LAPORAN KASUS PENATALAKSANAAN ANGIOEDEMA KARENA OBAT Pembimbing : drg. RinaKartika Sari, Sp.PM Disusunoleh : AnnisaPrimasari FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG 2020 ANGIOEDEMA KARENA OBAT AnnisaPrimasari1, RinaKartika Sari2 1. MahasiswaFakultasKedokteranGigiUNISSULA 2. StafpengajarFakultasKedokteranGigiUNISSULA ABSTRAK Latar Belakang : Angioedema adalah reaksi hipersensitifitas yang menimbulkan pembengkakan pada jaringan lunak wajahdan biasanya disertai gatal gatal. Angiodema termasuk hipersensitifitas tipe 1 yang berhubungan dengan histamin dan dimediasi oleh igE. Reaksi dapat muncul secara cepat dan reaksi anafilaktik dapat terjadi berupa pembengkakan lokal atau sistemik setelah terpapar dengan alergen dalam hitungan menit. Reaksi ini salah satunya bisa disebabkan karena penggunaan obat-obatan.Salah satu yang paling sering menyebabkan angioedema terkait obat adalahdari pengobatan ACE inhibitor, selain itu angiotensin-receptorblocker (ARB), antisteroidobat peradangan (NSAID), bupropion, antibiotik beta-laktam,statin, dan inhibitor pompa proton. Karakteristik angioedema adalah jaringan bengkak, dapat solitari atau multiple dan umumnya melibatkan wajah, bibir, lidah, paring dan laring. Jika mengenai kulit dan mukosa membran dapat menyebabkan pelebaran sampai beberapa centimeter. Tujuan: Untuk mengetahui definisi, etiologi, gambaran klinis, etiopatogenesis serta penatalaksanaan angioedema. Tatalaksana kasus: Pasien perempuan usia 24 tahun datang dengan keluhan bibir bawahnya terasa tebal, kering, panas, dan disertai rasa nyeri sejak 4 jam yang lalu. Pasien juga mengeluhkan sudut bibir sebelah kiri terasa perih dan berwarna merah kecoklatan pada malam hari setelah dilakukan odontektomi. Pasien mengaku kemarin (3 oktober 2018) telah dilakukan odontektomi pada gigi bawah kirinya. Pasien mengaku sebelum dilakukan prosedur odontektomi disekitar bibir pasien dilakukan desinfeksi menggunakan betadine. Setelah odontektomi, pasien mengkonsumsi obat yang diberikan oleh dokter, yaitu amoxicillin dan cataflam. Saat ini pasien sudah mengkonsumsi 3 butir amoxicillin dan 3 butir cataflam. Diagnosa kasus ini adalah angioedema karena obat. Kesimpulan :Pada pemeriksaan penunjang IgE total pasien positif alergi, adapun pengobatan yang dianjurkan ialah menghentikan penggunaan obat penyebab paparan, medikasi yang diberikan ialah obat cetirizin 10 mg satu kali sehari. Kata Kunci: angioedema, alergi obat, antihistamin PENDAHULUAN Alergi yaitu penyakit yang terjadi akibat respon sistem imun terhadap antigen. Alergi merupakan salah satu respon sistem imun yang disebut reaksi hipersensitif. Reaksi hipersensitif merupakan salah satu respon sistem imun yang berbahaya karena dapat menimbulkan kerusakan jaringan maupun penyakit yang serius.1Reaksi alergi dapat disebabkan salahsatunyaolehobat. Reaksi alergi yang timbul dapat bermacam-macam seperti reaksi anafilaktik, serangan asma, atau dermatitis pada kulit. Zat alergen yang masuk ke dalam tubuh akan mengaktifkan reaksi immunogenik dan menimbulkan respon hipersensitivitas.2 Sehubungan dengan obat, obat dikenal mempunyai 2 macam efek, yaitu efek normal dan efek abnormal. Efek normal ialah efek yang timbul pada sebagian besar (kebanyakan individu); dan efek abnormal ialah efek yang timbul pada sebagian kecil individu atau kelompok individu tertentu. Kedua macam efek tersebut dapat terjadi pada dosis lazim yang dipergunakan dalam terapi.3 Terdapat dua macam efek normal, yaitu efek utama dan efek samping. Efek utama (primer) ialah efek yang sesuai dengan tujuan pengobatan, sedangkan efek samping ialah efek yang tidak menjadi tujuan utama pengobatan.3 Pada efek abnormal terdapat efek toleransi dan efek intolernsi. Toleransi adalah pengurangan respon pada obat karena pemakaian berulang/dalam jangka panjang, sedangkan intoleransi adalah suatu penyimpangan respon terhadap dosis tertentu obat. Macam efek intoleransi yaitu idiosinkrasi, anafilaksis, dan alergi. Idiosinkrasi merupakan efek abnormal dari obat yang berbeda dari efek farmakologisnya, kondisi ini bersifat individu, akibat kelainan genetik. Anafilaksis adalah reaksi alergi yang terjadi dalam waktu singkat setelah pemberian obat, dapat menimbulkan syok yang disebut syok anafilaksis yang dapat berakibat fatal. Alergi adalah respon abnormal dari system kekebalan tubuh. Reaksi hipersensitivitas obat ini tidak dapat diperkirakan sebelumnya danmerupakan keadaan yang dapat mengancam jiwa. Insidensi dan karakteristik reaksi alergiterhadap suatu obat bergantung pada faktor genetik dan lingkungan.Diagnosis alergi obat dapat ditegakkan apabila terdapat bukti imunologis yangmenunjukkan terjadinya reaksi.4 Faktor yang berhubungan dengan peningkatan risiko terjadinya alergi obat termasuk usia, jenis kelamin, polimorfisme genetik, infeksi virus dan faktor terkait obat (frekuensi paparan, rute administrasi, berat molekul).Faktor genetik dan status imun pejamu dapat meningkatkan risiko alergi obat. Anak dengan riwayat alergi obat pada orang tuanyamemiliki risiko alergi obat yang lebih tinggi jika dibandingkan anak yang tidak memilikiriwayat alergi obat pada orang tuanya. Predisposisi genetik ini juga berhubungan denganterjadinya reaksi alergi yang lebih berat. 5 Reaksi yang merugikan dari hipersensitivitas terhadap obat dapat menimbulkan berbagai manifestasi klinis di rongga mulut. Manifestasi yang terjadi pada reaksi hipersensitivitas terhadap obat dapat berupa stomatitis aphtous, erythema multiform, angioedema, burning mouth syndrome, dan pembesaran gingival.6 Laporan kasus ini dibuat dengan tujuan untuk mengetahui definisi, etiologi, gambaran klinis, etiopatogenesis serta penatalaksanaan angioedema karena obat. LAPORAN KASUS 1.1 Kunjungan 1 (4 Oktober 2018) hari ke-1 Seorang pasien perempuan usia 24 tahun datang dengan keluhan bibir bawahnya terasa tebal, kering, panas, dan disertai rasa nyeri sejak tadi pagi pukul 06.00, empat jam yang lalu. Pasien mengaku satu hari yang lalu (3 Oktober 2018) telah dilakukan odontektomi pada gigi bawah kirinya. 19 jam setelah dilakukan odontektomi, di sekitar bibir dan di bibir pasien timbul bintik-bintik merah, terasa gatal, tebal, panas, dan nyeri.Pasien juga mengeluhkan sudut bibir sebelah kiri terasa perih dan berwarna merah kecoklatan pada malam hari setelah dilakukan odontektomi.Pasien mengaku sebelum dilakukan prosedur odontektomi disekitar bibir pasien dilakukan desinfeksi menggunakan betadine. Setelah odontektomi, pasien mengkonsumsi obat yang diberikan oleh dokter, yaitu amoxicillin dan cataflam. Saat ini pasien sudah mengkonsumsi 3 butir amoxicillin dan 3 butir cataflam. Pasien terakhir minum obat pukul 09.00 pagi tadi. Sebelumnya pasien tidak pernah mengalami hal tersebut. Pasien mengaku tidak memiliki riwayat penyakit sistemik maupun alergi. Pada pemeriksaan ekstra oral tidak didapatkan ada pembengkakan dan rasa sakit pada palpasi kelenjar limfe serta tidak ada asimetri wajah. Tekanan darah pasien 117/73 mmHg, denyut nadi 78x/menit, respiration rate 20x/menit, dari hasil pemeriksaan vital sign pasien tersebut menunjukkan keadaan umum pasien baik. Pada vermilion superior dan inferior menunjukan terdapat pembengkakan disertai eritema, lunak saat dipalpasi, dan terdapat lesi berbentuk krusta pada commisura sinistra, sakit saat dipalpasi. Diagnosa sementara dalam kasus ini adalah angioedema. Berdasarkan gambaran klinis kasus ini, cheilitis granulomatosa dapat menjadi diagnosa banding dari angioedema. Terapi yang diberikan adalah pemberian obat berupa cetirizin tablet yang diminum satu kali sehari setelah makan selama lima hari. Pasien diintruksikan untukmenghentikan konsumsi obat yang diberikan post odontektomi, serta dirujuk untuk pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan darah lengkap dan IgE total, kemudian kontrol pada hari ke-7. 1.2 Kunjungan 2 (18 Oktober 2018), hari ke-14 Seorang pasien wanita usia 24 tahun datang untuk melakukan kontrol setelah dilakukan perawatan pada bibirnya yang mengalami pembengkakan, terasa gatal, panas, dan nyeri. Pasien sudah tidak mengeluhkan apapun. Pasien mengaku rutin mengkonsumsi obat yang diberikan. Sebelumnya pasien diberikan obat cetirizin. Bibir pasien sudah tidak bengkak pada hari kedua setelah dilakukan medikasi. Pada pemeriksaan ekstra oral tidak didapatkan ada pembengkakan dan rasa sakit pada palpasi kelenjar limfe serta tidak ada asimetri wajah. Pada vermilion superior dan inferior menunjukkan sudah terjadi penyembuhan, sudah tidak terdapat pembengkakan. Pemeriksan darah lengkap menunjukan neutrofil batang mengalami penurunan dan monosit mengalami kenaikan. Pada pemeriksaan IgE total didapatkan lebih dari nilai normal. Diagnosa dalam kasus ini adalah angioedema, dengan diagnosa banding cheilitis granulomatosa. Perawatan berupa kontrol dan KIE kepada pasien untuk menghindari konsumsi obat penyebab alergi, mengedukasi pasien untuk menjaga oral hygiene, menjaga kondisi tubuh, makan makanan bergizi. Hasil pemeriksaan penunjang : PEMBAHASAN Angioedema adalah pembengkakan yang disebabkan oleh meningkatnya permeabilitas vaskular pada jaringan subkutan kulit, lapisan mukosa dan submukosa. Karakteristik angioedema adalah jaringan bengkak, dapat solitari atau multiple dan umumnya melibatkan wajah, bibir, lidah, paring dan laring. Jika mengenai kulit dan mukosa membran dapat menyebabkan pelebaran sampai beberapa centimeter. Sebagai tambahan selain wajah, dapat juga melibatkan kulit meliputi tangan, lengan, kaki, alat kelamin, dan pantat. Biasanya tidak sakit, umumnya menimbulkan rasa gatal dan dapat terlihat erithema.10 Angiodema termasuk hipersensitifitas tipe 1 yang berhubungan dengan histamin dan dimediasi oleh igE. Reaksi dapat muncul secara cepat dan reaksi anafilaktik dapat terjadi berupa pembengkakan lokal atau sistemik setelah terpapar dengan alergen dalam hitungan menit. Reaksi ini biasanya disebabkan karena sengatan lebah, kacang-kacangan, makanan laut, dan latex.10 Hipersensitivitas tipe 1 terjadi dalam reaksi jaringan yang terjadi dalam beberapa menit setelah antigen bergabung dengan antibodi yang sesuai. Ini dapat terjadi sebagai anafilaksis sistemik (misalnya setelah pemberian protein heterolog) atau sebagai reaksi lokal (misalnya alergi atopik seperti demam hay). Urutan kejadian reaksi hipersensitivitas tipe 1 adalah sebagai berikut : Fase sensitisasi yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampai diikatnya oleh reseptor spesifik (Fϲε-R) pada permukaan sel mast dan basofil. Fase aktivasi yaitu waktu yang diperlukan antara pejanan ulang dengan antigen yang spesifik dan sel mast melepas isinya yang berisikan granul yang menimbulkan reaksi. Fase efektor yaitu waktu terjadi respon yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek mediator-mediator yang dilepas sel mast dengan aktivitas farmakologik. Pada reaksi hipersensitivitas tipe 1 memerlukan sel mast dan igE. Seorang pasien yang sebelumnya sudah terpapar oleh alergen akan memiliki antibodi (IgE) yang menetap pada sel mast. Sehingga apabila alergen tersebut masuk kembali ke dalam tubuh, maka akan terjadi reaksi dengan antibodi. Reaksi tersebut menyebabkan peningkatan kalsium intraseluler dan pelepasan mediator inflamasi seperti histamin, protease, dan mediator turunan lipid yang baru disintesis seperti leukotrien dan prostaglandin. Termasuk sitokin juga dilepaskan, yang menarik eosinofil dan meningkatkan respons inflamasi. Zat ini menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas kapiler, yang akhirnya menyebabkan akumulasi cairan dan leukosit dalam jaringan dan pembentukan edema.11 Reaksi ini terjadi setelah paparan berulang dari alergen yang sama. Alergen akan berikatan dengan APC yang kemudian akan dipresentasikan oleh MHC II. Hal tersebut akan mengaktivasi limfosit T, dan limfosit T berdiferensiansi menjadi sel ThII. Sel ini akan mengeluarkan IL-4 dan IL-13 yang mengubah sel B menjadi sel plasma. Sel plasma akan megeluarkan IgE dan berikatan dengan sel mast dengan bantuan reseptor Fc (FcERI). IgE yang menempel pada sel mast, membuat alergen menjadi aktif dan terjadi degranulasi sel mast. Degranulasi sel mast menyebabkan ion kalsium terinduksi sehingga mediator - mediator inflamasi keluar. Mediator – mediator inflamasi yang dikeluarkan adalah mediator inflamasi preformed mengeluarkan amina vasoaktif (histamine), chymase tryptase, heparin, kemudian membrane fosfolipid yang mengeluarkan prostaglandin, LC4, LD4, LB4, serta sitokin yang mengeluarkan TNF, IL-1, IL-3, IL-4, IL-5.11 Amina vasoaktif yang dikeluarkan oleh mediator inflamasi preformed menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah, peningkatan permeabilitas kapiler, akumulasi cairan dan leukosi jaringan sehingga menyebabkan terjadinya angiodema. Sedangkan sitokin menyebabkan inflamasi dan degradasi kolegen yang kemudian mengakibatkan penurunan kestabilan mukosa sehingga terjadi kerusakan sel apitel.11 Dengan adanya proses inflamasi, mediator-mediator inflamasi yang keluar akan menstimulasi aktivitas melanosit. Kerusakan yang diinduksi oleh inflamasi pada keratinosit basal, menyebabkan produksi melanin dalam jumlah besar. Pigmen bebas kemudian difagosit oleh makrofag yang disebut melanofag pada epidermis dan menghasilkan warna kecoklatan. Lokasi kelebihan pigmen dalam lapisan kulit akan menentukan warna dari hiperpugmentasi, jika terjadi bada lapisan dermis akan memiliki tampilan abu-abu tua/biru keabuan.12 Diagnosis reaksi hipersensitivitas terhadap obat ditegakkan berdasarkan anamnesis yang teliti, adanya gejala klinis yang muncul setelah penderita terpajan oleh alergen atau faktor pencetusnya dan identifikasi temuan fisik pada pasien. Anamnesis yang teliti dapat memberikan penjelasan mengenai penyebab terjadinya reaksi hipersensitivitas terhadap obat.12 Pemeriksaan penunjang pada pasien dengan alergi obat juga diperlukan dalam menegakkan diagnosis. Pemeriksaan yang penting diantaranya adalah pemeriksaan darah lengkap, IgE total, dan prick test.13 Dalam beberapa literatur, alergi akibat povidone-iodine adalah komplikasi yang jarang. Ada yang menyebutkan prevalensinya sekitar 0,4%.14 Pada pasien ini hanya dilakukan pemeriksaan darah lengkap dan IgE total, dikarenakan hasil dari anamnesis, pemeriksaan darah lengkap, dan IgE total sudah dapat menegakkan diagnosa dari pasien. Hasil dari pemeriksaan penunjang pada pasien dari pemeriksan darah lengkap menunjukan neutrofil batang mengalami penurunan dan monosit mengalami kenaikan. Pada pemeriksaan IgE total didapatkan jumlah IgE melebihi nilai normal. Penurunan jumlah neutrofil berhubungan dengan beberapa hal, diantaranya infeksi virus, anemia, pengaruh obat-obatan. Peningkatan monosit menunjukkan adanya infeksi yang sedang berlangsung dan adanya proses peradangan. Kadar total IgE yang tinggi memberikan indikasi bahwa pasien memiliki bakat atau kecenderungan yang kuat mengalami reaksi alergi.15 Diagnosa banding dari kasus ini adalah cheilitis granulomatosa. Cheilitis granulomatosa adalah pembesaran bibir kronis yang merupakan inflamasi granulomatosa tanpa diketahui penyebabnya. Etiologi pada kondisi ini belum diketahui secara jelas. Gambaran klinis pada cheilitis granulomatosa tanpa rasa nyeri (painless), persisten, dan pembengkakannya menyebar baik satu maupun kedua bibir. Selain itu, terdapat vesikel-vesikel kecil dan erosi. Cheilitis granulomatosa dianggap merupakan gejala tunggal dari Melkersson-Rosenthal Syndrome.16 Pada kasus ini pasien diminta untuk menghindari alergen dan diobati dengan cetirizin. Cetirizine merupakan obat antihistamin generasi kedua. Antihistamin adalah zat yang dapat mengurangi atau menghalangi efek histamin terhadap tubuh dengan jalan memblok reseptor histamin.17 Ada empat tipe reseptor histamin, yaitu H1, H2, H3, dan H4 yang keempatnya memiliki fungsi dan distribusi yang berbeda. Pada kulit manusia hanya reseptor H1 dan H2 yang berperan utama. Cetirizine merupakan antagonis reseptor H-1. Cetirizine bekerja dengan cara memblokade reseptor H1 oleh antagonis H1 sehingga menghambat terikatnya histamin pada reseptor sehingga menghambat dampak akibat histamin. Cetirizine dapat menurunkan jumlah histamin dengan mengurangi jumlah produksi prostaglandin yang diinduksi oleh antigen.17 Antihistamin bekerja secara kompetitif terhadap reseptor antihistamin pada sel, dengan demikian anthistamin akan mencegah kerja histamin pada organ target. Antihistamin juga mampu menghambat pelepasan mediator inflamasi, namun tidak dapat menghilangkan efek histamin yang telah timbul sehingga lebih berguna sebagai pencegahan terlepasnya kembali histamin dari pada sebagai pengobatan yang ditimbulkan oleh stimulasi histamin.18 Dalam kasus ini pemberian obat antihistamin bertujuan untuk memberikan pengobatan agar keluhan pasien dapat tertangani. Untuk mengetahui apakah pasien mengalami alergi dilakukan pemeriksaan hematologi lengkap dan IgE total. Pemeriksaan penunjang dilakukan segera setelah pasien dicurigai mengalami alergi. Sebelumnya pasien diinstruksikan untuk mengehentikan penggunaan obat yang dicurigai sebagai penyebab alergi. KESIMPULAN Reaksi hipersensitivitas obat merupakan efek samping obat yang tidak dapa tdiduga. Angioedema merupakan suatu reaksi hipersensitivitas yang disebabkan oleh alergen penyebab yaitu obat-obatan, makanan, bahan kedokteran gigi(bahan restorasi, prostetik, alat ortodonti, merkuri, akrilik, cobalt). angioedema adalah suatu reaksi hepersensitivitas yang timbul pada rongga mulut yang disebabkan oleh kontak terhadap alergen. Pengobatan angioedema pada kasus ini adalah dengan menghindari alergen dan menggunakan antihistamin. Alergi dapat juga diobati dengan kortikosteroid, imunosupresan, dan antihistamin. DAFTAR PUSTAKA 1. Muhaiminrifa’i, Phd.Med.Sc. Alergi Dan Hipersensitif Alergi Dan Hipersensitif. Jurusan Biologi Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Brawijaya Malang 2011. 2. Limsuwan T, Demoly P. Acute Symptoms Of Drug Hypersensitivity (Urticaria,Angioedema, Anaphylaxis, Anaphylactic Shock). Med Clin N Am. 2010;94:691-710. 3. Gunawan, GanSulistia. 2009. Farmakologi DanTerapiEdisi 5. Jakarta: Departemen 4. James, William D.; Berger, Timothy G.; Et Al. (2006). Andrews' Diseases Of The Skin: Clinical Dermatology. Farmakologi Dan TerapeutikFakultasKedokteranUniversitas Indonesia. Saunders Elsevier. P. 63. 5. Abdollahi M. Current Opinion On Drug-Induced Oral Reactions: A Comprehensive Re‐ 6. Lubis A., Wisnu B., Endaryanti A., Harsono A., Kesesuaian Gejala Klinis Dengan Hasil Uji Tusuk Kulit Dan Uji Provokasi Makanan Pada Reaksi 7. Rahmat cahya nur, Sukamto koesnoe, Nanang sukmana. Sindrom hipersensitivitas obat. J Indon Med Assoc, Volum: 61, Nomor: 4, April 2011. 8. Simpang Terhadap Makanan. 2017. 29(2):106-116. 9. Abbas A. K, Litchman A. H, Pillai S. 2016. Imunologi Dasar Abbas : Fungsi Dan Kelainan Sistem Imun. Ed 5. Singapore : Elsevier. 10. Erna S, Desiana R.2017.Penatalaksanaan Stomatitis Alergikadisertai Dermatitis Perioral Akibat alergi telur. Surabaya:Universitas Airlangga. 11. Roy Ar, Iris R. Pendekatan Diagnosis Dan Tata Laksana alergi obat approach To Diagnosis And Treatment Of Drug Allergy.Vol:3,2016. Kumar, V., Abbas, A.K., Aster, J.C. Robbins Basic Pathology. 9th Ed. Philadelphia: Elsevier Inc., Pp. 110-114, 2013. 12. Callender VD, Surin-Lord SS, Davis EC, Maclin M. Postinflamatory Hyperpigmentation. Am J Clin Dermatol 2011;12(2):87-99. 13. Warrington R, Silviu-Dan F. Drug Allergy. Asthma & Clinical Immunology. 2011;7(1):1-8. 14. Schiano P, Bourgeois B, Richard P, Belaouchi F, Monsegu J, Allouch P et al. Iodic allergic reaction with vasospas moccluded coronary during coronarography. Ann Cardiol Angeiol (Paris) 2002;51: 382–5. 15. Erni Indrawati dan Kus Harijanti 2014. Management of allergic stomatitis due to daily food consumption (Penatalaksanaan stomatitis alergika akibat konsumsi makanan sehari-hari) 16. William AC, David C. Cheillitis Granulomatosa: A Review. Head and Neck Pathol (2014) 8:209–213. 17. Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2007. Farmakologi dan Terapi. Jakarta: Penerbit EGC. 18. Wood A. Antihistamines. Dalam: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ, penyunting. Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. Edisi ke-8. New York: McGraw Hill companies; 2012.h.439-448. LEMBAR PENGESAHAN Case Reflection Oral Medicine ANGIOEDEMA BLOK 6 Disusun oleh Annisa Primasari 31101200287 Telah disetujui oleh: Semarang, ........................................ 2020 Pembimbing klinik, drg. Rina Kartika Sari, Sp.PM