradaban manusia adalah Orville Wright dan Wilbur Wright yang dikenal dengan “Wright Bersaudara” menerbangkan pesawat terbang bermesin pada tanggal 17 Desember di North Carolina, Amerika Serikat. Wright bersaudara telah membukukan suatu penerbangan yang dapat menempuh jarak 852 kaki atau sekitar 295 meter dengan lama penerbangan yang menempuh waktu hamper satu menit, yaitu 59 detik.1 Pesawat udara mulai ramai diperbincangkan pada saat Francisco de Lana dan Galier mencoba mengembangkan model pesawat udara yang dapat terbang di atmosfer, kemudian diikuti oleh Pater de Gusman di Lisabon yang kemudia berhasil terbang di ruang udara dengan menggunakan udara yang dipanaskan, sedangkan Black berhasil terbang dengan balon yang diisi dengan zat air pada tahun 1767 yang diikuti oleh Cavailo pada tahun 1782. Sejak kelahiran dunia penerbangan, angkutan udara berkembang dan beperan sesuai dengan kebutuhan nasional tiap-tiap negara yang bersangkutan. Lalu kemudian tahun-tahun berikutnya bermunculan perusahaan-perusahaan penerbangan komersial. Peranan dan fungsi 1 Chappy Hakim, 2010, Berdaulat Di Udara Membangun Citra Penerbangan Nasional, PT Kompas Media Nusantara, Jakarta, h. 3 angkutan udara mempunyai posisi penting dan strategis di dunia Internasional baik ditinjau dari segi kehidupan sosial, ekonomi, pariwisata maupun pertahanan dan keamanan. Di era globalisasi ini, di mana waktu menjadi sesuatu yang sangat penting bagi aparatur negara, pelaku bisnis, dan semua orang pada umumnya, sarana transportasi udara berperan sangat penting. Oleh karena itu, bisnis transportasi udara merupakan suatu bisnis yang menjanjikan bagi suatu aparatur negara.2 Di samping keuntungan-keuntungan tersebut diatas, perkembangan-pekembangan teknologi penerbangan juga menimbulkan berbagai masalah yang sulit dipecahkan oleh masyarakat internasional. Setiap kegiatan membawa risiko, juga kegiatan penerbangan dan angkatan udara. Bagi seorang penumpang risikonya ialah mungkin ia mengalami kecelakaan, kelambatan, bagasi hilang, atau rusak, mungkin menderita luka-luka atau tewas akibat kecelakaan atau bahkan akibat suatu peristiwa kejahatan di dalam pesawat udara seperti peristiwa pembajakan pesawat udara.3 Oleh karena itu, dalam pelaksanaan penerbangan sipil, keselamatan adalah hal krusial dan sensitif yang memiliki implikasi besar terhadap eksistensi suatu negara dalam mengelola wilayahnya. Penyelenggaraan penerbangan sipil baik nasional maupun internasional harus mengacu pada norma-norma hukum internasional maupun nasional yang berlaku, untuk menjamin keselamatan penumpang, awak pesawat udara maupun bagasi dan barang-barang yang diangkut. Keselamatan penerbangan menjadi persyaratan utama dalam penyelenggaraan penerbangan sipil. Berbagai usaha dilakukan oleh organisasi internasional, maupun masyarakat dunia untuk menangani masalah-masalah penerbangan sipil salah satunya adalah pembuatan konvensikonvensi Internasional. Dari hukum Internasioanal terdapat berbagai macam konvensi-konvesi yang mengatur tentang penyelenggaraan penerbangan sipil. Konvensi internasional tersebut 2 Agus Pramono, 2009, Hukum Penyelenggaraan Bisnis Penerbangan, Ghalia Indonesia, Bogor, h.1 3 E. Suherman, 1979, Hukum Udara Indonesia dan Internasional, Alumni, Bandung, h. 118 meliputi konvensi internasional tentang hukum udara internasional publik maupun tentang hukum udara perdata internasional. Konvensi-konvensi yang mengatur tentang penerbangan sipil internasional publik awalnya adalah Konvensi Paris 1919 (Convention Relating to the Regulation of Aerial Navigation). Konvensi ini merupakan konvensi internasional yang ditandatangani pada tanggal 13 Oktober 1919 di Paris yang pada waktu itu diikuti oleh 27 Negara. Kemudian Konvensi Paris mengalami perkembangan yaitu dengan dibentuknya Konvensi Penerbangan Sipil Internasional (Convention on International Civil Aviation) yang selanjutnya disebut Konvensi Chicago 1944. Konvensi Chicago 1944 merupakan revisi dari Konvensi Paris 1919, karena disebutkan bahwa kebebasan navigasi udara dalam Konvensi Paris merupakan hasil konsensi Internasional yang diberikan kepada Negara-negara penandatanganan konvensi. Konvensi Chicago 1944 adalah instrumen hukum internasional khususnya hukum internasional publik.4 Konvensi Chicago ini mulai berlaku tanggal 7 April 1947 yang kemudian dijadikan acuan dalam pembuatan hukum nasional bagi Negara anggota International Civil Aviation Organization (ICAO) untuk penyelenggaraan penerbangan sipil internasional. Kemudian di bidang hukum udara perdata terdapat internasional juga terdapat berbagai konvensi internasional seperti Konvensi Warsawa 1929 beserta protocol serta suplemennya. Konvensi tersebut mengatur tanggung jawab hukum terhadap pihak ketiga (third parties liability) beserta protololnya, konvensi mengenai pengakuan hak atas pesawat udara, di samping hukum nasional perdata maupun publik sebagai implementasi konvensi internasional tersebut diatas. 4 Mochtar Kusumaatmadja, 1996, Pengantar Hukum Internasional, Binacipta, Bandung, h. 1. Masyarakat internasional maupun organisasi internasional melalui konvensi internasional tersebut telah melakukan berbagai upaya untuk menangani masalah penerbangan sipil baik di bidang teknik, hukum, maupun ekonomi seperti masalah operasi penerbangan, kecelakaan pesawat udara, masalah hukum yaitu tanggung jawab pengangkut, ganti rugi terhadap kerusakan pihak ketiga, sabotase, masalah navigasi udara, tanggung jawab pilot dan lain-lain. Selain itu penggunaan radio, radar, dan alat-alat pengaman mutahir lainnya memang telah dapat mengurangi banyaknya angka kecelakaan pesawat udara pada abad ini, tetapi semuanya itu belumlah cukup untuk meniadakan sama sekali adanya kecelakaan pesawat udara. Secanggih apapun teknologi tersebut tidak akan menghilangkan resiko kecelakaan pesawat terbang baik yang bersifat kecil maupun fatal.5 Salah satu kasus tentang keselamatan penerbangan adalah kasus hilangnya pesawat Malaysia Airlines dengan nomor penerbangan MH370. Pesawat Malaysia Airlines MH370 hilang dari radar dan terakhir melakukan kontak dengan pengawas lalu lintas udara pada dini hari, 8 Maret 2014, kurang dari satu jam setelah tinggal landas dari Kuala Lumpur menuju Beijing. Pesawat Boeing 777 Malaysia Airlines dengan nomor penerbangan MH370 tinggal landas dari Kuala Lumpur pukul 00.41 waktu setempat, menuju Beijing, China. Total penumpang dan kru 239 orang. Pesawat dijadwalkan tiba di tujuan dalam waktu enam jam. Namun, pesawat MH370 tiba-tiba hilang dari radar.6 Pesawat ini mengangkut 12 awak (10 awak kabin dan 2 awak kokpit) dan 227 penumpang dari 15 negara (Malaysia Airlines MH370 Passanger Manifest). 5 Berebd J.H Crams, The Special Contrant :” An Instrument to Strict Liability Limit?”, Air Jurnal, Volume XIV., No. 4/5 h. 146. 6 CNN News, “Peta Kronologi Misteri Hilangnya Pesawat MH370”, CNN Indonesia 31 Juli 2015, dalam URL : http://www.cnnindonesia.com/internasional/20150731105631-106-69285/peta-kronologi-misteri-hilangnyapesawat-mh370/ diakses tanggal 23 September 2015. Pada hari yang sama, upaya pencarian dan penyelamatan gabungan yang merupakan terbesar sepanjang sejarah dilancarkan di Teluk Thailand dan Laut Tiongkok Selatan. Wilayah pencairan pun diperluas hingga Selat Malaka dan Laut Andaman. Setelah muncul beberapa laporan tentang adanya sinyal dari sebuah satelit yang menerima kontak dengan pesawat MH370 selama beberapa jam, maka pencarian pesawat ini diperluas hingga ke Samudera Hindia. Banyak negara-negara yang terlibat dalam pencarian pesawat ini. Hingga 18 Maret 2014, total negara yang berpartisipasi dalam pencarian pesawat MH370 ini adalah 26 negara. Pada tanggal 20 Maret, serangkaian foto satelit yang memperlihatkan kemungkinan adanya serpihan pesawat di Samudera Hindia selatan di sebelah barat daya Australia, tepatnya di ujung paling tenggara lokasi selatan, membuat aktivitas pencarian difokuskan di wilayah tersebut. Kemudian pada tanggal 24 Maret 2014, Malaysia Airlines resmi mengumumkan bahwa MH370 terbang sepanjang koridor selatan, dan posisi terakhirnya berada di tengah Samudra Hindia di sebelah barat Perth, Australia. Kemudian karena lokasi yang dekat dengan Australia, maka Australia berkewajiban memimpin pencarian pesawat Malaysia Airlines MH370. Kasus tersebut tentunya mengguncang perhatian dunia internasional karena banyaknya jumlah korban yang berasal dari beberapa negara. Keselamatan penerbangan tentunya merupakan hal yang paling penting dan diutamakan dalam penyelenggaraan penerbangan sipil internasional. Keselamatan transportasi udara merupakan beban tanggung jawab dari maskapai penerbangan. Namun bukan hanya tanggung jawab dari maskapai penerbangan saja, tetapi juga merupakan tanggung jawab negara. Hal ini karena dalam penerbangan sipil khususnya penyelenggraan penerbangan sipil internasional melibatkan lalu lintas batas negara dan terdapat banyak faktor yang melibatkan negara, seperti tempat pesawat terdaftar, kewarganegaraan penumpang yang berbeda-beda, dan lain-lain, sehingga negara-negara harus turut serta berperan aktif dalam usaha untuk menjaga keselamatan penerbangan internasional. Usaha-usaha tersebut berupa pembuatan maupun upaya implementasi perjanjian internasional mengenai keselamatan penerbangan. Negara yang paling aktif dalam usaha untuk melakukan pencarian pesawat MH370 adalah Malaysia, Australia, dan Cina. Ketiga negara ini memiliki peran yang penting dimana Malaysia sebagai negara bendera pesawat Malaysia Airlines, Australia sebagai negara yang paling dekat dengan lokasi yang diduga sebagai tempat jatuhnya pesawat, dan Cina sebagai negara asal sebagian besar korban jatuhnya pesawat MH370. Selain itu juga masih banyak negara-negara lain seperti Amerika Serikat, Perancis, termasuk Indonesia. Dalam usaha pencarian pesawat udara ini tentunya memerlukan biaya untuk operasional alat-alat maupun biaya analisis intelijen penyelidik kecelakaan udara, dan lain-lain. Operasi pencarian terhadap pesawat Malaysia Airlines MH370 sampai saat ini memakan biaya paling besar dalam sejarah dunia. Menurut Harian Australia, Sydney Morning Herald, 5 April 2014, biaya yang dihabiskan mencapai US$50.000.000 atau sekitar Rp. 567.000.000.000. Angka itu diperoleh dalam waktu empat minggu, dan telah melebihi nominal operasi Search and Rescue (SAR) bagi pesawat Air France, dimana biaya yang sama baru habis dalam kurun waktu dua tahun, terentang dari pencarian pesawat hingga dengan pengangkatan kotak hitam dari dasar Samudera Atlantik.7 Pakar penerbangan di Frost dan Sullivan Asia Pacific menyatakan bahwa Malaysia, Australia, dan China merupakan penyumbang terbesar dari jumlah biaya yang dianggarkan mencapai RM 324 juta. Sulit untuk dinyatakan secara terperinci biaya operasi ini. Malaysia sebagai negara bendera kapal menanggung sekitar RM 27,6 juta sebagai biaya keperluan logistic 7 Viva News, “Biaya Pencarian MH370 Terbesar dalam Sejarah Penerbangan Dunia”, 5 April 2014, dalam URL :http://dunia.news.viva.co.id/news/read/494339-biaya-pencarian-mh370-terbesar-dalam-sejarah-penerbangan-dunia diakses tanggal 23 September 2015. anggota Search and Rescue (SAR) dalam fase pertama pencarian pesawat MH 370. Biaya ini berkenaan kecil jika dibandingkan biaya yang dikeluarkan negara lain untuk menggerakan alatalat dan keperluan logistic yang menelan belanja lebih dari RM 73,5 juta atau sekitar US$ 23 juta. 8 Seiring berjalannya waktu, semakin hari biaya pencarian mulai menyedot dana yang melebihi perkiraan. Pemerintah dan militer dari negara-negara yang terlibat upaya pencarian. Akhirnya pencarian pesawat dikurangi dan saat ini untuk mencari kotak hitam MH370 dilakukan dengan menurunkan kapal selam mini nirawak bernama Bluefin-21. Bluefin-21 yang beroperasi nirawak di dasar laut dengan sonar dan telah menyapun kawasan seluas 110 kilometer persegi pun mempunyai risiko kerusakan akibat operasi pencarian ini yang tentunya akan memerlukan biaya perawatan. Pemerintah Australia memperkirakan biaya pencarian akan terus bertambah. Pengeluaran aktual bagi Australia akan tergantung dari seberapa cepat pesawat MH370 ditemukan dan seberapa banyak negara-negara lain akan ikut menyumbang. Malaysia, Australia, Amerika Serikat, Cina, Jepang, Inggris, Korea Selatan, dan Selandia Baru telah menanggung beban masing-masing sampai saat ini. Kondisi seperti ini tentunya akan menimbulkan kerugian di berbagai pihak akibat besarnyaa beban yang harus ditanggung untuk pencarian pesawat MH370 ini. Meskipun kecelakaan pesawat terbang bukanlah satu-satunya sebab timbulnya kerugiankerugian pada berbagai pihak dalam kegiatan angkutan udara, karena sifatnya yang mengejutkan kecelakaan pesawat udara merupakan suatu titik tolak yang baik untuk membicarakan persoalan tanggung jawab pada pengangkutan udara.9 8 Norjimi Azmi Latif, 2014, MH370 dan MH17, Satu Ancaman Israel Kepada Malaysia, Jootawan Group Sdn Bhd, Malaysia, h. 155. 9 E. Suherman, Op. Cit, h. 6. Sebagai contoh lain, dalam kasus pencarian Air France 447 yang hilang di atas udara Brazil tahun 2009, biaya pencarian pesawat udara tersebut dalam dua tahun di bawah laut serta upaya mengangkat puing dari samudera sebagian besar ditanggung oleh pemerintah Perancis, maskapai, serta pabrik pesawat. Brasil dalam kasus Air France 447 sebagaimana Australia dalam kasus MH370 ikut mencari dan bertanggungjawab karena pesawat itu hilang di wilayah mereka, sesuai dengan Annex 12 Search and Rescue Konvensi Chicago 1944 tentang Penerbangan Sipil International. Sampai saat ini, negara-negara yang terlibat dalam pencarian pesawat Malaysia Airlines yang hilang belum sepakat mengenai bagaimana cara membagi biaya. Hal ini dikarenakan para pejabat Malaysia masih membahas fase selanjutnya untuk pencarian di dasar laut untuk jet penerbangan MH370 itu. Malaysia Airlines sebagai pihak perusahaan tentunya bertanggung jawab atas kejadian hilangnya pesawat MH370. Namun, ada beberapa negara yang berperan aktif ikut dalam usaha pencarian seperti Malaysia bertanggung jawab atas pencarian karena pesawat Boeing-777 milik Malaysia Airlines tersebut terdaftar di negara tersebut. Selain itu, Australia mengkoordinasi pencarian sebagai negara terdekat dengan lokasi tempat pesawat diduga jatuh. Sebagian besar penumpang adalah warga China dan pemerintah China memainkan peran aktif dalam pencarian.10 Walaupun ikut bertanggungjawab, namun masalah hukum yang terjadi dalam kasus ini adalah pengaturan kewajiban negara-negara yang turut serta membantu pencarian, terutama Australia sebagai koordinator tim pencarian dan China sebagai negara asal sebagian besar korban pesawat belum memiliki kejelasan terkait dengan pendanaan yang cukup besar untuk pencarian pesawat MH370 yang hilang di laut lepas Samudera Hindia. Malaysia Airlines sebagai 10 Voa Indonesia, “Kebingungan Muncul Atas Biaya Pencarian Pesawat MH370”, Voa Indonesia September 2015, dalam URL : http://www.voaindonesia.com/content/kebingungan-muncul-atas-biaya-pencarian-pesawatmh370/1933234.html diakses tanggal 25 September 2015 perusahaan pengangkut dan Malaysia sebagai tempat pesawat didaftarkan tentunya dalam hal ini adalah pihak yang bertanggung jawab dalam pencarian pesawat MH370 yang hilang. Namun, sampai saat ini belum ada kejelasan bagaimana Malaysia Airlines dan Negara Malaysia harus menyediakan biaya untuk pencarian pesawat yang hilang dan dalam hal ini juga mengenai bagaimana Malaysia dan Malaysia Airlines menyikapi mengenai penyediaan biaya pencarian untuk negara-negara serta pihak-pihak lain yang membantu pencarian pesawat MH370. Selain pembiayaan yang dibutuhkan untuk operasional alat-alat pencarian milik negara tersebut sendiri, masalah lainnya adalah terkait tanggung jawab atas pembiayaan operasional alat-alat yang disewa dari perusahaan swasta. Selain masalah siapa yang bertanggung jawab pembiayaan, berbagai masalah juga timbul terkait dengan kriteria kapan seharusnya Malaysia Airlines menyediakan biaya pencarian pesawat yang hilang untuk para tim SAR (Search and Rescue). Masalah pembiayaan ini sangat penting mengingat belum diketahui berapa lama tim SAR, Australia, China, serta negara-negara lain yang turut serta secara hukum diwajibkan untuk terus mempertahankan pencarian. Hal ini belum jelas diatur dalam konvensi-konvensi internasional yang telah ada sampai saat ini. Jika hal-hal di atas tidak segera ditangani dan tidak ada kejelasan mengenai pengaturan tanggung jawab dalam kasus pencarian pesawat yang hilang ini, maka kemungkinan besar masalah tanggung jawab mengenai pembiayaan dan jangka waktu pencarin pesawat yang hilang akan menimbulkan kebingungan dan keresahan bagi masyarakat internasional. Oleh karena itu, maka dirasakan perlu untuk dilakukan suatu penelitian mengenai permasalahan tersebut di atas. Adapun bentuk penelitian tersebut dituangkan dalam bentuk skripsi berjudul : “TANGGUNG JAWAB PENGANGKUT DALAM PENERBANGAN SIPIL INTERNASIONAL TERHADAP BIAYA PENCARIAN PESAWAT UDARA YANG HILANG (Studi Kasus Pesawat MH370)” 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dapat ditemukan beberapa masalah yang akan diteliti lebih lanjut yaitu sebagai berikut 1. Bagaimanakah pengaturan tanggung jawab pengangkut dalam hukum pengangkutan udara internasional? 2. Bilamanakah perusahaan pengangkut menyediakan biaya untuk pencarian pesawat udara yang hilang menurut hukum internasional? 1.3 Ruang Lingkup Masalah Dalam usulan penelitian ini penulis menentukan ruang lingkup masalah yang ingin dipecahkan adalah bagaimana tanggung jawab atas biaya pencarian yang harus ditanggung oleh para pihak yang dalam kasus ini adalah pengangkut yaitu Malaysia Airlines, negara tempat pesawat terdaftar yaitu Malaysia, serta negara-negara pembantu pencarian, serta kapan seharusnya pihak yang bertanggung jawab menyediakan biaya yang dibutuhkan dalam pencarian pesawat yang hilang. 1.4 Tujuan Penelitian Dalam menentukan tujuan penelitian yang hendak dicapai oleh peneliti, maka berdasarkan latar belakang masalah, rumusan masalah, dan ruang lingkup masalah, serta untuk mendapatkan data-data dan informasi atau keterangan-keterangan, maka peneliti mempunyai tujuan sebagai berikut yaitu : 1.4.1 Tujuan Umum 1. Untuk melatih diri dalam usaha menyatakan pikiran ilmiah secara tertulis; 2. Untuk melaksakanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi, khususnya pada bidang penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa; 3. Untuk mengembangkan Ilmu Hukum; 4. Untuk membulatkan studi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada program Strata Satu (S1) di Fakultas Hukum Universitas Udayana. 1.4.2 Tujuan Khusus 1. Untuk lebih mengetahui dan memahami tanggung jawab perusahaan pengangkut menurut Hukum Udara Internasional maupun Hukum Internasional serta prinsip-prinsip atau asas-asas Hukum Internasional. 2. Untuk mengetahui bilamana pihak yang bertanggung jawab harus menyediakan biaya pencarian pesawat yang hilang menurut Hukum Internasional. 1.5 Manfaat Penelitian 1.5.1 Manfaat Teoritis Dengan dilakukannya penelitian ini maka diharapkan hasil penelitian ini dapat menambah dan memperkaya Ilmu Pengetahuan Hukum. Ilmu Pengetahuan Hukum yang dimaksud adalah Hukum Internasional maupun Hukum Udara maupun Pengangkutan Internasional mengenai pembebanan tanggung jawab biaya dalam pencarian pesawat yang hilang menurut Hukum Internasional. 1.5.2 Manfaat Praktis Dengan dilakukannya penelitian ini diharapkan hasil penelitian ini dapat memberi manfaat dan sumbangan pemikiran bagi pihak yang mendalami bidang Hukum Internasional maupun Hukum Udara Internasional dan pihak yang terlibat dalam Penerbangan Internasional. Sehingga dapat mewujudkan suatu kepastian pengaturan dan perlindungan hukum bagi pihak-pihak yang terlibat. 1.6 Landasan Teoritis 1.6.1 Teori Mengikatnya Hukum Internasional Hakikat hukum daripada Hukum Internasional tidak perlu diragukan lagi. Namun, yang menjadi pertanyaan adalah mengenai kekuatan mengikat dari hukum internasional. Dalam hal ini, timbul beberapa ajaran dan teori mengenai mengikatnya hukum internasional, diantaranya : a. Mazhab/Teori Hukum Alam Menurut teori ini, hukum internasional mengikat karena ia adalah bagian dari “hukum alam” yang diterapkan dalam kehidupan bangsa-bangsa. Negara-negara tunduk atau terikat kepada hukum internasional dalam hubungan antarmereka karena hukum internasional itu merupakan bagian dari hukum yang lebih tinggi, yaitu “hukum alam”. Tokoh-tokoh dari mazhab ini, antara lain, Hugo Grotius (Hugo de Groot), Emmeric Vattel. 11 b. Mazhab/Teori Hukum Positif Ada beberapa mazhab yang termasuk ke dalam kelompok Mazhab atau Ajaran Hukum Positif, yaitu: 1) Mazhab/Teori Kehendak Negara. 11 Mochtar Kusumaatmadja, Op.Cit, h. 44 Ajaran atau mazhab ini bertolak dari teori kedaulatan negara. Secara umum inti dari ajaran atau mazhab ini adalah sebagai berikut: oleh karena negara adalah pemegang kedaulatan, maka negara adalah juga sumber dari segala hukum. Hukum internasional itu mengikat negara-negara karena negara-negara itu atas kehendak atau kemauannya sendirilah tunduk atau mengikatkan diri kepada hukum internasional. Bagi mazhab ini, hukum internasional itu bukanlah sesuatu yang lebih tinggi dari kemauan negara (hukum nasional) tetapi merupakan bagian dari hukum nasional (c.q. hukum tata negara) yang mengatur hubungan luar suatu negara (auszeres Staatsrecht). Para pemuka mazhab ini, antara lain, Georg Jellinek, Zorn. 2) Mazhab atau Teori Kehendak Bersama Negara-negara. Mazhab ini berusahan untuk menutup kelemahan Mazhab/Teori Kehendak Negara sebagaimana telah dikemukan di atas. Menurut mazhab ini, hukum internasional itu mengikat bukan karena bukan karena kehendak negara-negara secara sendiri-sendiri melainkan karena kehendak bersama negara-negara itu di mana kehendak bersama ini lebih tinggi derajatnya dibandingkan dengan kehendak negara secara sendiri-sendiri.Dikatakan pula oleh mazhab ini bahwa, berbeda halnya dengan kehendak negara secara sendiri-sendiri, kehendak bersama ini tidak perlu dinyatakan secara tegas atau spesifik. Inilah inti dari ajaran Vereinbarungstheorie yang dikemukakan oleh Triepel. Melalui ajarannya itu Triepel sesungguhnya berusaha untuk mendasarkan teorinya pada cara mengikat hukum kebiasaan internasional. Maksudnya, dengan mengatakan bahwa kehendak bersama negara-negara untuk terikat pada hukum internasional itu tidak perlu dinyatakan secara tegas atau spesifik ia sesungguhnya bermaksud mengatakan bahwa negara-negara itu telah menyatakan persetujuannya untuk terikat secara implisit atau diam-diam (implied). 3) Mazhab Wina Kelemahan-kelemahan yang melekat pada mazhab-mazhab yang meletakkan dasar kekuatan mengikat hukum internasional pada kehendak negara (yang kerap juga disebut sebagai aliran voluntaris) melahirkan pemikiran baru yang tidak lagi meletakkan dasar mengikat hukum internasional itu pada kehendak negara melainkan pada adanya norma atau kaidah hukum yang telah ada terlebih dahulu yang terlepas dari dikehendaki atau tidak oleh negara-negara (aliran pemikiran ini kerap disebut sebagai aliran objektivist). Tokoh terkenal dari aliran ini adalah Hans Kelsen yang mazhabnya dikenal dengan sebutan Mazhab Wina (Vienna School of Thought). Menurut Kelsen, ada dan mengikatnya kaidah hukum internasional didasarkan oleh ada dan mengikatnya kaidah hukum lain yang lebih tinggi. Ada dan mengikatnya kaidah hukum yang lebih tinggi itu didasarkan oleh ada dan mengikatnya kaidah hukum yang lebih tinggi lagi. Demikian seterusnya hingga sampai pada suatu puncak piramida kaidah-kaidah hukum yang dinamakan kaidah dasar (grundnorm) yang tidak lagi dapat dijelaskan secara hukum melainkan harus diterima adanya sebagai hipotesa asal (ursprungshypothese). Menurut Kelsen, kaidah dasar dari hukum internasional itu adalah prinsip atau asas pacta sunt servanda. c. Mazhab Perancis Mazhab ini meletakkan dasar mengikatnya hukum internasional sebagaimana halnya bidang hukum lainnya, pada faktor-faktor yang mereka namakan “fakta-fakta kemasyarakatan” (fait social), yaitu berupa faktor-faktor biologis, sosial, dan sejarah kehidupan manusia. Artinya, dasar mengikatnya hukum internasional itu dapat dikembalikan kepada sifat alami manusia sebagai mahluk sosial yang senantiasa memiliki hasrat untuk hidup bergabung dengan manusia lain dan kebutuhan akan solidaritas. Kebutuhan dan naluri sosial manusia sebagai individu itu juga dimiliki oleh negara-negara atau bangsa-bangsa (yang merupakan kumpulan manusia). Dengan kata lain, menurut mazhab ini, dasar mengikatnya hukum internasional itu, sebagaimana halnya dasar mengikatnya setiap hukum, terdapat dalam kenyataan sosial yaitu pada kebutuhan manusia untuk hidup bermasyarakat. 1.6.2 Teori Tanggung Jawab Hukum Suatu konsep yang terkait dengan konsep kewajiban hukum adalah teori tanggungjawab hukum (liability). Menurut teori ini, seseorang yang bertanggungjawab secara hukum atas perbuatan tertentu bahwa dia dapat dikenakan suatu sanksi adalah dalam kasus perbuatannya bertentangan atau berlawanan hukum. Subyek responsibility dan subyek kewajiban hukum adalah sama. Dalam teori tradisional, ada dua jenis tanggung jawab: pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan (based on fault) dan pertanggungjawab mutlak (absolute responsibility).12 1.6.3 Teori Perlindungan Hukum Menurut Fitzgerald, Teori perlindungan hukum Salmond bahwa hukum bertujuan mengintegrasikan dan mengkoordinasikan berbagai kepentingan dalam masyarakat karena dalam suatu lalu lintas kepentingan, perlindungan terhadap kepentingan tertentu dapat dilakukan dengan cara membatasi berbagai kepentingan di lain pihak.13 Menurut Satjipto Rahardjo, perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman terhadap hak asasi manusia (HAM) yang dirugikan orang lain dan perlindungan itu diberikan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum.14 12 Jimly Asshiddiqie, Ali Safa’at, 2006, Teori Hans Kelsen tentang Hukum, Konstitusi Press, Jakarta, h. 61 13 Satjipto Rahardjo, 2000, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 53 14 Ibid, h.69 Hukum dapat difungsikan untuk mewujudkan perlindungan yang sifatnya tidak sekedar adaptif dan fleksibel, melainkan juga prediktif dan antipatif. Perlindungan hukum merupakan gambaran dari bekerjanya fungsi hukum yakni keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Perlindungan hukum adalah suatu perlindungan yang diberikan kepada subyek hukum sesuai dengan aturan hukum baik itu yang bersifat preventif maupun dalam bentuk yang sifatnya represif, baik secara tertulis maupun tidak tertulis dalam rangka menegakkan peraturan hukum . 1.7 Metode Penelitian 1.7.1 Jenis Penelitian Jenis Penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah pemecahan masalah yang didasarkan pada literaturliteratur dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas beranjak dari adanya kesenjangan dalam notma atau asas hukum, dengan menggunakan landasan teoritis dan bahan hukum yang terdiri atas bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan tersier. Landasan teoritis yang digunakan merupakan undang-undang, norma-norma maupun teori-teori teori yang sesuai dengan pernasalahan yang diangkat. Penelitian hukum normatif yang terdiri dari penelitian terhadap asas-asas hukum, sistematika hukum, dan taraf sinkronisasi hukum.15 Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode normatif karena penelitian ini mempelajari bahan-bahan hukum sebagai acuan dalam penelitian. Peraturan perundang-undangan, dikaji berdasarkan teori-teori dan ketentuan hukum yang mengaturnya. Penelitian hukum normatif yang mengacu pada bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang mempunyai 15 Bambang Sunggono, 2009, Metodologi Penelitian Hukum, Rajagrafindo Persada, Jakarta. h. 41. ketentuan mengikat secara umum (perundang-undangan) atau mempunyai kekuatan mengikat bagi pihak-pihak berkepentingan (kontrak, konvensi, dokumen hukum, dan putusan hakim). Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberi penjelasan terhadap bahan hukum primer (buku ilmu hukum, jurnal hukum, laporan hukum dalam media cetak maupun elektronik).Sedangkan bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum sekunder (rancangan undang-undang, kamus hukum dan ensiklopedia). 1.7.2 Jenis Pendekatan Penelitian Hukum Normatif umumnya mengenal 7 (tujuh) jenis pendekatan yakni : 1. Pendekatan Kasus (The Cases Approach) 2. Pendekatan Perundang-undangan 3. Pendekatan Fakta (The Fact Approach) 4. Pendekatan Aanalisis Konsep Hukum (Analitical & Conseptual Approach) 5. Pendekatan Frasa (Words & Phrase Approach) 6. Pendekatan Sejarah (Historical Approach) 7. Pendekatan Perbandingan (Comparative Approach) Dalam karya tulis ini, penulis menggunakan pendekatan perundang-undangan, serta pendekatan kasus. Adapun mengenai perundang-undangan, dalam Hukum Internasional tidaklah terdapat Undang-Undang, sehingga makna Undang-Undang tersebut perlu diinterpretasikan secara lebih luas lagi, mencakup segala ketentuan hukum yang tertulis, sehingga Konvensi, dan segala bentuk Perjanjian Internasional juga dapat dipandang atau diinterpretasikan sebagai sebuah Undang-Undang. 1.7.3 Sumber Bahan Hukum Karena penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, maka sumber data yang digunakan adalah data sekunder yang berupa bahan hukum, yang terdiri atas : a. Bahan Hukum Primer, yaitu sumber hukum yang bersufat autoratif yang artinya mempunayi otoritas.16 Bahan hukum primer dalam karya tulisan ini terdiri atas asas dan kaidah hukum yang diwujudkan dalam : 1. Convention on International Civil Aviation, 1944 (Chicago Convention); 2. Convention for The Unificationof Certain Rules Relating to International Carriage by Air, 1929 (Warsaw Convention) b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu sumber hukum yang bersifat pelengkap bagi bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder dalam karya tulis ini terdiri dari buku-buku, jurnal-jurnal hukum, karya tulis hukum, dan materi muatan internet yang berkaitan dengan rumusan masalah. c. Bahan Hukum Tersier, yaitu sumber yang menjelaskan bahan hukum primer maupun sekunder. Bahan hukum tersier dalam karya tulis ini terdiri atas Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Bahasa Inggris, Kamus Hukum, dan Ensiklopedia. 1.7.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Teknik pengumpulan bahan hukum/data yang digunakan dalam penulisan penelitian ini adalah teknik studi dokumen yaitu dengan cara mencari bahan-bahan di dalam buku-buku terkait untuk dibaca serta dicatat kembali untuk disusun secara sistematis sesuai dengan bahasan dalam penelitian ini. Untuk menunjang penulisan penelitian ini pengumpulan bahan-bahan hukum diperoleh melalui : a. Pengumpulan bahan hukum primer dilakukan dengan cara mengumpulkan dokumendokumen hukum internasional yang berkaitan dengan masalah yang dibahas. 16 Peter Mahmud Marzuki, 2008, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, h. 96 b. Pengumpulan bahan hukum sekunder dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan yang bertujuan untuk mendapatkan bahan-bahan hukum yang bersumber dari buku-buku, rancangan undang-undang, jurnal nasional maupun internasional, karya tulis hukum atau pandangan ahli hukum yang termuat dalam media massa maupun berita di internet yang terkait dengan permasalahan yang hendak dibahas dalam penelitian ini. 1.7.5 Teknik Analisis Bahan Hukum Analisis data merupakan kegiatan dalam penelitian yang berupa melakukan kajian atau telaah terhadap hasil pengolahan data yang dibantu dengan teori-teori yang telah didapatkan sebelumnya.17 Teknik pengolahan bahan hukum yaitu setelah bahan hukum terkumpul kemudian dianalisis menggunakan teknik deskripsi yaitu dengan memaparkan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder apa adanya.18 Bahan hukum primer dan sekunder yang terkumpul selanjutnya diberikan penilaian (evaluasi), kemudian dilakukan interpretasi dan selanjutnya diajukan argumentasi. Argumentasi dilakukan oleh peneliti untuk memberikan preskripsi atau penilaian mengenai benar atau salah atau apa yang seyogyanya menurut hukum atau peristiwa hukum dari hasil penelitian. Dari hasil tersebut nantinya akan ditarik kesimpulan secara sistematis agar tidak menimbulkan kontradiksi antara bahan hukum yang satu dengan bahan hukum yang lain. Teknik lainnya yang penulis gunakan adalah teknik analisis, yaitu pemaparan secara mendetail dari keterangan-keterangan yang didapat pada tahap sebelumnya yang berkaitan 17 Mukti Fajar MD dan Yulianto Achmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, h. 183 18 Ronny Hanitjito, 1991, Metode Penelitian Hukum, Cet II, Ghalia Indonesia, Jakarta, h. 93. dengan permasalahan dalam penelitian ini sehingga keseluruhannya membentuk satu kesatuan yang saling berhubungan secara logis.19 19 Ibid.