Uploaded by Recca Damayanti

prilaku komunitas perkotaan dalam mengonsumsi produk halal-2013

advertisement
PERILAKU KOMUNITAS MUSLIM
PERKOTAAN DALAM MENGONSUMSI
PRODUK HALAL
Editor:
Muchith A. Karim
KEMENTERIAN AGAMA RI
BADAN LITBANG DAN DIKLAT
PUSLITBANG KEHIDUPAN KEAGAMAAN
JAKARTA, 2013
Perpustakaan Nasional: katalog dalam terbitan (KDT)
perilaku komunitas muslim perkotaan dalam mengonsumsi produk halal/Puslitbang
Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI
edisi I, Cet. 1 ……
Jakarta, Badan Litbang dan Diklat, Kementerian Agama RI
xxviii + 115 hlm; 14,8 x 21 cm
ISBN : 978-979-797-354-4
Hak Cipta pada Penerbit
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara apapun, termasuk
dengan cara menggunakan mesin fotocopy, tanpa izin sah dari penerbit
Cetakan Pertama, Nopember 2013
PERILAKU KOMUNITAS MUSLIM PERKOTAAN DALAM MENGONSUMSI PRODUK
HALAL
Editor:
Muchith A Karim
Desain cover dan Lay out, oleh:
Zabidi
Penerbit:
Puslitbang Kehidupan Keagamaan
Badan Litbang dan Diklat
Kementerian Agama RI
Jl. MH. Thamrin No. 6 Jakarta
Telp./Fax. (021) 3920425, 3920421
www.puslitbang1.balitbangdiklat.co.id
KATA PENGANTAR
KEPALA PUSLITBANG KEHIDUPAN
KEAGAMAAN
uji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan
Yang Maha Esa atas segala rahmat dan karuniaNya yang tiada terhingga, sehingga kami dapat
merealisasikan ”Penerbitan Naskah Buku Kehidupan
Keagamaan”. Penerbitan buku tahun 2013 ini merupakan
hasil penelitian Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Badan
Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI pada tahun 2012.
Buku hasil penelitian yang diterbitkan sebanyak 8
(delapan) naskah. Buku-buku yang dimaksud sebagai berikut:
1. Survei Nasional Kerukunan Umat Beragama di Indonesia.
2. Efektivitas Pengawasan Fungsional bagi Peningkatan Kinerja
Aparatur Kementerian Agama.
3. Menelusuri Makna di Balik Fenomena Perkawinan di
Bawah Umur dan Perkawinan Tidak Tercatat.
4. Perilaku Komunitas Muslim Perkotaan dalam Mengonsumsi
Produk Halal.
5. Pandangan Pemuka Agama terhadap Kebijakan Pemerintah
Bidang Keagamaan.
6. Pandangan Pemuka Agama terhadap Ekslusifisme Agama di
Berbagai Komunitas Agama.
iii
7. Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina
Damai Etnorelijius di Indonesia.
8. Peran Pemerintah Daerah dan Kementerian Agama dalam
Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama.
Kami berharap penerbitan naskah buku hasil penelitian
yang lebih banyak menyampaikan data dan fakta ini dapat
memberikan kontribusi bagi pengembangan khazanah sosial
keagamaan, serta sebagai bahan masukan bagi para
pengambil kebijakan tentang pelbagai perkembangan dan
dinamika sosial keagamaan. Di samping itu, diharapkan pula
buku-buku ini dapat dijadikan sebagai acuan bagi berbagai
pihak tentang informasi kehidupan keagamaan di Indonesia.
Dengan selesainya kegiatan penerbitan naskah buku
kehidupan keagamaan ini, kami mengucapkan terima kasih
kepada:
1. Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI
yang telah memberikan kepercayaan, arahan dan
sambutan bagi terbitnya buku-buku ini.
2. Para pakar yang telah sudi membaca dan memberikan
prolog atas buku-buku yang diterbitkan.
3. Para peneliti sebagai editor yang telah menyelaraskan
laporan hasil penelitian menjadi buku, dan akhirnya dapat
hadir di depan para pembaca yang budiman.
4. Kepada semua fihak yang telah memberikan kontribusi
bagi terlaksananya program penerbitan naskah buku
kehidupan keagamaan ini.
5. Tim Pelaksana Kegiatan, sebagai penyelenggara.
iv
Apabila dalam penerbitan buku ini masih ada hal-hal
yang perlu perbaikan, kekurangan dan kelemahannya baik
dari sisi substansi maupun teknis, kami mohon maaf dan
berharap masukan serta saran untuk penyempurnaan dan
perbaikan buku-buku yang kami terbitkan selanjutnya dan
semoga bermanfaat. Semoga bermanfaat.
Jakarta,
Oktober 2013
Kepala,
Puslitbang Kehidupan Keagamaan
Prof. Dr. H. Dedi Djubaidi, M.Ag.
NIP. 19590320 198403 1 002
v
vi
Perilaku Komunitas Muslim Perkotaan dalam Mengonsumsi Produk Halal
SAMBUTAN
KEPALA BADAN LITBANG DAN DIKLAT
KEMENTERIAN AGAMA RI
Assalamu‟alaikum wr, wb.
K
omunitas muslim di seluruh dunia telah
membentuk segmen pasar yang potensial
dikarenakan
pola
khusus
mereka
dalam
mengonsumsi suatu produk. Pola konsumsi ini diatur dalam
ajaran Islam yang disebut dengan syari‟at. Dalam ajaran
syari‟at, tidak diperkenankan kaum muslim untuk
mengonsumsi produk-produk tertentu karena substansi yang
dikandungnya atau proses yang menyertainya tidak sesuai
dengan ajaran syari‟at tersebut. Dengan adanya aturan yang
tegas ini maka para pemasar memiliki sekaligus barrier dan
kesempatan untuk mengincar pasar khusus kaum muslim.
Populasi kaum muslimin yang sedemikian besar
menjadi pasar yang potensial untuk dimasuki. Meskipun
negara sekelas Amerika Serikat yang notabene jumlah kaum
muslimin di sana adalah minoritas, namun diperkirakan ada
sekitar empat sampai sembilan juta orang yang memeluk
agama Islam, yang pola belanja dan konsumsi produk mereka
sejalan dengan ajaran agama Islam atau ingin menyesuaikan
pola konsumsinya dengan ajaran agamanya. Indonesia
sendiri, dengan populasi kaum muslimin yang mencapai 87%
dari jumlah total warga negara, dengan sendirinya pasar
Indonesia merupakan pasar konsumen muslim yang demikian
besar.
Pemahaman yang semakin baik tentang agama membuat
konsumen muslim menjadi semakin selektif dalam pemilihan
produk yang dikonsumsi. Khusus di Indonesia konsumen
muslim dilindungi oleh lembaga yang secara khusus bertugas
vii
Sambutan Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI
untuk mengaudit produk-produk yang dikonsumsi oleh
konsumen muslim di Indonesia. Lembaga ini adalah Lembaga
Pengawasan dan Peredaran Obat dan Makanan - Majelis
Ulama Indonesia (LPPOM-MUI). Lembaga ini mengawasi
produk yang beredar di masyarakat dengan cara memberikan
sertifikat halal sehingga produk yang telah memiliki sertifikat
halal tersebut dapat memberi label halal pada produknya.
Artinya produk tersebut secara proses dan kandungannya
telah lulus diperiksa dan terbebas dari unsur-unsur yang
dilarang oleh ajaran agama Islam, atau produk tersebut telah
menjadi kategori produk halal dan tidak mengandung unsur
haram dan dapat dikonsumsi secara aman oleh konsumen
muslim.
Produk-produk yang mendapat pertimbangan utama
dalam proses pemilihannya berdasarkan ketentuan syari‟at
yang menjadi tolok ukur untuk konsumen muslim adalah
produk-produk makanan dan minuman. Ketidakinginan
masyarakat muslim untuk mengonsumsi produk-produk
haram akan meningkatkan keterlibatan yang lebih tinggi
dalam proses pemilihan produk (high involvement). Dengan
begitu akan ada produk yang dipilih untuk dikonsumsi dan
produk yang disisihkan akibat adanya proses pemilihan
tersebut. Proses pemilihannya sendiri akan menjadikan
kehalalan sebagai parameter utamanya. Ketentuan ini
membuat keterbatasan pada produk-produk makanan untuk
memasuki pasar umat muslim. Konsumen muslim sendiri
juga bukan tanpa kesulitan untuk memilih produk-produk
yang mereka konsumsi menjadi produk dalam kategori halal
dan haram. Tentunya untuk memeriksakan sendiri kondisi
kehalalan suatu produk adalah kurang memungkinkan. Hal
viii
Perilaku Komunitas Muslim Perkotaan dalam Mengonsumsi Produk Halal
ini berkaitan dengan masalah teknis dalam memeriksa
kehalalan suatu produk, seperti uji kimia, pengamatan proses
serta pemeriksaan kandungan produk.
Perilaku komunitas ini dalam mengonsumsi produk
halal sesungguhnya bergantung bagaimana mereka memiliki
pengetahuan tentang apa itu halal. Meskipun ajaran agama
telah memberikan panduan yaitu melalui al-Qur’an dan
Hadits akan tetapi dengan arus informasi dan berkembangnya teknologi kemasan produk telah memberikan penawaran yang menggiurkan dapat mempengaruhi perilaku itu
sendiri. Perilaku dalam mengonsumsi produk halal dapat
dilihat dari seberapa sering mereka mengonsumsi produk
yang telah ada label halal, seberapa sering mereka mengonsumsi produk yang diragukan kehalalannya serta seberapa
sering mereka mengajak orang lain untuk mengonsumsi
produk halal dan mencegah orang lain mengonsumsi produk
tidak halal. Selain faktor pengetahuan akan produk halal,
persepsi terkait pentingnya halal itu sendiri dapat berpengaruh terhadap perilaku. Persepsi itu dapat berupa keyakinan yang tinggi akan pentingnya mengonsumsi produk halal,
tingkat harapan/keinginan komunitas muslim perkotaan
untuk memperoleh produk halal serta persepsi tentang
pentingnya labelisasi halal.
Tinggi rendahnya pengetahuan dan persepsi komunitas
muslim perkotaan terhadap produk halal tidak terlepas dari
aktifitas keagamaan yang dilakukan. Semakin rajin komunitas
muslim perkotaan mencari informasi terkait produk halal
maka secara alami akan meningkatkan pengetahuan dan
ix
Sambutan Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI
persepsi sikap terhadap produk halal. Faktor lingkungan
seperti ceramah pemuka agama, dorongan keluarga juga ikut
berperan dalam menentukan tingkat pengetahuan dan persepsi itu akan produk halal.
Dalam kesempatan ini kami tak lupa mengucapkan
terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dan
berpartisipasi dalam penyusunan dan penerbitan buku
”Perilaku Komunitas Muslim Perkotaan dalam Mengonsumsi
Produk Halal”. Mudah-mudahan buku ini dapat bermanfaat
bagi kita semua.
Jakarta,
Oktober 2013
Pgs. Kepala
Badan Litbang dan Diklat
Prof. Dr. H. Machasin, MA
NIP. 19561013 198103 1 003
x
Perilaku Komunitas Muslim Perkotaan dalam Mengonsumsi Produk Halal
PROLOG
URGENSI SERTIFIKASI PRODUK HALAL
BAGI UMAT ISLAM
Oleh: Maulana Hasanudin
ِ‫ه انزَحٍِْم‬
ِ ‫هلل انزَحْم‬
ِ ‫بِسْ ِم ا‬
Pendahuluan
K
emajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan
teknologi akhir-akhir ini telah merambah seluruh
aspek bidang kehidupan umat manusia; tidak saja
membawa berbagai kemudahan, kenyamanan, dan kesenangan, melainkan juga menimbulkan sejumlah persoalan.
Aktifitas dan hasil eksperimen baru yang beberapa waktu lalu
tidak pernah dikenal, atau bahkan tidak pernah terbayangkan,
kini hal itu menjadi kenyataan. Di sisi lain, kesadaran
keberagamaan umat Islam di berbagai negeri, termasuk di
Indonesia, pada dasawarsa terakhir ini semakin tumbuh subur
dan meningkat. Sebagai konsekuensi logis, setiap timbul
persoalan, penemuan, maupun aktifitas dan hasil eksperimen
baru sebagai produk dari kemajuan tersebut, umat senantiasa
bertanya-tanya, bagaimanakah kedudukan hal tersebut dalam
pandangan ajaran dan hukum Islam.
Produk-produk olahan, baik makanan, minuman, obatobatan, maupun kosmetika, telah membanjiri pasar Indonesia
yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Produkproduk tersebut banyak mendapat perhatian dari umat Islam,
apalagi jika berasal dari negeri yang penduduknya mayoritas
non muslim, sekalipun bahan bakunya berupa barang suci
dan halal. Sebab, tidak tertutup kemungkinan dalam proses
pembuatannya tercampur atau menggunakan bahan-bahan
(baik sebagai bahan tambahan atau bahan penolong) yang
haram atau tidak suci. Dengan demikian, produk-produk
olahan tersebut bagi umat Islam jelas bukan merupakan
xi
Prolog
persoalan sepele, tetapi merupakan persoalan besar dan
serius. Oleh karena itu, wajarlah jika umat Islam sangat
berkepentingan untuk mendapat ketegasan tentang status
hukum produk-produk tersebut, sehingga apa yang akan
mereka konsumsi tidak menimbulkan keresahan dan
keraguan.
Umat Islam, sejalan dengan ajaran Islam, menghendaki
agar produk-produk yang akan dikonsumsi tersebut dijamin
kehalalan dan kesuciannya. Menurut ajaran Islam, mengonsumsi yang halal, suci, dan baik merupakan perintah agama
dan hukumnya adalah wajib. Cukup banyak ayat dan hadis
menjelaskan hal tersebut. Di antaranya sebagai berikut:
،ِ‫ٌَا أٌٍَُا انىَاسُ كُهُُْا مِمَا فِى اْألَرْضِ حَالَالً طَـٍِـبًا ََالَتَـّتَبِعُُْا خُطَُُاتِ انّشٍَْطَان‬
)868 :‫إِوًَُ نَكُمْ عَدٌَُ مُبٍِْهٌ (انبقزة‬
"Hai sekalian manusia! Makanlah yang halal lagi baik dari
apa yang terda-pat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkahlangkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh
yang nyata bagimu" (QS. al-Baqarah [2]: 168).
ُ‫ٌَا أٌٍَُا انَذٌِْهَ آمَىُُْا كُهُُْا مِهْ طٍَِـبَاتِ مَارَسَقْىَاكُمْ ََاشْكُزَُْا هللِ إِنْ كُىّْتُمْ إٌَِاي‬
)871 :‫تَعْبُدَُْنَ (انبقزة‬
"Hai orang yang beriman! Makanlah di antara rizki yang
baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada
Allah, jika benar-benar hanya kepada-Nya kamu menyembah" (QS.
al-Baqarah [2]: 172).
:‫ ََاتَقُُا اهللَ انَذِيْ أَوّْتُمْ بًِِ مُؤْمِىُُْنَ (انمائدة‬،‫ََكُهُُْا مِمَا رَسَقَكُمُ اهللُ حَالَالً طَـٍِبًا‬
)88
"Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari yang Allah
telah rezkikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu
beriman kepada-Nya" (QS. al-Ma'idah [5]: 88).
xii
Perilaku Komunitas Muslim Perkotaan dalam Mengonsumsi Produk Halal
َ‫ ََاشْكُزَُْا وِعْمَتَ اهللِ إِنْ كُىّْتُمْ إٌَِايُ تَعْبُدَُْن‬،‫فَكُهُُْا مِمَا رَسَقَكُمُ اهللُ حَالَالً طَـٍِبًا‬
)881 :‫(انىحم‬
"Maka makanlah yang halal lagi baik dari rezki yang telah
diberikan Allah kepadamu; dan syukurilah nikmat Allah, jika kamu
hanya kepada-Nya menyem-bah" (QS. al-Nahl [16]: 114).
Ayat-ayat di atas bukan saja menyatakan bahwa
mengonsumsi yang halal hukumnya wajib karena merupakan
perintah agama, tetapi juga menunjukkan bahwa hal tersebut
merupakan salahsatu bentuk perwujudan dari rasa syukur
dan keimanan kepada Allah. Sebaliknya, mengon-sumsi yang
tidak halal dipandang sebagai mengikuti ajaran syaitan.
Mengonsumsi yang tidak halal (haram) menyebabkan
segala amal ibadah yang dilakukan tidak akan diterima oleh
Allah SWT. Nabi saw. dalam sebuah hadisnya menyatakan:
ًِِ‫ ََإِنَ اهللَ أَمَزَ انْمُؤْمِىٍِْهَ بِمَا أَمَزَ ب‬.‫أٌٍََُا انىَاسُ! إِنَ اهللَ طٍَِبٌ الٌََقْبَمُ إِالَ طَـٍِـبًا‬
‫ إِوًِْ بِمَا‬،‫ ٌَاأٌٍََُا انزُسُمُ كُهُُْا مِهَ انطَـٍِـبَاتِ ََاعْمَهُُْا صَاِنحًا‬:َ‫ فَقَال‬.َ‫انْمُزْسَهٍِْه‬
‫ ٌَا أٌٍَُا انَذٌِْهَ آمَىُُْا كُهُُْا مِهْ طٍَِـبَاتِ مَارَسَقْىَاكُمْ (رَاي‬:َ‫ ََقَال‬.ٌ‫تَعْمَهُُْنَ عَهٍِْم‬
1.
.)‫مسهم عه أبً ٌزٌزة‬
"Wahai umat manusia! Sesungguhnya Allah adalah ëayyib
(baik), tidak akan menerima kecuali yang ëayyib (baik dan halal); dan
Allah memerintahkan kepada orang beriman segala apa yang Ia
perintahkan kepada para rasul. Ia berfirman, 'Hai rasul-rasul!
Makanlah dari makanan yang baik-baik (halal) dan kerjakanlah amal
yang saleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan' (QS. al-Mu'minun [23]: 51), dan berfiman pula, 'Hai
orang yang beriman! Makanlah di antara rizki yang baik-baik yang
Kami berikan kepadamu...' (QS. al-Baqarah [2]: 172) (HR. Muslim
dari Abu Hurairah).
1
Imam Muslim, Sahih Muslim, (Bairut: Dar al-Fikr, 1993), juz I, h. 448.
xiii
Prolog
Dalam lanjutan hadis di atas Nabi menceritakan seorang
laki-laki yang melakukan perjalanan panjang, rambutnya
acak-acakan dan badannya berlumur debu. Sambil
menjulurkan tangan ke langit, ia berdoa, 'Ya Tuhan, Ya
Tuhan..." (Berdoa dalam perjalanan, apalagi dengan kondisi
seperti itu, pada umumnya dikabulkan oleh Tuhan --pen.).
Akan tetapi, makanan orang itu haram, minumannya haram,
pakaiannya haram, dan ia selalu menyantap yang haram. Oleh
karena itu, Nabi memberikan komentar, "Jika demikian
halnya, bagaimana mungkin ia akan dikabulkan doanya?"2
Dari uraian singkat di atas jelaslah bahwa masalah halal
dan haram bagi umat Islam sangatlah urgen dan besar artinya,
karena diterimanya suatu amal ibadah oleh Allah SWT sangat
bergantung pada kehalalan segala apa yang dikonsumsi. Oleh
karena itu, wajarlah jika masalah halal dan haram tersebut
mendapat perhatian serius dari umat Islam.
Sertifikat Halal
Jika pada zaman dulu kehalalan dan kesucian makanan,
minuman, obat-obatan dan kosmetika tidak merupakan suatu
persoalan serius karena bahannya jelas-jelas halal dan cara
pemerosesannya pun tidak bermacam-macam, kini tentu
persoalannya tidak sesederhana itu. Sehingga, kita sebagai
umat Islam sering dihadapkan pada pertanyaan seperti,
"Bolehkah kita mengonsumsi makanan anu, bolehkah kita
menikmati minuman anu, bolehkah kita menggunakan obat
atau kosmetika anu?"
Pertanyaan-pertanyaan seperti itu, bagi umat Islam,
tidak dipandang berlebihan. Sebab, bagi mereka, kesucian dan
kehalalan sesuatu yang akan dikonsumsi mutlak harus
diperhatikan, karena hal tersebut sangat menentukan diterima
2
Ibid.
xiv
Perilaku Komunitas Muslim Perkotaan dalam Mengonsumsi Produk Halal
atau ditolaknya amal ibadah kita
sebagaimana telah dikemukakan di atas.
oleh
Allah
SWT
Pertanyaan berikutnya, dapatkah setiap orang
mengetahui produk mana yang halal dan suci, dan produk
mana pula yang haram atau tidak suci? Dengan kemajuan
iptek dan kemampuan rekayasa luar biasa di bidang
pengolahan pangan, obat dan kosmetika dewasa ini, kiranya
cukup beralasan jika dikatakan bahwa untuk mengetahui
kehalalan dan kesucian hal-hal tersebut bukanlah persoalan
mudah. Dengan kata lain, tidak setiap orang (muslim) akan
dengan mudah dapat mengetahuinya. Sebab, untuk
mengetahuinya, diperlukan pengetahuan cukup memadai
tentang pedoman atau kaidah-kaidah syari'ah Islam. Itulah
kiranya apa yang telah disinyalir oleh Nabi SAW dalam
sebuah hadis yang cukup populer:
‫ََبٍَْىٍَُمَا‬
"Yang halal itu sudah jelas dan yang haram pun sudah
jelas; dan di antara keduanya ada hal-hal yang musytabihat
(syubhat, samar-samar, tidak jelas halal haramnya),
kebanyakan manusia tidak mengetahui hukumnya. Barang
siapa hati-hati (menjauhkan diri) dari perkara syubhat,
sungguh ia telah menyelamatkan agama dan harga dirinya..."
(HR. Muslim).3
Hadis ini menunjukkan bahwa yang haram itu sudah
jelas dan yang haram pun sudah jelas; akan tetapi, dalam
hadis itu pun disebutkan cukup banyak pula hal yang samar-
3
h. 171.
Al-Shan'ani, Subul as-Salam, (Bandung: Maktabah Dahlan, t.th.), juz IV,
xv
Prolog
samar (syubhat), yang status hukumnya, apakah ia halal
ataukah haram, tidak diketahui oleh banyak orang.
Produk-produk olahan, baik makanan, minuman, obat
maupun kosmetika menurut hemat penulis kiranya dapat
diketogorikan ke dalam kelompok musytabihat (syubhat),
apalagi jika produk tersebut berasal dari negeri yang
penduduknya mayoritas non muslim, sekalipun bahan
bakunya berupa barang suci dan halal. Sebab, tidak tertutup
kemungkinan dalam proses pembuatannya tercampur atau
menggunakan bahan-bahan yang tidak suci dan/atau haram.
Bagi umat Islam hal tersebut jelas bukan merupakan persoalan
sederhana, tetapi merupakan persoalan besar dan serius.
Terlebih lagi jika mengingat lanjutan hadis di atas yang
menyatakan bahwa "Barang siapa yang terjerumus ke dalam
syubhat, ia terjerumus ke dalam yang haram".
Berdasarkan makna yang tersurat maupun tersirat
dalam hadis tersebut, bagi umat Islam mengonsumsi atau
menggunakan produk olahan --yang menurut hemat penulis
termasuk kelompok musytabitah (syubhat)-- perlu dihindari
kecuali setelah diketahui dengan jelas kehalalannya. Hanya
saja, upaya untuk mengetahui kehalalan suatu produk olahan
dengan cara meneliti secara seksama terhadap bahan-bahan
yang digunakan dan proses pembuatannya bukanlah
pekerjaan mudah. Demikian juga, melarang --dalam arti
mengharamkan-- umat untuk mengonsumsi atau menggunakannya pun akan menimbulkan kesulitan. Oleh karena itu,
untuk menghilangkan, atau setidaknya untuk mengurangi
kesulitan ini, umat Islam hendaknya meneliti terlebih dahulu
apakah produk yang akan dikonsumsi itu sudah memperoleh
Sertifikat Halal dari lembaga yang berkompeten atau belum.
Jika sudah, kiranya tidak perlu meragukan kehalalannya.
Sebab, pada umumnya, sepanjang pengetahuan penulis
lembaga tersebut sangat berhati-hati dan tidak akan
xvi
Perilaku Komunitas Muslim Perkotaan dalam Mengonsumsi Produk Halal
memberikan Sertifikat Halal (SH) kecuali untuk produk yang
sudah benar-benar diyakini kehalalannya. Di sinilah letak
urgensi sertifikasi halal.
Kehadiran buku “Prilaku Komunitas Muslim Perkotaan
dalam Mengonsumsi Produk Halal” patut disyukuri dan
direspon secara positif oleh kita semua. Pengetahuan
responden terhadap konsep produk halal yang berada pada
level “sangat tinggi” sebagaimana diinformasikan oleh buku
ini, patut kita syukuri. Keinginan responden agar semua
produk yang beredar terjamin kehalalannya dan dilakukan
labelisasi halal perlu kita respon dengan positif. Demikian
juga, kesadaran untuk mengonsumsi produk halal yang hanya
berada pada level “tinggi” patut kita respon dengan positif
dan ditindaklanjuti. „Ala kulli hal, buku ini bermanfaan bagi
kita semua.[]
xvii
Prolog
xviii
Perilaku Komunitas Muslim Perkotaan dalam Mengonsumsi Produk Halal
PRAKATA EDITOR
P
erlindungan dan jaminan pangan halal bagi
konsumen sudah selayaknya diberikan oleh pihak
yang berwenang, dalam tataran regulasi maupun
implementasi. Perilaku mengonsumsi produk halal pada
komunitas muslim perkotaan di Indonesia merupakan kajian
yang memiliki kompleksitas tersendiri. Hal ini karena banyak
faktor baik internal maupun eksternal berkontribusi membangun pola perilaku mengonsumsi produk halal. Selain
persoalan regulasi yang belum secara komprehensif menata
sistem jaminan pangan halal, stakeholders pemangku kepentingan belum cukup melangkah bersama secara sinergis untuk
memberikan perlindungan terhadap konsumen, khu-susnya
komunitas muslim perkotaan.
Komunitas muslim perkotaan selama ini menjadi bagian
dari trendsetter yang dikonstruksi oleh dinamika perkembangan industrialisasi, dominasi budaya lokal dan adaptasinya di daerah minoritas muslim. Kearifan lokal yang teradaptasi menjadi sebuah pola perilaku komunitas muslim
perkotaan dalam mengonsumsi produk halal serta berbagai
faktor yang mempengaruhi konstruksi pola perilaku tersebut
penting diteliti.
Naskah buku ini merupakan hasil penelitian yang
bertujuan untuk mengidentifikasi pengetahuan, persepsi dan
perilaku komunitas muslim perkotaan dalam mengonsumsi
produk halal serta menggambarkan pola perilaku komunitas
muslim perkotaan dalam mengonsumsi produk halal. Secara
xix
Pengantar Editor
praktis urgensi penelitian ini memberikan rekomendasi yang
signifikan bagi pemenuhan hak jaminan pangan halal bagi
pihak yang berwenang. Selain itu penataan sistem jaminan
pangan halal dan tatalaksananya dapat diselenggarakan
berdasarkan kebutuhan komunitas muslim perkotaan. Perlindungan konsumen komunitas muslim dalam tataran kebijakan maupun praktis dapat disusun sesuai dengan hasil-hasil
penelitian ini.
Pendekatan kuantitatif dan kualitatif sekaligus (mixed
methods) digunakan dalam penelitian ini untuk mendapatkan
gambaran pengaruh beberapa variabel terhadap perilaku,
sekaligus mendapatkan data yang mendalam mengenai pola
perilaku komunitas muslim perkotaan dalam mengonsumsi
produk halal dengan segala kompleksitasnya.
Penelitian dilakukan pada 7 (tujuh) kota, yaitu DKI Jakarta, Bandung, Surabaya, Batam, Solo, Denpasar dan Menado. Kota-kota tersebut dipilih secara purposive, menggunakan
sampling kota yang memiliki kekhususan tertentu, seperti
kota dengan jumlah muslim minoritas, dominasi budaya
industri serta kota yang mempunyai budaya lokal dominan.
Random sampling dilakukan dengan mengambil sample
secara acak dari kerangka sample yang diambil dari populasi
muslim perkotaan di 7 (tujuh) kota tersebut. Jumlah responden untuk penelitian kuantitatif sebanyak 770 orang.
Penarikan sample pada tahap kualitatif dilakukan secara purposif dengan pemilihan informan yang paling well inform
menganai perilaku komunitas muslim perkotaan dalam
mengonsumsi produk halal. Informan tidak dibatasi
jumlahnya, melainkan menggunakan prinsip data saturation,
yakni pengumpulan data dari sejumlah informan hingga tidak
xx
Perilaku Komunitas Muslim Perkotaan dalam Mengonsumsi Produk Halal
diperoleh informasi baru, artinya telah tercapai kecukupan
data kualitatif.
Analisis data dilakukan dengan dua pendekatan yaitu
teknis analisis data kuantitatif dan teknik analisis data kualitatif. Teknik analisis data kuantitatif diperoleh dari data
kuesioner yang diberikan kepada 770 responden dengan
teknik purposive sampling sedangkan teknik analisis data
kualitatif diperoleh dari sumber informasi tokoh agama/
masyarakat/dosen/pengusaha. Teknik analisis data kuantitatif
dilakukan dengan beberapa tahap yaitu uji validitas dan
realibilitas kuesioner, analisis statistik deskriptif dan analisis
statistik inferensial. Sedangkan analisis data kualitatif dilakukan menggunakan teknik reduksi data, display dan analisis
serta kesimpulan. Analisis data kualitatif dimulai dengan
mengorganisir informasi dan data, kemudian melakukan
coding, kategorisasi data, menguraikan kasus-kasus sesuai
konteksnya, menetapkan pola dan mencari hubungan antara
beberapa kategori.
Buku yang memuat hasil kajian ini menginformasi-kan
antara lain:
1. Secara umum tingkat pengetahuan komunitas muslim di
tujuh kota terhadap konsep produk halal berada pada
level pengetahuan ”sangat tinggi”. Hal ini ditujukan oleh
indeks pengetahuan terhadap produk halal mencapai skor
4,55 (dalam skala 5). Pengetahuan mengenai konsep dasar
produk halal itu terutama yang berkenaan dengan produk
tidak mengandung babi, tidak mengandung khamr, tidak
mengandung organ tubuh manusia dan tidak mengan-
xxi
Pengantar Editor
dung najis. Pengetahuan atas produk halal tersebut
dipengaruhi positif signifikan oleh aktifitas keagamaan,
lingkungan hidup dan latar belakang pendidikan
responden.
2. Persepsi responden terhadap produk halal dan labelisasi
produk halal menunjukkan gambaran yang tinggi. Hal ini
didukung oleh kenyataan bahwa 95% responden menginginkan semua produk yang beredar terjamin kehalalannya dan mendukung dilakukannya labelisasi halal pada
produk makanan dan minuman kemasan termasuk juga
restoran dan rumah-rumah makan.
3. Perilaku responden yang berkaitan dengan kesadaran
untuk mengonsumsi produk halal berada pada level
”tinggi” dengan nilai indeks perilaku sebesar 3,84 (dalam
skala 5). Data yang diperoleh menunjukkan bahwa hanya
73% responden memeriksa label halal sebelum memutuskan membeli produk, 63% responden tidak pernah/jarang
mengonsumsi produk yang tidak ada label halal dan 54%
responden tidak pernah/jarang makan di restoran yang
tidak ada sertifikasi label halal. Terkait perilaku menghindari mengonsumsi produk kemasan yang meragukan
dan restoran yang meragukan hanya dilakukan oleh 73% 78% responden. Sedangkan tingkat keaktifan responden
dalam mendorong, menginformasikan produk halal dan
mencegah produk tidak halal hanya dilakukan oleh 73% 79% responden. Fenomena yang demikian ini muncul
diduga karena faktor masih banyaknya produk kemasan
yang belum ada label halal dan restoran yang tersertifikasi
xxii
Perilaku Komunitas Muslim Perkotaan dalam Mengonsumsi Produk Halal
halal, sehingga hanya 67% responden menyatakan mudah
untuk mencari produk halal dan hanya 53% yang menyatakan mudah dalam mencari restoran yang halal.
4. Berdasarkan hasil analisis jalur dapat diketahui bahwa
terdapat pengaruh yang signifikan antara pengetahuan
responden dengan persepsi mereka terhadap produk
halal. Peningkatan pengetahuan responden atas produk
halal secara positif akan meningkatkan persepsi terhadap
produk halal. Pengetahuan dan persepsi secara bersama
berpengaruh positif terhadap perilaku responden dalam
mengonsumsi produk halal. Meskipun demikian pengaruh persepsi secara langsung dinilai lebih tinggi dibandingkan pengetahuan. Apa yang dipersepsikan oleh responden tentang produk halal akan lebih dominan berpengaruh terhadap perilakunya dibandingkan apa yang
diketahuinya.
5. Aktifitas keagamaan secara positif signifikan mempunyai
kontribusi terbesar terhadap peningkatan pengetahuan
dan persepsi responden akan produk halal dibandingkan
faktor lingkungan dan pendidikan. Hal ini mengindikasikan bahwa perlunya mendorong komunitas muslim
sering melakukan aktifitas keagamaan, hal ini akan sejalan
dengan peningkatan pengetahuan/pemahaman komunitas
muslim serta peningkatan persepsi positif akan produk
halal.
6. Realitas sosial yang berhasil diungkap oleh penelitian ini
menunjukkan bahwa keberadaan peraturan perundang-
xxiii
Pengantar Editor
undangan yang melindungi konsumen (muslim) dari
mengonsumsi produk tidak halal sangat dibutuhkan dan
merupakan suatu hal yang sifatnya sangat mendesak.
Untuk itu pemerintah dan DPR dinilai perlu ”lebih aktif”,
agar pemerintah dan DPR tidak dinilai lamban dalam hal
penyelesaian undang-undang produk halal.
Faktor internal dan eksternal berkelindan secara
simultan memberikan pengaruh kepada pembentukan pola
perilaku mengonsumsi produk halal. Pendidikan formal
maupun non-formal pendidikan masa kecil di surau, harus
selalu menanamkan bahwa makan dan minum harus
memperhatikan kehalalan. Jadi, pendidikan non-formal dalam
keluarga memgang peranan penting dalam membangun pola
mengonsumsi produk halal, namun pendidikan tidak berdiri
sendiri mengendali pola perilaku komunitas. Faktor eksternal
yang telah menginternalisasi, seperti dominan budaya lokal,
kondisi industrialisasi dan heterogenitas yang tinggi pada
lokasi tujuh kota yang diteliti telah membangun pola yang
khas pada masing-masing kota. Kota industri seperti
Surabaya, Bandung, DKI Jakarta dan Batam memberikan
corak tertentu pada pola perilaku komunitas muslim,
demikian pula kota-kota dominan budaya lokal seperti Solo
serta kota-kota dengan penduduk muslim sebagai minoritas
seperti Bali dan Menado.
Faktor lainnya yang mendukung pembentukan sosialisasi oleh muballigh/mubalighat semakin intensif, ditambah
pengawasan yang baik dari pemerintah dapat mensukseskan
penyelenggaraan penataan pola mengonsumsi produk halal
pada komunitas muslim.
xxiv
Perilaku Komunitas Muslim Perkotaan dalam Mengonsumsi Produk Halal
Saran dan kritik dari para pembaca sangat kami
harapkan demi penyempurnaan buku ini pada masa yang
akan datang. Kami berharap semoga buku ini dapat
menambah wawasan para pembaca, dan bagi pihak-pihak
yang berwenang dapat memanfaatkannya sesuai dengan
kebutuhan.
Jakarta,
Oktober 2013
Editor:
Muchith A. Karim
xxv
Daftar Isi
xxvi
Perilaku Komunitas Muslim Perkotaan dalam Mengonsumsi Produk Halal
DAFTAR ISI
Kata Pengantar Kepala Puslitbang Kehidupan
Keagamaan ................................................................................
Sambutan Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian
Agama RI ...................................................................................
Prolog, oleh: Dr. H. Maulana Hasanuddin, M.Ag ..............
Prakata Editor ...........................................................................
DAFTAR ISI .............................................................................
BAB I
PENDAHULUAN .................................................
A. Latar Belakang Masalah ................................
B. Batasan Masalah ..............................................
C. Rumusan Masalah ..........................................
D. Tujuan Penelitian ...........................................
E. Kegunaan Penelitian ......................................
BAB II PENYUSUNAN KERANGKA TEORITIK .........
A. Deskripsi Teoritik ...........................................
1. Produk Halal ...........................................
2. Konsep tentang Sikap (Attitude).............
3. Perilaku Konsumen Muslim .................
4. Restoran ....................................................
B. Prior Research .................................................
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ............................
A. Pendekatan dan Metode Penelitian .............
B. Populasi dan Sampel .....................................
C. Instrumen Penelitian .....................................
D. Skala Pengukuran ..........................................
E. Model dan Hipotesis Penelitian ..................
F. Teknik Analisa Data ......................................
G. Waktu .............................................................
BAB IV HASIL DAN ANALISIS .......................................
A. Demografik Responden ................................
iii
vii
xi
xix
xxvii
1
1
7
8
9
9
11
11
11
12
14
18
19
25
25
25
27
31
32
34
37
39
39
xxvii
Daftar Isi
B. Pengetahuan Komunitas Muslim terhadap
Produk Halal ...................................................
C. Persepsi Komunitas Muslim terhadap
Produk Ha-lal...................................................
D. Perilaku Komunitas Muslim dalam Mengonsumsi Produk Halal ..............................
E. Korelasi antara Pengetahuan, Persepsi dan
Perilaku Konsumen Muslim terkait Produk
Halal ..................................................................
BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI .............
A. Kesimpulan .....................................................
B. Rekomendasi ..................................................
DAFTAR PUSTAKA ...............................................................
xxviii
47
56
74
93
107
107
109
113
Perilaku Komunitas Muslim Perkotaan dalam Mengonsumsi Produk Halal
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
I
ndonesia adalah negara dengan jumlah penduduk
muslim terbesar di dunia. Sayangnya, mereka tak
terlindungi dari produk-produk yang tak halal.
Sebab, banyak produk makanan dan minuman yang beredar
di sekitar kita tak berlabelkan halal. Hal ini sangat mengkhawatirkan karena pemerintah bersifat pasif, produsen malas
mendaftarkan kehalalan produknya, masyarakat acuh tak
acuh. Ketiga hal tersebut merupakan salah satu penyebab
lambatnya kesadaran masyarakat atas kehalalan produk di
Indonesia. Padahal, ini merupakan kewajiban produsen atau
perusahaan untuk mendaftarkan produknya untuk melindungi konsumen dari produk yang tidak halal. Sementara
komunitas muslim perkotaan di seluruh dunia telah membentuk segmen pasar yang potensial dikarenakan pola khusus
mereka dalam mengonsumsi produk halal. Di Amerika Serikat yang notabene kaum muslimin di sana jumlahnya minoritas, diperkirakan mencapai empat sampai sembilan juta
pemeluk agama Islam, pola konsumsi produk mereka sejalan
dengan ajaran Islam atau pola konsumsinya ingin menyesuaikan dengan ajaran agamanya. Sementara di Indonesia, yang
populasi kaum muslimnya mayoritas dari jumlah total warga
negara tentu merupakan pasar konsumen muslim yang besar.
Menyadari hal tersebut maka pemerintah berkewajiban
untuk melindungi warga negaranya dalam mengonsumsi
produk tidak halal. Hal ini merupakan implementasi dari
1
Bab I. Pendahuluan
amanat sejumlah peraturan perundang-undangan antara lain
dalam pasal 30 UU No. 7 tahun 1996 tentang Pangan yang
mengatur label dan iklan pangan yang menyatakan (1) Setiap
orang yang memproduksi atau memasukkan pangan ke
dalam wilayah Indonesia yang dikemas untuk diperdagangkan wajib mencantumkan label pada, di dalam, dan atau di
kemasan pangan; (2) Label, sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), memuat sekurang-kurangnya keterangan mengenai: a.
nama produk; b. daftar bahan yang digunakan; c. berat bersih
atau isi bersih; d. nama dan alamat pihak yang memproduksi
atau memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia; e.
keterangan tentang halal; dan f. tanggal, bulan, dan tahun
kedaluwarsa.
Di Indonesia, konsumen muslim dilindungi oleh instansi
pemerintah dalam hal ini Badan Pengawasan Produk Obat
dan Makanan (BPPOM) yang bertugas mengawasi produkproduk yang beredar di masyarakat. Selain itu ada
kesepakatan kerjasama antara Kementerian Agama, Badan
Pengawasan Produk Obat dan Makanan (BPPOM) dan
Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika –
Majelis Ulama Indonesia (LPPOM-MUI) yang bertugas secara
khusus mengaudit produk-produk yang dikonsumsi oleh
konsumen muslim di Indonesia.
BPOM mengawasi produk yang beredar di masyarakat
dengan cara memberikan persetujuan, pencantuman tulisan/
logo halal pada label berdasarkan sertifikat halal yang
dikeluarkan oleh LPPOM-MUI dan telah lulus diperiksa dan
terbebas dari unsur-unsur yang dilarang oleh ajaran Islam,
atau produk tersebut telah menjadi kategori produk halal dan
2
Perilaku Komunitas Muslim Perkotaan dalam Mengonsumsi Produk Halal
tidak mengandung unsur haram dan dapat dikonsumsi secara
aman oleh konsumen muslim.
Secara khusus pola konsumsi umat Islam sebetulnya
telah diatur dalam ajaran Islam yang disebut dengan syari’at.
Dalam ajaran syari’at, tidak diperkenankan bagi kaum muslim
untuk mengonsumsi produk-produk tertentu yang substansi
kandungan atau proses yang menyertainya tidak sesuai
dengan ajaran syari’at tersebut. Syari’at Islam sangat tegas
menghendaki umat Islam untuk menghindari hal-hal yang
dilarang oleh Allah SWT dan melaksanakan apa saja yang
diperintahkan. Hal ini membuat konsumen muslim bukanlah
konsumen yang permissive dalam perilaku pola konsumsinya.
Mereka dibatasi oleh kehalalan dan keharaman yang dimuat
dalam nash al-Qur’an dan al-Hadits yang menjadi panduan
utama bagi mereka.
Allah SWT berfirman dalam al-Qur’an Surat al-Baqarah:
168 yang artinya: ‚Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi
baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti
langkah-langkah setan, karena sesungguhnya setan itu adalah
musuh yang nyata bagimu‛, dan dalam Hadits Riwayat Salman
Alfarisi RA: ‚Rasulullah SAW ditanya tentang hukum mentega,
keju, dan bulu binatang. Beliau menjawab, halal adalah sesuatu
yang dihalalkan oleh Allah di dalam Kitab-Nya, haram adalah
sesuatu yang diharamkan oleh Allah dalam Kitab-Nya, dan sesuatu
yang Allah diamkan (tidak ditetapkan hukumnya) maka termasuk
yang diampuni‛. (Ali Mustofa Ya’kub: 33).
Berdasarkan nash al-Qur’an dan Hadits di atas, maka
ketentuan syari’at inilah yang menjadi tolok ukur utama
konsumen muslim dalam proses pemilihan produk-produk
makanan dan minuman. Ketidakinginan masyarakat muslim
3
Bab I. Pendahuluan
untuk mengonsumsi produk-produk haram akan meningkatkan keterlibatan yang lebih tinggi dalam proses pemilihan
produk (high involvement). Dengan demikian akan ada produk
yang pilih untuk dikonsumsi dan produk yang disisihkan
akibat adanya proses pemilihan tersebut. Proses pemilihannya
sendiri akan menjadikan kehalalan sebagai parameter utamanya. Ketentuan ini membuat keterbatasan pada produkproduk makanan untuk memasuki pasar umat Muslim.
Konsumen Muslim sendiri bukan tanpa kesulitan untuk
memilih produk-produk yang mereka konsumsi menjadi
produk dalam kategori halal dan haram. Tentunya untuk
memeriksakan sendiri kondisi kehalalan suatu produk adalah
kurang memungkinkan. Hal ini berkaitan dengan masalah
teknis dalam memeriksa kehalalan suatu produk, seperti uji
kimia, pengamatan proses serta pemeriksaan kandungan
produk.
Keberadaan LPPOM-MUI dapat membantu masyarakat
memudahkan proses pemeriksaan kehalalan suatu produk.
Dengan mendaftarkan produk untuk diaudit keabsahan
halalnya oleh LPPOM-MUI sebuah perusahaan dapat mencantumkan label halal pada produk tersebut. Hal itu berarti
produk tersebut telah halal untuk dikonsumsi umat Muslim
dan hilanglah barrier nilai yang membatasi produk dengan
konsumen muslim. Dengan adanya label halal ini konsumen
muslim dapat memastikan produk mana saja yang boleh
mereka konsumsi, yaitu produk yang memiliki dan mencantumkan label halal pada kemasannya. Secara teori maka,
untuk para pemeluk agama Islam yang taat, persepsi, sikap
dan motivasi mereka menentukan pilihan produk makanan
halal yang diwakili dengan label halal.
4
Perilaku Komunitas Muslim Perkotaan dalam Mengonsumsi Produk Halal
Seiring dengan pesatnya perkembangan media dan
mudahnya informasi yang dapat diperoleh konsumen, akan
turut mempengaruhi pola konsumsi mereka. Labelisasi halal
yang secara prinsip adalah label yang memberi informasi
kepada pengguna produk yang berlabel tersebut, bahwa
produknya benar-benar halal dan nutrisi-nutrisi yang
dikandungnya tidak mengandung unsur-unsur yang
diharamkan secara syariah sehingga produk tersebut boleh
dikonsumsi. Dengan demikian produsen yang tidak
mencantukan label halal pada kemasannya dianggap belum
mendapat persetujuan lembaga berwenang (LPPOM-MUI)
untuk diklasifikasikan kedalam daftar produk halal atau
dianggap masih diragukan kehalalannya. Keadaan label itu
akan membuat konsumen muslim berhati-hati untuk
memutuskan mengonsumsi atau tidak produk-produk tanpa
label halal tersebut.
Label halal yang ada pada kemasan produk yang beredar
di Indonesia adalah sebuah logo yang tersusun dari hurufhuruf Arab yang membentuk kata halal dalam sebuah
lingkaran. Peraturan pelabelan yang dikeluarkan Ditjen POM
(Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan)
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, mewajibkan para
produsen makanan untuk mencantumkan label tambahan
yang memuat informasi tentang kandungan (ingredient)
produk makanan tersebut. Sehingga konsumen dapat
memperoleh informasi yang dapat membantu mereka untuk
menentukan sendiri kehalalan suatu produk. Kondisi
masyarakat Muslim yang menjadi konsumen dari produkproduk makanan yang beredar dipasar, namun mereka tidak
mengetahui apa yang sebenarnya mereka konsumsi selama
ini. Sebagai orang Islam yang memiliki aturan yang sangat
5
Bab I. Pendahuluan
jelas tentang halal dan haram, seharusnya konsumen Muslim
terlindungi dari produk-produk yang tidak halal atau tidak
jelas kehalalannya (syubhat). LPPOM MUI memberikan
sertifikasi halal pada produk-produk yang lolos audit
sehingga produk tersebut dapat dipasang label halal pada
kemasannya, sehingga masyarakat dapat mengonsumsi produk tersebut dengan aman.
Kenyataan yang berlaku pada saat ini adalah bahwa
LPPOM-MUI memberikan sertifikat halal kepada produsenprodusen obat dan makanan yang secara sukarela mendaftarkan produknya untuk diaudit LPPOM-MUI. Dengan begitu
produk yang beredar dikalangan konsumen muslim bukanlah
produk yang secara keseluruhan memiliki label halal yang
dicantumkan pada kemasannya. Artinya masih banyak
produk yang beredar di masyarakat belum memiliki sertifikat
halal yang diwakili label halal pada kemasan produknya. Oleh
karena itu konsu-men muslim akan dihadapkan pada produkproduk halal yang diwakili label halal yang ada pada
kemasannya dan produk yang tidak memiliki label halal pada
kemasannya diragukan kehalalan produknya. Maka
keputusan untuk membeli produk yang berlabel halal atau
tidak, akan sepenuhnya ditentukan oleh konsumen sendiri.
Perilaku komunitas muslim dalam mengonsumsi produk
halal sesungguhnya tergantung bagaimana mereka memiliki
pengetahuan terkait apa itu halal. Meskipun al-Qur’an dan alHadits telah memberikan panduan tentang kehalalan suatu
produk, akan tetapi dengan semakin berkembangnya arus
informasi dan teknologi kemasan produk yang telah memberikan penawaran menggiurkan akan dapat memengaruhi
prilaku itu sendiri. Perilaku dalam mengonsumsi produk halal
6
Perilaku Komunitas Muslim Perkotaan dalam Mengonsumsi Produk Halal
dapat dilihat dari seberapa sering mereka mengonsumsi
produk yang telah ada label halal, seberapa sering mereka
mengonsumsi produk yang diragukan kehalalannya serta
seberapa sering mereka mengajak orang lain untuk
mengonsumsi produk halal dan mencegah orang lain
mengonsumsi produk tidak halal. Selain faktor pengetahuan
atas produk halal, persepsi masyarakat mengenai pentingnya
kehalalan itu sendiri dapat berpengaruh terhadap perilaku.
Persepsi dapat berupa keyakinan yang tinggi atas pentingnya
mengonsumsi produk halal, tingkat harapan/keinginan komunitas muslim perkotaan untuk memperoleh produk halal serta
persepsi tentang pentingnya labelisasi halal.
Tinggi rendahnya pengetahuan dan persepsi komunitas
muslim perkotaan terhadap produk halal tidak terlepas dari
aktifitas keagamaan yang mereka lakukan. Semakin rajin
komunitas muslim perkotaan mencari informasi mengenai
produk halal maka secara alami akan meningkatkan pengetahuan dan persepsi dan sikap terhadap produk halal.
Faktor lingkungan seperti dorongan keluarga, ceramah
agama, ikut berperan dalam menentukan tingkat pengetahuan dan persepsi terhadap produk halal.
Untuk dapat memperoleh informasi yang lebih jelas serta
bukti ilmiah mengenai perilaku komunitas muslim perkotaan
dalam mengonsumsi produk halal, Puslitbang Kehidupan
keagamaan akan melakukan penelitian tentang ‚Perilaku
Komunitas Muslim dalam Mengonsumsi Produk Halal‛.
B. Batasan Masalah
Mengingat keterbatasan waktu dan dana yang ada,
maka dalam penelitian ini dibatasi pada perilaku komunitas
muslim perkotaan terhadap produk-produk makanan dan
7
Bab I. Pendahuluan
minuman dalam bentuk kemasan yang diproduksi oleh
pabrikan serta makanan dan minuman yang disajikan di
restoran.
Penelitian dibatasi dengan mengkaji komunitas muslim
perkotaan karena muslim perkotaan adalah trendsetter yang
secara disadari atau tidak, merupakan konstruksi atas
dinamika industrialisasi, dominasi budaya lokal maupun
daerah minoritas muslim. Representasi tiga karakteristik kota
ini terdapat pada 7 (tujuh) kota, yaitu DKI Jakarta, Bandung,
Surabaya, Batam, Solo, Menado dan Denpasar..
C. Rumusan Masalah
Dari uraian diatas permasalahan ini selanjutnya dirinci
ke dalam pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1. Seberapa besar tingkat pengetahuan komunitas muslim
perkotaan terhadap konsep dasar produk halal ?
2. Seberapa besar penilaian/persepsi sikap mereka terhadap
produk halal dan labelisasi halal?
3. Seberapa besar kesadaran komunitas muslim perkotaan
dalam mengonsumsi produk halal?
4. Adakah pengaruh yang signifikan antara pengetahuan
tentang konsep dasar produk halal dengan persepsi dan
sikap terhadap produk halal ?
5. Adakah pengaruh yang signifikan antara pengetahuan
tentang konsep dasar produk halal dan persepsi serta
sikap atas produk halal terhadap perilaku mengonsumsi
produk halal?
8
Perilaku Komunitas Muslim Perkotaan dalam Mengonsumsi Produk Halal
6. Bagaimana pola perilaku komunitas muslim perkotaan
dalam mengonsumsi produk halal?
D. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk :
1. Mengetahui tingkat pengetahuan komunitas muslim perkotaan terhadap konsep dasar kehalalan produk baik
makanan dan minuman kemasan maupun makanan dan
minuman yang disajikan di rumah makan/restauran.
2. Mengetahui tingkat persepsi dan sikap mereka terhadap
produk halal.
3. Mengetahui pola perilaku komunitas muslim perkotaan
dalam mengonsumsi produk halal.
4. Menguji adakah pengaruh yang signifikan pengetahuan
konsep dasar kehalalan produk dengan persepsi masyarakat terhadap perilaku produk halal.
5. Menguji ada tidaknya pengaruh signifikan antara
pengetahuan tentang konsep dasar kehalalan produk
dengan persepsi dan sikap terhadap produk halal atas
perilaku mengonsumsi produk halal.
6. Mengidentifikasi pola perilaku komunitas muslim perkotaan dalam mengonsumsi produk halal
E. Kegunaan Penelitian
Kegunaan yang dapat diperoleh dari hasil penelitian ini
adalah:
1. Bahan masukan bagi Kementerian Agama RI dan instansi
lainnya dalam merumuskan kebijakan yang terkait dengan
produk halal.
9
Bab I. Pendahuluan
2. Referensi bagi instansi terkait sebagai bahan kajian lebih
lanjut.
10
Perilaku Komunitas Muslim Perkotaan dalam Mengonsumsi Produk Halal
BAB II
PENYUSUNAN KERANGKA TEORITIK
A. Deskripsi Teoritik
1. Produk Halal
H
alal berasal dari bahasa Arab yaitu halla yang berarti
lepas atau tidak terikat. Dalam kamus fiqih, kata
halal dipahami sebagai segala sesuatu yang boleh
dikerjakan atau dimakan. Istilah ini, umumnya berhubungan
dengan masalah makanan dan minuman. Lawan dari kata
halal adalah haram. Haram berasal dari bahasa Arab yang
bermakna, suatu perkara yang dilarang oleh syara’ (agama).
Mengerjakan perbuatan yang haram berarti berdosa dan
mendapat pahala bila ditinggalkan. Misalnya, memakan
bangkai binatang, darah, minum khamr, memakan barang
yang bukan miliknya atau hasil mencuri. Menurut Prof. Dr.
KH. Ali Mustofa Ya’kub, MA suatu makanan atau minuman
dikatakan halal apabila masuk kepada 5 kriteria, yaitu: 1)
Makanan dan minuman tersebut thayyib (baik) yaitu sesuatu
yang dirasakan enak oleh indra atau jiwa tidak menyakitkan
dan menjijikkan. Dalam surat al-Maidah ayat 4 yang artinya:
‛Mereka bertanya kepadamu, ‚Apakah yang dihalalkan bagi
mereka? Katakanlah, dihalalkan bagimu yang baik-baik‛. 2)
Tidak mengandung dharar (bahaya); 3) Tidak mengandung
najis; 4) Tidak memabukkan dan 5) Tidak mengandung organ
tubuh manusia. Dalam penelitian ini produk halal bukan
hanya dinyatakan halal secara syar’i namun juga telah
mendapatkan sertifikasi halal dari Majelis Ulama Indonesia
(MUI). Produk ini mudah dikenali dengan adanya label halal
11
Bab II. Penyusunan Kerangka Teoritik
yang dikeluarkan oleh MUI pada kemasannya. Produk halal
yang akan dilihat mencakup makanan dan minuman yang
dikemas yang dikelola oleh pabrik makanan dan minuman
yang dihidangkan oleh restoran/rumah makan.
2. Konsep tentang Sikap (Attitude)
Sikap mulai menjadi fokus pembahasan dalam ilmu
sosial semenjak abad 20. Secara bahasa, Oxford Advanced
Learner Dictionary (Hornby, 1974) mencantumkan bahwa
sikap (attitude), berasal dari bahasa Italia attitudine yaitu
‚Manner of placing or holding the body, and way of feeling, thinking
or behafing‛. Sikap adalah cara menempatkan atau membawa
diri, atau cara merasakan, jalan pikiran, dan perilaku. Thomas
dan Znaneiecki (1920) menegaskan bahwa sikap adalah
predisposisi untuk melakukan atau tidak melakukan suatu
perikau tertentu, sehingga sikap bukan hanya kondisi internal
psikologis yang murni dari individu, tetapi sikap lebih
merupakan proses kesadaran yang sifatnya individual.
Artinya proses ini terjadi secara subjektif dan unik pada diri
setiap individu. Keunikan ini dapat terjadi oleh adanya
perbedaan individual yang berasal dari nilai-nilai dan norma
yang ingin dipertahankan dan dikelola oleh individu (Coser,
dalam www.bolender.com). Dalam buku karya Kagan dan
Havemann ‚an attitude is an organized an enduring set of beliefs
and feelings toward some kind of abject or situation and
predisposition to behave toward it in a particular way‛. Attitude
(sikap) adalah suatu tatanan keyakinan dan perasaan yang
terorganisir dan berlangsung terus terhadap suatu objek atau
situasi dan kecenderungan untuk berprilaku terhadapnya
dengan cara tertentu. Jadi ada 3 (tiga) elemen yang membentuk attitude (sikap) yaitu: a) Elemen kognitif (pengetahu-
12
Perilaku Komunitas Muslim Perkotaan dalam Mengonsumsi Produk Halal
an/kepercayaan), elemen emosional (persepsi/perasaan/afeksi) dan 3) Elemen perilaku.1
Sikap adalah pengorganisasian yang relatif lama dari
proses motivasi, persepsi dan kognitif yang relatif menetap
pada diri individu dalam berhubungan dengan aspek
kehidupannya. Sikap individu ini dapat diketahui dari
beberapa proses motivasi, emosi, persepsi dan proses kognitif
yang terjadi pada diri individu secara konsisten dalam
berhubungan dengan obyek sikap. Menurut Oskamp (1991)
mengemukakan bahwa sikap dipengaruhi oleh proses
evaluatif yang dilakukan oleh individu. Oleh karena itu,
mempelajari sikap berarti perlu juga mempelajari faktor-faktor
yang mempengaruhi proses evaluatif, yaitu: a) Faktor genetik
dan fisiologik, individu membawa ciri sifat tertentu yang
menentukan arah perkembangan sikap, namun di pihak lain
faktor fisiologik juga memainkan peranan penting dalam
pembentukan sikap melalui kondisi-kondisi fisiologik, missalnya usia, atau sakit sehingga harus mengonsumsi obat tertentu; b) Pengalaman personal, pengalaman yang dialami
langsung akan memberikan pengaruh yang lebih kuat
daripada pengalaman yang tidak langsung; c) Pengaruh orang
tua sangat besar, terhadap kehidupan anak-anaknya. Sikap
orang tua akan dijadikan role model bagi anak-anaknya; d)
Kelompok sebaya atau kelompok masyarakat, ada
kecenderungan bahwa seorang individu berusaha untuk sama
dengan teman sekelompoknya; e) Media massa ter-masuk
salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku makan
masyarakat (Ekonomi Islam, 2008).
1
Kagan dan Havemann: Psychology: An Introduction, New York, Harcourt Brace
Jovanovich Inc, 1976, halaman 495.
13
Bab II. Penyusunan Kerangka Teoritik
3. Perilaku Konsumen Muslim
Perilaku dalam bahasa Inggris disebut dengan ‚behavior‛
yang artinya kelakuan tindak-tanduk.2 Perilaku juga terdiri
dari dua kata peri dan laku, peri yang artinya sekeliling, dekat
melingkupi.3 Dan laku artinya tingkah laku, perbuatan, tindak
tanduk. Secara etimologi perilaku artinya apa yang dilakukan
oleh seseorang.4 Perilaku (behavior) is ‚the activities of an
organism, both overt, or observable (such as motor behavior), and
covert, or hidden (such as thinking)‛. Perilaku adalah kegiatan
suatu makhluk hidup, baik yang nampak atau dapat dilihat
(seperti perilaku gerakan) atau apa yang tidak nampak atau
tersembunyi (seperti berfikir).5 Dari uraian di atas nampak
jelas bahwa perilaku itu adalah kegiatan atau aktivitas yang
melingkupi seluruh aspek jasmaniah atau rohaniah yang bisa
dilihat.
Perilaku konsumen seperti perilaku pada umumnya
dipengaruhi oleh aspek kultural, sosial, personal dan karakteristik. Faktor kultural dianggap yang paling besar pengaruhnya terhadap keinginan dan perilaku seseorang. Agama
merupakan elemen kunci dalam kultur kehidupan yang
mempengaruhi perilaku dan keputusan membeli. Religion is a
system of beliefs and prakcties by which group of people interprets
and responds to what they feel is supernatural and sacred
(Johnstone, 1975 dikutip dari Shafie & Othman, 2008). Pada
umumnya agama mengatur tentang apa yang diperbolehkan
2
John M. Echol, Kamus Bahasa Inggris-Indonesia (Jakarta: PT. Gramedia, 1996),
cet. Ke-3, h,80.
3
Pedoman Umum Ejaan Bahsa Indonesia yang disempurnakan, Bandung: CV.
Pustaka Setia, 1996, cet, ke-5, h. 91.
4
Mar’at, Sikap Manusia terhadap Perubahan serta Pengukurannya, Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1982, h. 274.
5
Ibid, h. 551.
14
Perilaku Komunitas Muslim Perkotaan dalam Mengonsumsi Produk Halal
dan apa yang dilarang untuk dilakukan, termasuk perilaku
konsumsi. Agama dapat mempengaruhi perilaku konsumen
khususnya pada keputusan membeli.
Berkaitan dengan perilaku individu yang berbeda-beda,
maka untuk mempelajari dan menganalisa perilaku diperlukan adanya suatu model yang dapat menggambarkan
sebuah rancangan untuk membantu mengembangkan teori
yang mengarahkan penelitian perilaku konsumen dan sebagai
bahan dasar untuk mempelajari pengetahuan yang terus
berkembang mengenai perilaku konsumen dan faktor-faktor
yang mempengaruhinya.
Menurut Henry Assael yang dikutip oleh Sutisna (2002)
terdapat tiga faktor yang mempengaruhi pilihan konsumen
yaitu:

Faktor individu konsumen menjelaskan bahwa pilihan
untuk membeli suatu produk dipengaruhi oleh variabel
gagasan (kebutuhan, motivasi, sikap, persepsi) dan karakteristik konsumen (demografi, gaya hidup, kepribadian).

Menjelaskan bahwa faktor lingkungan yang mempengaruhi keputusan konsumen adalah faktor budaya
(norma masyarakat, sub pekerjaan), kelompok referensi
(teman, sub budaya), kelas sosial (pendapatan, jenis
pekerjaan), kelompok referensi (teman, keluarga), situasi
dimana barang atau jasa dikonsumsi).

Menjelaskan tentang variabel yang berada di bawah
kontrol pemasar yaitu bauran pemasaran. Dalam hal ini
strategi pemasaran yang lazim dikembangkan oleh
pemasar yaitu yang berhubungan dengan produk apa
yang akan ditawarkan, penentuan harga jual produknya,
15
Bab II. Penyusunan Kerangka Teoritik
strategi promosinya, dan bagaimana melakukan distribusi
produk pada konsumen. Selanjutnya pemasar harus
mengevaluasi strategi pemasaran yang dilakukan dengan
melihat respon konsumen untuk memperbaiki strategi
pemasaran di masa depan. Sementara itu konsumen
individual akan mengevaluasi pembelian yang telah
dilakukannya.
Menurut Amirullah (2003), faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan membeli konsumen secara sederhana
dibagi dalam dua bagian, yaitu: a) kekuatan internal, seperti:
pengalaman, belajar, kepribadian dan konsep diri, motivasi
dan ketertiban, sikap dan keinginan; b) kekuatan eksternal,
seperti: faktor budaya, sosial, lingkungan ekonomi, dan
bauran pemasaran.
Perilaku konsumen secara umum digambarkan sebagai
suatu proses dari pencarian, pemilihan, sampai pada
keputusan membeli sesuatu barang atau jasa dalam rangka
memenuhi kebutuhan fisik maupun psikis. Dalam studi
perilaku konsumen, hal ini mencakup beberapa hal seperti
apa yang dibeli konsumen, mengapa konsumen membeli?
Kapan mereka membelinya? Dimana mereka membelinya?
Berapa sering mereka membelinya? Dan berapa sering mereka
menggunakannya? (Sumarwan, 2002).
Perilaku komunitas muslim perkotaan dalam mengkonsumsi produk halal dapat dilihat dari seberapa sering
komunitas muslim perkotaan mengonsumsi produk yang
mereka ragu akan kehalalannya dan seberapa sering mereka
mengonsumsi produk yang tidak ragu. Apabila komunitas
muslim perkotaan sering mengonsumsi produk yang mereka
sendiri ragu kehalalannya menunjukkan perilaku yang buruk,
16
Perilaku Komunitas Muslim Perkotaan dalam Mengonsumsi Produk Halal
sebaliknya perilaku yang baik dapat diartikan dengan
konsisten mengonsumsi produk-produk yang telah diketahui
secara jelas kehalalannya. Perilaku komunitas muslim
perkotaan akan mengonsumsi produk halal tidak lepas dari
tingkat pengetahuannya akan konsep halal itu sendiri.
Bagaimana mereka mengetahui dan memahami tentang apa
itu halal secara syari’ah. Apakah komunitas muslim perkotaan
mengetahui apa-apa yang dibolehkan dan dilarang dalam
ajaran agama dalam mengonsumsi suatu makanan dan
minuman. Selain faktor pengetahuan, apa yang dipersepsikan
oleh komunitas muslim perkotaan juga ikut berperan
terhadap perilaku. Apakah mereka memandang mengonsumsi produk halal itu penting? Komunitas muslim perkotaan
yang mengetahui dan paham akan konsep dasar Islam terkait
apa itu halal tentu akan memandang bahwa mengonsumsi
produk halal itu penting. Mereka akan meyakini semua
produk yang akan dikonsumsi atau sebelum dibeli diteliti
kehalalannya. Komunitas muslim perkotaan yang tinggi
pengetahuannya akan produk halal seharusnya berimplikasi
positif terhadap pembentukan persepsi positif akan produk
halal dengan dukungan labelisasi halal dan meyakini serta
memilah mana produk yang halal dan tidak halal.
Pengetahuan dan persepsi terhadap produk halal tidak
dapat terjadi dengan sendirinya. Tinggi rendahnya pengetahuan dan penilaian persepsi sikap positif atau negatif
komunitas muslim perkotaan akan produk halal itu dikendalikan oleh aktifitas keagamaan yang dilakukan, faktor
lingkungan seperti keluarga, kerabat/saudara, teman, tetangga dan pemuka agama. Selain faktor tersebut ajaran agama
berperan sebagai pendorong positif dalam meningkatkan
pengetahuan dan persepsi sikap akan produk halal.
17
Bab II. Penyusunan Kerangka Teoritik
4. Restoran
Restoran berbeda dengan rumah makan. Menurut SK
Menteri Pariwisata, Pos dan Telekomunikasi No. KM.73/
PW.105/MPPT-85, Rumah Makan (RM) adalah setiap tempat
usaha komersial yang ruang lingkup kegiatannya menyediakan hidangan dan minuman untuk umum. Dalam SK tersebut
juga ditegaskan bahwa setiap rumah makan harus memiliki
seseorang yang bertindak sebagai pemimpin rumah makan
yang sehari-hari mengelola dan bertanggungjawab atas
pengusahaan RM tersebut. Usaha-usaha lain yang sejenis dan
tidak termasuk dalam Usaha Rumah Makan dalam definisi ini
adalah Usaha Restoran, Usaha Tempat Makan dan Usaha Jasa
Boga (Catering).
Sedangkan restoran adalah salah satu jenis usaha
dibidang jasa pangan yang bertempat disebagian atau seluruh
bangunan yang permanen, dilengkapi dengan peralatan dan
perlengkapan untuk proses pembuatan, penyimpanan, penyajian, dan penjualan makanan dan minuman untuk umum.
Pengusahaan restoran meliputi jasa pelayanan makan dan
minum kepada tamu restoran sebagai usaha pokok dan jasa
hiburan di dalam bangunan restoran sebagai penunjang yang
tidak terpisahkan dari usaha pokok sesuai dengan ketentuan
dan persyaratan teknis yang ditetapkan. Pemimpin restoran
adalah seorang yang bertanggungjawab atas penyelenggaraan
usaha restoran tersebut, sedangkan bentuk usaha restoran ini
dapat berbentuk perorangan atau badan usaha (PT, CV, Fa
atau Koperasi) yang tunduk kepada hukum Indonesia. Penelitian ini dibatasi pada restoran dan bukan rumah makan,
mengingat sifatnya yang relatif lebih besar, tumbuh subur di
perkotaan dan biasa menjadi sasaran kuliner komunitas
18
Perilaku Komunitas Muslim Perkotaan dalam Mengonsumsi Produk Halal
muslim perkotaan. Selain itu restoran lebih potensial untuk
mengusahakan sertifikasi halal bagi produk yang disajikannya.
B. Prior Research
Riset yang berusaha mengetahui perilaku umat Islam
dalam mengonsumsi produk halal pernah dilakukan sebelumnya oleh kalangan individu dan lembaga, baik di tingkat lokal,
nasional, regional, maupun internasional. Adanya riset
tersebut menunjukkan bahwa kepedulian umat Islam terhadap produk halal bukan sekadar isu lokal, namun juga
mondial. Bahkan di negara-negara Eropa dan Amerika
peroduk halal menjadi yang sensitif yakni terkait dengan
perlindungan konsumen dan pelaksanaan hak asasi manusia
khususnya kebebasan beragama. Disebabkan terkait dengan
hak asasi manusia, maka tidak terlalu berlebihan bila
pemerintah negara-negara maju tersebut telah secara serius
berusaha agar setiap produk yang dikonsumsi umat Islam
telah mendapatkan sertifikat halal dari lembaga yang
berwenang.
Policy pemerintah negara-negara maju di atas terkait
sertifikasi halal, berbanding lurus dengan kesadaran umat
Islam terhadap konsumsi produk halal. Berdasarkan Survey
World Halal Forum 2008-2009, terungkap bahwa kesadaran
umat Islam untuk daging dan produk olahan daging sebesar
94-98%, makanan olahan sebesar 40-64%, obat-obatan sebesar
24-30%, serta kosmetik dan produk perawatan diri sebesar 1822%.6 Data tersebut mengungkapkan fakta, kesadaran umat
Islam terhadap kehalalan daging dan produk olahan daging
6
Survey World Halal Forum, 2008-2009.
19
Bab II. Penyusunan Kerangka Teoritik
jauh lebih ‚tinggi‛ daripada makanan olahan, obat-obatan,
serta kosmetik dan produk perawatan diri. Diduga kuat,
tingginya kesadaran tersebut tidak bisa dilepaskan dari ajaran
Islam sendiri yang secara eksplisit mengharamkan beberapa
jenis daging, seperti daging babi, bangkai, dan daging hewan
yang disembelih tidak atas nama Allah.
Pada awal Desember 2010, American Muslim Consumer
Conference (AMCC) di New Jersey, Amerika Serikat membuat
riset kecil-kecilan tentang fakta perilaku konsumsi umat Islam
global. Responden yang digunakan AMCC kebanyakan
adalah umat Islam di Negeri Paman Sam. Berikut adalah fakta
tentang umat Islam dunia yang diperoleh dari riset tersebut,
yaitu total populasi umat Islam di dunia adalah 1,6 miliar.
Angka ini adalah 25% dari total populasi penduduk dunia.
Diprediksi populasi umat Islam akan mencapai 50% pada
2050. Dengan catatan jumlah umat Islam bertambah pertahunnya 1,5-2% dari 1,6 miliar tersebut. Tipikal umur umat
Islam di dunia saat ini adalah kalangan muda. Sebagai contoh
di Timur Tengah, Afrika Utara, dan Asia Selatan, menurut
survey, hampir 50%-nya berusia di bawah 25 tahun. Populasi
ini diharapkan meningkat ke kelas menengah karena ada
kecenderungan masyarakat urban yang sedang berkembang
saat ini. Hasilnya bisa dilihat sepuluh tahun mendatang.
Setiap tahunnya pasar syariah global menghasilkan US$ 2
triliun. Pendapatan ini sudah termasuk semua produk barang
dan jasa yang dikonsumsi umat Islam baik makanan ataupun
produk bank. Rata-rata pendapatan dari makanan halal
adalah US$ 632 miliar per tahun. Itu merupakan 16%
pendapatan dari industri makanan global. Angka tersebut
terus naik secara signifikan dan menggambarkan per-
20
Perilaku Komunitas Muslim Perkotaan dalam Mengonsumsi Produk Halal
tumbuhan yang ekspansi ekonomi yang cukup luar biasa bagi
umat Islam.
Jusmaliani dan Hanny Nasution pada tahun 2009 mengadakan riset tentang perilaku umat Islam dalam konsumsi
produk halal dengan responden umat Islam Indonesia yang
tinggal di Jakarta sebanyak 87 orang dan Melbourne sebanyak
73 orang. Hasil riset menunjukkan 80% responden menyatakan ‚sangat setuju‛ mengonsumsi makanan halal adalah
penting.
Selanjutnya Tim Peneliti Pusat Penelitian Ekonomi (P2E)
LIPI melakukan riset tentang Perilaku Konsumen Muslim
dalam Mengonsumsi Makanan Halal dengan mengambil area
penelitian di Provinsi Banten. Tujuan utama riset adalah
menganalisis pola perilaku umat Islam dalam mengonsumsi
makanan halal yang digambarkan melalui pengetahuan
(pemahaman) responden terhadap makanan halal, dengan
mengungkapkan kriteria yang menjadi pertimbangan utama
dalam menentukan makanan halal, menganalisis pengaruh
kadar ke-Islaman terhadap pola perilaku konsumsi makanan
halal, pengaruh latar belakang sosial-ekonomi dan psikologis
terhadap pola konsumsi makanan halal, dan juga persepsi
mereka terhadap sertifikasi produk halal. Hasilnya adalah
94% responden menyatakan sangat penting untuk mengonsumsi makanan halal. Hal ini terutama dilandasi oleh
sikap yang mereka miliki, diikuti oleh kontrol terhadap
prilaku mereka, ketimbang tekanan masyarakat sekitar akan
keharusannya untuk mengonsumsi makanan halal. Dengan
sikap yang mereka miliki, maka mereka pun melakukan
kontrol terhadap keluarga mereka untuk selalu mengonsumsi
21
Bab II. Penyusunan Kerangka Teoritik
makanan halal. Bahkan bagi mereka yang memiliki kadar keIslaman tinggi, mereka berani menegur para ulama setempat
untuk mengontrol konsumsi makanan halalnya. Dengan
memiliki sikap dan kontrol perilakunya yang sangat kuat,
maka dapat diprediksikan bahwa di manapun mereka tinggal,
mereka akan selalu mengonsumsi makanan halal. Walaupun
responden menyatakan mengonsumsi makanan halal adalah
sangat penting, dan juga kehalalan produk makanan tidak
hanya terbatas pada zatnya (tidak mengandung babi, dan
tidak mengandung alkohol), tapi juga manfaatnya untuk
kesehatan, serta cara perolehan makanannya, namun, kontrol
terhadap proses pengolahan/pemotongan daging yang dikonsumsinya dapat dikatakan kurang hati-hati. Walaupun pilihan
harga yang murah tidak menjadi pertimbangan utama dalam
membeli/mengonsumsi daging potong, namun kualitas dari
tampilan dagingnya yang segar dan bersih masih lebih
penting ketimbang cara pemotongannya. Walaupun 94%
responden menyatakan mengonsumsi makanan halal adalah
sangat penting, hanya 70% yang menyatakan sangat setuju
terhadap sertifikasi dari MUI. Dari 70% nya tersebut, justru
sedikit lebih banyak mereka dari golongan yang tidak pernah
mengikuti pendidikan pesantren ketimbang yang pernah
(38,32%). Demikian halnya dengan keinginan responden
untuk dapat membeli daging di tempat khusus daging halal,
ternyata lebih banyak dikemukakan oleh mereka yang tidak
pernah mengenyam pendidikan pesantren, dan hanya dari
kelompok santri yang menyatakan sangat tidak setuju untuk
membeli daging di penjualan khusus daging halal. Hal ini
mengindikasikan bahwa kelompok santri kurang antusias
terhadap diberlakukannya sertifikasi halal. Hal ini diasumsi-
22
Perilaku Komunitas Muslim Perkotaan dalam Mengonsumsi Produk Halal
kan, oleh karena mereka mungkin merasa sudah sangat tahu
untuk menentukan sendiri atas halal atau tidaknya daging
yang mereka konsumsi tanpa harus ada label halal, sekalipun
label halal tersebut diterbitkan oleh MUI. Di samping sulitnya
memilih daging potong yang disembelih sesuai syari’ah,
dewasa ini marak sekali makanan-makanan olahan yang
dijual di sekeliling masyarakat baik yang diolah oleh pabrikan
(biasanya dalam bentuk kemasan), maupun yang diolah oleh
penjual skala industri rumahan. Makanan-makanan olahan ini
rentan sekali masuk area makanan syubhat bahkan haram,
karena meskipun secara zat dasar atau bahan dasar makanan
tersebut halal, tetapi dalam proses pengolahannya bisa saja
menggunakan zat-zat yang haram. Bagaimana dapat memilih
makanan olahan yang dijamin kehalalannya, jika produk
tersebut belum memiliki sertifikasi halal? Terlepas dari siapa
yang paling berhak menentukan atau menerbitkan sertifikat
halal, tampaknya masih perlu dilakukan edukasi atau paling
tidak sosialisasi oleh institusi berkepentingan mengenai halal
dan haramnya makanan olahan, bahkan daging potong segar
kepada kelompok berpendidikan pesantren sekalipun, sehingga pemahaman masyarakat akan hal ini semakin mendalam
dan lebih berhati-hati.7
Puslitbang Kehidupan Keagamaan pada tahun ini akan
melakukan penelitian tentang ‚Perilaku Komunitas Muslim
Perkotaan dalam Mengonsumsi Produk Halal‛. Dalam penelitian ini dibatasi hanya untuk makanan dan minuman yang
dikemas dan diproduksi oleh pabrik makanan dan minuman
7
Endang S. Soesilowati; “Perilaku Konsumsi Muslim dalam Mengonsumsi
Makanan Halal: Kasus Muslim Banten”, makalah pada Seminar Sharia Economics
Research Day, Widya Graha LIPI, 6 Juli 2010.
23
Bab II. Penyusunan Kerangka Teoritik
yang dihidangkan restoran/rumah makan. Penelitian ini
dilakukan di 7 (tujuh) provinsi yaitu: DKI Jakarta, Jawa Barat,
Kepulauan Riau, Jawa Tengah, Bali, Jawa Timur dan Sulawesi
Utara. Pemilihan ketujuh provinsi ini berdasarkan faktor
dominan budaya dan dominasi industri.
24
Perilaku Komunitas Muslim Perkotaan dalam Mengonsumsi Produk Halal
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Pendekatan dan Metode Penelitian
P
enelitian ini menggunakan pendekatan mixed method
karena kombinasi antara pendekatan kuantitatif dan
kualitatif akan menghasilkan pemahaman yang lebih
baik. Pendekatan mixed methods research bertujuan mengatasi
kelemahan-kelemahan yang ada pada pendekatan kuantitatif
maupun pendekatan kualitatif. Secara spesifik, alasan peneliti
menggunakan pendekatan mixed methods research dalam
penelitian ini adalah karena:
1. Mixed methods research menghasilkan fakta yang lebih
komprehensif karena peneliti memiliki kebebasan untuk
menggunakan semua teknik pengumpulan data sesuai
dengan jenis data yang dibutuhkan.
2. Mixed methods research dapat menjawab pertanyaan penelitian yang tidak dapat dijawab oleh penelitian kuantitatif
atau kualitatif.
3. Penelitian ini hendak mengetahui sikap konsumsi komunitas muslim perkotaan, yang secara multidimensi dapat
menjadi landasan pembentukan perilaku konsumsinya,
seperti dimensi sosial, behavioral maupun humanis.
B. Populasi dan Sampel
Populasi menurut Ronny Kountur (2005: 37) adalah
suatu kumpulan menyeluruh dari suatu obyek yang merupakan perhatian peneliti. Obyek penelitian dapat berupa makh-
25
Bab III. Metodologi Penelitian
luk hidup, benda-benda, sistem, prosedur, fenomena dan lainlain. Populasi pada penelitian ini adalah seluruh masyarakat
muslim Indonesia. Sedangkan sampel adalah sebagian
(representatife) populasi. Tidak seluruh populasi diteliti karena
terlalu banyak, sehingga diambil beberapa representatif dari
populasi ini yang dimaksud dengan sampel (Ronny Kountur,
2005: 138). Idealnya, agar hasil penelitiannya lebih bisa
dipercaya seorang peneliti harus melakukan sensus (mengambil semua data populasi). Namun karena sesuatu hal seperti
SDM yang terbatas, waktu penelitian yang terbatas, serta dana
yang juga terbatas maka peneliti dapat mengambil sebagian
dari keseluruhan elemen atau unsur tadi. Hal ini dinamakan
teknik sampling. Teknik sampling yang digunakan dalam
penelitian ini adalah sampling purposive, dan populasinya
adalah masyarakat muslim perkotaan disemua strata yang ada
di 7 lokasi penelitian. Pemilihan ke-7 kota tersebut dipengaruhi oleh faktor dominan budaya dan dominasi industri
yang diasumsikan mempengaruhi terhadap konsumsi produk
halal. Ke-7 lokasi penelitian adalah sebagai berikut: DKI
Jakarta, Jawa Barat, Batam, Solo, Denpasar, Surabaya dan
Manado.
Denpasar dan Manado adalah faktor dominasi budaya
dimana terjadi interaksi antara masyarakat muslim dan non
muslim. Apakah ada pengaruh di daerah dominasi non
muslim terhadap perilaku muslim dalam mengonsumsi
produk halal. Solo, Surabaya dan Bandung adalah dominasi
budaya muslim. Penelitian ini akan melihat apakah ada
perbedaan antara diminasi, dimana masyarakat muslim
tinggal di daerah yang dominan non muslim dan dominan
muslim dalam mengonsumsi produk halal. Sedangkan Batam
dan DKI Jakarta diambil dengan asumsi adanya pengaruh
26
Perilaku Komunitas Muslim Perkotaan dalam Mengonsumsi Produk Halal
dominasi industri. Selanjutnya dari populasi yang ada
ditentukan sub-sub populasi yang diasumsikan dapat mempresentasikan masyarakat muslim. Sub-sub populasi tersebut
adalah laki-laki dan perempuan yang menikah, laki-laki dan
perempuan yang belum menikah. Jumlah sample penelitian
kuantitatif adalah 770 responden dimana masing-masing kota
mendapat 110 responden. Jumlah sampel untuk responden
atau informan terkait penelitian kualitatif tidak dibatasi,
hingga tercapai data saturation. Mereka adalah tokoh masyarakat/tokoh agama/akademisi (dosen) dan pelaku bisnis, yang
paling memahami tentang perilaku komunitas muslim perkotaan dalam mengonsumsi produk halal. Adapun informan
sebagai sumber pengambilan data kualitatif dalam penelitian
ini dipilih secara nonprobability sampling, teknik sampling
yang memberi peluang atau kesempatan tidak sama bagi
setiap unsur atau anggota populasi. Ini berbeda dengan
probability sampling yang memberikan peluang atau kesempatan sama untuk dipilih sebagai sampling. Informan dipilih
dari komunitas yang mengetahui secara dalam tentang
perilaku mengonsumsi priduk halal, yakni dari tokoh agama,
tokoh masyarakat, pelaku bisnis restoran dan akademisi
(dosen).
C. Instrumen Penelitian
Kuesioner utama dalam penelitian ini bersifat kuantitatif
dan kualitatif yang berisi item-item pertanyaan yang
berhubungan dengan model yang dijelaskan di atas. Item
pertanyaan yang berhubungan dengan penelitian kuantitatif
diukur dengan instrumen-instrumen yang mewakili konsep
pengetahuan atas produk halal (kognitif). Persepsi atas produk
halal (afektif) dan perilaku mengonsumsi produk halal
27
Bab III. Metodologi Penelitian
(behavior) komunitas muslim perkotaan terhadap produk
halal.
1. Instrumen Pengetahuan atas Produk Halal
Pengetahuan adalah konstruksi kognitif seseorang
terhadap obyek, pengalaman, maupun lingkungannya.
Konsep pengetahuan terhadap konsep halal meliputi
seberapa baik pengetahuan komunitas muslim perkotaan
terhadap konsep syariah atas kehalalan suatu produk.
Pengetahuan tersebut akan membentuk tingkat pemahaman dasar komunitas muslim perkotaan tentang
produk halal. Pengetahuan terkait aspek dasar produk
halal diukur oleh 13 indikator yaitu bahwa produk halal
adalah:
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
Tidak mengandung organ tubuh manusia;
Tidak mengandung babi;
Tidak mengandung khamer;
Tidak mengandung unsur najis;
Tidak rusak/kadaluwarsa;
Tidak mengandung bahan berbahaya;
Bukan barang illegal;
Ada sertifikasi halal dari MUI;
Ada tulisan/label halal;
Ada nomor pendaftaran produk pangan/nomor izin
edar dari BPOM Kementerian Kesehatan.
Aspek syariah lainnya yang juga
pengetahuan tentang konsep halal adalah:
mengukur
a. Hewan yang disembelih dengan menyebut nama Allah
b. Haram memakan bangkai (kecuali ikan dan belalang);
c. Haram memakan darah.
28
Perilaku Komunitas Muslim Perkotaan dalam Mengonsumsi Produk Halal
2. Instrumen Persepsi atas Produk Halal
Persepsi komunitas muslim perkotaan atas produk
halal adalah bagaimana komunitas muslim perkotaan
memberikan penilaian terhadap pentingnya produk halal,
keinginan untuk memperoleh produk halal serta bagaimana penilaian komunitas muslim perkotaan apabila
mengonsumsi produk tidak halal. Persepsi komunitas
muslim perkotaan terhadap produk halal juga dilihat dari
pandangan komunitas muslim perkotaan terhadap penting atau tidaknya labelisasi halal bagi produk/restoran.
Instrumen persepsi atas produk halal ini diukur oleh 10
indikator yaitu:
a. Harapan/keinginan memperoleh produk halal;
b. Keyakinan memilih produk halal sebelum membeli;
c. Mengonsumsi produk tidak halal memberikan pengaruh negatif terhadap tubuh;
d. Labelisasi halal pada produk kemasan;
e. Sertifikasi halal pada restoran/rumah makan yang
halal.
f. Labelisasi/pengkodean produk kemasan yang ‚tidak
halal‛;
g. Penulisan label halal pada produk kemasan harus
tertulis jelas;
h. Sertifikasi halal pada makanan dan minuman yang
disajikan di restoran/rumah makan harus dipampang;
i. Pentingnya lembaga resmi yang memberikan labelisasi/sertifikasi halal;
j. Pentingnya penulisan informasi tentang tanggal
kedaluarsa dan komposisi bahan pada produk
kemasan.
29
Bab III. Metodologi Penelitian
3. Instrumen Perilaku Mengonsumsi Produk Halal
Perilaku mengonsumsi produk halal diukur oleh 10
indikator yaitu seberapa sering (frekuensi) responden
melakukan aktifitas berikut:
a. Memeriksa komposisi/bahan makanan dan minuman
kemasan sebelum memutuskan membeli;
b. Memperhatikan ada tidaknya label halal pada produk
makanan dan minuman kemasan sebelum memutuskan membeli;
c. Mengonsumsi dan menggunakan produk makanan
dan minuman kemasan yang tidak berlabel halal.
d. Mengonsumsi makanan dan minuman yang disajikan
di restoran/rumah makan yang tidak ada sertifikasi
halal;
e. Mengonsumsi makanan dan minuman dalam kemasan
yang kehalalannya diragukan;
f. Makan di restoran yang kehalalannya diragukan;
g. Mendorong keluarga/teman dekat untuk mengonsumsi produk halal;
h. Mencegah keluarga/teman dekat untuk tidak mengonsumsi produk yang tidak halal;
i. Memberitahu keluarga/teman dekat untuk tidak
makan/minum yang disajikan restoran yang tidak
halal;
j. Memberitahu keluarga/teman dekat tentang restoran
yang terjamin kehalalan produknya.
30
Perilaku Komunitas Muslim Perkotaan dalam Mengonsumsi Produk Halal
4. Instrumen Aktifitas Keagamaan
Instrumen terkait aktifitas keagamaan dilihat dari
seberapa sering responden membaca buku-buku keagamaan (Islam) mendengarkan ceramah keagamaan di televisi/
radio, menghadiri pengajian atau acara keagamaan, diskusi
keagamaan dengan teman, kerabat, ustadz, keluarga serta
membaca atau mencari informasi yang terkait produkproduk halal (makanan dan minuman serta restoran) dalam buku, majalah, brosur, internet dan lainnya.
5. Instrumen Aktifitas Lingkungan
Instrumen faktor lingkungan atau eksternal yang
mendorong komunitas muslim perkotaan terkait produk
halal adalah keluarga, saudara/ kerabat, tetangga, pemuka
agama dan ajaran agama.
6. Instrumen Pelengkap
Instrumen pelengkap lainnya yang diasumsikan
penting terkait produk halal adalah mengidentifikasi
indikator-indikator yang diyakini sebagai restoran yang
halal, indikator yang sering dipilih (dianggap penting/
sering) oleh responden dalam mengonsumsi makanan dan
minuman di restoran, pengetahuan responden akan
undang-undang produk halal, perlunya undang-undang
sertifikasi/labelisasi halal serta lembaga resmi yang berwenang mengeluarkan sertifikasi/labelisasi halal.
D. Skala Pengukuran
Pengukuran skala variabel pengetahuan penilaian/
persepsi sikap dan perilaku adalah skala likert (1-5) dimana
respon terhadap masing-masing angka tersebut adalah:
31
Bab III. Metodologi Penelitian
1 = sangat tidak setuju/sangat tidak penting/sangat tidak
pernah/sangat tidak perlu.
2 = tidak setuju/tidak penting/jarang/tidak perlu.
3 = agak setuju/agak penting/kadang-kadang.
4 = setuju/penting/sering/perlu.
5 = sangat setuju/sangat penting/selalu/sangat perlu.
Sedangkan penelitian kualitatif menggunakan ‚interview
guide‛ untuk mengungkap informasi yang tidak dapat diungkap melalui angket di atas sekaligus untuk mendukung
analisis kuantitatif. Isi interview guide meliputi pertanyaanpertanyaan tentang konteks sosio cultural, dinamika social yang
melatar belakangi pemahaman (kognitif), penilaian (afektif)
dan perilaku (behavior) komunitas muslim perkotaan terhadap
produk halal. Pendekatan kualitatif dalam penelitian ini juga
menggali urgensi adanya UU sertifikasi halal, siapa yang tepat
mengurusi persoalan produk halal, kendala dalam sertifikasi
halal, apakah komunitas muslim perkotaan membutuhkan
sertifikasi halal serta penanggulangan atau solusi terkait
masalah-masalah di masyarakat yang berhubungan dengan
kehalalan suatu produk.
E. Model dan Hipotesis Penelitian
Model dan hipotesis penelitian terkait dengan penelitian
kuantitatif. Variabel utama dari penelitian kuantitatif ini
adalah pengetahuan akan produk halal, persepsi komunitas
muslim perkotaan dalam mengonsumsi produk halal. Meskipun demikian ada variabel pelengkap lainnya seperti faktor
lingkungan (keluarga, teman, tetangga, pemuka agama dan
ajaran agama) serta variabel aktivitas keagamaan dan
pendidikan responden yang diasumsikan memengaruhi tinggi
32
Perilaku Komunitas Muslim Perkotaan dalam Mengonsumsi Produk Halal
rendahnya variabel pengetahuan akan produk halal dan
persepsi akan produk halal.
Dari model di atas maka hipotesis penelitiannya adalah
sebagai berikut:
H₁ : Pengetahuan berpengaruh signifikan terhadap persepsi
atas produk halal.
H₂ : Persepsi atas produk halal berpengaruh signifikan
terhadap perilaku mengonsumsi produk halal.
H₃ : Pengetahuan berpengaruh signifikan terhadap perilaku
konsumen atas produk halal.
H₄ : Pendidikan keagamaan berpengaruh signifikan terhadap pengetahuan atas produk halal.
H₅ : Aktifitas keagamaan berpengaruh signifikan terhadap
pengetahuan konsumen atas produk halal.
H₆ : Lingkungan
berpengaruh
signifikan
pengetahuan akan produk halal.
terhadap
H₇ : Pendidikan berpengaruh signifikan terhadap persepsi
produk halal.
H₈ : Aktifitas keagamaan berpengaruh signifikan terhadap
persepsi produk halal.
H₉ : Lingkungan berpengaruh signifikan terhadap persepsi
produk halal.
Hipotesis model utama melibatkan variabel pengetahuan terhadap produk halal, persepsi atas produk halal
serta perilaku mengonsumsi produk halal. Hipotesis variabel
pendidikan, aktifitas keagamaan dan lingkungan dimasukkan
dalam model bertujuan untuk menguji apakah variabel
33
Bab III. Metodologi Penelitian
tersebut dapat secara signifikan mempengaruhi atau menjelaskan terhadap tinggi rendahnya variabel pengetahuan dan
persepsi.
F. Teknik Analisa Data
Analisis data dilakukan melalui dua pendekatan yaitu
analisis data kuantitatif dan analisis data kualitatif. Analisis
data kuantitatif diperoleh dari data kuesioner yang diberikan
kepada 770 responden dengan teknik purposive sampling,
sedangkan analisis data kualitatif diperoleh dari informasi
analisis data kuantitatif dilakukan melalui beberapa tahap
yaitu uji validitas dan reliabilitas kuesioner, analisis statistik
deskriptif dan analisis statistik inferensial.
1. Uji Validitas dan Reliabilitas Kuesioner
Analisis validitas butir-butir kuesioner dilakukan
melalui dua tahap yaitu dilihat dari validitas isi (content
validity) dan validitas konstrak. Pemeriksaan validitas isi
dilakukan dengan cara mengonsultasikan butir-butir
pertanyaan/instrumen yang telah disusun kepada para
ahli. Sedangkan validitas konstrak dilakukan melalui
pemeriksaan apakah butir-butir pertanyaan tersebut telah
mengukur aspek yang sama. Dalam penelitian validitas
konstrak dilakukan dengan mengkorelasikan setiap butir
pertanyaan dengan skor total melalui korelasi product
moment yang telah dikoreksi variansnya. Dalam SPSS 18
telah secara otomatis dikeluarkan dalam output corrected
Item-Total Correlation. Selanjutnya setiap nilai tersebut
dinamakan koefisien validitas. Rule of thumb koefisien validitas
di atas 0,30 dikatakan valid.
34
Perilaku Komunitas Muslim Perkotaan dalam Mengonsumsi Produk Halal
Reliabilitas merupakan indeks yang menunjukkan
sejauh mana suatu alat pengukur dapat dipercaya atau
dapat diandalkan. Ukuran statistik yang biasa digunakan
untuk menentukan apakah suatu alat ukur reliable adalah
Cronbach’s Alpha. Rule of thumb nilai Cronbach’s Alpha di
atas 0,60 atau lebih dianjurkan di atas 0,70 dikatakan
reliable.
Hasil pengolahan dengan software SPSS 18 menunjukkan bahwa semua indikator dalam variabel pengetahuan yang berjumlah 13 indikator mempunyai koefisien
validitas antara 0,399–0,779 di atas 0,30, maka dapat
dikatakan indikator tersebut valid dan dapat digunakan
untuk mengukur variabel pengetahuan atas produk halal.
Nilai koefisien reliabilitasnya adalah 0,839 di atas 0,70
mempunyai tingkat keandalan yang tinggi. Variabel
persepsi terhadap produk halal mempunyai 10 indikator
dimana semua koefisien validitasnyta valid. Nilai koefisien validitas terletak antara 0,353 – 0,676 diatas 0,30.
Sedangkan koefisien reliabilitasnya adalah 0,797. Variabel
perilaku mengonsumsi produk halal mempunyai 10
indikator dengan nilai koefisien validitas antara 0.317 –
0.728 lebih besar dari 0.30 sehingga dapat dikatakan valid.
Koefisien reliabilitasnya sangat tinggi yaitu 0.842 diatas
0.70. selengkapnya hasil output SPSS 18 ada dalam
lampiran 1.
2. Statistik Deskriptif
Statistik deskriptif digunakan untuk menjelaskan
data dalam bentuk rata-rata, frekuensi atau persentase.
Dalam penelitian ini akan dilihat persentase setiap item
pertanyaan dalam kuesioner yang menggambarkan distri-
35
Bab III. Metodologi Penelitian
busi respon jawaban responden serta nilai rata-rata (mean
skor). Selain dari kedua ukuran tersebut digunakan juga
ukuran indeks untuk mengetahui seberapa tinggi pengetahuan komunitas muslim perkotaan terhadap konsep
dasar produk halal, dan seberapa baik perilaku komunitas
muslim perkotaan dalam mengonsumsi produk halal.
Indeks ini digunakan sebagai ukuran tunggal keseluruhan
terkait tinggi rendahnya variabel pengetahuan dan perilaku komunitas muslim perkotaan. Indeks diperoleh dari
nilai ‚mean skor‛ seluruh indikator. Kualitas indeks ini
dapat diartikan dalam 5 rentang berikut, yaitu:
PENGETAHUAN
RENTANG
1,00 - 1,80
1,81 – 2,60
2,61 – 3,40
3,41 – 4,20
4,21 – 5,00
Sangat rendah
Rendah
Cukup tinggi
Tinggi
Sangat tinggi
PERILAKU
Arti
Sangat buruk
Buruk
Cukup baik
Baik
Sangat baik
3. Statistik Inferensial
Statistik inferensial digunakan untuk melihat apakah
ada pengaruh yang signifikan antara pengetahuan terhadap penilaian/persepsi sikap dan apakah ada pengaruh
yang signifikan antara pengetahuan dan penilaian/
persepsi sikap terhadap perilaku mengonsumsi produk
halal. Analisis statistik yang digunakan adalah analisis
jalur (path analysis) dengan alpha 5%. Analisis jalur ini
digunakan untuk menguji hipotesis hubungan pengaruh
antara variabel dengan bantuan statistik F dan statistik t.
Statistik F digunakan sebagai uji bersama (simultan) antara
variable independen terhadap variable dependen sedangkan uji
36
Perilaku Komunitas Muslim Perkotaan dalam Mengonsumsi Produk Halal
t digunakan sebagai uji individu variable independen
terhadap variable dependen. Besarnya pengaruh secara
bersama variable independen terhadap variable dependen
dilihat dari nilai R square sedangkan besar pengaruh secara
individu variable independen terhadap varible dependen
dilihat dari koefisien jalur. Bila pengaruh secara individu
tersebut dilihat dalam bentuk Persentase (%) maka
dihitung dengan cara mengalikan antara koefisien jalur
dengan nilai korelasinya.
4. Analisis Data Kualitatif
Pengumpulan data kualititatif dilakukan melalui
interview terhadap tokoh agama/masyarakat/pengusaha/dosen. Analisis data kualitatif dilakukan menggunakan teknik reduksi data, display dan analisis
serta kesimpulan. Analisis data kualitatif dilakukan
dimulai dengan mengorganisir informasi dan data,
kemudian melakukan coding, kategorisasi data, menguraikan kasus-kasus sesuai konteksnya, menetapkan pola dan mencari hubungan antara beberapa
kategori. Selanjutnya melakukan inter-pretasi dan
mengembangkan generalisasi natural dari kasus baik
untuk peneliti maupun untuk penerapannya pada
kasus yang lain. Analisis ini digunakan untuk
memperkuat beberapa temuan yang ada dalam
analisis kuantitatif.
G. Waktu
Waktu penelitian ini dilaksanakan selama 7 (tujuh)
bulan, mulai dari persiapan sampai pembuatan laporan dan
37
Bab III. Metodologi Penelitian
executive summary bulan Juni s/d Desember 2011, dengan
rincian pekerjaan sebagai berikut :
Tabel 1
Jadwal Penelitian
Perilaku Komunitas muslim perkotaan Dalam Mengonsumsi
Produk Halal
No
1
38
Kegiatan
Penyiapan DO, IPD, Kuesioner
Pembahasan DO, IPD, Kuesioner
2
Try Out
3
Hasil Try Out
4
Penyempurnaan Hasil Try Out
5
Penyempurnaan DO, IPD
dan TRY OUT
6
Pengumpulan Data
7
Entry Data
8
Analisis Data
9
Pra Seminar
10
Perbaikan
11
Seminat
12
Pelaporan dan Penggandaan
Hasil
Bulan (2011)
Jun
Jul
Ags
Sep
Okt
Nov
Des
Perilaku Komunitas Muslim Perkotaan dalam Mengonsumsi Produk Halal
BAB IV
HASIL DAN ANALISIS
A. Demografik Responden
P
enelitian ini melibatkan 770 responden akan tetapi
data yang dapat dianalisis hanya 764 responden.
Jumlah ini cukup layak digunakan untuk dianalisis
selanjutnya. Tahap awal dari analisis data adalah melihat
distribusi demografik responden yaitu jumlah responden
perkota, distribusi responden berdasarkan jenis kelamin, usia,
pendidikan, pekerjaan dan pengeluaran.
Memotret populasi dengan sekelompok sampel responden bukan hal yang sederhana. Populasi muslim di Indonesia
dengan keberagamannya dapat dimengerti kompleksitas
variabel yang menyusun pengetahuan, persepsi maupun
perilakunya. Keterwakilan daerah industri, daerah dominan
budaya lokal dan daerah muslim yang minoritas telah
ditentukan secara purposive sehingga terdapat 7 (tujuh) kota
sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Selanjutnya dari kerangka sampel yang ada di setiap kota, peneliti berusaha
melakukan pengambilan sampel secara random, sehingga
diperoleh 110 orang di masing-masing kota. Sedangkan
informan untuk tahapan riset kualitatif tidak ditentukan
jumlah dari awal, tetapi menggunakan prinsip pengumpulan
data hingga mencapai data saturation, yakni hingga tidak ada
lagi informasi baru yang diperoleh.
‚qualitative researchers continue to collect data until they
reach a point of data saturation. Data saturation occurs when the
39
Bab IV. Hasil dan Analisis
researcher is no longer hearing or seeing new information. Unlike
quantitative researchers who wait until the end of the study to
analyze their data, qualitative researcher analyze their data
throughout their study‛8.
Karakteristik sampel yang diperoleh perlu dijelaskan
dalam upaya memahami komunitas responden sebagai dasar
seberapa jauh generalisasi diberlakukan. Responden pada
dasarnya adalah bagian dari komunitas muslim yang tinggal
di area perkotaan. Sekalipun ada yang berasal dari rural area,
mereka sudah tinggal di kota untuk sekolah, kuliah, bekerja
atau berkeluarga. Sebagaimana diketahui sejak tahun sembilan puluhan terjadi transformasi sosial terkait kecenderungan berperilaku masyarakat perkotaan. Transformasi
sosial sejak menjelang era reformasi ditunjukkan oleh komunitas muslim perkotaan, dengan perkembangan Industrialisasi yang menjadikan area perkotaan memiliki daya tarik
ekonomi. Arus urbanisasi bergelombang menghasilkan suatu
komunitas kelas pekerja yang terkonsentrasi di perkotaan.
Status sosial ekonomi masyarakat perkotaan mulai didominasi kelompok berpenghasilan UMR dan kelompok kelas
menengah yang membelanjakan 2 USD (Rp 18.000) per hari
sampai dengan 20 USD (Rp 180.000 per hari) sejak sekitar
tahun 20009. Hal ini sejalan dengan data pertumbuhan kelas
menengah yang dilaporkan Kompas Telkomsel Mobile Newspaper.10
Transformasi sosial terjadi pada masyarakat perkotaan
sebagai bentuk manifestasi pencarian identitas dan peme8
Bryman, Alan. 2008. Social Research Methods. Oxford University Press. 748
halaman
9
Kompas Telkomsel Mobile Newspaper, 19 Desember 2011.
10
ibid
40
Perilaku Komunitas Muslim Perkotaan dalam Mengonsumsi Produk Halal
nuhan spiritualitas di tengah tuntutan rasionalisasi industri,
rutinitas kompetitif dan solidaritas organic.11 Sejumlah kondisi dan dinamika perkotaan memicu tumbuhnya lembagalembaga baru, sebagaimana kesimpulan dari teori Weber yang
menekankan rasionalisasi aspek cara mencapai tujuan
(instrumental progresif), menjadikan lahirnya lembaga-lembaga
baru sebagai ciri utama proses industrialisasi. Sistem kelembagaan baru ini berfungsi mendukung proses industrialisasi,
dimana industrialisasi dikatakan berkait dengan perubahan
sosial (Dawam Raharjo, 1999). Lebih lanjut dikatakan Raharjo
bahwa industrialisasi terbukti telah menimbulkan perubahanperubahan mendasar dalam suatu masyarakat dan membawa
berbagai bangsa kepada kemajuan material, kebudayaan dan
spiritual. Lembaga-lembaga baru ini, diantaranya berbentuk
ormas, NGO atau ikatan profesi yang berperan cukup besar
dalam membangun opini, bahkan mengubah pengetahuan,
persepsi dan perilaku anggotanya dengan ikatan keanggotaan.
Proses industrialisasi perkotaan bukan hanya mewarnai
kota-kota industri seperti Surabaya, Batam, Bandung dan DKI
Jakarta. Kota-kota yang didominasi budaya lokal seperti Solo
dan juga kota-kota minoritas muslim seperti Menado dan Bali.
Tujuh kota yang dipilih secara purposive ini setidaknya memiliki kesamaan dalam hal mengalami perkembangan industri
yang cukup pesat.
11
Menurut Emile Durkheim, ketika masyarakat semakin kompleks, terjadi
pembagian kerja, timbul spesialisasi yang pada akhirnya menimbulkan
ketergantungan antar individu atas dasar pembagian kerja. Hal ini juga
menggairahkan individu untuk meningkatkan kemampuannya secara individual
sehingga “kesadaran kolektif” semakin redup kekuatannya. Solidaritas ini ada pada
masyarakat Industri.
41
Bab IV. Hasil dan Analisis
1. Distribusi Responden Per Kota
Jumlah responden setiap kota adalah 110 orang
kecuali di Kota Manado yang berjumlah 104 orang,
sehingga total responden sebanyak 764 orang. Hal ini
sebagaimana diketengahkan dalam tabel berikut:
Tabel 1.
Jumlah responden setiap Kota
Kota
Jakarta
Bandung
Denpasar
Batam
Surabaya
Solo
Manado
Total
Jumlah
110
110
110
110
110
110
104
764
2. Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin
Dilihat dari jenis kelamin, perimbangan jumlah
responden dalam penelitian ini tidak jauh berbeda; mereka
yang berjenis kelamin laki-laki sebanyak 389 orang atau
51% dari total 764 responden sedangkan mereka yang
berjenis kelamin perempuan sebanyak 375 orang atau
mencapai 49%.
Gambaran dari perimbangan jumlah dimaksud dapat
dilihat pada chart berikut:
42
Perilaku Komunitas Muslim Perkotaan dalam Mengonsumsi Produk Halal
3. Distribusi Responden Berdasarkan Status Perkawinan
Ditilik dari status perkawinan survey ini mencatat
bahwa jumlah responden yang sudah menikah lebih
banyak dibanding mereka yang belum menikah. Mereka
yang sudah menikah (menikah/ duda/janda) tercatat
sebanyak 462 orang (60%), sedangkan sisanya 302 orang
(40%) belum menikah.
Gambaran dari perimbangan jumlah dimaksud dapat
dilihat pada chart seperti berikut:
Menikah
60%
Belum
Menikah
40%
4. Distribusi Responden Berdasarkan Usia
Dari sisi usia, responden yang menjadi subjek
penelitian ini terbagi dalam beberapa kelompok umur:
paling banyak ditempati kelompok berusia 26-35 tahun
43
Bab IV. Hasil dan Analisis
mencapai 256 orang (33%), diikuti responden yang berusia
36-45 tahun berjumlah 198 orang (26%), dan responden
berusia 20-25 tahun yang mencapai 197 orang (26%).
Gambaran dari perimbangan kelompok usia dimaksud
dapat dilihat pada chart berikut ini:
diatas 55
tahun 4%
46-55
tahun
11%
20-25
tahun
26%
26-35
tahun
33%
26-35
tahun
33%
Sebaran usia responden ini sesuai dengan potret
populasi komunitas perkotaan yang didominasi usia
produktif. Angkatan kerja tertarik bermigrasi dan mengisi
lapangan kerja yang tersedia di area perkotaan.
5. Distribusi Responden Berdasarkan Jenjang Pendidikan
Berdasarkan latar belakang pendidikan responden
dalam survey ini didominasi oleh mereka yang berpendidikan SLTA mencapai 306 orang atau 40,1%. Kelompok
kedua terbesar adalah mereka yang berpendidikan
sarjana/S1 tercatat sebanyak 223 orang (29,2%), diikuti oleh
responden yang berlatar belakang pendidikan SLTP
berjumlah 88 orang (11,5%), SD 63 orang (8,2%), serta
44
Perilaku Komunitas Muslim Perkotaan dalam Mengonsumsi Produk Halal
diploma 61 orang (8%). Sedangkan sisanya sebanyak 23
orang (3%) memiliki pendidikan pasca sarjana.
Latar belakang pendidikan responden yang diambil dari
kerangka sampel populasi muslim perkotaan ini menunjukkan bahwa mereka sebagian besar berpendidikan SLTA
dan sarjana. Kedua jenjang pendidikan ini mendo-minasi
prasyarat kompetisi untuk mengisi sebagian besar peluang
tenaga kerja di perkotaan.
6. Distribusi Responden Berdasarkan Pekerjaan
Dilihat dari latar belakang pekerjaan, mayoritas responden dalam penelitian ini didominasi oleh para
karyawan swasta yang mencapai 315 orang atau 41,2%.
Responden sebagai PNS menempati urutan kedua berjumlah 151 orang (19,8%), diikuti oleh pedagang/wiraswasta berjumlah 117 orang (15,3%), ibu rumah tangga 82
orang (10,7%). Selebihnya adalah sebagai guru/dosen
45
Bab IV. Hasil dan Analisis
mencapai 48 orang (6,3%). Mereka yang hidup sebagai
petani, TNI/Polri, pensiunan, freelance, mahasis-wa dan
karyawan BUMN/BUMD yang mencapai 51 orang (6,7%).
Gambaran perimbangan responden berdasarkan pekerjaan dapat dilihat pada chart berikut ini:
7. Distribusi Responden Berdasarkan Pengeluaran Perbulan
Pengelompokan responden berdasarkan pengeluaran perbulan didominasi oleh responden dengan pengeluaran kurang dari Rp. 2 juta setiap bulan mencapai
512 orang atau 67,1%, disusul responden yang pengeluarannya lebih dari Rp. 2 juta setiap bulan sebanyak 252
orang (32,9%).
46
Perilaku Komunitas Muslim Perkotaan dalam Mengonsumsi Produk Halal
Gambaran lebih rinci perimbangan responden berdasarkan pengeluaran dapat dilihat pada chart berikut:
B. Pengetahuan Komunitas Muslim Terhadap Produk Halal
Dalam penelitian ini, pengetahuan komunitas muslim
terhadap produk halal diukur melalui sejumlah indikator.
Indikator-indikator dimaksud adalah sebagai-mana ditengahkan dalam tabel 2 di bawah ini.
47
Bab IV. Hasil dan Analisis
1. Distribusi Persentase Pengetahuan Komunitas Muslim
terhadap Produk Halal
Tabel 2. Distribusi Persentase Responden dan Mean Skor
Indikator Produk Halal
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
%
%
%
%
1
1
2
27
69
4.64
764
0
0
2
23
75
4.75
764
0
0
2
31
67
4.64
764
0
1
1
33
66
4.64
764
0
0
6
42
51
4.42
764
0
1
5
40
55
4.49
764
0
0
9
45
44
4.31
764
0
1
5
32
63
4.58
764
0
1
6
33
60
4.52
764
0
1
8
40
51
4.41
764
0
1
3
22
74
4.70
764
1
1
5
31
62
4.54
764
0
1
5
28
66
Indeks Pengetahuan keseluruhan
Sangat
mengetahui
%
Mengetahui
Agak
mengetahui
2.
Tidak mengandung
organ tubuh
manusia
Tidak mengandung
babi
Tidak mengandung
Khamer
Tidak mengandung
unsur najis
Tidak rusak/
kadaluarsa
Tidak mengandung
bahan berbahaya
Bukan barang
illegal
Ada sertifikasi halal
dari MUI
Ada tulisan/label
halal
Ada nomor
pendaftaran produk
pangan/nomor izin
edar dari BPOM
(Kementerian
Kesehatan)
Hewan yang
disembelih dg
menyebut nama
Allah
Haram memakan
bangkai (kecuali
ikan dan belalang)
Haram memakan
darah
Tidak
mengetahui
1.
Pernyataan
Sangat tidak
mengetahui
No.
Mean skor
Distribusi Persentase Respon Jawaban
N
4.58
764
4.55
764
Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa
jawaban responden terkait ke-13 indikator pengetahuan
48
Perilaku Komunitas Muslim Perkotaan dalam Mengonsumsi Produk Halal
produk halal menyebar antara rentang ‚mengetahui dan
sangat mengetahui‛. Secara keseluruhan persentase
pengetahuan responden terkait produk halal berada pada
rentang antara 91% - 99%. Hal ini menunjukkan bahwa
antara 91% - 99% responden mengetahui konsep dasar
produk halal seperti ‚larangan mamakan daging babi,
darah, produk mengandung organ tubuh manusia,
khamer, mengandung unsur najis‛. Persentase pengetahuan responden dalam aspek produk halal yang
mendasar adalah produk yang tidak mengandung babi
mencapai 98% dan produk yang tidak mengandung
khamer mencapai 98%. Hal ini menunjukkan bahwa
pengetahuan dasar komunitas muslim terkait kedua indikator tersebut sangat tinggi.
2. Indeks Pengetahuan atas Produk Halal
Tingkat pengetahuan komunitas muslim sebagaimana digambarkan di atas dapat dihitung melalui suatu
indeks yang disebut ‚indeks pengetahuan atas produk
halal‛ yang dibuat dalam rentang 5 (dimulai dari tingkat
kualitas ‚sangat tidak tahu‛ dengan skor 1 hingga ke level
‚sangat mengetahui‛ dengan skor 5). Hasil analisis 4,55
sebagaimana tertera pada tabel 2 di atas menunjukkan
tingkat kualitas ‚sangat tinggi‛, dengan pengertian bahwa
tingkat pengetahuan komunitas muslim terkait produk
halal pada tujuh kota yang diteliti adalah ‚sangat tinggi‛.
Sangat tingginya skor indeks pengetahuan di atas menunjukkan bahwa komunitas muslim memahami indikatorindikator produk haram terutama terkait indikator dasar
seperti haram memakan babi, darah, adanya unsur najis
dan mengonsumsi khamer, dan lainnya. Untuk menun-
49
Bab IV. Hasil dan Analisis
jukkan indikator mana yang diketahui sangat tinggi oleh
responden maka digunakan ukuran nilai ‚mean skor‛. Nilai
mean skor ini menunjukkan indeks tingkat pengetahuan
responden pada setiap indikator produk halal.
Berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui bahwa semua
nilai mean skor setiap indikator lebih dari 4,21 menunjukkan bahwa responden memiliki tingkat pengetahuan
‚sangat tinggi‛ atas setiap indikator produk halal.
Selanjutnya urutan indikator dari tingkat yang tertinggi sampai terendah adalah sebagai berikut:
Indikator pengetahuan responden terhadap produk
halal yang tertinggi dengan nilai mean skor 4,73 (dalam
skala 5) adalah bahwa produk halal adalah produk yang
tidak mengandung babi. Komunitas muslim di tujuh kota
mengetahui bahwa mengonsumsi produk yang mengandung babi hukumnya haram. Pengetahuan mengenai
haramnya mengonsumsi produk yang mengandung babi
menunjukkan bahwa pengetahuan masyarakat Islam
untuk mengonsumsi produk yang tidak halal cukup
50
Perilaku Komunitas Muslim Perkotaan dalam Mengonsumsi Produk Halal
tinggi. Indikator lain mengenai pengetahuan responden
terhadap produk halal yang dinilai sangat tinggi adalah
ketika seseorang menyembelih hewan harus menyebut
nama Allah, produk yang dikonsumsi tidak mengandung
unsur najis, tidak mengandung khamer (memabukkan) dan
tidak mengandung organ tubuh manusia.
3. Uji Perbedaan Tingkat Pengetahuan Produk Halal pada
setiap Karakteristik Demografik Responden
Tabel 3. Uji F Tingkat Pengetahuan Produk Halal
Karakteristik
Jenis Kelamin
Status Perkawinan
Usia
Pendidikan
Pengeluaran
Kota
Statistik F
Tingkat
Signifikansi
13.112
5.479
2.098
4.074
2.440
4.330
0,000*
0,020*
0,079
0,001*
0,033*
0,000*
Keterangan
Signifikan
Signifikan
Tidak signifikan
Signifikan
Signifikan
Signifikan
*Signifikan pada alpha 5%.
Berdasarkan hasil pengujian dengan statistik F diketahui bahwa ada perbedaan tingkat pengetahuan akan
produk halal yang signifikan antara jenis kelamin perempuan dan laki-laki, antara responden yang berstatus telah
menikah dengan responden yang belum menikah serta
antara tingkat pendidikan yang berbeda, tingkat pengeluaran serta kota tinggal antara responden sedangkan
karakteristik usia tidak berbeda signifikan pada alpha 5%.
51
Bab IV. Hasil dan Analisis
4. Tingkat Pengetahuan terhadap Produk Halal Berdasarkan Jenis Kelamin
Meskipun tidak jauh berbeda data yang terkumpul
mengenai tingkat pengetahuan responden terhadap produk halal menurut jenis kelamin, namun terdapat
kecenderungan bahwa responden wanita mempunyai
tingkat pengetahuan yang lebih tinggi terhadap produk
halal dibandingkan responden laki-laki. Hal ini bisa dilihat
pada mean skor responden perempuan sebesar 4,606 yang
berada pada tingkat ‚sangat tinggi‛ sedang nilai mean
skor responden laki-laki sebesar 4,502 sedikit berada di
bawah nilai mean skor responden wanita, meskipun
keduanya berada pada level indeks ‚sangat tinggi‛. Nilai
standard deviasi responden perempuan sebesar 0,386 lebih
kecil dibanding nilai standard deviasi laki-laki yang
besarnya mencapai 0,404, menunjukkan bahwa responden
perempuan mempunyai tingkat pengetahuan yang relatif
homogen dibanding laki-laki dalam pengetahuan produk
halal. Gejala ini mungkin disebabkan bahwa secara umum
responden perempuan lebih banyak berinteraksi dengan
makanan dan minuman atau penyediaan konsumsi
produk, sehingga wajar jika mereka memiliki tingkat
pengetahuan lebih tinggi dibanding dengan laki-laki.
Tabel 4.
Statistik Deskriptif Tingkat Pengetahuan Responden Menurut Jenis Kelamin.
Jenis Kelamin
52
N
Mean
Std Deviasi
Laki-Laki
389
4.502
0.404
Perempuan
375
4.606
0.386
Perilaku Komunitas Muslim Perkotaan dalam Mengonsumsi Produk Halal
5. Tingkat Pemahaman Responden terhadap Produk Halal
Menurut Latar Belakang Pendidikan
Meskipun secara umum tingkat pengetahuan terhadap produk halal pada setiap kelompok responden
dapat dikatakan tidak memiliki perbedaan yang signifikan, karena semuanya berada pada skala indeks ‚sangat
tinggi‛ (4,4 – 5), namun jika diperhatikan lebih seksama
terdapat trend peningkatan yang linear antara pengetahuan responden dengan peningkatan tingkat pendidikan dari satu jenjang ke jenjang yang lain. Responden
tingkat pendidikan pasca sarjana mempunyai nilai mean
skor tertinggi yakni 4,692 dibanding responden pada
tingkat pendidikan lainnya. Kemudian diikuti oleh
responden berpendidikan sarjana yang mencapai mean skor
4.623. Responden pada jenjang pendidikan SLTA
memperoleh skor 4.540 sedikit berada di bawah skor
responden SD maupun SLTP yang mempunyai mean skor
paling kecil dari semua kelompok responden. Hal ini
dapat disimak dari tabel dan grafik berikut:
Tabel 5.
Statistik Deskriptif Tingkat Pengetahuan Responden Menurut Pendidikan
Kota
SD
SLTP
SLTA
Diploma
Sarjana
Pasca Sarjana
N
63
88
306
61
223
23
Mean
4,444
4,456
4,540
4.565
4.623
4.692
Std. Deviasi
0.444
0.449
0.403
0.355
0.361
0.318
53
Bab IV. Hasil dan Analisis
6. Tingkat Pengetahuan Responden terhadap Produk Halal
Berdasarkan Kota
Dapat dikatakan bahwa secara umum tingkat
pengetahuan responden terhadap konsep dasar produk
halal pada setiap kota berada dalam rentang kualitas
‚sangat tinggi‛. Dengan kata lain pengetahuan responden
di tujuh kota yang berbeda mempunyai tingkat pengetahuan atas produk halal yang sangat memadai. Responden yang tinggal di Kota Bandung mempunyai tingkat
pengetahuan dengan nilai mean skor 4,657 paling tinggi
diantara kota lainnya, disusul Denpasar, Batam, Jakarta,
Solo, Surabaya dan Manado. Kendati terdapat perbedaan
variasi antara kota satu dengan lainnya, namun ditilik dari
pencapaian indeks perbedaan ternyata tidak pada rentang
4,5 – 5 yang berarti tingkat pengetahuan mereka ‚sangat
tinggi‛.
Distribusi tingkat pengetahuan responden pada
setiap kota dapat difahami dari tabel dan chart berikut:
54
Perilaku Komunitas Muslim Perkotaan dalam Mengonsumsi Produk Halal
Tabel 6.
Kota
Jakarta
Bandung
Denpasar
Batam
Surabaya
Solo
Manado
Statistik Deskriptif Tingkat Pengetahuan Berdasarkan Kota
N
110
110
110
110
110
110
104
Mean
4.552
4.657
4.613
4.585
4.491
4.550
4.418
Std. Deviasi
0.348
0.351
0.366
0.416
0.422
0.348
0.489
7. Sumber Pengetahuan Responden
Berdasarkan data yang diperoleh dari jawaban responden diketahui bahwa pengetahuan/pemahaman mereka terhadap produk halal umumnya diperoleh dari
sejumlah aktifitas keagamaan yang terinci sebagaimana
diketengahkan dalam tabel berikut ini
55
Bab IV. Hasil dan Analisis
Tabel 7. Aktifitas Keagamaan
1.
2.
3.
4.
5.
35
40
11
3.47
764
0
6
23
52
19
3.82
764
2
11
35
37
15
3.53
764
1
15
40
34
10
3.37
764
8
19
36
27
10
3.13
764
Selalu
13
Sering
1
Kadang-kadang
Membaca buku-buku
keagamaan (Islam)
Mendengarkan ceramah
keagamaan di televisi/radio
Menghadiri pengajian, acara
keagamaan
Diskusi keagamaan dengan
teman, kerabat, ustadz,
keluarga
Membaca atau men-cari
informasi yang terkait
produk-produk halal
(makanandan minuman serta
resto-ran) dalam buku,
majalah, brosur, internet dan
lainnya.
N
Jarang
Pernyataan
Tidak Pernah
No.
Mean skor
Distribusi Persentase Respon
Jawaban
%
%
%
%
%
Berdasarkan tabel di atas aktifitas keagamaan yang
paling banyak memberikan informasi tentang produk
halal adalah ‚mendengarkan ceramah keagamaan di
radio/televisi‛. Jumlah responden yang melakukan
aktifitas ini menempati urutan teratas yakni sebanyak 71%.
Kemudian diikuti oleh aktifitas keagamaan seperti
menghadiri pengajian 52%, membaca buku ke-Islaman
51%, berdiskusi mengenai tema-tema keagamaan dengan
ustadz, kerabat atau keluarga 44%, sedangkan yang bersumber dari upaya mencari informasi di luar kegiatan di
atas menempati urutan terendah yakni 37% responden.
C. Persepsi Komunitas Muslim terhadap Produk Halal
Persepsi responden terhadap produk halal adalah bagaimana mereka memandang penting kehalalan suatu produk
56
Perilaku Komunitas Muslim Perkotaan dalam Mengonsumsi Produk Halal
yang akan dikonsumsi. Dalam penelitian ini persepsi diukur
menggunakan beberapa indikator, meliputi seberapa besar
keinginan (harapan) mereka untuk mengonsumsi produk
halal bagaimana responden meyakini produk yang akan
dikonsumsi terjamin kehalalannya apakah mereka meyakini
terhadap dampak mengonsumsi produk tidak halal bagi
tubuh serta perlu tidaknya labelisasi halal.
1. Distribusi Persentase Responden dalam Elemen Persepsi
(Harapan/Keyakinan)
Dari data yang berhasil dihimpun melalui penelitian
ini dapat diketahui bahwa persepsi komunitas muslim
untuk mengonsumsi produk halal adalah ‚sangat positif‛
berada dalam rentang antara 89% sampai dengan 95%.
Dari indikator ini menunjukkan adanya harapan
(keinginan) yang ‚sangat tinggi‛ dari komunitas muslim
untuk mengonsumsi produk halal. Dengan kata lain,
mayoritas responden menunjukkan harapan (keinginan)
yang sangat tinggi agar ‚semua makanan dan minuman
dalam kemasan serta makanan dan minuman yang disajikan restoran/rumah makan terjamin kehalalannya‛.
Harapan yang sangat tinggi tersebut didukung oleh
keyakinan komunitas muslim bahwa jika mengonsumsi
makanan dan minuman yang tidak halal akan berpengaruh negatif terhadap tubuh. Berdasarkan ajaran
agama, komunitas muslim meyakini bahwa setiap makanan yang dimakan akan membentuk sikap dan perilaku.
Sikap dan perilaku terbentuk dari makanan yang dikonsumsi. Oleh karena itu mengonsumsi sesuatu yang haram
akan berpengaruh negatif terhadap tubuh. Survey mencatat bahwa ada 95% responden mendukung pernyataan
57
Bab IV. Hasil dan Analisis
adanya pengaruh negatif jika mengonsumsi produk tidak
halal. Selain itu sebanyak 89% memastikan tidak akan
membeli suatu produk kemasan atau makanan di suatu
restoran terkecuali mereka yakin bahwa produk yang akan
mereka konsumsi terjamin kehalalannya.
Gambaran secara jelas dari kecenderungan dimaksud
dapat dilihat dari tabel berikut ini.
Tabel 8.
Distribusi Persentase Respon jawaban dan
Mean Skor untuk elemen Persepsi.
Agak setuju
Setuju
Sangat setuju
3.
Tidak setuju
2.
Sebagai seorang muslim saya
berharap bahwa semua makanan
dan minuman yang disajikan di
restoran/rumah makan terjamin
kehalalannya
Mengonsumsi makanan dan
minuman dlm kemasan dan
makanan dan minuman yang
disajikan di restoran/rumah
makan yang tidak halal akan
memberikan pengaruh negatif
terhadap tubuh kita
Saya tidak akan membeli
makanan dan minuman dlm
kemasan, makanan dan
minuman yang disajikan di
restoran/rumah makan kecuali
saya yakin bahwa makanan dan
minuman itu halal
Sangat tidak
setuju
1.
Pernyataan
Mean skor
Distribusi Persentase Respon Jawaban
No.
%
%
%
%
%
0
1
4
26
69
4.62
764
1
2
6
39
52
4.40
764
0
2
9
38
51
4.39
764
N
Tabel di atas tidak saja menunjukkan bahwa persepsi
responden memiliki kecenderungan kearah yang ‚sangat
positif‛ tetapi sekaligus mengindikasikan bahwa tingkat
kehati-hatian komunitas muslim dalam memilih untuk
58
Perilaku Komunitas Muslim Perkotaan dalam Mengonsumsi Produk Halal
mengonsumsi/tidak mengonsumsi suatu produk makanan
dan minuman adalah sangat tinggi. Penelitian ini mengungkap pula fakta bahwa ada sejumlah tanda/pedoman/clue yang umumnya digunakan oleh umat Islam
untuk membangun persepsi bahwa produk yang disajikan
di suatu restoran/rumah makan terjamin kehalalannya.
Tanda/pedoman/clue tersebut adalah sebagaimana tertera
dalam tabel berikut ini.
Tabel 9.
Distribusi Persentase jawaban respoden dan
mean skor indikator yang diyakini menunjukkan kehalalan produk pada suatu restoran.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Mendapatkan informasi dari
teman/kerabat tentang
kehalalannya
Lingkungan atau tempat
restoran/rumah makan tidak
berdekatan dengan
restoran/rumah makan yang
menjual makanan dan minuman
yang tidak halal
Sangat setuju
%
%
%
%
%
Mean skor
Setuju
Ada simbol ke-Islaman (gambar
masjid, gambar ka’bah, foto
habib
Ada tulisan Arab “halal” yang
dipampang
Tidak menyediakan menu
makanan dan minuman yang
tidak halal
Cara mengolah makanannya
thayyib/sesuai dengan ketentuan
agama
Ada sertifikasi halal dari MUI
Agak setuju
Pernyataan
Tidak setuju
No.
Sangat Tidak
setuju
Distribusi Persentase Respon Jawaban
N
2
22
28
33
15
3.37
764
1
7
16
43
34
4.03
764
0
3
8
41
48
4.34
764
0
0
2
42
56
4.52
764
0
0
5
36
59
4.54
764
0
5
18
53
24
3.94
764
1
7
21
40
31
3.92
764
Berdasarkan tabel di atas, indikator utama yang
paling diyakini menunjukkan kehalalan produk yang
disajikan pada suatu restoran/rumah makan adalah
59
Bab IV. Hasil dan Analisis
meliputi tiga hal, yakni adanya sertifikasi halal dari MUI,
cara mengolah makanannya thayyib/ sesuai dengan ketentuan agama, serta tidak menyediakan menu makanan dan
minuman yang tidak halal.
Untuk indikator pertama, terdapat 95% responden
meyakini bahwa jika sebuah restoran/rumah makan
memiliki sertifikasi halal dari MUI maka restoran tersebut
dipastikan sajiannya dianggap halal. Kedua, cara mengolah makanan sesuai ketentuan Islam, dinilai 98% responden sebagai indikasi bahwa restoran itu halal. Ketiga
indikator ‚tidak menyediakan menu makanan dan
minuman yang tidak halal‛ diyakini 85% responden.
Indikator lain yang memperoleh penilaian cukup tinggi
adalah informasi dari rekan/kerabat tentang keberadaan
restoran yang halal (77%). Sementara Indikator lokasi
restoran yang menjual makanan atau minuman tidak
halal‛ besaran persentase 71% yang menarik, indikator
simbol keagamaan seperti gambar masjid, Ka’bah dan foto
Habib yang dipampang ternyata tidak sepenuhnya
diyakini oleh responden sebagai petunjuk kehalalan sajian
suatu restoran. Terbukti hanya 48% responden yang
percaya bahwa simbol keagamaan merupakan tanda
bahwa restoran itu halal. Uniknya, dibandingkan dengan
simbol-simbol keagamaan lainnya indikator tulisan Arab
halal lebih tinggi diyakini sebagai restoran halal. Ada 77%
responden meyakini bahwa jika ada tulisan Arab ‚halal‛
mengidentifikasikan sebagai restoran yang halal.
Secara keseluruhan urutan indikator yang diyakini
sangat penting dan diyakini menunjukkan kehalalan
60
Perilaku Komunitas Muslim Perkotaan dalam Mengonsumsi Produk Halal
produk pada sebuah restoran/rumah makan adalah
sebagai berikut.
Hasil diagram di atas menunjukkan bahwa sertifikasi halal dari MUI diasumsikan sebagai petunjuk utama
yang diyakini bahwa restoran itu halal. Hasil dari mean
skor menunjukkan nilai 4,54 (dalam skala 5). Cara
mengolah makanan dan minuman sesuai ketentuan agama
yang telah diketahui sebelumnya oleh responden
menunjukkan skala kepentingan yang tinggi. Selanjutnya
adalah restoran yang tidak menyediakan minuman yang
memabukkan (khamer) serta restoran yang tidak menyediakan menu tidak halal. Sedangkan indikator simbol
keagamaan dan lingkungan dinilai sebagai indikator yang
memiliki tingkat kepentingan agak tinggi meskipun lebih
rendah dari indikator lainnya.
Kecenderungan responden dalam membangun persepsi berdasarkan petunjuk/tanda sebagaimana diuraikan
di atas, ternyata bervariasi antara kota satu dengan yang
lain. Hal ini dijelaskan dalam uraian berikut.
61
Bab IV. Hasil dan Analisis
Tabel 10. Mean Skor Indikator yang Diyakini Menunjukkan Kehalalan Produk pada Suatu Restoran
Setiap Kota.
6
7
Manado
5
Solo
4
Surabaya
3
Batam
2
Ada simbul keIslaman (gambar
masjid, gambar
ka’bah, foto habib).
Ada tulisan Arab “
halal ” yang
dipampang.
Tidak menyediakan
menu makanan dan
minuman yang
tidak halal.
Cara mengolah
makanannya
thayyib/sesuai
dengan ketentuan
agama
Ada sertifikasi halal
dari MUI
Mendapatkan
informasi dari
teman/kerabat
tentang kehalalannya
Lokasi atau tempat
restaurant/rumah
makan tidak
berdekatan dengan
restoran/rumah
makan yang menjual
makanan dan
minuman yang tidak
halal
Denpassar
1
Pernyataan
Bandung
No
Jakarta
KOTA
3.26
3.16
3.48(3)
3.64(1)
2.92
3.09
4.08
4.02
4.09
4.14
4.23
3.93
3.85
3.95
4.18(4)
4.57(4)
4.28
4.45
4.32(4)
4.36(4)
4.20
4.41(2)
4.65(1)
4.57(2)
4.55(3)
4.47(2)
4.50(1)
4.51(2)
4.49(1)
4.59(3)
4.64(1)
4.56(2)
4.52(1)
4.44(2)
4.52(1)
3.85
3.97
4.02
4.05
3.85
3.83
4.02
3.82
3.97
3.79
4.17
3.87
3.53
4.30(4)
Catatan : Angka dalam kotak menunjukan mean skor sedangkan angka
(1),(2),(3),(4) menunjukan urutan tingkat keyakinan utama
Dari tabel di atas terlihat jelas bahwa komunitas
Muslim di Kota Jakarta, Bandung, Surabaya dan Solo
62
Perilaku Komunitas Muslim Perkotaan dalam Mengonsumsi Produk Halal
mempunyai kecenderungan yang sama dalam meyakini
sebuah restoran itu halal atau tidak yaitu berdasarkan 3
indikator utama. Indikator itu adalah ada sertifikasi MUI,
tidak menyediakan menu makanan/minuman yang tidak halal,
serta cara mengolah makanan dan minuman di restoran/warung
tersebut sesuai ketentuan agama. Ketiga indikator tersebut
dijadikan sebagai pertimbangan tertinggi dalam menilai
kehalalan produk sebuah restoran dibanding dengan
simbol-simbol agama.
Berbeda dengan kecenderungan yang ada di empat
kota di atas, komunitas muslim yang tinggal di Batam,
Denpasar dan Manado menggunakan indikator lain dalam
membangun persepsi kehalalan produk sebuah restoran.
Komunitas muslim di Kota Batam dan Denpasar lebih
mengutamakan adanya simbol-simbol keagamaan seperti
gambar mesjid, ka’bah, foto tokoh agama, untuk mengidentifikasi bahwa restoran/warung makan itu adalah
halal. Mereka menilai bahwa ketika restoran menampilkan
simbol-simbol agama Islam, maka mereka meyakini
bahwa restoran/warung makan tersebut adalah halal.
Khusus untuk komunitas muslim yang berdomisili
di Kota Denpasar dan Manado, mereka meyakini bahwa
suatu restoran itu halal atau tidak, ketika di dalam tidak
ditemukan sertifikasi halal mereka akan mendasari
penilaiannya kepada identitas etnik pemiliknya (Suku
Minahasa/Bali dengan suku Gorontalo/Padang/Madura).
Kecenderungan ini tergambar dalam cross-tabulasi berikut:
63
Bab IV. Hasil dan Analisis
Tabel 11. Crosstabulasi Identitas Pemilik Restoran
dan Kota
Kota * Identitas Pemilik Restoran Crosstabulation
Bandung
Kota
Denpasar
Batam
Surabaya
Solo
Manado
Total
Tidak
Penting
Agak
Penting
Penting
Sangat
Penting
Jakarta
Sangat
Tidak
Penting
Identitas Pemilik Restoran
Total
Count
11
30
11
43
15
110
% within
Kota
10.0%
27.3%
10.0%
39.1%
13.6%
100.0%
Count
22
23
23
29
13
110
% within
Kota
20%
21%
21%
26%
12%
100.0%
Count
17
16
17
39
21
110
% within
Kota
15%
15%
15%
35%
19%
100%
Count
7
23
16
46
18
110
% within
Kota
6.4%
20.9%
14.5%
41.8%
16.4%
100%
Count
9
31
25
31
14
110
% within
Kota
8%
28%
23%
28%
13%
100%
Count
22
28
20
31
9
110
% within
Kota
20%
25%
18%
28%
8%
100%
Count
3
10
21
51
19
104
% within
Kota
3%
10%
20%
49%
18%
100%
Count
91
161
133
270
109
764
% within
Kota
12%
21%
17%
35%
14%
100%
Dari analisis cross tabulasi di atas terlihat jelas bahwa
responden yang tinggal di Kota Denpasar, Batam dan
Manado menilai identitas pemilik restoran sangat penting
untuk diperhatikan ketika akan mengonsumsi makanan di
64
Perilaku Komunitas Muslim Perkotaan dalam Mengonsumsi Produk Halal
restoran/rumah makan dibandingkan di kota lainnya.
Tercatat 54% - 67% responden di ketiga kota tersebut
menilai identitas pemilik restoran menjadi sedemikian
penting untuk dijadikan pedoman. Di Jakarta, kecenderungan serupa sebesar 52% berada sedikit di bawah
kecenderungan di tiga kota tersebut. Sedangkan responden yang tinggal di Kota Surabaya, Solo dan Bandung
kurang memperhatikan identitas pemilik restoran sebagai
indikator terjaminnya kehalalan produknya. Hal itu
terlihat dari besaran prosentase di tiga kota terakhir, yang
hanya mencapai kurang dari 50%. Fenomena semacam ini
wajar, jika mengingat lingkungan budaya di Bali dan
Manado adalah dominan budaya non-muslim, karenanya
penduduk muslim setempat lebih mengedepankan aspek
etnik dan budaya dalam menilai sesuatu ketimbang
simbol-simbol tertentu.
2. Persepsi Responden terhadap Labelisasi/Sertifikasi Halal
Hasil survey menunjukkan bahwa 96% dari 764
responden setuju dan sangat setuju terhadap labelisasi
halal pada produk kemasan, karena labelisasi halal pada
produk menunjukkan identitas suatu produk, sekaligus
menunjukkan bahwa produk itu layak dikonsumsi oleh
umat Islam, sebab tidak mengandung sesuatu yang
diharamkan agama. Identitas produk itu sangat perlu
untuk membedakan terhadap yang tidak sesuai aturan
agama.
65
Bab IV. Hasil dan Analisis
Tabel 12. Tingkat Kebutuhan Sertifikasi/Labelisasi Halal
Sangat perlu
%
%
%
%
%
0
1
5
27
67
Mean skor
Perlu
Apakah Undang-undang
Sertifikasi/Labelisasi produk
halal diperlukan?
Cukup perlu
1.
Pernyataan
Kurang perlu
No.
Sama sekali
tidak perlu
Distribusi Persentase Respon
Jawaban
4.60
N
764
Sebagaimana ditampilkan dalam tabel di atas,
sebanyak 719 responden (94%) mengharapkan adanya
undang-undang yang mengatur tentang sertifikasi atau
labelisasi produk halal. Undang-undang ini diharapkan
mampu mengatur segala proses terkait produk halal,
sekaligus sebagai payung hukum yang dapat digunakan
dalam mengatasi masalah sertifikasi/labelisasi produk
halal, karena hanya melalui undang-undang inilah masyarakat muslim akan terlindungi dalam memperoleh/
mengonsumsi produk halal.
Ketika ditanyakan sejauhmana responden mengetahui peraturan perundang-undangan yang terkait dengan
produk halal, mayoritas responden memiliki tingkat
pengetahuan yang rendah, hal ini tergambar dalam tabel
berikut:
66
Perilaku Komunitas Muslim Perkotaan dalam Mengonsumsi Produk Halal
Tabel 13. Pengetahuan tentang Peraturan Produk Halal
1.
Sangat
mengetahui
%
%
%
%
%
7
40
29
20
4
Mean skor
Mengetahui
Sejauh mana Bapak/Ibu/
Saudara mengetahui peraturan
perundang-undangan yang
terkait dengan produk halal?
Cukup
mengetaui
Pernyataan
Kurang
mengetahui
No.
Sangat tidak
mengetahui
Distribusi Persentase Respon Jawaban
2.74
N
764
Tabel di atas menunjukkan bahwa hanya 24% responden yang mengetahui atau sangat mengetahui adanya
peraturan tentang produk halal dan 29% cukup mengetahui. Sisanya 47% sama sekali tidak mengetahui adanya
undang-undang produk halal.
Selain dari persentase tentang labelisasi/pengkodean
terhadap produk yang halal, para responden juga
memberikan persetujuan terhadap labelisasi/pengkodean
terhadap produk yang ‚tidak halal‛. Data di lapangan
menunjukkan bahwa 95% responden setuju atau sangat
setuju pemberian labelisasi terhadap produk kemasan
yang mengidentifikasikan bahwa produk tersebut ‚tidak
halal‛. Mengenai sistem penulisan atau labelisasi, 98%
responden menilai bahwa penulisan labelisasi halal atau
kode tidak halal itu harus tertulis jelas. Dengan labelisasi
atau pengkodean yang sederhana, akan mudah diketahui
dan dipahami oleh komunitas muslim. Untuk jelasnya
simak tabel berikut.
67
Bab IV. Hasil dan Analisis
Tabel 14. Distribusi Persentase dan Mean Skor Persepsi
terhadap Labeliasasi Halal.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Sangat setuju
%
%
%
%
%
Mean skor
Setuju
Semua makanan dan minuman
dlm kemasan yang halal perlu
diberikan label halal/tulisan halal.
Semua makanan dan minuman
yang disajikan di restoran/rumah
makan yang halal perlu diberikan
sertifikasi halal.
Semua makanan dan minuman
dlm kemasan yang tidak halal
perlu diberi tanda atau kode yang
menyatakan tidak halal.
Label halal pada makanan dan
minuman dlm kemasan harus
tertulis jelas.
Sertifikasi halal pada makanan dan
minuman yang disajikan di
restoran/rumah makan harus
dipampang.
Label halal/sertifikasi halal untuk
makanan dan minuman dlm
kemasan yang disajikan di
restoran/rumah makan dikeluarkan
oleh lembaga resmi.
Ketika membeli makanan dan
minuman dlm kemasan, informasi
tentang tanggal kadaluarsa dan
komposisi produk penting.
Agak Setuju
Pernyataan
Tidak setuju
No.
Sangat tidak
setuju
Distribusi Persentase Respon
Jawaban
N
0
0
4
30
66
4.61
764
0
1
5
38
56
4.50
764
0
1
4
33
62
4.54
764
0
0
2
33
65
4.62
764
0
1
8
36
55
4.44
764
0
0
4
39
57
4.53
764
0
0
3
29
68
4.65
764
Dalam kaitannya dengan labelisasi/sertifikasi di
restoran, komunitas muslim pada umumnya menunjukkan
sikap yang tidak jauh berbeda. Seperti terlihat pada tabel di
atas, sekitar 94% responden mendukung adanya sertifikasi
halal terhadap restoran/rumah makan. Sertifikasi tersebut
harus ditunjukkan pada setiap pengunjung atau dipampang pada area yang mudah terlihat, untuk menunjukkan
identitas bahwa sajian restoran tersebut layak dikonsumsi
oleh komunitas muslim. Tercatat 91% responden mendu-
68
Perilaku Komunitas Muslim Perkotaan dalam Mengonsumsi Produk Halal
kung pernyataan bahwa sertifikasi halal pada restoran/
rumah makan harus dipampang di area yang terlihat oleh
pelanggan. Selain informasi labelisasi halal atau pengkodean terhadap produk tidak halal, sekitar 97% responden
komunitas muslim mengharapkan adanya informasi terkait komposisi dan tanggal kadaluarsa produk.
Mengenai institusi yang berhak mengeluarkan sertifikasi halal produk makanan dan minuman kemasan serta
sertifikasi halal pada restoran atau rumah makan, mayoritas responden (96%) mengharapkan agar lembaga resmi.
Mengingat lembaga resmi akan lebih bisa menjamin
pemberian sertifikasi dapat dipertanggungjawabkan
secara hukum, memiliki kekuatan serta memperoleh
kepercayaan kuat dari masyarakat. Namun ketika ditanya
institusi mana yang dianggap paling pas untuk
mengeluarkan sertifikasi labelisasi produk halal, para
responden itu tergambar dalam tabel di bawah ini.
Tabel 15. Lembaga yang Berwenang Memberikan Sertifikasi/Labelisasi Halal.
3.
4.
Sangat setuju
%
%
4
1
%
12
5
%
37
33
%
46
61
1
0
Mean skor
Setuju
Kementerian Agama
Majelis Ulama Indonesia.
Kementerian Kesehatan
(BPOM).
Lembaga Swasta.
Agak Setuju
1.
2.
Pernyataan
Tidak setuju
No.
Sangat tidak
setuju
Distribusi Persentase Respon Jawaban
N
4.22
4.54
764
764
1
7
9
38
45
4.20
764
23
30
19
19
10
2.63
764
69
Bab IV. Hasil dan Analisis
Dari keempat lembaga yang diajukan kepada responden, ada tiga institusi yang dipandang lebih berwenang untuk mengurus masalah produk halal yaitu
Majelis Ulama Indonesia (MUI), Kementerian Agama dan
Kementerian Kesehatan (BPPOM), sedangkan lembaga
swasta hanya diberikan kepercayaan oleh 29% responden.
MUI dipercaya 94% sebagai lembaga yang berwenang
mengurus serti-fikasi/labelisasi halal karena selama ini
MUI diketahui banyak terlibat langsung pada kegiatan
halal sehingga masyarakat menilai lembaga ini dianggap
paling layak. Kementerian Agama mendapat kepercayaan
yang sama dengan Kementerian Kesehatan yakni sebesar
83%. Namun berdasarkan interview dengan tokoh agama/masyarakat/akademisi, ada kecenderungan untuk memilih ketiga lembaga di atas berkolaborasi satu sama lain
sesuai peran dan fungsi masing-masing, serta didukung
kemampuan lembaga itu.
Pemahaman komunitas muslim perkotaan terhadap
produk halal semakin meningkat, terjadi pada 7 (tujuh)
kota sasaran penelitian. Meningkatnya pemahaman muslim atas produk halal merupakan dampak sosialisasi
secara terus menerus yang dilakukan oleh kelompokkelompok ormas. Transformasi sosial yang dialami
komunitas
muslim
perkotaan
menunjukkan
kecenderungan
‘trendy’
sebagaimana
maraknya
pemakaian jilbab sejak era reformasi. Bahkan di Denpasar
Bali dan Menado, meskipun transformasi sosial tidak
sederas di 4 (empat) kota lain, namun dalam hal
pemahaman tentang produk halal arus mainstraimnya
menunjukkan kecenderungan preferensi terhadap produk
halal. Kekhawatiran terhadap bahaya produk makanan
70
Perilaku Komunitas Muslim Perkotaan dalam Mengonsumsi Produk Halal
dan minuman yang tidak thayyib menguatkan pemahaman
bahwa produk halal mengandung bahan yang baik dan
sehat.
Komunitas muslim perkotaan dari kalangan akademisi menginginkan pembentukan sistem jaminan produk
halal, bukan hanya UU Jaminan Pangan Halal (JPH),
melainkan juga seperangkat regulasi pendukung implementasi keseluruhan sistem jaminan pangan halal. Keberhasilan program ini secara komprehensif didukung oleh
setiap stakeholders terkait produk halal, mulai dari industri
produsen produk makanan dan minuman hingga restoran
penyedia makanan dan minuman serta retail penjualnya.
Pembinaan industri, kerjasama perindustrian, Kementerian Kesehatan dengan BP-POMnya termasuk produk
jamu-jamuan merupakan agenda penting dalam proses
peningkatan pemahaman ini. Beberapa departemen/
kementerian peduli terhadap program-program penyadaran dan memberikan dukungan sinergis. Konsumen
muslim perkotaan setidaknya lebih peka mempertanyakan label halal atau sertifikasi halal pada makanan dan
minuman yang hendak dikonsumsi serta restoran yang
dipilihnya.
Pemahaman mengenai produk halal tidak dapat
dilepaskan dari dukungan akademisi melalui kesertaan
perguruan tinggi ditingkatkan untuk siap mengcover
hasil-hasil pembinaan dan realisasi konsumsi produk halal
(thayyib).
Pemahaman komunitas muslim tentang konsumsi
produk halal didasari pemahaman atas perintah untuk
mengonsumsi makanan halal dan thayyib merupakan
71
Bab IV. Hasil dan Analisis
perintah bagi seluruh manusia, sebagaimana seruan dalam
al-Quran, menggunaan seruan kepada An-Naas, bukan
hanya untuk muslim.
Saat ini kebutuhan terhadap
sertifikasi halal datang dari banyak industri makanan dan
minuman.
Komunitas muslim perkotaan mayoritas memahami
tentang produk halal melalui seruan mubaligh/mubalighat
dalam ceramah-ceramah yang menyerukan untuk memperhatikan label halal. semakin tinggi tingkat pendidikan
seseorang akan semakin sadar dan memahami tentang
produk halal serta berperilaku mengonsumsi produk halal.
Fenomena yang dapat dilihat ketika ada isu bakso
mengandung babi di Kota Surabaya, pembeli langsung sepi
ternyata restoran Cina/non muslim banyak dan
pengunjungnya tidak seramai setelah mendapat sertifikasi
halal.12 Fenomena serupa juga terjad di DKI Jakarta, Solo,
maupun Batam, meski tidak seluruhnya mengemuka
terekspose di media massa.
Pentingnya pembinaan dan pendidikan dalam
sosialisasi produk halal telah dirasakan oleh masyarakat.
Pemahaman masyarakat terus meningkat melalui peran
stakeholders, termasuk ormas-ormas Islam. Kesadaran
sebagai tanggung jawab bersama terus meningkat dengan
dibangunnya sinergi program pembinaan yang dilakukan
secara formal termasuk dalam kurikulum sekolah yang
harus menyatukan ipteks dengan imtaq. Selain itu
diperlukan penguasaan manajemen sehingga ketika
mereka terjun di dunia kerja mampu melaksanakan fungsi
12
Sebagaimana disampaikan oleh K.H. Imam Thabrani, tokoh agama,
Pimpinan MUI dan DMI Kota Surabaya
72
Perilaku Komunitas Muslim Perkotaan dalam Mengonsumsi Produk Halal
manajerial dengan baik, seperti rumah sakit, apotik,
perusahaan dimanage secara Islami. Begitu pula dalam hal
mengusahakan produk makanan dan minuman, obatobatan, kosmetik yang berstandar halal, setidaknya
memahami titik-titik kritis suatu produk. Tuntutan komunitas muslim perkotaan terhadap kehalalan makanan dan
minuman semakin besar ditunjukkan oleh tuntutan
konsumen untuk disertifikatkan produk makanan dan
minuman. Pertanyaan detil tentang dagingnya halal, sertifikasinya mana sudah biasa ditanyakan konsumen.
Restoran-restoran lokal yang sudah mengembangkan franchise juga lebih mendapatkan trust dari masyarakat setelah
sertifikasi.13
‚Mengenai pemahaman komunitas muslim perkotaan
tentang produk halal, meskipun tidak sampai detil dalilnya tapi
mereka mengerti tentang apa yang diharamkan oleh agama,
bahkan yang tidak baik atau berbahaya bagi tubuh mereka juga
semakin tercerahkan‛.14 Pemahaman komunitas muslim
terhadap kehalalan preoduk yang merupakan komponen
utama sehingga perasaannya dapat tunduk kepada apa
yang difahaminya. Hal ini akan menuntun kebiasaan
untuk memenuhan kebutuhan makanan dan minumannya sehingga terbentuklah perilaku. Inilah pembentukan
karakter muslim, yang menjadi pilar penyusunan pola
perilaku mengonsumsi produk halal pada komunitas
muslim.
13
Hasil wawancara dengan Roni Susanto, Marketing Manager beberapa restoran
dan produk makanan minuman (mamin), pada tanggal 30-31 Oktober 2011
14
Hasil wawancara dengan tokoh agama-tokoh agama, tanggal 27 Oktober - 3
November 2011
73
Bab IV. Hasil dan Analisis
D. Perilaku Komunitas Muslim dalam Mengonsumsi Produk
Halal
Perilaku komunitas muslim dalam mengonsumsi produk halal dapat dilihat dari beberapa indikator: 1) seberapa
sering mereka memeriksa komposisi bahan/label halal; 2)
mengonsumsi produk kemasan yang tidak mencantumkan
label halal; 3) makan dan minum di restoran yang tidak
bersertifikasi halal; 4) menggunakan produk kemasan dan
makan di restoran yang diragukan kehalalannya; 5) seberapa
sering mereka mendorong, menginformasikan tentang produk halal dan mengajak orang lain untuk tidak menggunakan
produk yang tak berlabel halal. Analisis dari masing-masing
indikator di atas dapat disimak pada uraian di bawah ini.
1. Memperhatikan Komposisi Produk dan Pencantuman
Label Halal
Hasil survey menunjukan bahwa hanya tercatat 63%
responden yang sering dan selalu memeriksa komposisi
bahan makanan dan minuman sebelum membeli; 73%
responden memperhatikan ada tidaknya label halal, 19% yang
menyatakan kadang-kadang memperhatikan label halal dan
sisanya ada 8% yang jarang atau tidak pernah memperhatikan
adanya label halal pada produk kemasan. Distribusi
prosentase sebagaimana disebut di atas dapat difahami dari
gambaran dalam tabel berikut ini.
74
Perilaku Komunitas Muslim Perkotaan dalam Mengonsumsi Produk Halal
Tabel 16. Distribusi Prosentase Respon Perilaku – Memeriksa
Komposisi Bahan dan Label Halal.
Sering
Selalu
Mean Skor
2
Memeriksa
komposisi/ba
han makanan
dan minuman
kemasan
sebelum
memutuskan
membeli.
Memperhatik
an ada
tidaknya label
halal pada
produk
makanan dan
minuman
kemasan
sebelum
memutuskan
membeli.
Kadangkadang
1
Pernyataan
Jarang
No
Tidak
Pernah
Distribusi Prosentase Respon Jawaban
N
3%
10%
24%
29%
34%
3.81
764
2%
6%
19%
31%
42%
4.04
764
Tabel di atas, jika dihubungkan dengan tabel persepsi
yang menggambarkan tingkat persetujuan responden akan
adanya labelisasi. halal, akan menghasilkan analisis cross
tabulasi sebagaimana tergambar dalam tabel berikut ini..
75
Bab IV. Hasil dan Analisis
Tabel 17. Crosstabulasi Persepsi terhadap
dengan Perilaku Memeriksa Label
Label
Halal
Persetujuan labelisasi Produk
* Perilaku Memeriksa label Crosstabulation
Sangat
Setuju
Total
Selalu
Setuju
Sering
Agak
Setuju
KadangKadang
Persetujuan
labelisasi
Produk
Tidak
Setuju
Jarang
Sangat
Tidak
Setuju
Tidak
Pernah
Perilaku Memeriksa label
Total
Count
0
1
0
0
0
1
% of Total
0.0%
0.1%
0.0%
0.0%
0.0%
0%
Count
0
1
1
1
0
3
% of Total
0.0%
0.1%
0.1%
0.1%
0.0%
.0
Count
4
7
6
6
5
28
% of Total
0.5%
0.9%
0.8%
0.8%
0.7%
4%
Count
6
26
55
88
56
231
% of Total
0.8%
3.4%
7.2%
11.5%
7.3%
30%
Count
8
12
80
141
260
501
% of Total
1.0%
1.6%
Count
18
47
142
236
321
764
6.2%
18.6
%
30.9
%
42.0
%
100%
% of Total
2.4%
10.5% 18.5% 34.0%
66%
Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa hanya ada 71%
responden yang konsisten terhadap persetujuan (setuju/sangat
setuju) adanya labelisasi halal pada produk kemasan dengan
kebiasaan berperilaku memeriksa ada tidaknya label halal
sebelum memutuskan membeli. Sementara 29% lainnya
menunjukkan
adanya ketidak
konsistenan.
Ketidak
konsistenan ini boleh jadi dikarenakan karena minimnya label
76
Perilaku Komunitas Muslim Perkotaan dalam Mengonsumsi Produk Halal
halal yang terdapat pada kemasan produk, atau karena berada
di suatu lingkungan yang mayoritas Muslim, atau karena
produk-produk yang dibeli pada umumnya diyakini oleh
mereka tidak berkaitan dengan hal-hal yang mengubah status
kehalalan tersebut, seperti: permen, tahu, tempe, ikan dll.
2. Perilaku Mengonsumsi Produk Tidak berlabel Halal/Makan
di Restoran yang tidak memiliki sertifikat halal
Meski hampir semua responden mengetahui kriteria
kehalalan suatu produk dan meyakini pentingnya memilih
produk berlabel halal, namun kenyataan menunjukkan adanya degradasi intensitas dalam menerapkan keyakinan
tersebut dalam perilaku sehari-hari. Hal ini ditunjukkan
dengan kenyataan di lapangan bahwa hanya ada 63%
responden yang menyatakan tidak pernah/jarang mengonsumsi produk kemasan yang tidak ada label halal, dan hanya
58% responden yang menyatakan tidak pernah atau jarang
makan di restoran/warung makan yang tidak memiliki
sertifikasi halal. Gambaran tentang distribusi yang demikian
itu dapat difahami dari tabel berikut ini.
77
Bab IV. Hasil dan Analisis
Tabel 18. Distribusi Prosentase Respon Mengonsumsi Produk tidak ber-Label Halal/Makan di Restoran yang
tidak memiliki sertifikat halal
Selalu
Mean Skor
24%
24%
7%
6%
2.16
764
2
Mengonsumsi
makanan dan
minuman yang
disajikan di
restauran/rumah
makan yang tidak
ada sertifikasi halal.
34%
24%
27%
10%
5%
2.3
764
kadang
39%
Kadang-
1
Mengonsumsi dan
menggunakan
produk makanan
dan minuman
kemasan yang tidak
berlabel halal .
Jarang
N
Tidak
Pernyataan
Pernah
No
Sering
Distribusi Prosentase Respon
Jawaban
Pada tabel tersebut terlihat bahwa meski mayoritas
responden menyatakan bahwa mereka sangat jarang atau
tidak pernah mengonsumsi produk yang tidak berlabel halal,
namun data lapangan meunjukkan ada sebagian kecil (13%) di
antara mereka mengaku sering atau bahkan selalu
mengonsumsi produk tanpa berlabel halal atau sekitar 15%
yang sering atau selalu makan di restoran/rumah makan yang
tidak memiliki sertifikasi halal. Sudah barang tentu kecenderungan di atas tidak boleh ditafsirkan bahwa ada sebagian
kecil anggota komunitas Muslim yang tidak lagi memper-
78
Perilaku Komunitas Muslim Perkotaan dalam Mengonsumsi Produk Halal
dulikan halal/tidak halalnya suatu produk, melainkan
mungkin dikarenakan situasi dan kondisi tertentu yang
mendorong mereka untuk berperilaku demikian, misalnya.
produk kemasan yang berlabel halal atau rumah makan/
restoran yang telah memiliki sertifikat halal sangat minim,
atau karena lingkungan tempat tinggal mayoritas Muslim,
atau karena produk-produk yang dibeli pada umumnya
diyakini tidak berkaitan dengan hal-hal yang meragukan. Halhal yang demikian inilah pada umumnya yang mendo-rong
masyarakat untuk mengambil kesimpulan singkat dan
meyakini suatu produk kemasan yang tidak berlabel halal
sebagai produk yang halal, atau meyakini makanan yang
disajikan di suatu restoran/rumah makan terjamin kehalalannya.
Dalam tataran perilaku, konsumen Muslim meyakini
kehalalan makanan yang disajikan di suatu restoran berdasarkan indikator-indikator tertentu sebagaimana diketengahkan dalam tabel berikut ini.
79
Bab IV. Hasil dan Analisis
Tabel 19. Distribusi prosentase dan mean skor responden
dalam memilih indikator halal pada tataran
perilaku mengonsumsi suatu produk di restoran.
3
4
5
6
7
8
9
10
80
Harga
Merek / Nama
restoran
Kebersihan
restoran/warung
makan
lokasi
restoran/warung
makan
Ada tulisan/
simbul
keIslaman
Restoran tidak
menyediakan
menu makanan
dan minuman
yang haram
Identitas
pemilik restoran
Ada sertifikasi
halal MUI
Ada nomor
pendaftaran
produk
pangan/nomor
izin edar izin
edar dari BPOM
(Kementerian
Kesehatan)
Mean Skor
2
Selalu
Rasa makanan /
minuman
Sering
1
Kadangkadang
Pernyataan
Jarang
No
Tidak
Pernah
Distribusi Prosentase Respon
Jawaban
N
1%
9%
12%
54%
24%
3.91(4)
764
2%
13%
15%
51%
19%
3.71
764
4%
20%
18%
43%
15%
3.45
764
2%
5%
8%
46%
39%
4.16(1)
764
2%
13%
18%
48%
18%
3.67
764
2%
17%
16%
39%
27%
3.73
764
3%
7%
11%
41%
38%
4.06(2)
764
12%
21%
17%
35%
14%
3.19
764
3%
13%
16%
36%
33%
3.82
764
4%
15%
20%
33%
28%
3.66
764
Perilaku Komunitas Muslim Perkotaan dalam Mengonsumsi Produk Halal
Berdasarkan nilai mean
indikator utama yang dinilai
sering menjadi pedoman
memutuskan untuk makan di
yaitu:
skor terlihat bahwa ada 3
penting/sangat penting dan
perilaku responden saat
suatu restoran/rumah makan
1. Kebersihan restoran/warung makan
2. Restoran/warung makan yang tidak menyediakan menu
makanan/minuman yang haram
3. Makanan/minuman yang disajikan memenuhi selera
konsumen.
Bila diurai lebih jauh maka survey mencatat bahwa
hanya ada 58% - 78% responden yang menilai penting dan
sangat penting terkait aspek marketing seperti rasa, harga,
merek, kebersihan dan lokasi restoran. Terkait aspek
keagamaan seperti tulisan/simbul keIslaman, ada label/sertifikasi halal dan restoran yang tidak menyediakan menu
makanan yang haram dan minuman yang memabukan dinilai
penting/ sangat penting dan sering dipertimbangkan oleh
responden sebanyak 66% - 79%.
Yang menarik, penilaian responden terkait pentingnya
sertifikasi halal MUI hanya dirasa penting/sangat penting oleh
68% responden padahal indikator ini yang paling tinggi
diyakini oleh responden. Hal ini sangat dimungkinkan
mengingat restoran yang memiliki sertifikasi halal masih
sangat minim dan jarang, karenanya pilihan komunitas
Muslim selanjutnya beralih kepada indikator yang lain.
Selanjutnya, untuk mengetahui tingkat konsistensi
antara persetujuan terhadap labelisasi halal dengan perilaku
mengonsumsi produk halal, berikut ini diketengahkan
81
Bab IV. Hasil dan Analisis
analisis crosstabulasi antara persetujuan terhadap labelisasi
halal dengan perilaku konsumen mengonsumsi kemasan tidak
berlabel halal dan analisis crosstabulasi antara persetujuan
terhadap labelisasi halal dengan perilaku konsumen untuk
makan di restoran/rumah makan yang tidak memiliki
sertifikat halal.
Tabel 20. Crosstabulasi Persepsi Label Halal Dengan Perilaku Mengonsumsi Produk Tidak Berlabel Halal
Jarang
KadangKadang
Sering
Selalu
0
0
1
0
0
1
% of
Total
0.0%
0.0
%
0.1%
0.0%
0.0%
0.1%
Count
0
0
3
0
0
3
% of
Total
0%
0%
0%
0%
0%
0%
Count
Tidak
Pernah
Sangat
Tidak
Setuju
Tidak
Setuju
Persetuju
an
labelisasi
Produk
Agak
Setuju
Setuju
Sangat
Setuju
Total
82
Total
Perilaku Mengonsumsi Produk Kemasan
Tidak Ada Label Halal
Count
7
10
7
1
3
28
% of
Total
0.9%
1.3
%
0.9%
0.1%
0.4%
3.7%
Count
77
70
60
13
11
231
% of
Total
10.1
%
9.2
%
7.9%
1.7%
1.4%
30.2%
Count
216
103
110
43
29
501
% of
Total
28.3
%
13.5
%
14.4
%
5.6%
3.8%
65.6%
Count
300
183
181
57
43
764
% of
Total
39.3
%
24.0
%
23.7
%
7.5%
5.6%
100.0%
Perilaku Komunitas Muslim Perkotaan dalam Mengonsumsi Produk Halal
Tabel 21. Cross Tabulasi Persepsi Sertifkasi Halal Pada
Restoran dengan Perilaku Mengonsumsi produk di
Restoran yang tidak ber-Label Halal
Persetujuan Sertifikasi Halal pada Restoran *Perilaku Mengonsumsi
Produk di Restoran yang Tidak Ada Sertifikasi Halal Crosstabulation
Perilaku Mengonsumsi Produk di
Restoran Yang Tidak Ada Sertifikasi
Halal
Setuju
Sangat
Setuju
Total
KadangKadang
Sering
Selalu
Agak
Setuju
Jarang
Persetuj
uan
Sertifika
si Halal
pada
Restora
n
Tidak
Pernah
Tidak
Setuju
Total
Count
0
2
3
0
0
5
% of
Total
0.0%
0.3
%
0.4%
0.0%
0.0%
0.7%
Count
9
7
19
6
0
41
1.2%
0.9
%
2.5%
0.8%
0.0%
5.4%
% of
Total
Count
78
81
79
37
12
287
% of
Total
10.2
%
10.6
%
10.3
%
4.8%
1.6%
37.6%
Count
170
91
106
35
29
431
% of
Total
22.3
%
11.9
%
13.9
%
4.6%
3.8%
56.4%
Count
257
181
207
78
41
764
% of
Total
33.6
%
23.7
%
27.1
%
10.2
%
5.4%
100.0%
Dari analisis tabel. 19 diatas diketahui hanya ada 61%
responden yang konsisten antara persepsi persetujuan akan
labelisasi halal dengan perilaku menghindari mengonsumsi
produk tidak berlabel halal; sementara dari tabel 19 diatas
dapat disimpulkan bahwa hanya ada 55% responden yang
konsisten dengan persetujuan yaitu setuju dan sangat setuju
83
Bab IV. Hasil dan Analisis
terhadap sertifikasi halal menghindari makanan dan
minuman pada restoran yang tidak ada sertifikasi halalnya.
3. Mengonsumsi Produk/Makan di Restoran yang Diragukan Kehalalannya
Penelitian ini mencatat sebesar 73% responden yang
sudah memiliki kesadaran untuk tidak mengonsumsi produk
yang diragukan kehalalannya serta 78% yang menghindari
untuk memutuskan tidak makan di restoran yang diragukan
kehalalan-nya. Kecenderungan demikian dapat disimak pada
tabel berikut.
Tabel 22. Perilaku Mengonsumsi Produk yang kurang jelas
makan di Restoran yang diragukan kehalalannya
Sering
Selalu
Mean Skor
2
Mengonsumsi produk
makanan dan
minuman dalam
49% 24%
kemasan yang
kehalalannya
diragukan tapi tetap
mengonsumsinya.
Makan di
restoran/rumah
makan yang yang
60% 18%
kehalalannya
diragukan tapi tetap
mengonsumsinya.
Kadang-kadang
1
Pernyataan
Jarang
No
Tidak Pernah
Distribusi Prosentase Respon
Jawaban
N
19%
6%
2%
1.87
764
16%
4%
1%
1.67
764
Untuk mengetahui tingkat konsistensi antara persetujuan terhadap labelisasi halal dengan perilaku mengonsumsi
84
Perilaku Komunitas Muslim Perkotaan dalam Mengonsumsi Produk Halal
produk yang diragukan makan di restoran/rumah makan
yang diragukan, diperlukan adanya analisis cross-tabulasi
antara persetujuan terhadap labelisasi halal dengan perilaku
konsumen mengonsumsi kemasan tidak berlabel halal/makan
di restoran/rumah makan yang tidak memiliki sertifikat halal.
Melalui analisis tersebut dapat difahami secara visual
seberapa kuat responden konsisten dalam mempertahankan
persetujuannya itu dalam perilakunya sehari-hari.
Setelah dilakukan analisis cross-tabulasi diperoleh gambaran
sebagaimana tertera dalam tabel berikut ini.
Tabel 23. Crosstabulasi Mengonsumsi Produk Kemasan
Meragukan dengan Restoran yang Meragukan
mengonsumsi produk di restoran
yang diragukan kehalalannya
Total
KadangKadang
Sering
Selalu
335
28
8
4
1
376
3.7%
1.0%
0.5%
0.1%
49.2%
81
27
0
1
184
0.0%
0.1%
24.1%
% of Total 43.8%
Count
Jarang
Mengonsum% of Total
si produk
Count
kemasan
Kadangyang diragu- Kadang % of Total
kan kehalalCount
annya
Sering
% of Total
Selalu
Jarang
Count
Tidak
Pernah
Tidak
Pernah
Total
75
9.8%
10.6% 3.5%
38
29
71
5
0
143
5%
4%
9%
1%
0%
19%
9
2
16
18
1
46
1%
0%
2%
2%
0%
6%
Count
5
1
1
2
6
15
% of Total
0.7%
0.1%
0.1%
0.3%
0.8%
2.0%
Count
462
141
123
29
9
764
3.8%
1.2%
100.0
%
% of Total 60.5% 18.5% 16.1%
85
Bab IV. Hasil dan Analisis
Berdasarkan analisis cross tabulasi di atas, terlihat jelas
bahwa hanya ada 67,9% yang konsisten untuk meninggalkan
produk yang meragukan baik produk kemasan maupun
restoran yang diragukan kehalalannya, sementara yang lain
terpaksa mengonsumsinya dikarenakan situasi tertentu antara
lain sulit untuk mendapatkan produk yang berlabel/ restoran
yang bersertifikat halal. Sulitnya untuk mendapatkan produk
kemasan berlabel/restoran bersertifikat halal ini ditunjukkan
oleh hasil survey yang mencatat hanya ada 67% responden
menyatakan bahwa mereka mudah atau sangat mudah
mencari produk kemasan yang diyakini kehalalannya dan
hanya ada 53% responden menilai mudah atau sangat mudah
mencari restoran yang diyakini kehalalannya. Hal ini dapat
difahami dengan memperhatikan gambaran yang diketengahkan oleh tabel berikut.
Tabel 24. Tingkat kemudahan dalam Mendapatkan Produk
Halal
Mudah
Sangat
mudah
Mean Skor
2
Makanan dan
minuman
dalam kemasan
Restoran/warun
g makan
Agak
mudah
1
Pernyataan
Sulit
No
Sangat
Sulit
Distribusi Prosentase Respon
Jawaban
N
1%
10%
22%
45%
22%
3.75
764
4%
18%
25%
38%
15%
3.44
764
Selanjutnya jika jawaban responden itu dianalisis secara
lebih jauh lagi dengan membandingkan jawaban yang
86
Perilaku Komunitas Muslim Perkotaan dalam Mengonsumsi Produk Halal
diperoleh dari masing responden di tujuh kota, gambarannya
adalah sebagaimana ditampilkan oleh grafik berikut ini.
Grafik di atas menunjukkan bahwa secara kese-luruhan
nilai mean skor dari masing-masing kota berada dalam
rentang antara “cukup mudah dan mudah‛. Hal ini
ditunjukan oleh nilai mean skor berkisar antara 3 – 4.
Komunitas muslim yang tinggal di Kota Jakarta mempunyai
tingkat kemudahan mencari produk halal kemasan dan
restoran halal lebih tinggi, meski tidak terlalu jauh,
dibandingkan dengan komunitas muslim yang tinggal di Kota
Batam, Bandung, Denpasar, Solo dan Surabaya. Pada
umumnya komunitas muslim di masing-masing kota
mengaku bahwa mencari produk kemasan yang halal lebih
mudah dibandingkan dengan mencari restoran yang halal,
mengingat masih sangat minimnya restoran/rumah-rumah
makan yang memiliki sertifikat halal. Namun yang demikian
ini tidak berlaku untuk komunitas muslim di Kota Manado
dan Denpasar yang mengaku bahwa mencari restoran yang
87
Bab IV. Hasil dan Analisis
halal lebih mudah dibandingkan dengan produk kemasan
yang diyakini halal. Kecenderungan ini dikarenakan restoran/
rumah makan yang diyakini halal itu berada dalam
lingkungan kediaman mereka atau sekurang-kurangnya
mereka mengetahui tempat-tempat mana yang menyediakan
produk halal, sementara produk makanan kemasan yang
berlabel halal sangat jarang di lingkungan mereka.
Untuk mengetahui apakah faktor demografik responden (jenis kelamin, status perkawinan, latar belakang
pendidikan, kondisi ekonomi dan kota) berpengaruh terhadap perbedaan perilaku konsumen untuk mengonsumsi atau
tidak mengonsumsi produk kemasan maupun makan di
restoran/warung makan yang diragukan kehalalannya maka
uraian berikut mengetengahkan analisis varian dengan
statistik F untuk memvalidasi apakah terdapat perbedaan
respon dari setiap karakteristik demografik itu. Hasilnya
adalah sebagai diketengahkan dalam uraian berikut ini.
Tabel 25. Uji Statistik F Perilaku Mengonsumsi Produk
Kemasan yang Diragukan Kehalalannya Berdasarkan Latar Belakang Demografik
Statistik F
Tingkat
Signifikansi
Jenis kelamin
6.629
0.010*
Status Perkawinan
0.437
0.437
Usia
0.472
0.756
Pendidikan
5.230
0.000*
Pengeluaran
1.042
0.391
3.208
Kota
‘* menunjukan signifikan pada alpha 5%
0.004*
Karakteristik
88
Perilaku Komunitas Muslim Perkotaan dalam Mengonsumsi Produk Halal
Sedangkan perbedaan perilaku konsumen dalam
mengonsumsi makanan di suatu restoran/rumah makan yang
diragukan kehalalannya, gambarannya sebagaimana berikut.
Tabel 26. Uji Statistik F Mengonsumsi Produk di Res-toran
yang Diragukan Kehalalannya Ber-dasarkan
Demografik
Karakteristik
Statistik F
Tingkat Signifikansi
Jenis kelamin
7.208
0.007*
Status Perkawinan
0.621
0.621
Usia
0.282
0.890
Pendidikan
4.000
0.001*
Pengeluaran
1.519
0.181
3.813
Kota
‘* menunjukan signifikan pada alpha 5%
0.001*
Berdasarkan gambaran dari dua tabel di atas terlihat
jelas bahwa jenis kelamin, latar belakang pendidikan dan kota
dimana responden tinggal berpengaruh terhadap perbedaan
respon mengonsumsi produk yang diragukan kehalalannya.
Khusus untuk faktor jenis kelamin, dapat dijelaskan bahwa
responden dengan jenis kelamin laki-laki ternyata lebih sering
untuk mengonsumsi produk yang diragukan kehalalannya
dibandingkan dengan responden berjenis kelamin perempuan; Demikian pula untuk makan makanan minuman di
restoran yang meragukan responden perempuan ternyata
mempunyai kecenderungan untuk menghindari dibandingkan responden laki-laki. Hal ini sebagaimana digambarkan
dalam grafik-grafik berikut ini.
89
Bab IV. Hasil dan Analisis
Adapun halnya dengan faktor pendidikan, dapat
dikatakan bahwa responden dengan pendidikan lebih tinggi
mempunyai kecenderungan untuk menghindari produk
kemasan dan makanan minuman di restoran yang meragukan
dibandingkan dengan responden dengan pendidikan dasar
SD dan SLTP. Hal ini sebagaimana digambarkan dalam grafik
berikut:
Sedangkan dari sisi domisili, responden yang tinggal di
Kota Batam dan Manado ternyata mempunyai kecenderungan
lebih tinggi untuk mengonsumsi produk kemasan dan
90
Perilaku Komunitas Muslim Perkotaan dalam Mengonsumsi Produk Halal
restoran yang diragukan kehalalannya dibandingkan dengan
kota lainnya, seperti tergambar dalam grafik berikut.
4. Perilaku Mendorong dan Menginformasikan Untuk
Mengonsumsi Produk Halal
Tingkat kesadaran komunitas Muslim dalam bentuk
mendorong, menginformasikan produk halal kepada
keluarga/teman serta mencegah atau menginformasikan
keluarga/teman untuk tidak mengonsumsi produk tidak halal
menunjukkan tingkat yang tergolong tinggi yaitu ada dalam
rentang 73% - 79%. Hal ini menunjukan bahwa hanya ada
73% - 79% yang aktif atau peduli terhadap produk halal dalam
hal mencegah, mendorong dan memberitahukan keluarga
akan produk halal dan tidak halal.
91
Bab IV. Hasil dan Analisis
Tabel 27. Perilaku Mendorong dan Menginformasikan untuk
Mengonsumsi Produk Halal
92
Mean Skor
4
Selalu
3
Sering
2
Mendorong keluarga/
teman dekat untuk
mengonsumsi produk
halal.
Mencegah keluarga/
teman dekat untuk
tidak mengonsumsi
produk yang tidak halal
Memberitahu
keluarga/teman dekat
untuk tidak makan/
minum yang disajikan
rumah makan/resto-ran
yang anda tahu menjual
produk yang tidak halal.
Memberitahu keluarga/teman dekat tem-pattempat/restoran/
warung/ rumah makan
yang anda tahu
terjamin kehalalan
produknya.
Kadangkadang
1
Pernyataan
Jarang
No
Tidak
Pernah
Distribusi Prosentase Respon
Jawaban
N
%
%
%
%
%
2
6
15
36
41
4.09
764
3
4
15
37
42
4.10
764
2
8
16
37
36
3.96
764
2
8
17
39
34
3.96
764
Perilaku Komunitas Muslim Perkotaan dalam Mengonsumsi Produk Halal
E. Korelasi Antara Pengetahuan, Persepsi dan Perilaku Konsumen Muslim Terkait Produk Halal
1. Perbandingan Indeks antara Pengetahuan, Persepsi dan
Perilaku Mengonsumsi Produk Halal
Indeks perilaku mengonsumsi produk halal diukur
dari ‚mean skor‛ keseluruhan indikator, {yakni: a) memeriksa komposisi bahan produk berlabel halal, b) mengkonsumsi produk kemasan yang tidak berlabel halal atau
mengonsumsi makanan minuman di restoran yang tidak
bersertifikasi halal, c) mengonsumsi produk kemasan atau
makanan di restoran yang diragukan kehalalannya; d)
upaya mendorong, mencegah, dan memberi informasi
terkait produk halal}. Secara keseluruhan mean skor
menunjukkan ‚tinggi‛ yaitu nilai 3,84 (dalam skala 5) dan
berada dalam rentang 3,41 – 4,20‛. Indeks ini berada di
bawah indeks persepsi yang bernilai 4,40 dalam rentang
4,40 – 4,60 (sangat positif) dan berada juga di bawah
indeks pengetahuan yang memiliki nilai 4,60 dalam
rentang 4,40-4,70 (sangat tinggi). Perbedaan ini dapat
dilihat secara jelas melalui grafik di bawah ini.
Berikut adalah perbandingan antara tingkat pengetahuan, perspesi dan perilaku komunitas muslim terhadap
produk halal di tujuh kota yang diteliti.
93
Bab IV. Hasil dan Analisis
Grafik di atas menunjukkan adanya penurunan
dalam nilai indeks antara pengetahuan, persepsi dan
perilaku. Responden yang mempunyai pengetahuan
‚sangat tinggi‛ terhadap produk halal dan mempunyai
persepsi ‚sangat positif‛ dalam tataran perilaku ternyata
berada dalam rentang ‚tinggi‛ atau dalam klasifikasi
setingkat lebih rendah dibanding dengan indeks yang
dicapai dalam elemen pengetahuan dan persepsi.
Penurunan nilai indeks ini dikarenakan jumlah produk
yang beredar di masyarakat baik produk kemasan maupun restoran yang bersertifikasi masih sedikit, sehingga
untuk mencapai indeks prilaku yang ideal menemui
hambatan yang cukup signifikan.
94
Perilaku Komunitas Muslim Perkotaan dalam Mengonsumsi Produk Halal
2. Analisis Jalur (Path Analysis)
Analisis jalur atau disebut path analysis adalah bagian
dari rangkaian analisis regresi yang berguna untuk menguji serangkaian model keterkaitan hubungan antara
variabel secara simultan. Analisis ini merupakan analisis
regresi linier dengan koefisien regresi yang dibakukan.
Analisis tersebut akan menguji signifikan atau tidaknya
hubungan pengaruh antara variabel yang dihipotesiskan.
Model penelitian dan hipotesis penelitian ada dalam Bab III
sebelumnya. Berikut adalah hasil pengolahan dengan
software SPSS 18.
a. Analisis jalur untuk menguji hipotesis H1
Signifikan
597,31
0,000
R square
0,000
Keterangan
24.44
Tingkat
Signifikansi
Keterangan
0.663
Statistik F
Tingkat
Signifikansi
Pengetahuan
Statistik t
Variable
Koef. Jalur
Tabel 28. Analisis jalur untuk menguji hipotesis H1
Dengan Variabel dependen Persepsi
Signifikan
0.439
Persepsi atas produk halal signifikan positif dipengaruhi oleh pengetahuan responden terhadap produk
halal. Semakin tinggi pengetahuan responden atas produk
halal maka akan meningkatkan persepsi positif terhadap
produk halal. Hal ini ditunjukan oleh nilai t statistik
sebesar 24,444 yang mmpunyai tingkat signifikansi 0,000 <
0,05. Besarnya pengaruh pengetahuan terhadap peningkatan perspesi responden akan produk halal adalah 43,9%.
95
Bab IV. Hasil dan Analisis
b. Analisis Jalur Untuk Menguji Hipotesis H2 dan H3
Keterangan
0.000
Signifikan
Persepsi
0.299
6.902
0.000
Signifikan
R square
Tingkat
Signifikansi
4.348
Keterangan
Statistik t
0.188
Tingkat
Signifikansi
Koef. Jalur
Pengetahu
an
Statistik F
Variable
Tabel 29. Analisis jalur untuk menguji hipotesis H2 dan
H3 dengan Variable dependen Perilaku
94.837
0.000
Signifik
an
0.200
Secara statistik, pengetahuan dan persepsi bersamasama mempengaruhi variabel perilaku. Hal ini diketahui
dari nilai statistik F dengan tingkat signifi-kansi 0,00 < 0,05.
Secara bersama-sama kedua variabel tersebut berpengaruh sebesar 20% terhadap pengendalian perilaku
komunitas muslim dalam mengonsumsi produk halal.
Berdasarkan nilai statistik t yang menguji apakah ada
pengaruh masing-masing variabel pengetahuan dan persepsi terhadap perilaku diketahui nilai signifikansinya
masing-masing adalah 0,000 < 0,05 maka dapat dikatakan
bahwa pengetahuan berpengaruh positif signifikan terhadap perilaku dan persepsi berpengaruh positif signifikan terhadap perilaku. Dari koefisien jalur diketahui
bahwa persepsi mempunyai pengaruh yang lebih besar
yaitu sebesar 0,299 (12,7%) dibandingkan dengan pengetahuan yang hanya berpengaruh sebesar 0,188 (7,3%)
terhadap perilaku. Peningkatan persepsi positif terhadap
produk halal maka akan semakin meningkatkan berperilaku baik dalam mengonsumsi produk halal demikian
halnya dengan peningkatan pengetahuan responden atas
96
Perilaku Komunitas Muslim Perkotaan dalam Mengonsumsi Produk Halal
produk halal maka akan semakin meningkatkan perilaku
baik dalam mengonsumsi produk halal.
c. Analisis Jalur untuk Menguji Hipotesis H4, H5 dan
H6
0.000
Signifikan
Lingkungan
0.160 4.607
R square
Signifikan
Keterangan
0.000
Tingkat
Signifikansi
Aktifitas Keagamaan 0.266 7.685
Statistik F
Keterangan
Signifikan
Statistik t
0.003
Pendidikan
Koef. Jalur
0.102 2.992
Variable
Tingkat
Signifikansi
Tabel 30. Analisis Jalur Untuk Menguji Hipotesis H7, H8,
H9 Dengan Variable Dependent: Pengetahuan
37.626
0,000
Signifikan
0.129
Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa aktifitas keagamaan, lingkungan dan pendidikan responden
secara bersama-sama mempengaruhi pengetahuan responden. Hal ini diketahui dari nilai statistik F yaitu 37,626
dengan tingkat signifkansi 0,00 < 0,05. Secara bersama
sama dari nilai R square diketahui bahwa aktifitas keagamaan, lingkungan dan pendidikan responden berpengaruh terhadap peningkatan variabel pengetahuan
responden akan produk halal sebesar 12,9%. Secara
pengujian individu dengan statistik t diketahui bahwa
ketiga variable tersebut mempunyai tingkat signifikansi
0,00 < 0,05 maka dapat dikatakan bahwa pada selang
kepercayaan 95%, pendidikan responden berpengaruh
positif terhadap peningkatan pengetahuan responden,
97
Bab IV. Hasil dan Analisis
aktifitas keagamaan berpengaruh positif terhadap peningkatan pengetahuan responden, lingkungan berpengaruh
positif terhadap peningkatan pengetahuan responden.
Berdasatkan koefisien jalur di atas dapat dketahui bahwa
aktifitas keagamaan adalah variabel yang pertama mempunyai pengaruh terbesar terhadap pengetahuan yaitu
sebesar 0,266 (8,1%) variabel lingkungan berpengaruh
sebesar 0,160 (3,5%) dan variabel pendidikan berpengaruh
sebesar 0,102 (1,3%).
d. Analisis jalur untuk menguji hipotesis H7, H8 dan H9
0,00
Signi
fikan
Aktifitas
Keagamaan
0,276
8,120
0,00
Signi
fikan
Lingkungan
0,197
5,814
0,00
Signi
fikan
49,722
0,000
Signifikan
R square
Keterangan
4,141
Keterangan
Tingkat
Signifikansi
0,138
Tingkat
Signifikansi
Statistik t
Pendidikan
Variable
Statistik F
Koef. Jalur
Tabel 31. Analisis Jalur Untuk Menguji Hipotesis H7, H8,
H9 Dengan Variable Dependent: Persepsi
0,164
Berdasarkan tabel diatas diketahui bahwa nilai statistic F
adalah 49,722 dengan tingkat signifikansi 0,000 < 0.05 maka
tolak hipotesis nol yang artinya bahwa dalam selang
kepercayaan 95% variabel pengetahuan, aktifitas keagamaan,
lingkungan dan pendidikan berpengaruh positif signifikan
terhadap peningkatan persepsi positif atas produk halal. Dari
nilai R square diketahui bahwa secara bersama variabel
98
Perilaku Komunitas Muslim Perkotaan dalam Mengonsumsi Produk Halal
pengetahuan, aktifitas keagamaan lingkungan dan pendidikan berpengaruh sebesar 16,4%. Berdasarkan pengujian secara
individu dengan statistik t diketahui bahwa masing-masing
variabel pengetahuan, aktifitas keagamaan, lingkungan dan
pendidikan berpengaruh positif signifikan terhadap persepsi
komunitas muslim atas produk halal. Hal ini diketahui dari
nilai tingkat signifikansi 0,000 < 0,05. Berdasarkan koefisien
jalur diketahui aktifitas keagamaan mempunyai pengaruh
yang terbesar terhadap peningkatan persepsi atas produk
halal yaitu sebsar 0,276 (5,2%) diikuti oleh variabel lingkungan yang berpengaruh sebesar 0,197 (5,2%) dan pendidikan yang berpengaruh sebesar 0,138 (2,3%).
Secara keseluruhan hasil penelitian kuantitatif tentang
perilaku komunitas muslim perkotaan dalam mengonsumsi
produk halal tersebut di atas sejalan dengan hasil pendekatan
penelitian kualitatif. Analisis perilaku ini sesuai dengan hasilhasil pendekatan penelitian kualitatif di 7 (tujuh) kota.
Pendekatan kualitatif mengidentifikasi kompleksitas yang
saling menopang membangun pola perilaku mengonsumsi
produk halal. Pola yang dapat digambarkan pada Gambar 1.
menunjukkan perilaku mengonsumsi produk halal dengan
menekankan pada faktor-faktor yang saling berkontribusi
membangun pola perilaku mengonsumsi produk halal. Pola
perilaku mengonsumsi produk halal merupakan bagian dari
pola perilaku manusia yang kompleksitasnya tidak dapat
disederhanakan dengan satu doktrin berperilaku tertentu.
Seseorang terikat dengan identitas kelompok, misalnya sebagai anggota komunitas intelektual, anggota ormas, ikatan
keluarga yang mengikat serta jejaring sosial yang memberi
wawasan tertentu kepada individu anggotanya. Dengan
demikian, seorang muslim dalam komunitasnya memiliki
99
Bab IV. Hasil dan Analisis
pola perilaku yang bervariasi. Komunitas muslim di daerah
industri, di daerah dominan budaya dan di daerah minoritas
muslim memiliki kearifan lokal masing-masing, yang tumbuh
dengan mengadaptasi kondisi dengan pemahaman dan keyakinannya terhadap produk yang dipilihnya untuk dikonsumsi. Tindakan komunitas muslim perkotaan memilih
produk yang dikonsumsi dalam Teori Tindakan, dinyatakan
bahwa individu melakukan suatu tindakan berdasarkan
pengalaman, persepsi, pemahaman dan penaf-siran atas suatu
objek stimulus atau situasi tertentu. Tindakan individu itu
merupakan tindakan sosial yang rasional, yaitu mencapai
tujuan atas sasaran dengan sarana-sarana yang paling tepat.15
Jenis-Jenis Tindakan Sosial yang juga dikenal dengan istilah
perilaku sosial menurut Max Weber, dapat digolongkan
menjadi empat kelompok (tipe), yaitu tindakan rasional
instrumental, tindakan rasional berorientasi nilai, tindakan
tradisional, dan tindakan afeksi.
a. Tindakan Rasional Instrumental
Tindakan ini dilakukan seseorang dengan memperhitungkan kesesuaian antara cara yang digunakan dengan
tujuan yang akan dicapai.
b. Tindakan Rasional Berorientasi Nilai
Tindakan ini bersifat rasional dan memperhitungkan
manfaatnya, tetapi tujuan yang hendak dicapai tidak terlalu
dipentingkan oleh si pelaku. Pelaku hanya beranggapan
bahwa yang paling penting tindakan itu termasuk dalam
15
Max Weber, dalam KJ Veeger. 1990. Realitas Sosial: Refleksi Filsafat Sosial atas
Hubungan Individu-Masyarakat dalam Cakrawala Sejarah Sosiologi. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama
100
Perilaku Komunitas Muslim Perkotaan dalam Mengonsumsi Produk Halal
kriteria baik dan benar menurut ukuran dan penilaian
masyarakat di sekitarnya. Misalnya menjalankan ibadah
sesuai dengan agamanya masing-masing.
c. Tindakan Tradisional
Tindakan ini merupakan tindakan yang tidak rasional. Seseorang melakukan tindakan hanya karena kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat tanpa menyadari
alasannya atau membuat perencanaan terlebih dahulu
mengenai tujuan dan cara yang akan digunakan. Misalnya
berbagai upacara adat yang terdapat di masyarakat.
d. Tindakan Afektif
Tindakan ini sebagian besar dikuasai oleh perasaan
atau emosi tanpa pertimbangan-pertim-bangan akal budi.
Seringkali tindakan ini dilakukan tanpa perencanaan
matang dan tanpa kesadaran penuh. Jadi dapat dikatakan
sebagai reaksi spontan atas suatu peristiwa. Contohnya
tindakan meloncat-loncat karena kegirangan, menangis
karena orang tuanya meninggal dunia, dan sebagainya.
Teori Max Weber ini dikembangkan oleh Talcott
Parsons bahwa suatu aksi merupakan tindakan mekanis
terhadap suatu stimulus sedangkan perilaku adalah suatu
proses mental yang aktif dan kreatif. Talcott Parsons
beranggapan bahwa yang utama bukanlah tindakan
individu melainkan norma-norma dan nilai-nilai sosial
yang menuntut dan mengatur perilaku itu. Kondisi
objektif disatukan dengan komitmen kolektif terhadap
suatu nilai akan mengembangkan suatu bentuk tindakan
sosial tertentu. Talcott Parsons juga beranggapan bahwa
tindakan individu dan kelompok itu dipengaruhi oleh
101
Bab IV. Hasil dan Analisis
sistem sosial, sistem budaya dan sistem kepribadian dari
masing-masing individu tersebut. Talcott Parsons juga
melakukan klasifikasi tentang tipe peranan dalam suatu
sistem sosial yang disebutnya Pattern Variables, yang
didalamnya berisi tentang interaksi yang afektif,
berorientasi pada diri sendiri dan orientasi kelompok.16
Faktor internal dan faktor eksternal berkelindan
secara simultan memberikan pengaruh kepada pembentukan pola perilaku mengonsumsi produk halal. Pendidikan formal maupun non-formal pendidikan masa kecil
di surau, di keluarga, di langgar, ditanamkan sejak kecil
bahwa makan dan minum mesti perhatikan kehalalan.
Jadi, pendidikan non formal dalam keluarga memegang
peranan penting membangun pola mengonsumsi produk
halal. Namun pendidikan tidak berdiri sendiri mengendali
pola perilaku komunitas. Faktor eksternal yang telah
menginternalisasi, seperti budaya lokal, dominan budaya
lokal, kondisi industrialisasi dan heterogenitas yang tinggi
pada tujuh kota yang diteliti membangun pola yang khas
pada masing-masing kota. Kota industri seperti Surabaya,
Bandung, DKI Jakarta dan Batam memberikan corak
tertentu pada pola perilaku komunitas muslim, demikian
pula kota-kota dominan budaya lokal seperti Solo serta
kota-kota dengan penduduk muslim sebagai minoritas
seperti Bali dan Menado.
Faktor lainnya yang mendukung pembentukan sosialisasi oleh muballigh/muballighat semakin intensif, ditambah
16
Talcott Parsons. 1975. The Present Status of "Structural-Functional" Theory in
Sociology." In Talcott Parsons, Social Systems and The Evolution of Action
Theory New York: The Free Press.
102
Perilaku Komunitas Muslim Perkotaan dalam Mengonsumsi Produk Halal
pengawasan yang baik dari pemerintah dapat mensukseskan
penyelengggaraan penataan pola mengonsumsi produk halal
pada komunitas muslim.
Pengaruh eksternal terhadap pola mengonsumsi produk
halal tidak terlalu besar apabila faktor internal sudah cukup
kuat. Oleh karenanya perlu penguatan internal komunitas
muslim, dengan pembinaan, terutama sekali penanaman
karakter sejak dini. Faktor pendukung perilaku mengonsumsi
produk halal17 :
1)
Kesadaran masyarakat
2) Aturan perundang-undangan yang bisa ditegakkan
3) Adanya reward dan punishment bagi industri makanan
dan minuman
4) Perundang-undangan yang mengatur bagaimana Industriawan sebagai produsen memahami dan memberikan
hak-hak konsumen
5) Undang-undang yang ada untuk industri makanan dan
minuman selama ini masih belum utuh, masih terserak
dimana-mana, perlu ada satu payung hukum yang khusus
membahas hal tersebut baik terkait dengan kemasan maupun makanan dan minuman yang disajikan di restoran
6) Komitmen pemerintah untuk melindungi konsumen, bisa
dibandingkan dengan mekanisme JAKIM Malaysia yang
mengharuskan sertifikasi halal, bukan hanya melindungi
komunitas muslim tapi juga non muslim karena makanan
yang thayyib juga bermanfaat bagi mereka.
17
Hasil wawancara dengan Direktur LP POM jawa Timur, tanggal 27 Oktober 2011
103
Bab IV. Hasil dan Analisis
Pengusaha produk makanan dan minuman18 menambahkan bahwa faktor-faktor yang menurut pengamatannya
paling berpengaruh adalah status sosial ekonomi, semakin
tinggi status sosial ekonomi semakin tampak peduli terhadap
kehalalan dan ke-thayyib-an makanan. Semakin tinggi tingkat
pendidikan menunjukkan wawasan dan pengetahuan tentang
produk halal semakin bertambah, terlebih lagi dengan arus
informasi yang semakin cepat diakses, membuat konsumen
komunitas elit lebih banyak pertimbangan saat memilih
makanan dan minuman serta wawasan tentang kesehatan
juga mempengaruhi konsumsi ini, mengingat sudah cukup
banyak kesadaran akan bahaya makanan dan minuman yang
tidak memenuhi gizi berimbang. Kesadaran ini lebih besar
pada komunitas yang status sosial ekonominya tinggi. Industrialisasi berpengaruh terhadap budaya dan gaya hidup. Ini
terkait aspek ekonomi, pendidikan, budaya industri yang
ingin serba instan lebih besar pengaruhnya daripada pengaruh politik. Pengusaha dan pemilik industri makanan dan
minuman menegaskan pentingnya pengawasan terhadap
produk, bukan hanya kemudahan proses sertifikasi. Karena
tidak semua produk makanan dan minuman sudah mendapatkan sertifikasi halal, maka perlu dipertimbangkan untuk
sertifikasi produk yang ‘not good for muslim’ atau seharusnya
tidak dikonsumsi oleh komunitas muslim.
18
Hasil wawancara dengan pengusaha makanan dan minuman di tujuh kota.
104
Perilaku Komunitas Muslim Perkotaan dalam Mengonsumsi Produk Halal
Gambar 1.
Pola Perilaku Mengonsumsi Produk halal pada
Komunitas Muslim
Komunitas
Intelektual
Muslim
Jamaah/
Anggota
Ormas
Jejaring
Sosial
Individu
Ikatan
Keluarga
Perilaku Mengonsumsi Produk
Halal
Faktor-faktor
Eksternal :
- arus informasi
- tanda sertifikasi
-Budaya industri
-Kredibilitas dan
kompetensi pihak
pemberi sertifikasi
-Pengawasan
Pemerintah
-Komitmen
pemerintah untuk
melindungi
konsumen
-Regulasi yang jelas
-reward dan
punishment bagi
pengusaha
-Kepedulian
ormas/organisasi
social
-Sosialisasi oleh
muballigh/muballig
hat
Faktor-faktor
Internal :
- Status Sosial
Ekonomi (SSE),
-Tingkat
pendidikan
- Wawasan tentang
kesehatan
-Life style
-Pendidikan formal
dan non formal
-Kemampuan
mengakses
informasi
-Daya beli
-Pemahaman
tentang dalil syara’
-Pemahaman
tentang produk
makanan dan
minuman
105
Bab IV. Hasil dan Analisis
106
Perilaku Komunitas Muslim Perkotaan dalam Mengonsumsi Produk Halal
BAB V
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
A. Kesimpulan
1. Secara umum tingkat pengetahuan komunitas muslim di
tujuh kota terhadap konsep produk halal berada pada
level pengetahuan ‚sangat tinggi‛. Hal itu ditunjukan oleh
indeks pengetahuan akan produk halal yang mencapai
skor 4,55 (dalam skala 5). Pengetahuan mengenai konsep
dasar produk halal itu terutama yang berkenaan dengan
produk tidak mengandung babi, tidak mengandung
khamer, tidak mengandung organ tubuh manusia dan tidak
mengandung najis. Pengetahuan akan produk halal
tersebut dipengaruhi positif signifikan oleh aktifitas
keagamaan, lingkungan hidup dan latar belakang
pendidikan.
2. Perspesi responden atas produk halal dan labelisasi
produk halal menunjukkan gambaran yang tinggi. Hal ini
didukung oleh kenyataan bahwa 95% responden menginginkan semua produk yang beredar terjamin kehalalannya dan mendukung dilakukannya labelisasi halal pada
produk makanan dan minuman kemasan termasuk juga
restoran dan rumah-rumah makan.
3. Perilaku responden yang bekaitan dengan kesadaran
untuk mengonsumsi produk halal berada pada level
‚tinggi‛ dengan nilai indeks perilaku sebesar 3,84 (dalam
skala 5). Data yang diperoleh menunjukkan bahwa hanya
73% responden yang memeriksa label halal sebelum
107
Bab V. Kesimpulan dan Rekomendasi
memutuskan membeli produk, 63% tidak pernah/jarang
mengonsumsi produk yang tidak ada label halal dan 54%
tidak pernah/jarang makan di restoran yang tidak ada
sertifikasi label halal. Terkait perilaku menghindari
mengonsumsi produk kemasan yang meragukan dan
restoran yang meragukan hanya dilakukan oleh 73% - 78%
responden. Sedangkan tingkat keaktifan dalam mendorong, menginformasikan produk halal dan mencegah
produk tidak halal hanya dilakukan oleh 73% - 79%.
Fenomena demikian muncul diduga karena faktor masih
banyaknya produk kemasan yang belum ada label halal
dan restoran yang tersertifikasi halal, sehingga hanya 67%
responden yang menyatakan mudah untuk mencari
produk halal dan hanya 53% yang menyatakan mudah
mencari restoran yang halal .
4. Berdasarkan hasil analisis jalur dapat diketahui bahwa
terdapat pengaruh yang signifikan antara pengetahuan
responden dengan persepsi mereka terhadap produk
halal. Peningkatan pengetahuan produk halal akan secara
positif meningkatkan persepsi positif terhadap produk
halal. Pengetahuan dan persepsi secara bersama berpengaruh positif terhadap perilaku responden dalam
mngonsumsi produk halal. Meskipun demikian pengaruh
persepsi secara langsung dinilai lebih tinggi dibandingkan
pengetahuan. Apa yang dipersepsikan oleh responden
tentang produk halal akan lebih dominan berpengaruh
terhadap perilakunya dibandingkan apa yang diketahuinya.
5. Aktifitas keagamaan secara positif signifikan mempunyai
kontribusi terbesar terhadap peningkatan pengetahuan
108
Perilaku Komunitas Muslim Perkotaan dalam Mengonsumsi Produk Halal
dan persepsi responden atas produk halal dibandingkan
faktor lingkungan dan pendidikan. Hal ini mengindikasikan bahwa perlunya mendorong komunitas muslim
mempersering kegiatan aktifitas keagamaan, hal ini akan
sejalan dengan peningkatan pengetahuan, pemahaman
komunitas muslim serta peningkatan persepsi positif akan
produk halal.
6. Realitas sosial yang berhasil diungkap oleh penelitian ini
menunjukkan bahwa keberadaan peraturan perundangundangan yang melindungi konsumen (muslim) dari
mengonsumsi produk tidak halal sangat dibutuhkan dan
merupakan suatu hal yang sifatnya sangat mendesak.
Untuk itu Pemerintah dan DPR dinilai perlu ‚lebih aktif‛
untuk menghindari penilaian masyarakat, bahwa pemerintah dan DPR lamban dalam penyelesaian undangundang produk halal.
B. Rekomendasi
Hasil penelitian ini menghasilkan sejumlah rekomendasi sebagai upaya improvement planning bagi perkembangan
perilaku muslim perkotaan dalam mengonsumsi produk
halal. Selain itu rencana aksi yang disarankan sebagai hasil
penelitian ini merupakan bentuk tanggung jawab atas perlindungan dan jaminan pangan halal bagi komunitas muslim.
1. Keterlibatan secara aktif dari lembaga-lembaga keagamaan, para pemuka agama, penceramah, da’i, ustadz sangat
diharapkan guna mendukung program sosialisasi produk
halal melalui khutbah Jum’at, tulisan dan tayangan di
media, kegiatan seminar dan lainnya.
109
Bab V. Kesimpulan dan Rekomendasi
2. Kerjasama dengan perguruan tinggi dalam penyusunan
kurikulum yang memberikan pembekalan bagi mahasiswa dari berbagai profesi yang relevan untuk menumbuhkan tentang penggunaan dzat/produk halal.
3. Meningkatkan pengawasan terhadap usaha produksi makanan dan minuman, untuk pengusaha kecil, pengawasan
dan pembinaan setidaknya untuk memberikan wawasan
tentang prinsip-prinsip kehalalan produk makanan dan
minuman.
4. Koordinasi lintas sektor bersama kementerian Agama, BP
POM dan MUI secara sinergis dan menyusun sinkronisasi
langkah mendorong adanya regulasi dan implementasi
jaminan pangan halal.
5. Mendorong efisiensi dan efektivitas proses sertifikasi dan
labelisasi produk di seluruh provinsi dan kabupaten/kota
6. Kerjasama dengan KADIN, Kementerian Perindustrian
dan kementerian UKM untuk pembinaan usaha makanan
dan minuman.
7. Mendorong lembaga legislatif untuk segera mengesahkan
UU JPH sebagai bentuk perlindungan terhadap konsumen.
8. Mendorong adanya seperangkat regulasi yang komprehensif mendukung UU JPH yang mengatur produksi
makanan dan minuman dari hulu ke hilir.
9. Kerjasama dengan ormas untuk pembinaan ormas, NGO,
dan organisasi profesi untuk sosialisasi sosialisasi konsumsi produk halal kepada pelajar SD sampai perguruan
tinggi.
110
Perilaku Komunitas Muslim Perkotaan dalam Mengonsumsi Produk Halal
10. Membuat modul penyuluhan agama tentang materi
seputar produk halal.
11. Mendorong berdirinya restoran yang hanya menyediakan
produk halal.
111
Bab V. Kesimpulan dan Rekomendasi
112
Perilaku Komunitas Muslim Perkotaan dalam Mengonsumsi Produk Halal
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Ali Mustofa Ya’kub (2009), Kriteria halal-haram untuk pangan, obat dan
kosmetika menurut al-Qur’an dan Hadist, Pustaka Firdaus,
Jakarta.
Ajzen, I. (1991). The theory of planned behavior. Organizational
Behavior and Human Decision Pro-cesses, 50, p. 179-211. Di akses
dari Value Based jmanagement. Net
Assadi Djamchid (2003). Do Religions Influence Customer Behavior?
Confronting Religious Rules and Marketing Concepts. Cahiers du
CEREN Volume: 5 Halaman: 2 - 13
Babakus, Emin, T. Bettina Cornwell, Vince Mitchell, Bodo
Schlegelmilch (2004). Reactions to unethical consumer behavior
across six countries Journal of Consumer Marketing Volume: 21
Issue: 4 Halaman: 254 – 263
Bonne, Karijn et Wim Verbeke (2006). Muslim consumer’s motivations
towards meat consumption in Belgium: qualitative exploratory
insights from means-end chain analysis, http://aof.revues.
org/document90.html
Bryman, Alan. 2008. Social research methods.
Press. 748 halaman
Oxford University
Cornwell, Bettina, Charles Chi Cui, Vince Mitchell, Bodo Schlegel
milch, Anis
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI. 1995. Kamus Besar
Bahasa Indonesia. Jakarta.
Dzulkiflee, Joseph Chan (2005). A cross-cultural study of the role of
religion in consumers' ethical positions. International Marketing
Review Volume: 22 Issue: 5. Halaman: 531 – 546
113
Daftar Kepustakaan
Delener, Nejdet (1994). Religious Contrasts in Consumer Decision
Behaviour Patterns: Their Dimensions and Marketing Implications
(Abstract). European Journal of Marketing. 1994 Volume: 28
Issue: 5 Halaman: 36 – 53
Echols, Johan dan Hassan Shadily. 1994. Kamus Indonesia-Inggris.
Jakarta : Gramedia.
Essoo, Nittin and Dibb, Sally (2004). Religious influences on shopping
behaviour: an exploratory study. Journal of Marketing Management, 20 (7-8). Halaman:. 683-712. ISSN 0267-257X
Indonesia International Halal Exhibition - Halal Indonesia 2006 7 - 29
April 2006. Jakarta.
Malaysian Science and Technology Information Centre Portal.
http://www.mastic.gov.my/servlets/sfs
Jusmaliani dan Hanny Nasution (2009). ‚Religiosity Aspect in
Consumer Behaviour: Determinants of Halal Meat Consumption. Asean Marketing Journal. June 2009, Vol I-No.1
Kinnear, T.C. and Taylor, J.R. (1996). Marketing Research: An Applied
Approach, 5 th edition, McGraw-Hill, Inc
Max Weber, dalam KJ Veeger. 1990. Realitas Sosial: Refleksi Filsafat
Sosial atas Hubungan
Individu-Masyarakat dalam Cakrawala Sejarah Sosiologi. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama
Omar, M, Muhammad, M, and Omar, A. (2008). An Analysis of the
Muslim Consumer ’attitude towards ‘Halal’ Food Products in
Kelantan. Thrusting Islam Knowledge and
Professionalism in ECER Development. ECER Regional Conference. 1517 Desember 2008. Malaysia
114
Perilaku Komunitas Muslim Perkotaan dalam Mengonsumsi Produk Halal
Pettinger, C., Holdsworth, M., Gerber, M., (2004). ‚Psycho-social
influences on food choice in Southern France and Central England.‛
Appetite, 42(3), 307-316.
Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam. (2008).
Ekonomi Islam. PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta
Qardhawi, Yusuf. 2000. Halal dan Haram dalam Islam, Surabaya : P.T.
Bina Ilmu.
Talcott Parsons. 1975. The Present Status of "Structural-Functional"
Theory in Sociology." In Talcott Parsons, Social Systems and The
Evolution of Action Theory New York: The Free Press.
Yamin Sofyan dan Kurniawan Heri (2009). SPSS Complete. Jakarta :
Penerbit Salemba Empat.
http://duniabaca.com/definisi-pengetahuan-serta-faktor-faktor-yangmempengaruhi- pengetahuan.html
http://id.shvoong.com/social-sciences/psychology/1837978-definisipersepsi/
115
Download