BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Defenisi Atonia Uteri Atonia Uteri (relaksasi otot uterus) adalah uteri tidak berkontraksi dalam 15 detik setelah dilakukan pemijatan fundus uteri (plasenta telah lahir) (Depkes Jakarta, 2002). Atonia uteri adalah keadaan lemahnya tonus / kontraksi rahim yang menyebabkan uterus tidak mampu menutup perdarahan terbuka dari tempat implantasi plasenta setelah bayi dan plasenta lahir (Prawiroharjo, 2011). Atonia uteri adalah kegagalan serabut-serabut otot miometrium uterus untuk berkontraksi dan memendek. Hal ini merupakan penyebab perdarahan post partum yang paling penting dan biasa terjadi segera setelah bayi lahir hingga 4 jam setelah persalinan. Atonia uteri dapat menyebabkan perdarahan hebat dan dapat mengarah pada terjadinya syok hipovolemik (Ai Yeyeh, Lia, 2010). Atonia uteri adalah suatu kondisi dimana myometrium tidak dapat berkontraksi dan bila ini terjadi maka darah yang keluar dari bekas tempat melekatnya plasenta menjadi tidak terkendali (Apri, 2009). Atonia uteri merupakan penyebab utama terjadinya perdarahan pasca persalinan. Pada atonia uteri, uterus gagal berkontraksi dengan baik setelah persalinan. B. Etiologi Penyebab tersering kejadian pada ibu dengan atonia uteri antara lain: overdistention uterus seperti gemeli, makrosomia, polihidramnion, atau paritas tinggi, umur terlalu muda atau terlalu tua, multipara dengan jarak kelahiran pendek, partus lama atau partus terlantar, malnutrisi, dapat juga karena salah penanganan dalam usaha melahirkan plasenta, sedangkan sebenarnya belum terlepas dari uterus (Ai Yeyeh, Lia, 2010). Grandemultipara: uterus yang terlalu regang (hidramnion, hamil ganda, anak besar berat badan lebih dari 4000 gr, kelainan uterus (miom uteri, bekas operasi), plasenta previa dan solusio plasenta (perdarahan antepartum), partus lama, partus presipitatus, hipertensi dalam kehamilan, infeksi uterus, anemia berat, penggunaan oksitosin yang berlebihan dalam persalinan (induksi partus), riwayat perdarahan pasca persalinan sebelumnya atau riwayatmanual plasenta, pimpinan kala III yang salah, dengan memijit-mijit dan mendorong uterus sebelum plasenta terlepas, IUFD yang sudah lama, penyakit hati, emboli air ketuban, tindakan operatif dengan anastesi umum terlalu dalam (Ai Yeyeh, Lia, 2010). Pasien yang mengalami atonia uteri bisa mengalami syok. Terdapat tanda-tanda syok meliputi nadi cepat dan lemah (110 kali/ menit atau lebih), tekanan darah sangat rendah: tekanan sistolik < 90 mmHg, pucat, keriangat/ kulit terasa dingin dan lembab, pernafasan cepat frekuensi30 kali/ menit atau lebih, gelisah, binggung atau kehilangan kesadaran, urine yang sedikit ( < 30 cc/ jam). C. Gambaran Klinis Gambaran klinisnya berupa perdarahan terus-menerus dan keadaan pasien secara berangsur-angsur menjadi semakin jelek. Denyut nadi menjadi cepat dan lemah, tekanan darah menurun, pasien berubah pucat dan dingin, dan napasnya menjadi sesak, terengah-engah, berkeringat dan akhirnya coma serta meninggal dunia. Situasi yang berbahaya adalah kalau denyut nadi dan tekanan darah hanya memperlihatkan sedikit perubahan untuk beberapa saat karena adanya mekanisme kompensasi vaskuler. Kemudian fungsi kompensasi ini tidak bisa dipertahankan lagi, denyut nadi meningkat dengan cepat, tekanan darah tiba-tiba turun, dan pasien dalam keadaan shock. Uterus dapat terisi darah dalam jumlah yang cukup banyak sekalipun dari luar hanya terlihat sedikit. Bahaya perdarahan post partum ada dua, pertama : anemia yang berakibat perdarahan tersebut memperlemah keadaan pasien, menurunkan daya tahannya dan menjadi faktor predisposisi terjadinya infekol nifas. Kedua: Jika kehilangan darah ini tidak dihentikan, akibat akhir tentu saja kematian (Human labor and birth, 1996). Tanda dan gejala atonia uteri sendiri menurut Ralph C. Benson & Martin L. Pernoll (2009), di antaranya: 1. Perdarahan pervaginam Perdarahan yang sangat banyak dan darah tidak merembes. Peristiwa sering terjadi pada kondisi ini adalah darah keluar disertai gumpalan disebabkan tromboplastin sudah tidak mampu lagi sebagai anti pembeku darah. 2. Konsistensi rahim lunak Gejala ini merupakan gejala terpenting/khas atonia dan yang membedakan atonia dengan penyebab perdarahan yang lainnya. 3. Fundus uteri naik 4. Terdapat tanda-tanda syok, yaitu: a. nadi cepat dan lemah (110 kali/ menit atau lebih) b. tekanan darah sangat rendah : tekanan sistolik < 90 mmHg c. pucat d. keriangat/ kulit terasa dingin dan lembap e. pernafasan cepat frekuensi 30 kali/ menit atau lebihgelisah, binggung atau kehilangan kesadaran f. urine yang sedikit (< 30 cc/ jam) D. Pencegahan Atonia Uteri Perdarahan oleh karena atonia uteri dapat dicegah dengan: 1. Melakukan secara rutin manajemen aktif kala III pada semua wanita yang bersalin karena hal ini dapat menurunkan insiden perdarahan pasca persalinan akibat atonia uteri. 2. Pemberian misoprostol perora 2-3 tablet (400 – 600 µg) segera setelah bayi lahir (Prawiroharjo, 2011). Pemberian oksitosin rutin pada kala III dapat mengurangi risiko perdarahan post partum lebih dari 40 %, dan juga dapat mengurangi kebetulan obat tersebut sebagai terapi. Memejemen aktif kala III dapat mengurangi jumlah perdarahan dalam persalinan, anemia, dan kebutuhan tranfusi darah (Ai Yeyeh, Lia, 2010). Kegunaan utama oksitosin sebagai pencegahan atonia uteri yaitu onsetnya yang cepat, dan tidak menyebabkan kenaikan tekanan darah atau kontraksi tetani seperti ergometrin. Pembrian oksitosin paling bermanfaat untuk mencegah atonia uteri. Pada menejemen kala III harus dilakukan pemberian oksitosin setelah bayi lahir. Aktif protokol yaitu pemberian 10 unit IM, 5 unit IV bolus atau 10-20 unit per liter IV drip 100-500 cc/jam (Ai Yeyeh, Lia, 2010). Analog sintetik oksitosin, yaitu karbetosin, saat ini sedang diteliti sebagai uterotonika untuk mencegah dan mengatasi perdarahan postpartum dini. Karbetosin merupakan obat obat long-action dan onset kerjanya cepat, mempunyai waktu paruh 40 menit dibandingkan oksitosin 4-10 menit. Penelitian di Canada membandingkan antara pemberian oksitosin bolus IV dengan oksitosin drip pada pasien yang dilakukan operasi sesar. Karbetosin ternyata lebih efektif dibanding oksitosin (Ai Yeyeh, Lia, 2010). Bayi sangat siap segera setelah kelahiran. Hal ini sangat tepat untuk memulai memberikan ASI. Menyusui juga membantu uterus berkontraksi. Pemberian ASI awal dengan cara Inisiasi Menyusu Dini. Langkah Inisiasi menyusu Dini (IMD). Bayi harus mendapatkan kontak kulit dengan kulit ibunya segera lahir selama sedikit satu jam. Dianjurkan agae tetap melakukan kontak kulit ibu-bayi selama 1 jam pertama kelahirannya w/alaupun bayi telah berhasil menghisap putting susu ibu dalam waktu kurang dari 1 jam. Bayi harus menggunakan naluri alamiyahnya untuk melakukan Inisiasi Menyusu Dini dan ibu dapat mengenali bayinya siap untuk menyusu serta memberi bantuan jika diperlukan. Menunda semua prosedur lainnya harus dilakukan kepada bayi baru lahir hingga menyusu selesai dilakukan, proseedur tersebut seperti : menimbang, pemberian antibiotika salep mata, vitamin K1 dan lain-lain. Prinsip menyusu/pemberian ASI adalah dimulai sendini mungkin dan secara ekslusif (Asuhan Persalinan Normal, 2008). E. Manajemen Atonia Uteri Menurut Ai Yeyeh dan Lia (2010), menejemen atonia uteri meliputi : 1. Resusitasi Apabila terjadi perdarahan postpartum banyak, maka penanganan awal yaitu resusitasi dengan oksigenasi dan pemberian cairan cepat, monitoring tanda-tanda vital, monitoring jumlah urin, monitoring saturasi oksigen. Pemeriksaan golongan darah dan crossmatch perlu dilakukan untuk persiapan tranfusi darah. 2. Masase dan kompresi bimanual Masase dan kompresi bimanual akan menstimulasi kontraksi uterus yang akan menghentikan perdarahan. Pemijatan fundus uteri segera lahirnya plasenta (max 15 detik), jika uterus berkontraksi maka lakukan evaluasi, jika uterus berkontraksi tapi perdarahan uterus berlangsung, periksa apakah perineum/vagina dan serviks mengalami laserasi dan jahit atau rujuk segera. 3. Jika uterus tidak berkontraksi Bersihkan bekuan darah atau selaput ketuban dari vagina dan lubang servik, pastikan bahwa kandung kemih telah kosong, lakukan kompresi bimanual internal (KBI) selama 5 menit. Jika uterus berkontraksi, teruskan KBI selama 2 menit, keluarkan tangan perlahanlahan dan pantau kala IV dengan ketat. Jika uterus tidak berkontraksi maka anjurkan keluarga untuk memulai melakukan kompresi bimanual eksterna, keluarkan tangan perlahan-lahan, berikan ergometrin 0,2 mg LM (jangan diberikan jika hipertensi), pasang infus menggunakan jarum ukuran 16 atau 18 dan berikan 500 ml RL + 20 oksitosin. Habiskan 500 ml pertama secepat mungkin, ulangi KBI jika uterus berkontraksi, pantau ibu dengan seksama selama kala IV. Jika uterus tidak berkontraksi maka rujuk segera. 4. Pemberian uterotonika Oksitosin merrupakan hormon sintetik yang diproduksi oleh lobus posterior hipofisis.obat ini menimbulkan kontraksi uterus yang efeknya meningkat seiring dengan meningkatnya umur kehamilan dan timbulnya reseptor oksitosin. Pada dosis rendah oksitosin menguatkan kontraksi dan meningkatkan frekuensi tetapi pada dosis tinggi menyebabkan tetani. Oksitosin dapat diberikan secara IM atau IV, untuk perdarahan aktif diberikan lewat infus ringer laktat 20 IU perliter, jika sirkulasi kolaps bisa diberikan oksitosin 10 IU intramiometrikal 9IMM). Efek samping pemberian oksitosin sangat sedikit ditemukan yaitu nausea dan vomitus, efek samping lain yaitu intoksikasi cairan jarang ditemukan. 5. Operatif (dilakukan oleh dokter spesialis kandungan) Jika dilakukan SC, ligasi dilakukan 2-3 cm dibawah irisan segmen bawah rahim. Untuk melakukan ini diperlukan jarum atraumatik yang besar dan benang absorbable yang sesuai. Arteri dan vena uterina, masuk ke miometrium ke luar bagian avaskular ligamentum latum lateral vasa uterina. Saat melakukan ligasi hindari rusaknya vasa uterina dan ligasi harus mengenai cabang asenden arteri miometrium, untuk itu penting untuk menyertakan 2-3 cm miometriom. Jahitan kedua dapat dilakukan jika langkah diatas tidak efektif dan jika terjadi perdarahan pada segmen bawah rahim. Dengan menyisihkan vesika urinaria, ligasi kedua dilakukan bilateral pada vasa uterina bawah, 34 cm dibawah ligasi vasa uterina atas. Ligasi ini harus mengenai sebagian besar cabang arteri uterina pada segmen bawah rahim dan cabang arteri uterina menuju ke servik, jika perdarahan masih terus berlangsung perlu dilakukan bilateral atau unilateral ligasi vasa ovarian. 6. Histerektomi (dilakukan oleh dokter spesialis kandungan) Histerektomi peripartum merupakan tindakan yang sering dilakukan jika terjadi perdarahan post partum masif yang membutuhkan tindakan operatif. Insidensi mencapai 7-13 per 10.000 kelahiran, dan lebih banyak terjadi pada persalinan abdominal dibandingkan vaginal. 7. Kompresi bimanual (boleh dilakukan oleh bidan yang sudah berpengalaman) Menurut Ai Yeyeh, Lia (2010) kompresi uterus bimanual dapat ditangani tanpa kesulitan dalam waktu 10-15 menit. Biasanya ia sangat baik mengontrol bahaya sementara dan sering menghentikan perdarahan secara sempurna. Bila uterus refrakter oksitosin, dan perdarahan tidak berhenti setelah kompresi bimanual, maka histerektomi merupakan tindakan terakhir. Peralatan yang digunakan meliputi sarung tangan steril dan keadaan sangat gawat lakukan dengan tangan telanjang dengan tangan yang telah dicuci. Tekniknya yaitu basuh genetalia eksterna dengan lakukan desinfektan dalam kedaruratan tidak diperlukan. Eksplorasi dengan tangan kiri sisipkan tinju dalam vornik anterior vagina, tangan kanan (luar) menekan dinding abdomen diatas fundus uteri dan menangkap dari belakang atas, tamgan dalam menekan uterus keatas terhadap tangan luar, itu tidak hanya menekan uterus tetapi juga meregangkan pembuluh aferen sehingga menyempitkan lumennya. Alasan dilakukan KBI adalah atonia uteri seringkali bisa diatasi dengan KBI. Jika KBI tidak berhasil dalam waktu 5 menit diperlukan tindakan-tindakan lain seperti : a. Berikan 0,2 ergometrin secara IM atau misoprostrol 600-1000 mcg dan jangan berikan ergometrin pada ibu dengan hipertensi karena ergometrin bisa menaikkan tekanan darah. b. Gunakan jarum dengan ukuran besar (16 atau 18). Pasang infus dan berikan 500 cc larutan RL yang mengandung 20 IU oksitosin. c. Pakai sarung tangan steril atau DTT dan ulangi KBI. d. Jika uterus tidak berkontraksi dalam waktu 1-2 menit seger rujuk ibu karena ini bukan atonia uteri sederhana. Ibu memebutuhkan tindakan gawat darurat difasilitas kesehatan rujukan mampu melakukan operasi dan transfusi darah. e. Teruskan tindakan KBI dan infus cairan hingga ibu tiba di tempat rujukan. f. Infus 500 ml perjam pertama dihabiskan dalam waktu 10 menit dan berikan tambahan 500 ml per jam hingga tiba ditempat rujukan atau hingga jumlah cairan yang diinfuskan mencapai 1,5 L dan kemudian lanjutkan dalam jumlah 125 cc / jam. g. Jika cairan infus tidak cukup, infuskan cairan 500 ml (botol ke 2) cairan infus dengan tetesan sedang dan ditambah dengan cairan secara oral untuk rehidarasi. Berikut merupakan cara kompresi bimanual eksterna (hanya boleh dilakukan oleh bidan yang sudah berpengalaman) menurut Ai Yeyeh dan Lia (2010) seperti : a. Letakkan satu tangan pada dinding abdomen dan dinding depan korpus uteri dan diatas simpisis pubis. b. Letakkan tangan lain pada dinding abdomen dan dinding belakang korpus uteri. Usahakan untuk mencakup atau memegang bagian uterus seluas mungkin. c. Lakukan kompresi uterus dengan cara saling mendekatkan tangan depan dan belakang agar pembuluh darah dalam anyaman miometrium dapat dijepit secara manual. Cara ini dapat menjepit pembuluh darah uterus dan membantu uterus untuk berkontraksi.