TEORI BELAJAR KOGNITIVISME J.S BRUNNER DISUSUN : DINI LAVENIA (06081181823063) MUHAMMAD AIDIL FITRISYAH (06081281823023) MUSTIKA KHOIRUNNISA (06081281823029) OLVIA PUTRI MAHARANI (06081181823010) PERA ELYSYA L. TORUAN (06081181823014) SITI AISYAH (06081281823025) SERUNI RAHMATUL NASOHA (06081181823019) UMI SURYANINGTIAS (06081181823072) PENDIDIKAN MATEMATIKA 2018 FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA DAFTAR ISI BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang………………………………………………………………… B. Rumusan Masalah……………………………………………………………... C. Tujuan………………………………………………………………………….. 3 3 4 BAB II : PEMBAHASAN 2.1 . Biografi Jerome S. Brunner………………………………………………… 2.2 . Jerome Bruner pada Belajar dan Pembelajaran…………………………… 5 7 2.3 . Konsep Teori Belajar Brunner……………………………………………. . 2.4 . Tahapan Teori Brunner dalam Pembelajaran 9 Matematika…………………………………………………………………. 12 2.5 . Teorema-teorema dalam pembelajran matematika Menurut Brunner………………………………………………………..… 15 2.6 . Aplikasi Teori Belajar Bruner dalam Pembelajaran Matematika………………………………………………………………. ... 20 2.7 . Contoh Instruksional Belajar Dengan Metode Penemuan………………………………………………………………… …. 23 2.8 . Ciri Khas Teori Pembelajaran Menurut Jerome S. Bruner……………………………………………………………. 25 2.9 . Kelebihan dan Kelemahan Belajar Penemuan Menurut Jerome S. Bruner…………………………………………………………… 27 BAB III : KESIMPULAN…………………………………………………………. ... 29 DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………... .. 30 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Teori pembelajaran merupakan penyedia panduan bagi pengajar untuk membantu siswa didik dalam mengembangkan kognitif, emosional, sosial, fisik, dan spiritual. Pendidikan merupakan salah satu usaha manusia untuk mengembangkan potensi-potensi tersebut serta sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat ataupun budaya. Usaha-usaha yang dilakukan untuk menanamkan dan mewariskan nilai-nilai tersebut terjadi dalam suatu proses pendidikan atau proses pembelajaran. Dalam proses belajar mengajar di sekolah, pada umumnya siswa hanya mengharapkan informasi dari guru semata tanpa berusaha untuk mencari informasi dan pengalaman belajar sendiri. Padahal waktu yang disediakan untuk proses belajar mengajar di sekolah amatlah singkat. Konsep yang dipelajari oleh siswa relatif banyak dan membutuhkan waktu yang banyak pula agar materi atau konsep yang diberikan oleh guru dapat diterima oleh siswa dengan baik. Sebagian siswa tidak dapat menerima konsep yang diberikan dengan alasan waktu yang tersedia untuk memahami konsep sangat sedikit, sehingga kebanyakan siswa hanya melakukan proses belajar yang singkat dan praktis yaitu dengan cara menghafal konsep dasar yang diberikan oleh guru dari pada harus menggali dan mencari konsep sendiri. Metode belajar menghafal pada umumnya menyebabkan siswa mengalami kesulitan dalam menguasai pelajaran-pelajaran selanjutnya yang memerlukan penerapan dari konsep-konsep dasar yang telah di pelajari sebelumnya. Namun, jika guru dan siswa mencoba menerapkan metode pembelajaran yakni metode belajar penemuan, hal ini akan lebih meningkatkan daya kreatifitas serta daya nalar siswa, dimana siswa terlibat dalam menggunakan proses mentalnyauntuk menemukan beberapa konsep atau prinsip. Dengan belajar penemuan Discovery Learning & siswa akan memiliki rasa ingin tahu yang tinggi untuk mengeksplorasi dan belajar sendiri. Pemahaman terhadap konsep yang didapat siswa terjadi melalui proses. Dengan demikian, konsep yang ditemukan sendiri oleh siswa akan tersimpan lebih lama dalam memori otak siswa. Demikian pula bagi guru, hal tersebut meringankan peran atau tugas guru karena guru tidak perlu menjelaskan semua pelajaran secara mendetail dan lengkap yang telah lalu karena siswa sudah menguasai konsepnya. Berdasarkan pemaparan mengenai pentingnya peran siswa dan guru dalammenemukan konsep sendiri oleh siswa, maka penulis akan membahas lebih jelas mengenai teori yang berkaitan dengan belajar penemuan (discovery learning) oleh Jerome Brunner B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana biografi J.S Brunner dan tahap simbolik ? 2. Bagaimana teori belajar matematika menurut J.S Brunner ? 3. Apa saja tahap dalam proses belajar matematika ? 4. Apa saja teorema dalam pembelajaran matematika menururt J.S Brunner ? C. Tujuan 1. 2. 3. 4. Kita dapat mengetahui biografi J.S Brunner dan tahap simbolik Kita dapat mengetahui teori belajar matematika menurut J.S Brunner Kita dapat mengetahui tahap dalam proses belajar matematika Kita dapat mengetahui teorema dalam pembelajaran matematika menurut J.S Brunner BAB II PEMBAHASAN 2.1 Biografi Jerome S. Brunner Nama lengkap dari Bruner adalah Jerome Seymour Bruner. Bruner lahir di New York City pada tanggal 1 Oktober 1915. Ia berkebangsaan Amerika. Ayahnya bernama Heman dan ibunya bernama Rose Bruner. Bruner menyelesaikan pendidikan sarjana di Duke University di mana ia menerima gelar sarjananya (A.B) pada tahun 1937. Selanjutnya, Bruner belajar psikologi di Harvard University dan mendapat gelar doktornya (A.M) pada tahun 1939 dan mendapat gelar Ph.D. Pada tahun 1939 dibawah bimbingan Gordon Allport. Pendekatannya tentang psikologi adalah eklektik. Penelitiannya meliputi persepsi manusia, motivasi, belajar, dan berpikir. Dalam mempelajari manusia, Bruner mengganggap manusia sebagai pemroses, pemikir, dan pencipta informasi. Bruner menerbitkan artikel psikologis pertama yang berisi tentang mempelajari pengaruh ekstrak timus pada perilaku seksual tikus betina. Pada tahun 1941, tesis doktornya berjudul " A Psychological Analysis of International Radio Broadcasts of Belligerent Nations". Setelah menyelesaikan program doktornya, Bruner memasuki Angkatan Darat Amerika Serikat dan bertugas di Divisi Warfare Psikologis dari Markas Agung Sekutu Expeditory Angkatan Eropa komite di bawah Eisenhower, meneliti fenomena psikologi sosial di mana karyanya berfokus pada propaganda (subyek tesis doktornya) serta opini publik di Amerika Serikat. Dia adalah editor Public Opinion Quarterly (1943-1944). Pada tahun 1945, Bruner kembali ke Harvard sebagai profesor psikologi dan sangat terlibat dalam penelitian yang berkaitan dengan psikologi kognitif dan psikologi pendidikan. Ia dengan cepat naik pangkat dari dosen menjadi profesor pada tahun 1952 . Dia berperan penting dalam membangun pathbreaking Center for Cognitive Studies pada tahun 1960 menjabat sebagai direktur karenanya pada tahun 1972. Lalu antara tahun-tahun tersebut, yaitu antara tahun 19641965 ia terpilih dan menjabat sebagai presiden dari American Psychological Association. Pada tahun 1970, Bruner meninggalkan Harvard untuk mengajar di Universitas Oxford di Inggris. Dia kembali ke Amerika Serikat pada tahun 1980 untuk melanjutkan penelitian di bidang psikologi perkembangan. Pada tahun 1972, Bruner berlayar melintasi Atlantik (kegemaran dari Bruner adalah berlayar), hal ini dikarenakan untuk mengambil posisi Watts Professor of Experimental Psychology at Oxford University Pada tahun 1991, Bruner bergabung dengan fakultas di New York University Law School, di mana ia masih mengajar disana sampai sekarang. Pekerjaan pertamanya di NYU Law School terlibat dalam program seminar tentang Teori Praktek Hukum, yaitu upaya untuk mempelajari bagaimana hukum dipraktekkan dan bagaimana prakteknya dapat dipahami dengan menggunakan alat yang dikembangkan dalam linguistik antropologi, psikologi, dan teori sastra "(Bruner biografi, 2000). Pada saat Ia menekuni bidang tersebut, ia menjadi sangat tertarik dalam mempelajari bagaimana psikologi mempengaruhi praktek hokum. Sepanjang karirnya, Bruner telah dianugerahi gelar doktor kehormatan dari Yale dan Columbia, serta perguruan tinggi dan universitas di lokasi seperti Sorbonne, Berlin, dan Roma, dan merupakan Fellow dari American Academy of Arts dan Ilmu. Bruner juga mempublikasikan karyanya dalam bentuk buku, monograph, dan artikel. Beberapa buku dan monograph yang dikeluarkan Bruner : 1. Amsterdam, A. G., & Bruner, J. (2000). Minding the law. Cambridge, MA: Harvard University Press. 2. Bornstein, M. H., & Bruner, J. S. (Eds.). (1989). Interaction in human development. Hillsdale, NJ: Lawrence Erlbaum Associates. 3. Bruner, J. S. (1943). Public thinking on post-war problems. Washington, DC: National Planning Association. 4. Bruner, J. S. (1944). Mandate for the people. New York: Duell, Sloan & Pearce. 5. Bruner, J. (1960). The process of education. Cambridge, MA: Harvard University Press. (reprinted 1977) 6. Bruner, J. (1962). On knowing: Essays for the left hand. Cambridge, MA: Harvard University Press. (reprinted 1979) 7. Bruner, J. (1966). Toward a theory of instruction. Cambridge, MA: Belknap Press of Harvard University Press. 8. Bruner, J. (1968). Processes of cognitive growth: Infancy (Heinz Werner Lectures). Worcester, MA: Clark University Press. 9. Bruner, J. S. (1971). The relevance of education. Oxford, UK: W. W. Norton. 10. Dst. Beberapa artikel yang pernah dipublikasikan Bruner, adalah sebagai berikut : 1. Allport, G. W., Bruner, J. S., & Jandorf, E. M. (1941). Personality under social catastrophe: Ninety life-histories of the Nazi revolution. Character & Personality: A Quarterly for Psychodiagnostic & Allied Studies, 10, 1-22. 2. Bruner, J. S., & Allport, G. W. (1940). Fifty years of change in American psychology. Psychological Bulletin, 37, 757-776. 3. Bruner, J. S. (1941). The dimensions of propaganda: German short-wave broadcasts to America. Journal of Abnormal & Social Psychology, 36, 311-337. Tahun 950s 1. Bruner, J. S. (1950). Social psychology and group processes. Annual Review of Psychology, 1, 119-150. 2. Bruner, J. S. (1957). Neural mechanisms in perception. Psychological Review, 64, 340-358. Tahun 990s 1. Bruner, J. S. (1990). Culture and human development: A new look. Human Development, 33, 344-355. 2. Bruner, J. (1992) Another look at New Look 1. American Psychologist, 47, Tahun 780-783. 3. Bruner, J. (1995). The autobiographical process. Current Sociology, 43, 161-177. Pada tahun 2000s 4. Bruner, J. (2002). The legal and the literary. Yale Review, 90, 42-61. (Kharitsa Aulia;blog) 2.2 Jerome Bruner pada Belajar dan Pembelajaran Psikolog terkenal, Jerome Bruner, telah banyak menulis tentang teori, proses pembelajaran dan filsafat pendidikan belajar. Pada akhir tahun 1950an Bruner dan banyak pendidik lain, terutama orang-orang yang mulai mengembangkan kurikulum baru dalam matematika dan ilmu pengetahuan, tampaknya menganggap struktur disiplin ilmu sebagai faktor yang sangat penting (bahkan mungkin faktor yang paling penting) dalam pendidikan. Setidaknya, itu tidak akan salah untuk mengatakan bahwa masalah konten merupakan perhatian utama bagi banyak pengembang dari beberapa variasi kurikulum matematika modern. Buku yang sangat diakui Bruner, The Process Education, yang ditulis dalam 1959-1960, mencerminkan pemikiran masyarakat terpelajar saat ini yang berkaitan dengan pendidikan dasar dan menengah. Buku ini merupakan perpaduan dari diskusi dan wawasan 34 ahli matematika, ilmuwan, psikolog dan pendidik yang bertemu selama sepuluh hari di Woods Hole di Cape Cod untuk membahas cara-cara untuk meningkatkan pendidikan di sekolah-sekolah di Amerika Serikat. Diskusi mereka berpusat di sekitar pentingnya mengajarkan struktur mata pelajaran, kesiapan untuk belajar, berpikir intuitif dan analitik, dan motif untuk belajar. Prinsip-prinsip umum seperti yang tercantum dalam daftar berikut muncul dari konferensi Wood Hole: 1. Pembelajaran yang tepat dalam kondisi optimum menyebabkan siswa untuk "belajar cara belajar". 2. Setiap topik dari subjek apapun dapat diajarkan kepada siswa siapapun dalam beberapa intelektual yang jujur dari pada setiap tahap dalam perkembangan intelektual siswa. 3. Aktivitas Intelektual di mana saja sama, apakah orang tersebut adalah siswa kelas ketiga atau seorang ilmuwan penelitian. 4. Bentuk terbaik dari motivasi adalah minat pada pelajaran. Mempelajari struktur masing-masing subjek dianggap begitu penting sehingga empat alasan untuk struktur pengajaran dirumuskan. Pertama, bahwa pemeriksaan struktur fundamental dari subjek membuat subjek lebih mudah dipahami siswa. Kedua, untuk mengingat detail dari subjek, rincian harus ditempatkan dalam pola terstruktur. Ketiga, cara optimal untuk mempromosikan transfer belajar khusus ke aplikasi umum pembelajaran adalah melalui pemahaman konsep, prinsip dan struktur masing-masing subjek. Keempat, jika struktur dasar mata pelajaran yang dipelajari di awal sekolah, ketertinggalan antara temuan penelitian saat ini dan apa yang diajarkan di sekolah akan berkurang. Prinsip-prinsip umum dari pembelajaran dan argumen yang lebih spesifik untuk struktur mengajar dianggap merupakan dasar yang rasional untuk perubahan kurikulum yang sedang berjalan pada tahun 1960. Namun, dalam artikelnya " The Process of Education Revisited ", yang muncul pada tahun 1971 di jurnal Phi Delta Kappa, Bruner menilai gagasan besar tentang pendidikan yang lazim sepuluh tahun sebelumnya dan menemukan gagasan tersebut cukup memadai. Dengan mengacu pada pemikiran pendidikan tahun 1959, Bruner dalam komentar kritis dari jenis pemikiran, pada tahun 1971 menyatakan bahwa: Gagasan yang berlaku adalah bahwa jika Anda memahami struktur pengetahuan pemahaman maka akan memungkinkan Anda untuk terus maju; Anda tidak perlu menghadapi segala sesuatu di alam untuk mengetahui alam, tetapi dengan memahami beberapa prinsip mendalam Anda bisa ekstrapolasi ke khusus yang diperlukan. Mengetahui adalah strategi cerdik dimana Anda bisa tahu banyak tentang banyak hal sambil menjaga sangat sedikit dalam pikiran. 2.3 Konsep Teori Belajar Brunner Bruner yang memiliki nama lengkap Jerome S.Bruner seorang ahli psikologi (1915) dari Universitas Harvard, Amerika Serikat, telah mempelopori aliran psikologi kognitif yang memberi dorongan agar pendidikan memberikan perhatian pada pentingnya pengembangan berfikir. Bruner banyak memberikan pandangan mengenai perkembangan kognitif manusia, bagaimana manusia belajar atau memperoleh pengetahuan, menyimpan pengetahuan dan menstransformasi pengetahuan. Dasar pemikiran teorinya memandang bahwa manusia sebagai pemeroses, pemikir dan pencipta informasi. Bruner menyatakan belajar merupakan suatu proses aktif yang memungkinkan manusia untuk menemukan hal-hal baru di luar informasi yang diberikan kepada dirinya. Ada tiga proses kognitif yang terjadi dalam belajar, yaitu (1) proses perolehan informasi baru, (2) proses mentransformasikan informasi yang diterima dan (3) menguji relevansi dan ketepatan pengetahuan. Perolehan informasi baru dapat terjadi melalui kegiatan membaca, mendengarkan penjelasan guru mengenai materi yang diajarkan atau mendengarkan audiovisual dan lain-lain. Informasi ini mungkin bersifat penghalusan dari informasi sebelumnya yang telah dimiliki. Sedangkan proses transformasi pengetahuan merupakan suatu proses bagaimana kita memperlakukan pengetahuan yang sudah diterima agar sesuai dengan kebutuhan. Informasi yang diterima dianalisis, diproses atau diubah menjadi konsep yang lebih abstrak agar suatu saat dapat dimanfaatkan. Menurut Bruner (dalam Hudoyo,1990:48) belajar matematika adalah belajar mengenai konsep-konsep dan struktur-struktur matematika yang terdapat di dalam materi yang dipelajari, serta mencari hubungan antara konsep-konsep dan strukturstruktur matematika itu. Siswa harus dapat menemukan keteraturan dengan cara mengotak-atik bahan-bahan yang berhubungan dengan keteraturan intuitif yang sudah dimiliki siswa. Dengan demikian siswa dalam belajar, haruslah terlibat aktif Pembelajaran Matematika Sekolah Dasar 1-5 mentalnya agar dapat mengenal konsep dan struktur yang tercakup dalam bahan yang sedang dibicarakan, anak akan memahami materi yang harus dikuasainya itu. Ini menunjukkan bahwa materi yang mempunyai suatu pola atau struktur tertentu akan lebih mudah dipahami dan diingat anak. Dalam setiap kesempatan, pembelajaran matematika hendaknya dimulai dengan pengenalan masalah yang sesuai dengan situasi (contextual problem). Dengan mengajukan masalah kontekstual, peserta didik secara bertahap dibimbing untuk menguasai konsep matematika. Untuk meningkatkan keefektifan pembelajaran, sekolah diharapkan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi seperti komputer, alat peraga, atau media lainnya. Bruner, melalui teorinya itu, mengungkapkan bahwa dalam proses belajar anak sebaiknya diberi kesempatan memanipulasi benda-benda atau alat peraga yang dirancang secara khusus dan dapat diotak-atik oleh siswa dalam memahami suatu konsep matematika. Melalui alat peraga yang ditelitinya itu, anak akan melihat langsung bagaimana keteraturan dan pola struktur yang terdapat dalam benda yang sedang diperhatikannya itu. Keteraturan tersebut kemudian oleh anak dihubungkan dengan intuitif yang telah melekat pada dirinya. Peran guru dalam penyelenggaraan pelajaran tersebut, (a) perlu memahami sturktur mata pelajaran, (b) pentingnya belajar aktif suapaya seorang dapat menemukan sendiri konep-konsep sebagai dasar untuk memahami dengan benar, (c) pentingnya nilai berfikir induktif. Dengan demikian agar pembelajaran dapat mengembangkan keterampilan intelektual anak dalam mempelajari sesuatu pengetahuan (misalnya suatu konsep matematika), maka materi pelajaran perlu disajikan dengan memperhatikan tahap perkembangan kognitif/ pengetahuan anak agar pengetahuan itu dapat diinternalisasi dalam pikiran (struktur kognitif) orang tersebut. Proses internalisasi akan terjadi secara sungguh-sungguh (yang berarti proses belajar terjadi secara optimal) jika pengetahuan yang dipelajari itu dipelajari dalam tiga model tahapan yaitu model tahap enaktif, model ikonik dan model tahap simbolik. Bila dikaji ketiga model penyajian yang dikenal dengan teori Belajar Bruner, dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Model Tahap Enaktif Dalam tahap ini penyajian yang dilakukan melalui tindakan anak secara langsung terlibat dalam memanipulasi (mengotak-atik) objek. Pada tahap ini anak belajar sesuatu pengetahuan di mana pengetahuan itu dipelajari secara aktif, dengan menggunakan benda-benda konkret atau menggunakan situasi yang nyata, pada penyajian ini anak tanpa menggunakan imajinasinya atau kata-kata. Ia akan memahami sesuatu dari berbuat atau melakukan sesuatu. 1-6 Pembelajaran Matematika Sekolah Dasar 2. Model Tahap Ikonik Dalam tahap ini kegiatan penyajian dilakukan berdasarkan pada pikiran internal dimana pengetahuan disajikan melalui serangkaian gambar-gambar atau grafik yang dilakukan anak, berhubungan dengan mental yang merupakan gambaran dari objek-objek yang dimanipulasinya. Anak tidak langsung mema nipulasi objek seperti yang dilakukan siswa dalam tahap enaktif. Tahap ikonik, yaitu suatu tahap pembelajaran sesuatu pengetahuan di mana pengetahuan itu direpresentasikan (diwujudkan) dalam bentuk bayangan visual (visual imaginery), gambar, atau diagram, yang menggambarkan kegiatan kongkret atau situasi kongkret yang terdapat pada tahap enaktif tersebut di atas (butir a). Bahasa menjadi lebih penting sebagai suatu media berpikir. Kemudian seseorang mencapai masa transisi dan menggunakan penyajian ikonik yang didasarkan pada pengindraan kepenyajian simbolik yang didasarkan pada berpikir abstrak. 3. Model Tahap Simbolis Dalam tahap ini bahasa adalah pola dasar simbolik, anak memanipulasi simbulsimbul atau lambang-lambang objek tertentu. Anak tidak lagi terikat dengan objekobjek seperti pada tahap sebelumnya. Anak pada tahap ini sudah mampu menggunakan notasi tanpa ketergantungan terhadap objek riil. Pada tahap simbolik ini, pembelajaran direpresentasikan dalam bentuk simbol-simbol abstrak (abstract symbols), yaitu simbol-simbol arbiter yang dipakai berdasarkan kesepakatan orangorang dalam bidang yang bersangkutan, baik simbol-simbol verbal (misalnya hurufhuruf, kata-kata, kalimatkalimat), lambang-lambang matematika, maupun lambanglambang abstrak yang lain. Sebagai contoh, dalam mempelajari penjumlahan dua bilangan cacah, pembelajaran akan terjadi secara optimal jika mula-mula siswa mempelajari hal itu dengan menggunakan bendabenda konkret (misalnya menggabungkan 3 kelereng dengan 2 kelereng, dan kemudian menghitung banyaknya kelereng semuanya ini merupakan tahap enaktif). Kemudian, kegiatan belajar dilanjutkan dengan menggunakan gambar atau diagram yang mewakili 3 kelereng dan 2 kelereng yang digabungkan tersebut (dan kemudian dihitung banyaknya kelereng semuanya, dengan menggunakan gambar atau diagram tersebut/ tahap yang kedua ikonik, siswa bisa melakukan penjumlahan itu dengan menggunakan pembayangan visual (visual imagenary) dari kelereng tersebut. Pada tahap berikutnya yaitu tahap simbolis, siswa melakukan penjumlahan kedua bilangan itu dengan menggunakan lambang-lambang bialngan, yaitu : 3 + 2 = 5. 2.4 Tahapan Teori Brunner dalam Pembelajaran Matematika Bruner menyatakan belajar merupakan suatu proses aktif yang memungkinkan manusia untuk menemukan hal-hal baru di luar informasi yang diberikan kepada dirinya. Ada tiga proses kognitif yang terjadi dalam belajar, yaitu (1) proses perolehan informasi baru, (2) proses mentransformasikan informasi yang diterima dan (3) menguji relevansi dan ketepatan pengetahuan. Perolehan informasi baru dapat terjadi melalui kegiatan membaca, mendengarkan penjelasan guru mengenai materi yang diajarkan atau mendengarkan audiovisual dan lain-lain. Informasi ini mungkin bersifat penghalusan dari informasi sebelumnya yang telah dimiliki. Sedangkan proses transformasi pengetahuan merupakan suatu proses bagaimana kita memperlakukan pengetahuan yang sudah diterima agar sesuai dengan kebutuhan. Informasi yang diterima dianalisis, diproses atau diubah menjadi konsep yang lebih abstrak agar suatu saat dapat dimanfaatkan. Agar pembelajaran dapat mengembangkan keterampilan intelektual anak dalam mempelajari sesuatu pengetahuan (misalnya suatu konsep matematika), maka materi pelajaran perlu disajikan dengan memperhatikan tahap perkembangan kognitif/ pengetahuan anak agar pengetahuan itu dapat diinternalisasi dalam pikiran (struktur kognitif) orang tersebut. Proses internalisasi akan terjadi secara sungguh-sungguh (yang berarti proses belajar terjadi secara optimal) jika pengetahuan yang dipelajari itu dipelajari dalam tiga model tahapan yaitu model tahap enaktif, model ikonik dan model tahap simbolik. Bila dikaji, ketiga model penyajian yang dikenal dengan teori Belajar Bruner, dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Model Tahap Enaktif Dalam tahap ini penyajian yang dilakukan melalui tindakan anak secara langsung terlibat dalam memanipulasi (mengotak-atik) objek. Pada tahap ini anak belajar sesuatu pengetahuan di mana pengetahuan itu dipelajari secara aktif, dengan menggunakan benda-benda konkret atau menggunakan situasi yang nyata, pada penyajian ini anak tanpa menggunakan imajinasinya atau kata-kata. Ia akan memahami sesuatu dari berbuat atau melakukan sesuatu. 2. Model Tahap Ikonik Dalam tahap ini kegiatan penyajian dilakukan berdasarkan pada pikiran internal dimana pengetahuan disajikan melalui serangkaian gambar-gambar atau grafik yang dilakukan anak, berhubungan dengan mental yang merupakan gambaran dari objek-objek yang dimanipulasinya. Anak tidak langsung mema nipulasi objek seperti yang dilakukan siswa dalam tahap enaktif. Tahap ikonik, yaitu suatu tahap pembelajaran sesuatu pengetahuan di mana pengetahuan itu direpresentasikan (diwujudkan) dalam bentuk bayangan visual (visual imaginery), gambar, atau diagram, yang menggambarkan kegiatan kongkret atau situasi kongkret yang terdapat pada tahap enaktif tersebut di atas (butir a). Bahasa menjadi lebih penting sebagai suatu media berpikir. Kemudian seseorang mencapai masa transisi dan menggunakan penyajian ikonik yang didasarkan pada pengindraan kepenyajian simbolik yang didasarkan pada berpikir abstrak. 3. Model Tahap Simbolis Dalam tahap ini bahasa adalah pola dasar simbolik, anak memanipulasi simbulsimbul atau lambang-lambang objek tertentu. Anak tidak lagi terikat dengan objekobjek seperti pada tahap sebelumnya. Anak pada tahap ini sudah mampu menggunakan notasi tanpa ketergantungan terhadap objek riil. Pada tahap simbolik ini, pembelajaran direpresentasikan dalam bentuk simbol-simbol abstrak (abstract symbols), yaitu simbol-simbol arbiter yang dipakai berdasarkan kesepakatan orangorang dalam bidang yang bersangkutan, baik simbol-simbol verbal (misalnya hurufhuruf, kata-kata, kalimat-kalimat), lambang-lambang matematika, maupun lambanglambang abstrak yang lain. Sebagai contoh, guru akan mengajarkan konsep perkalian, objek yang digunakan misalnya sapi. Tahap enaktif, anak kita bawa ke kandang sapi, dengan mengamati dan mengotakatik dari 3 ekor sapi, jika kita perhatikan adalah: • banyaknya kepala .................... ada 3 • banyaknya ekor ........................ ada 3 • banyaknya telinga ..................... ada 6 • banyaknya kaki ......................... ada 12 Tahap Ikonik, anak dapat diberikan 3 ekor gambar sapi sebagai berikut: • banyaknya kepala .................... ada 3 • banyaknya ekor ........................ ada 3 • banyaknya telinga ..................... ada 6 • banyaknya kaki ......................... ada 12 Tahap simbolis dapat ditulis kalimat perkalian yang sesuai untuk ketiga sapi tersebut bila tinjauannya berdasarkan pada: • kepalanya, maka banyak kepala = 3 x 1 • ekornya, maka banyaknya ekor = 3 x 1 • telinganya, maka banyak telinga = 3 x 2 • kakinya, maka banyaknya kaki = 3 x 4 Dari fakta dan kalimat perkalian yang bersesuaian tersebut disimpulkan bahwa: 3 x 1 = 3, 3 x 2 = 6 dan 3 x 4 = 12. Untuk lebih jelas simbolis dipandang adalah kakinya, maka untuk: • banyaknya kaki pada 1 sapi = 4 • banyaknya kaki 2 sapi = 8 ( karena kaki sapi 1 + kaki sapi 2 ) = 4 + 4 • banyaknya kaki 3 sapi = 12 ( kaki sapi 1 + kaki sapi 2 + kaki sapi 3) = 4 + 4 + 4 Dengan konstruksi berpikir semacam ini maka banyaknya kaki untuk 1 sapi = 1 x 4 = 4 2 sapi = 2 x 4 = 4 + 4 = 8 3 sapi = 3 x 4 = 4 + 4 + 4 = 12 Contoh : Melanjutkan perkalian tersebut, tanpa menunjukkan gambar sapi, anak dapat menyelesaikan, 4 x 4 = 4 + 4 + 4 + 4 = 16 5 x 4 = 4 + 4 + 4 + 4 + 4 = 20 6 x 4 = 4 + 4 + 4 + 4 + 4 + 4 = 24 dan seterusnya. Dengan cara yang sama dapat dilanjutkan dengan perkalian fakta dasar lainnya. 2.5 Teorema-teorema dalam pembelajran matematika menurut Brunner Menurut Brunner ada empat teorema dalam pembelajaran matematika, yaitu teorema penyusunan (Construction Theorem), teorema notasi (Notation Theorem), teorema kekontrasan dan keanekaragaman (Contras and Variation Theorem), teorema pengaitan (Connectivity Theorem) 1. Teorema Penyusunan (Construction Theorem) Teorema ini menyatakan bahwa bagi siswa cara yang paling baik untuk belajar konsep dan prinsip dalam matematika adalah dengan melakukan penyusuna representasinya. Pada permulaan belajar konsep pengertian akan menjadi lebih melekat apabila kegiatan yang menunjukkan representasi konsep itu dilakukan oleh siswa sendiri. Dalam proses perumusan dan penyusunan ide-ide, apabila anak disertai dengan bantuan benda-benda konkrit mereka lebih mudah mengingat ide-ide tersebut. Dengan demikian, siswa lebih mudah menerapkan ide dalam situasi nyata secara tepat. Dalam proses pelaksanaan pembelajaran, pada umumnya guru masih memberikan atau menyampaikan materi secara langsung dan dalam pengerjaan suatu masalah pun siswa diberi tahu secara langsung penyelesaiannya oleh guru. Maka hal ini menyebabkan kemampuan representasi siswa kurang berkembang. Hal ini sejalan dengan Ruseffendi (2006) yang menyatakan bahwa proses pembelajaran matematika selama ini, pada umumnya siswa mempelajari matematika hanya diberi tahu oleh gurunya bukan melalui kegiatan eksplorasi. Representasi matematis diperlukan dalam proses pengajaran di sekolah, karena di dalam representasi ini mengungkapkan gagasan atau ide. Hal ini sejalan dengan (Mustangin, 2015) bahwa “Representasi merupakan suatu pengungkapan dari ide-ide matematika yang ditampilkan sebagai model dari suatu masalah yang dapat dipresentasikan dalam bentuk tabel, gambar, verbal, atau simbol matematika”. Dengan demikian proses representasi matematis dapat dikatakan sebagai pengubah atau penerjemah dari suatu model masalah ke bentuk baru Proses pembelajaran yang menggunakan representasi matematis memberikan maanfaat bagi guru maupun siswa. Pemberian pembelajaran dengan melibatkan representasi matematis mampu memacu peningkatan kemampuan mengajar guru, dan guru dapat melihat sekaligus menelaah bagaimana cara siswa berpikir tentang matematika sehingga dapat diketahui apakah kemampuan representasi matematis siswa tersebut tinggi atau rendah. Bagi siswa kemampuan representasi matematis dapat meningkatkan wawasan dan kreatifitas siswa, karena dengan diterapkannya representasi matematis siswa dilatih untuk dapat membuat, membangun, menerjemahkan suatu model dari suatu konsep matematika kedalam bentuk matematis baru. Hal tersebut sejalan dengan pendapat (Nurdin, 2013), yang mengungkapkan bahwa Kemampuan representasi matematis dapat membantu siswa dalam membangun konsep dan menyatakan ide-ide matematis, serta memudahkan siswa dalam mengembangkan kemampuan yang dimilikinya. contohnya ketika diberi pertanyaan “apa yang akan terjadi terhadap luas daerah sebuah persegi panjang jika panjang sisinya menjadi dua kali panjang semula ? “maka salah satu kemungkinan siswa akan menyelesaikan masalah diatas adalah dengan menggunakan representasi simbolik : “misalkan persegi panjang semula panjangnya a dan lebarnya b, sehingga diperoleh luasny adalah 𝐿 = 𝑎 × 𝑏 = 𝑎𝑏 Jika panjang sisinya menjadi dua kali panjang semula, maka panjangnya 2𝑎 dan lebarnya 2𝑏, sehingga luasnya menjadi 𝐿 = 2𝑎 × 2𝑏 = 4𝑎𝑏 Jadi dapat disimpulkan bahwa luas persegi panjang yang baru menjadi 4 kali luas persegi panjang semula. 2. Teorema Notasi (Notation Theorem) Teorema notasi mengungkapkan bahwa dalam penyajian konsep, notasi memegang peranan penting. Notasi yang digunakan dalam menyatakan sebuah konsep tertentu harus disesuaikan dengan tahap perkembangan kognitif siswa. Ini berarti untuk menyatakan sebuah rumus misalnya, maka notasinya harus dapat dipahami oleh anak tidak rumit dan mudah dimengerti. Notasi yang diberikan tahap demi tahap ini sifatnya berurutan dari yang paling sederhana sampai yang paling sulit. Urutan penggunaan notasi disesuaikan dengan tingkat perkembangan kognitif anak. Menurut apa yang dikatakan dalam terorema notasi, representasi dari sesuatu materi matematika akan lebih mudah dipahami oleh siswa apabila di dalam representasi itu digunakan notasi yang sesuai dengan tingkat perkembangan kognitif siswa. Sebagai contoh, untuk siswa sekolah dasar, yang pada umumnya masih berada pada tahap operasi kongkret, soal berbunyi; ”Tentukanlah sebuah bilangan yang jika ditambah 3 akan menjadi 8”, akan lebih sesuai jika direpresentasikan dalam diberikan bentuk ... + 3 = 8 atau a + 3 = 8 Sebagai contoh pada permulaan konsep fungsi diperkenalkan pada anak SD kelaskelas akhir, notasi yang sesuai menyatakan fungsi □ = 2∆ + 3, untuk tingkat yang lebih tinggi misalnya siswa SMP notasi fungsi dituliskan 𝑦 = 2𝑥 + 3, setelah anak memasuki SMA atau perguruan tinggi Notasi fungsi dituliskan dengan 𝑓(𝑥) = 2𝑥 + 3. Notasi yang dibeikan tahap demi tahap ini sifatnya berurutan dari yang paling sederhana sampai yang paling sulit. Penyajian seperti dalam matematika merupakan pendekatan spiral. Dalam pendekatan spiral setiap ide-ide matematika disajikan secara sistimatis dengan menggunakan notasi-notasi yang bertingkat. Pada tahap awal notasi ini sederhana, diikuti dengan notasi berikutnya yang lebih kompleks. 3. Teorema Kekontrasan dan Keanekaragaman (Contras and Variation Theorem) Dalam teorema ini dinyatakan bahwa dalam mengubah dari representasi konkrit menuju representasi yang lebih abstrak suatu konsep dalam matematika, dilakukan dengan kegiatan pengontrasan dan keanekaragaman/variasi. Artinya agar suatu konsep matematika yang akan dikenalkan pada anak mudah dimengerti, konsep tersebut disajikan dengan mengontraskan dengan konsep-konsep lainnya dan konsep tersebut disajikan dengan beranekaragam contoh. Sehingga perbedaan antara konsep itu dengan konsep-konsep yang lain menjadi jelas. Dengan demikian anak dapat memahami dengan mudah karakteristik konsep yang diberikan tersebut. Untuk menyampaikan suatu konsep dengan cara mengontraskan dapat dilakukan dengan menerangkan contoh dan bukan contoh. Sebagai contoh untuk menyampaikan konsep bilangan ganjil pada anak diberikan padanya bermacam-macam bilangan, seperti bilangan ganjil, bilangan genap, bilangan prima, dan bilangan lainnya selain bilangan ganjil. Kemudian siswa diminta untuk menunjukkan bilangan-bilangan yang termasuk contoh bilangan ganjil dan contoh bukan bilangan ganjil. Contoh penerapan teorema ini seperti, untuk menjelaskan definisi persegi panjang dalam konsep geometri, anak harus diberi contoh konsep-konsep geometri yang lain, misalnya bujur sangkar, belah ketupat, jajar genjang dan segiempat lainnya selain persegi panjang. Dengan demikian anak dapat membedakan apakah segiempat yang diberikan padanya termasuk persegi panjang atau tidak. Dengan membandingkan konsep yang satu dengan konsep yang lain, perbedaan dan hubungan (jika ada) antara konsep yang satu dengan konsep yang lain menjadi jelas. Sebagai contoh, dengan membandingkan konsep persegi dengan konsep persegi panjang akan menjadi jelas bahwa persegi merupakan kejadian khusus (a special case) dari persegi panjang, artinya: setiap persegi tentu, merupakan persegi panjang, sedangkan suatu persegi panjang belum tentu merupakan persegi. Selain itu di dalam teorema ini juga disebutkan bahwa pemahaman siswa tentang sesuatu konsep matematika juga akan menjadi lebih baik apabila konsep itu dijelaskan dengan menggunakan berbagai contoh yang bervariasi. Misalnya, dalam pembelajaran konsep persegi panjang, persegi panjang sebaiknya ditampilkan dengan berbagai contoh yang bervariasi. Misalnya ada persegi panjang yang posisinya bervariasi (ada yang dua sisinya behadapan terletak horizontal dan dua sisi yang lain vertikal, ada yang posisinya miring, dan sebagainya), ada persegi panjang yang perbedaan panjang dan lebarnya begitu mencolok, dan ada persegi panjang yang panjang dan lebarnya hampir sama, bahkan ada persegi panjang yang panjang dan lebarnya sama. Dengan digunakannya contoh-contoh yang bervariasi tersebut, sifat-sifat atau ciriciri dari persegi panjang akan dapat dipahami dengan baik dibandingkan menggunakan contoh-contoh soal yang sejenis saja. Dengan keanekaragaman contoh yang diberikan siswa dapat mengenal dengan jelas karakteristik konsep yang diberikan kepadanya. Dari berbagai contoh tersebut siswa juga bisa memahami bahwa sesuatu konsep bisa direpresentasikan dengan bebagai contoh yang spesifik. Sekalipun contoh-contoh yang spesifik tersebut mengandung perbedaan yang satu dengan yang lain, semua contoh (semua kasus) tersebut memiliki ciri-ciri umum yang sama. 4. Teorema Pengaitan (Connectivity Theorem) Di dalam teorema konektivitas disebutkan bahwa setiap konsep, setiap prinsip, dan setiap ketrampilan dalam matematika berhubungan dengan konsep-konsep, prinsipprinsip, dan ketrampilan-ketrampilan yang lain. Adanya hubungan antara konsep-konsep, prinsip-prinsip, dan ketrampilan-ketrampilan itu menyebabkan struktur dari setiap cabang matematika menjadi jelas. Adanya hubungan-hubungan itu juga membantu guru dan pihak-pihak lain (misalnya penyusun kurikulum, penulis buku, dan lain-lain) dalam upaya untuk menyusun program pembelajaran bagi siswa. Dalam pembelajaran matematika, tugas guru bukan hanya membantu siswa dalam memahami konsep-konsep dan prinsip-prinsip serta memiliki ketrampilan- ketrampilan tertentu, tetapi juga membantu siswa dalam memahami hubungan antara konsep-konsep, prinsip-prinsip, dan ketrampilan-ketrampilan tersebut. Dengan memahami hubungan antara bagian yang satu dengan bagian yang lain dari matematika, pemahaman siswa terhadap struktur dan isi matematika menjadi lebih utuh. Perlu dijelaskan bahwa keempat dalil tersebut di atas tidak dimaksudkan untuk diterapkan satu per satu seperti di atas. Dalam penerapan (implementasi), dua dalil atau lebih dapat diterapkan secara bersama dalam proses pembelajaran sesuatu materi matematika tertentu. Hal tersebut bergantung pada karakteristik dari materi atau topik matematika yang dipelajari dan karakteristik dari siswa yang belajar. Guru perlu menjelaskan bagaimana hubungan antara sesuatu yang sedang dijelaskan dengan objek atau rumus lain. Apakah hubungan itu dalam kesamaan rumus yang digunakan, samasama dapat digunakan dalam bidang aplikasi atau dalam hal-hal lainnya. Contoh, konsep Dalil Pythagoras diperlukan untuk menentukan Tripel Pythagoras,Pada penentuan luas sisi bangun ruang balok maka dibutuhkan pengetahuan prasyarat siswa tentang luas persegi panjang. 2.6 Aplikasi Teori Belajar Bruner dalam Pembelajaran Matematika Dalam bagian ini akan dibahas bagaimana menerapkan belajar penemuan pada siswa, ditinjau dari segi pendekatan, metoda, tujuan, serta peranan guru (dalam Wilis R.: 1988: 129132). 1. Pendekatan Spiral dalam Pembelajaran Matematika Disebabkan oleh adanya peningkatan taraf kemampuan berfikir para siswa sesuai dengan perkembangan kedewasaan atau kematangan mereka, Bruner (dalam Suwarsono: 2002: 31) menganjurkan digunakannya pendekatan spiral (Spiralapproach) dalam pembelajaran matematika. Maksudnya, sesuatu materi matematika tertentu seringkali perlu diajarkan beberapa kali pada siswa yang sama selama kurun waktu siswa tersebut berada di sekolah, tetapi dari saat pembelajaran yang satu kesaat pembelajaran berikutnya terjadi peningkatan dalam tingkat keabstrakan dan kompleksitas dari materi yang dipelajari, termasuk peningkatan dalam keformalan sistem notasi yang digunakan. Sebagai contoh, pada suatu saat siswa SLTP mempelajari fungsi yang daerah asal dan daerah kawannya berupa himpunan yang berasal dari kehidupan sehari-hari, dan dengan sistem notasi yang masih sederhana. Pada suatu saat di kemudian hari, siswa yang sama mempelajari fungsi untuk kedua kalinya, tetapi dengan melibatkan daerah asal dan daerah kawan yang berupa himpunan bilangan, dengan sistem notasi yang lebih formal. Pada saat berikutnya, pembahasan tentang fungsi bisa ditingkatkan lagi baik dalam hal kerumitan materi, variasi (kelengkapan) materi, maupun dalam sistem notasi yang digunakan. Peningkatan dalam hal materi pembelajaran dan sistem notasi tersebut diupayakan seiring dengan peningkatan kemampuan dan kematangan siswa dalam berpikir, sesuai dengan perkembangan kedewasaan atau kematangan siswa. 2. Metode dan Tujuan Dalam belajar penemuan, metode dan tujuan tidak sepenuhnya seiring. Tujuan belajar bukan hanya untuk memperoleh pengetahuan saja. Tujuan belajar sebenarnya ialah untuk memperoleh pengetahuan dengan suatu cara yang dapat melatih kemampuankemampuan intelektual para siswa, dan merangsang keingintahuan mereka dan memotivasi kemampuan mereka. Inilah yang dimaksud dengan memperoleh pengetahuan melalui belajar penemuan. Jadi, kalau kita mengajarkan sains misalnya, kita bukan akan menghasilkan perpustakaan-perpustakaan kecil tentang sains, melainkan kita ingin membuat anak-anak kita berpikir secara matematis bagi dirinya sendiri, berperan serta dalam proses perolehan pengetahuan. Mengetahui itu adalah suatu proses, bukan suatu produk. Apakah implikasi ungkapan Bruner itu? Tujuan-tujuan mengajar hanya dapat diuraikan secara garis besar, dan dapat dicapai dengan càra-cara yang tidak perlu sama oleh para siswa yang mengikuti pelajaran yang sama itu. Dengan mengajar seperti yang dimaksud oleh Bruner ini, bagaimana peranan guru dalam proses belajar mengajar? Dalam belajar penemuan siswa mendapat kebebasan sampai batas-batas tertentu untuk menyelidiki, secara perorangan atau dalam suatu tanya jawab dengan guru, atau oleh guru dan/atau siswa-siswa lain, untuk memecahkan masalah yang diberikan oleh guru, atau oleh guru dan siswa bersama-sama. Dengan demikian jelas, bahwa peranan guru lain sekali bila dibandingkan dengan peranan guru yang mengajar secara klasikal dengan metode ceramah. Dalam belajar penemuan ini, guru tidak begitu mengendalikan proses belajar mengajar. 3. Peranan Guru Dalam belajar penemuan, peran guru dapat dirangkum sebagai berikut : a) Merencanakan pelajaran demikian rupa sehingga pelajaran itu terpusat pada masalahmasalah yang tepat untuk diselidiki oleh para siswa. b) Menyajikan materi pelajaran yang diperlukan sebagai dasar bagi para siswa untuk memecahkan masalah. Sudah seharusnya materi pelajaran itu dapat mengarah pada pemecahan masalah yang aktif dan belajar penemuan, misalnya dengan penggunaan fakta-fakta yang berlawanan. Guru hendaknya mulai dengan sesuatu yang sudah dikenal oleh siswa-siswa. Kemudian guru mengemukakan sesuatu yang berlawanan. Dengan demikian terjadi konflik dengan pengalaman siswa. Akibatnya timbullah masalah. Dalam keadaan yang ideal, hal yang berlawanan itu menimbulkan suatu kesangsian yang merangsang para siswa untuk menyelidiki masalah itu, menyusun hipotesis-hipotesis, dan mencoba menemukan konsep-konsep atau prinsip-prinsip yang mendasari masalah itu. c) Selain hal-hal yang tersebut di atas, guru juga harus memperhatikan tiga cara/ tahap penyajian yang telah dibahas terdahulu. Cara cara penyajian itu ialah cara enaktif, cara ikonik, dan cara simbolik. Contoh cara-cara penyajian ini telah diberikan dalam uraian terdahulu. Untuk menjamin keberhasilan belajar, guru hendaknya jangan menggunakan cara penyajian yang tidak sesuai dengan tingkat kognitif siswa. Disarankan agar guru mengikuti aturan penyajian dari enaktif, ikonik, lalu simbolik. Perkembangan intelektual diasumsikan mengikuti urutan enaktif, ikonik, dan simbolik, jadi demikian pula harapan tentang urutan pengajaran. d) Bila siswa memecahkan masalah di laboratonium atau secara teoretis, guru hendaknya berperan sebagai seorang pembimbing atau tutor. Guru hendaknya jangan mengungkapkan terlebih dahulu prinsip atau aturan yang akan dipelajari, tetapi ia hendaknya rnemberikan saran-saran bilamana diperlukan. e) Sebagai seorang tutor, guru sebaiknya memberikan umpan balik pada waktu yang tepat. Umpan balik sebagai perbaikan hendaknya diberikan dengan cara demikian rupa, hingga siswa tidak tetap tergantung pada pertolongan guru. Akhirnya siswa harus melakukan sendiri fungsi tutor itu. f) Menilai hasil belajar merupakan suatu masalah dalam belajar penemuan. Seperti kita ketahui, tujuan-tujuan tidak dapat dirumuskan secara mendetail, dan tujuan-tujuan itu tidak diminta sama untuk berbagai siswa. Lagi pula tujuan dan proses tidak selalu seiring. Secara garis besar, tujuan belajar penemuan ialah mempelajari generalisasigeneralisasi dengan menemukan sendiri generalisasi-generalisasi itu. Di lapangan, pènilaian basil belajar penemuan meliputi pemahaman tentang prinsip-prinsip dasar mengenai suatu bidang studi, dan kemampuan siswa untuk menerapkan prinsip- prinsip itu pada situasi baru. Untuk maksud ini bentuk tes dapat berupa tes objektif atau tes essai. 2.7 Contoh Instruksional Belajar Dengan Metode Penemuan Berikut ini akan diberikan contoh instruksional belajar dengan metode penemuan yang dikemukakan oleh Bruner yang bekerja sama dengan Dienes (dalam MKPBMcrew: 2001:3.18). Suatu kelas yang terdiri dari siswa-siswa berusia 8 tahun diperkenalkan pada 3 jenis papan kedua atau plat. Papan pertama kita katakan persegi X, papan berbentuk persegi panjang dengan sisisisinya x dan 1 kita sebut“1x” atau “x” saja dan papan yang ketiga merupakan persegi kecil yang sisi-sisinya 1 dengan 1 disebut “l” Pertama siswa diminta bermain-main dengan benda tersebut. Papan pertama, papan kedua, dan papan ketiga masing-masing jumlahnya banyak. Setelah itu Bruner bertanya pada siswa “dapatkah kalian membuat persegi yang ukurannya lebih besar dari persegi x dengan merangkai papan-papan jenis pertama, kedua dan ketiga?” Sebagian besar siswa dapat menyusun persegi seperti digambarkan berikut ini. Kemudian Bruner meminta mereka menjelaskan apa yang baru saja diperolehnya. Mereka menjawab, “kami memiliki sebuah persegi x dengan dua buah x dan satu buah 1”. Setelah itu Bruner memperkenalkan simbol x untuk melambangkan persegi x dan simbol “+” untuk “dan”. Dengan memakai simbol-simbol tersebut, persegi tersebut dapat dinyatakan dengan 𝑥 2 + 2𝑥 + 1. Cara lain untuk menyatakan persegi di atas adalah sebagai berikut, dengan x dan 1 pada setiap sisinya, sisi tersebut dilambangkan sebagai 𝑥 + 1 dan persegi yang diperoleh àdalah (𝑥 + 1)(𝑥 + 1). Dari dua cara untuk menggambarkan persegi yang sama tersebut di atas diperoleh persamaan berikut: 𝑥 2 + 2𝑥 + 1 = (𝑥 + 1)(𝑥 + 1) Para siswa selanjutnya membuat persegi-persegi dengan menurunkan notasi-notasi yang baru ditulis di atas sebagai berikut. Bruner menduga bahwa mereka akan menemukan perbedaan dalam contoh-contoh persegi (1), persegi (2), persegi (3), dan persegi (4). Banyaknya x pada masing-masing persegi tersebut berturut-turut 2, 4, 6, dan 8. Sedangkan banyaknya persegi 1 pada masing-masing persegi (I), (2), (3), dan (4) berturut-turut 1, 4, 9, dan16. Bruner yakin setiap kali siswa mengalami kesulitan, mereka akan kembali pada contoh-contoh sebelumnya dan mencoba untuk rnenyelesaikannya. Dari contoh instruksional belajar dengan metode penemuan di atas ada beberapa hal yang perlu diperhatikan yaitu: 1. Menemukan sendiri beberapa persegi dengan ukuran yang berbeda-beda dan menamai persegi yang diperoleh berdasarkan ukuran yang diperoleh dari ukuran 3 jenis papan sebagai benda konkret yang dimanipulasi oleh siswa. 2. Konsep-konsep yang terkait dengan hal yang ditemukan siswa pada contoh di atas adalah penjumlahan, perkalian, bangun datar dan persegi panjang. 3. Melalui benda konkret yang diberikan ke siswa, konsep yang ditemukan siswa adalah berbagai macam persegi yang lain dari contoh diberikan oleh guru dan menamai persegi yang diberikan itu. 2.8 Ciri Khas Teori Pembelajaran Menurut Jerome S. Bruner 1. Empat Tema tentang Pendidikan Tema pertama mengemukakan pentingnya arti struktur pengetahuan. Hal ini perlu karena dengan struktur pengetahuan kita menolong siswa untuk untuk melihat, bagaimana fakta-fakta yang kelihatannya tidak ada hubungan, dapat dihubungkan satu dengan yang lain. Tema kedua adalah tentang kesiapan untuk belajar. Menurut Bruner kesiapan terdiri atas penguasaan keterampilan-keterampilan yang lebih sederhana yang dapat mengizinkan seseorang untuk mencapai keterampilan-keterampilan yang lebih tinggi. Tema ketiga adalah menekankan nilai intuisi dalam proses pendidikan. Dengan intuisi, teknik-teknik intelektual untuk sampai pada formulasi-formulasi tentatif tanpa melalui langkah-langkah analitis untuk mengetahui apakah formulasi-formulasi itu merupakan kesimpulan yang sahih atau tidak. Tema keempat adalah tentang motivasi atau keingianan untuk belajar dan cara-cara yang tersedia pada para guru untuk merangsang motivasi itu. 2. Model dan Kategori Pendekatan Bruner terhadap belajar didasarkan pada dua asumsi. Asumsi pertama adalah bahwa perolehan pengetahuan merupakan suatu proses interaktif. Berlawanan dengan penganut teori perilaku Bruner yakin bahwa orang yang belajar berinteraksi dengan lingkungannya secara aktif, perubahan tidak hanya terjadi di lingkungan tetapi juga dalam diri orang itu sendiri. Asumsi kedua adalah bahwa orang mengkontruksi pengetahuannya dengan menghubungkan informasi yang masuk dengan informasi yang disimpan yang diperoleh sebelumnya, suatu model alam (model of the world). Model Bruner ini mendekati sekali struktur kognitif Aussebel. Setiap model seseorang khas bagi dirinya. Dengan menghadapi berbagai aspek dari lingkungan kita, kita akan membentuk suatu struktur atau model yang mengizinkan kita untuk mengelompokkan hal-hal tertentu atau membangun suatu hubungan antara hal-hal yang diketahui. 3. Belajar sebagai Proses Kognitif Bruner mengemukakan bahwa belajar melibatkan tiga proses yang berlangsung hampir bersamaan. Ketiga proses itu adalah: a. memperoleh informasi baru b. transformasi informasi c. menguji relevansi dan ketepatan pengetahuan (Bruner, 1973). Informasi baru dapat merupakan penghalusan dari informasi sebelumnya yang dimiliki seseorang atau informasi itu dapat bersifat sedemikian rupa sehingga berlawanan dengan informasi sebelumnya yang dimiliki seseorang. Dalam transformasi pengetahuan seseorang mempelakukan pengetahuan agar cocok dengan tugas baru. Jadi, transformasi menyangkut cara kita memperlakukan pengetahuan, apakah dengan cara ekstrapolasi atau dengan mengubah bentuk lain. Hampir semua orang dewasa melalui penggunaan tiga sistem keterampilan untuk menyatakan kemampuannya secara sempurna. Ketiga sistem keterampilan itu adalah yang disebut tiga cara penyajian (modes of presentation) oleh Bruner (1966). Ketiga cara itu ialah: cara enaktif, cara ikonik dan cara simbolik. Cara penyajian enaktif ialah melalui tindakan, jadi bersifat manipulatif. Dengan cara ini seseorang mengetahui suatu aspek dari kenyataan tanpa menggunakan pikiran atau kata-kata. Jadi cara ini terdiri atas penyajian kejadian-kejadian yang lampau melalui respon-respon motorik. Misalnya seseorang anak yang enaktif mengetahui bagaimana mengendarai sepeda. Cara penyajian ikonik didasarkan atas pikiran internal. Pengetahuan disajikan oleh sekumpulan gambar-gambar yang mewakili suatu konsep, tetapi tidak mendefinisikan sepenuhnya konsep itu. Misalnya sebuah segitiga menyatakan konsep kesegitigaan. Penyajian simbolik menggunakan kata-kata atau bahasa. Penyajian simbolik dibuktikan oleh kemampuan seseorang lebih memperhatikan proposisi atau pernyataan daripada objekobjek, memberikan struktur hirarki pada konsep-konsep dan memperhatikan kemungkinankemungkinan alternatif dalam suatu cara kombinatorial. Sebagai contoh dari ketiga cara penyajian ini, tentang pelajaran penggunaan timbangan. Anak kecil hanya dapat bertindak berdasarkan ”prinsip-prinsip” timbangan dan menunjukkan hal itu dengan menaiki papan jungkat-jungkit. Ia tahu bahwa untuk dapat lebih jauh kebawah ia harus duduk lebih menjauhi pusat. Anak yang lebih tua dapat menyajikan timbangan pada dirinya sendiri dengan suatu model atau gambaran. ”Bayangan” timbangan itu dapat diperinci seperti yang terdapat dalam buku pelajaran. Akhirnya suatu timbangan dapat dijelaskan dengan menggunakan bahasa tanpa pertolongan gambar atau dapat juga dijelaskan secara matematika dengan menggunakan Hukum Newton tentang momen. 2.9 Kelebihan dan Kelemahan Belajar Penemuan Menurut Jerome S. Bruner Menurut Djamarah dan Zain dalam bukunya strategi belajar mengajar menjelaskan bahwa kelebihan dan kelemahan dalam konsep ini diantaranya, kelebihan konsep ini membantu peserta didik mengembangkan bakatnya, membentuk sifat kesiapan serta kemampuan keterampilan dalam proses kognitif peserta didik. Peserta didik mendapatkan pengetahuan yang bersifat pribadi sehingga pengetahuan tersebut dapat bertahan lama dalam diri peserta didik. Konsep ini memberikan semangat belajar peserta didik, dimana dengan konsep belajar mencari dan menemukan pengetahuan sendiri tentu rasa ingin tahu itu timbul sehingga akan membentuk belajar yang menarik dan aktif. Konsep ini memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan kemampuannya dan keterampilannya sendiri sesuai dengan bakat dan hobi yang dimilikinya. Konsep ini mampu membantu cara belajar peserta didik yang baik, sehingga peserta memiliki motivasi yang kuat untuk tetap semangat dalam belajar. Memberikan kepercayaan tersendiri bagi peserta didik karena mampu menemukan, mengolah, memilah dan mengembangkan pengetahuan sendiri, Konsep ini berpusat pada peserta didik, dan guru hanya sebagai fasilitator dan pengarah saja. Adapun kelemahan konsep belajar penemuan menurut Bruner, yaitu: memakan waktu yang cukup banyak, dan kalau kurang terpimpin atau kurang terarah dapat menjerumus kepada kekacauan dan kekaburan atas materi yang dipelajari. Konsep belajar ini menuntut peserta didik untuk memiliki kesiapan dan kematangan mental. Peserta didik harus berani dan berkeinginan mengetahui keadaan disekitarnya. Jika tidak memiliki keberanian dan keinginan tentu proses belajar akan gagal. Konsep ini kurang berhasil apabila di laksanakan di dalam kelas yang besar. Konsep ini terlalu mementingkan proses pengertian saja, kurang perkembangan/pembentukan sikap dan keterampilan bagi peserta didik. memperhatikan Konsep ini mungkin tidak memberikan kesempatan untuk bepikir secara kreatif. Dari beberapa penjelasan tentang kelebihan dan kelemahan konsep penemuan menurut Bruner, tentu kita harus mampu mempergunakan konsep belajar ini sesuai dengan keadaan dan tempatnya, sehingga nantinya dapat memaksimalkan penggunaaan konsep ini dan tidak terjadinya kegagalan pembelajaran karena salah dalam penggunaannya. BAB III KESIMPULAN Menurut Brunner untuk membentuk konsep-konsep yang sifatnya abstrak, dibutuhkan wakil (representasi) yang dapat ditangkap oleh indera manusia. Brunner juga mengungkapkan bahwa dalam proses belajar anak sebaiknya diberi kesempatan untuk memanipulasi benda-benda (alat peraga). Melalui alat peraga yang ditelitinya itu, anak akan melihat langsung bagaimana keteraturan dan pola struktur yang terdapat dalam benda yang sedang diperhatikannya itu. Brunner membagi tahap-tahap perkembangan kognitif anak dalam tiga tahap yaitu tahap enaktif, tahap ikonik, dan tahap simbolik. Beeberapa konsep dalam pembelajaran matematika dapat diuraikan langkah-langkah pembelajaran menurut brunner, mulai modus representasi enaktif, ikonik, dan simbolik. Seperti pada materi bangun ruang siss datar contohnya pemahaman konsep volum balok atau membuat jaring-jaring kubus. Selain teori perkembangan kognitif, brunner mengemukakan teorema-teorema tentang cara belajar dan mengajar matematika, yaitu : a. Teorema konstruksi b. Teorema notasi c. Teorema kekontrakan dan keanekaragaman d. Teorema pengaitan DAFTAR PUSTAKA Erman Suherman. dkk. 2003. Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia. Indaryati, Hafizah. 2017. Belajar dan Pembelajaran MATEMATIKA. Palembang: NoerFikri. https://www.researchgate.net/publication/326691668_Kemampuan_Representasi_Matem atis_Siswa_SMP_pada_Materi_Kekongruenan_dan_Kesebangunan Masroni, Ahmad. Bunner, (https://www.academia.edu/9445587/bunner diakses tanggal 28 Februari 2020) Nyimas Aisyah, Siti Hawa, Somakim, Purwoko, Yusuf Hartono, dan Masrinawatie. (2007). Pengembangan Pembelajaran Matematika SD. Jakarta: Depdiknas. Suwarsono, 2002. Teori-teori Perkembangan Kognitif dan Proses Pembelajaran yang Relevan Untuk Pembelajaran Matematika. Jakarta:Departemen Pendidikan Nasional (DEPDIKNAS). Wardati, Anis Ridha. teori kognitif Jerome S. Bruner, (https://www.academia.edu/25373241/teori_kognitif_Jerome_S._Bruner diakses tanggal 28 Februari 2020) Wira, Gusti Ngurah. 2012. Teori Kognitif dari Bruner dan Teori Belajar Bermakna dari Ausubel, (http://sainsmatika.blogspot.com/2012/04/teori-kognitif-dari-bruner-dan-teori.html?m=1, diakses tanggal 28 Februari 2020)