PROPOSAL PENELITIAN Perbedaan Pola Asuh Ibu Bekerja dan Ibu Tidak Bekerja dengan Status Stunting Anak Usia 24-59 Bulan Oleh: Vira Fatmawati 16110015116 Gizi Kesehatan Masyarakat FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS MULAWARMAN SAMARINDA 2019 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia masih memiliki permasalahan gizi yang berdampak terhadap kualitas sumber daya manusia (SDM). Salah satu masalah kekurangan gizi yang masih cukup tinggi di Indonesia adalah stunting. Sebanyak 32.2% balita di Indonesia tidak memiliki tinggi badan sesuai dengan usianya. Tidak hanya memiliki tubuh yang pendek, efek domino pada balita stunting lebih kompleks. Selain masalah kognitif dan perkembangan fisik, balita stunting cenderung memiliki sistem metabolisme tubuh yang tidak optimal sehingga berisiko terhadap penyakit tidak menular dimasa mendatang. Berdasarkan hasil pemantauan status gizi (PSG) tahun 2016, masalah gizi kurang dan pendek lebih tinggi pada kelompok balita 0-59 bulan (KEMENKES RI, 2017). Balita stunting di dunia pada tahun 2017 berjumlah 150,8 juta atau sekitar 22,2% balita. Lebih dari setengah balita stunting di dunia berasal dari Asia (55%). Dari 83,6 juta balita stunting di Asia, proporsi terbanyak berasal dari Asia Selatan (58,7%) dan Asia tenggara (14,9%). Menurut WHO, stunting menjadi masalah kesehatan masyarakat jika prevalensinya sebanyak 20% atau lebih dan Indonesia merupakan Negara ketiga dengan prevalensi tertinggi di regional Asia Tenggara. Rata-rata prevalensi stunting di Indonesia tahun 2005-2017 adalah 36,4% setelah India (38,4%) dan Timor Leste (50,2%) (Pusdatin RI,2018). Hasil Riskesdas tahun 2018 didapatkan balita stunting sebanyak 30,8% ini mengalami penurunan dari tahun 2013 yang terdapat 37,2% balita stunting, sedikit lebih tinggi dari tahun 2010 35,6% dan pada tahun 2007 terdapat 36,8% balita stunting. Hasil Pemantauan Status Gizi (PSG) tahun 2016 menunjukkan prevalensi balita pendek 29.0% (Panduan Kegiatan Hari Gizi Nasional, 2018). Kalimantan Timur pada tahun 2016 diketahui terdapat 27,14% dan pada tahun 2017 mengalami peningkatan menjadi 30,6% balita stunting (Pusdatin, 2018). Dinas Kesehatan Kota Samarinda mencatat terdapat 840 balita mengalami stunting di 26 puskesmas yang ada di kota Samarinda. Presentase tertinggi berada di kecamatan Palaran yaitu 1,19% balita bertatus stunting. Kecamatan Palaran memiliki tiga puskesmas yaitu puskesmas Plaran, puskesmas Bukuan dan puskesmas Bantuas. Balita dengan stunting terbanyak berada di wilayah kerja puskesmas Bukuan yaitu sebanyak 31 balita (Dinkes Kota samarinda, 2019). Stunting merupakan akibat dari kekurangan gizi pada 1000 HPK yang akan berpengaruh terhadap tingkat kecerdasan anak dan status kesehatan pada masa dewasa yang bersifat permanen dan sulit diperbaiki. Melalui Perpres Nomor 42 tahun 2013, tanggal 23 Mei 2013, pemerintah telah menyatakan komitmennya tentang Gerakan Nasional (Gernas) Percepatan Perbaikan Gizi yang merupakan upaya bersama antara pemerintah dan masyarakat melalui penggalangan partisipasi dan kepedulian pemangku kepentingan secara terencana dan terkoordinasi untuk percepatan perbaikan gizi masyarakat dengan prioritas pada Seribu Hari Pertama Kehidupan (1000 HPK). Secara khusus stunting dapat ditanggulangi melalui perbaikan pola makan, pola asuh, dan peningkatan akses air bersih serta sanitasi, dengan berfokus pada remaja putri serta ibu hamil sebagai upaya pencegahan. Sedangkan upaya penanganan pada anak stunting dilakukan dengan stimulasi pengasuhan dan pendidikan berkelanjutan (wartaKESMAS, 2018). Faktor penyebab utama stunting terdiri dari tiga faktor yaitu faktor distal (faktor sosial ekonomi) faktor intermediet (faktor lingkungan dan ibu) faktor proksimal (karakteristik anak). Sebagai salah satu faktor penyebab stunting ibu berpengaruh pada tumbuh kembang, yang memiliki peran dalam mendidik anak, terutama pada usia balita (Agustiningrum, 2016). Peranan ibu dibedakan menjadi tiga tugas yaitu, sebagai pemenuh kebutuhan anak, sebagai teladan dan sebagai pemberi stimulasi bagi perkembangan anak. Memberikan pola asuh makan yang baik merupakan peran lain ibu yang mempengaruhi tumbuh kembang balita. Pemberian stimulus juga penting, rangsangan stimulus berpengaruh dalam pertumbuhan dan perkembangan organ-organ yang belum lengkap saat lahir, terkhusus rangsangan dari ibu. Selain itu rangsangan oleh ibu akan memperkaya pengalaman dan berpengaruh terhadap kognitif, virtual, verbal serta mental balita (Putri, 2012). Sikap dan perilaku ibu terhadap pola asuh kepada balita dipengaruhi oleh status pekerjaan ibu. Pada saat ini banyak ibu-ibu yang bekerja dengan alasan untuk menambah penghasilan ekonomi keluarga. Berdasarkan data BPS tahun 2003 menunjukkan bahwa dari 100% wanita didapatkan 82,68% adalah perempuan bekerja dan sisanya sebanyak 17,31% adalah perempuan tidak bekerja. Ibu yang bekerja dapat mengurangi waktu kebersamaan ibu dengan anak sehingga pola asuh yang diberikan tidak semaksimal ketika ibu selalu bersama balita dan memperhatikan tumbuh kembang balita (Herlina, 2018). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara pola asuh ibu bekerja dan ibu rumah tangga dengan status stunting pada anak usia 24-59 bulan. B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka dapat muncul permasalahan yaitu bagaimana perbedaan pola asuh ibu bekerja dan ibu rumah tangga dengan status stunting pada anak usia 24-59 bulan? C. Tujuan Tujuan umum Mengetahui perbedaan pola asuh ibu bekerja dan ibu rumah tangga dengan status stunting pada anak usia 24-59 bulan. Tujuan khusus a. Mengetahui gambaran stunting pada anak usia 24-59 bulan b. Mengetahui perbedaan pemberian makan ibu bekerja dan ibu rumah tangga pada anak status stunting usia 24-59 bulan. c. Mengetahui perbedaan pemeliharaan kesehatan ibu bekerja dan ibu rumah tangga pada anak status stunting usia 24-59 bulan. d. Mengetahui perbedaan stimulasi ibu bekerja dan ibu rumah tangga pada anak status stunting usia 24-59 bulan. D. Manfaat 1. Manfaat untuk ilmu pengetahuan. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pengetahuan mengenai perbedaan pola asuh ibu bekerja dan ibu rumah tangga dengan status gizi stunting anak usia 24-59 bulan 2. Manfaat untuk pelayanan kesehatan Penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi bagi para tenaga medis dalam mengusahakan pencegahan atau penekanan angka stunting, dan dapat memberikan pelayanan kesehatan yang baik. 3. Manfaat untuk penelitian Penelitian ini diharapkan dapat menjadi tambahan referensi untuk penelitian tentang kejadian stunting selanjutnya. 4. Manfaat untuk masyarakat Penelitian ini diharapkam dapat menjadikan masyarakat menyadari dan memahami tentang pentingnya pola asuh yang baik demi menunjang status kesehatan anak. BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Karakteristik ibu bekerja dan ibu rumah tangga Pada saat ini banyak ibu-ibu yang bekerja dengan alasan untuk menambah penghasilan ekonomi keluarga. Berdasarkan data statistik Biro Pusat Statistik (BPS) tahun 2003 menunjukkan bahwa dari 100% wanita didapatkan 82,68% adalah perempuan bekerja dan sisanya sebanyak 17,31% adalah perempuan tidak bekerja. Dengan bekerja maka semakin sedikit pula waktu dan perhatian yang mereka curahkan untuk anaknya. Keadaan ini dikhawatirkan akan berpengaruh pada pertumbuhan dan perkembangan anak (Putri,2012). Seorang ibu yang berkerja di luar rumah pada jaman sekarang banyak dijumpai, apalagi di kota-kota besar seperti Jakarta. Ada banyak alasan kenapa wanita bekerja seperti untuk mencari nafkah, mengejar kesenangan, menjaga gengsi, mendapat status sosial di masyarakat sampai alasan emansipasi. Salah satu aspek penting dalam hubungan orang tua dan anak adalah gaya pengasuhan yang diterapkan oleh orang tua. Studi klasik tentang hubungan orang tua dan anak yang dilakukan oleh Diana Baumrind, merekomendasikan empat tipe pengasuhan yang dikaitkan dengan aspek – aspek yang berbeda dalam tingkahlaku sosial anak, yaitu authoritarian (otoriter), permissive (pemanja), authoritative (demokratis) dan negleceted (penelantar), (Desmita, 2012). Ada sekian banyak alasan mengapa ibu bekerja, mulai dari memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga sampai sebagai suatu bentuk aktualisasi diri. Pro dan kontra fenomena ibu bekerja terus berlanjut. Ada pihak yang mengatakan ibu sebaiknya di rumah agar perkembangan anak lebih baik, tapi ada yang berpendapat bahwa dengan diam di rumah belum menjamin perkembangan anak menjadi lebih baik. Seiring dengan pro kontra ini banyak bermunculan hasil-hasil penelitian baik yang menentang maupun mendukung ibu bekerja (Itabiliana, Vera K. Hadiwidjojo, 2013). B. Pola asuh ibu Selain pola asuh makan, pemberian stimulus oleh ibu juga tidak kalah penting. Rangsangan stimuli berguna dalam pertumbuhan dan perkembangan organ-organ yang belum lengkap pada waktu lahir, khususnya rangsangan yang diberikan oleh ibu. Selain itu pula rangsangan yang diberikan oleh ibu, akan memperkaya pengalaman dan mempunyai pengaruh yang besar bagi perkembangan kognitif, visual, verbal serta mental anak. Anak membutuhkan interaksi positif dengan ibunya atau pengasuhnya. Pengaruh budaya yang mendukung interaksi antara ibu dan anak perlu dilestarikan. Perilaku eksplorasi dan learning melalui interaksi ini perlu dicermati, dan anak membutuhkan dorongan dari orangtua untuk mengembangkan kemampuannya (Putri, 2012). Sikap dan perilaku ibu terhadap pola asuh kepada balita dipengaruhi oleh status pekerjaan ibu. Pada saat ini banyak ibu-ibu yang bekerja dengan alasan untuk menambah penghasilan ekonomi keluarga. Berdasarkan data BPS tahun 2003 menunjukkan bahwa dari 100% wanita didapatkan 82,68% adalah perempuan bekerja dan sisanya sebanyak 17,31% adalah perempuan tidak bekerja. Ibu yang bekerja dapat mengurangi waktu kebersamaan ibu dengan anak sehingga pola asuh yang diberikan tidak semaksimal ketika ibu selalu bersama balita dan memperhatikan tumbuh kembang balita (Herlina, 2018). Ibu bekerja sering diasumsikan memiliki perasaan bersalah karena tidak memiliki waktu bersama anak-anak, namun sebuah penelitian menunjukkan hasil yang berbeda. Penelitian terbaru dari situs Parenting Mumsnet (dalam Febrida, 2014) yang dilakukan pada 900 ibu menunjukkan bahwa hampir setengahnya yakni sebesar 48% subjek mengatakan memiliki pekerjaan yang dibayar membuat ibu lebih bahagia. Sebanyak 52% subjek mengatakan tinggal di rumah lebih berat dibandingkan pergi bekerja. Hanya 13% ibu bekerja yang merasa bersalah menghabiskan waktunya jauh dari rumah. Hal ini dikarenakan ibu bekerja yang memiliki waktu terbatas akan memiliki energi yang lebih saat ibu dapat bersama dengan anak-anaknya. Penelitian tersebut juga mengungkapkan ibu rumah tangga yang tinggal di rumah merasa tidak dihargai oleh orang lain dan merasa khawatir anak-anaknya akan menjadi manja apabila tetap berada di rumah (Apsaryanthi, 2017). Bio-medical Library di Universitas Minnesota pada tahun 2001, menunjukkan bahwa anak-anak dari ibu yang bekerja di luar rumah selama 30 jam atau lebih dalam seminggu mengalami keterlambatan perkembangan moral. Kemudian sebuah penelitian Stimulasi yang diberikan oleh orang tua adalah untuk memahami tata krama, sopan santun, aturan, norma, etika, dan berbagai hal lain yang terkait dengan kehidupan dunia. Upaya lain untuk anak usia prasekolah yaitu diajarkan untuk belajar berkomunikasi dengan orang lain serta memahaminya. Penanaman nilai-nilai moral sangat dibutuhkan untuk mengoptimalkan perkembangan kecerdasan moral mereka. konsep kecerdasan moral anak usia prasekolah perlu dipahami dan dikaji lebih dalam agar menjadi bahan masukan bagi orangtua, pendidik/guru atau orang dewasa lainnya untuk dapat dilakukan pengembangan kecerdasan moral sejak dini. (Gunarsa, 2004). SUN (Scaling up Nutrition) Movement merupakan upaya global dari berbagai negara dalam rangka memperkuat komitmen dan rencana aksi percepatan perbaikan gizi, khususnya penanganan gizi sejak 1.000 hari dari masa kehamilan hingga anak usia 2 tahun. Indonesia telah menjadi bagian dari SUN Movement melalui surat keikutsertaan dari Menteri Kesehatan kepada Sekjen PBB pada bulan Desember 2011. Saat ini jumlah negara yang bergabung dalam Gerakan SUN sebanyak 30 negara, termasuk Indonesia. Sekjen PBB telah menunjuk Deputi Bidang SDM dan Kebudayaan – Bappenas menjadi anggota Lead Group SUN Movement. Sebagai anggota lead group Global SUN Movement, Indonesia berkewajiban melaporkan perkembangan Gerakan 1000 HPK kepada Sekretariat SUN Movement di PBB, yang dilakukan melalui teleconference secara berkala dan pelaksanaan annual meeting di Kantor PBB New York (Citrakesumasari, 2013). Prinsip dari gerakan ini adalah (1) Upaya dan dukungan yang dilakukan harus memiliki nilai tambah dan bersifat demand-driven; (2) Upaya perbaikan gizi yang dilakukan harus lintas sektor, terpadu, efisien, dan memiliki dampak luas; (3) Upaya yang dilakukan memungkinkan berbagai pemangku kepentingan bekerja bersama dan saling berkontribusi serta berkesinambungan. Focus SUN adalah pada masalah kesehatan dan gizi ibu dan anak. Apabila dihitung dari sejak hari pertama kehamilan, kelahiran bayi sampai anak usia 2 tahun, maka periode ini merupakan periode 1000 hari pertama kehidupan manusia. Periode ini telah dibuktikan secara ilmiah merupakan periode yang menentukan kualitas kehidupan. oleh karena itu periode ini ada yang menyebutnya sebagai "periode emas", "periode kritis", dan Bank Dunia (2006) menyebutnya sebagai "window of opportunity"(Citrakesumasari, 2013). C. Asupan makanan anak usia 24-59 bulan Asupan zat gizi merupakan salah satu penyebab langsung yang dapat mempengaruhi status gizi balita. Asupan zat gizi dapat diperoleh dari beberapa zat gizi, diantaranya yaitu zat gizi makro seperti energi karbohidrat protein dan lemak. Zat gizi makro merupakan zat gizi yang dibutuhkan dalam jumlah besar oleh tubuh dan sebagian besar berperan dalam penyediaan energi5. Tingkat konsumsi zat gizi makro dapat mempengaruhi terhadap status gizi balita. Hal tersebut didukung oleh penelitian sebelumnya bahwa terdapat hubungan antara tingkat konsumsi energi dan protein dengan status gizi balita. Balita dengan tingkat konsumsi energi dan protein yang mencukupi dan memenuhi kebutuhan tubuh akan berbanding lurus dengan status gizi baik. Penelitian sebelumnya juga menyebutkan bahwa asupan energi dan protein yang rendah berdampak pada meningkatnya resiko masalah gizi seperti kekurangan energi kronis dan kekurangan energi protein, selain pada balita dapat berdampak pada terhambatnya pertumbuhan dan perkembangan kognitifnya. Asupan lemak yang rendah juga menyebabkan terjadinya penurunan massa tubuh dan gangguan pada penyerapan vitamin larut lemak. Ketidakseimbangan tingkat konsumsi zat gizi makro seperti energi, karbohidrat lemak dan protein terhadap kebutuhan tubuh secara berkepanjangan dapat mempengaruhi terjadinya perubahan pada jaringan dan massa tubuh yang akan berdampak pada penurunan berat badan (Nindya, 2017). Selama pertumbuhan, tuntutan terhadap mineralisasi tulang sangat tinggi, rendahnya asupan kalsium dapat mengakibatkan rendahnya mineralisasi matriks deposit tulang baru dan disfungsi osteoblast. Defisiensi kalsium akan mempengaruhi pertumbuhan linier jika kandungan kalsium dalam tulang kurang dari 50% kandungan normal. Kalsium membentuk ikatan kompleks dengan fosfat yang dapat memberikan kekuatan pada tulang, sehingga defisiensi fosfor dapat mengganggu pertumbuhan. Defisiensi fosfor yang berlangsung lama akan menyebabkan osteomalasia dan dapat menyebabkan pelepasan kalsium dari tulang (Sari dkk, 2016). D. Penyakit infeksi anak usia 24-59 bulan Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Semarang diketahui bahwa riwayat penyakit infeksi dengan kejadian stunting pada anak balita yang berada di pedesaan maupun perkotaan memiliki hubungan yang signifikan (Aridiyah dkk, 2015). Tingginya penyakit ISPA menjadi salah satu penyebab tingginya kejadian stunting pada anak balita. Budaya panggang yang dilakukan dalam rumah bulat untuk menghangatkan ibu dan balita yang dilakukan oleh masyarakat suku Dawan sangat berpengaruh terhadap kejadian stunting. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan di Bali. Dalam penelitian tersebut disebutkan bahwa anak balita yang memiliki riwayat penyakit infeksi mempunyai risiko 6,61 kali lebih besar untuk mengalami pendek. Hasil serupa juga didapatkan dari penelitian di Kupang dan Sumba Timur tahun 2012 (Nabuasa, 2013). E. Status stunting pada anak usia 24-59 bulan stunting adalah salah satu kejadian malnutrisi yang dihubungankan dengan ketidakcukupan zat gizi pada masa lalu sehingga termasuk dalam masalah gizi yang bersifat kronis. Status gizi Stunting diukur dengan memperhatikan tinggi atau panjang badan, umur, dan jenis kelamin balita. Stunting sulit disadari karena kurangnya kesadaran masyarakat tentang pentingnya pengukuran panjang badan atau tinggi badan balita (Sutarto,2018). Balita pendek (stunted) dan sangat pendek (severely stunted) merupakan balita yang memiliki panjang badan (PB/U) atau tinggi badan (TB/U) menurut umurnya tidak sesuai dibandingkan dengan standar baku WHO-MGRS (Multicentre Growth Reference Study) 2006. Sedangkan menurut Kementerian Kesehatan (Kemenkes) definisi stunting adalah anak balita dengan nilai zscorenya kurang dari -2SD/standar deviasi (stunted) dan kurang dari – 3SD (severely stunted) (NP2K, 2017). Stunting dimulai dari janin masih dalam kandungan dan akan nampak saat anak berumur dua tahun. Keadaan kurang gizi pada usia dini meningkatkan angka kematian bayi dan anak, menyebabkan penderitanya rentan sakit dan mempunyai postur tubuh yang tak maksimal saat dewasa.Kemampuan kognitif para penderita juga akan berkurang, sehingga dapat menyebabkan kerugian ekonomi jangka panjang bagi Indonesia. Di Indonesia anak kerdil tidak hanya dialami oleh keluarga yang miskin dan kurang mampu, tetapi juga dialami oleh keluarga yang tidak miskin atau yang berada di atas 40% tingkat kesejahteraan sosial dan ekonomi. Tidak hanya disebabkan oleh gizi buruk yang dialami oleh ibu hamil maupun anak balita namun stunting juga disebabkan oleh faktor multidimensi. Intervensi yang paling efektif untuk dapat meurunkan pervalensi stunting perlu dilakukan pada 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) dari anak balita (Sutarto,2018). Ada lima faktor utama penyebab stunting yaitu kemiskinan, sosial dan budaya, peningkatan paparan terhadap penyakit infeksi, kerawanan pangan dan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan (Aridiyah dkk, 2015). Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada tahun 2007 menunjukkan bahwa prevalensi pendek (stunting) pada balita secara nasional 36,6%. Jika dirinci menurut kelompok umur bulan), 34,2% sebagai berikut 31,1% pada kelompok (< 6 (6-11 bulan), 40% (12-23 bulan) dan 38,2% pada (24-59 bulan).Sedangkan hasil analisis lanjut data Riskesdas 2010 pada kelompok usia 2-3 tahun menemukan prevalensi sebesar 42,38 persen (Muljati,2011). Anak usia 2-3 tahun yang menjadi sampel dalam Riskesdas 2010 secara agregat dapat diasumsikan sebagai hasil kehamilan dari ibu hamil yang menjadi sampel dalam Riskesdas 2007. Hasil analisis lanjut dari Riskesdas 2010 menunjukkan bahwa sebanyak 42,38 persen anak usia 2-3 tahun di Indonesia mengalami stunting dan tingginya prevalensi stunting pada anak usia 2-3 tahun bervariasi di setiap provinsi (Muljati,2011). Stunting pada balita perlu mendapatkan perhatian khusus karena dapat menyebabkan terhambatnya pertumbuhan fisik, perkembangan mental dan status kesehatan pada anak. Studi terbaru menunjukkan anak yang mengalami stunting berkaitan dengan prestasi di sekolah yang buruk, tingkat pendidikan yang rendah dan pendapatan yang rendah saat dewasa. Anak yang penderita stunting memiliki kemungkinan lebih besar tumbuh menjadi individu dewasa yang tidak sehat dan miskin. Stunting pada anak juga berhubungan dengan peningkatan kerentanan anak terhadap penyakit, baik penyakit menular maupun Penyakit Tidak Menular (PTM) serta peningkatan risiko overweight dan obesitas. Keadaan overweight dan obesitas jangka panjang dapat meningkatkan risiko penyakit degeneratif. Kasus stunting pada anak dapat dijadikan indikator rendahnya kualitas sumber daya manusia suatu negara. Keadaan stunting menyebabkan buruknya kemampuan kognitif, rendahnya produktivitas, serta meningkatnya risiko penyakit mengakibatkan kerugian jangka panjang bagi ekonomi Indonesia (setiawan dkk, 2018). F. Kerangka Teori Sumber : UNICEF 1990 BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis penelitian Penelitian ini merupakan jenis penelitian ex-post facto karena melihat kebelakang kejadian yang terjadi hingga menjadi faktor penyebab terjadinya suatu kejadian. Penelitian ini merupakan penelitian komperatif karena ingin mengetahui perbedaan variabel yang sama dengan sampel yang berbeda. Penelitian ini menggunakan pendekatan cross-sectional yaitu pendekatan pada satu waktu yang sama yang telah ditentukan oleh peneliti. B. Waktu dan tempat penelitian Penelitian dilaksanakan dalam waktu yang telah ditetapkan oleh peneliti yaitu satu bulan, dari 1 februari- 1 maret 2020. Penelitian dilakukan di posyandu wilayah kerja puskesmas bukuan kelurahan bukuan kecamatan palaran kota Samarinda. C. Populasi dan sampel Populasi penelitian ini adalah seluruh ibu yang memiliki anak balita di posyandu wilayah kerja puskesmas bukuan. Penentuan sampel dengan teknik purposive sampling yaitu berdasarkan kriteria inklusi dan kriteria eksklusi. Dengan kriteria inklusi, ibu bekerja yang memiliki anak usia 24-59 bulan dan ibu rumah tangga yang memiliki anak usia 24-59 bulan. D. Kerangka konsep Ibu Rumah Tangga Ibu Bekerja Pola Asuh Pemberian makan Pemeliharaan kesehatan stimulasi Asupan Makanan Stunting E. Hipotesis penelitian Penelitian ini menggunakan hipotesis perbedaan, yaitu hipotesis yang menyatakan adanya ketidaksamaan antara dua variabel. Hipotesis dalam penelitian ini adalah pola asuh ibu rumah tangga lebih baik dibandingkan dengan pola asuh ibu bekerja terhadap status stunting anak usia 24-59 bulan. F. Variabel penelitian Dalam penelitian ini, peneliti mencari perbedaan pola asuh ibu bekerja dan ibu rumah tangga dengan status stunting anak usia 24-59 bulan. Dengan variabel sebagai berikut: 1. Variabel bebas (independent variable): perbedaan pola asuh ibu bekerja dan ibu rumah tangga 2. Variabel terikat (dependent varable) : status stunting anak usia 24-59 bulan G. Definisi operasional variabel Variabel Definisi operasional Alat ukur Pola asuh Pola asuh adalah perilaku yang kuesioner kategori skala 1. Baik dipraktikkan oleh pengasuh (ibu, 2. Kurang bapak, nenek atau orang lain) baik dalam memberikan Ordinal makanan, pemeliharaan kesehatan, serta pemberian stimulasi yang dibutuhkan anak untuk tumbuhkembang anak termasuk dalamnya kasih sayang di dan tanggungjawab orang tua Status Ibu bekerja adalah seorang ibu pekerjaan ibu yang selain menjalankan kuesioner 1. Ibu bekerja fungsinya sebagai ibu rumah 2. Ibu rumah tangga yaitu membimbing dan tangga memberikan kasih sayang kepada anaknya, juga sebagai ibu yang bekerja di kantor 6-8 jam maupun yang berwiraswasta. Ibu rumah tangga adalah ibu yang hanya berperan sebagai nominal pengurus rumah tangga, merawat anak-anak, figure seorang ibu yang tinggal di rumah, dan menghabiskan hanya waktunya dirumah tanpa terikat dengan kegiatan dikantor maupun berwiraswasta Status stunting Status stunting adalah balita yang dinyatakan kuesioner 1. Stunting stunting nominal 2. Tidak karena berada dibawah -2SD stunting H. Teknik analisa data 1. Analisis deskriptif (univariat) adalah analisa yang dilakukan untuk menganalisa variabel yang ada secara deskriptif. Untuk menggambarkan data pola asuh Ibu bekerja dan ibu rumah tangga dengan status stunting anak usi 24-59 bulan menggunakan distribusi frekuensi. 2. Analisis Bivariat Analisis bivariat untuk mengetahui perbedaan status stunting anak usia 24-59 bulan ditinjau dari pla asuh ibu bekerja dan ibu rumah tangga dilakukan melalui uji statistik. Uji statistik yang digunakan adalah uji TIndependent. Uji T-Independent digunakan untuk menguji perbedaan pada dua kelompok yang independent (saling bebas). Karena pada data penelitian berskala kategorik dan numerik maka uji statistik yang digunakan adalah uji T- Independent. Langkah-langkah untuk melakukan uji t adalah sebagai berikut : a. Memeriksa syarat uji t tidak berpasangan 1) Sebaran data harus normal (wajib) 2) Varians data boleh sama juga tidak sama b. Jika memenuhi syarat (sebaran data normal) maka dipilih uji t berpasangan c. Jika tidak memenuhi syarat (sebaran data tidak normal) dilakukan terlebih dahulu transformasi data. d. Jika variabel baru hasil transformasi mempunyai sebaran data yang normal, maka dipakai uji t tidak berpasangan. e. Jika variabel baru hasil transformasi mempunyai sebaran data yang tidak normal, maka dipilih uji mann whithey Bila hasil uji T-Independent menunjukkan nilai significancy p<α = 0,05 berarti tidak terdapat perbedaan status stunting anak usia 24-59 bulan pada pola asuh ibu bekerja dan pola asuh ibu rumah tangga. Bila nilai significancy menunjukkan p> α = 0,05 berarti tidak terdapat perbedaan status stunting anak usia 24-59 bulan pada pola asuh ibu bekerja dan pola asuh ibu rumah tangga. I. Prosedur Penelitian Ibu bekerja dan ibu rumah tangga yang memiliki anak balita di posyandu wilayah kerja puskesmas bukuan Kriteria inklusi Pola asuh ibu bekerja yang memiliki anak usia 24-59 bulan Pola asuh ibu rumah tangga yang memiliki anak usia 24-59 bulan Teknik pengumpulan data: 1. Pengumpulan data ibu bekerja dan ibu rumah tangga 2. Pengumpulan data pola asuh ibu 3. Pengumpulan data anak stunting usia 24-59 bulan Teknik analisis data: 4. Editing 5. Coding 6. Transferring 7. tabulating Analisis data Mann-Whitney T-indepenndent H0 diterima apabila p<α = 0,05 H0 ditolak apabila p> α = 0,05