Mie Ayam Penyambung Hidup Matahari sudah mulai menepi menenggelamkan seluruh badannya kedalam bumi. Bu Parmi dengan peluh yang membasahi dahinya terus mendorong gerobak mie ayamnya menuju pangkalan mie ayam yang terletak di ujung bagian Selatan Alun-Alun Kidul Yogyakarta. Sang suami menggendong kedua anaknya yang masih balita. Bu Parmi ialah seorang pedagang mie ayam yang biasanya berjualan di Alun-Alun Kidul Yogyakarta pada sore hari. Siang harinya Bu Parmi menjajakan mie ayamnya disekitar lingkungan tempat tinggalnya. Wanita berusia 36 tahun itu berasal dari Boyolali sedangkan sang suami berasal dari Jogja asli. Bu Parmi memiliki 2 anak yang masih sangat kecil-kecil. Mie ayam adalah satusatunya mata pencaharian Bu Parmi dan suami sejak 3 bulan yang lalu. Sebelum berjualan mie ayam Bu Parmi dan Suami tinggal di Tangerang karena sang suami bekerja di sebuah pabrik konveksi disana. Akan tetapi, kedua pasangan suami istri itu memutuskan hijrah ketika mereka mendapat kabar bahwa orang tua Pak Parjo suami Bu Parmi yang di Jogja sakit. Dengan modal 5.000.000 rupiah kedua pasutri itu memulai bisnis kecil-kecilannya menjajakan mie ayam. Beliau mengungkapkan jika modal membuat gerobak yang membuat pengeluaran membengkak. “Membuat gerobak menghabiskan 4 juta rupiah sedangkan bahan baku lain seperti mangkok, bahan membuat mie, kursi plastic dan lain tidak sampe 1 juta mbak” tuturnya sore itu ketika diwawancarai. Beliau juga memaparkan jika modal yang didapat berasal dari pesangon pabrik tempat sang suami dulu bekerja. Bu Parmi dan suami menjajakan mie ayam setiap harinya dari pukul 9 hingga 2 di daerah sekitar rumah, sedangkan menjelang buka puasa sekitar jam 4 hingga malam di Alun-alun Kidul Yogyakarta. Setiap harinya Bu Parmi harus mengeluarkan modal sekitar 200 ribu untuk membeli bahan utama membuat mie ayam. Sedangkan seharinya jika tidak puasa beliau bisa mendapatkan untung sekitar 300 ribu rupiah. “Jika puasa sepi mbak kemaren saja saya hanya mendapat 100 ribu ya mau bagaimana lagi mbak kalau tidak puasa sampe 300 an ribu mbak bersih” tuturnya terbata-bata sambil melayani pembeli. Harga satu porsi mie ayam milik Bu Parmi dipatok sekitar 7500 rupiah jika tidak menggunakan ceker dan 8000 rupiah jika menggunakan ceker. Variasi mie ayam milik Bu Parmi hanya ada dua yaitu mie ayam biasa dan mie ayam ceker.ketika ditanya mengapa harga mie ayamnya sangat murah, beliau menjelaskan bahwa beliau masih tergolong baru dalam berdagang jadi takut jika dipatok dengan harga tinggi tidak laku. Beliau tidak takut rugi karena dalam keyakinannya jika rejeki tidak akan kemana. Mie ayam milik Bu Parmi jika dilihat dari kultur dan tampilannya sama seperti mie aam pada umumnya. Akan tetapi perbedaan terlihat pada kuah yang terdapat kare ayam didalamnya sedikit berbeda dengan mie ayam pada umumnya. Bu Parmi memaparkan jika kare yang dia tambahkan dalam mie ayamnya adalah ajaran dari sang Ibu yang tinggal di Boyolali. Hal tersebut menjadi ciri khas mie ayam murah ini. Selain itu tekstur mie yang lembut berwana kuning membuat kelezatan tersendiri. Pada saat ditanya alas an berjualan mie ayam tidak bakso saja, beliau munuturkan “ kalau bakso itu sudah ada yang jual mbak banyak malah dilingkungan tempat tinggal saya, selain itu mbak jika bakso dipatok harag murah pasti pembeli curiga takutnya daging babi gitu tapi kalau dipatok harga tinggi nanti tidak laku” tuturnya berapi-api. Pada saat ada pembeli yang memebeli mie ayam makan di tempat, bu Parmi tidak menyediakan minum. Beliau join dengan penjual the poci yang berada disampingnya. Join tersebut bagi hasi jika satu gelas the poci diharagai 5000 makan 3000 rupiah di berikan pada penjual the poci sedang sisanya menjadi keuntungan Bu Parmi. Ditengah kesibukkan ibu dua anak tersebut melayani pelanggan, tiba-tiba dating bapakbapak meminta uang 5000an kepada Ibu Parmi. “maaf mbak itu tukang keamanan sama kebersihan, biasanya dating jam 5an buat maintain uang kebersihan sama keamanan mbak” tuturnya dengan logat jawa yang kental. Fakta yang unik. Setiap penjual di area Alun-alun Kidul Yogyakarta memiliki sebuah organisasi tersendiri yang mengatur keamanan, kebesihan dan ketertiban pedagang yang berjiualan sepanjang alun-alun kidul. Organisasi tersebut berasal dari desa sekitar alun-alun. Bu Parmi mengungkapkan jika nama organisasi tersebut adalah paparasi. Dalam satu bulan sekali ikatan pedagang alun-alun kidul bersama paparasi berkumpul bersama untuk rapat dan memantau perkembangan penjualan di Alun-alun Kidul Yogyakarta. Setiap pedagang diharuskan membayar 3000 rupiah setiap harinya sebagai uang keaman dan kebersihan lingkungan. 3000 rupiah itu sudah ditetapkan bersama ketika rapat kongsi ikatan pedagang Alunalun Kidul Yogyakarta dan Paparasi. Ketika ditanya apa harapannya kedepan, Ibu Parmi mengungkapkan bahwa beliau ingin sekali memiliki kios mie ayam sehingga tidak capek mendorong gerobak. Beliau juga ingin berjualan selain mie ayam seperti bakso, soto dan susu khas Boyolali. “ya smeoga jualan mie ayam keliling ini sementara saja mbak sebagai penyambung hidup ketika suami saya sudah tidak bekerja lagi nanti jika modal sudah kekumpul semoga bisa buat kios mie ayam sendiri” tuturnya. Beliau juga mengemukakan suka duka ketika berdagang mie ayam keliling dan ketika mangkal di daerah Alun-alun Kidul Yogyakarta. Bu Parmi mengungkapkan dia senang jika berjualan mie ayam dan menjajagkannya disepanjang jalan area Alun-alun Kodul Yogyakarta karena dengan menjajagkan mie ayam dia dan keluarga kecilnya dapat menyambung hidup setelah suaminya tidak lagi bekerja. Tangungan Ibu Parmi tak hanya dirinya dan suaminya, namun juga kedua anaknya. Anak penjual mie ayam yang selalu bersemangat itu ada 2 yang satu berumur 5 tahun dan yang satu baru 3 tahun. Anak saya dua mbak yang satu sudah mau sekolah, jaman sekarang kalau tidak gerak ya tidak bisa makan mbak. Tuntutan jaman sudah merubah segalanya mbak” tuturnya sederhana ketika ditanya motivasi yang membuatnya berjualan mie ayam. Dengan pakaian yang lusuh dan keringat didahinya dia dengan cekatan melayani pelanggan.nampak sore itu terdapat 2 pelanggan yang mengantri untuk mencicipi mie ayam buatan Ibu Parmi. Ketika sedang melayani pelanggn lain, tiba-tiba pelanggan yang tengah memakan mie ayam menceletuk “mbak kok asin banget mie ayam e” spontan Bu Parmi mendatangi dan meminta maaf kepa Ibuibu yang sedang makan mie ayam dan protes karena mie ayam yang disajikan oleh Bu Parmi tersebut asin. Bu Parmi lalu menawarkan untuk membuatkan ulang mie ayam yang lebih enak lagi, akan tetapi Ibu yang tadi protes meninggalkan Bu Prami dan meninggalkan uang 10 ribu rupiah. Bu Parmi lalu tertunduk lemas. “Itu mbak duka saya ketika berjualan mie ayam. Kadang beberapa pelanggan protes karena asin ataupun terlalu lembek mie ayamny. Lidah orang berbeda-beda ya mbak saya sampe bingung dulu ada yang bilang tidak berasa sekarang pada bilang terlalu asin. Ya Allah susah e mbak” keluhnya dengan mata berbinar ingin menangis. Setelah berbincang lama, Bu Parmi kembali bangkit dan bersemangat lagi untuk berjualan mie ayam kembali. Suami dan kedua anaknya dating. Sang suami menghibur Ibu dua anak itu. Nampak harmonis ditengah berbagai ujian hidup yang menghadang mereka. “maaf ya mbak saya cengeng. Maklum mbak saya baru menjual mie ayam mental saya masih mental gembus” tuturnya lirih. “saya hanya berharap mbak usaha mie ayam yang saya dan suami bangun susah payah ini kedepannya dapat berkembang, saya juga ingin berjualan soto dan membuat warung kecil-kecilan bisa bikin minum sendiri tidak harus bagi hasil lagi. Mie ayam satu-satunya tumpuab saaya saat ini mbak. Moto hidup saya kalau tidak gerak ya tidak bisa makan mbak” lanjutnya smbil meringis. Nampak matanya menyulut semangat yang besar. Beliau berharap nanti anak-anaknya tidak memiliki nasib yang serupa dengan keadaan beliau saat ini. Ya benar tanpa usaha kita tidak bisa berlari jauh menggapai impian kita. Pengalaman hidup yang Bu Parmi memang berat akan tetapi dari sanalah kita dapat memtik berbagai pelajaran yakni haus terus bersyukur atas apa yang kita miliki saat ini dan tak lupa selalu usaha untuk mencapai apa yang kita inginkan. Semangat wanita paruh baya itu patut dijadikan contoh. Serta tekadnya untu keluarga kecilnya sikap pantang merahnya memberikan cerminan bahwa menyerah bukanlah satu-satunya solusi untuk menghadapi berbagai masalah.