Uploaded by Alfarisy Gmf

MENJADI GURU YANG DIGUGU LAN DITIRU

advertisement
MENJADI GURU YANG DIGUGU LAN DITIRU
Oleh : Jadid Al Farisy, S.Pd
Dalam kerata basa sastra Jawa, sebutan guru mempunyai arti digugu lan ditiru. Dua kata yang
sederhana namun mengandung makna yang sangat dalam. Arti tekstual dari digugu adalah dipercaya,
dita’ati, atau dituruti. Sedangkan ditiru, berarti yang dicontoh atau dijadikan teladan. Dari kedua kata
tersebut, sudah begitu gamblang menjelaskan secara esensi bagaimana seharusnya menjadi seorang
guru itu.
Begitu mendalamnya pemaknaan terhadap seorang guru dalam lingkup pemahaman masyarakat Jawa.
Seseorang yang menjadi subjek untuk dita’ati dan diteladani, tentu saja bukan orang yang
sembarangan. Ia harus benar-benar secara dhohir dan batin mempunyai daya linuwih untuk pantas
dijadikan panutan. Daya linuwih di sini bisa berarti ilmunya yang nyegara dan juga akhlaqnya yang
mulia.
Pada hakikatnya, untuk menjadi seorang guru tidaklah mudah seperti menjalani profesi dan pekerjaan
yang lain. Seorang guru terlebih dahulu dituntut untuk bisa menjadi guru bagi dirinya sendiri sebelum
menjadi guru untuk orang lain. Ia harus bisa menyetel hati, ucapan dan perilaku dirinya lebih dahulu
sebelum mendidik akhlaq para muridnya. Apa yang diperintahkan pada muridnya haruslah benar-benar
ia telah lebih dulu mengamalkannya.
Seorang guru dalam prosesnya tidak hanya bertugas mentransfer ilmu pengetahuan saja, namun juga
harus bisa mendidik dan membimbing sang murid agar mempunyai budi pekerti yang luhur. Kedua
fungsi inilah yang merupakan pengejahwantahan dari makna yang tersirat dalam kata guru, digugu
kealiman ilmunya dan ditiru kewira’ian akhlaqnya.
Jika berbicara tentang guru, maka tidak sekedar tentang profesi dan status sosial di masyarakat. Lebih
dari itu, sejatinya menjadi guru adalah kewajiban ruhaniyah semua. Apalagi orang yang mempunyai
ilmu, maka wajib untuk mengamalkan dengan menyampaikannya pada orang lain. Jangan sampai ilmu
yang dimiliki hanya seperti pohon yang tidak berbuah. Seperti yang disebutkan dalam maqolah Arab,
al ‘ilmu bila amalin, kassajari bila tsamarin. Pemahaman ini mengisyaratkan bahwa semua orang pun
bisa menjadi dan dianggap sebagai guru, baik bagi diri, keluarga maupun masyarakat sekitarnya.
Idealnya, seorang guru harus bisa meneladani Nabi Muhammad SAW melalui sifat kerosulan beliau.
Adapun sifat-sifat wajib yang ada dalam diri Rosul adalah Shidiq, Amanah, Tabligh dan Fatonah. Jika
tidak bisa meneladani secara sempurna, paling tidak keempat sifat tersebut harus menjadi ruh yang
melambari niat dan acuan segala ucapan dan tindak laku kita sebagai seorang guru.
Sifat yang pertama adalah shidiq yang berarti jujur. Seorang guru harus menjunjung tinggi nilai-nilai
kejujuran. Saat-saat ini, nampaknya nilai kejujuran sudah tidak begitu diutamakan. Tidak bermaksud
merendahkan, nyatanya saat ini banyak sekali kaum terpelajar yang tergolong cerdik cendekia, namun
potensi kepandaiannya itu digunakan menjadi senjata untuk merugikan orang lain. Dalam masyarakat
jawa biasanya disebut dengan idiom pinter nanging gawe minteri. Seorang guru yang menggenggam
nilai kejujuran dalam ucapan, hati dan perilakunya, ia bagaikan pelita yang menerangi jiwa anak
didiknya. Guru ibarat sebuah kendhi yang berisi air. Jika dalamnya kendhi serta airnya bersih, maka
yang dialirkan ke gelas, cangkir dan wadah-wadah yang lain tentunya juga akan bersih.
Selanjutnya sifat rosul yang kedua, yaitu amanah atau dapat dipercaya. Seorang guru yang amanah,
pastilah ia akan bersungguh-sungguh dari hati untuk melaksanakan setiap tugas yang diembannya.
Seorang guru dituntut untuk blakasutha, apa adanya, dan selalu mengedepankan kesungguhan dalam
pengabdiannya. Jika sedikit saja sikap tidak amanah itu menghinggapi diri seorang guru, maka
bagaimana bisa menjamin anak didiknya yang notabene adalah seorang generasi penerus bangsa bisa
akan ngugemi kesungguhan. Jika seorang pendidik saja sudah akrab dengan istilah khianat, bagaimana
dengan keadaan anak-anak yang berada dalam didikannya?
Pada sifat tabligh, seorang guru harus bisa menyampaikan semua ilmunya pada anak didiknya tanpa
harus ada yang disembunyikan. Terkait macam-macam personal guru perihal cara menyampaikan ilmu,
penulis pernah mendengar sebuah lelucon tapi juga bisa untuk diambil pelajaran. Bahwa seorang guru
dalam lembaga pendidikan tidaklah sama dengan guru dalam dunia persilatan. Seorang guru dalam
dunia pendidikan akan memberikan semua ilmu yang ia punya pada muridnya. Ia pun akan merasa
sangat bangga dan bahagia jika ada anak didiknya yang bisa melebihinya dalam hal keilmuan maupun
pengetahuan. Lain halnya dengan guru dalam perguruan silat, meskipun semua ilmu kanuragan telah ia
turunkan ke muridnya, namun tetap ia masih menyimpan satu ilmu pamungkas yang suatu saat bisa
diandalkannya, misalnya dalam keadaan genting ketika sang murid asuhannya ada yang berkhianat dan
memusuhinya. Begitulah yang sering diceritakan dalam film-film dunia persilatan.
Selanjutnya pada sifat fathonah yang berarti cerdas. Seorang guru haruslah mempunyai berbagai
macam kecerdasan. Cerdas disini tidak berarti hanya dalam ranah IQ (Intelligence quotient) saja,
namun juga termasuk EQ (emotional quotient) dan SQ (spiritual quotient). Dalam proses transfer ilmu
pengetahuan, IQ mutlak dibutuhkan. Namun sebagai pendidik, seorang guru harus membekali dirinya
dengan kecerdasan emosional agar mampu dengan mudah berkomunikasi dan memahami anak
didiknya. Sedangkan seorang guru yang menguasai kecerdasan spiritual, ia akan dengan mudah
melambari semua pengabdian dan perjuangannya lillahi ta’ala. Jika sudah demikian, maka semua
aktifitas, baik proses transfer ilmu pengetahuan maupun mendidik akan berada dalam lingkar ikhtiar
dhohir dan batin. Usaha untuk menjadikan anak didiknya sukses sejatinya tidak hanya berkutat pada
proses pembelajaran saja, tetapi harus diiringi juga dengan tirakat dari guru tersebut dengan
mendo’akan sang murid tiada putus.
Tugas yang diemban seorang guru sungguh amatlah berat. Karena guru adalah orang tua kedua bagi
para murid, ia juga harus bertanggung jawab baik secara keilmuan, sikap dan perilaku yang telah
diajarkan pada anak-anaknya. Tanggung jawab tersebut tidak hanya berakhir ketika sang anak sudah
lulus sekolah. Karena secara batin, sanad keilmuan itu akan terus ada antara sang guru dengan anak
muridnya. Bahkan sanad keilmuan tersebut masih tersambung hingga pada keilmuan gurunya guru
tersebut hingga terus ke atas. Hal inilah yang kemudian bisa menjadi sebab berkah dan manfaatnya
ilmu yang dimiliki sang murid dikemudian hari, tentunya dengan prasyarat sang murid tetap menjaga
ketawadhuannya pada gurunya. Karena sampai kapanpun, hubungan seorang guru dan murid tidak
pernah mengenal kata bekas atau mantan.
Lamongan, 26 November 2019
Download