Uploaded by Ilham Effendi Yahya

SPI TR 1 Bab 6 ( KEl 3 )

advertisement
SISTEM POLITIK INDONESIA
(PARTISIPASI PUBLIK, BUDAYA POLITIK PEMILIH, DAN DEMOKRASI)
Dosen Pengampu : Dra. Yusna Melianti, MH
DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 3
NAMA MAHASISWA
:
1. ILHAM EFFENDI YAHYA
3192111002
2. WAHYU SABTIYA DARMA
3191111001
3. ADELLA RAHMADHITA
3193111026
4. DEVI KRISTIANI
3193311029
5. SRI RAHAYU
3191111011
KELAS
: REGULER B/2019
MATA KULIAH
: SISTEM POLITIK INDONESIA
PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
2020
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat limpahan rahmat dan karuniaNya penulis dapat menyelesaikan tugas Makalah TR 1 yang berjudul “Partisipasi Publik, Budaya
Politik Pemilih, dan Demokrasi” sebagai tugas dari mata kuliah Sistem Politik Indonesia.
Kami berterima kasih kepada seluruh pihak yang banyak membantu dalam proses penyusunan
dan penyelesaian makalah ini dari awal hingga akhir. Dan terima kasih yang sebesar-besarnya penulis
sampaikan kepada dosen mata kuliah Sistem Politik Indonesia bapak Drs. Halking, M.Si. yang
telah membimbing kami dalam menyelesaikan tugas ini.
Kami menyadari bahwa penulisan makalah ini kiranya masih jauh dari kesempurnaan. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak sangat penulis harapkan.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan penulis sendiri tentunya.
Medan, 12 Maret 2020
Kelompok 3
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................................................ i
DAFTAR ISI ......................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .............................................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ......................................................................................................... 2
1.3 Tujuan Penulisan ........................................................................................................... 2
1.4 Manfaat Penulisan ......................................................................................................... 2
BAB II PARTISIPASI PUBLIK, BUDAYA POLITIK PEMILIH, DAN DEMOKRASI
2.1 Partisipasi Publik, Budaya Politik, dan Demokrasi ...................................................... 3
2.2 Demokrasi di Indonesia : Problem Keterwakilan ........................................................ 5
2.3 Ruang Publik dan Pelembagaan Partisipasi Publik ....................................................... 6
2.4 Pemilu, Pilpre, dan Pilkada Secara Langsung : Problem Golput .................................. 8
2.5 Partisipasi Publik dan Budaya Politik ......................................................................... 10
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan ................................................................................................................. 11
DAFTAR PUSTAKA
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Demokrasi Perwakilan (representative democracy) merupakan suatu keniscayaan yang
tidak bias dielakkan terjadi di dalam negara modern. Tetapi, seiring dengan menurunnya
tingkat kepercayaan public (Public Trust) terhadap para wakil yang duduk di dalam
emerintahan (elected officials), pelibatan anggota masyatakat di dalam proses pembuatan
keputusan – keputusan penting yang menyangkut diri mereka sebagaimana ada dalam
demoktasi langsung (directly democracy) atau demomkrasi yang bercorak partisipatoris
(participatory democracy) yang pernah terjadi pada masa Yunani Kuno kembali menjadi
rujukan penting (Held, 1996).
Di Indonesia, tuntutan bagi partisipasi public di dalam proses-proses politik setelah
demokrasi perwakilan yang dibangun pasca runtuhnya pemerintahan Orde Baru dianggap
tidak mampu meningkatkan kualitas demokrasi secara substansial. Setelah terpilih, para
wakil rakyat berjalan dengan agendanya sendiri-sendiri Implikasinya, terdapat disconnect
electoral antara para pemilih dan yang dipilih. Realitas demikian mengundang adanya
gagasan bagi keterlibatan public di dalam keputusan – keputusan penting.
Makalah ini mengarah perbincangan kepada partisipasi public, bidaya pemilih dan
demokrasu di Indonesia. Uraian secara teoritik tentang keterkaitan antara partisipasi public,
dan budaya politik didalam demokrrasi, mengawali pembahsan. Bagian kedua membahas
pelembagaan demokrasi dan problem keterwakilan di Indonesia pasca reformasi. Bagian
selanjutnya meperbincangkan desain kelembangaan untuk membangun partisipasi public.
Setelah itu, secara khusus diperbincangkan partusuasi public dalam taraf yang minimal,
yaitu partisipasi melalui pemilu. Terakhir adalah perbincangan tentang keterkaitan antara
partisipasi public dan budaya politik.
1
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana partisipasi public, budaya pemilih, dan demokrasi di Indonesia?
2. Bagaimana keterkaitan antara partisipasi publik, dan budaya politik didalam
demokrasi?
3. Apa saja problem keterwakilan di Indonesia pasc reformasi?
4. Bagimana kelembagaan membangun patisipasi publik?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Mengetahui partisipasi public, budaya pemilih, dan demorasi di Indonesia?
2. Mengetahui keterkaitan antara partisipasi public, dan budaya politik di dalam
demokrasi.
3. Dapat mengetahui problem keterwakilan di Indonesia pascareformasi.
4. Mampu menjelaskan tentang bagaimana kelembagaan membangun partisipasi
publik.
1.4 Manfaat Penulisan
1. Sebagai bahan pembelajaran bagi mata kuliah Sistem Politik Indonesia.
2. Sebagai bahan untuk menambah wawasan bagi semua kalangan mengenai
Partisipasi Publik, Budaya Politik, dan Demokrasi
2
BAB II
PARTISIPASI PUBLIK, BUDAYA POLITIK, DAN DEMOKRASI.
2.1 Partisipasi Publik, Budaya Politik, dan Demokrasi
Partisipasi publik pada dasamya merupakan bagian dari partisipasi pada umumnya.
Merujuk pada the 1995-97 World Value Survey, Charles Andrain dan fames Smith (2006: 67)
mengelompokkan tiga bentuk panisipasi. Pertama adalah partisipasi yang lebih pasif. Di
dalam tipe pertama ini, partisipasi dilihat dari keterlibatan politik seseorang, yakni sejauh
mana orang itu melihat politik sebagai sesuatu yang penting, memiliki minat terhadap politik,
dan sering berdiskusi mengenai isu•isu politik dengan teman. Kedua adalah partisipasi yang
lebih aktif. Yang menjadi perhatian adalah sejauh mana orang itu terlibat di dalam organisasiorganisasi atau asosiasi-asosiasi sukarela (voluntary associations) seperti kelompok-kelompok
keagamaan, olahraga, pecinta lingkungan, organisasi profesi, dan organisasi buruh. Ketiga
adalah partisipasi yang berupa kegiatan-kegiatan protes sepeni ikut menandatangani petisi,
melakukan boikot, dan demonstrasi.
Dalam kategori semacam itu panisipasi publik memang tidak secara khusus bisa masuk
ke dalam salah satu dari tiga kategori itu. Seperti disinggung di depan, partisipasi publik acap
kali lebih ditekankan pada proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan publik, seperti
terlibat dalam pertemuan-pertemuan publik, melakukan inisiatif, dan referendum. Dalam
konteks demikian, kalaupun ditempatkan di dalam tiga kategori itu, partisipasi publik lebih
dekat menjadi bagian dari partisipasi dalam kategori kedua. Kebijakan publik sendiri
memiliki pengaruh yang tidak kecil terhadap kehidupan warga negara, baik secara individual
maupun kelompok. Kebijakan publik, sebagaimana dikatakan oleh Theodore Lowi (1964),
paling tidak mencakup tiga keputusan hal penting. Pertama adalah yang berkaitan dengan
alokasi dan distribusi sumbersumber. Kedua adalah berkaitan dengan regulasi terhadap pelaku
dan kekuatan-kekuatan ekonomi. Termasuk di dalamnya adalah regulasi mengenal
persaingan usaha dan regulasi tentang proteksl. Terakhir ada-lah kebijakan tentang
realokasi
dan
redistribusi
sumber-sumber
terhadap
kelompok-kelompok
yang
diuntungkan.
Apabila dikaitkan dengan sejauh mana sebuah aktivitas itu berpe-ngaruh terhadap
proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan pub-lik, cakupan partisipasi publik itu
menjadi lebih luas lagi. Termasuk di dalamnya adalah diskusi di dalam ruang-ruang publik
3
yang membahas isu-isu yang sedang berkembang sepettl di radlo, televisi, forum konsultasi, dan pertemuan-pertemuan lainnya. Diskusi di dalam ruang-ruang publik seperti itu
memang tidak semuanya secara langsung berkait-an dengan proses-proses pembuatan
keputusan politik, kecuali forum konsultasi yang diadakan oleh lembaga-lembaga yang
memiliki otoritas di dalam proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan publik baik di
tingkat nasional maupun lokal. Tetapi, manakala isu-isu itu berkembang secara akumulatif,
menjadi perhatian publik, dan terpublikasi secara luas, apa yang diperbincangkan di dalam
ruang-ruang publik semacam itu bisa berpengaruh terhadap kebijakan-kebijakan publik
yang (akan) dibuat dan dilaksanakan, lebih jauh Schumpeter mengatakan:
The role of the people is to produce a govemment. The voters outside of parfiament must
respect the division of labour between themselves and the pollticlans they elect. They must
not withdrow confidence too easily behveen election and they must understand that, one
they have elected an individuat political action is his [her] business and not theirs. This means that they must refrain from instructing him [her] about what he [she] is to do
(Schumpeter, 1950 269).
Dalam pandangan seperti Itu, keterlibatan warga negara di dalam proses politik memang
lebih banyak berhenti pada proses pemilihan. Proses perumusan kebijakan-kebijakan publik
lebih banyak menjadi arena tugas para wakil, bukan terwakil.
Manakala budaya politik itu dipandang secara fungsional atau secara instrumental
(Pammett dan Whittington, 1976: 31), sebagaimana dilakukan oleh sejumlah ilmuwan
politik pada 1950-an dan 1960-an, budaya politik itu memiliki posisi penting karena mampu
memengaruhi perilaku politik seseorang, tennasuk di dalam membangun demokra-si.
Melalui studinya di lima negara, Gabriil Almond dan Sydney Verba (1963) melihat bahwa
budaya politik kewarganegaraan itu sangat cocok bagi bangunan negara demokrasi. Di
dalam budaya demikian terdapat kombinasi yang relatif bagus antara tiga budaya politik:
parokhial, subkjek, dan panisipan. Dalam pemahaman yang lebih sederhana, budaya politik
kewarganegaraan merupakan kombinasi antara karakteristik-karakteristik aktif, rasional,
mempunyai informasi yang cukup mengenai politik, kesetiaan pada sistem politik,
kepercayaan dan kepatuhan kepada pemerintah, keterikatan pada keluarga, suku, dan agama
(Surbakti, 1984: 69).
4
Di dalam situasi seperti itu adanya kontrol dari para warga itu meng-hadapi masalah
yang berkaitan dengan informasi, pemantauan dan pe-nekanan. Ketiga hal ini merupakan
bagian penting di dalam partisipasi publik. Dengan demikian, demokrasi perwakilan dan
demokrasi partisi-patoris atau demokrasi langsung bisa saling mengisi satu sama lain. Keduanya akan memungkinkan terdapatnya pemerintahan yang responsif dan akuntabel, baik
secara vertikal maupun horizontal.
Negara-negara yang berproses menuju demokrasi, termasuk Indonesia, berusaha
membangun prosedur demokrasi yang memungkinkan terdapatnya pemerintahan yang
akuntabel dan responsibel seperti itu. Tetapi, untuk melaksanakan desain kelembagaan
demikian tidaklah mudah. Seperti diuraikan di dalam bagian berikut, upaya Indonesia untuk membangun demokrasi perwakilan masih menghadapi masalah disconnect electoral.
2.2 Demokrasi di Indonesia : Problem Keterwakilan
Pandangan pandangan para pengamat (Anwar, 2001; Budiman, 1999; Kingsbury dan
Budiman, 2001; Lidd-le, 2000; Tan, 2006) yang cenderung menggunakan perspektif
pluralis di dalam memahami situasi politik pasca-pemerintahan Orde Baru. Bahwa
kejatuhan Presiden Soeharto memang tidak serta-merta membawa Indonesia sebagai
negara demokrasi. Tetapi, kejatuhan itu telah mem-bawa Indonesia ke arah transisi menuju
demokrasi. Damien Kingsbury dan Arief Budiman (2001: x) misalnya mengatakan, "the
fall of Soeharto in May 1998 sparked the beginning of such change." Sebagai ilustrasi dari
perubahan ini keduanya melihat bahwa pemilu yang dilakukan pasca-Orde Baru sebagai
"symbol of Indonesia's genuie democratisation".
Dari sisi prosedural, perubahan ke arah menuju sistem politik yang lebih demokratis
memang sudah terjadi. Syarat minimal demokra-si sebagaimana dikemukakan oleh Robert
Dahl (1971), seperti adanya partisipasi dan kontestasi, yang mewujud pada dibukanya kran
sistem multi-partai dan pemilu yang bebas dan adil, telah dipenuhi. Dua hal ini merupakan
insmtmen yang paling mendasar bagi upaya untuk memba-ngun sistem keterwakilan
politik yang lebih baik.
Dua hal itu pun, paling tidak, telah membuka ruang yang lebih besar kepada warga
negara untuk terlibat lebih aktif di arena politik. Misalnya saja, perubahan itu telah
memungkinkan adanya aktor-aktor baru di arena politik, baik di tingkat nasional maupun
di tingkat lokal. Kalau sebelumnya aktor-aktor itu lebih banyak didominasi oleh politisi
dari Golkar dan militer, setelah itu menyebar ke kekuatan-kekuatan po-litik lainnya. Di
5
samping itu, aktor-aktor di tingkat lokal pun tidak lagi seragam dan mudah dikendalikan
oleh aktor-aktor di tingkat nasional. Hal ini tidak terlepas dari realitas bahwa kekuatan
politik (partai) yang mengendalikan daerah yang satu dengan daerah yang lain memiliki
per-bedaan juga. Di Jawa Timur, misalnya, penganth PKB sangat besar, mes-kipun di
tingkat nasional pengaruh partai ini tidak berbeda jauh dengan pengaruh PAN, PD, PPP,
dan PKS.
Apabila dilihat dari sudut pandang descriptive representation, upaya untuk membawa
perubahan-perubahan dari sistem keterwakilan memang membawa hasil yang cukup
berarti. Sistem politik yang terhege-moni oleh kekuatan-kekuatan tertentu, secara formal,
terbongkar. Pada Pemilu 1999, Golkar yang rata-rata memenangkan pemilu di atas 60
persen dalam enam kali pemilu, hanya mampu memperoleh suara 22,4 persen. Apabila
dibandingkan dengan peserta pemilu yang mencapai 48 partai, kursi-kursi di DPR/D
memang lebih terkonsentrasi di sejumlah kecil partai-partai (PDIP, Golkar, PPP, PKB,
PAN, dan PKB). Tetapi, ba-ngunan kekuasaan yang ada relatif menyebar. Hal serupa
terjadi pada Pemilu 2004, sebaran kekuasaan bahkan lebih meluas dengan masuknya PKS
dan PD sebagai partai-partai yang memperoleh kursi cukup berarti. Di Iuar partai-partai
itu, terdapat partai-partai kecil yang memperoleh kursi di DPR/D.
Tetapi, apabila dilihat dari sisi substantive representation, yaitu ada-nya para wakil
rakyat yang "acting in the best interest of the public" (Pitkin, 1967), upaya ini belum
membawa perubahan yang cukup berarti. Kritik yang sering dikemukakan adalah, para
wakil raykat itu lebih mementingkan dirinya sendiri atau partai yang diwakilinya. Dengan
kata lain, sistem multipartai dan pemilu yang bebas dan adil pada kenyata-annya masih
menyisakan masalah disconnect electorat Para wakil pada kenyataannya belum mampu
"acting in the best interest of the public."
2.3 Ruang Publik dan Pelembagaan partisipasi publik
Selain membuka ruang bagi adanya sistem multi-partai dan pemilu yang bebas dan
adil, upaya membangun relasi yang lebih baik antara wakil dan terwakil dan partisipasi
publik dilakukan melalui desain kelembagaan lain. Di antaranya adalah modifikasi sistem
pemilu, pembu-kaan ruang relasi antara wakil dan terwakil melalui Jaring Aspirasi Masyarakat (Jaring Asmara) dan Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang), dan
ruang konsultasi serta rapat antara DPR/D dengan publik di gedung DPR/D, kebijakan
otonomi daerah, dan pemilihan pre-siden dan kepala daerah secara langsung, dan
pemberian kebebasan un-tuk berbicara di ruang-ruang publik.
6
Jenis sistem pemilu memiliki konsekuensi yang tidak sama antara satu dan yang lain
(Farrell, 2001; Gallagher dan Mitchell, 2005; Reeve dan Ware, 1992). Sistem proporsional,
misalnya,
dipandang
lebih
mampu
menghasilkan
para
wakil
yang
mencerminkan kelompok-kelompok yang ada di dalam masyara-kat. Sementara itu, sistem
majoritarian atau yang lebih dikenal sebagai sistem distrik, lebih memungkinkan adanya
tingkat kedekatan yang le-bih erat antara para wakil dan yang terwakil.
Pada Pemilu 2004, Indonesia masih tetap menganut sistem pro-porsional. Hanya saja,
besaran distriknya (district magnitude) atau yang dikenal sebagai daerah pemilihan (Dapil)
diperkecil. Maksudnya, agar relasi antara wakil dan terwakil yang sebelumnya renggang,
bisa terjem-batani. Secara teoretis, melalui sistem Dapil yang lebih kecil, para wakil rakyat
akan merasa memiliki kedekatan dengan konstituennya, karena siapa yang menjadi
konstituennya jelas dan berada di dalam suatu wi-layah tertentu. Demikian halnya para
konstituen, mereka mengetahui lebih jelas siapa saja wakil rakyat yang mewakili
daerahnya. Di samping itu, proses pemilihan calon juga sudah mulai menggunakan sistem
semi daftar terbuka (semi open list system). Melalui sistem demikian, para pe-milih
diharapkan mengenal lebih baik calon yang mereka pilih.
Realitas seperti itu yang membuat perubahan lanjutan desain pemiliham. Sebagaimana
terlihat dari UU Pemilu yang baru, No. 10 Tahun 2008, besaran dapil lebih diperkecil (310). Penentina wakil dari partai urut. Calon yang memperoleh suara 30% dari BPP
memiliki hak untuk memperoleh kursi.
Bangunan kelembagaan itu belum sempurna, memang. Karena itu lebih dari sepuluh
pasca-pemerintahan Soeharto, kebijakan-kebijakan sulam untuk menutupi kekurangankekurangan dari bangunan kelembagaan terus dilakukan. Tetpai, perlu para aktor, elite dan
sesuatu yang sangat penting dalam menopang bagi berjalan tidaknya bengunan
kelembagaan itu. dalam konteks seperti itu, pertanyaan klasik mengenai demokrasi layak
untuk kita diskusikan kembali, yakni apakah keterkaitan antara kondisi ekonomi dan
budaya politik itu berpengaruh terhadap bangunan demokrasi suatu negara ? pertanyaan
demikian dimunculkan tidak lepas dari realitas bahwa GNP per kapita masih tergolong
menengah ke bawah, masih banyak penduduk yang tergolong miskin, seta tingkat
pendidikan yang tergolong rendah.jawaban dari pertanyaan tersebut akan beragam,
berdasarkan pijakan teori maupun praktik demokrasi diberbagai negara. Meskipun
demikian, pertanyaan ini sendiri sengaja dihadirkan pada akhir pembahasan agar menjadi
perenungan bersama, untuk memperbaiki kualitas demokrasi di masa mendatang.
7
2.4 Pemilu, Pilpres, dan Pilkada Secara Langsung : Problem Golput
Ikut Serta di dalam pemilu merupakan salah satu bentuk partisipasi politik minimal
warga negara. Melalui pemilu warga negara memilih para wakil yang akan duduk di
lembaga – lembaga perwakilan. Partisipasi pemilih dalam setiap pagelaran pemilu selalu
memprihatinkan. Angka golongan putih (golput) masih terus meningkat di setiap pemilu
yang digelar di Indonesia. Sikap ignorance terhadap pemilu menjadi sebuah refleksi bagi
pemerintah bagaimana hal itu bisa terjadi.
Tingkat partisipasi politik pada Pemilu rezim Orde Lama mulai dari tahun 1955 dan
Orde Baru pada tahun 1971 sampai 1997, kemudian Orde Reformasi tahun 1999 sampai
sekarang masih cukup tinggi. Tingkat partisipasi politik pemilih dalam pemilu tahun 1955
mencapai 91,4 persen dengan angka golput hanya 8,6 persen.
Baru pada era non-demokratis Orde Baru golput menurun. Pada Pemilu 1971, tingkat
partisipasi politik mencapai 96,6 persen dan jumlah golput menurun drastis hanya
mencapai 3,4 persen.
Sementara Pemilu tahun 1977 dan Pemilu 1982 hampir serupa. Yakni, partisipasi
politik sampai 96,5 persen dan jumlah golput mencapai 3,5 persen. Pada Pemilu 1987
tingkat partisipasi politik pemilih mencapai 96,4 persen dan jumlah golput hanya 3,6
persen.
Pada Pemilu 1992 tingkat partisipasi politik pemilih mencapai 95,1 persen dan jumlah
golput mencapai 4,9 persen. Untuk Pemilu 1997 tingkat partisipasi politik pemilih
mencapai 93,6 persen dan jumlah golput mulai meningkat hingga 6,4 persen.
Pasca-reformasi, pada Pemilu 1999 tingkat partisipasi memilih 92,6 persen dan jumlah
Golput 7,3 persen. Angka partisipasi yang memprihatinkan terjadi pada Pemilu 2004,
yakni turun hingga 84,1 persen dan jumlah golput meningkat hingga 15,9 persen.
Pada Pilpres putaran pertama tingkat partisipasi politik pemilih mencapai 78,2 persen
dan jumlah Golput 21,8 persen, sedangkan pada Pilpres putaran kedua tingkat partisipasi
politik pemilih mencapai 76,6 persen dan jumlah golput 23,4 persen.
Pada Pemilu Legislatif tahun 2009 tingkat partisipasi politik pemilih semakin menurun
yaitu hanya mencapai 70,9 persen dan jumlah golput semakin meningkat yaitu 29,1 persen.
Pada Pilpres 2009 tingkat partisipasi politik pemilih mencapai 71,7 persen dan jumlah
golput mencapai 28,3 persen.
8
Demokrasi dikatakan terkonsolidasi apabila terdapat regulitas, adanya rutinitas dan
kesinambungan, didalam mekanisme berdemokrasi. Misalnya, adanya pemilu yang jujur
dan adil secara periodik, yang memungkinkan adanya perrgantian pemimpin atau
pertanggung jawaban secara politik. Selain itu, semua pihak baik elite maupun massa
menikmati mekanisme semacam itu. Dengan demikian demokrasi tidak akan hanya
menguntungkan kelompok-kelompok tertentu saja. Kalaupun ada yang menguntungkan
dan merugikan, hal itu tidak lepas dari adanya keterbatasan sumber-sumber yang
diperebutkan. Tetapi semua dilakukan secara adil dan terbuka, termasuk adanya
keterbukaan untuk mengontrol kebijakan-kebijakan yang dipandang ketimpanganketimpangan semaccam itu.
Belajar dari realitas semacam itu, upaya untuk membangun sistem politik yang
demokratis pada dasarnya tidak hanya berkaitan dengan desain kelembagaan. Selain itu,
juga perlu perbaikan budaya politik pada tingkat individu, baik pada tataran elite aupun
massa. Merujuk pada pandangan Schandler, konsolidasi demokrasi tidak lepas dari konteks
struktural yang melingkupinya, sikap-sikap dan perilaku-perilaku para aktor yang terlibat
didalamnya.
Ditingkat
kelembagaan,
penataan
lembaga-lembaga
politik
yang
memungkinkan adanya bangunan sistem politik yang demokratis, maupun menghasilkan
para wakil yang responsif dan accountable, perlu diperkuat dan dilaksanakan secara
konsisten. Tidak hanya itu, desain pemilu tertentu juga diperlukan untuk menghasilkan
sistem pemilu tertentu juga diperlukan untuk menghasilkan sistem kepartaian yang
memungkinkan terwujudnya pemerintahan yang stabil. Melalui bangunan yang seperti itu,
partisispasi masyarakat juga dimungkinkan terjadi. Dengan demikian maka terdapat
keterkaitan antara para elite dan anggota masyarakat yang memilihnya. Artinya, para elite
itu merupakan refleksi dari apa yang terjadi didalam masyarakat mampu merumuskan,
membuat dan mengimplementasikan kebijakan-kebijakan bersama sebagaimana diinginkan
oleh masyarakat.
9
2.5 Partisipasi Publik dan Budaya Politik
Masih rendahnya partisipasi publik di dalam proses pembuatan dan pelaksaan
kebijakan kebijakan publik di indonesia merupakan bukti betapa desain kelembagaan sja
tidak cukup seperangkat kelembagaan sepertu itu adanya uu yang menjamin kebebasan
nerpendapat,berkspresi dan bersosialisasi,serta adanya peluanvbagi wakil dan terwakil
untuk berinteraksi (engagent)tidak serta merta mendorong adanya partisipasi politik itu.
Jauh sebelum jatuhnya pemerintahan orede baru ,wiliam liddle (988) menepatkan
budaya politik indonesia didalam kontek tronsformasi dari budaya politik tradisional ke
budaya politik moderen.budaya politik tradisonal dipengaruhi olevoelh beragam
etnis,agama ,dan budaya budaya lokal lainnya.sementra itu budaya politik moderen
dipengaruhi oleh budaya barat.
Ketidak puasan terhafap kinerja pemerintahan atau para wakil,itu tidak hanya
diwujudkan dalam bentuk menghukum .ketidak puasan iyu juga melahirkan distrust dari
para memilij yanh memicu pada suatu keputisan untuk tifak ikut dalam pemilu dan trtlibat
dalam partisipan publik lainnya
10
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Di indonesia proses demokratisasi juga melibatkan desain kelembagaan yang
memungkinkan terbangunnya rangka kerja demokrasi seperti itu,tertapi satu dekade proses
demokratisasi pasca runtuhnya pemerintahan soeharto telah menunjukan betapa upaya
untuk mewujudkan kerangka seperti itu tidak lah mudah untuk dilakukan
Penting tidaknya demokrasi perwakilan dan demokrasi langsung atau partisipatoris
telah menjadi perdebatan panjagn dikalangan ilmuwan politik dalam decade – decade
belakangan. Dalam lebih dari satu dekade proses demokratisasi, Indonesia telah mengalami
proses pelembagaan demokratisasi yang cukup bermakna. Hal ini terlihat dari mulai
adanya penataan pembagian kekuasaan yang memungkinkan terjadinya mekanisme checks
and balance, pelembagaan sistem kepartaian dan improvisasi sistem pemilu, sampai yang
berkaitan dengan relasi antara pemerintah pusat sampai daerah. Meskipun demikian,
perbaikan kelembagaan itu, dalam sejumlah hal, masih dalam bentuk ‘eksperimen’. Upaya
untuk memperbaiki sistem pemilu agar tercipta para wakil yang memiliki relasi beik
dengan
konstituen,
misalnya,
masih
belum
mencapai
sasaran. Disconnect
electoral, meskipun sistem pemilu sudah di improvisasi untuk perbaikan.
11
DAFTAR PUSTAKA
Kacung Marijan, Sistem Politik Indonesia Konsolidasi Demokrasi Pasca Orde Baru
(Jakarta: Kencana Predana Media Group, 2010).
12
Download