Uploaded by Maria Singgih

RESUME JIWA

advertisement
RESUME
PERAN PERAWAT JIWA, PELAYANAN KEPERAWATAN JIWA
DALAM SITUASI BENCANA DAN KONSEPTUAL MODEL DALAM
KEPERAWATAN JIWA
PERAN PERAWAT JIWA
Peran perawat kesehatan jiwa mempunyai peran yang bervariasi dan spesifik
(Dalami, 2010). Aspek dari peran tersebut meliputi kemandirian dan kolaborasi
diantaranya adalah:
1.
Pelaksana asuhan keperawatan
Perawat memberikan pelayanan dan asuhan keperawatan jiwa kepada
individu, keluarga dan komunitas. Dalam menjalankan perannya, perawat
menggunakan konsep perilaku manusia, perkembangan kepribadian dan
konsep kesehatan jiwa serta gangguan jiwa dalam melaksanakan asuhan
keperawatan kepada individu, keluarga dan komunitas. Perawat melaksanakan
asuhan keperawatan secara komprehensif melalui pendekatan proses
keperawatan jiwa, yaitu pengkajian, penetapan diagnosis keperawatan,
perencanaan tindakan keperawatan, dan melaksanakan tindakan keperawatan
serta evaluasi terhadap tindakan tersebut.
2.
Pelaksana pendidikan keperawatan
Perawat memberi pendidikan kesehatan jiwa kepada individu, keluarga dan
komunitas agar mampu melakukan perawatan pada diri sendiri, anggota
keluarga dan anggota masyarakat lain. Pada akhirnya diharapkan setiap
anggota masyarakat bertanggung jawab terhadap kesehatan jiwa.
3.
Pengelola keperawatan
Perawat harus menunjukkan sikap kepemimpinan dan bertanggung jawab
dalam mengelola asuhan keperawatan jiwa. Dalam melaksanakan perannya
ini perawat diminta menerapkan teori manajemen dan kepemimpinan,
menggunakan berbagai strategi perubahan yang diperlukan, berperan serta
dalam aktifitas pengelolaan kasus dan mengorganisasi pelaksanaan berbagai
terapi modalitas keperawatan.
4.
Pelaksana penelitian
Perawat mengidentifikasi masalah dalam bidang keperawatan jiwa dan
menggunakan hasil penelitian serta perkembangan ilmu dan teknologi untuk
meningkatkan mutu pelayanan dan asuhan keperawatan jiwa.
PELAYANAN KEPERAWATAN JIWA DALAM SITUASI BENCANA
Bencana adalah peristiwa atau ranggkaian peristiwa yang mengancam dan
mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan oleh alam
atau faktor manusia, sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia,
kerusakan lingkungan, kerugian harata benda, dampak psikologis.
Berikut reaksi-reaksi individu saat terjadi bencana diantaranya:
1.
Reaksi individu segera (24 jam) setelah bencana :
1) Tegang, cemas, panik
2) Terpaku, linglung, syok, tidak percaya.
3) Lelah, bingung
4) Gelisah, menangis, menarik diri
5) Merasa bersalah
2.
Minggu pertama – ketiga setelah bencana :
1) Ketakutan, waspada, sensitif, mudah marah, kesulitan tidur
2) Khawatir, sangat sedih
3) Mengulang-ngulang kembali kejadian
4) Bersedih
5) Reaksi positif yang masih dimiliki : berharap atau berpikir tentang masa
depan, terlibat dalam kegiatan menolong dan menyelamatkan
6) Menerima bencana sebagai takdir.
3.
Lebih dari 3 minggu setelah bencana :
1) Kelelahan
2) Merasa panik
3) Kesedihan terus berlanjut, pesimis dan berpikir tidak realistis
4) Tidak beraktivitas, isolasi sosial, menarik diri
5) Kecemasan : yang dimanifestasikan dengan palpitasi, pusing, letih, mual,
sakit kepala.
6) Stres, berduka, dan berkabung
Beberapa tindakan keperawatan dalam mengelola bencana diantaranya:
1.
Program antisipatif untuk kondisi pra bencana
2.
Tindakan segera untuk kondisi segera setelah bencana
3.
Pemulihan untuk kondisi pasca bencana
Tindakan saat terjadi bencana yaitu:
1.
Segera (24 jam) setelah bencana :
1) Pertolongan kedaruratan untuk masalah-masalah fisik
2) Memenuhi kebutuhan standar
3) Untuk membantu individu melalui fase krisisnya maka perawat perlu
memfasilitasi kondisi yang dapat menyeimbangkan krisis seperti menjadi
sumber koping bagi klien.
2.
Minggu pertama – ketiga setelah bencana :
1) Berikan informasi yang sederhana dan mudah diakses tentang lokasi
jenazah
2) Bantu mencari anggota keluarga yang terpisah
3) Anjurkan pasien dan keluarga untuk melakukan aktivitas kelompok yang
terorganisir
4) Lakukan aktivitas rekreasi bagi anak-anak
5) Informasikan kpd korban ttg reaksi psikologis normal yg terjadi setelah
bencana. Yakinkan mereka bahwa hal tersebut normal dan berlangsung
sementara, akan hilang dengan sendirinya dan dialami oleh semua orang.
6) Informasikan tentang reaksi stres yang normal pada masyarakat secara
massal. Bantu melakukan manajemen stress secara individu, keluarga,
maupun kelompok
7) Motivasi para korban untuk bekerja bersama memenuhi kebutuhan mereka
seperti membersihkan lokasi bersama-sama
8) Libatkan keluarga yang masih sehat dalam pelaksanaan bantuan
9) Pastikan distribusi bantuan merata
3.
Setelah minggu ketiga bencana
1) Pada fase ini tindakan yang dapat dilakukan adalah tindakan psikososial
secara umum dan tindakan psikososial khusus.
2) Tujuan melakukan tindakan psikososial secara umum adalah sebagian
besar klien dan keluarga mampu beradaptasi terhadap kondisi psikososial
dengan menggunakan mekanisme koping yang dimiliki walaupun
dukungan dari keluarga/orang lain di lingkungannya sangat minim atau
tidak ada.
4.
Tindakan psikososial secara umum :
1) Identifikasi individu dengan koping yg tdk efektif
2) Bina hubungan saling percaya
3) Penuhi kebutuhan fisik yang mendesak
4) Mobilisasi dukungan sosial
5) Cegah timbulnya bahaya yg lain (seperti berjangkitnya penyakit menular)
6) Mulai berkomunikasi : mendengarkan masalah mereka, sampaikan
keprihatinan, berikan bantuan yang berkelanjutan
7) Sampaikan bahwa semua korban bencana merasakan perasaan yang sama
5.
Tindakan psikososial khusus
1) Konseling terhadap trauma
 Dengarkan ungkapan perasaan pasein dengan penuh perhatian
 Tanyakan dan klarifikasi untuk menggali lagi pengalamannya tetapi
jangan memaksa bila pasien menolak
 Coba untuk memahami penderitaan yang dialami pasien dan
keluarganya
 Sampaikan bahwa perawat akan selalu membantu dan perlihatkan
bahwa perawat memahami apa yang dirasakannya
 Sampaikan bahwa orang lainpun akan mengalami hal yang sama bila
mengalami kejadian seperti yang dialami pasien
2) Konseling terhadap proses berduka
 Lakukan pendekatan dengan cara yang lemah lembut
 Tanyakan tentang kondisi keluarganya dan kemudian bicarakan
tentang korban yang meninggal
 Motivasi untuk berbagi informasi tentang anggota keluarga yang
meninggal
 Fokuskan pembicaraan pada hubungan dengan orang-orang terdekat
sebelum bencana dan arti kehilangan secara pribadi
3) Bimbingan antisipasi
 Bantu pasien untuk menerima bahwa reaksi yang mereka perlihatkan
adalah normal sehingga dapat mengurangi rasa tidak berarti dan putus
asa
 Berikan informasi tentang reaksi stress yang alamiah dan intensitas
perasaan dapat berkurang seiring dengan berjalannya waktu
 Lakukan pertemuan yang berisi informasi yang perlu diketahui korban
 Jangan fokuskan perhatian hanya pada reaksi akibat stress secara
individu, tetapi fokuskan pada kekuatan kelompok untuk menghadapi
krisis secara bersama-sama
4) Konseling krisis
 Bersama pasien mengidentifikasi masalah yang menyebabkan pasien
meminta pertolongan
 Bantu pasien untuk membuat daftar alternatif dan strategi untuk
mengatasi masalahnya
 Bantu klien untuk menilai dukungan sosial yang tersedia untuknya
 Bantu klien untuk mengambil keputusan yang tepat bagi dirinya
 Bantu klien untuk melaksanakan keputusan yang sudah diambil
 Mendiskusikan persepsi klien tentang kemampuannya
5) Konseling untuk menyelesaikan masalah
 Mengidentifikasi masalah
 Mengidentifikasi alternatif pemecehan masalah melalui curah
pendapat
 Bandingkan keuntungan dan kerugian dari tiap penyelesaian masalah
 Identifikasi solusi yang paling sesuai untuk pasien
 Implementasikan bentuk penyelesaian yang telah dipilih
KONSEPTUAL MODEL DALAM KEPERAWATAN JIWA
Model konseptual keperawatan jiwa mengurai situasi yang terjadi dalam
situasi lingkungan atau stresor yang mengakibatkan seseorang individu berupa
menciptakan perubahan yang adaktif dengan menggunakan sumber-sumber yang
tersedia. Model konseptual keperawatan jiwa mencerminkan upaya menolong
orang tersebut mempertahankan keseimbangan melalui mekanisme koping yang
positif unutk mengatasi stresor ini.
Konseptual model keperawatan, dapat dikelompokkan menjadi beberapa
model yaitu :
1.
Model psikoanalisa ( Freud, Erickson )
Model ini menjelaskan bahwa gangguan jiwa dapat terjadi pada seseorang
apabila ego (akal) tidak berfungsi dalam mengontrol id (kehendak nafsu atau
insting). Ketidakmampuan seseorang dalam menggunakan akalnya ( ego )
untuk mematuhi tata tertib, peraturan, norma, agama (super ego/das uber ich),
akan mendorong terjadinya penyimpangan perilaku (defiation of behavioral).
Proses terapeutik Psikoanalisa memakai : Free association, analisa mimpi dan
transfer untuk membentuk kembali perilaku. Free association : mencurahkan
seluruh pikiran dan perasaan tanpa ada sensor. Terapist akan mencari pola katakata dan area yang secara tidak sadar dihindari. Kemudian dibandingkan
dengan ilmu terapist tentang pengetahuan tentang jiwa dan konflik. konflik
yang dihindari klien dianggap hambatan dan harus diselesaikan. Analisa mimpi
menjadi gambaran konflik intra psikis yang menjadi hambatan klien dalam
berperilaku. Simbol-simbol mimpi dianalisa dan disimpulkan. Kedua proses
ini dilengkapi dengan transfer yaitu terapist menjadi sasaran perilaku atau
perasaan klien.
2.
Model interpersonal
Teori ini dikemukakan oleh Harri Stack Sullivan. Dia menganggap perilaku itu
merupakan bentukan karena adanya interaksi dengan orang lain atau
lingkungan sosial. Kecemasan disebabkan perilakunya tidak sesuai atau tidak
diterima orang lain sehingga akan ditolak oleh lingkungan. Perilaku timbul
karena adanya dorongan untuk kepuasan dan dorongan untuk keamanan.
Perilaku karena adanya dorongan untuk memuaskan diri disebabkan karena
adanya kelaparan, tidur, kenyamanan dan kesepian. Keamanan berhubungan
dengan penyesuaian diri terhadap nila-nilai budayaseperti nilai-nilai
masyarakat dan suku. Sulivan beranggapan bila kemampuan untuk memenuhi
kebutuhan akan kepuasan dan keamanan terganggu maka dia akan mengalami
sakit mental.
3.
Model sosial
Konsep ini dikemukan oleh Gerard Caplan, yang menyatakan bahwa perilaku
dipengaruhi lingkungan sosial dan budaya. Caplan percaya bahwa situasi sosial
dan menjadi faktor predisposisi klien mengalami gangguan mental, seperti
kejadian kemiskinan, masalah keluarga dan pendidikan yang rendah. Karena
kondisi ini akhirnya individu mengalami ketidakmampuan mengkoping stes,
ditambah
lagi
dukungan
dari
lingkungan
sangat
sedikit.
Individu
mengembangkan koping yang patologis. Krisis juga bisa menyebabkan klien
mengalami perubahan perilaku. Koping yang selama ini dipakai dan dukungan
dari lingkungan tidak dapat dipakai lagi sehingga klien mengalami
penyimpangan perilaku.
4.
Model eksistensi
Menurut teori model eksistensi ganguan prilaku atau ganguan jiwa terjadi bila
individu gagal menemukan jati dirinya dan tujuan hidupnya. Individu tidak
memiliki kebanggan akan dirinya. Membenci diri sendiri dan mengalami
ganguan dalam body image – nya.
5.
Model komunikasi
Konsep ini dikemukan oleh Eric Berne. Dia mengatakan bahwa setiap perilaku,
baik verbal maupun non verbal adalah bentuk komunikasi. Ketidak mampuan
komunikasi mengakibatkan kecemasan dan frustasi.
6.
Model behavioral
Konsep ini berdasarkan teori belajar, dan mengatakan bahawa semua perilaku
itu dipelajari. Perilaku seseorang karena dia belajar itu dari lingkungannya.
Fokus konsep ini terletak pada tindakan, bukan pada pikiran atau perasaan
individu. Perubahan perilaku membuat perubahan pada kognitif dan afektif.
7.
Model medical
Menurut konsep ini ganguan jiwa cendrung muncul akibat multi factor yang
kompleks meliputi aspek fisik, genetic, lingkungan dan factor sosial. Sehingga
focus penatalaksanaannya harus lengkap melalui pemeriksaan diagnostic,
terapi somatic, farmakologi, dan teknik interpersonal.
8.
Model keperawatan
Konsep ini dikemukan oleh Dorethea, Orem, Joan Richi, Roy dan Martha
Rogers. Konsep ini berdasarkan teori sistem, teori perkembangan dan teori
interaksi yang bersifat holistik : bio-psiko-sosial spiritual. Perawat mengarah
pada perubahan perilaku, menyediakan waktu banyak, menciptakan hubungan
yang terapeutik dan sebagai pembela klien.
Download