BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Keuangan Pada literatur Finance the Basics, dijelaskan bahwa keuangan adalah suatu pembelajaran mengenai konsep, pengaplikasian, dan sistem yang dapat mempengaruhi kekayaan seorang individu, perusahaan bahkan negara baik dalam waktu jangka pendek ataupun jangka panjang. Keuangan juga mengidentifikasikan motivasi atau tujuan dari suatu tindakan serta penentuan pengambilan keputusan. Transaksi keuangan bukan hanya ketika melakukan simpanan pada bank saja. Transaksi keuangan juga terjadi ketika melakukan transaksi dengan pasar saham, melakukan pembelian secara kredit, melakukan peminjaman uang kepada bank atau menerbitkan surat utang, ataupun ketika suatu negara menerbitkan surat utang. Melakukan transaksi keuangan tentu harus mengenal resiko yang ada pada transaksi tersebut. Resiko perlu untuk dikelola karena dalam pengambilan keputusan keuangan ada banyak ketidakpastian yang perlu dipertimbangkan sebelum mengambil keputusan. Pelaku transaksi keuangan harus mengenal resiko-resiko atau segala ketidakpastian yang ada untuk bisa mengoptimalkan keuntungan yang bisa didapatkan. Ketika ada resiko yang terlalu besar, maka ada kemungkinan transaksi keuangan gagal atau menimbulkan kerugian. Tetapi ketika mengambil resiko yang terlalu sedikit juga mengurangi peluang untuk menciptakan keuntungan yang lebih banyak. Maka dari itu, resiko harus dikelola dengan baik agar bisa memberikan keuntungan optimal ketika melakukan transaksi keuangan. 2.2. Literasi Keuangan Lisa Xu dan Bilal Zia (2012) mengatakan bahwa istilah literasi keuangan mencakup konsep yang dimulai dari kesadaran dan pengetahuan tentang produkproduk keuangan, institusi keuangan, dan konsep mengenai keterampilan keuangan seperti kemampuan untuk menghitung pembayaran bunga majemuk serta kemampuan keuangan yang lebih umum seperti pengelolaan uang dan perencanaan keuangan. Menurut Lisa Xu dan Bilal Zia (2012), literasi keuangan memiliki implikasi yang berbeda tergantung dari tingkat pendapatan di negara tersebut. Pada negara7 8 negara berpenghasilan tinggi, literasi keuangan dianggap sebagai pelengkap dari perlindungan konsumen. Salah satu tujuan utama dari pendidikan keuangan adalah untuk melengkapi setiap orang dengan kemampuan untuk merencanakan produk keuangan yang ada seperti perencanaan pensiun atau Kredit Pemilikan Rumah (KPR) serta untuk pembuatan keputusan keuangan yang sehat. Sedangkan pada negara berpenghasilan rendah, jangkauan keuangan jauh lebih terbatas. Begitu pula dengan produk keuangan yang lebih canggih biasanya hanya akan diakses oleh sebagian kecil dari populasi saja. Peranan literasi keuangan pada negara berkembang juga akan lebih fokus untuk meningkatkan akses keuangan serta pelayanan keuangan. Selain itu, yang menjadi perbedaan antara negara berkembang dengan negara maju adalah masyarakat pada negera berkembang lebih banyak menggantungkan hidupnya pada usaha mikro sebagai sumber penghasilan mereka, maka dari itu masyarakat di negara berkembang lebih relevan terhadap kemampuan finansial seperti pengelolaan modal, keterampilan bisnis dan pengetahuan daripada tipe masyarakat seperti para pekerja di negara maju yang menerima gaji. Sandra J. Huston (2009) mengatakan bahwa literasi keuangan dapat didefinisikan sebagai pengukuran seberapa baik seorang individu dapat memahami dan menggunakan informasi yang terkait dengan keuangan. Literasi keuangan bukan hanya membutuhkan dimensi pengetahuan tetapi juga membutuhkan dimensi tambahan yakni dimensi pengaplikasian yang mengharuskan seseorang memiliki kemampuan dan kepercayaan diri atas pengetahuan keuangan yang dimilikinya untuk digunakan dalam pengambilan keputusan keuangan. Sandra J. Huston (2009) menggambarkan konsep literasi keuangan seperti yang terlihat pada Gambar 2.1. APPLICATION DIMENSION Ability and confidence to effectively apply or use knowledge related to personal finance concepts and products. 9 Gambar 2.1. Konsep Literasi Keuangan FINANCIAL LITERACY FINANCIAL KNOWLEDGE KNOWLEDGE DIMENSION Stock of knowledge acquired through education and/or experience specifically related to essential personal finance concepts and products. Sumber: Sandra J. Huston. (2011). Measuring Financial Literacy. Rochester: SSRN Working Paper Series. Annamaria Lusardi (2012) menuliskan bahwa literasi keuangan yang dimiliki oleh seseorang dapat diukur dari pengetahuan dasar atas konsep investasi keuangan seperti inflasi dan risiko serta kemampuan untuk melakukan perhitungan yang berkaitan dengan suku bunga. 2.3. Finansial Eksklusif Ada berbagai macam definisi dari para peneliti mengenai finansial eksklusif, beberapa diantaranya adalah sebagai berikut: 1. Mohammad Shafi dan Ali Hawi Medabesh (2012) Menuliskan finansial eksklusif sebagai keadaan yang terbalik dari finansial inklusif, yakni ketika akses terhadap layanan keuangan sulit untuk dijangkau oleh para rumah tangga atau komunitas yang secara kekayaan, pendidikan dan lokasi dianggap tidak layak untuk mendapatkan akses keuangan. Mohammad Shafi dan Ali Hawi Medabesh juga menggambarkan komponen-komponen finansial eksklusif sebagai berikut, yakni tidak adanya akses terhadap kredit yang terjangkau, tidak 10 ada akses terhadap sarana keuangan, tidak ada akses terhadap asuransi dan tidak ada akses terhadap sistem pembayaran formal. 2. Audil rashid Khaki dan Prof. Mohi-ud-Din Sangmi (2012) Menuliskan bahwa finansial eksklusif adalah kasus klasik mengenai hilangnya suatu pasar tertentu terhadap akses keuangan dikarenakan biaya dari layanan keuangan tersebut tidak dapat dijangkau oleh pasar atau jasa yang ada tidak cukup memuaskan dan tidak efektif untuk memenuhi kebutuhan dari pada pasar. Definisi ini didapat dari India Development Foundation (IDF), Discussion Paper, 2009. Audil rashid Khaki dan Prof. Mohi-ud-Din Sangmi juga menuliskan hambatan-hambatan yang menyebabkan adanya finansial eksklusif yang dibagi ke dalam dua sisi, yakni dari sisi permintaan dan sisi penawaran. a. Sisi permintaan bisa dikatakan sebagai sisi pengguna layanan keuangan. Hambatan dari sisi permintaan berupa minimnya pengetahuan, keengganan, dan sikap skeptis masyarakat terhadap struktur dan aturan formal dari lembaga keuangan. b. Sedangkan sisi penawaran berasal dari penyedia layanan keuangan dan hambatan yang berasal dari sisi penawaran berupa persepsi bahwa masyarakat tidak dapat dijangkau oleh perbankan (nonbankable), prosedur yang tidak praktis, produk yang tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat, dan sikap dari para karyawan pemberi layanan keuangan itu sendiri. 3. Ram A. Cnaan, M.S. Moodithaya dan Femida Handy (2011) Mengatakan bahwa finansial eksklusif terjadi ketika masyarakat tidak memiliki akses terhadap perbankan atau buta terhadap keuangan. Dalam penelitian nya juga dituliskan bahwa finansial eksklusif terjadi karena ada beberapa hambatan yang menghalangi orang untuk bisa mengakses layanan keuangan. Hambatan-hambatan yang menyebabkan finansial eksklusif adalah: a. Physical exclusion, disebabkan oleh adanya masalah transportasi atau perjalanan untuk mendapatkan layanan keuangan. b. Access exclusion, disebabkan oleh proses penilaian resiko. 11 c. Condition exclusion, ketika kondisi yang melekat pada produk tidak sesuai atau tidak dapat digunakan oleh konsumen. d. Price exclusion, ketika biaya dari produk tidak terjangkau. e. Marketing exclusion, ketika seseorang konsumen tidak menyadari ada suatu produk yang ditawarkan karena strategi pemasaran yang tidak tepat sasaran. f. Self exclusion, terjadi ketika seseorang dengan keinginan dirinya sendiri memutuskan untuk tidak memanfaatkan layanan keuangan karena adanya pengalaman penolakan di masa lalu atau takut ditolak oleh layanan keuangan. 2.4. Finansial Inklusif Ada berbagai macam definisi dari para peneliti mengenai finansial inklusif, beberapa diantaranya adalah sebagai berikut: 1. Mohammad Shafi dan Ali Hawi Medabesh (2012) mengatakan bahwa finansial inklusif terjadi ketika mayoritas suatu populasi telah memiliki akses terhadap produk dan layanan keuangan seperti pinjaman, simpanan, asuransi, pensiun dan sistem pembayaran, serta memiliki edukasi keuangan dan mekanisme perlindungan konsumen yang berkualitas. 2. Audil rashid Khaki dan Prof. Mohi-ud-Din Sangmi (2012) pada penelitiannya menuliskan bahwa inklusi keuangan menurut komite finansial inklusif adalah proses untuk memastikan layanan keuangan dapat diakses, tepat waktu, serta dapat memberikan kredit dengan biaya terjangkau namun tetap dengan jumlah yang mencukupi ketika dibutuhkan oleh kelompok yang memiliki penghasilan rendah. 3. Ram A. Cnaan, M.S. Moodithaya dan Femida Handy (2011) menuliskan bahwa adanya finansial inklusif memungkinkan masyarakat miskin untuk mendapatkan akses layanan keuangan dengan biaya yang lebih rendah sehingga pada akhirnya dapat mengurangi kemiskinan. 2.4.1. Strategi Nasional Keuangan Inklusif Untuk mewujudkan program-progam yang diadakan oleh pemerintah ataupun pihak lainnya dalam rangka mengembangkan finansial inklusif, maka dibentuklah 12 program Strategi Nasional Keuangan Inklusif (SNKI) sebagai pedoman programprogam pengadaan finansial inklusif. SNKI memiliki 6 pilar finansial inklusif yang dijadikan strategi untuk mensukseskan finansial inklusif, berikut adalah gambaran dari kerangka finansial inklusif yang diambil dari Internal Finance Corporation (World Bank Group). Gambar 2.2. Stragegi Nasional Keuangan Inklusif (SNKI) Sumber: Internal Finance Corporation (World Bank Group) 13 Pilar-pilar Strategi Nasional Keuangan Inklusif (SNKI) memiliki penjelasan sebagai berikut ini (Media Keuangan, Vol. VIII, No. 73, hlm. 14-16): 1. Edukasi Keuangan Pilar ini menggambarkan strategi kebijakan untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat mengenai produk dan layanan keuangan. pilar ini juga mencakup 3 aspek, yaitu: a. Informasi tentang produk-produk keuangan. b. Informasi mengenai perlindungan konsumen. c. Informasi tentang manajemen keuangan. Edukasi keuangan bergandengan dengan pengalaman dari penggunaan layanan keuangan untuk membangun literasi keuangan dan kapabilitas keuangan. Edukasi keuangan memperkenalkan orang dengan praktek manajemen uang yang baik, yakni bagaimana bisa memperoleh atau menghasilkan uang, membelanjaknnya, melakukan simpanan, pinjaman, dan investasi. Edukasi keuangan memiliki tujuan yang saling terkait yakni bagaimana seseorang dapat melakukan manajemen terhadap keuangannya, memilih dan menggunakan produk keuangan, serta adanya kesadaran serta proteksi konsumen. 2. Fasilitas Keuangan Publik Pilar ini mengeksplor peran pemerintah lewat pembiayaan langsung ataupun tidak langsung untuk mendorong pemberdayaan ekonomi ekonomi. masyarakat Pemerintah sehingga akan masyarakat melakukan memiliki kemampuan pembiayaan dengan memperhatikan azas kehati-hatian, tepat sasaran dan kemanfaatan dari alokasi pembiayaan tersebut. Produk-produk yang termasuk dalam pilar ini antara lain sebagai berikut: a. Bantuan sosial: ­ Bantuan Operasional Sekolah (BOS). ­ Bantuan Langsung Tunai (BLT). ­ Program Keluarga Harapan (PKH). ­ Jaminan Kesehatan Masyarakat (jamkesmas). ­ Beras Miskin (Raskin). b. Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM). 14 c. Pemberdayaan usasha mikro seperti Kredit Usaha Rakyat (KUR). 3. Pemetaan Informasi Keuangan Pemetaan informasi keuangan disebut juga dengan eligibilitas keuangan, yang bertujuan untuk meningkatkan kelayakan kaum miskin produktif dari yang unbankable menjadi bankable. Pilar eligibilitas keuangan juga meliputi beberapa aspek, diantaranya adalah sebagai berikut: a. Meningkatkan kapasitas masyarakat. b. Memperkenalkan sistem jaminan alternatif. c. Layanan kredit yang lebih sederhana. d. Mengidentifikasi nasabah potensial. 4. Kebijakan / Peraturan Pendukung Pilar ini mengacu pada kebutuhan pemerintah ataupun perbankan itu sendiri untuk menambah atau memodifikasi peraturan-peraturan guna peningkatan akses layanan keuangan. Pilar ini meliputi beberapa aspek, yaitu: a. Memberikan lisensi untuk Lembaga Keuangan Mikro (LKM) dan agen perbankan. b. Menganalisa kebijakan untuk meningkatkan peran LKM. c. Menganalisa peraturan tentang program linkage. d. Membuat peraturan untuk mempromosikan peran aktif industri perbankan dalam menyediakan pendidikan keuangan. e. Menganalisa peraturan yang berkaitan dengan mekanisme Corporate Social Resposibility (CSR) perbankan. f. Menganalisis kebijakan untuk meningkatkan tata kelola dan kualitas manajemen lembaga keuangan. 5. Fasilitas Intermediasi & Distribusi Pilar ini ditujukan untuk meningkatkan kesadaran lembaga keuangan akan keberadaan segmen yang potensial (bankable) di masyarakat serta mencari cara-cara lainnya guna meningkatkan distribusi produk dan layanan keuangan. Fasilitas intermediasi meliputi dua faktor, yaitu: 15 a. Faktor informasi yang asimetris antara lembaga keuangan dengan segmen kelompok masyarakat miskin yang potensial untuk bankable. b. Faktor skala usaha lembaga keuangan dengan menjembatani bank umum dengan Bank Perkreditan Rakyat (BPR), koperasi, atau lembaga keuangan informal. Sedangkan saluran distribusi dapat berupa agen perbankan, layanan perbankan lewat telepon, bank keliling, dan infrastruktur pendukung lainnya. 6. Perlindungan Konsumen Perlindungan konsumen diperlukan agar masyarakat memiliki jaminan rasa aman dalam rangka melakukan finansial inklusif. Lewat pilar ini lah akan diatur secara tegas kewajiban pihak bank ataupun nonbank untuk perlindungan masyarakat sebagai investor. Pilar ini tidak hanya disusun untuk masyarakat pemiliki modal saja (investor), tetapi juga bagi para pemilik usaha produktif yang tidak memiliki modal seperti para Usaha, Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). 2.4.2. Group of Twenty (G20) G20 juga mengidentifikasikan beberapa prinsip yang merefleksikan kondisi kondusif yang mendorong finansial inklusif guna menjaga stabilitas keuangan dan konsumen. Prinsip-prinsip tersebut adalah (Microfinance Handbook): 1. Kepemimpinan (leadership) Kepemimpinan dibutuhkan untuk menumbuhkan komitmen pemerintah dalam upaya pengentasan kemiskinan. 2. Keragaman (diversity) Mengimplementasikan kebijakan yang bersifat kompetitif dengan pemberian insentif bagi pihak-pihak yang telah berhasil memberikan akses finansial secara berkelanjutan dan bagi pihak-pihak yang telah menyediakan berbagai macam layanan keuangan di mana layanan atau produk keuangan tersebut bisa dijangkau oleh masyarakat, seperti dalam hal tabungan, kredit, pembayaran dan transfer, asuransi, dan lain sebagainya. 16 3. Inovasi (innovation) Terus mengadakan perbaikan atau inovasi dalam hal teknologi dan institusi untuk mengadakan perluasan akses dan penggunaan sistem keuangan termasuk dengan perbaikan infrastruktur. 4. Perlindungan (protection) Dibutuhkan perlindungan konsumen, di mana perlindungan konsumen tersebut dirancang dengan memperhatikan peran pemerintah, penyedia layanan keuangan serta konsumen itu sendiri. 5. Pemberdayaan (empowerement) Pemberdayaan dilakukan untuk membangun literasi keuangan dan kapabilitas keuangan. 6. Kerjasama (cooperation) Kerjasama dibutuhkan untuk membangun lingkungan institusi dengan garis yang jelas atas tanggungjawab setiap institusi namun tetap berkoordinasi antara satu institusi dan institusi lainnya, sehingga dapat mendorong kemitraan dan pemecahan atau konsultasi langsung antara pemerintah, pelaku bisnis dan para pihak berkepentingan lainnya. 7. Pengetahuan (knowledge) Pengetahuan digunakan untuk mengembangkan data atau buktibukti yang ada dalam hal pembuatan kebijakan, mengukur perkembangan, dan mengadakan uji serta pembelajaran lebih lanjut yang bisa diterima oleh pemerintah dan penyedia layanan keuangan. 8. Proporsionalitas (proportionality) Membangun kebijakan dan kerangka aturan yang proporsional antara resiko dan manfaat yang melekat pada setiap produk dan layanan inovatif yang ada serta memperhatikan setiap kesenjangan dan hambatan di setiap regulasi yang ada. 9. Kerangka aturan (framework) Kerangka aturan dibuat dari refleksi aturan yang memiliki standar internasional, disesuaikan dengan keadaan nasional dan didukung oleh keadaan kompetitif di negara tersebut, dan dengan mempertimbangkan fleksibilitas serta resiko-resiko yang ada sehingga bisa sesuai dengan kondisi penyedia layanan keuangan dan konsumen sehingga semua pihak bisa saling terhubung. 17 2.5. Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2008 dan memiliki arti sebagai kegiatan usaha yang dengan kemunculannya bisa membuka lapangan kerja baru bagi masyarakat, sehingga memiliki peran dalam hal pemerataan dan peningkatan pendapatan masyarakat, mendorong pertumbuhan ekonomi serta berperan dalam mewujudkan stabilitas nasional. Secara lebih spesifik, yang dimaksud dengan usaha mikro adalah usaha ekonomi produktif yang dimiliki oleh perorangan ataupun badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria kekayaan bersih dan total omzet sesuai dengan UU No. 20 Tahun 2008, yakni total kekayaan bersih (total aset dikurang total kewajiban) dengan jumlah maksimum sebesar lima puluh juta rupiah, tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha mereka atau memiliki total penjualan bersih sampai dengan tiga ratus juta rupiah setiap tahunnya. Usaha mikro berbeda lagi dengan definisi dari usaha kecil. Yang dimaksud dengan usaha kecil adalah usaha ekonomi produktif yang dilakukan oleh perorangan atau badan usaha, namun bukan anak cabang dari perusahaan tertentu dengan kriteria total kekayaan bersih lebih dari lima puluh juta rupiah sampai dengan total maksimum lima ratus juta tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha, atau memiliki hasil penjualan bersih tahunan lebih dari tiga ratus juta rupiah sampai dengan dua milyar lima ratus juta rupiah. Sedangkan yang dimaksud dengan usaha menengah adalah usaha ekonomi produktif yang dilakukan oleh perorangan ataupun badan usaha, namun bukan anak cabang dari perusahaan manapun dengan kriteria total kekayaan bersih lebih dari lima ratus juta rupiah sampai dengan sepuluh milyar rupiah tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha, atau memiliki hasil penjualan bersih tahunan lebih dari dua milyar lima ratus juta rupiah sampai dengan lima puluh milyar rupiah. Berdasarkan Pasal 2 UU No. 20 Tahun 2008, disebutkan bahwa UMKM memiliki asas kekeluargaan, demokrasi ekonomi, kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, keseimbangan kemajuan, dan kesatuan ekonomi nasional. Sehingga, UMKM pun berdiri dengan tujuan untuk menumbuhkan dan mengembangkan usaha dalam rangka pembangunan ekonomi nasional berdasarkan demokrasi ekonomi yang berkeadilan. 18 1. Asas kekeluargaan Yang dimaksudkan dengan asas kekeluargaan adalah usaha yang dibangun dengan atas dasar asas-asas UMKM lainnya untuk menciptakan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. 2. Asas demokrasi ekonomi Usaha UMKM diselenggarakan untuk membangun ekonomi nasional guna mewujudkan kemakmuran rakyat. 3. Asas kebersamaan Dengan asas kebersamaan diharapkan seluruh UMKM dan dunia usaha dapat bekerja sama dalam setiap kegiatannya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. 4. Asas efisiensi berkeadilan Asas efisiensi berkeadilan adalah asas yang mendasari UMKM untuk melakukan usaha dalam iklim yang adil, kondusif, namun tetap memiliki daya saing antara yang satu dengan yang lainnya. 5. Asas berkelanjutan Asas ini mengupayakan agar usaha dapat berjalan secara berkesinambungan dari usaha mikro, kecil, sampai akhirnya menjadi usaha menengah dan bahkan bisa terus berkembang sehingga terbentuk perekonomian yang tangguh dan mandiri. 6. Asas berwawasan lingkungan Dalam setiap kegiatannya menjalankan usaha, UMKM tetap harus memperhatikan dan mengutamakan perlindungan dan pemeliharaan lingkungan hidup. Itulah tujuan dari asas berwawasan lingkungan. 7. Asas kemandirian Asas ini bertujuan untuk menjaga dan mengedapankan potensi, kemampuan serta kemandirian yang harus dimiliki oleh para UMKM. 8. Asas keseimbangan kemajuan Keseimbangan kemajuan bertujuan untuk menjaga agar setiap wilayah memiliki keseimbangan dalam hal kemajuan ekonomi, sehingga tidak ada derah atau wilayah tertentu yang mengalami ketertinggalan dibandingkan dengan wilayah yang lainnya. 19 9. Asas kesatuan ekonomi nasional Asas ini sebagai asas pemberdayaan UMKM, bahwa UMKM adalah sebagai bagian dari pembangunan kesatuan ekonomi nasional. UU No. 20 Tahun 2008, Bab VII, Pasal 21 menyebutkan bahwa pembiayaan dan penjaminan untuk usaha mikro dan kecil bisa berasal dari pemerintah dan pemerintah daerah, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), ataupun usaha besar nasional dan asing. Pembiayaan bisa diberikan langsung kepada para pelaku usaha. Atau pembiayaan lewat penyisihan laba tahunan sebagai pemberian pinjaman, penjamin, ataupun hibah. Bantuan juga bisa diberikan pemerintah lewat usaha bantuan dari luar negri dan sumber pembiayaan lainnya yang sah serta tidak mengikat para pelaku usaha mikro dan kecil. Tidak hanya itu, bantuan dapat diberikan dalam bentuk pemberian insentif yakni kemudahan dalam persyaratan perizinan, keringanan tarif sarana dan prasarana. Upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk meningkatkan pembiayaan bagi usaha mikro dan usaha kecil adalah dengan mengembangkan sumber pembiayaan dari kredit perbankan dan lembaga keuangan bukan bank, pengembangan lembaga modal ventura, kerjasama dengan koperasi simpan pinjaman dan koperasi konvensional ataupun syariah. Hal ini juga dibantu oleh pemerintah daerah dengan mendorong finansial inklusif dengan cara menumbuhkan, mengembangkan dan memperluas jaringan lembaga keuangan bukan bank, lembaga penjamin kredit, atau memberikan kemudahan dan memfasilitasi dalam pemenuhan persyaratan perolehan pembiayaan. Sedangkan untuk usaha menengah, menurut UU No. 20 Tahun 2008, Pasal 24, pemerintah dan pemerintah daerah melakukan pemberdayaan dengan cara memfasilitasi dan mendorong para pelaku usaha agar bisa meningkatkan modal kerja serta investasi mereka, serta memanfaatkan lembaga penjamin kredit dan lembaga penjamin ekspor, sehingga bukan lagi target penjualan dalam negri yang dituju, tetapi pemasaran dan penjualan ke luar negri. 2.6. Bank Perbankan diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 yang menggantikan Undang-Undang sebelumnya yakni UU No. 7 Tahun 1992. Berdasarkan UU No. 10 Tahun 1998, yang dimaksud dengan perbankan adalah 20 segala sesuatu yang menyangkut tentang bank, baik mengenai kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses pelakasanaan kegiatan usahanya. Bank adalah institusi keuangan yang melakukan pelayanan dalam bentuk menerima dan menjaga simpanan dari para nasabahnya, memberikan pinjaman baik pinjaman untuk kredit rumah ataupun pinjaman lainnya, dan layanan-layanan lainnya. Dari kamus yang terdapat di www.bi.go.id bank memiliki arti sebagai badan usaha penghimpun dana masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kembali kepada masyarakat dalam bentuk kredit atau bentuk lainnya untuk meningkatkat taraf hidup masyarakat secara luas. Hal ini jugalah yang tertulis dalam UU No. 10 Tahun 1998. Berdasarkan Undang-Undang perbankan, perbankan di Indonesia melakukan usahanya atas dasar asas demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip kehatihatian. Sedangkan fungsi utama dari perbankan adalah sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat. Dengan demikian, perbankan Indonesia bertujuan untuk menunjang pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional ke arah peningkatan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Menurut jenis dan usahanya, bank dibagi menjadi dua. Yakni Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat. Bank Umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usahanya dengan memberikan layanan jasa dalam lalu lintas pembayaran, baik secara konvensional ataupun berdasarkan prinsip syariah. Bank Umum memiliki banyak kegiatan dalam perbankan, Bank Umum dapat menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk giro, deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan, ataupun bentuk lainnya. Bank Umum juga dapat memberikan kredit, menerbitkan surat hutang, melakukan pemindahan uang, menyediakan tempat penyimpanan barang dan surat berharga, menyediakan pembiayaan bagi nasabah, melakukan kegiatan valuta asing, melakukan kegiatan penyertaan modal pada bank atau perusahaan keuangan lainnya, bertindak sebagai pendiri dan pengurus dana pensiun, namun bukan untuk melakukan usaha perasuransian. Sedangkan Bank Perkreditan Rakyat adalah bank yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah, namun tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Bank Perkreditan Rakyat hanya melakukan penghimpunan dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa tabungan 21 dan atau deposito berjangka, melakukan pemberian kredit, menyediakan pembiayaan dan penempatan dana berdasarkan prinsip syariah, serta menempatkan dana yang ada dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI), sertifikat deposito, dan atau tabungan pada bank lain. Bank Perkreditan Rakyat dilarang untuk menerima simpanan dalam bentuk giro dan ikut serta dalam lalu lintas pembayaran, melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing, melakukan penyertaan modal, serta melakukan usaha perasuransian. Perbankan memiliki beberapa produk yang cukup dikenal oleh masyarakat secara luas dan beberapa diantaranya adalah: 1. Tabungan Menurut kamus Bank Indonesia (BI), tabungan adalah simpanan uang milik nasabah yang dapat ditarik dengan persyaratan tertentu yang telah disepakati. Penarikan dana atas tabungan bisa dilakukan dengan cara datang langsung ke bank melalui tarikan tunai, atau dengan menggunakan mesin Anjungan Tunai Mandiri (ATM), menggunakan kartu bank, atau melalui telepon, namun bukan menggunakan cek, bilyet giro, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan alat tersebut. 2. Deposito Berjangka Yang dimaksud dengan deposito berjangka adalah simpanan nasabah yang hanya bisa diambil pada waktu yang telah ditetapkan sesuai dengan kesepakatan yang telah dibuat antara nasabah dengan bank. 3. Kredit Kredit merupakan penyediaan dana atau penyediaan uang yang diberikan oleh bank terhadap nasabah berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam di mana nasabah sebagai pihak peminjam diwajibkan untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dan disertai dengan tambahan pembayaran bunga pinjaman. 4. Giro Simpanan yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat menggunakan cek, bilyet giro, dan sarana perintah pembayaran lainnya ataupun lewat pemindahbukuan. 22 5. Kartu Debit Kartu bank yang dimiliki setiap nasabah perbankan yang dapat digunakan untuk melakukan pembayaran atas suatu transaksi atau menarik sejumlah uang dari mesin ATM dengan menggunakan nomor PIN (Personal Identification Number) yang dimiliki oleh nasabah. Dimana nomor PIN tersebut adalah nomor yang dirahasiakan dan bisa diberikan oleh bank ataupun ditentukan sendiri oleh nasabah. 6. Kartu Kredit Pemegang kartu kredit dapat menggunakan kartu kreditnya untuk membayar sejumlah barang ataupun jasa tertentu secara kredit. Tentu pemberian kartu kredit ini melewati persyaratan tertentu yang telah ditetapkan oleh bank atau perusahaan pengola kartu kredit dan biasanya lewat survei terlebih dahulu baru bisa mendapatkan kartu kredit. 7. Kotak Simpanan (Safe Deposit Box) Kotak simpanan adalah kotak yang terbuat dari baja, tahan bongkar, tahan api dan disimpan di dalam ruangan yang kokoh. Kotak ini dapat digunakan nasabah untuk menyimpan harta ataupun surat-surat berharga, tentu dengan biaya tertentu yang telah ditetapkan oleh bank. 2.7. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Otoritas Jasa Keuangan (OJK) diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2011. Di dalam Undang-Undang tersebut dituliskan bahwa OJK adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak manapun. Tujuan dari dibentuknya OJK adalah agar seluruh kegiatan di dalam sektor jasa keuangan dapat terselengara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel, OJK mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, serta mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat. OJK sendiri berfungsi sebagai sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan, baik pengaturan dan pengawasan terhadap sektor perbankan, sektor pasar modal, dan ataupun sektor perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya. Untuk melaksanakan tugas OJK sebagai pengatur dan pengawas di sektor perbankan, maka OJK memiliki wewenang untuk: 23 1. Pengaturan dan pengawasan kelembagaan bank mengenai: a. Perizinan untuk pendirian bank, pembukaan kantor bank, anggaran dasar, rencana kerja, kepemilikan, kepengurusan dan sumber daya manusia, merger, konsolidasi dan akuisisi bank, serta pencabutan izin usaha bank; dan b. Kegiatan usaha bank, antara lain sumber dana, penyediaan dana, produk hibridasi, dan aktivitas di bidang jasa. 2. Pengaturan dan pengawasan kesehatan bank mengenai: a. Likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, kualitas aset, rasio kecukupan modal minimum, batas maksimum pemberian kredit, rasio pinjaman terhadap simpanan, dan pencadangan bank; b. Laporan bank yang terkait dengan kesehatan dan kinerja bank; c. Sistem informasi debitur; d. Pengujian kredit (credit testing); dan e. Standar akuntansi bank. 3. Pengaturan dan pengawasan mengenai aspek kehati-hatian bank, meliputi: a. Manajemen risiko; b. Tata kelola bank; c. Prinsip mengenal nasabah dan anti pencucian uang; dan d. Pencegahan pembiayaan terorisme dan kejahatan perbankan. 4. Pemeriksaan bank. OJK memiliki wewenang untuk melakukan pencegahan kerugian bagi para konsumen dan masyarakat dan wewenang-wewenang tersebut telah diatur dalam UU No. 21 Tahun 2011, Pasal 28 sebagai berikut: 1. Memberikan informasi dan edukasi kepada masyarakat atas karakteristik sektor jasa keuangan, layanan, dan produknya; 2. Meminta lembaga keuangan untuk menghentikan kegiatannya apabila kegiatan tersebut berpotensi merugikan masyarakat; dan 3. Tindakan lain yang dianggap perlu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan. 24 OJK dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya didasari atas asas-asas sebagai berikut: 1. Asas independensi Asas indepedensi adalah pedoman dalam pengambilan keputusan dan pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang OJK, agar tetap independen sesuai dengan aturan perundang-undangan yang berlaku. 2. Asas kepastian hukum Setiap kebijakan penyelenggaraan OJK selalu mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan dan keadilan dalam pembuatannya. 3. Asas kepentingan umum Asas kepentingan umum yaitu asas yang membela dan melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat serta memajukan kesejahteraan umum. 4. Asas keterbukaan Asas keterbukaan adalah asas terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan OJK, namun tetap memperhatikan perlindungan hak asasi pribadi dan golongan, serta rahasia negara, termasuk rahasia sebagaimana ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. 5. Asas profesionalitas Adalah asas yang mengutamakan keahlian dalam pelaksanaan tugas dan wewenang OJK yang berlandaskan pada kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan. 6. Asas integritas Asas integritas yakni asas yang berpegang teguh pada nilai-nilai moral dalam setiap tindakan dan keputusan yang diambil dalam penyelenggaraan OJK. 7. Asas akuntabilitas Maksud dari asas akuntabilitas adalah setiap kegiatan dan hasil akhir dari seluruh kegiatan OJK harus dapat dipertanggungjawabkan kepada publik. 25 2.8. Bank Indonesia (BI) Bank Indonesia diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999. Bank Indonesia merupakan naungan dari bank-bank yang ada di Indonesia karena Bank Indonesia adalah bank sentral dari Indonesia. Tujuan dari adanya BI adalah untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah, yakni dengan menjalankan tugas untuk menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter, mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, serta mengatur dan mengawasi bank seperti apa yang tertulis pada UU No. 23 Tahun 1999 pada pasal 8. Untuk melaksanakan kebijakan moneter, BI memiliki kerangka kerja dengan nama Inflation Targeting Framework (ITF). Lewat ITF, Bank Indonesia memberitahukan sasaran inflasi kepada publik dan dan melakukan forward looking untuk mengevaluasi apakah perkembangan inflasi untuk masa mendatang masih sesuai dengan inflasi yang telah ditargetkan. Kebijakan moneter juga dilakukan dengan cara menetapkan kebijakan suku bunga (BI Rate), yang mana suku bunga tersebut dapat mempengaruhi suku bunga pasar uang, suku bunga deposito, dan suku bunga kredit perbankan. Berdasarkan UU RI No. 23 Tahun 1999, Bank Indonesia berwenang untuk melaksanakan dan memberikan persetujuan serta izin atas penyelenggaraan jasa sistem pembayaran, mewajibkan penyelenggara jasa sistem pembayaran untuk menyampaikan laporan tentang kegiatannya, dan menetapkan penggunaan alat pembayaran dalam rangka mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran. Dalam rangka pengaturan dan pengawasan bank, Bank Indonesia juga berhak untuk mencabut izin kelembagaan dan kegiatan usaha dari bank tertentu, atau mengenakan sanksi terhadap bank tertentu sesuai dengan peraturan yang telah diatur dalam UU RI No. 23 Tahun 1999. 2.9. Penelitian Terdahulu Telah banyak penelitian yang berkaitan dengan literasi keuangan. Berikut adalah beberapa diantaranya yang penulis gunakan sebagai bahan referensi: 1. Rafiqur Rahman dan Qiang Nie (2011), “The Synthesis of Grameen Bank Microfinance Approaches in Bangladesh” Grameen Bank adalah lembaga keuangan di Bangladesh yang operasionalnya dilakukan dengan pendekatan pendanaan mikro. Grameen Bank memberdayakan para wanita pedesaan untuk meningkatkan 26 perekonomian keluarganya melalui pemanfaatan kredit. Mekanisme dari kredit ini adalah dengan membentuk satu kelompok yang terdiri dari 5 orang baik wanita ataupun pria. Kemudian dari kelima orang tersebut hanya 2 diantaranya yang akan mendapatkan pinjaman terlebih dahulu sedangkan sisa anggota lainnya akan mendapatkan giliran berikutnya. 2 orang pertama yang mendapatkan kredit menjadi dasar penilaian bagi orang berikutnya untuk berhak mendapatkan kredit ataukah tidak. Jika salah satu dari anggota tidak dapat melunasi kreditnya, maka anggota yang lain tidak berhak untuk mendapatkan pinjaman. Para anggota kelompok juga memiliki tanggung jawab sebagai pengawas atas angota sekelompok lainnya agar pembayaran kredit dapat terlunasi. Para kreditor dapat meningkatkan jumlah pinjaman mereka apabila mereka mampu melunasi pinjaman mereka dan untuk kredit pada Grameen Bank tidak membutuhkan jaminan atau agunan untuk mendapatkannya. 2. Mohammad Shafi dan Ali Hawi Medabesh (2012), “Financial Inclusion in Developing Countries: Evidences from an Indian State” Penelitian ini dilakukan dengan tujuan mempelajari seberapa banyak masyarakat Jammu & Kashmir yang masih eksklusif terhadap keuangan, mempelajari penyebab spesifik dari permasalahan finansial eksklusif di daerah J&K, kemudian memberikan saran untuk perbaikan finansial inklusif ke arah yang lebih baik lagi di J&K. Penelitian ini mendapatkan fakta bahwa masih ada 54% dari survei yang memperlihatkan bahwa responden belum memiliki akses terhadap perbankan, yang kebanyakan berasal dari daerah pedesaan. Sebanyak 88% dari hasil survei juga memperlihatkan bahwa masyarakat pedesaan belum memliki akses terhadap kredit dibanding masyarakat perkotaan yang hanya 12%. Untuk meningkatkan finansial inklusif di daerah tersebut, maka J&K Bank Ltd., melakukan upaya pertama yang berfokus untuk membuat masyarakat yang tadinya tidak memiliki akses perbankan untuk menjadi nasabah perbankan setidaknya dengan melakukan tabungan pada perbankan. Demi tercapainya strategi ini, J&K Bank Ltd., mengijinkan masyarakat untuk melakukan simpanan tanpa harus melakukan pembukaan rekening akun bank terlebih dahulu. 27 Untuk pencapaian tersebut, bank juga mengadakan kampanye untuk mengajak masyarakat menabung dan menempatkan karyawankaryawan nya di pedesaan sebagai bentuk mobilisasi perbankan ke pedesaan. Perbankan juga mengadakan pertemuan untuk menilai kemajuan dari upaya finansial inklusif yang telah dilakukan guna terus mengadakan perbaikan agar hasil yang diinginkan dapat tercapai. Sedangkan untuk pinjaman, bank melakukan upaya dengan menawarkan pinjaman kepada para petani di mana persetujuan pinjaman tersebut dapat langsung diberikan di tempat. Dalam penelitian tersebut juga terdapat beberapa solusi yang diajukan, yakni seperti pengadaan pelatihan untuk memberikan pengetahuan keuangan agar finansial inklusif dapat diterima oleh masyarakat sehingga masyarakat dapat mulai merencanakan dan mengendalikan keuangan yang mereka miliki. Solusi lain yang diajukan adalah pengadaan Micro Credit Plans (MCP) yang memberikan pinjaman terhadap masyarakat dalam jumlah terbatas, namun tetap memenuhi kebutuhan spesifik para peminjamnya, serta dengan bunga yang longgar tanpa adanya agunan. 3. Audil Rashid Khaki dan Prof. Mohi-ud-Din Sangmi (2012), “Financial Inclusion in Jammu & Khasmir: A Study on Banker’s Initiatives” Penelitian ini memiliki tujuan untuk menguji berbagai macam inisiatif finansial inklusif yang dijalankan oleh bank-bank di Jammu & Kashmir, serta mengevaluasi perkembangan finansial inklusif di daerah tersebut. Penelitian ini menuliskan bahwa finansial inklusif bertujuan untuk menghubungkan orang-orang dengan lembaga keuangan resmi dan bukan hanya sekedar membuka rekening bank saja, tetapi benar-benar memastikan bahwa layanan keuangan bisa dimanfaatkan oleh siapa saja termasuk masyarkaat miskin. Untuk mencapai finansial inklusif maka diupayakan beberapa inisiatif yang dilakukan oleh perbankan seperti menjadi nasabah bank dan memanfaatkan jasa perbankan tanpa perlu memiliki akun rekening bank. Bank juga memberikan keringanan lainnya yakni dengan tidak menentukan saldo minimum setoran awal serta memberikan biaya 28 administrasi yang lebih ringan kepada masyarakat yang berpenghasilan rendah. Perbankan juga mengupayakan pemberian kredit mikro dan lanjutan kepada masyarakat miskin. Bank juga memperbaiki tekhnologi yang mereka miliki untuk bisa memperluas jangkauan finansial inklusif yang harus mereka jalankan. Finansial inklusif yang mereka jalani juga tidak lepas dari ikut campur pemerintahan. Pemerintah ikut memantau perkembangan finansial inklusif di setiap daerah lewat kerjasamanya dengan perbankan lewat aturan-aturan yang diterapkan seperti pendirian cabang perbankan di kawasan masyarakat yang terisolir dengan layanan perbankan. 4. Ram A. Cnaan, M. S. Moodithaya dan Femida Handy (2012), “Financial Inclusion: Lessons from Rural South India” Pada penelitian ini memiliki 7 pertanyaan sebagai tujuan akhir penelitian. 7 pertanyaan tersebut adalah sebagai berikut: a. Berapa banyak rumah tangga yang berada di pedesaan mengerti akan keuangan dan layanan keuangan apa yang tersedia bagi mereka? b. Dari perspektif masyarakat pedesaan, apa yang menjadi hambatan untuk menghalangi finansial inklusif? c. Karakteristik apa yang membedakan personal yang memiliki akses ke bank dengan yang tidak memiliki akses dengan bank. d. Apakah ada perbedaan antara desa yang satu dengan desa yang lainnya atau setiap desa memiliki gambaran finansial inklusif yang sama? e. Apakah peran organisasi kredit mikro sudah meningkatkan finansial inklusif? Apakah perbankan juga termasuk kelompok yang membantu finansial inklusif? f. Apakah ada orang yang tidak tertarik dengan finansial inklusif? Jika ada, apa alasan mereka? g. Kebutuhan finansial apa yang belum terpenuhi rumah tangga di pedesaan India? Dalam penelitian ini dituliskan ada beberapa hambatan yang menjadi penghalang finansial inklusif, yakni ketidak terjangkauan secara fisik, akses, kondisi, harga, pemasaran, serta penolakan dari diri sendiri terhadap keuangan. 29 Solusi yang ditawarkan pada penelitian ini adalah bank-bank yang ada harus beroperasi dan diregulasi secara ketat serta diberi kewajiban untuk menjangkau masyarakat seluas-luasnya untuk bisa mengenal perbankan, kemudian pemerintah bisa memberikan insentif kepada perbankan berupa pengurangan pajak ataupun persetujuan produk keuangan baru atau peningkatan biaya transaksi. Solusi terakhir yang diajukan kepada pemerintah adalah dengan membuat lingkungan yang kondusif bagi mekanisme perbankan sehingga dapat mengurangi biaya bank itu sendiri untuk melakukan literasi keuangan. Intervensi dari pemerintah sendiri dijalankan dengan membuat aturan bagi para pemberi layanan keuangan terutama perbankan agar bisa memberikan layanan keuangan bagi masyarakat miskin sekalipun dan mendorong institusi agar mau memberikan layanan perbankan yang terjangkau tanpa diskriminasi antara masyarakat yang kaya dengan masyarakat miskin.