PRASANGKA (PREJUDICE): Penyebab dan Cara Mengatasinya - Prasangka : Fenomena sosial (terjadi) di mana-mana Prasangka terjadi di mana-mana dalam berbagai bentuk, dan hal itu memengaruhi kita semua. Prasangka dapat terjadi dalam dua arah: mengalir dari kelompok mayoritas kepada kelompok minoritas, dan sebaliknya. Kelompok manapun dapat menjadi sasaran prasangka. Banyak aspek dari identitas kita yang dapat menyebabkan kita diberi label dan didiskriminasi, antara lain kebangsaan, ras, etnis, jenis kelamin, orientasi seksual, agama, penampilan fisik, negara, dll. Beberapa orang memiliki sikap negatif tentang pekerja kerah biru, ada pula yang bersikap negatif terhadap para CEO, dsb. Intinya adalah bahwa tidak satupun dari kita yang benar-benar tidak cedera oleh prasangka; prasangka adalah masalah umum untuk seluruh umat manusia. Ketidaksukaan terhadap suatu kelompok yang berlangsung terusmenerus akibatnya dapat meningkatkan kebencian ekstrim, bahkan dapat diikuti dengan tindakan menyiksa dan membunuh. Salah satu konsekuensi dari seringnya menjadi target prasangka terusmenerus adalah penurunan harga diri seseorang. Prasangka dan Harga Diri Anak-anak Amerika Afrika, bahkan yang masih berumur 3 tahun nampaknya sudah berpikir tidak menginginkan menjadi orang kulit hitam. Hal ini ditunjukkan dalam penelitian Clark dan Clark (1947): Anak-anak ditawari pilihan antara bermain dengan boneka kulit putih atau bermain dengan boneka kulit hitam. Sebagian besar dari mereka menolak boneka hitam, mereka merasa bahwa boneka putih lebih cantik dan lebih unggul. Perasaan rendah diri nampaknya telah menyebabkan penindasan terhadap kelompoknya sendiri. Misalnya, penelitian Goldberg (1968) menunjukkan bahwa perempuan dari budaya Afrika-Amerika telah belajar menganggap diri mereka secara intelektual lebih rendah dari pria. Dalam eksperimennya, Goldberg meminta para mahasiswi untuk membaca artikel ilmiah dan mengevaluasinya dalam hal kompetensi dan gaya penulisan. Untuk sebagian subjek, penulis artikel ilmiah itu ditulis dengan nama pria (John T. Mc.Kay), dan untuk sebagian subjek lainnya, artikel ilmiah yang sama itu nama penulisnya ditulis dengan nama wanita (Joan T. Mc.Kay). Hasilnya ternyata para mahasiswi itu menilai lebih tinggi dalam kondisi artikel ilmiah itu diinformasikan sebagai tulisan seorang pria. Hasil penelitian Clark & Clark (1947) dan Goldberg (1968) di atas menunjukkan adanya warisan prasangka dalam suatu masyarakat. A. DEFINISI PRASANGKA Prasangka merupakan sikap. Sikap terdiri dari tiga komponen: komponen afektif atau emosional , mewakili kedua jenis emosi yang berkaitan dengan sikap (misalnya, kemarahan, kehangatan) dan ekstremitas sikap (misalnya, kegelisahan ringan, permusuhan langsung). komponen kognitif , yang melibatkan keyakinan atau pikiran-pikiran yang membentuk sikap. komponen perilaku, berkaitan dengan tindakan seseorang. Sikap biasanya diikuti dengan perilaku (meskipun tidak selalu). Prasangka, menunjuk pada struktur sikap umum dengan komponen afektifnya (emosional). Prasangka, bisa positif atau negatif, namun para psikolog sosial (dan orang-orang pada umumnya) menggunakan kata prasangka terutama menunjuk pada sikap negatif terhadap orang lain. Prasangka dalam konteks ini didefinisikan sebagai: “Sikap negatif terhadap individu atau sekelompok individu tertentu, yang hanya didasarkan pada keanggotaan individu tersebut dalam kelompok tertentu.” 1. Stereotip : Komponen Kognitif Istilah stereotype pertama kali diperkenalkan oleh Jumalis Walter Lippmann (1992). Ia menggambarkan stereotype sebagai "The little pictures we carry around inside our head", dimana gambaran-gambaran tersebut merupakan skema mengenai kelompok. Budaya atau kelompok tertentu dapat digambarkan dengan ciri-ciri yang sama. Contohnya, kita akan terkejut jika menjumpai supir taksi perempuan, karena profesi supir taksi biasanya dijalankan oleh laki-laki. Stereotip adalah proses kognitif, bukan emosional. Stereotip tidak selalu mengarah pada tindakan yang sengaja dilakukan untuk melecehkan. Seringkali stereotip hanyalah sebuah teknik yang kita gunakan untuk menyederhanakan dalam melihat dunia. Namun bagaimanapun juga, stereotipe tidak boleh membutakan manusia dalam melihat perbedaan-perbedaan individual yang ada, karena bila demikian bersifat maladaptif, tidak adil, dan berpotensial untuk menjadi sesuatu yang melecehkan. Olahraga, Ras, dan Atribusi Potensi penyalahgunaan stereotype sebagai jalan pintas mental terlihat jelas. Contohnya, suatu etnis tertentu dianggap pemalas, dan etnis lainnya dianggap serakah. Namun potensi tersebut dapat juga terselubung, bahkan mengandung atribut positif. Contohnya, kebanyakan orang cenderung menganggap bahwa orang kulit hitam mahir “Stereotype: Generalisasi mengenai suatu kelompok orang, di mana karakteristik tertentu diberikan kepada seluruh anggota kelompok tersebut, tanpa mengindahkan adanya variasi yang ada pada anggota-anggotanya.” dalam permainan bola basket, dan ketika menemukan seorang kulit hitam yang tidak dapat bermain basket, kita akan terkejut. Bila demikian, kita menolak individualitas orang kulit hitam tersebut. Stereotip, Atribusi, dan Gender Wanita cenderung digambarkan memiliki perilaku yang lebih sensitif secara sosial, ramah, dan lebih peduli atas kesejahteraan orang lain bila dibanding dengan pria; sedangkan pria digambarkan cenderung berperilaku dengan cara yang lebih dominan, mengontrol, dan mandiri. Fenomena stereotip gender seringkali tidak mencerminkan realitas. Misalnya, penelitian Deaux dan Emsweiler (1974) menunjukkan bahwa ketika seorang pria berhasil pada tugas yang kompleks, pengamat dari kedua jenis kelamin mengatribusi keberhasilan tsb disebabkan oleh kemampuan yang dimiliki. Di sisi lain jika seorang wanita sukses dalam tugas yang sama, pengamat mengatribusi kesuksesan tersebut disebabkan keberuntungan. 2. Diskriminasi: Komponen Perilaku Ketika stereotype menimbulkan perilaku yang tidak adil terhadap orang lain, maka telah terjadi diskriminasi. Di Amerika, beberapa hasil penelitian selama dua dekade lalu menunjukkan bahwa homoseksual menghadapi perlakuan diskriminatif dan antipati di hari-hari kehidupan mereka. Tidak seperti perempuan, etnis minoritas, orang cacat, homoseksual tidak dilindungi oleh hukum nasional yang melarang diskriminasi di tempat kerja. Kaum homoseksual rentan terhadap diskriminasi dalam dunia pekerjaan. Untuk melihat kemungkinan ini, Michelle Hebl dkk (2002) mengadakan suatu eksperimen lapangan dengan menggunakan enam belas mahasiswa (delapan pria dan delapan perempuan) yang mencoba untuk melamar pekerjaan di toko-toko lokal. Dalam beberapa wawancara, mahasiswa-mahasiswa tersebut mengaku bahwa mereka homoseksual dan dalam beberapa wawancara lain mereka tidak mengakuinya. Mahasiswa-mahasiswa tersebut berpakaian jeans dan jaket yang sama. Penelitian ini menguji dua jenis diskriminasi, yaitu formal discrimination dan interpersonal discrimination. Untuk mengukur formal discrimination, peneliti mencoba melihat adanya perbedaan dalam perkataan employer mengenai ketersediaan pekerjaan, perbedaan apakah employer mengizinkan mengisi formulir pekerjaaan, perbedaan apakah employer memberikan jawaban atas lamaran kerja, dan perbedaan respon employer ketika dimintai izin untuk pcrgi ke kamar kecil. Peneliti tidak menemukan adanya perbedaan Diskriminasi: Perilaku negatif atau membahayakan terhadap anggota kelompok tertentu, semata-mata karena keanggotaan mereka dalam kelompok tersebut. yang signifikan mengenai hal ini. Namun peneliti melihat adanya indikasi interpersonal discrimination yang kuat terhadap kaum homoseksual. Dibandingkan interaksi dengan mahasiswa yang tidak mengaku homoseksual, employer kurang positif secara verbal, menghabiskan waktu lebih sedikit untuk wawancara, tidak terlalu banyak berbicara ketika mengobrol, dan melakukan lebih sedikit kontak mata dengan mahasiswa yang mengaku homoseksual. Perilaku para employer ini menunjukkan adanya ketidaknyamanan atau jarak terhadap orang yang mereka anggap homoseksual.