Uploaded by User73201

Laporan angiodema AnnisaP

advertisement
LAPORAN KASUS
PENATALAKSANAAN ANGIOEDEMA KARENA OBAT
Pembimbing :
drg. RinaKartika Sari, Sp.PM
Disusunoleh :
AnnisaPrimasari
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG
SEMARANG
2020
ANGIOEDEMA KARENA OBAT
AnnisaPrimasari1, RinaKartika Sari2
1. MahasiswaFakultasKedokteranGigiUNISSULA
2. StafpengajarFakultasKedokteranGigiUNISSULA
ABSTRAK
Latar Belakang : Angioedema adalah reaksi hipersensitifitas yang menimbulkan
pembengkakan pada jaringan lunak wajahdan biasanya disertai gatal gatal.
Angiodema termasuk hipersensitifitas tipe 1 yang berhubungan dengan histamin
dan dimediasi oleh igE. Reaksi dapat muncul secara cepat dan reaksi anafilaktik
dapat terjadi berupa pembengkakan lokal atau sistemik setelah terpapar dengan
alergen dalam hitungan menit. Reaksi ini salah satunya bisa disebabkan karena
penggunaan obat-obatan.Salah satu yang paling sering menyebabkan angioedema terkait
obat adalahdari pengobatan ACE inhibitor, selain itu angiotensin-receptorblocker (ARB),
antisteroidobat peradangan (NSAID), bupropion, antibiotik beta-laktam,statin, dan
inhibitor pompa proton. Karakteristik angioedema adalah jaringan bengkak, dapat solitari
atau multiple dan umumnya melibatkan wajah, bibir, lidah, paring dan laring. Jika
mengenai kulit dan mukosa membran dapat menyebabkan pelebaran sampai beberapa
centimeter.
Tujuan: Untuk mengetahui definisi, etiologi, gambaran klinis, etiopatogenesis serta
penatalaksanaan angioedema.
Tatalaksana kasus: Pasien perempuan usia 24 tahun datang dengan keluhan bibir
bawahnya terasa tebal, kering, panas, dan disertai rasa nyeri sejak 4 jam yang lalu. Pasien
juga mengeluhkan sudut bibir sebelah kiri terasa perih dan berwarna merah kecoklatan
pada malam hari setelah dilakukan odontektomi. Pasien mengaku kemarin (3 oktober
2018) telah dilakukan odontektomi pada gigi bawah kirinya. Pasien mengaku sebelum
dilakukan prosedur odontektomi disekitar bibir pasien dilakukan desinfeksi menggunakan
betadine. Setelah odontektomi, pasien mengkonsumsi obat yang diberikan oleh dokter,
yaitu amoxicillin dan cataflam. Saat ini pasien sudah mengkonsumsi 3 butir amoxicillin
dan 3 butir cataflam. Diagnosa kasus ini adalah angioedema karena obat.
Kesimpulan :Pada pemeriksaan penunjang IgE total pasien positif alergi, adapun
pengobatan yang dianjurkan ialah menghentikan penggunaan obat penyebab paparan,
medikasi yang diberikan ialah obat cetirizin 10 mg satu kali sehari.
Kata Kunci: angioedema, alergi obat, antihistamin
PENDAHULUAN
Alergi yaitu penyakit yang terjadi akibat respon sistem imun terhadap
antigen. Alergi merupakan salah satu respon sistem imun yang disebut reaksi
hipersensitif. Reaksi hipersensitif merupakan salah satu respon sistem imun yang
berbahaya karena dapat menimbulkan kerusakan jaringan maupun penyakit yang
serius.1Reaksi alergi dapat disebabkan salahsatunyaolehobat. Reaksi alergi yang
timbul dapat bermacam-macam seperti reaksi anafilaktik, serangan asma, atau
dermatitis pada kulit. Zat alergen yang masuk ke dalam tubuh akan mengaktifkan
reaksi immunogenik dan menimbulkan respon hipersensitivitas.2
Sehubungan dengan obat, obat dikenal mempunyai 2 macam efek, yaitu
efek normal dan efek abnormal. Efek normal ialah efek yang timbul pada
sebagian besar (kebanyakan individu); dan efek abnormal ialah efek yang
timbul pada sebagian kecil individu atau kelompok individu tertentu. Kedua
macam efek tersebut dapat terjadi pada dosis lazim yang dipergunakan dalam
terapi.3
Terdapat dua macam efek normal, yaitu efek utama dan efek samping.
Efek utama (primer) ialah efek yang sesuai dengan tujuan pengobatan, sedangkan
efek samping ialah efek yang tidak menjadi tujuan utama pengobatan.3
Pada efek abnormal terdapat efek toleransi dan efek intolernsi. Toleransi
adalah pengurangan respon pada obat karena pemakaian berulang/dalam jangka
panjang, sedangkan intoleransi adalah suatu penyimpangan respon terhadap dosis
tertentu obat. Macam efek intoleransi yaitu idiosinkrasi, anafilaksis, dan alergi.
Idiosinkrasi merupakan efek abnormal dari obat yang berbeda dari efek
farmakologisnya, kondisi ini bersifat individu, akibat kelainan genetik. Anafilaksis
adalah reaksi alergi yang terjadi dalam waktu singkat setelah pemberian obat,
dapat menimbulkan syok yang disebut syok anafilaksis yang dapat berakibat fatal.
Alergi adalah respon abnormal dari system kekebalan tubuh.
Reaksi hipersensitivitas obat ini tidak dapat diperkirakan sebelumnya
danmerupakan keadaan yang dapat mengancam jiwa. Insidensi dan karakteristik
reaksi
alergiterhadap
suatu
obat
bergantung pada faktor
genetik dan
lingkungan.Diagnosis alergi obat dapat ditegakkan apabila terdapat bukti
imunologis yangmenunjukkan terjadinya reaksi.4
Faktor yang berhubungan dengan peningkatan risiko terjadinya alergi
obat termasuk usia, jenis kelamin, polimorfisme genetik, infeksi virus dan
faktor terkait obat (frekuensi paparan, rute administrasi, berat molekul).Faktor
genetik dan status imun pejamu dapat meningkatkan risiko alergi obat. Anak
dengan riwayat alergi obat pada orang tuanyamemiliki risiko alergi obat yang
lebih tinggi jika dibandingkan anak yang tidak memilikiriwayat alergi obat pada
orang tuanya. Predisposisi genetik ini juga berhubungan denganterjadinya reaksi
alergi yang lebih berat. 5
Reaksi yang merugikan dari hipersensitivitas terhadap obat dapat
menimbulkan berbagai manifestasi klinis di rongga mulut. Manifestasi
yang
terjadi pada reaksi hipersensitivitas terhadap obat dapat berupa stomatitis aphtous,
erythema multiform, angioedema, burning mouth syndrome, dan pembesaran
gingival.6
Laporan kasus ini dibuat dengan tujuan untuk mengetahui definisi,
etiologi, gambaran klinis, etiopatogenesis serta penatalaksanaan angioedema
karena obat.
LAPORAN KASUS
1.1
Kunjungan 1 (4 Oktober 2018) hari ke-1
Seorang pasien perempuan usia 24 tahun datang dengan keluhan
bibir bawahnya terasa tebal, kering, panas, dan disertai rasa nyeri sejak tadi
pagi pukul 06.00, empat jam yang lalu. Pasien mengaku satu hari yang lalu
(3 Oktober 2018) telah dilakukan odontektomi pada gigi bawah kirinya. 19
jam setelah dilakukan odontektomi, di sekitar bibir dan di bibir pasien
timbul bintik-bintik merah, terasa gatal, tebal, panas, dan nyeri.Pasien juga
mengeluhkan sudut bibir sebelah kiri terasa perih dan berwarna merah
kecoklatan pada malam hari setelah dilakukan odontektomi.Pasien mengaku
sebelum dilakukan prosedur odontektomi disekitar bibir pasien dilakukan
desinfeksi
menggunakan
betadine.
Setelah
odontektomi,
pasien
mengkonsumsi obat yang diberikan oleh dokter, yaitu amoxicillin dan
cataflam. Saat ini pasien sudah mengkonsumsi 3 butir amoxicillin dan 3
butir cataflam. Pasien terakhir minum obat pukul 09.00 pagi tadi.
Sebelumnya pasien tidak pernah mengalami hal tersebut. Pasien mengaku
tidak memiliki riwayat penyakit sistemik maupun alergi.
Pada pemeriksaan ekstra oral tidak didapatkan ada pembengkakan
dan rasa sakit pada palpasi kelenjar limfe serta tidak ada asimetri wajah.
Tekanan darah pasien 117/73 mmHg, denyut nadi 78x/menit, respiration
rate 20x/menit, dari hasil pemeriksaan vital sign pasien tersebut
menunjukkan keadaan umum pasien baik. Pada vermilion superior dan
inferior menunjukan terdapat pembengkakan disertai eritema, lunak saat
dipalpasi, dan terdapat lesi berbentuk krusta pada commisura sinistra, sakit
saat dipalpasi.
Diagnosa sementara dalam kasus ini adalah angioedema.
Berdasarkan gambaran klinis kasus ini, cheilitis granulomatosa dapat
menjadi diagnosa banding dari angioedema. Terapi yang diberikan adalah
pemberian obat berupa cetirizin tablet yang diminum satu kali sehari setelah
makan selama lima hari. Pasien diintruksikan untukmenghentikan konsumsi
obat yang diberikan post odontektomi, serta dirujuk untuk pemeriksaan
penunjang berupa pemeriksaan darah lengkap dan IgE total, kemudian
kontrol pada hari ke-7.
1.2
Kunjungan 2 (18 Oktober 2018), hari ke-14
Seorang pasien wanita usia 24 tahun datang untuk melakukan
kontrol setelah dilakukan perawatan pada bibirnya yang mengalami
pembengkakan, terasa gatal, panas, dan nyeri. Pasien sudah tidak
mengeluhkan apapun. Pasien mengaku rutin mengkonsumsi obat yang
diberikan. Sebelumnya pasien diberikan obat cetirizin. Bibir pasien sudah
tidak bengkak pada hari kedua setelah dilakukan medikasi.
Pada pemeriksaan ekstra oral tidak didapatkan ada pembengkakan
dan rasa sakit pada palpasi kelenjar limfe serta tidak ada asimetri wajah.
Pada vermilion superior dan inferior menunjukkan sudah terjadi
penyembuhan, sudah tidak terdapat pembengkakan.
Pemeriksan darah lengkap menunjukan neutrofil batang mengalami
penurunan dan monosit mengalami kenaikan. Pada pemeriksaan IgE total
didapatkan lebih dari nilai normal.
Diagnosa dalam kasus ini adalah angioedema, dengan diagnosa banding
cheilitis granulomatosa.
Perawatan berupa kontrol dan KIE kepada pasien untuk menghindari
konsumsi obat penyebab alergi, mengedukasi pasien untuk menjaga oral
hygiene, menjaga kondisi tubuh, makan makanan bergizi.
Hasil pemeriksaan penunjang :
PEMBAHASAN
Angioedema adalah pembengkakan yang disebabkan oleh meningkatnya
permeabilitas vaskular pada jaringan subkutan kulit, lapisan mukosa dan
submukosa. Karakteristik angioedema adalah jaringan bengkak, dapat solitari atau
multiple dan umumnya melibatkan wajah, bibir, lidah, paring dan laring. Jika
mengenai kulit dan mukosa membran dapat menyebabkan pelebaran sampai
beberapa centimeter. Sebagai tambahan selain wajah, dapat juga melibatkan kulit
meliputi tangan, lengan, kaki, alat kelamin, dan pantat. Biasanya tidak sakit,
umumnya menimbulkan rasa gatal dan dapat terlihat erithema.10
Angiodema termasuk hipersensitifitas tipe 1 yang berhubungan dengan
histamin dan dimediasi oleh igE. Reaksi dapat muncul secara cepat dan reaksi
anafilaktik dapat terjadi berupa pembengkakan lokal atau sistemik setelah terpapar
dengan alergen dalam hitungan menit. Reaksi ini biasanya disebabkan karena
sengatan lebah, kacang-kacangan, makanan laut, dan latex.10
Hipersensitivitas tipe 1 terjadi dalam reaksi jaringan yang terjadi dalam
beberapa menit setelah antigen bergabung dengan antibodi yang sesuai. Ini dapat
terjadi sebagai anafilaksis sistemik (misalnya setelah pemberian protein heterolog)
atau sebagai reaksi lokal (misalnya alergi atopik seperti demam hay). Urutan
kejadian reaksi hipersensitivitas tipe 1 adalah sebagai berikut :
 Fase sensitisasi  yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE
sampai diikatnya oleh reseptor spesifik (Fϲε-R) pada permukaan sel mast
dan basofil.
 Fase aktivasi  yaitu waktu yang diperlukan antara pejanan ulang dengan
antigen yang spesifik dan sel mast melepas isinya yang berisikan granul
yang menimbulkan reaksi.
 Fase efektor  yaitu waktu terjadi respon yang kompleks (anafilaksis)
sebagai efek mediator-mediator yang dilepas sel mast dengan aktivitas
farmakologik.
Pada reaksi hipersensitivitas tipe 1 memerlukan sel mast dan igE. Seorang
pasien yang sebelumnya sudah terpapar oleh alergen akan memiliki antibodi (IgE)
yang menetap pada sel mast. Sehingga apabila alergen tersebut masuk kembali ke
dalam tubuh, maka akan terjadi reaksi dengan antibodi. Reaksi tersebut
menyebabkan peningkatan kalsium intraseluler dan pelepasan mediator inflamasi
seperti histamin, protease, dan mediator turunan lipid yang baru disintesis seperti
leukotrien dan prostaglandin. Termasuk sitokin juga dilepaskan, yang menarik
eosinofil dan meningkatkan respons inflamasi. Zat ini menyebabkan vasodilatasi
dan peningkatan permeabilitas kapiler, yang akhirnya menyebabkan akumulasi
cairan dan leukosit dalam jaringan dan pembentukan edema.11
Reaksi ini terjadi setelah paparan berulang dari alergen yang sama.
Alergen akan berikatan dengan APC yang kemudian akan dipresentasikan oleh
MHC II. Hal tersebut akan mengaktivasi limfosit T, dan limfosit T
berdiferensiansi menjadi sel ThII. Sel ini akan mengeluarkan IL-4 dan IL-13 yang
mengubah sel B menjadi sel plasma. Sel plasma akan megeluarkan IgE dan
berikatan dengan sel mast dengan bantuan reseptor Fc (FcERI). IgE yang
menempel pada sel mast, membuat alergen menjadi aktif dan terjadi degranulasi
sel mast. Degranulasi sel mast menyebabkan ion kalsium terinduksi sehingga
mediator - mediator inflamasi keluar. Mediator – mediator inflamasi yang
dikeluarkan adalah mediator inflamasi preformed mengeluarkan amina vasoaktif
(histamine), chymase tryptase, heparin, kemudian membrane fosfolipid yang
mengeluarkan prostaglandin, LC4, LD4, LB4, serta sitokin yang mengeluarkan
TNF, IL-1, IL-3, IL-4, IL-5.11
Amina vasoaktif yang dikeluarkan oleh mediator inflamasi preformed
menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah, peningkatan permeabilitas kapiler,
akumulasi cairan dan leukosi jaringan sehingga menyebabkan terjadinya
angiodema. Sedangkan sitokin menyebabkan inflamasi dan degradasi kolegen
yang kemudian mengakibatkan penurunan kestabilan mukosa sehingga terjadi
kerusakan sel apitel.11
Dengan adanya proses inflamasi, mediator-mediator inflamasi yang keluar
akan menstimulasi aktivitas melanosit. Kerusakan yang diinduksi oleh inflamasi
pada keratinosit basal, menyebabkan produksi melanin dalam jumlah besar.
Pigmen bebas kemudian difagosit oleh makrofag yang disebut melanofag pada
epidermis dan menghasilkan warna kecoklatan. Lokasi kelebihan pigmen dalam
lapisan kulit akan menentukan warna dari hiperpugmentasi, jika terjadi bada
lapisan dermis akan memiliki tampilan abu-abu tua/biru keabuan.12
Diagnosis
reaksi
hipersensitivitas
terhadap
obat
ditegakkan
berdasarkan anamnesis yang teliti, adanya gejala klinis yang muncul setelah
penderita terpajan oleh alergen atau faktor pencetusnya dan identifikasi
temuan
fisik
pada
pasien. Anamnesis
yang
teliti
dapat
memberikan
penjelasan mengenai penyebab terjadinya reaksi hipersensitivitas terhadap
obat.12 Pemeriksaan
penunjang
pada
pasien
dengan
alergi obat
juga
diperlukan
dalam
menegakkan
diagnosis. Pemeriksaan
yang
penting
diantaranya adalah pemeriksaan darah lengkap, IgE total, dan prick test.13 Dalam
beberapa literatur, alergi akibat povidone-iodine adalah komplikasi yang jarang.
Ada yang menyebutkan prevalensinya sekitar 0,4%.14
Pada pasien ini hanya dilakukan pemeriksaan darah lengkap dan IgE total,
dikarenakan hasil dari anamnesis, pemeriksaan darah lengkap, dan IgE total sudah
dapat menegakkan diagnosa dari pasien. Hasil dari pemeriksaan penunjang pada
pasien dari pemeriksan darah lengkap menunjukan neutrofil batang mengalami
penurunan dan monosit mengalami kenaikan. Pada pemeriksaan IgE total
didapatkan jumlah IgE melebihi nilai normal. Penurunan
jumlah
neutrofil
berhubungan dengan beberapa hal, diantaranya infeksi virus, anemia, pengaruh
obat-obatan. Peningkatan monosit menunjukkan adanya infeksi yang sedang
berlangsung dan adanya proses peradangan. Kadar total IgE yang tinggi
memberikan indikasi bahwa pasien memiliki bakat atau kecenderungan yang kuat
mengalami reaksi alergi.15
Diagnosa banding dari kasus ini adalah cheilitis granulomatosa. Cheilitis
granulomatosa adalah pembesaran bibir kronis yang merupakan inflamasi
granulomatosa tanpa diketahui penyebabnya. Etiologi pada kondisi ini belum
diketahui secara jelas. Gambaran klinis pada cheilitis granulomatosa tanpa rasa
nyeri (painless), persisten, dan pembengkakannya menyebar baik satu maupun
kedua bibir. Selain itu, terdapat vesikel-vesikel kecil dan erosi. Cheilitis
granulomatosa dianggap merupakan gejala tunggal dari Melkersson-Rosenthal
Syndrome.16
Pada kasus ini pasien diminta untuk menghindari alergen dan diobati
dengan cetirizin. Cetirizine merupakan obat antihistamin generasi kedua.
Antihistamin adalah zat yang dapat mengurangi atau menghalangi efek histamin
terhadap tubuh dengan jalan memblok reseptor histamin.17 Ada empat tipe
reseptor histamin, yaitu H1, H2, H3, dan H4 yang keempatnya memiliki fungsi
dan distribusi yang berbeda. Pada kulit manusia hanya reseptor H1 dan H2 yang
berperan utama. Cetirizine merupakan antagonis reseptor H-1. Cetirizine bekerja
dengan cara memblokade reseptor H1 oleh antagonis H1 sehingga menghambat
terikatnya histamin pada reseptor sehingga menghambat dampak akibat histamin.
Cetirizine dapat menurunkan jumlah histamin dengan mengurangi jumlah
produksi prostaglandin yang diinduksi oleh antigen.17
Antihistamin bekerja secara kompetitif terhadap reseptor antihistamin
pada sel, dengan demikian anthistamin akan mencegah kerja histamin pada organ
target. Antihistamin juga mampu menghambat pelepasan mediator inflamasi,
namun tidak dapat menghilangkan efek histamin yang telah timbul sehingga lebih
berguna sebagai pencegahan terlepasnya kembali histamin dari pada sebagai
pengobatan yang ditimbulkan oleh stimulasi histamin.18
Dalam kasus ini pemberian obat antihistamin bertujuan untuk memberikan
pengobatan agar keluhan pasien dapat tertangani. Untuk mengetahui apakah
pasien mengalami alergi dilakukan pemeriksaan hematologi lengkap dan IgE
total. Pemeriksaan penunjang dilakukan segera setelah pasien dicurigai
mengalami alergi. Sebelumnya pasien diinstruksikan untuk mengehentikan
penggunaan obat yang dicurigai sebagai penyebab alergi.
KESIMPULAN
Reaksi hipersensitivitas obat merupakan efek samping obat yang tidak
dapa tdiduga. Angioedema merupakan suatu reaksi hipersensitivitas yang
disebabkan oleh alergen penyebab yaitu obat-obatan, makanan, bahan kedokteran
gigi(bahan restorasi, prostetik, alat ortodonti, merkuri, akrilik, cobalt).
angioedema adalah suatu reaksi hepersensitivitas yang timbul pada rongga mulut
yang disebabkan oleh kontak terhadap alergen. Pengobatan angioedema pada
kasus ini adalah dengan menghindari alergen dan menggunakan antihistamin.
Alergi dapat juga diobati dengan kortikosteroid, imunosupresan, dan antihistamin.
DAFTAR PUSTAKA
1. Muhaiminrifa’i, Phd.Med.Sc. Alergi Dan Hipersensitif Alergi Dan Hipersensitif.
Jurusan Biologi Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas
Brawijaya Malang 2011.
2. Limsuwan T, Demoly P. Acute Symptoms Of Drug Hypersensitivity
(Urticaria,Angioedema, Anaphylaxis, Anaphylactic Shock). Med Clin N
Am. 2010;94:691-710.
3. Gunawan, GanSulistia. 2009. Farmakologi DanTerapiEdisi 5. Jakarta:
Departemen
4. James, William D.; Berger, Timothy G.; Et Al. (2006). Andrews' Diseases
Of
The
Skin:
Clinical
Dermatology.
Farmakologi
Dan
TerapeutikFakultasKedokteranUniversitas Indonesia. Saunders Elsevier. P.
63.
5. Abdollahi M. Current Opinion On Drug-Induced Oral Reactions: A
Comprehensive Re‐
6. Lubis A., Wisnu B., Endaryanti A., Harsono A., Kesesuaian Gejala Klinis
Dengan Hasil Uji Tusuk Kulit Dan Uji Provokasi Makanan Pada Reaksi
7. Rahmat cahya nur, Sukamto koesnoe, Nanang sukmana. Sindrom
hipersensitivitas obat. J Indon Med Assoc, Volum: 61, Nomor: 4, April 2011.
8. Simpang Terhadap Makanan. 2017. 29(2):106-116.
9. Abbas A. K, Litchman A. H, Pillai S. 2016. Imunologi Dasar Abbas :
Fungsi Dan Kelainan Sistem Imun. Ed 5. Singapore : Elsevier.
10. Erna S, Desiana R.2017.Penatalaksanaan Stomatitis Alergikadisertai
Dermatitis Perioral Akibat alergi telur. Surabaya:Universitas Airlangga.
11. Roy Ar, Iris R. Pendekatan Diagnosis Dan Tata Laksana alergi obat
approach To Diagnosis And Treatment Of Drug Allergy.Vol:3,2016.
Kumar, V., Abbas, A.K., Aster, J.C. Robbins Basic Pathology. 9th Ed.
Philadelphia: Elsevier Inc., Pp. 110-114, 2013.
12. Callender VD, Surin-Lord SS, Davis EC, Maclin M. Postinflamatory
Hyperpigmentation. Am J Clin Dermatol 2011;12(2):87-99.
13. Warrington R, Silviu-Dan F. Drug Allergy. Asthma & Clinical
Immunology. 2011;7(1):1-8.
14. Schiano P, Bourgeois B, Richard P, Belaouchi F, Monsegu J, Allouch P et
al. Iodic allergic reaction with vasospas moccluded coronary during
coronarography. Ann Cardiol Angeiol (Paris) 2002;51: 382–5.
15. Erni Indrawati dan Kus Harijanti 2014. Management of allergic stomatitis due to
daily food consumption (Penatalaksanaan stomatitis alergika akibat konsumsi
makanan sehari-hari)
16. William AC, David C. Cheillitis Granulomatosa: A Review. Head and
Neck Pathol (2014) 8:209–213.
17. Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. 2007. Farmakologi dan Terapi. Jakarta: Penerbit EGC.
18. Wood A. Antihistamines. Dalam: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI,
Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ, penyunting. Fitzpatrick’s dermatology
in general medicine. Edisi ke-8. New York: McGraw Hill companies;
2012.h.439-448.
LEMBAR PENGESAHAN
Case Reflection Oral Medicine
ANGIOEDEMA
BLOK 6
Disusun oleh
Annisa Primasari
31101200287
Telah disetujui oleh:
Semarang, ........................................ 2020
Pembimbing klinik,
drg. Rina Kartika Sari, Sp.PM
Download