system keyakinan, nilai dan sikap, terhadap pandangan mengenai dunia dan terhadap organisasi social diantara pelaku-pelaku dari budaya yang berbeda. Seperti hambatan yang timbul oleh rangsangan dari luar yang sama dan dipersepsi secara berbeda-beda oleh individu dalam kelompk-kelompok yang berbeda. Masing-masing individu tersebut melihat dengan perspektifnya sendiri. Hal terpenting dalam identifikasi dan hambatan KAB di sini adalah pemahaman mengenai respons arah perseptualnya bagaimana orang membentuk persepsinya dan sejauh mana pengaruhnya terhadap perilaku. Oleh karena itu, KAB mengupayakan terdapatnya banyak kemiripan atau persamaan pengalaman dan persepsinya meskipun unsure-unsur budaya itu sendiri banyak menimbulkan perbedaan pengalaman dan persepsi. D. Hambatan Perbedaan Perspektif Perspektif ( a way of looking) adalah pemahaman terhadap suatu objek, peristiwa atau benda yang bergantung pada pengamatan (observasi) dan penafsiran (intepretasi) kita sendiri. Hambatan pengaruh unsure-unsur kebudayaan terhadap perspektif ialah masing-masing orang mungkin berbedabeda sudut dan cara pandangnya tergantung dari ide atau konseptualisasi yang kita ketahui mengenai sesuatu peristiwa yang berlangsung. Dengan kata lain masalah perspektif KAB di sini adalah masalah konseptualiasi dalam perspektif yang berlatar belakang perbedaan budaya. E. Faktor-faktor Penghambat Komunikasi. Sebagaimana uraian sebelumnya KAB merupakan perluasan dari komunikasi dan komunikasi antarorganisasi sehingga subpokok bahasan ini dapat meliputi juga identifikasi mengenai factor-faktor penghambat komunikasi sebagai berikut : 1) Hambatan sosio-antro-psikologis Secara sosiologis masyarakat terdiri dari berbagai golongan dan lapisan yang menimbulkan perbedaan status social, agama, ideology, tingkat pendidikan, tingkat kekayaan yang semuanya dapat menjadi hambatan bagi kelancaran komunikasi. PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR – UMB IRA PURWITASARI S.SOS KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA Hambatan antropologis timbul oleh karena adanya perbedaan postur, warna kulit dan kebudayaan yang membawa perbedaan pula dalam gaya hidup, norma dan kebiasaan. Hambatan psikologis berupa komunikasi yang dilangsungkan dalam keadaan sedih, bingung, marah, merasa kecewa, atau iri hati. Prasangka terhadap seorang komunikator merupakan salah satu hambatan berat dalam komunikasi. 2) Hambatan Semantis Hambatan semantic berasal dari diri komunikator, misalnya bahasa Indonesia “jangan” (larangan) berbeda dengan “jangan” (sayur) dalam bahasa Jawa; “atos” (sudah) Sunda dengan “atos” (keras) Jawa. Selain itu miscommunication terjadi karena pemilihan kata yang tidak tepat, kata-kata yang sifatnya konotatif seperti yang mengandung makna emosional atau evaluatif yang dilatabelakangi oleh pengalaman seseorang. Contohnya perkataan “anjing” bagi seorang kyai yang fanatic merupakan binatang najis. Oleh karena itu sebaiknya digunakan kata-kata denotative sebagaimana penegrtian dalam kamus yang umumnya diterima oleh kebanyakan orang yang sama bahasa dan kebudayaannya. 3) Hambatan Mekanis Hal ini dapat ditemuai pada media yang digunakan seperti bunyi krotokan suara telepon, huruf buram pada surat, gambar yang miring atau buram pada televise dan sebagainya. 4) Hambatan Ekologis Hal ini disebabkan oleh gangguan lingkungan proses berlangsungnya komunikasi seperti suara gaduh, kebisingan lalu lintas, hujan atau petir dan sebagainya. Untuk mengatasinya misalnya dengan cara menghentikan dahulu kegiatannya atau memperkeras suaranya. F. Hambatan Stereotip dan Prasangka Prasangka adalah apa yang ada dalam pemikiran kita terhadap individu dengan kelompok lain seperti dalam hubungan ras dan etnis atau melalui media PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR – UMB IRA PURWITASARI S.SOS KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA massa yang popular. Masalahnya adalah karena kecenderungannya bersifat negative terhadap kelompok atau hal-hal khusus seperti ras, seks, agama, dan rambut gondrong. Prasangkan bukanlah menyangkut perilaku tetapi berhubungan erat dengan sikap dan kepercayaan yang ada dalam pikiran seseorang. Hambata KAB yang berupa prasangka negative terhadap kelompok mencakup tiga tipe prasangka, yaitu : • Prasangka kognitif, apa yang benar mengenai kelompok • Prsangka afektif, sama sekali tidak menyukai sesuatu kelompok, dan • Prasangka konatif, yang bersifat diskriminatif atau agresif terhadap kelompok. Stereotip adalah suatu keyakinan yang berlebihan terhadap kategori kelompok seperti ras, etnik, kelompok umat beragama dan sebagainya. Akibat negative yang diitmbulkan dari prasangka dan stereotip adalah menyebabkan orang hidup memisah dan menjauhi kontak-kontak dengan kelompok budaya tertentu. Akibatnya mutu dan frekuensi interaksi menurun dan lambat laun dapat menimbulkan pertentangan, perlawanan atau permusuhan antar sesamanya. Penting pula untuk diidentifikasi dalam proses hubungan stereotip, prasangka itu dengan perilaku yang saling memengaruhi. Perkembangannya bermula dari stereotip lalu menimbulkan prasangka yang selanjutnya mendorong ke suatu perilaku terhadap suatu kelompok budaya yang berbeda. G. Hambatan Derajat Kesamaan / Ketidaksamaan Budaya Hambatan KAB dapat pula ditimbulkan oleh masalah prinsip-prinsip komunikasi yang diterapkan pada konteks kebudayaan. Yaitu tidak memahami, menyadari, atau memanfaatkan derajat kesamaan atau perbedaan kepercayaan, nilai-nilai dan sikap, pendidikan dan status social antara komunikator dan komunikan. Prinsip derajat kesamaan/ketidaksamaan ini dikenal dengan homofily (kesamaan derajat) dan heterofily (ketidaksamaan derajat). Tingkat derajat kesamaan / ketidaksamaan pendidikan rakyat umumnya disepelekan oleh kaum terpelajar. H. Hambatan Pembentukan dan Pemograman Budaya Bentuk hambatan KAB dapat terjadi dalam suatu proses akulturasi yang berlangsung antara imigran dengan masyarakat pribumi yang berbeda budayanya. PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR – UMB IRA PURWITASARI S.SOS KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA Dalam akulturasi berkembang proses pembentukan kebudayaan (cultural conditioning) dan penyesuaian budaya yang diprogram (cultural programming) antara kaum imigran dengan masyarakat pribumi yang kesemuanya sulit diidentifikasi. Hanya dengan kemampuan-kemampuan dan membiasakan berkomunikasi secara terus menerus dari berbagai unsure-unsur kebudayaan maka hambatannya dapat diatasi. Efektivitas Komunikasi Antarbudaya Schramm dalam Susanto (1977) mengemukakan efektivitas komunikasi antara lain tergantung pada situasi dan hubungan social antara komunikator dengan komunikan terutama dalam lingkup referensi (kerangka rujukan) maupun luasnya pengalaman mereka. Lebih lanjut Schramm dlam Mulyana (1990) mengemukakan, komunikasi antarabudaya yang benar-benar efektif harus memerhatikan empat syarat, yaitu : (1) menghormati anggota budaya lain sebagai manusia; (2) menghormati budaya lain sebagaimana apa adanya dan bukan sebagaimana yang kita kehendaki; (3) menghormati hak anggota budaya yang lain untuk bertindak berbeda dari cara kita bertindak; (4) komunikator lintas budaya yang kompeten harus belajar menyenangi hidup bersama orang dari budaya lain. Barlund dalam Porter (1985) juga mengemukakan efektivitas komunikasi tergantung atas pengertian bersama antarpribadi sebagai suatu fungsi orientasi persepsi, system kepercayaan dan gaya komunikasi yang sama. Sedangkan Devito (1978) mengemukakan beberapa factor penentu efektivitas komunikasi antarpribadi, yakni : (1) Keterbukaan Sikap keterbukaan adalah a. sikap komunikator yang membuka semua informasi tentang dirinya, sebaliknya menerima semua informasi yang relevan tentang dan dari komunikan dalam rangka interaksi antarpribadi b. Kemauan seseorang sebagai koomunikator untuk bereaksi secara jujur terhadap pesan yang dating dari komunikan; c. Memikirkan dan merasakan bahwa apa yang dinyatakan seorang komunikator merupakan tanggungjawabnya terhadap komunikasn dalam suatu situasi tertentu. PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR – UMB IRA PURWITASARI S.SOS KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA (2) Empati Perasaan empati adalah membayangkan diri kita pada kejadian yang menimpa orang lain, kita berusaha melihat seperti orang lain melihat, merasakan seperti orang lain merasakannya. (3) Perasaan Positif Perasaan positif ialah perasaan seorang komunikator bahwa pribadinya, komunikannya, serta situasi yang melibatkan keduanya sangat mendukung (terbebas dari ancaman, tidak dikritik dan ditantang) (4) Dukungan Memberi dukungan ialah suatu situasi dan kondisi yang dialami komunikator dan komunikan terbebas dari atmosfir ancaman, tidak dikritik dan ditantang. Menurut Rakhmat (1989) sikap suportif atau memberikan dukungan ialah sikap yang mengurangi sikap defensive dalam komunikasi, orang yang defensive bila ia tidak menerima, tidak jujur, dan tidak empatis. (5) Keseimbangan Memelihara keseimbangan ialah suatu suasana yang adil antara komunikator dengan komunikan dalam hal kesempatan yang sama untuk berpikir, berasa dan bertindak. Sejauhmana efektivitas komunikasi antrapribadi dari mereka yang berbeda etnik itu dapat dicapai? Barna (dalam Asante, dkk. 1979) mengemukakan efektivitas komunikasi antarbudaya sangat tergantung dari factor-faktor luar yang memengaruhinya. Misalnya; bahasa, pesan-pesan nonverbal, prasangka dan stereotip, kecenderungan untuk mengevaluasi, tingginya kecemasan. Terdapat beberapa kategori yang dapat digunakan sebagai kebiasaan berkomunikasi yang efektif dalam setiap kelompok orang yang berkebudayaan berbeda dengan kita, yaitu : 1. Peka Ruang dan Peka Jarak 2. Peka terhadap Budaya Komunikasi dan Berbahasa 3. Tampil dengan Pakaian Khas 4. Mencicipi Makanan dan Minuman PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR – UMB IRA PURWITASARI S.SOS KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA