Informasi produk yang disimpan dalam ingatan cenderung atas dasar merk dan konsumen menginterpretasikan informasi baru dengan konsisten sejalan dengan yang sudah diorganisir. Pencarian informasi tentang suatu produk oleh konsumen seringkali bergantung pada kesamaan atau ketidaksamaan produk tsb dengan informasi kategori produk yang sudah ada dalam ingatan. Kemungkinan besar Pepsodent akan disebut oleh banyak orang kalau ditanya brand pasta gigi. Infomasi disimpan dalam ingatan jangka panjang dalam dua cara: Episodically – informasi disimpan atas dasar urutan diterimanya informasi; Semantically – informasi disimpan tas dasar tingkat kepentingannya. Retrieval – adalah proses dengan mana kita mendapatkan kembali informasi dari ingatan jangka panjang. Konsumen cenderung lebih mengingat product’s benefi t ketimbang atribut2 produk. Hal ini menyarankan agar pesan lebih focus mengemukakan manfaat produk yang dicari konsumen. Konsumen yang termotivasi akan mau membuang waktu untuk menginterpretasikan dan mengelaborasi informasin yg meereka anggap relevan dengan kebutuhannya dan akan mengaktifkan pengetahuan yang relevan dari ingatan jangka panjangnya. Interference - semakin besar jumlah iklan yang bersaing pada suatu produk kategori semakin rendah kemampuan memanggil kembali claim suatu brand yang diiklankan. Gangguan ini disebabkan oleh kebingungan advertising yang bersaing dan hasilnay adalah kegagalan untuk memanggil kembali informasi. Ada 2 jenis gangguan : 1. Pembelajaran baru (new learning) mengganggu pemanggilan informasi yang sudah disimpan; 2. Pembelajaran lama (old learning) mengganggu pemanggilan informasi baru. LIMITED AND EXTENSIVE INFORMATION PROCESSING Sudah lama para peneliti yakin bahwa konsuemn melalui serangkaian tahap mental yang rumit dan perilaku untuk sampai keputusan pembelian. Tahap ini mencakup Awareness, to evaluation, to behavior, to funal evaluation. Proses ini dinamakan Consumer Adoption Process. Pada awalnya para ahli pemasaran yakin bahwa seluruh keputusan pembelian dilakukan melalui proses informasi yang luas dan rumit. Tetapi ternyata ada beberapa situasi pembelian dimana ketika konsumen sadar ada kebutuhan ia langsung melakukan pembelian – routine purchase – tanpa pemrosesan informasi yang luas dan rumit. Dalam situasi pembelian seperti ini keterlibatan individu rendah karena itu dinamakan Low-involvement purchases dimana pemrosesan informasi hanya terbatas –limited. Dalam situasi pembelian lainnya dimana dilakukan melalui proses informasi yang luas dan rumit dinamakan High-Involvement Purchases – extended. Involvement theory Teori ini dikembangkan dari Split-brain theory atau hemispheral lateralization. Asumsi dasarnya ialah bahwa otak dipisahkan menjadi otak bagian kiri dan otak bagian kanan. Masing2 khusus mengolah informasi yang berbeda. Otak bagian kanan bertanggungjawab atas pengolahan informasi yang bersifat 1 kognitif seperti membaca dan berbicara. Sedangkan otak bagian kiri berkaitan dengan pengolahan informasi yang non verbal, sedikit memakan waktu, bergambar dan realistic. Dengan kata lain otak bagian kiri adalah rasional, aktif dan realistic, sedangkan otak bagian kanan emosional, methaphoric , impulsive, visual dan intuitive. INGAT ! Ingat consumer product dibedakan menjadi Convenience product, shopping product dan specialty product. Jangan lupa ciri2 dari ketiga product tersebut dan ingat bagaimana perilaku konsumen ketika membuat keputusan pembelian dan membeli product tersebut. Ciri2 convenience product antara lain : sering dibeli, mudah dibeli, bisa segera dibeli, harga rendah, standar (dibeli dimanapun relative sama), kalau salah membeli resikonya rendah, dll. Karena itu ia menjadi low risk product. Karena ia tergolong dalam low risk product maka konsumen akan low involvement dalam proses pembuatan keputusan pembeliannya. Lain halnya dengan specialty product: produk ini sangat special untuk pembelinya, jarang sekali dibeli, mungkin hanya sekali dibeli, harganya tinggi, produk yang satu dengan lainnya berbeda, kalau salah beli resikonya tinggi. Karena itu ia menjadi High Risk product. Karena ia tergolong high risk product maka konsumen akan High Involvement dalam proses pembuatan keputusan pembeliannya. Konsumen selalu berusaha meminimalkan resiko (to minimize risk) maka ketika ia membuat keputusan pembelian produk yang high risk maka keterlibatan (involvement) dalam proses pembuatan keputusannya akan tinggi. Bagaimana dengan shopping product? Tahap-tahap pembuatan keputusan sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Sadar adanya kebutuhan; Mencari informasi (mencari alternative yang dapat memenuhi kebutuhan); Mengevaluasi alternative yang dapat memenuhi kebutuhan; Keputusan pembelian; Pembelian Konsumsi – memperoleh pengalaman Evaluasi pengalaman – apakah ekpektasi terpenuhi? Perilaku mengaplikasikan hasil evaluasi. Pada Langkah 1,2, dan 3 konsumen pembelajaran – learning - sebelum membuat keputusan membeli. Langkah 5 dan 6 juga learning. Learning yang pertama atas dasar informasi dan learning yang kedua atas dasar pengalamannya. Langkah 2 dan 3 menyebabkan konsumen memperoleh informasi yang digunakan sebagai dasar untuk membuat keputusannya (menentukan sikapnya) dan membentuk harapannya (expectation). 2 Harapannya itu akan diuji pada saat ia mengkonsumsi produk pilihannya. Disini konsumen mempelajari apakah harapan2nya bisa dipenuhi atau tidak. Di atas dikatakan bahwa untuk convenience product konsumen akan low involvement karena low risk. Bagaimana perilaku konsumen ketika low involvement dalam pembuatan keputusan? Keterlibatan yang rendah itu ditunjukkan dengan tidak menjalani tiap tahap pembuatan keputusan yaitu setelah tahap satu (sadar adanya kebutuhan) langsung lompat ke langkah 5 (pembelian). Dengan kata lain “kalau habis beli produk yang sama”. Oleh karena itu dinamakan “pembuatan keputusan habitual” (habitual decision making) . Disini terlihat konsumen tidak mau banyak pikiran, banyak buang waktu, banyak buang tenaga. Uraian di atas menjelaskan pula mengapa konsumen tidak setia (tidak ada loyalitas) terhadap convenience produk. Konsumen membeli dan memakai produk itu karena kebiasaan (habitual). Apabila brand itu tidak tersedia di toko maka dengan mudah ia beralih ke brand yang lain. Mereka berpindah merk karena resiko kepindahannya itu juga rendah sekali bahkan dianggap tidak ada resiko. Coba perhatikan berapa banyak convenience produk yang anda pakai sama dengan yang orang tua anda pakai. Bagaimana program pemasaran apabila perilaku konsumen seperti itu? Program pemasaran untuk menghadapi ini ialah produk harus selalu tersedia (Avalaibility – Physical distribution) di pasar sebab bila tidak maka konsumen akan berpindah ke brand lain. Konsumen bisa menetapkan kriteria keputusan sekalipun hanya satu kriteria seperti yang paling murah, yang paling mudah didapat, paling mudah dipakai. Lain halnya dengan Specialty product karena konsumen menganggap resikonya tinggi maka keterlibatannya dalam proses pembuatan keputusan akan tinggi (high involvement). Keterlibatan yang tinggi itu ditunjukan dengan menjalani setiap tahap pembuatan keputusan (tahap 1,2,3,dan 4) bahkan pada tahap ke 5 seringkali perlu keputusan tambahan, seperti beli dimana? Kapan? Cash? Angsur? Dst. Tahap 1 – sadar adanya kebutuhan, tahap 2 – mencari informasi/alternative tidak hanya memakai sumber internal (yang dimilikinya sendiri) tetapi juga sumber eksternal baik formal maupun informal (opinion leader). Akan dicari alternative sebanyak dan sedetil mungkin dengan sungguh-sungguh (ingat salah informasi maka salah juga keputusan yang dibuat). Pada tahap 3 – mengevaluasi alternative Konsumen akan menetapkan banyak kriteria yang dipakai konsumen dalam mengevaluasi alternative, tujuannya supaya konsumen mendapatkan the best value (manfaat –pengorbanan) untuknya. Karena produk ini sangat jarang dibeli maka biasanya konsumen belum mempunyai kriteria yang pasti sebagai dasar melakukan evaluasi. Kosumen masih harus belajar/mencari kriteria-kriteria yang akan dipakainya. Konsumen akan mempertimbangkan benefit yang bisa didapat dari atribut/feature yang ditawarkan produk tersebut. Ingat tiap konsumen punya pertimbangan/kepenting an sendiri, misalnya dalam menetapkan prioritas benefit yang ingin diperolehnya. Oleh karena itu penentuan kriteria subyektif/individualistis. Bisa terjadi (sering) konsumen menangguhkan pembuatan keputusan seandainya konsumen merasa belum mendapatkan alternative-alternatif yang mendekati harapannya. Sehingga ia tidak melanjutkan ke tahap ke 4 – pembuatan keputusan. Keputusan seperti ini dinamakan Extensive information processing. 3 Terdapat keputusan Limited Information Processing or problem solving. Disini konsumen mencari kriteria-kriteria secara terbatas yang akan dipakai untuk mencari alternative brand yang dianggap dapat memuaskannya. Jadi ia berbeda dari Extensive information processing yang justru mencari informasi yang sebanyak mungkin. Hal ini karena resiko produk yang akan dibelinya lebih rendah dari kalau mau specialty product tetapi masih lebih tinggi daripada saat akan membeli convenience product. Keputusan seperti ini sesuai untuk shopping product. Karena ia bisa dikatakan medium risk maka tingkat involvementnya medium juga. Pada pembuatan keputusannya semua tahap dilalui namun kriteria yang digunakannya terbatas. Kesimpulannya bila habitual decision making hanya sedikit (bahkan satu) kriteria, Limited information processing menggunakan lebih banyak kriteria dan extensive information processing akan menggunakan sangat banyak kriteria. Involvement and media strategy Media dapat dibedakan menjadi media cetak, media broadcast (Radio dan TV) dan Elektronik - internet. Dengan berkembangnya pesatnya internet sekarang ini terjadi pergeseran penggunaan media. Media TV yang pictorial sesuai dengan penggunaan otak kanan dalam mengolah informasinya. TV dianggap media dengan keterlibatan/involvement yang rendah (Low involvement information processing). Dan yang terjadi adalah passive learning (stimulus –respon). Cognitive (verbal) information diproses oleh otak bagian kiri. Oleh karena media cetak (surat kabar & majalah)dan media interaksi merupakan media dengan keterlibatan yang tinggi. Menurut teori ini Otak kanan , passive processing of information theory konsisten dengan classical conditioning. Melalui pengulangan, produk dipasangkan dengan suatu citra visual (contohnya kemasan yang berbeda) untuk menghasilkan respon yang diinginkanyaitu pembelian merk yang diinginkan. Menurut teori ini, dalam siatuasi pembelanjaran yang pasif (dihasilkan oleh media yang low involvement) pengulangan adalah cara untuk menghasilkan respon berupa pembelian. Dalam kontek pemasaran bahwa iklan tv paling efektif kalau durasinya singkat dan sering diulang sehingga menjamin keakraban merk tanpa menimbulkan evaluasi pesan yang detil. The right brain processing theory menekankan pentingnya komponen visual dari iklan mencakup penggunaan symbol yang kreatif. Tanda2 pinggiran (peripheral) yang berkaitan dengan kategori produk mendorong terbentuknya sikap yang lebih menetap ketimbang tanda2 yang tidak berhubungan. David Beckham (pesepak bola) lebih tepat mengiklankan sepatu bola ketimbang oli sepeda motor. Tanda 2 berupa gambar lebih efektif dalam menghasilkan “recall” dan keakraban produk sedangkan tanda2 verbal menghasilakn aktivitas kognitif yang mendorong para konsumen untuk mengevaluasi keuntungan dan kerugian produk teresbut. Peneliti mengusulkan bahwa bagian otak kanan dan kiri jangan beroperasi sendiri2 secara independen tetapi bekerjasama – integrated processor. Ini dimungkinkan bila menggunakan media elektrronik internet. 4 Involvement theory and consumer relevance. Keterlibatan konsumen dapat dikatakan indivividual/subyektif dan tingkat Keterlibatan konsumen dimulai dari rendah bergerak sampai tinggi. Ini ada kaitannya juga dengan relevansi pribadi konsumen terhadap produk tersebut. Tingkat keterlibatan kosumen akan tinggi seandainya produk yang akan dibelinya sangat penting baginya (dikaitkan dengan resiko yang dipersepsikan). Shampoo anti ketombe mempunyai social risk yang tinggi maka keterlibatan juga kan tinggi – ini akan mendorong extensive problem solving . jadi bisa saja untuk produk yang sama keterlibatannya rendah karena resiko yang dipersepsikannya rendah dan mendorong limited information processing. Central dan peripheral route of persuasion Teori central and peripheral routes to persuasion menggambarkan konsep extensive and limited problem solving. Premis mayor teori ini bahwa konsumen akan mengevaluasi secara hati2 keunggulan dan kelemahan suatu produk ketika suatu pembelian relevansinya tinggi baginya. Jadi untuk produk dengan resiko yang dianggap rendah, keterlibatan rendah maka ia akan mengikuti the peripheral route of persuasion – konsumen kuarng motivasinya untuk melakukan pemrosesn kognitif. Jadi learning dilakukan dengan pengulangan , pemrosesan pasif melalui tanda2 visual. Sebaliknya untuk produk yang dianggap resikonya tinggi dan keterlibatannya yang tinggi maka akan mengikuti central route of persuasion – membutuhkan pertimbangan pemikiran dan pemrosesan kognitif. Attitudinal and behavioral measures of brand loyalty. Pengukuran sikap berkaitan dengan keseluruhan perasaan konsumen mengenai produk dan merk, dan minat belinya.behavioral measures didasarkan atas respon yang dapat diobservasi atas promotional stimuli – purchase behavior, ketimbang sikap terhadap produk dan brand. Isu utama bagi peneliti ialah bahwa apakah mendefinisikan brand loyalty dari sudut pandang perilaku konsumen atau dari sikap konsumen. Peneliti yang mendukung teori Instrumental conditioning yakin bahwa brand loyalty dihasilkan oleh initial product trial yaitu penguatan kembali melalui kepuasan, mendorong terjadinya pembelian ulang. Sebaliknya cognitive researcher menekankan peran proses mental dalam membangun loyalitas. Mereka yakin bahwa konsumen yang menggunakan extensive problem solving behavior menyangkut merk dan membandingkan atribut, mendorong terciptanya pilihan merk dan pembelian ulang. Menurut mereka behavioral definition kurang presisinya karena mereka tidak membedakan antara “real” brand laoyal yang memang didasari oleh keyakinan dan “the spurious” brand layal yang melakukan pemelian ulang karena hanya brand itu yang ada. Teori lainnya mengatakan bahwa brand loyalty harus diukur melalui “sikap terhadap suatu brand” ketimbang konsistensi pembelian. Beberapa ahli lainnya berpendapat brand loyalty berkaitan dengan tingkat keterlibatan konsumen. Keterlibatan yang tinggi mendorong kepada pencarian informasi yang luas yang akhirnya membentuk brand loyalty sdeangkan keterlibatan yang rendah mendorong kepada eksposur dan brand awareness dan kemudian membentuk brand habit. Ketika konsumen puas atas penggunaan suatu produk sejalan 5 dengan pembelian ulang maka pencarian terhadap pesaing potensial akan menurun. Bukti menunjukkan bahwa konsumen yang setia – mereka memiliki komitmen terhadap suatu brand, service, atau toko – menunjukkan penolakan yang kuat atas bujukan2 pesaing. Sebagian peneliti berpendapat bahwa sekarang ini terdapat penurunan brand loyalty, hal ini sebagian disebabkan oleh kebosanan atau ketidakpuasan konsumen terhadap produk yang digunakannya, pencarian informasi konsumen, penawaran produk baru yang terus menerus, dan peningkatan terhadap harga. Brand Equity Brand equity menunjuk pada “nilai yang melekat” pada brand yang sudah dikenal. Dari sudut pandang konsumen brand equity adalah “nilai tambah” yang diberikan kepada produk oleh brand name. brand equity memudahkan penerimaan produk baru dan alokasi pad arak, mempertinggi perceived value, mempertinggi perceived quality, mempertinggi premium pricing option. Karena kegagalan meluncurkan produk baru biayanya besar maka ketimbang meluncurkan produk baru dengan brand baru, pemasar lebih suka memakai brand extentions. Strategi lainnya ialah co branding juga disebut double branding. Brand yang sudah sangat dikenal dinamakan Mega Brand seperti Coca Cola. Nama itu tekah menjadi ikon budaya dan menikmati keunggulan yang sangat kuat dalam persaingan. Brand equity sangat penting bagi pemasar sebab ia memperkuat brand loyalty yang pada gilirannya meningkatkan market share dan laba yang lebih besar. Bagi pemasar fungsi utama teori pembelanjaran (learning) ialah mengajari konsumen bahwa produk mereka adalah yang terbaik, untuk mendorong pembelian ulang, dan akhirnya untuk menciptakan kesetiaan terhadap brand name nya. 6