- Universitas Udayana

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah
Perkembangan teknologi penerbangan sangat berperan terhadap ekonomi nasional
maupun internasional suatu bangsa, memperpendek jarak satu negara dengan negara lain,
memelihara perdamaian dunia, mendekatkan pergaulan hidup bangsa satu dengan bangsa lain,
mempercepat komunikasi satu negara dengan negara lain, serta menciptakan saling pengertian
satu bangsa dengan bangsa lain.
Dalam dunia penerbangan, untuk pertama kalinya dalam sejarah peradaban manusia
adalah Orville Wright dan Wilbur Wright yang dikenal dengan “Wright Bersaudara”
menerbangkan pesawat terbang bermesin pada tanggal 17 Desember di North Carolina, Amerika
Serikat. Wright bersaudara telah membukukan suatu penerbangan yang dapat menempuh jarak
852 kaki atau sekitar 295 meter dengan lama penerbangan yang menempuh waktu hamper satu
menit, yaitu 59 detik.1 Pesawat udara mulai ramai diperbincangkan pada saat Francisco de Lana
dan Galier mencoba mengembangkan model pesawat udara yang dapat terbang di atmosfer,
kemudian diikuti oleh Pater de Gusman di Lisabon yang kemudia berhasil terbang di ruang udara
dengan menggunakan udara yang dipanaskan, sedangkan Black berhasil terbang dengan balon
yang diisi dengan zat air pada tahun 1767 yang diikuti oleh Cavailo pada tahun 1782.
Sejak kelahiran dunia penerbangan, angkutan udara berkembang dan beperan sesuai
dengan kebutuhan nasional tiap-tiap negara yang bersangkutan. Lalu kemudian tahun-tahun
berikutnya bermunculan perusahaan-perusahaan penerbangan komersial. Peranan dan fungsi
1
Chappy Hakim, 2010, Berdaulat Di Udara Membangun Citra Penerbangan Nasional, PT Kompas Media
Nusantara, Jakarta, h. 3
angkutan udara mempunyai posisi penting dan strategis di dunia Internasional baik ditinjau dari
segi kehidupan sosial, ekonomi, pariwisata maupun pertahanan dan keamanan. Di era globalisasi
ini, di mana waktu menjadi sesuatu yang sangat penting bagi aparatur negara, pelaku bisnis, dan
semua orang pada umumnya, sarana transportasi udara berperan sangat penting. Oleh karena itu,
bisnis transportasi udara merupakan suatu bisnis yang menjanjikan bagi suatu aparatur negara.2
Di samping keuntungan-keuntungan tersebut diatas, perkembangan-pekembangan
teknologi penerbangan juga menimbulkan berbagai masalah yang sulit dipecahkan oleh
masyarakat internasional. Setiap kegiatan membawa risiko, juga kegiatan penerbangan dan
angkatan udara. Bagi seorang penumpang risikonya ialah mungkin ia mengalami kecelakaan,
kelambatan, bagasi hilang, atau rusak, mungkin menderita luka-luka atau tewas akibat
kecelakaan atau bahkan akibat suatu peristiwa kejahatan di dalam pesawat udara seperti
peristiwa pembajakan pesawat udara.3 Oleh karena itu, dalam pelaksanaan penerbangan sipil,
keselamatan adalah hal krusial dan sensitif yang memiliki implikasi besar terhadap eksistensi
suatu negara dalam mengelola wilayahnya.
Penyelenggaraan penerbangan sipil baik nasional maupun internasional harus mengacu
pada norma-norma hukum internasional maupun nasional yang berlaku, untuk menjamin
keselamatan penumpang, awak pesawat udara maupun bagasi dan barang-barang yang diangkut.
Keselamatan penerbangan menjadi persyaratan utama dalam penyelenggaraan penerbangan sipil.
Berbagai usaha dilakukan oleh organisasi internasional, maupun masyarakat dunia untuk
menangani masalah-masalah penerbangan sipil salah satunya adalah pembuatan konvensikonvensi Internasional. Dari hukum Internasioanal terdapat berbagai macam konvensi-konvesi
yang mengatur tentang penyelenggaraan penerbangan sipil. Konvensi internasional tersebut
2
Agus Pramono, 2009, Hukum Penyelenggaraan Bisnis Penerbangan, Ghalia Indonesia, Bogor, h.1
3
E. Suherman, 1979, Hukum Udara Indonesia dan Internasional, Alumni, Bandung, h. 118
meliputi konvensi internasional tentang hukum udara internasional publik maupun tentang
hukum udara perdata internasional.
Konvensi-konvensi yang mengatur tentang penerbangan sipil internasional publik
awalnya adalah Konvensi Paris 1919 (Convention Relating to the Regulation of Aerial
Navigation). Konvensi ini merupakan konvensi internasional yang ditandatangani pada tanggal
13 Oktober 1919 di Paris yang pada waktu itu diikuti oleh 27 Negara. Kemudian Konvensi Paris
mengalami perkembangan yaitu dengan dibentuknya Konvensi Penerbangan Sipil Internasional
(Convention on International Civil Aviation) yang selanjutnya disebut Konvensi Chicago 1944.
Konvensi Chicago 1944 merupakan revisi dari Konvensi Paris 1919, karena disebutkan
bahwa kebebasan navigasi udara dalam Konvensi Paris merupakan hasil konsensi Internasional
yang diberikan kepada Negara-negara penandatanganan konvensi. Konvensi Chicago 1944
adalah instrumen hukum internasional khususnya hukum internasional publik.4 Konvensi
Chicago ini mulai berlaku tanggal 7 April 1947 yang kemudian dijadikan acuan dalam
pembuatan hukum nasional bagi Negara anggota International Civil Aviation Organization
(ICAO) untuk penyelenggaraan penerbangan sipil internasional.
Kemudian di bidang hukum udara perdata terdapat internasional juga terdapat berbagai
konvensi internasional seperti Konvensi Warsawa 1929 beserta protocol serta suplemennya.
Konvensi tersebut mengatur tanggung jawab hukum terhadap pihak ketiga (third parties
liability) beserta protololnya, konvensi mengenai pengakuan hak atas pesawat udara, di samping
hukum nasional perdata maupun publik sebagai implementasi konvensi internasional tersebut
diatas.
4
Mochtar Kusumaatmadja, 1996, Pengantar Hukum Internasional, Binacipta, Bandung, h. 1.
Masyarakat internasional maupun organisasi internasional melalui konvensi internasional
tersebut telah melakukan berbagai upaya untuk menangani masalah penerbangan sipil baik di
bidang teknik, hukum, maupun ekonomi seperti masalah operasi penerbangan, kecelakaan
pesawat udara, masalah hukum yaitu tanggung jawab pengangkut, ganti rugi terhadap kerusakan
pihak ketiga, sabotase, masalah navigasi udara, tanggung jawab pilot dan lain-lain. Selain itu
penggunaan radio, radar, dan alat-alat pengaman mutahir lainnya memang telah dapat
mengurangi banyaknya angka kecelakaan pesawat udara pada abad ini, tetapi semuanya itu
belumlah cukup untuk meniadakan sama sekali adanya kecelakaan pesawat udara. Secanggih
apapun teknologi tersebut tidak akan menghilangkan resiko kecelakaan pesawat terbang baik
yang bersifat kecil maupun fatal.5
Salah satu kasus tentang keselamatan penerbangan adalah kasus hilangnya pesawat
Malaysia Airlines dengan nomor penerbangan MH370. Pesawat Malaysia Airlines MH370
hilang dari radar dan terakhir melakukan kontak dengan pengawas lalu lintas udara pada dini
hari, 8 Maret 2014, kurang dari satu jam setelah tinggal landas dari Kuala Lumpur menuju
Beijing. Pesawat Boeing 777 Malaysia Airlines dengan nomor penerbangan MH370 tinggal
landas dari Kuala Lumpur pukul 00.41 waktu setempat, menuju Beijing, China. Total
penumpang dan kru 239 orang. Pesawat dijadwalkan tiba di tujuan dalam waktu enam jam.
Namun, pesawat MH370 tiba-tiba hilang dari radar.6 Pesawat ini mengangkut 12 awak (10 awak
kabin dan 2 awak kokpit) dan 227 penumpang dari 15 negara (Malaysia Airlines MH370
Passanger Manifest).
5
Berebd J.H Crams, The Special Contrant :” An Instrument to Strict Liability Limit?”, Air Jurnal, Volume
XIV., No. 4/5 h. 146.
6
CNN News, “Peta Kronologi Misteri Hilangnya Pesawat MH370”, CNN Indonesia 31 Juli 2015, dalam URL :
http://www.cnnindonesia.com/internasional/20150731105631-106-69285/peta-kronologi-misteri-hilangnyapesawat-mh370/ diakses tanggal 23 September 2015.
Pada hari yang sama, upaya pencarian dan penyelamatan gabungan yang merupakan
terbesar sepanjang sejarah dilancarkan di Teluk Thailand dan Laut Tiongkok Selatan. Wilayah
pencairan pun diperluas hingga Selat Malaka dan Laut Andaman. Setelah muncul beberapa
laporan tentang adanya sinyal dari sebuah satelit yang menerima kontak dengan pesawat MH370
selama beberapa jam, maka pencarian pesawat ini diperluas hingga ke Samudera Hindia. Banyak
negara-negara yang terlibat dalam pencarian pesawat ini. Hingga 18 Maret 2014, total negara
yang berpartisipasi dalam pencarian pesawat MH370 ini adalah 26 negara.
Pada tanggal 20 Maret, serangkaian foto satelit yang memperlihatkan kemungkinan
adanya serpihan pesawat di Samudera Hindia selatan di sebelah barat daya Australia, tepatnya di
ujung paling tenggara lokasi selatan, membuat aktivitas pencarian difokuskan di wilayah
tersebut. Kemudian pada tanggal 24 Maret 2014, Malaysia Airlines resmi mengumumkan bahwa
MH370 terbang sepanjang koridor selatan, dan posisi terakhirnya berada di tengah Samudra
Hindia di sebelah barat Perth, Australia. Kemudian karena lokasi yang dekat dengan Australia,
maka Australia berkewajiban memimpin pencarian pesawat Malaysia Airlines MH370.
Kasus tersebut tentunya mengguncang perhatian dunia internasional karena banyaknya
jumlah korban yang berasal dari beberapa negara. Keselamatan penerbangan tentunya
merupakan hal yang paling penting dan diutamakan dalam penyelenggaraan penerbangan sipil
internasional. Keselamatan transportasi udara merupakan beban tanggung jawab dari maskapai
penerbangan. Namun bukan hanya tanggung jawab dari maskapai penerbangan saja, tetapi juga
merupakan tanggung jawab negara. Hal ini karena dalam penerbangan sipil khususnya
penyelenggraan penerbangan sipil internasional melibatkan lalu lintas batas negara dan terdapat
banyak faktor yang melibatkan negara, seperti tempat pesawat terdaftar, kewarganegaraan
penumpang yang berbeda-beda, dan lain-lain, sehingga negara-negara harus turut serta berperan
aktif dalam usaha untuk menjaga keselamatan penerbangan internasional. Usaha-usaha tersebut
berupa pembuatan maupun upaya implementasi perjanjian internasional mengenai keselamatan
penerbangan.
Negara yang paling aktif dalam usaha untuk melakukan pencarian pesawat MH370
adalah Malaysia, Australia, dan Cina. Ketiga negara ini memiliki peran yang penting dimana
Malaysia sebagai negara bendera pesawat Malaysia Airlines, Australia sebagai negara yang
paling dekat dengan lokasi yang diduga sebagai tempat jatuhnya pesawat, dan Cina sebagai
negara asal sebagian besar korban jatuhnya pesawat MH370. Selain itu juga masih banyak
negara-negara lain seperti Amerika Serikat, Perancis, termasuk Indonesia.
Dalam usaha pencarian pesawat udara ini tentunya memerlukan biaya untuk operasional
alat-alat maupun biaya analisis intelijen penyelidik kecelakaan udara, dan lain-lain. Operasi
pencarian terhadap pesawat Malaysia Airlines MH370 sampai saat ini memakan biaya paling
besar dalam sejarah dunia. Menurut Harian Australia, Sydney Morning Herald, 5 April 2014,
biaya yang dihabiskan mencapai US$50.000.000 atau sekitar Rp. 567.000.000.000. Angka itu
diperoleh dalam waktu empat minggu, dan telah melebihi nominal operasi Search and Rescue
(SAR) bagi pesawat Air France, dimana biaya yang sama baru habis dalam kurun waktu dua
tahun, terentang dari pencarian pesawat hingga dengan pengangkatan kotak hitam dari dasar
Samudera Atlantik.7
Pakar penerbangan di Frost dan Sullivan Asia Pacific menyatakan bahwa Malaysia,
Australia, dan China merupakan penyumbang terbesar dari jumlah biaya yang dianggarkan
mencapai RM 324 juta. Sulit untuk dinyatakan secara terperinci biaya operasi ini. Malaysia
sebagai negara bendera kapal menanggung sekitar RM 27,6 juta sebagai biaya keperluan logistic
7
Viva News, “Biaya Pencarian MH370 Terbesar dalam Sejarah Penerbangan Dunia”, 5 April 2014, dalam URL
:http://dunia.news.viva.co.id/news/read/494339-biaya-pencarian-mh370-terbesar-dalam-sejarah-penerbangan-dunia
diakses tanggal 23 September 2015.
anggota Search and Rescue (SAR) dalam fase pertama pencarian pesawat MH 370. Biaya ini
berkenaan kecil jika dibandingkan biaya yang dikeluarkan negara lain untuk menggerakan alatalat dan keperluan logistic yang menelan belanja lebih dari RM 73,5 juta atau sekitar US$ 23
juta. 8
Seiring berjalannya waktu, semakin hari biaya pencarian mulai menyedot dana yang
melebihi perkiraan. Pemerintah dan militer dari negara-negara yang terlibat upaya pencarian.
Akhirnya pencarian pesawat dikurangi dan saat ini untuk mencari kotak hitam MH370 dilakukan
dengan menurunkan kapal selam mini nirawak bernama Bluefin-21. Bluefin-21 yang beroperasi
nirawak di dasar laut dengan sonar dan telah menyapun kawasan seluas 110 kilometer persegi
pun mempunyai risiko kerusakan akibat operasi pencarian ini yang tentunya akan memerlukan
biaya perawatan.
Pemerintah Australia memperkirakan biaya pencarian akan terus bertambah. Pengeluaran
aktual bagi Australia akan tergantung dari seberapa cepat pesawat MH370 ditemukan dan
seberapa banyak negara-negara lain akan ikut menyumbang. Malaysia, Australia, Amerika
Serikat, Cina, Jepang, Inggris, Korea Selatan, dan Selandia Baru telah menanggung beban
masing-masing sampai saat ini. Kondisi seperti ini tentunya akan menimbulkan kerugian di
berbagai pihak akibat besarnyaa beban yang harus ditanggung untuk pencarian pesawat MH370
ini. Meskipun kecelakaan pesawat terbang bukanlah satu-satunya sebab timbulnya kerugiankerugian pada berbagai pihak dalam kegiatan angkutan udara, karena sifatnya yang mengejutkan
kecelakaan pesawat udara merupakan suatu titik tolak yang baik untuk membicarakan persoalan
tanggung jawab pada pengangkutan udara.9
8
Norjimi Azmi Latif, 2014, MH370 dan MH17, Satu Ancaman Israel Kepada Malaysia, Jootawan Group Sdn
Bhd, Malaysia, h. 155.
9
E. Suherman, Op. Cit, h. 6.
Sebagai contoh lain, dalam kasus pencarian Air France 447 yang hilang di atas udara
Brazil tahun 2009, biaya pencarian pesawat udara tersebut dalam dua tahun di bawah laut serta
upaya mengangkat puing dari samudera sebagian besar ditanggung oleh pemerintah Perancis,
maskapai, serta pabrik pesawat. Brasil dalam kasus Air France 447 sebagaimana Australia dalam
kasus MH370 ikut mencari dan bertanggungjawab karena pesawat itu hilang di wilayah mereka,
sesuai dengan Annex 12 Search and Rescue Konvensi Chicago 1944 tentang Penerbangan Sipil
International.
Sampai saat ini, negara-negara yang terlibat dalam pencarian pesawat Malaysia Airlines
yang hilang belum sepakat mengenai bagaimana cara membagi biaya. Hal ini dikarenakan para
pejabat Malaysia masih membahas fase selanjutnya untuk pencarian di dasar laut untuk jet
penerbangan MH370 itu. Malaysia Airlines sebagai pihak perusahaan tentunya bertanggung
jawab atas kejadian hilangnya pesawat MH370. Namun, ada beberapa negara yang berperan aktif
ikut dalam usaha pencarian seperti Malaysia bertanggung jawab atas pencarian karena pesawat
Boeing-777 milik Malaysia Airlines tersebut terdaftar di negara tersebut. Selain itu, Australia
mengkoordinasi pencarian sebagai negara terdekat dengan lokasi tempat pesawat diduga jatuh.
Sebagian besar penumpang adalah warga China dan pemerintah China memainkan peran aktif
dalam pencarian.10
Walaupun ikut bertanggungjawab, namun masalah hukum yang terjadi dalam kasus ini
adalah pengaturan kewajiban negara-negara yang turut serta membantu pencarian, terutama
Australia sebagai koordinator tim pencarian dan China sebagai negara asal sebagian besar korban
pesawat belum memiliki kejelasan terkait dengan pendanaan yang cukup besar untuk pencarian
pesawat MH370 yang hilang di laut lepas Samudera Hindia. Malaysia Airlines sebagai
10
Voa Indonesia, “Kebingungan Muncul Atas Biaya Pencarian Pesawat MH370”, Voa Indonesia September
2015, dalam URL : http://www.voaindonesia.com/content/kebingungan-muncul-atas-biaya-pencarian-pesawatmh370/1933234.html diakses tanggal 25 September 2015
perusahaan pengangkut dan Malaysia sebagai tempat pesawat didaftarkan tentunya dalam hal ini
adalah pihak yang bertanggung jawab dalam pencarian pesawat MH370 yang hilang.
Namun, sampai saat ini belum ada kejelasan bagaimana Malaysia Airlines dan Negara
Malaysia harus menyediakan biaya untuk pencarian pesawat yang hilang dan dalam hal ini juga
mengenai bagaimana Malaysia dan Malaysia Airlines menyikapi mengenai penyediaan biaya
pencarian untuk negara-negara serta pihak-pihak lain yang membantu pencarian pesawat
MH370. Selain pembiayaan yang dibutuhkan untuk operasional alat-alat pencarian milik negara
tersebut sendiri, masalah lainnya adalah terkait tanggung jawab atas pembiayaan operasional
alat-alat yang disewa dari perusahaan swasta. Selain masalah siapa yang bertanggung jawab
pembiayaan, berbagai masalah juga timbul terkait dengan kriteria kapan seharusnya Malaysia
Airlines menyediakan biaya pencarian pesawat yang hilang untuk para tim SAR (Search and
Rescue). Masalah pembiayaan ini sangat penting mengingat belum diketahui berapa lama tim
SAR, Australia, China, serta negara-negara lain yang turut serta secara hukum diwajibkan untuk
terus mempertahankan pencarian. Hal ini belum jelas diatur dalam konvensi-konvensi
internasional yang telah ada sampai saat ini. Jika hal-hal di atas tidak segera ditangani dan tidak
ada kejelasan mengenai pengaturan tanggung jawab dalam kasus pencarian pesawat yang hilang
ini, maka kemungkinan besar masalah tanggung jawab mengenai pembiayaan dan jangka waktu
pencarin pesawat yang hilang akan menimbulkan kebingungan dan keresahan bagi masyarakat
internasional. Oleh karena itu, maka dirasakan perlu untuk dilakukan suatu penelitian mengenai
permasalahan tersebut di atas. Adapun bentuk penelitian tersebut dituangkan dalam bentuk
skripsi berjudul :
“TANGGUNG
JAWAB
PENGANGKUT
DALAM
PENERBANGAN
SIPIL
INTERNASIONAL TERHADAP BIAYA PENCARIAN PESAWAT UDARA YANG
HILANG (Studi Kasus Pesawat MH370)”
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dapat ditemukan beberapa masalah yang
akan diteliti lebih lanjut yaitu sebagai berikut
1. Bagaimanakah pengaturan tanggung jawab pengangkut dalam hukum pengangkutan
udara internasional?
2. Bilamanakah perusahaan pengangkut menyediakan biaya untuk pencarian pesawat udara
yang hilang menurut hukum internasional?
1.3 Ruang Lingkup Masalah
Dalam usulan penelitian ini penulis menentukan ruang lingkup masalah yang ingin
dipecahkan adalah bagaimana tanggung jawab atas biaya pencarian yang harus ditanggung oleh
para pihak yang dalam kasus ini adalah pengangkut yaitu Malaysia Airlines, negara tempat
pesawat terdaftar yaitu Malaysia, serta negara-negara pembantu pencarian, serta kapan
seharusnya pihak yang bertanggung jawab menyediakan biaya yang dibutuhkan dalam pencarian
pesawat yang hilang.
1.4 Tujuan Penelitian
Dalam menentukan tujuan penelitian yang hendak dicapai oleh peneliti, maka
berdasarkan latar belakang masalah, rumusan masalah, dan ruang lingkup masalah, serta untuk
mendapatkan data-data dan informasi atau keterangan-keterangan, maka peneliti mempunyai
tujuan sebagai berikut yaitu :
1.4.1 Tujuan Umum
1. Untuk melatih diri dalam usaha menyatakan pikiran ilmiah secara tertulis;
2. Untuk melaksakanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi, khususnya pada bidang
penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa;
3. Untuk mengembangkan Ilmu Hukum;
4. Untuk membulatkan studi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana
Hukum pada program Strata Satu (S1) di Fakultas Hukum Universitas Udayana.
1.4.2 Tujuan Khusus
1. Untuk lebih mengetahui dan memahami tanggung jawab perusahaan pengangkut
menurut Hukum Udara Internasional maupun Hukum Internasional serta prinsip-prinsip
atau asas-asas Hukum Internasional.
2. Untuk mengetahui bilamana pihak yang bertanggung jawab harus menyediakan biaya
pencarian pesawat yang hilang menurut Hukum Internasional.
1.5 Manfaat Penelitian
1.5.1 Manfaat Teoritis
Dengan dilakukannya penelitian ini maka diharapkan hasil penelitian ini dapat menambah
dan memperkaya Ilmu Pengetahuan Hukum. Ilmu Pengetahuan Hukum yang dimaksud adalah
Hukum Internasional maupun Hukum Udara maupun Pengangkutan Internasional mengenai
pembebanan tanggung jawab biaya dalam pencarian pesawat yang hilang menurut Hukum
Internasional.
1.5.2 Manfaat Praktis
Dengan dilakukannya penelitian ini diharapkan hasil penelitian ini dapat memberi manfaat
dan sumbangan pemikiran bagi pihak yang mendalami bidang Hukum Internasional maupun
Hukum Udara Internasional dan pihak yang terlibat dalam Penerbangan Internasional. Sehingga
dapat mewujudkan suatu kepastian pengaturan dan perlindungan hukum bagi pihak-pihak yang
terlibat.
1.6 Landasan Teoritis
1.6.1 Teori Mengikatnya Hukum Internasional
Hakikat hukum daripada Hukum Internasional tidak perlu diragukan lagi. Namun, yang
menjadi pertanyaan adalah mengenai kekuatan mengikat dari hukum internasional. Dalam hal
ini, timbul beberapa ajaran dan teori mengenai mengikatnya hukum internasional, diantaranya :
a. Mazhab/Teori Hukum Alam
Menurut teori ini, hukum internasional mengikat karena ia adalah bagian dari “hukum alam”
yang diterapkan dalam kehidupan bangsa-bangsa. Negara-negara tunduk atau terikat kepada
hukum internasional dalam hubungan antarmereka karena hukum internasional itu
merupakan bagian dari hukum yang lebih tinggi, yaitu “hukum alam”. Tokoh-tokoh dari
mazhab ini, antara lain, Hugo Grotius (Hugo de Groot), Emmeric Vattel. 11
b. Mazhab/Teori Hukum Positif
Ada beberapa mazhab yang termasuk ke dalam kelompok Mazhab atau Ajaran Hukum
Positif, yaitu:
1) Mazhab/Teori Kehendak Negara.
11
Mochtar Kusumaatmadja, Op.Cit, h. 44
Ajaran atau mazhab ini bertolak dari teori kedaulatan negara. Secara umum inti dari
ajaran atau mazhab ini adalah sebagai berikut: oleh karena negara adalah pemegang
kedaulatan, maka negara adalah juga sumber dari segala hukum. Hukum internasional itu
mengikat negara-negara karena negara-negara itu atas kehendak atau kemauannya sendirilah
tunduk atau mengikatkan diri kepada hukum internasional.
Bagi mazhab ini, hukum internasional itu bukanlah sesuatu yang lebih tinggi dari
kemauan negara (hukum nasional) tetapi merupakan bagian dari hukum nasional (c.q. hukum
tata negara) yang mengatur hubungan luar suatu negara (auszeres Staatsrecht). Para pemuka
mazhab ini, antara lain, Georg Jellinek, Zorn.
2) Mazhab atau Teori Kehendak Bersama Negara-negara.
Mazhab ini berusahan untuk menutup kelemahan Mazhab/Teori Kehendak Negara
sebagaimana telah dikemukan di atas. Menurut mazhab ini, hukum internasional itu mengikat
bukan karena bukan karena kehendak negara-negara secara sendiri-sendiri melainkan karena
kehendak bersama negara-negara itu di mana kehendak bersama ini lebih tinggi derajatnya
dibandingkan dengan kehendak negara secara sendiri-sendiri.Dikatakan pula oleh mazhab ini
bahwa, berbeda halnya dengan kehendak negara secara sendiri-sendiri, kehendak bersama ini
tidak perlu dinyatakan secara tegas atau spesifik.
Inilah inti dari ajaran Vereinbarungstheorie yang dikemukakan oleh Triepel. Melalui
ajarannya itu Triepel sesungguhnya berusaha untuk mendasarkan teorinya pada cara
mengikat hukum kebiasaan internasional. Maksudnya, dengan mengatakan bahwa kehendak
bersama negara-negara untuk terikat pada hukum internasional itu tidak perlu dinyatakan
secara tegas atau spesifik ia sesungguhnya bermaksud mengatakan bahwa negara-negara itu
telah menyatakan persetujuannya untuk terikat secara implisit atau diam-diam (implied).
3) Mazhab Wina
Kelemahan-kelemahan yang melekat pada mazhab-mazhab yang meletakkan dasar
kekuatan mengikat hukum internasional pada kehendak negara (yang kerap juga disebut
sebagai aliran voluntaris) melahirkan pemikiran baru yang tidak lagi meletakkan dasar
mengikat hukum internasional itu pada kehendak negara melainkan pada adanya norma atau
kaidah hukum yang telah ada terlebih dahulu yang terlepas dari dikehendaki atau tidak oleh
negara-negara (aliran pemikiran ini kerap disebut sebagai aliran objektivist). Tokoh terkenal
dari aliran ini adalah Hans Kelsen yang mazhabnya dikenal dengan sebutan Mazhab Wina
(Vienna School of Thought).
Menurut Kelsen, ada dan mengikatnya kaidah hukum internasional didasarkan oleh ada
dan mengikatnya kaidah hukum lain yang lebih tinggi. Ada dan mengikatnya kaidah hukum
yang lebih tinggi itu didasarkan oleh ada dan mengikatnya kaidah hukum yang lebih tinggi
lagi. Demikian seterusnya hingga sampai pada suatu puncak piramida kaidah-kaidah hukum
yang dinamakan kaidah dasar (grundnorm) yang tidak lagi dapat dijelaskan secara hukum
melainkan harus diterima adanya sebagai hipotesa asal (ursprungshypothese). Menurut
Kelsen, kaidah dasar dari hukum internasional itu adalah prinsip atau asas pacta sunt
servanda.
c. Mazhab Perancis
Mazhab ini meletakkan dasar mengikatnya hukum internasional sebagaimana halnya
bidang
hukum
lainnya,
pada
faktor-faktor
yang
mereka
namakan
“fakta-fakta
kemasyarakatan” (fait social), yaitu berupa faktor-faktor biologis, sosial, dan sejarah
kehidupan manusia. Artinya, dasar mengikatnya hukum internasional itu dapat dikembalikan
kepada sifat alami manusia sebagai mahluk sosial yang senantiasa memiliki hasrat untuk
hidup bergabung dengan manusia lain dan kebutuhan akan solidaritas. Kebutuhan dan naluri
sosial manusia sebagai individu itu juga dimiliki oleh negara-negara atau bangsa-bangsa
(yang merupakan kumpulan manusia). Dengan kata lain, menurut mazhab ini, dasar
mengikatnya hukum internasional itu, sebagaimana halnya dasar mengikatnya setiap hukum,
terdapat dalam kenyataan sosial yaitu pada kebutuhan manusia untuk hidup bermasyarakat.
1.6.2 Teori Tanggung Jawab Hukum
Suatu konsep yang terkait dengan konsep kewajiban hukum adalah teori tanggungjawab
hukum (liability). Menurut teori ini, seseorang yang bertanggungjawab secara hukum atas
perbuatan tertentu bahwa dia dapat dikenakan suatu sanksi adalah dalam kasus perbuatannya
bertentangan atau berlawanan hukum. Subyek responsibility dan subyek kewajiban hukum
adalah sama. Dalam teori tradisional, ada dua jenis tanggung jawab: pertanggungjawaban
berdasarkan kesalahan (based on fault) dan pertanggungjawab mutlak (absolute responsibility).12
1.6.3 Teori Perlindungan Hukum
Menurut Fitzgerald, Teori perlindungan hukum Salmond bahwa hukum bertujuan
mengintegrasikan dan mengkoordinasikan berbagai kepentingan dalam masyarakat karena dalam
suatu lalu lintas kepentingan, perlindungan terhadap kepentingan tertentu dapat dilakukan
dengan cara membatasi berbagai kepentingan di lain pihak.13 Menurut Satjipto Rahardjo,
perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman terhadap hak asasi manusia (HAM) yang
dirugikan orang lain dan perlindungan itu diberikan kepada masyarakat agar dapat menikmati
semua hak-hak yang diberikan oleh hukum.14
12
Jimly Asshiddiqie, Ali Safa’at, 2006, Teori Hans Kelsen tentang Hukum, Konstitusi Press, Jakarta, h. 61
13
Satjipto Rahardjo, 2000, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 53
14
Ibid, h.69
Hukum dapat difungsikan untuk mewujudkan perlindungan yang sifatnya tidak sekedar
adaptif dan fleksibel, melainkan juga prediktif dan antipatif. Perlindungan hukum merupakan
gambaran dari bekerjanya fungsi hukum yakni keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum.
Perlindungan hukum adalah suatu perlindungan yang diberikan kepada subyek hukum sesuai
dengan aturan hukum baik itu yang bersifat preventif maupun dalam bentuk yang sifatnya
represif, baik secara tertulis maupun tidak tertulis dalam rangka menegakkan peraturan hukum
.
1.7 Metode Penelitian
1.7.1 Jenis Penelitian
Jenis Penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian hukum
normatif. Penelitian hukum normatif adalah pemecahan masalah yang didasarkan pada literaturliteratur dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas
beranjak dari adanya kesenjangan dalam notma atau asas hukum, dengan menggunakan landasan
teoritis dan bahan hukum yang terdiri atas bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan
tersier. Landasan teoritis yang digunakan merupakan undang-undang, norma-norma maupun
teori-teori teori yang sesuai dengan pernasalahan yang diangkat.
Penelitian hukum normatif yang terdiri dari penelitian terhadap asas-asas hukum,
sistematika hukum, dan taraf sinkronisasi hukum.15 Penelitian ini dilakukan dengan
menggunakan metode normatif karena penelitian ini mempelajari bahan-bahan hukum sebagai
acuan dalam penelitian. Peraturan perundang-undangan, dikaji berdasarkan teori-teori dan
ketentuan hukum yang mengaturnya.
Penelitian hukum normatif yang mengacu pada bahan hukum primer, bahan hukum
sekunder, dan bahan hukum tersier. Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang mempunyai
15
Bambang Sunggono, 2009, Metodologi Penelitian Hukum, Rajagrafindo Persada, Jakarta. h. 41.
ketentuan mengikat secara umum (perundang-undangan) atau mempunyai kekuatan mengikat
bagi pihak-pihak berkepentingan (kontrak, konvensi, dokumen hukum, dan putusan hakim).
Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberi penjelasan terhadap bahan hukum
primer (buku ilmu hukum, jurnal hukum, laporan hukum dalam media cetak maupun
elektronik).Sedangkan bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan
terhadap bahan hukum sekunder (rancangan undang-undang, kamus hukum dan ensiklopedia).
1.7.2 Jenis Pendekatan
Penelitian Hukum Normatif umumnya mengenal 7 (tujuh) jenis pendekatan yakni :
1. Pendekatan Kasus (The Cases Approach)
2. Pendekatan Perundang-undangan
3. Pendekatan Fakta (The Fact Approach)
4. Pendekatan Aanalisis Konsep Hukum (Analitical & Conseptual Approach)
5. Pendekatan Frasa (Words & Phrase Approach)
6. Pendekatan Sejarah (Historical Approach)
7. Pendekatan Perbandingan (Comparative Approach)
Dalam karya tulis ini, penulis menggunakan pendekatan perundang-undangan, serta
pendekatan kasus. Adapun mengenai perundang-undangan, dalam Hukum Internasional tidaklah
terdapat Undang-Undang, sehingga makna Undang-Undang tersebut perlu diinterpretasikan
secara lebih luas lagi, mencakup segala ketentuan hukum yang tertulis, sehingga Konvensi, dan
segala bentuk Perjanjian Internasional juga dapat dipandang atau diinterpretasikan sebagai
sebuah Undang-Undang.
1.7.3 Sumber Bahan Hukum
Karena penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, maka sumber data yang
digunakan adalah data sekunder yang berupa bahan hukum, yang terdiri atas :
a. Bahan Hukum Primer, yaitu sumber hukum yang bersufat autoratif yang artinya
mempunayi otoritas.16 Bahan hukum primer dalam karya tulisan ini terdiri atas asas
dan kaidah hukum yang diwujudkan dalam :
1. Convention on International Civil Aviation, 1944 (Chicago Convention);
2. Convention for The Unificationof Certain Rules Relating to International
Carriage by Air, 1929 (Warsaw Convention)
b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu sumber hukum yang bersifat pelengkap bagi bahan
hukum primer. Bahan hukum sekunder dalam karya tulis ini terdiri dari buku-buku,
jurnal-jurnal hukum, karya tulis hukum, dan materi muatan internet yang berkaitan
dengan rumusan masalah.
c. Bahan Hukum Tersier, yaitu sumber yang menjelaskan bahan hukum primer maupun
sekunder. Bahan hukum tersier dalam karya tulis ini terdiri atas Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Kamus Bahasa Inggris, Kamus Hukum, dan Ensiklopedia.
1.7.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Teknik pengumpulan bahan hukum/data yang digunakan dalam penulisan penelitian ini
adalah teknik studi dokumen yaitu dengan cara mencari bahan-bahan di dalam buku-buku terkait
untuk dibaca serta dicatat kembali untuk disusun secara sistematis sesuai dengan bahasan dalam
penelitian ini. Untuk menunjang penulisan penelitian ini pengumpulan bahan-bahan hukum
diperoleh melalui :
a. Pengumpulan bahan hukum primer dilakukan dengan cara mengumpulkan dokumendokumen hukum internasional yang berkaitan dengan masalah yang dibahas.
16
Peter Mahmud Marzuki, 2008, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, h. 96
b. Pengumpulan bahan hukum sekunder dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan yang
bertujuan untuk mendapatkan bahan-bahan hukum yang bersumber dari buku-buku,
rancangan undang-undang, jurnal nasional maupun internasional, karya tulis hukum atau
pandangan ahli hukum yang termuat dalam media massa maupun berita di internet yang
terkait dengan permasalahan yang hendak dibahas dalam penelitian ini.
1.7.5 Teknik Analisis Bahan Hukum
Analisis data merupakan kegiatan dalam penelitian yang berupa melakukan kajian atau
telaah terhadap hasil pengolahan data yang dibantu dengan teori-teori yang telah didapatkan
sebelumnya.17 Teknik pengolahan bahan hukum yaitu setelah bahan hukum terkumpul kemudian
dianalisis menggunakan teknik deskripsi yaitu dengan memaparkan bahan hukum primer dan
bahan hukum sekunder apa adanya.18
Bahan hukum primer dan sekunder yang terkumpul selanjutnya diberikan penilaian
(evaluasi), kemudian dilakukan interpretasi dan selanjutnya diajukan argumentasi. Argumentasi
dilakukan oleh peneliti untuk memberikan preskripsi atau penilaian mengenai benar atau salah
atau apa yang seyogyanya menurut hukum atau peristiwa hukum dari hasil penelitian. Dari hasil
tersebut nantinya akan ditarik kesimpulan secara sistematis agar tidak menimbulkan kontradiksi
antara bahan hukum yang satu dengan bahan hukum yang lain.
Teknik lainnya yang penulis gunakan adalah teknik analisis, yaitu pemaparan secara
mendetail dari keterangan-keterangan yang didapat pada tahap sebelumnya yang berkaitan
17
Mukti Fajar MD dan Yulianto Achmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta, h. 183
18
Ronny Hanitjito, 1991, Metode Penelitian Hukum, Cet II, Ghalia Indonesia, Jakarta, h. 93.
dengan permasalahan dalam penelitian ini sehingga keseluruhannya membentuk satu kesatuan
yang saling berhubungan secara logis.19
19
Ibid.
Download