Uploaded by User61613

Karakteristik Benteng Fort Rotterdam sebagai Urban (1)

advertisement
See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.net/publication/328258388
Karakteristik Benteng Fort Rotterdam sebagai Urban Artefact Kota Makassar
Conference Paper · May 2017
DOI: 10.32315/sem.1.a019
CITATIONS
READS
0
1,417
1 author:
Andi Hildayanti
Universitas Islam Negeri Alauddin
9 PUBLICATIONS 5 CITATIONS
SEE PROFILE
All content following this page was uploaded by Andi Hildayanti on 08 January 2019.
The user has requested enhancement of the downloaded file.
Seminar Ikatan Peneliti Lingkungan Binaan Indonesia (IPLBI) 1, A 019-026
https://doi.org/10.32315/sem.1.a019
Karakteristik Benteng Fort Rotterdam sebagai Urban Artefact
Kota Makassar
Andi Hildayanti1, Wasilah2
1,2
Perancangan&Permukiman/Building Heritage/Teknik Arsitektur,FST/UIN Alauddin Makssar.
Korespondensi : [email protected], [email protected]
Abstrak
Benteng Fort Rotterdam merupakan salah satu artefak perkotaan yang menjadi bukti nyata kisah
panjang masa kolonialisme di Kota Makassar yang dicerminkan melalui cirikhas arsitektur Kolonial
Belanda pada bangunan bangunan utama benteng. Benteng Fort Rotterdam terletak di tepi pantai
barat Kota Makassar dan berada dekat dengan jantung Kota Makassar. Sebagai bagian dari artefak
Kota Makassar, Benteng Fort Rotterdam memiliki karakteristik yang merepresentasikan gaya dan
corak arsitektur kolonial. Tujuan penelitian ini yaitu menginventarisasi karakteristik Benteng Fort
Rotterdam agar dapat memperkuat posisinya sebagai artefak perkotaan di Kota Makassar. Melalui
metode analisis kualitatif yang bersifat deskriptif yaitu dengan menggunakan teknik purposive
sampling dari hasil pengamatan, baik pengamatan secara langsung di lapangan dan pengamatan
tidak langsung yaitu melalui literatur dan wawancara. Hasil penelitian yang diperoleh adalah Benteng
Fort Rotterdam memiliki bentuk site plan berbentuk dan menyerupai penyu, kekhasan gerbang
utama yang kokoh dan memberikan kesan kemegahan dengan keberadaan pintu bertekstur dan
ornamen lengkung yang dibentuk oleh susunan batu tak simetris, terdapat tulisan nama benteng
pada bagian atas gerbang, serta elemen arsitektur kolonial yang tampak pada bangunan bangunan
utama seperti gevel, dormer, model denah bangunan yang simetris, penggunaan skala bangunan
yang tinggi, serta model jendela yang lebar dan berbentuk kupu tarung.
Kata-kunci : arsitektur kolonial, Fort Rotterdam, karakteristik benteng, urban artifact
Pendahuluan
Kota Makassar menjadi salah satu kota yang menyimpan sejarah peradaban Kejayaan Kerajaan
Gowa pada abad ke 16 atau sekitar tahun 1500-an. Kerajaan Gowa memiliki 14 benteng pertahanan
kerajaan yang didirikan mengelilingi benteng utama yaitu Benteng Somba Opu yang menjadi
kompleks kediaman raja Gowa pada masa itu. Namun, saat ini tersisa satu benteng pertahanan yang
masih berdiri kokoh yaitu Benteng Ujung Pandang atau Benteng Fort Rotterdam yang terletak di tepi
pantai sebelah barat Kota Makassar. Keberadaan Benteng Fort Rotterdam menjadi satu satunya
benda peninggalan sejarah dan saksi bisu runtuhnya Kerajaan Gowa oleh Belanda. Sehingga
diperlukan perhatian dan upaya pelestarian agar benteng mampu bertahan hingga ratusan tahun
dan menjadi media pembelajaran sejarah secara nyata kepada generasi mendatang.
Benteng Fort Rotterdam memiliki kekayaan nilai sejarah yang terkandung didalamnya yang
menjadikan benteng ini sebagai artefak perkotaan di Kota Makassar. Artefak adalah benda
peninggalan sejarah yang menjadi saksi bisu peristiwa bersejarah yang harus dilestarikan agar
memberikan gambaran kondisi kota di masa lampau. Sehingga bangunan yang menjadi artefak kota
perlu dilestarikan dan dikonservasi sebagai warisan budaya dan bukti peradaban pada masanya.
Urban artefact atau artefak perkotaan merupakan representasi rancangan yang muncul dan
ditemukan dalam bentuk yang bervariasi dan memiliki peradaban sebagai respon terhadap
Sekolah Tinggi Teknologi Cirebon, Universitas Indraprasta, Universitas Trisakti
ISBN 978-602-17090-5-4 E-ISBN 978-602-17090-4-7
Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017 | A 019
Karakteristik Benteng Fort Rotterdam sebagai Urban Artefact Kota Makassar
kehidupan ekonomi, sosial, politik dan religius (Rossi, 1982). Menurut Rossi (1982), artefak
perkotaan merupakan sesuatu yang memiliki sejarah dan karakteristik. Sejarah memberikan nilai dan
ciri khas/ karakteristik pada artefak perkotaan, sedangkan karakteristik lebih ditekankan pada unsur
bentuk dibanding unsur materialnya. Sehingga dalam penelitian ini diperlukan kajian mengenai
sejarah dan karakteristik Benteng Fort Rotterdam. Adapun prinsip artefak perkotaan adalah selalu
berkaitan dengan tempat, peristiwa, dan wujud.
Benteng Fort Rotterdam saat ini berfungsi sebagai museum yang menyimpan semua rekam
kebudayaan masyarakat Sulawesi Selatan. Kondisi bangunan pada Benteng Fort Rotterdam sudah
banyak mengalami perbaikan akibat kerusakan yang dialaminya. Penggunaan material pada bagian
bangunan yang rusak digantikan dengan material bata dan semen. Hal ini merupakan upaya
pemerintah dalam menjaga bangunan peninggalan tersebut agar tetap berdiri kokoh dan terpelihara
sebagai bukti perjuangan bersejarah. Pada perkembangannya bangunan peninggalan tersebut
menjadi aset pariwisata yang potensial. Oleh karena itu, penelitian ini akan mengkaji dan
mengemukakan karakteristik Benteng Fort Rotterdam sebagai artefak perkotaan di Kota Makassar
dengan menggunakan pendekatan teori urban artefact yang dikemukakan oleh Rossi (1982) melalui
metode analisis kualitatif yang bersifat deskriptif, agar kekhasan dan keistimewaan Benteng Fort
Rotterdam dapat dikemukakan secara detail. Pada dasarnya penelitian ini lebih menitikberatkan pada
komponen tangible dari kawasan Benteng Fort Rotterdam.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yaitu membangun pernyataan pengetahuan
berdasarkan makna-makna yang bersumber dari pengamatan dan pengalaman, serta nilai-nilai sosial
dan sejarah, yang bertujuan untuk memahami obyek yang diteliti secara mendalam. Metode
penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat postpositivisme yang
digunakan untuk meneliti kondisi obyek yang alamiah, dimana peneliti berperan sebagai instrument
kunci, pengambilan sampel sumber data yang dilakukan secara purposive, teknik pengumpulan
dilakukan dengan observasi, wawancara, dan dokumentasi. Sedangkan analisis data bersifat
induktif/kualitatif, sehingga hasil penelitian kualitatif ini lebih menekankan makna dari pada
generalisasi. Penelitian ini bersifat deskriptif karena menceritakan sejarah dan asal usul Benteng Fort
Rotterdam serta mengemukakan karakteristik benteng kolonial tersebut, sebagaimana tujuan
penelitian ini adalah mengkaji dan mengemukakan karakteristik Benteng Fort Rotterdam sebagai
artefak perkotaan di Kota Makassar.
Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dilakukan dengan cara observasi langsung, dokumentasi dan wawancara.
Metode observasi langsung dilakukan guna mendapatkan data secara langsung bagaimana kondisi
fisik yang ada tanpa adanya suatu rekayasa tertentu. Dokumentasi dilakukan secara langsung dari
objek yang diobservasi dalam bentuk foto. Selain itu, dokumentasi juga diperoleh melalui media
internet untuk melengkapi dokumentasi data yang kurang seperti peta lokasi dan site plan Benteng
Fort Rotterdam di masa lampau. Wawancara dilakukan kepada narasumber yang mengetahui dan
menguasai sejarah dan asal usul Benteng Fort Rotterdam agar data yang belum terungkap
dilapangan dapat terpenuhi. Metode wawancara ini dilakukan dengan teknik purposive sampling
untuk melengkapi hasil observasi objek penelitian dan bukti dokumentasi berupa foto dan beberapa
data lainnya yang dibutuhkan dalam melakukan analisis data.
Metode Analisis Data
Metode analisis yang digunakan adalah metode kualitatif yang bersifat deskriptif dan digunakan
untuk menggambarkan dan menjelaskan sejarah dan elemen-elemen karakteristik Benteng Kolonial
A 020 | Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017
Andi Hildayanti/Wasilah
Belanda. Metode analisis dilakukan setelah pengumpulan data telah dinyatakan lengkap. Data yang
telah diperoleh kemudian diolah melalui pendekatan teori urban artefact yang dikemukakan Rossi
(1982) dan dielaborasikan dengan variabel penelitian yang telah ditentukan. Adapun variabel
penelitian merupakan elemen karakteristik Benteng Kolonial Belanda yang terdiri dari :
1. Bentuk site plan benteng
2. Bentuk gerbang utama
3. Bangunan utama benteng
4. Bastion pertahanan benteng
5. Tembok selubung pertahanan benteng
6. Parit pertahanan benteng
Sehingga diperoleh tabel elaborasi antar kedua aspek tersebut, yang akan menjadi kerangka sub
bahasan pada kajian analisis dan hasil interpretasi selanjutnya. Komponen teori urban artefact
menjadi acuan pembahasan untuk uraian karakteristik Benteng Fort Rotterdam.
Tabel 1. Keterkaitan teori urban artefact dan karakteristik benteng kolonial yang menjadi komponen
pembahasan pada tahapan analisis data.
Teori
urban artefact
Peristiwa / Sejarah
Tempat
Wujud
Sifat
Karakteristik Benteng Kolonial
Intangible
Tangible
Bentuk site plan benteng
Bentuk site plan benteng
Bentuk gerbang utama
Bangunan utama benteng
Bastion pertahanan benteng
Tembok selubung pertahanan benteng
Parit pertahanan benteng
Tangible
Aspek
terkait
Fungsi
Filosofi
Ornamen
Fungsi
Tata letak
Fungsi
Fungsi
Hasil dan Pembahasan
A. Sejarah Benteng Fort Rotterdam
Benteng Ujung Pandang atau yang saat ini dikenal sebagai Benteng Fort Rotterdam dibangun oleh
Raja Gowa IX yang kemudian diselesaikan oleh Raja Gowa X pada tahun 1545. Benteng ini berada di
pinggir pantai sebelah barat Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Benteng Fort Rotterdam merupakan
lambang kemegahan dan kejayaan Raja Gowa pada abad ke 16 dan 17. Benteng ini telah mengalami
beberapa pergantian nama diantaranya Benteng Panyyua yang diberikan oleh rakyat Gowa karena
bentuk benteng menyerupai penyu yang sedang merayap turun ke laut. Bentuk penyu memiliki
filosofi sebagai makhluk yang mampu hidup di darat dan di laut. Filosofi penyu dianggap
mencerminkan kondisi Kerajaan Gowa pada masa itu yang berjaya di daratan maupun di lautan
karena mampu menguasai hampir seluruh daratan Pulau Sulawesi.
Gambar 1. Bentuk site plan Benteng Fort tampak atas yang menyerupai
penyu yang sedang Rotterdam merayap turun ke laut
Sumber : hasil digitasi peta udara google earth, 2017
Pada awal pendirian Benteng Fort Rotterdam digunakan material dasar berupa tanah liat, batu
sendimen dan batu merah untuk memperkuat bangunan, serta penambahan corak arsitektur
Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017 | A 021
Karakteristik Benteng Fort Rotterdam sebagai Urban Artefact Kota Makassar
Makassar. Meskipun demikian, pada tahun 1677 pemerintahan Belanda mengambil alih kekuasaan
dan merubuhkan benteng peninggalan Kerajaan Gowa, kemudian dibangun kembali dan ditata
sesuai dengan gaya arsitektur Belanda. Pada tahun 1942, dilakukan penambahan gedung berlantai
satu di dalam benteng pada bagian selatan yaitu Bastion Mandarsyah dengan gaya arsitektur Eropa.
Memasuki tahun 1945, benteng ini dijadikan sebagai pusat komando yang kemudian beralih fungsi
menjadi pusat kebudayaan dan seni di Kota Makassar hingga saat ini. Hampir keseluruhan bangunan
pada kawasan Benteng Fort Rotterdam didominasi dengan gaya dan corak arsitektur kolonial yang
menjadi simbol kekuasaan Pemerintahan Kolonial Belanda. Dengan pendirian bangunan arsitektur
kolonial di tanah Kerajaan Gowa menjadi bukti besarnya pengaruh pemerintahan Belanda di Kota
Makassar. Sebagai bangunan sejarah, benteng ini merupakan bukti nyata kisah panjang masa
kolonialisme yang pernah ada di bumi nusantara. Selain itu, benteng ini juga menjadi saksi bisu
sejarah panjang Kota Makassar dengan keagungan dan kemegahan Benteng Fort Rotterdam sebagai
wujud fisik representasi kolonialisme.
B. Elemen Karakteristik Benteng Fort Rotterdam
1.
Bentuk site plan Benteng Fort Rotterdam
Bentuk benteng dibangun menyerupai penyu karena makna dari filosofi penyu yang mampu
mencerminkan karakter masyarakat Kerajaan Gowa pada masa itu. Bentuk penyu memiliki filosofi
sebagai makhluk yang mampu hidup di darat dan di laut. Filosofi penyu dianggap mencerminkan
kondisi Kerajaan Gowa yang berjaya di daratan maupun di lautan karena kemampuan Raja Gowa IX
dan Raja Gowa ke XI yang menguasai hampir seluruh daratan Pulau Sulawesi.
Gambar 2. Site plan Fort Rotterdam berbentuk penyu yang memiliki ekor.
Pada masa peperangan antara Jepang dan Belanda, bagian ekor penyu
hancur akibat perang sehingga hanya tersisa bagian badan, kepala dan kaki.
Sumber : Pattingalloang, 2012
Disamping itu, bentuk penyu tidak hanya menjadi representasi filosofi karakteristik pemimpin
Kerajaan Gowa. Tetapi juga menjadi ciri khas bentuk benteng kolonial belanda. Hal ini diperkuat
dengan bentuk site beberapa benteng kolonial di Indonesia seperti :
Tabel 2. Karakteristik bentuk site plan beberapa benteng kolonial yang terdapat di Indonesia.
Benteng Marlborough, Bengkulu
Benteng Vredeburg, Yogyakarta
A 022 | Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017
Benteng Nieuw Victoria, Ambon
Andi Hildayanti/Wasilah
Perbedaan bentuk site plan Benteng Fort Rotterdam dengan benteng kolonial lainnya adalah
terdapat pada bagian “kepala” dan “ekor” penyu yang tidak dimiliki oleh benteng kolonial lainnya.
Sehingga bentuk site Benteng Fort Rotterdam berbeda dengan bentuk site pada benteng kolonial
lainnya di Indonesia.
2.
Bentuk gerbang utama
Pada umumnya bentuk gerbang benteng kolonial berbentuk lengkung dengan ornamen berupa
susunan batu tak simetris yang mengikuti bentuk lengkung tersebut. Hal ini diperkuat dengan
contoh gerbang utama benteng-benteng kolonial yang terdapat di Indonesia. Sebagian besar
ornamen susunan batu atau bata pada gerbang utama yang dibuat simetris dan dinamis sehingga
terkesan rapi. Ornamen tersebut terletak menghiasi tampak depan gerbang utama benteng.
Sehingga memberi kesan kemegahan dan kekokohan benteng. Pada tabel 3 dijelaskan deskripsi
karakteristik gerbang utama beberapa benteng kolonial yang terdapat di Indonesia.
Tabel 3. Karakteristik gerbang utama beberapa benteng kolonial yang terdapat di Indonesia.
Nama benteng
Dokumentasi
Karakteristik gerbang utama
Benteng Van Der
Wijck Gombong
Bentuk gerbang yang melengkung memiliki
ornamen susunan bata yang disusun secara
simentris. Pada bagian atas gerbang
terdapat papan nama benteng.
Benteng Vredeburg
Yogyakarta
Bentuk gerbang yang melengkung memiliki
ornamen menyerupai susunan bata pada sisi
kanan dan kiri gerbang. Bentuk ornamen
dibuat simetris dan memberikan kesan
kokoh. Pada bagian atas gerbang terdapat
papan nama benteng.
Benteng Pendem
Cilacap
Bentuk gerbang yang melengkung diikuti
dengan susunan bata yang mengikuti bentuk
lengkungan tersebut. Pada bagian atas
gerbang terdapat papan nama benteng.
Berbeda dengan karakteristik gerbang utama benteng kolonial pada tabel 3 yang pada umumnya
memiliki ornamen susunan batu simetris pada tampak depan pintu masuk benteng. Pada gerbang
utama Benteng Fort Rotterdam, tidak terdapat ornamen tambahan pada lengkungan gerbang
sehingga tampilan gerbang depan terkesan lebih simpel. Sebaliknya, dari sudut pandang dalam
kawasan benteng terdapat ornamen susunan batu tak simetris yang terletak tepat mengikuti
lengkungan gerbang utama bagian dalam. Keberadaan pintu gerbang yang bertekstur mampu
menyempurnakan nilai estetika dan kekokohan benteng.
Tabel 4. Karakteristik gerbang utama Benteng Fort Rotterdam.
Posisi
Gerbang utama tampak dari
luar benteng
Dokumentasi
Karakteristik gerbang utama
Tampak depan gerbang utama
berbentuk lengkung dan tidak
memiliki ornamen sehingga berkesan
simple disertai papan nama benteng
pada bagian atas gerbang.
Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017 | A 023
Karakteristik Benteng Fort Rotterdam sebagai Urban Artefact Kota Makassar
Gerbang utama tampak dari
luar benteng
Gerbang utama, tampak dari dalam
benteng. Bentuk gerbang yang
melengkung diikuti dengan ornamen
susunan batu yang dibuat seirama
sehingga menambah nilai estetika
benteng.
Pintu gerbang utama
Pintu gerbang utama yang bertekstur
simple namum mampu memberikan
kesan kekokohan benteng.
Ornamen gerbang utama tampak tersusun rapi namun tak simetris disebabkan material batu yang
digunakan memiliki ukuran dan besaran yang berbeda. Material batu yang digunakan berupa batu
padas hitam dari pegunungan karst yang dipahat secara tradisional. Meskipun demikian, pola
susunan batu tetap terlihat rapi dan indah sehingga nilai estetika pada gerbang utama mampu
menambah kesan kemegahan benteng Fort Rotterdam.
3.
Bangunan utama benteng
Benteng Fort Rotterdam merupakan museum pusat kebudayaan dan seni Sulawesi Selatan.
Bangunan-bangunan di dalam kompleks Fort Rotterdam difungsikan sebagai Museum La Galigo dan
kantor Balai Pelestarian Cagar Budaya Kota Makassar. Pada kompleks benteng terdapat Museum La
Gilago yang menyimpan beragam koleksi prasejarah, numismatik, keramik asing, sejarah hingga
naskah serta etnografi. Bangunan-bangunan didalam kompleks Fort Rotterdam sepenuhnya bergaya
arsitektur kolonial ditandai dengan keberadaan gevel (gable) pada bangunan, dormer yaitu model
jendela atau bukaan lain yang letaknya di atap dan mempunyai atap tersendiri, model denah
bangunan yang simetris dengan satu lantai atas, penggunaan skala bangunan yang tinggi sehingga
berkesan megah, dan model jendela yang lebar dan berbentuk kupu tarung (dengan dua daun
jendela).
Gambar 3. Elemen bangunan yang mencirikan gaya arsitektur kolonial Belanda, meliputi gevel, dormer, model
denah bangunan yang simetris, skala bangunan yang tinggi, model jendela yang lebar dan berbentuk kupu
tarung.
4.
Bastion pertahanan benteng
Disetiap sudut benteng, terdapat bastion yang di bangun sebagai pertahanan artileri utama. Di
tempat ini pula terdapat beberapa lubang meriam untuk pertahanan benteng. Benteng ini memiliki
lima bastion, masing-masing adalah:
a. Bastion Bone terletak disebelah barat yang merupakan kepala penyu
b. Bastion Bacan terletak di sudut Barat-Daya yang merupakan kaki depan kiri penyu
c. Bastion Butung terletak di sudut barat-laut atau kaki depan kanan penyu
d. Bastion Mandarsyah terletak di sudut timur-laut atau kaki belakang kanan penyu
e. Bastion Amboina terletak di sudut tenggara atau kaki belakang kiri penyu
A 024 | Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017
Andi Hildayanti/Wasilah
Tiap bastion dihubungkan dengan dinding benteng yang tebalnya 2 meter. Bastion adalah bagian
sudut-sudut benteng yang letaknya lebih tinggi dari dinding lainnya. Untuk menuju atau naik ke
bastion dibuat terap dari susunan batu padas hitam dan batu bata. Sehingga kondisi ruang pada
bastion lebih berkontur. Bastion memiliki seka seka yang berada di tembok pertahanan yang
berfungsi sebagai tempat menembak musuh dari dalam ke luar bangunan.
Gambar 4. Tata letak kelima bastion yang terdapat pada Benteng Fort Rotterdam. Letak bastion berada pada
keempat kaki “penyu” dan satu pada kepala “penyu”. Setiap sudut benteng difungsikan sebagai bastion yang
memiliki seka sebagai tempat yang aman untuk menembak musuh.
5.
Tembok selubung pertahanan benteng
Benteng ini dikelilingi oleh tembok pertahanan yang cukup tinggi sebagai teritori benteng dan
elemen pertahanan yang kuat dan kokoh guna melindungi kompleks bangunan didalamnya. Tembok
pertahanan terbuat dari susunan batu padas dan bata yang disusun secara simetris. Tembok ini
disusun dengan teknik susun timbun, yaitu dibangun dengan cara menyusun sejumlah balok-balok
batu padas yang telah dipahat rapi. Keberadaan tembok ini memperkuat kesan kemegahan dan
kekokohan benteng kolonial Belanda pada masa lampau.
Gambar 5. Tembok pertahanan Fort Rotterdam yang disusun dengan
teknik susun timbun sehingga menghasilkan pola yang simetris dan
seragam.
6.
Parit pertahanan benteng
Pada Benteng Fort Rotterdam terdapat parit pertahanan yang terletak berdampingan dengan
tembok pertahanan. Parit ini berfungsi memperkokoh pertahanan dari musuh yang menyerang. Parit
berbentuk memanjang dan mengikuti bentuk site plan benteng yang menyerupai penyu. Sehingga
tembok dan parit pertahanan memiliki kesamaan bentuk dan fungsi.
Gambar 6. Parit pertahanan yang berbentuk memanjang dan mengikuti bentuk site plan Fort Rotterdam yang
menyerupai penyu, dan terletak berdampingan dengan tembok pertahanan.
Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017 | A 025
Karakteristik Benteng Fort Rotterdam sebagai Urban Artefact Kota Makassar
Namun, pola parit benteng sudah tidak mengikuti bentuk site Benteng Fort Rotterdam karena
sebagian besar telah ditimbun untuk pembangunan rumah dan gedung disekitarnya. Panjang
parit yang masih bertahan sebesar kurang lebih 300 m yang terletak di bagian selatan benteng.
Kesimpulan
Benteng Fort Rotterdam memiliki keutuhan bentuk menyerupai penyu jika dibandingkan dengan
benteng-benteng kolonial Belanda lain di Indonesia. Karakteristik yang menonjol terlihat pada
bentuk site Fort Rotterdam yang menyerupai penyu. Meskipun dibangun oleh pemerintah Kolonial
Belanda namum filosofi penyu juga mencerminkan karakteristik Kerajaan Gowa yaitu mampu berjaya
di daratan dan di lautan pada masanya. Kekhasan gerbang utama dengan kekokohan pintu utama
dan ornamen susunan batu tak simetris pada lengkungan gerbang, identitas benteng yang
ditunjukkan melalui penanda nama benteng tepat pada bagian atas gerbang, serta elemen arsitektur
kolonial pada bangunan-bangunan utama seperti gevel, dormer, model denah bangunan yang
simetris dengan satu lantai atas, penggunaan skala bangunan yang tinggi, dan model jendela yang
lebar dan berbentuk kupu tarung. Sebagai situs bangunan sejarah, benteng ini menjadi bukti nyata
kisah panjang masa kolonialisme yang pernah ada di bumi nusantara. Selain itu, benteng ini juga
menjadi saksi bisu sejarah panjang Kota Makassar dengan keagungan dan kemegahan Benteng Fort
Rotterdam sebagai wujud fisik representasi kolonialisme. Oleh karena itu, Benteng Fort Rotterdam
dengan sejarah dan karekteristik yang dimiliki menjadikannya sebagai Urban Artefact Kota Makassar
yang perlu dilestarikan sebagai media pembelajaran bagi generasi mendatang.
Daftar Pustaka
Anonim. (2010). Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor: PM.59/PW.007/MKP/2010. Pemerintah
Republik Indonesia
Anonim. (2011). Museum La Galigo. Makassar: Gramajapa Bersaudara Mandiri.
Broadbent. (1990). Emerging Concepts In Urban Space Design. London : Van Nostrad Reinhold Company Inc.
Creswell, J.W. (2008). Research Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods Approaches. California:
Sage Publications, Inc.
Creswell, J.W. (2012). Qualitative Inquiry & Research Design: Choosing Among Five Approches . California: Sage
Publications, Inc.
Groat, L. & Wang, D. (2002). Architectural Research Methods. New York: John Wiley & Sons. Inc.
Lynch, K. (1979). Image Of The City. Cambrigde : The Massachusetts Institut of Technology Press.
Masdoeki, Abdul Muttalib dan Bahru Kallupa. (1986). Benteng Ujung Pandang (Fort Rotterdam). Makassar: Suaka
Peninggalan Sejarah dan Purbakala Sulawesi Selatan.
Muhajir, N. (1990). Metodelogi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Rake Sarakin.
Natsir, M. dkk. (2010). Bangunan Bersejarah di Kota Makassar. Makassar: Balai Pelestarian Cagar Budaya.
Nuraeda. Siti. Muhammad, M. & Agung, M. (2008). Album Sejarah dan Kepurbakalaan Sulawesi Selatan (Wisata
Kultural Historis). Makassar: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Sulawesi Selatan.
Pattingalloang. (2012). Makassar dari Masa ke Masa. (Serial online), [Diunduh 04 Maret 2017]. Sumber: URL:
https://daenggassing.wordpress.com/2012/06/11/makassar-dari-masa-ke-masa
Rossi, A. (1982). The Architecture of The City. The Institute For Architecture and Urban Studies. Massachusetts:
The MIT Press.
Sidharta, E.B. (2000). Konservasi Lingkungan dan Bangunan Kuno Bersejarah di Surakarta. Yogyakarta : Gadjah
Mada University Press.
Tika, Z. dkk. (2013). Makassar Tempo Doeloe. Makassar: Kantor Arsip, Perpustakaan dan Pengolahan Data
Pemerintah Kota Makassar bekerjasama dengan Lembaga Kajian dan Penulisan Sejarah Budaya Sulawesi
Selatan.
Trancik, R. (1986). Finding Lost Space, Theories of urband design. New York: Van Nostrand Reindhold Co.
A 026 | Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017
View publication stats
Download