PERILAKU KOMUNITAS MUSLIM PERKOTAAN DALAM MENGONSUMSI PRODUK HALAL Editor: Muchith A. Karim KEMENTERIAN AGAMA RI BADAN LITBANG DAN DIKLAT PUSLITBANG KEHIDUPAN KEAGAMAAN JAKARTA, 2013 Perpustakaan Nasional: katalog dalam terbitan (KDT) perilaku komunitas muslim perkotaan dalam mengonsumsi produk halal/Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi I, Cet. 1 …… Jakarta, Badan Litbang dan Diklat, Kementerian Agama RI xxviii + 115 hlm; 14,8 x 21 cm ISBN : 978-979-797-354-4 Hak Cipta pada Penerbit Dilarang mengutip sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara apapun, termasuk dengan cara menggunakan mesin fotocopy, tanpa izin sah dari penerbit Cetakan Pertama, Nopember 2013 PERILAKU KOMUNITAS MUSLIM PERKOTAAN DALAM MENGONSUMSI PRODUK HALAL Editor: Muchith A Karim Desain cover dan Lay out, oleh: Zabidi Penerbit: Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI Jl. MH. Thamrin No. 6 Jakarta Telp./Fax. (021) 3920425, 3920421 www.puslitbang1.balitbangdiklat.co.id KATA PENGANTAR KEPALA PUSLITBANG KEHIDUPAN KEAGAMAAN uji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan karuniaNya yang tiada terhingga, sehingga kami dapat merealisasikan ”Penerbitan Naskah Buku Kehidupan Keagamaan”. Penerbitan buku tahun 2013 ini merupakan hasil penelitian Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI pada tahun 2012. Buku hasil penelitian yang diterbitkan sebanyak 8 (delapan) naskah. Buku-buku yang dimaksud sebagai berikut: 1. Survei Nasional Kerukunan Umat Beragama di Indonesia. 2. Efektivitas Pengawasan Fungsional bagi Peningkatan Kinerja Aparatur Kementerian Agama. 3. Menelusuri Makna di Balik Fenomena Perkawinan di Bawah Umur dan Perkawinan Tidak Tercatat. 4. Perilaku Komunitas Muslim Perkotaan dalam Mengonsumsi Produk Halal. 5. Pandangan Pemuka Agama terhadap Kebijakan Pemerintah Bidang Keagamaan. 6. Pandangan Pemuka Agama terhadap Ekslusifisme Agama di Berbagai Komunitas Agama. iii 7. Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia. 8. Peran Pemerintah Daerah dan Kementerian Agama dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama. Kami berharap penerbitan naskah buku hasil penelitian yang lebih banyak menyampaikan data dan fakta ini dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan khazanah sosial keagamaan, serta sebagai bahan masukan bagi para pengambil kebijakan tentang pelbagai perkembangan dan dinamika sosial keagamaan. Di samping itu, diharapkan pula buku-buku ini dapat dijadikan sebagai acuan bagi berbagai pihak tentang informasi kehidupan keagamaan di Indonesia. Dengan selesainya kegiatan penerbitan naskah buku kehidupan keagamaan ini, kami mengucapkan terima kasih kepada: 1. Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI yang telah memberikan kepercayaan, arahan dan sambutan bagi terbitnya buku-buku ini. 2. Para pakar yang telah sudi membaca dan memberikan prolog atas buku-buku yang diterbitkan. 3. Para peneliti sebagai editor yang telah menyelaraskan laporan hasil penelitian menjadi buku, dan akhirnya dapat hadir di depan para pembaca yang budiman. 4. Kepada semua fihak yang telah memberikan kontribusi bagi terlaksananya program penerbitan naskah buku kehidupan keagamaan ini. 5. Tim Pelaksana Kegiatan, sebagai penyelenggara. iv Apabila dalam penerbitan buku ini masih ada hal-hal yang perlu perbaikan, kekurangan dan kelemahannya baik dari sisi substansi maupun teknis, kami mohon maaf dan berharap masukan serta saran untuk penyempurnaan dan perbaikan buku-buku yang kami terbitkan selanjutnya dan semoga bermanfaat. Semoga bermanfaat. Jakarta, Oktober 2013 Kepala, Puslitbang Kehidupan Keagamaan Prof. Dr. H. Dedi Djubaidi, M.Ag. NIP. 19590320 198403 1 002 v vi Perilaku Komunitas Muslim Perkotaan dalam Mengonsumsi Produk Halal SAMBUTAN KEPALA BADAN LITBANG DAN DIKLAT KEMENTERIAN AGAMA RI Assalamu‟alaikum wr, wb. K omunitas muslim di seluruh dunia telah membentuk segmen pasar yang potensial dikarenakan pola khusus mereka dalam mengonsumsi suatu produk. Pola konsumsi ini diatur dalam ajaran Islam yang disebut dengan syari‟at. Dalam ajaran syari‟at, tidak diperkenankan kaum muslim untuk mengonsumsi produk-produk tertentu karena substansi yang dikandungnya atau proses yang menyertainya tidak sesuai dengan ajaran syari‟at tersebut. Dengan adanya aturan yang tegas ini maka para pemasar memiliki sekaligus barrier dan kesempatan untuk mengincar pasar khusus kaum muslim. Populasi kaum muslimin yang sedemikian besar menjadi pasar yang potensial untuk dimasuki. Meskipun negara sekelas Amerika Serikat yang notabene jumlah kaum muslimin di sana adalah minoritas, namun diperkirakan ada sekitar empat sampai sembilan juta orang yang memeluk agama Islam, yang pola belanja dan konsumsi produk mereka sejalan dengan ajaran agama Islam atau ingin menyesuaikan pola konsumsinya dengan ajaran agamanya. Indonesia sendiri, dengan populasi kaum muslimin yang mencapai 87% dari jumlah total warga negara, dengan sendirinya pasar Indonesia merupakan pasar konsumen muslim yang demikian besar. Pemahaman yang semakin baik tentang agama membuat konsumen muslim menjadi semakin selektif dalam pemilihan produk yang dikonsumsi. Khusus di Indonesia konsumen muslim dilindungi oleh lembaga yang secara khusus bertugas vii Sambutan Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI untuk mengaudit produk-produk yang dikonsumsi oleh konsumen muslim di Indonesia. Lembaga ini adalah Lembaga Pengawasan dan Peredaran Obat dan Makanan - Majelis Ulama Indonesia (LPPOM-MUI). Lembaga ini mengawasi produk yang beredar di masyarakat dengan cara memberikan sertifikat halal sehingga produk yang telah memiliki sertifikat halal tersebut dapat memberi label halal pada produknya. Artinya produk tersebut secara proses dan kandungannya telah lulus diperiksa dan terbebas dari unsur-unsur yang dilarang oleh ajaran agama Islam, atau produk tersebut telah menjadi kategori produk halal dan tidak mengandung unsur haram dan dapat dikonsumsi secara aman oleh konsumen muslim. Produk-produk yang mendapat pertimbangan utama dalam proses pemilihannya berdasarkan ketentuan syari‟at yang menjadi tolok ukur untuk konsumen muslim adalah produk-produk makanan dan minuman. Ketidakinginan masyarakat muslim untuk mengonsumsi produk-produk haram akan meningkatkan keterlibatan yang lebih tinggi dalam proses pemilihan produk (high involvement). Dengan begitu akan ada produk yang dipilih untuk dikonsumsi dan produk yang disisihkan akibat adanya proses pemilihan tersebut. Proses pemilihannya sendiri akan menjadikan kehalalan sebagai parameter utamanya. Ketentuan ini membuat keterbatasan pada produk-produk makanan untuk memasuki pasar umat muslim. Konsumen muslim sendiri juga bukan tanpa kesulitan untuk memilih produk-produk yang mereka konsumsi menjadi produk dalam kategori halal dan haram. Tentunya untuk memeriksakan sendiri kondisi kehalalan suatu produk adalah kurang memungkinkan. Hal viii Perilaku Komunitas Muslim Perkotaan dalam Mengonsumsi Produk Halal ini berkaitan dengan masalah teknis dalam memeriksa kehalalan suatu produk, seperti uji kimia, pengamatan proses serta pemeriksaan kandungan produk. Perilaku komunitas ini dalam mengonsumsi produk halal sesungguhnya bergantung bagaimana mereka memiliki pengetahuan tentang apa itu halal. Meskipun ajaran agama telah memberikan panduan yaitu melalui al-Qur’an dan Hadits akan tetapi dengan arus informasi dan berkembangnya teknologi kemasan produk telah memberikan penawaran yang menggiurkan dapat mempengaruhi perilaku itu sendiri. Perilaku dalam mengonsumsi produk halal dapat dilihat dari seberapa sering mereka mengonsumsi produk yang telah ada label halal, seberapa sering mereka mengonsumsi produk yang diragukan kehalalannya serta seberapa sering mereka mengajak orang lain untuk mengonsumsi produk halal dan mencegah orang lain mengonsumsi produk tidak halal. Selain faktor pengetahuan akan produk halal, persepsi terkait pentingnya halal itu sendiri dapat berpengaruh terhadap perilaku. Persepsi itu dapat berupa keyakinan yang tinggi akan pentingnya mengonsumsi produk halal, tingkat harapan/keinginan komunitas muslim perkotaan untuk memperoleh produk halal serta persepsi tentang pentingnya labelisasi halal. Tinggi rendahnya pengetahuan dan persepsi komunitas muslim perkotaan terhadap produk halal tidak terlepas dari aktifitas keagamaan yang dilakukan. Semakin rajin komunitas muslim perkotaan mencari informasi terkait produk halal maka secara alami akan meningkatkan pengetahuan dan ix Sambutan Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI persepsi sikap terhadap produk halal. Faktor lingkungan seperti ceramah pemuka agama, dorongan keluarga juga ikut berperan dalam menentukan tingkat pengetahuan dan persepsi itu akan produk halal. Dalam kesempatan ini kami tak lupa mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dan berpartisipasi dalam penyusunan dan penerbitan buku ”Perilaku Komunitas Muslim Perkotaan dalam Mengonsumsi Produk Halal”. Mudah-mudahan buku ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Jakarta, Oktober 2013 Pgs. Kepala Badan Litbang dan Diklat Prof. Dr. H. Machasin, MA NIP. 19561013 198103 1 003 x Perilaku Komunitas Muslim Perkotaan dalam Mengonsumsi Produk Halal PROLOG URGENSI SERTIFIKASI PRODUK HALAL BAGI UMAT ISLAM Oleh: Maulana Hasanudin ِه انزَحٍِْم ِ هلل انزَحْم ِ بِسْ ِم ا Pendahuluan K emajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi akhir-akhir ini telah merambah seluruh aspek bidang kehidupan umat manusia; tidak saja membawa berbagai kemudahan, kenyamanan, dan kesenangan, melainkan juga menimbulkan sejumlah persoalan. Aktifitas dan hasil eksperimen baru yang beberapa waktu lalu tidak pernah dikenal, atau bahkan tidak pernah terbayangkan, kini hal itu menjadi kenyataan. Di sisi lain, kesadaran keberagamaan umat Islam di berbagai negeri, termasuk di Indonesia, pada dasawarsa terakhir ini semakin tumbuh subur dan meningkat. Sebagai konsekuensi logis, setiap timbul persoalan, penemuan, maupun aktifitas dan hasil eksperimen baru sebagai produk dari kemajuan tersebut, umat senantiasa bertanya-tanya, bagaimanakah kedudukan hal tersebut dalam pandangan ajaran dan hukum Islam. Produk-produk olahan, baik makanan, minuman, obatobatan, maupun kosmetika, telah membanjiri pasar Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Produkproduk tersebut banyak mendapat perhatian dari umat Islam, apalagi jika berasal dari negeri yang penduduknya mayoritas non muslim, sekalipun bahan bakunya berupa barang suci dan halal. Sebab, tidak tertutup kemungkinan dalam proses pembuatannya tercampur atau menggunakan bahan-bahan (baik sebagai bahan tambahan atau bahan penolong) yang haram atau tidak suci. Dengan demikian, produk-produk olahan tersebut bagi umat Islam jelas bukan merupakan xi Prolog persoalan sepele, tetapi merupakan persoalan besar dan serius. Oleh karena itu, wajarlah jika umat Islam sangat berkepentingan untuk mendapat ketegasan tentang status hukum produk-produk tersebut, sehingga apa yang akan mereka konsumsi tidak menimbulkan keresahan dan keraguan. Umat Islam, sejalan dengan ajaran Islam, menghendaki agar produk-produk yang akan dikonsumsi tersebut dijamin kehalalan dan kesuciannya. Menurut ajaran Islam, mengonsumsi yang halal, suci, dan baik merupakan perintah agama dan hukumnya adalah wajib. Cukup banyak ayat dan hadis menjelaskan hal tersebut. Di antaranya sebagai berikut: ،ٌَِا أٌٍَُا انىَاسُ كُهُُْا مِمَا فِى اْألَرْضِ حَالَالً طَـٍِـبًا ََالَتَـّتَبِعُُْا خُطَُُاتِ انّشٍَْطَان )868 :إِوًَُ نَكُمْ عَدٌَُ مُبٍِْهٌ (انبقزة "Hai sekalian manusia! Makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terda-pat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkahlangkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu" (QS. al-Baqarah [2]: 168). ٌَُا أٌٍَُا انَذٌِْهَ آمَىُُْا كُهُُْا مِهْ طٍَِـبَاتِ مَارَسَقْىَاكُمْ ََاشْكُزَُْا هللِ إِنْ كُىّْتُمْ إٌَِاي )871 :تَعْبُدَُْنَ (انبقزة "Hai orang yang beriman! Makanlah di antara rizki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar hanya kepada-Nya kamu menyembah" (QS. al-Baqarah [2]: 172). : ََاتَقُُا اهللَ انَذِيْ أَوّْتُمْ بًِِ مُؤْمِىُُْنَ (انمائدة،ََكُهُُْا مِمَا رَسَقَكُمُ اهللُ حَالَالً طَـٍِبًا )88 "Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari yang Allah telah rezkikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya" (QS. al-Ma'idah [5]: 88). xii Perilaku Komunitas Muslim Perkotaan dalam Mengonsumsi Produk Halal َ ََاشْكُزَُْا وِعْمَتَ اهللِ إِنْ كُىّْتُمْ إٌَِايُ تَعْبُدَُْن،فَكُهُُْا مِمَا رَسَقَكُمُ اهللُ حَالَالً طَـٍِبًا )881 :(انىحم "Maka makanlah yang halal lagi baik dari rezki yang telah diberikan Allah kepadamu; dan syukurilah nikmat Allah, jika kamu hanya kepada-Nya menyem-bah" (QS. al-Nahl [16]: 114). Ayat-ayat di atas bukan saja menyatakan bahwa mengonsumsi yang halal hukumnya wajib karena merupakan perintah agama, tetapi juga menunjukkan bahwa hal tersebut merupakan salahsatu bentuk perwujudan dari rasa syukur dan keimanan kepada Allah. Sebaliknya, mengon-sumsi yang tidak halal dipandang sebagai mengikuti ajaran syaitan. Mengonsumsi yang tidak halal (haram) menyebabkan segala amal ibadah yang dilakukan tidak akan diterima oleh Allah SWT. Nabi saw. dalam sebuah hadisnya menyatakan: ًِِ ََإِنَ اهللَ أَمَزَ انْمُؤْمِىٍِْهَ بِمَا أَمَزَ ب.أٌٍََُا انىَاسُ! إِنَ اهللَ طٍَِبٌ الٌََقْبَمُ إِالَ طَـٍِـبًا إِوًِْ بِمَا، ٌَاأٌٍََُا انزُسُمُ كُهُُْا مِهَ انطَـٍِـبَاتِ ََاعْمَهُُْا صَاِنحًا:َ فَقَال.َانْمُزْسَهٍِْه ٌَا أٌٍَُا انَذٌِْهَ آمَىُُْا كُهُُْا مِهْ طٍَِـبَاتِ مَارَسَقْىَاكُمْ (رَاي:َ ََقَال.ٌتَعْمَهُُْنَ عَهٍِْم 1. .)مسهم عه أبً ٌزٌزة "Wahai umat manusia! Sesungguhnya Allah adalah ëayyib (baik), tidak akan menerima kecuali yang ëayyib (baik dan halal); dan Allah memerintahkan kepada orang beriman segala apa yang Ia perintahkan kepada para rasul. Ia berfirman, 'Hai rasul-rasul! Makanlah dari makanan yang baik-baik (halal) dan kerjakanlah amal yang saleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan' (QS. al-Mu'minun [23]: 51), dan berfiman pula, 'Hai orang yang beriman! Makanlah di antara rizki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu...' (QS. al-Baqarah [2]: 172) (HR. Muslim dari Abu Hurairah). 1 Imam Muslim, Sahih Muslim, (Bairut: Dar al-Fikr, 1993), juz I, h. 448. xiii Prolog Dalam lanjutan hadis di atas Nabi menceritakan seorang laki-laki yang melakukan perjalanan panjang, rambutnya acak-acakan dan badannya berlumur debu. Sambil menjulurkan tangan ke langit, ia berdoa, 'Ya Tuhan, Ya Tuhan..." (Berdoa dalam perjalanan, apalagi dengan kondisi seperti itu, pada umumnya dikabulkan oleh Tuhan --pen.). Akan tetapi, makanan orang itu haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan ia selalu menyantap yang haram. Oleh karena itu, Nabi memberikan komentar, "Jika demikian halnya, bagaimana mungkin ia akan dikabulkan doanya?"2 Dari uraian singkat di atas jelaslah bahwa masalah halal dan haram bagi umat Islam sangatlah urgen dan besar artinya, karena diterimanya suatu amal ibadah oleh Allah SWT sangat bergantung pada kehalalan segala apa yang dikonsumsi. Oleh karena itu, wajarlah jika masalah halal dan haram tersebut mendapat perhatian serius dari umat Islam. Sertifikat Halal Jika pada zaman dulu kehalalan dan kesucian makanan, minuman, obat-obatan dan kosmetika tidak merupakan suatu persoalan serius karena bahannya jelas-jelas halal dan cara pemerosesannya pun tidak bermacam-macam, kini tentu persoalannya tidak sesederhana itu. Sehingga, kita sebagai umat Islam sering dihadapkan pada pertanyaan seperti, "Bolehkah kita mengonsumsi makanan anu, bolehkah kita menikmati minuman anu, bolehkah kita menggunakan obat atau kosmetika anu?" Pertanyaan-pertanyaan seperti itu, bagi umat Islam, tidak dipandang berlebihan. Sebab, bagi mereka, kesucian dan kehalalan sesuatu yang akan dikonsumsi mutlak harus diperhatikan, karena hal tersebut sangat menentukan diterima 2 Ibid. xiv Perilaku Komunitas Muslim Perkotaan dalam Mengonsumsi Produk Halal atau ditolaknya amal ibadah kita sebagaimana telah dikemukakan di atas. oleh Allah SWT Pertanyaan berikutnya, dapatkah setiap orang mengetahui produk mana yang halal dan suci, dan produk mana pula yang haram atau tidak suci? Dengan kemajuan iptek dan kemampuan rekayasa luar biasa di bidang pengolahan pangan, obat dan kosmetika dewasa ini, kiranya cukup beralasan jika dikatakan bahwa untuk mengetahui kehalalan dan kesucian hal-hal tersebut bukanlah persoalan mudah. Dengan kata lain, tidak setiap orang (muslim) akan dengan mudah dapat mengetahuinya. Sebab, untuk mengetahuinya, diperlukan pengetahuan cukup memadai tentang pedoman atau kaidah-kaidah syari'ah Islam. Itulah kiranya apa yang telah disinyalir oleh Nabi SAW dalam sebuah hadis yang cukup populer: ََبٍَْىٍَُمَا "Yang halal itu sudah jelas dan yang haram pun sudah jelas; dan di antara keduanya ada hal-hal yang musytabihat (syubhat, samar-samar, tidak jelas halal haramnya), kebanyakan manusia tidak mengetahui hukumnya. Barang siapa hati-hati (menjauhkan diri) dari perkara syubhat, sungguh ia telah menyelamatkan agama dan harga dirinya..." (HR. Muslim).3 Hadis ini menunjukkan bahwa yang haram itu sudah jelas dan yang haram pun sudah jelas; akan tetapi, dalam hadis itu pun disebutkan cukup banyak pula hal yang samar- 3 h. 171. Al-Shan'ani, Subul as-Salam, (Bandung: Maktabah Dahlan, t.th.), juz IV, xv Prolog samar (syubhat), yang status hukumnya, apakah ia halal ataukah haram, tidak diketahui oleh banyak orang. Produk-produk olahan, baik makanan, minuman, obat maupun kosmetika menurut hemat penulis kiranya dapat diketogorikan ke dalam kelompok musytabihat (syubhat), apalagi jika produk tersebut berasal dari negeri yang penduduknya mayoritas non muslim, sekalipun bahan bakunya berupa barang suci dan halal. Sebab, tidak tertutup kemungkinan dalam proses pembuatannya tercampur atau menggunakan bahan-bahan yang tidak suci dan/atau haram. Bagi umat Islam hal tersebut jelas bukan merupakan persoalan sederhana, tetapi merupakan persoalan besar dan serius. Terlebih lagi jika mengingat lanjutan hadis di atas yang menyatakan bahwa "Barang siapa yang terjerumus ke dalam syubhat, ia terjerumus ke dalam yang haram". Berdasarkan makna yang tersurat maupun tersirat dalam hadis tersebut, bagi umat Islam mengonsumsi atau menggunakan produk olahan --yang menurut hemat penulis termasuk kelompok musytabitah (syubhat)-- perlu dihindari kecuali setelah diketahui dengan jelas kehalalannya. Hanya saja, upaya untuk mengetahui kehalalan suatu produk olahan dengan cara meneliti secara seksama terhadap bahan-bahan yang digunakan dan proses pembuatannya bukanlah pekerjaan mudah. Demikian juga, melarang --dalam arti mengharamkan-- umat untuk mengonsumsi atau menggunakannya pun akan menimbulkan kesulitan. Oleh karena itu, untuk menghilangkan, atau setidaknya untuk mengurangi kesulitan ini, umat Islam hendaknya meneliti terlebih dahulu apakah produk yang akan dikonsumsi itu sudah memperoleh Sertifikat Halal dari lembaga yang berkompeten atau belum. Jika sudah, kiranya tidak perlu meragukan kehalalannya. Sebab, pada umumnya, sepanjang pengetahuan penulis lembaga tersebut sangat berhati-hati dan tidak akan xvi Perilaku Komunitas Muslim Perkotaan dalam Mengonsumsi Produk Halal memberikan Sertifikat Halal (SH) kecuali untuk produk yang sudah benar-benar diyakini kehalalannya. Di sinilah letak urgensi sertifikasi halal. Kehadiran buku “Prilaku Komunitas Muslim Perkotaan dalam Mengonsumsi Produk Halal” patut disyukuri dan direspon secara positif oleh kita semua. Pengetahuan responden terhadap konsep produk halal yang berada pada level “sangat tinggi” sebagaimana diinformasikan oleh buku ini, patut kita syukuri. Keinginan responden agar semua produk yang beredar terjamin kehalalannya dan dilakukan labelisasi halal perlu kita respon dengan positif. Demikian juga, kesadaran untuk mengonsumsi produk halal yang hanya berada pada level “tinggi” patut kita respon dengan positif dan ditindaklanjuti. „Ala kulli hal, buku ini bermanfaan bagi kita semua.[] xvii Prolog xviii Perilaku Komunitas Muslim Perkotaan dalam Mengonsumsi Produk Halal PRAKATA EDITOR P erlindungan dan jaminan pangan halal bagi konsumen sudah selayaknya diberikan oleh pihak yang berwenang, dalam tataran regulasi maupun implementasi. Perilaku mengonsumsi produk halal pada komunitas muslim perkotaan di Indonesia merupakan kajian yang memiliki kompleksitas tersendiri. Hal ini karena banyak faktor baik internal maupun eksternal berkontribusi membangun pola perilaku mengonsumsi produk halal. Selain persoalan regulasi yang belum secara komprehensif menata sistem jaminan pangan halal, stakeholders pemangku kepentingan belum cukup melangkah bersama secara sinergis untuk memberikan perlindungan terhadap konsumen, khu-susnya komunitas muslim perkotaan. Komunitas muslim perkotaan selama ini menjadi bagian dari trendsetter yang dikonstruksi oleh dinamika perkembangan industrialisasi, dominasi budaya lokal dan adaptasinya di daerah minoritas muslim. Kearifan lokal yang teradaptasi menjadi sebuah pola perilaku komunitas muslim perkotaan dalam mengonsumsi produk halal serta berbagai faktor yang mempengaruhi konstruksi pola perilaku tersebut penting diteliti. Naskah buku ini merupakan hasil penelitian yang bertujuan untuk mengidentifikasi pengetahuan, persepsi dan perilaku komunitas muslim perkotaan dalam mengonsumsi produk halal serta menggambarkan pola perilaku komunitas muslim perkotaan dalam mengonsumsi produk halal. Secara xix Pengantar Editor praktis urgensi penelitian ini memberikan rekomendasi yang signifikan bagi pemenuhan hak jaminan pangan halal bagi pihak yang berwenang. Selain itu penataan sistem jaminan pangan halal dan tatalaksananya dapat diselenggarakan berdasarkan kebutuhan komunitas muslim perkotaan. Perlindungan konsumen komunitas muslim dalam tataran kebijakan maupun praktis dapat disusun sesuai dengan hasil-hasil penelitian ini. Pendekatan kuantitatif dan kualitatif sekaligus (mixed methods) digunakan dalam penelitian ini untuk mendapatkan gambaran pengaruh beberapa variabel terhadap perilaku, sekaligus mendapatkan data yang mendalam mengenai pola perilaku komunitas muslim perkotaan dalam mengonsumsi produk halal dengan segala kompleksitasnya. Penelitian dilakukan pada 7 (tujuh) kota, yaitu DKI Jakarta, Bandung, Surabaya, Batam, Solo, Denpasar dan Menado. Kota-kota tersebut dipilih secara purposive, menggunakan sampling kota yang memiliki kekhususan tertentu, seperti kota dengan jumlah muslim minoritas, dominasi budaya industri serta kota yang mempunyai budaya lokal dominan. Random sampling dilakukan dengan mengambil sample secara acak dari kerangka sample yang diambil dari populasi muslim perkotaan di 7 (tujuh) kota tersebut. Jumlah responden untuk penelitian kuantitatif sebanyak 770 orang. Penarikan sample pada tahap kualitatif dilakukan secara purposif dengan pemilihan informan yang paling well inform menganai perilaku komunitas muslim perkotaan dalam mengonsumsi produk halal. Informan tidak dibatasi jumlahnya, melainkan menggunakan prinsip data saturation, yakni pengumpulan data dari sejumlah informan hingga tidak xx Perilaku Komunitas Muslim Perkotaan dalam Mengonsumsi Produk Halal diperoleh informasi baru, artinya telah tercapai kecukupan data kualitatif. Analisis data dilakukan dengan dua pendekatan yaitu teknis analisis data kuantitatif dan teknik analisis data kualitatif. Teknik analisis data kuantitatif diperoleh dari data kuesioner yang diberikan kepada 770 responden dengan teknik purposive sampling sedangkan teknik analisis data kualitatif diperoleh dari sumber informasi tokoh agama/ masyarakat/dosen/pengusaha. Teknik analisis data kuantitatif dilakukan dengan beberapa tahap yaitu uji validitas dan realibilitas kuesioner, analisis statistik deskriptif dan analisis statistik inferensial. Sedangkan analisis data kualitatif dilakukan menggunakan teknik reduksi data, display dan analisis serta kesimpulan. Analisis data kualitatif dimulai dengan mengorganisir informasi dan data, kemudian melakukan coding, kategorisasi data, menguraikan kasus-kasus sesuai konteksnya, menetapkan pola dan mencari hubungan antara beberapa kategori. Buku yang memuat hasil kajian ini menginformasi-kan antara lain: 1. Secara umum tingkat pengetahuan komunitas muslim di tujuh kota terhadap konsep produk halal berada pada level pengetahuan ”sangat tinggi”. Hal ini ditujukan oleh indeks pengetahuan terhadap produk halal mencapai skor 4,55 (dalam skala 5). Pengetahuan mengenai konsep dasar produk halal itu terutama yang berkenaan dengan produk tidak mengandung babi, tidak mengandung khamr, tidak mengandung organ tubuh manusia dan tidak mengan- xxi Pengantar Editor dung najis. Pengetahuan atas produk halal tersebut dipengaruhi positif signifikan oleh aktifitas keagamaan, lingkungan hidup dan latar belakang pendidikan responden. 2. Persepsi responden terhadap produk halal dan labelisasi produk halal menunjukkan gambaran yang tinggi. Hal ini didukung oleh kenyataan bahwa 95% responden menginginkan semua produk yang beredar terjamin kehalalannya dan mendukung dilakukannya labelisasi halal pada produk makanan dan minuman kemasan termasuk juga restoran dan rumah-rumah makan. 3. Perilaku responden yang berkaitan dengan kesadaran untuk mengonsumsi produk halal berada pada level ”tinggi” dengan nilai indeks perilaku sebesar 3,84 (dalam skala 5). Data yang diperoleh menunjukkan bahwa hanya 73% responden memeriksa label halal sebelum memutuskan membeli produk, 63% responden tidak pernah/jarang mengonsumsi produk yang tidak ada label halal dan 54% responden tidak pernah/jarang makan di restoran yang tidak ada sertifikasi label halal. Terkait perilaku menghindari mengonsumsi produk kemasan yang meragukan dan restoran yang meragukan hanya dilakukan oleh 73% 78% responden. Sedangkan tingkat keaktifan responden dalam mendorong, menginformasikan produk halal dan mencegah produk tidak halal hanya dilakukan oleh 73% 79% responden. Fenomena yang demikian ini muncul diduga karena faktor masih banyaknya produk kemasan yang belum ada label halal dan restoran yang tersertifikasi xxii Perilaku Komunitas Muslim Perkotaan dalam Mengonsumsi Produk Halal halal, sehingga hanya 67% responden menyatakan mudah untuk mencari produk halal dan hanya 53% yang menyatakan mudah dalam mencari restoran yang halal. 4. Berdasarkan hasil analisis jalur dapat diketahui bahwa terdapat pengaruh yang signifikan antara pengetahuan responden dengan persepsi mereka terhadap produk halal. Peningkatan pengetahuan responden atas produk halal secara positif akan meningkatkan persepsi terhadap produk halal. Pengetahuan dan persepsi secara bersama berpengaruh positif terhadap perilaku responden dalam mengonsumsi produk halal. Meskipun demikian pengaruh persepsi secara langsung dinilai lebih tinggi dibandingkan pengetahuan. Apa yang dipersepsikan oleh responden tentang produk halal akan lebih dominan berpengaruh terhadap perilakunya dibandingkan apa yang diketahuinya. 5. Aktifitas keagamaan secara positif signifikan mempunyai kontribusi terbesar terhadap peningkatan pengetahuan dan persepsi responden akan produk halal dibandingkan faktor lingkungan dan pendidikan. Hal ini mengindikasikan bahwa perlunya mendorong komunitas muslim sering melakukan aktifitas keagamaan, hal ini akan sejalan dengan peningkatan pengetahuan/pemahaman komunitas muslim serta peningkatan persepsi positif akan produk halal. 6. Realitas sosial yang berhasil diungkap oleh penelitian ini menunjukkan bahwa keberadaan peraturan perundang- xxiii Pengantar Editor undangan yang melindungi konsumen (muslim) dari mengonsumsi produk tidak halal sangat dibutuhkan dan merupakan suatu hal yang sifatnya sangat mendesak. Untuk itu pemerintah dan DPR dinilai perlu ”lebih aktif”, agar pemerintah dan DPR tidak dinilai lamban dalam hal penyelesaian undang-undang produk halal. Faktor internal dan eksternal berkelindan secara simultan memberikan pengaruh kepada pembentukan pola perilaku mengonsumsi produk halal. Pendidikan formal maupun non-formal pendidikan masa kecil di surau, harus selalu menanamkan bahwa makan dan minum harus memperhatikan kehalalan. Jadi, pendidikan non-formal dalam keluarga memgang peranan penting dalam membangun pola mengonsumsi produk halal, namun pendidikan tidak berdiri sendiri mengendali pola perilaku komunitas. Faktor eksternal yang telah menginternalisasi, seperti dominan budaya lokal, kondisi industrialisasi dan heterogenitas yang tinggi pada lokasi tujuh kota yang diteliti telah membangun pola yang khas pada masing-masing kota. Kota industri seperti Surabaya, Bandung, DKI Jakarta dan Batam memberikan corak tertentu pada pola perilaku komunitas muslim, demikian pula kota-kota dominan budaya lokal seperti Solo serta kota-kota dengan penduduk muslim sebagai minoritas seperti Bali dan Menado. Faktor lainnya yang mendukung pembentukan sosialisasi oleh muballigh/mubalighat semakin intensif, ditambah pengawasan yang baik dari pemerintah dapat mensukseskan penyelenggaraan penataan pola mengonsumsi produk halal pada komunitas muslim. xxiv Perilaku Komunitas Muslim Perkotaan dalam Mengonsumsi Produk Halal Saran dan kritik dari para pembaca sangat kami harapkan demi penyempurnaan buku ini pada masa yang akan datang. Kami berharap semoga buku ini dapat menambah wawasan para pembaca, dan bagi pihak-pihak yang berwenang dapat memanfaatkannya sesuai dengan kebutuhan. Jakarta, Oktober 2013 Editor: Muchith A. Karim xxv Daftar Isi xxvi Perilaku Komunitas Muslim Perkotaan dalam Mengonsumsi Produk Halal DAFTAR ISI Kata Pengantar Kepala Puslitbang Kehidupan Keagamaan ................................................................................ Sambutan Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI ................................................................................... Prolog, oleh: Dr. H. Maulana Hasanuddin, M.Ag .............. Prakata Editor ........................................................................... DAFTAR ISI ............................................................................. BAB I PENDAHULUAN ................................................. A. Latar Belakang Masalah ................................ B. Batasan Masalah .............................................. C. Rumusan Masalah .......................................... D. Tujuan Penelitian ........................................... E. Kegunaan Penelitian ...................................... BAB II PENYUSUNAN KERANGKA TEORITIK ......... A. Deskripsi Teoritik ........................................... 1. Produk Halal ........................................... 2. Konsep tentang Sikap (Attitude)............. 3. Perilaku Konsumen Muslim ................. 4. Restoran .................................................... B. Prior Research ................................................. BAB III METODOLOGI PENELITIAN ............................ A. Pendekatan dan Metode Penelitian ............. B. Populasi dan Sampel ..................................... C. Instrumen Penelitian ..................................... D. Skala Pengukuran .......................................... E. Model dan Hipotesis Penelitian .................. F. Teknik Analisa Data ...................................... G. Waktu ............................................................. BAB IV HASIL DAN ANALISIS ....................................... A. Demografik Responden ................................ iii vii xi xix xxvii 1 1 7 8 9 9 11 11 11 12 14 18 19 25 25 25 27 31 32 34 37 39 39 xxvii Daftar Isi B. Pengetahuan Komunitas Muslim terhadap Produk Halal ................................................... C. Persepsi Komunitas Muslim terhadap Produk Ha-lal................................................... D. Perilaku Komunitas Muslim dalam Mengonsumsi Produk Halal .............................. E. Korelasi antara Pengetahuan, Persepsi dan Perilaku Konsumen Muslim terkait Produk Halal .................................................................. BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ............. A. Kesimpulan ..................................................... B. Rekomendasi .................................................. DAFTAR PUSTAKA ............................................................... xxviii 47 56 74 93 107 107 109 113 Perilaku Komunitas Muslim Perkotaan dalam Mengonsumsi Produk Halal BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah I ndonesia adalah negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia. Sayangnya, mereka tak terlindungi dari produk-produk yang tak halal. Sebab, banyak produk makanan dan minuman yang beredar di sekitar kita tak berlabelkan halal. Hal ini sangat mengkhawatirkan karena pemerintah bersifat pasif, produsen malas mendaftarkan kehalalan produknya, masyarakat acuh tak acuh. Ketiga hal tersebut merupakan salah satu penyebab lambatnya kesadaran masyarakat atas kehalalan produk di Indonesia. Padahal, ini merupakan kewajiban produsen atau perusahaan untuk mendaftarkan produknya untuk melindungi konsumen dari produk yang tidak halal. Sementara komunitas muslim perkotaan di seluruh dunia telah membentuk segmen pasar yang potensial dikarenakan pola khusus mereka dalam mengonsumsi produk halal. Di Amerika Serikat yang notabene kaum muslimin di sana jumlahnya minoritas, diperkirakan mencapai empat sampai sembilan juta pemeluk agama Islam, pola konsumsi produk mereka sejalan dengan ajaran Islam atau pola konsumsinya ingin menyesuaikan dengan ajaran agamanya. Sementara di Indonesia, yang populasi kaum muslimnya mayoritas dari jumlah total warga negara tentu merupakan pasar konsumen muslim yang besar. Menyadari hal tersebut maka pemerintah berkewajiban untuk melindungi warga negaranya dalam mengonsumsi produk tidak halal. Hal ini merupakan implementasi dari 1 Bab I. Pendahuluan amanat sejumlah peraturan perundang-undangan antara lain dalam pasal 30 UU No. 7 tahun 1996 tentang Pangan yang mengatur label dan iklan pangan yang menyatakan (1) Setiap orang yang memproduksi atau memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia yang dikemas untuk diperdagangkan wajib mencantumkan label pada, di dalam, dan atau di kemasan pangan; (2) Label, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), memuat sekurang-kurangnya keterangan mengenai: a. nama produk; b. daftar bahan yang digunakan; c. berat bersih atau isi bersih; d. nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia; e. keterangan tentang halal; dan f. tanggal, bulan, dan tahun kedaluwarsa. Di Indonesia, konsumen muslim dilindungi oleh instansi pemerintah dalam hal ini Badan Pengawasan Produk Obat dan Makanan (BPPOM) yang bertugas mengawasi produkproduk yang beredar di masyarakat. Selain itu ada kesepakatan kerjasama antara Kementerian Agama, Badan Pengawasan Produk Obat dan Makanan (BPPOM) dan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika – Majelis Ulama Indonesia (LPPOM-MUI) yang bertugas secara khusus mengaudit produk-produk yang dikonsumsi oleh konsumen muslim di Indonesia. BPOM mengawasi produk yang beredar di masyarakat dengan cara memberikan persetujuan, pencantuman tulisan/ logo halal pada label berdasarkan sertifikat halal yang dikeluarkan oleh LPPOM-MUI dan telah lulus diperiksa dan terbebas dari unsur-unsur yang dilarang oleh ajaran Islam, atau produk tersebut telah menjadi kategori produk halal dan 2 Perilaku Komunitas Muslim Perkotaan dalam Mengonsumsi Produk Halal tidak mengandung unsur haram dan dapat dikonsumsi secara aman oleh konsumen muslim. Secara khusus pola konsumsi umat Islam sebetulnya telah diatur dalam ajaran Islam yang disebut dengan syari’at. Dalam ajaran syari’at, tidak diperkenankan bagi kaum muslim untuk mengonsumsi produk-produk tertentu yang substansi kandungan atau proses yang menyertainya tidak sesuai dengan ajaran syari’at tersebut. Syari’at Islam sangat tegas menghendaki umat Islam untuk menghindari hal-hal yang dilarang oleh Allah SWT dan melaksanakan apa saja yang diperintahkan. Hal ini membuat konsumen muslim bukanlah konsumen yang permissive dalam perilaku pola konsumsinya. Mereka dibatasi oleh kehalalan dan keharaman yang dimuat dalam nash al-Qur’an dan al-Hadits yang menjadi panduan utama bagi mereka. Allah SWT berfirman dalam al-Qur’an Surat al-Baqarah: 168 yang artinya: ‚Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan, karena sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagimu‛, dan dalam Hadits Riwayat Salman Alfarisi RA: ‚Rasulullah SAW ditanya tentang hukum mentega, keju, dan bulu binatang. Beliau menjawab, halal adalah sesuatu yang dihalalkan oleh Allah di dalam Kitab-Nya, haram adalah sesuatu yang diharamkan oleh Allah dalam Kitab-Nya, dan sesuatu yang Allah diamkan (tidak ditetapkan hukumnya) maka termasuk yang diampuni‛. (Ali Mustofa Ya’kub: 33). Berdasarkan nash al-Qur’an dan Hadits di atas, maka ketentuan syari’at inilah yang menjadi tolok ukur utama konsumen muslim dalam proses pemilihan produk-produk makanan dan minuman. Ketidakinginan masyarakat muslim 3 Bab I. Pendahuluan untuk mengonsumsi produk-produk haram akan meningkatkan keterlibatan yang lebih tinggi dalam proses pemilihan produk (high involvement). Dengan demikian akan ada produk yang pilih untuk dikonsumsi dan produk yang disisihkan akibat adanya proses pemilihan tersebut. Proses pemilihannya sendiri akan menjadikan kehalalan sebagai parameter utamanya. Ketentuan ini membuat keterbatasan pada produkproduk makanan untuk memasuki pasar umat Muslim. Konsumen Muslim sendiri bukan tanpa kesulitan untuk memilih produk-produk yang mereka konsumsi menjadi produk dalam kategori halal dan haram. Tentunya untuk memeriksakan sendiri kondisi kehalalan suatu produk adalah kurang memungkinkan. Hal ini berkaitan dengan masalah teknis dalam memeriksa kehalalan suatu produk, seperti uji kimia, pengamatan proses serta pemeriksaan kandungan produk. Keberadaan LPPOM-MUI dapat membantu masyarakat memudahkan proses pemeriksaan kehalalan suatu produk. Dengan mendaftarkan produk untuk diaudit keabsahan halalnya oleh LPPOM-MUI sebuah perusahaan dapat mencantumkan label halal pada produk tersebut. Hal itu berarti produk tersebut telah halal untuk dikonsumsi umat Muslim dan hilanglah barrier nilai yang membatasi produk dengan konsumen muslim. Dengan adanya label halal ini konsumen muslim dapat memastikan produk mana saja yang boleh mereka konsumsi, yaitu produk yang memiliki dan mencantumkan label halal pada kemasannya. Secara teori maka, untuk para pemeluk agama Islam yang taat, persepsi, sikap dan motivasi mereka menentukan pilihan produk makanan halal yang diwakili dengan label halal. 4 Perilaku Komunitas Muslim Perkotaan dalam Mengonsumsi Produk Halal Seiring dengan pesatnya perkembangan media dan mudahnya informasi yang dapat diperoleh konsumen, akan turut mempengaruhi pola konsumsi mereka. Labelisasi halal yang secara prinsip adalah label yang memberi informasi kepada pengguna produk yang berlabel tersebut, bahwa produknya benar-benar halal dan nutrisi-nutrisi yang dikandungnya tidak mengandung unsur-unsur yang diharamkan secara syariah sehingga produk tersebut boleh dikonsumsi. Dengan demikian produsen yang tidak mencantukan label halal pada kemasannya dianggap belum mendapat persetujuan lembaga berwenang (LPPOM-MUI) untuk diklasifikasikan kedalam daftar produk halal atau dianggap masih diragukan kehalalannya. Keadaan label itu akan membuat konsumen muslim berhati-hati untuk memutuskan mengonsumsi atau tidak produk-produk tanpa label halal tersebut. Label halal yang ada pada kemasan produk yang beredar di Indonesia adalah sebuah logo yang tersusun dari hurufhuruf Arab yang membentuk kata halal dalam sebuah lingkaran. Peraturan pelabelan yang dikeluarkan Ditjen POM (Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan) Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, mewajibkan para produsen makanan untuk mencantumkan label tambahan yang memuat informasi tentang kandungan (ingredient) produk makanan tersebut. Sehingga konsumen dapat memperoleh informasi yang dapat membantu mereka untuk menentukan sendiri kehalalan suatu produk. Kondisi masyarakat Muslim yang menjadi konsumen dari produkproduk makanan yang beredar dipasar, namun mereka tidak mengetahui apa yang sebenarnya mereka konsumsi selama ini. Sebagai orang Islam yang memiliki aturan yang sangat 5 Bab I. Pendahuluan jelas tentang halal dan haram, seharusnya konsumen Muslim terlindungi dari produk-produk yang tidak halal atau tidak jelas kehalalannya (syubhat). LPPOM MUI memberikan sertifikasi halal pada produk-produk yang lolos audit sehingga produk tersebut dapat dipasang label halal pada kemasannya, sehingga masyarakat dapat mengonsumsi produk tersebut dengan aman. Kenyataan yang berlaku pada saat ini adalah bahwa LPPOM-MUI memberikan sertifikat halal kepada produsenprodusen obat dan makanan yang secara sukarela mendaftarkan produknya untuk diaudit LPPOM-MUI. Dengan begitu produk yang beredar dikalangan konsumen muslim bukanlah produk yang secara keseluruhan memiliki label halal yang dicantumkan pada kemasannya. Artinya masih banyak produk yang beredar di masyarakat belum memiliki sertifikat halal yang diwakili label halal pada kemasan produknya. Oleh karena itu konsu-men muslim akan dihadapkan pada produkproduk halal yang diwakili label halal yang ada pada kemasannya dan produk yang tidak memiliki label halal pada kemasannya diragukan kehalalan produknya. Maka keputusan untuk membeli produk yang berlabel halal atau tidak, akan sepenuhnya ditentukan oleh konsumen sendiri. Perilaku komunitas muslim dalam mengonsumsi produk halal sesungguhnya tergantung bagaimana mereka memiliki pengetahuan terkait apa itu halal. Meskipun al-Qur’an dan alHadits telah memberikan panduan tentang kehalalan suatu produk, akan tetapi dengan semakin berkembangnya arus informasi dan teknologi kemasan produk yang telah memberikan penawaran menggiurkan akan dapat memengaruhi prilaku itu sendiri. Perilaku dalam mengonsumsi produk halal 6 Perilaku Komunitas Muslim Perkotaan dalam Mengonsumsi Produk Halal dapat dilihat dari seberapa sering mereka mengonsumsi produk yang telah ada label halal, seberapa sering mereka mengonsumsi produk yang diragukan kehalalannya serta seberapa sering mereka mengajak orang lain untuk mengonsumsi produk halal dan mencegah orang lain mengonsumsi produk tidak halal. Selain faktor pengetahuan atas produk halal, persepsi masyarakat mengenai pentingnya kehalalan itu sendiri dapat berpengaruh terhadap perilaku. Persepsi dapat berupa keyakinan yang tinggi atas pentingnya mengonsumsi produk halal, tingkat harapan/keinginan komunitas muslim perkotaan untuk memperoleh produk halal serta persepsi tentang pentingnya labelisasi halal. Tinggi rendahnya pengetahuan dan persepsi komunitas muslim perkotaan terhadap produk halal tidak terlepas dari aktifitas keagamaan yang mereka lakukan. Semakin rajin komunitas muslim perkotaan mencari informasi mengenai produk halal maka secara alami akan meningkatkan pengetahuan dan persepsi dan sikap terhadap produk halal. Faktor lingkungan seperti dorongan keluarga, ceramah agama, ikut berperan dalam menentukan tingkat pengetahuan dan persepsi terhadap produk halal. Untuk dapat memperoleh informasi yang lebih jelas serta bukti ilmiah mengenai perilaku komunitas muslim perkotaan dalam mengonsumsi produk halal, Puslitbang Kehidupan keagamaan akan melakukan penelitian tentang ‚Perilaku Komunitas Muslim dalam Mengonsumsi Produk Halal‛. B. Batasan Masalah Mengingat keterbatasan waktu dan dana yang ada, maka dalam penelitian ini dibatasi pada perilaku komunitas muslim perkotaan terhadap produk-produk makanan dan 7 Bab I. Pendahuluan minuman dalam bentuk kemasan yang diproduksi oleh pabrikan serta makanan dan minuman yang disajikan di restoran. Penelitian dibatasi dengan mengkaji komunitas muslim perkotaan karena muslim perkotaan adalah trendsetter yang secara disadari atau tidak, merupakan konstruksi atas dinamika industrialisasi, dominasi budaya lokal maupun daerah minoritas muslim. Representasi tiga karakteristik kota ini terdapat pada 7 (tujuh) kota, yaitu DKI Jakarta, Bandung, Surabaya, Batam, Solo, Menado dan Denpasar.. C. Rumusan Masalah Dari uraian diatas permasalahan ini selanjutnya dirinci ke dalam pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Seberapa besar tingkat pengetahuan komunitas muslim perkotaan terhadap konsep dasar produk halal ? 2. Seberapa besar penilaian/persepsi sikap mereka terhadap produk halal dan labelisasi halal? 3. Seberapa besar kesadaran komunitas muslim perkotaan dalam mengonsumsi produk halal? 4. Adakah pengaruh yang signifikan antara pengetahuan tentang konsep dasar produk halal dengan persepsi dan sikap terhadap produk halal ? 5. Adakah pengaruh yang signifikan antara pengetahuan tentang konsep dasar produk halal dan persepsi serta sikap atas produk halal terhadap perilaku mengonsumsi produk halal? 8 Perilaku Komunitas Muslim Perkotaan dalam Mengonsumsi Produk Halal 6. Bagaimana pola perilaku komunitas muslim perkotaan dalam mengonsumsi produk halal? D. Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk : 1. Mengetahui tingkat pengetahuan komunitas muslim perkotaan terhadap konsep dasar kehalalan produk baik makanan dan minuman kemasan maupun makanan dan minuman yang disajikan di rumah makan/restauran. 2. Mengetahui tingkat persepsi dan sikap mereka terhadap produk halal. 3. Mengetahui pola perilaku komunitas muslim perkotaan dalam mengonsumsi produk halal. 4. Menguji adakah pengaruh yang signifikan pengetahuan konsep dasar kehalalan produk dengan persepsi masyarakat terhadap perilaku produk halal. 5. Menguji ada tidaknya pengaruh signifikan antara pengetahuan tentang konsep dasar kehalalan produk dengan persepsi dan sikap terhadap produk halal atas perilaku mengonsumsi produk halal. 6. Mengidentifikasi pola perilaku komunitas muslim perkotaan dalam mengonsumsi produk halal E. Kegunaan Penelitian Kegunaan yang dapat diperoleh dari hasil penelitian ini adalah: 1. Bahan masukan bagi Kementerian Agama RI dan instansi lainnya dalam merumuskan kebijakan yang terkait dengan produk halal. 9 Bab I. Pendahuluan 2. Referensi bagi instansi terkait sebagai bahan kajian lebih lanjut. 10 Perilaku Komunitas Muslim Perkotaan dalam Mengonsumsi Produk Halal BAB II PENYUSUNAN KERANGKA TEORITIK A. Deskripsi Teoritik 1. Produk Halal H alal berasal dari bahasa Arab yaitu halla yang berarti lepas atau tidak terikat. Dalam kamus fiqih, kata halal dipahami sebagai segala sesuatu yang boleh dikerjakan atau dimakan. Istilah ini, umumnya berhubungan dengan masalah makanan dan minuman. Lawan dari kata halal adalah haram. Haram berasal dari bahasa Arab yang bermakna, suatu perkara yang dilarang oleh syara’ (agama). Mengerjakan perbuatan yang haram berarti berdosa dan mendapat pahala bila ditinggalkan. Misalnya, memakan bangkai binatang, darah, minum khamr, memakan barang yang bukan miliknya atau hasil mencuri. Menurut Prof. Dr. KH. Ali Mustofa Ya’kub, MA suatu makanan atau minuman dikatakan halal apabila masuk kepada 5 kriteria, yaitu: 1) Makanan dan minuman tersebut thayyib (baik) yaitu sesuatu yang dirasakan enak oleh indra atau jiwa tidak menyakitkan dan menjijikkan. Dalam surat al-Maidah ayat 4 yang artinya: ‛Mereka bertanya kepadamu, ‚Apakah yang dihalalkan bagi mereka? Katakanlah, dihalalkan bagimu yang baik-baik‛. 2) Tidak mengandung dharar (bahaya); 3) Tidak mengandung najis; 4) Tidak memabukkan dan 5) Tidak mengandung organ tubuh manusia. Dalam penelitian ini produk halal bukan hanya dinyatakan halal secara syar’i namun juga telah mendapatkan sertifikasi halal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). Produk ini mudah dikenali dengan adanya label halal 11 Bab II. Penyusunan Kerangka Teoritik yang dikeluarkan oleh MUI pada kemasannya. Produk halal yang akan dilihat mencakup makanan dan minuman yang dikemas yang dikelola oleh pabrik makanan dan minuman yang dihidangkan oleh restoran/rumah makan. 2. Konsep tentang Sikap (Attitude) Sikap mulai menjadi fokus pembahasan dalam ilmu sosial semenjak abad 20. Secara bahasa, Oxford Advanced Learner Dictionary (Hornby, 1974) mencantumkan bahwa sikap (attitude), berasal dari bahasa Italia attitudine yaitu ‚Manner of placing or holding the body, and way of feeling, thinking or behafing‛. Sikap adalah cara menempatkan atau membawa diri, atau cara merasakan, jalan pikiran, dan perilaku. Thomas dan Znaneiecki (1920) menegaskan bahwa sikap adalah predisposisi untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perikau tertentu, sehingga sikap bukan hanya kondisi internal psikologis yang murni dari individu, tetapi sikap lebih merupakan proses kesadaran yang sifatnya individual. Artinya proses ini terjadi secara subjektif dan unik pada diri setiap individu. Keunikan ini dapat terjadi oleh adanya perbedaan individual yang berasal dari nilai-nilai dan norma yang ingin dipertahankan dan dikelola oleh individu (Coser, dalam www.bolender.com). Dalam buku karya Kagan dan Havemann ‚an attitude is an organized an enduring set of beliefs and feelings toward some kind of abject or situation and predisposition to behave toward it in a particular way‛. Attitude (sikap) adalah suatu tatanan keyakinan dan perasaan yang terorganisir dan berlangsung terus terhadap suatu objek atau situasi dan kecenderungan untuk berprilaku terhadapnya dengan cara tertentu. Jadi ada 3 (tiga) elemen yang membentuk attitude (sikap) yaitu: a) Elemen kognitif (pengetahu- 12 Perilaku Komunitas Muslim Perkotaan dalam Mengonsumsi Produk Halal an/kepercayaan), elemen emosional (persepsi/perasaan/afeksi) dan 3) Elemen perilaku.1 Sikap adalah pengorganisasian yang relatif lama dari proses motivasi, persepsi dan kognitif yang relatif menetap pada diri individu dalam berhubungan dengan aspek kehidupannya. Sikap individu ini dapat diketahui dari beberapa proses motivasi, emosi, persepsi dan proses kognitif yang terjadi pada diri individu secara konsisten dalam berhubungan dengan obyek sikap. Menurut Oskamp (1991) mengemukakan bahwa sikap dipengaruhi oleh proses evaluatif yang dilakukan oleh individu. Oleh karena itu, mempelajari sikap berarti perlu juga mempelajari faktor-faktor yang mempengaruhi proses evaluatif, yaitu: a) Faktor genetik dan fisiologik, individu membawa ciri sifat tertentu yang menentukan arah perkembangan sikap, namun di pihak lain faktor fisiologik juga memainkan peranan penting dalam pembentukan sikap melalui kondisi-kondisi fisiologik, missalnya usia, atau sakit sehingga harus mengonsumsi obat tertentu; b) Pengalaman personal, pengalaman yang dialami langsung akan memberikan pengaruh yang lebih kuat daripada pengalaman yang tidak langsung; c) Pengaruh orang tua sangat besar, terhadap kehidupan anak-anaknya. Sikap orang tua akan dijadikan role model bagi anak-anaknya; d) Kelompok sebaya atau kelompok masyarakat, ada kecenderungan bahwa seorang individu berusaha untuk sama dengan teman sekelompoknya; e) Media massa ter-masuk salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku makan masyarakat (Ekonomi Islam, 2008). 1 Kagan dan Havemann: Psychology: An Introduction, New York, Harcourt Brace Jovanovich Inc, 1976, halaman 495. 13 Bab II. Penyusunan Kerangka Teoritik 3. Perilaku Konsumen Muslim Perilaku dalam bahasa Inggris disebut dengan ‚behavior‛ yang artinya kelakuan tindak-tanduk.2 Perilaku juga terdiri dari dua kata peri dan laku, peri yang artinya sekeliling, dekat melingkupi.3 Dan laku artinya tingkah laku, perbuatan, tindak tanduk. Secara etimologi perilaku artinya apa yang dilakukan oleh seseorang.4 Perilaku (behavior) is ‚the activities of an organism, both overt, or observable (such as motor behavior), and covert, or hidden (such as thinking)‛. Perilaku adalah kegiatan suatu makhluk hidup, baik yang nampak atau dapat dilihat (seperti perilaku gerakan) atau apa yang tidak nampak atau tersembunyi (seperti berfikir).5 Dari uraian di atas nampak jelas bahwa perilaku itu adalah kegiatan atau aktivitas yang melingkupi seluruh aspek jasmaniah atau rohaniah yang bisa dilihat. Perilaku konsumen seperti perilaku pada umumnya dipengaruhi oleh aspek kultural, sosial, personal dan karakteristik. Faktor kultural dianggap yang paling besar pengaruhnya terhadap keinginan dan perilaku seseorang. Agama merupakan elemen kunci dalam kultur kehidupan yang mempengaruhi perilaku dan keputusan membeli. Religion is a system of beliefs and prakcties by which group of people interprets and responds to what they feel is supernatural and sacred (Johnstone, 1975 dikutip dari Shafie & Othman, 2008). Pada umumnya agama mengatur tentang apa yang diperbolehkan 2 John M. Echol, Kamus Bahasa Inggris-Indonesia (Jakarta: PT. Gramedia, 1996), cet. Ke-3, h,80. 3 Pedoman Umum Ejaan Bahsa Indonesia yang disempurnakan, Bandung: CV. Pustaka Setia, 1996, cet, ke-5, h. 91. 4 Mar’at, Sikap Manusia terhadap Perubahan serta Pengukurannya, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982, h. 274. 5 Ibid, h. 551. 14 Perilaku Komunitas Muslim Perkotaan dalam Mengonsumsi Produk Halal dan apa yang dilarang untuk dilakukan, termasuk perilaku konsumsi. Agama dapat mempengaruhi perilaku konsumen khususnya pada keputusan membeli. Berkaitan dengan perilaku individu yang berbeda-beda, maka untuk mempelajari dan menganalisa perilaku diperlukan adanya suatu model yang dapat menggambarkan sebuah rancangan untuk membantu mengembangkan teori yang mengarahkan penelitian perilaku konsumen dan sebagai bahan dasar untuk mempelajari pengetahuan yang terus berkembang mengenai perilaku konsumen dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Menurut Henry Assael yang dikutip oleh Sutisna (2002) terdapat tiga faktor yang mempengaruhi pilihan konsumen yaitu: Faktor individu konsumen menjelaskan bahwa pilihan untuk membeli suatu produk dipengaruhi oleh variabel gagasan (kebutuhan, motivasi, sikap, persepsi) dan karakteristik konsumen (demografi, gaya hidup, kepribadian). Menjelaskan bahwa faktor lingkungan yang mempengaruhi keputusan konsumen adalah faktor budaya (norma masyarakat, sub pekerjaan), kelompok referensi (teman, sub budaya), kelas sosial (pendapatan, jenis pekerjaan), kelompok referensi (teman, keluarga), situasi dimana barang atau jasa dikonsumsi). Menjelaskan tentang variabel yang berada di bawah kontrol pemasar yaitu bauran pemasaran. Dalam hal ini strategi pemasaran yang lazim dikembangkan oleh pemasar yaitu yang berhubungan dengan produk apa yang akan ditawarkan, penentuan harga jual produknya, 15 Bab II. Penyusunan Kerangka Teoritik strategi promosinya, dan bagaimana melakukan distribusi produk pada konsumen. Selanjutnya pemasar harus mengevaluasi strategi pemasaran yang dilakukan dengan melihat respon konsumen untuk memperbaiki strategi pemasaran di masa depan. Sementara itu konsumen individual akan mengevaluasi pembelian yang telah dilakukannya. Menurut Amirullah (2003), faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan membeli konsumen secara sederhana dibagi dalam dua bagian, yaitu: a) kekuatan internal, seperti: pengalaman, belajar, kepribadian dan konsep diri, motivasi dan ketertiban, sikap dan keinginan; b) kekuatan eksternal, seperti: faktor budaya, sosial, lingkungan ekonomi, dan bauran pemasaran. Perilaku konsumen secara umum digambarkan sebagai suatu proses dari pencarian, pemilihan, sampai pada keputusan membeli sesuatu barang atau jasa dalam rangka memenuhi kebutuhan fisik maupun psikis. Dalam studi perilaku konsumen, hal ini mencakup beberapa hal seperti apa yang dibeli konsumen, mengapa konsumen membeli? Kapan mereka membelinya? Dimana mereka membelinya? Berapa sering mereka membelinya? Dan berapa sering mereka menggunakannya? (Sumarwan, 2002). Perilaku komunitas muslim perkotaan dalam mengkonsumsi produk halal dapat dilihat dari seberapa sering komunitas muslim perkotaan mengonsumsi produk yang mereka ragu akan kehalalannya dan seberapa sering mereka mengonsumsi produk yang tidak ragu. Apabila komunitas muslim perkotaan sering mengonsumsi produk yang mereka sendiri ragu kehalalannya menunjukkan perilaku yang buruk, 16 Perilaku Komunitas Muslim Perkotaan dalam Mengonsumsi Produk Halal sebaliknya perilaku yang baik dapat diartikan dengan konsisten mengonsumsi produk-produk yang telah diketahui secara jelas kehalalannya. Perilaku komunitas muslim perkotaan akan mengonsumsi produk halal tidak lepas dari tingkat pengetahuannya akan konsep halal itu sendiri. Bagaimana mereka mengetahui dan memahami tentang apa itu halal secara syari’ah. Apakah komunitas muslim perkotaan mengetahui apa-apa yang dibolehkan dan dilarang dalam ajaran agama dalam mengonsumsi suatu makanan dan minuman. Selain faktor pengetahuan, apa yang dipersepsikan oleh komunitas muslim perkotaan juga ikut berperan terhadap perilaku. Apakah mereka memandang mengonsumsi produk halal itu penting? Komunitas muslim perkotaan yang mengetahui dan paham akan konsep dasar Islam terkait apa itu halal tentu akan memandang bahwa mengonsumsi produk halal itu penting. Mereka akan meyakini semua produk yang akan dikonsumsi atau sebelum dibeli diteliti kehalalannya. Komunitas muslim perkotaan yang tinggi pengetahuannya akan produk halal seharusnya berimplikasi positif terhadap pembentukan persepsi positif akan produk halal dengan dukungan labelisasi halal dan meyakini serta memilah mana produk yang halal dan tidak halal. Pengetahuan dan persepsi terhadap produk halal tidak dapat terjadi dengan sendirinya. Tinggi rendahnya pengetahuan dan penilaian persepsi sikap positif atau negatif komunitas muslim perkotaan akan produk halal itu dikendalikan oleh aktifitas keagamaan yang dilakukan, faktor lingkungan seperti keluarga, kerabat/saudara, teman, tetangga dan pemuka agama. Selain faktor tersebut ajaran agama berperan sebagai pendorong positif dalam meningkatkan pengetahuan dan persepsi sikap akan produk halal. 17 Bab II. Penyusunan Kerangka Teoritik 4. Restoran Restoran berbeda dengan rumah makan. Menurut SK Menteri Pariwisata, Pos dan Telekomunikasi No. KM.73/ PW.105/MPPT-85, Rumah Makan (RM) adalah setiap tempat usaha komersial yang ruang lingkup kegiatannya menyediakan hidangan dan minuman untuk umum. Dalam SK tersebut juga ditegaskan bahwa setiap rumah makan harus memiliki seseorang yang bertindak sebagai pemimpin rumah makan yang sehari-hari mengelola dan bertanggungjawab atas pengusahaan RM tersebut. Usaha-usaha lain yang sejenis dan tidak termasuk dalam Usaha Rumah Makan dalam definisi ini adalah Usaha Restoran, Usaha Tempat Makan dan Usaha Jasa Boga (Catering). Sedangkan restoran adalah salah satu jenis usaha dibidang jasa pangan yang bertempat disebagian atau seluruh bangunan yang permanen, dilengkapi dengan peralatan dan perlengkapan untuk proses pembuatan, penyimpanan, penyajian, dan penjualan makanan dan minuman untuk umum. Pengusahaan restoran meliputi jasa pelayanan makan dan minum kepada tamu restoran sebagai usaha pokok dan jasa hiburan di dalam bangunan restoran sebagai penunjang yang tidak terpisahkan dari usaha pokok sesuai dengan ketentuan dan persyaratan teknis yang ditetapkan. Pemimpin restoran adalah seorang yang bertanggungjawab atas penyelenggaraan usaha restoran tersebut, sedangkan bentuk usaha restoran ini dapat berbentuk perorangan atau badan usaha (PT, CV, Fa atau Koperasi) yang tunduk kepada hukum Indonesia. Penelitian ini dibatasi pada restoran dan bukan rumah makan, mengingat sifatnya yang relatif lebih besar, tumbuh subur di perkotaan dan biasa menjadi sasaran kuliner komunitas 18 Perilaku Komunitas Muslim Perkotaan dalam Mengonsumsi Produk Halal muslim perkotaan. Selain itu restoran lebih potensial untuk mengusahakan sertifikasi halal bagi produk yang disajikannya. B. Prior Research Riset yang berusaha mengetahui perilaku umat Islam dalam mengonsumsi produk halal pernah dilakukan sebelumnya oleh kalangan individu dan lembaga, baik di tingkat lokal, nasional, regional, maupun internasional. Adanya riset tersebut menunjukkan bahwa kepedulian umat Islam terhadap produk halal bukan sekadar isu lokal, namun juga mondial. Bahkan di negara-negara Eropa dan Amerika peroduk halal menjadi yang sensitif yakni terkait dengan perlindungan konsumen dan pelaksanaan hak asasi manusia khususnya kebebasan beragama. Disebabkan terkait dengan hak asasi manusia, maka tidak terlalu berlebihan bila pemerintah negara-negara maju tersebut telah secara serius berusaha agar setiap produk yang dikonsumsi umat Islam telah mendapatkan sertifikat halal dari lembaga yang berwenang. Policy pemerintah negara-negara maju di atas terkait sertifikasi halal, berbanding lurus dengan kesadaran umat Islam terhadap konsumsi produk halal. Berdasarkan Survey World Halal Forum 2008-2009, terungkap bahwa kesadaran umat Islam untuk daging dan produk olahan daging sebesar 94-98%, makanan olahan sebesar 40-64%, obat-obatan sebesar 24-30%, serta kosmetik dan produk perawatan diri sebesar 1822%.6 Data tersebut mengungkapkan fakta, kesadaran umat Islam terhadap kehalalan daging dan produk olahan daging 6 Survey World Halal Forum, 2008-2009. 19 Bab II. Penyusunan Kerangka Teoritik jauh lebih ‚tinggi‛ daripada makanan olahan, obat-obatan, serta kosmetik dan produk perawatan diri. Diduga kuat, tingginya kesadaran tersebut tidak bisa dilepaskan dari ajaran Islam sendiri yang secara eksplisit mengharamkan beberapa jenis daging, seperti daging babi, bangkai, dan daging hewan yang disembelih tidak atas nama Allah. Pada awal Desember 2010, American Muslim Consumer Conference (AMCC) di New Jersey, Amerika Serikat membuat riset kecil-kecilan tentang fakta perilaku konsumsi umat Islam global. Responden yang digunakan AMCC kebanyakan adalah umat Islam di Negeri Paman Sam. Berikut adalah fakta tentang umat Islam dunia yang diperoleh dari riset tersebut, yaitu total populasi umat Islam di dunia adalah 1,6 miliar. Angka ini adalah 25% dari total populasi penduduk dunia. Diprediksi populasi umat Islam akan mencapai 50% pada 2050. Dengan catatan jumlah umat Islam bertambah pertahunnya 1,5-2% dari 1,6 miliar tersebut. Tipikal umur umat Islam di dunia saat ini adalah kalangan muda. Sebagai contoh di Timur Tengah, Afrika Utara, dan Asia Selatan, menurut survey, hampir 50%-nya berusia di bawah 25 tahun. Populasi ini diharapkan meningkat ke kelas menengah karena ada kecenderungan masyarakat urban yang sedang berkembang saat ini. Hasilnya bisa dilihat sepuluh tahun mendatang. Setiap tahunnya pasar syariah global menghasilkan US$ 2 triliun. Pendapatan ini sudah termasuk semua produk barang dan jasa yang dikonsumsi umat Islam baik makanan ataupun produk bank. Rata-rata pendapatan dari makanan halal adalah US$ 632 miliar per tahun. Itu merupakan 16% pendapatan dari industri makanan global. Angka tersebut terus naik secara signifikan dan menggambarkan per- 20 Perilaku Komunitas Muslim Perkotaan dalam Mengonsumsi Produk Halal tumbuhan yang ekspansi ekonomi yang cukup luar biasa bagi umat Islam. Jusmaliani dan Hanny Nasution pada tahun 2009 mengadakan riset tentang perilaku umat Islam dalam konsumsi produk halal dengan responden umat Islam Indonesia yang tinggal di Jakarta sebanyak 87 orang dan Melbourne sebanyak 73 orang. Hasil riset menunjukkan 80% responden menyatakan ‚sangat setuju‛ mengonsumsi makanan halal adalah penting. Selanjutnya Tim Peneliti Pusat Penelitian Ekonomi (P2E) LIPI melakukan riset tentang Perilaku Konsumen Muslim dalam Mengonsumsi Makanan Halal dengan mengambil area penelitian di Provinsi Banten. Tujuan utama riset adalah menganalisis pola perilaku umat Islam dalam mengonsumsi makanan halal yang digambarkan melalui pengetahuan (pemahaman) responden terhadap makanan halal, dengan mengungkapkan kriteria yang menjadi pertimbangan utama dalam menentukan makanan halal, menganalisis pengaruh kadar ke-Islaman terhadap pola perilaku konsumsi makanan halal, pengaruh latar belakang sosial-ekonomi dan psikologis terhadap pola konsumsi makanan halal, dan juga persepsi mereka terhadap sertifikasi produk halal. Hasilnya adalah 94% responden menyatakan sangat penting untuk mengonsumsi makanan halal. Hal ini terutama dilandasi oleh sikap yang mereka miliki, diikuti oleh kontrol terhadap prilaku mereka, ketimbang tekanan masyarakat sekitar akan keharusannya untuk mengonsumsi makanan halal. Dengan sikap yang mereka miliki, maka mereka pun melakukan kontrol terhadap keluarga mereka untuk selalu mengonsumsi 21 Bab II. Penyusunan Kerangka Teoritik makanan halal. Bahkan bagi mereka yang memiliki kadar keIslaman tinggi, mereka berani menegur para ulama setempat untuk mengontrol konsumsi makanan halalnya. Dengan memiliki sikap dan kontrol perilakunya yang sangat kuat, maka dapat diprediksikan bahwa di manapun mereka tinggal, mereka akan selalu mengonsumsi makanan halal. Walaupun responden menyatakan mengonsumsi makanan halal adalah sangat penting, dan juga kehalalan produk makanan tidak hanya terbatas pada zatnya (tidak mengandung babi, dan tidak mengandung alkohol), tapi juga manfaatnya untuk kesehatan, serta cara perolehan makanannya, namun, kontrol terhadap proses pengolahan/pemotongan daging yang dikonsumsinya dapat dikatakan kurang hati-hati. Walaupun pilihan harga yang murah tidak menjadi pertimbangan utama dalam membeli/mengonsumsi daging potong, namun kualitas dari tampilan dagingnya yang segar dan bersih masih lebih penting ketimbang cara pemotongannya. Walaupun 94% responden menyatakan mengonsumsi makanan halal adalah sangat penting, hanya 70% yang menyatakan sangat setuju terhadap sertifikasi dari MUI. Dari 70% nya tersebut, justru sedikit lebih banyak mereka dari golongan yang tidak pernah mengikuti pendidikan pesantren ketimbang yang pernah (38,32%). Demikian halnya dengan keinginan responden untuk dapat membeli daging di tempat khusus daging halal, ternyata lebih banyak dikemukakan oleh mereka yang tidak pernah mengenyam pendidikan pesantren, dan hanya dari kelompok santri yang menyatakan sangat tidak setuju untuk membeli daging di penjualan khusus daging halal. Hal ini mengindikasikan bahwa kelompok santri kurang antusias terhadap diberlakukannya sertifikasi halal. Hal ini diasumsi- 22 Perilaku Komunitas Muslim Perkotaan dalam Mengonsumsi Produk Halal kan, oleh karena mereka mungkin merasa sudah sangat tahu untuk menentukan sendiri atas halal atau tidaknya daging yang mereka konsumsi tanpa harus ada label halal, sekalipun label halal tersebut diterbitkan oleh MUI. Di samping sulitnya memilih daging potong yang disembelih sesuai syari’ah, dewasa ini marak sekali makanan-makanan olahan yang dijual di sekeliling masyarakat baik yang diolah oleh pabrikan (biasanya dalam bentuk kemasan), maupun yang diolah oleh penjual skala industri rumahan. Makanan-makanan olahan ini rentan sekali masuk area makanan syubhat bahkan haram, karena meskipun secara zat dasar atau bahan dasar makanan tersebut halal, tetapi dalam proses pengolahannya bisa saja menggunakan zat-zat yang haram. Bagaimana dapat memilih makanan olahan yang dijamin kehalalannya, jika produk tersebut belum memiliki sertifikasi halal? Terlepas dari siapa yang paling berhak menentukan atau menerbitkan sertifikat halal, tampaknya masih perlu dilakukan edukasi atau paling tidak sosialisasi oleh institusi berkepentingan mengenai halal dan haramnya makanan olahan, bahkan daging potong segar kepada kelompok berpendidikan pesantren sekalipun, sehingga pemahaman masyarakat akan hal ini semakin mendalam dan lebih berhati-hati.7 Puslitbang Kehidupan Keagamaan pada tahun ini akan melakukan penelitian tentang ‚Perilaku Komunitas Muslim Perkotaan dalam Mengonsumsi Produk Halal‛. Dalam penelitian ini dibatasi hanya untuk makanan dan minuman yang dikemas dan diproduksi oleh pabrik makanan dan minuman 7 Endang S. Soesilowati; “Perilaku Konsumsi Muslim dalam Mengonsumsi Makanan Halal: Kasus Muslim Banten”, makalah pada Seminar Sharia Economics Research Day, Widya Graha LIPI, 6 Juli 2010. 23 Bab II. Penyusunan Kerangka Teoritik yang dihidangkan restoran/rumah makan. Penelitian ini dilakukan di 7 (tujuh) provinsi yaitu: DKI Jakarta, Jawa Barat, Kepulauan Riau, Jawa Tengah, Bali, Jawa Timur dan Sulawesi Utara. Pemilihan ketujuh provinsi ini berdasarkan faktor dominan budaya dan dominasi industri. 24 Perilaku Komunitas Muslim Perkotaan dalam Mengonsumsi Produk Halal BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Pendekatan dan Metode Penelitian P enelitian ini menggunakan pendekatan mixed method karena kombinasi antara pendekatan kuantitatif dan kualitatif akan menghasilkan pemahaman yang lebih baik. Pendekatan mixed methods research bertujuan mengatasi kelemahan-kelemahan yang ada pada pendekatan kuantitatif maupun pendekatan kualitatif. Secara spesifik, alasan peneliti menggunakan pendekatan mixed methods research dalam penelitian ini adalah karena: 1. Mixed methods research menghasilkan fakta yang lebih komprehensif karena peneliti memiliki kebebasan untuk menggunakan semua teknik pengumpulan data sesuai dengan jenis data yang dibutuhkan. 2. Mixed methods research dapat menjawab pertanyaan penelitian yang tidak dapat dijawab oleh penelitian kuantitatif atau kualitatif. 3. Penelitian ini hendak mengetahui sikap konsumsi komunitas muslim perkotaan, yang secara multidimensi dapat menjadi landasan pembentukan perilaku konsumsinya, seperti dimensi sosial, behavioral maupun humanis. B. Populasi dan Sampel Populasi menurut Ronny Kountur (2005: 37) adalah suatu kumpulan menyeluruh dari suatu obyek yang merupakan perhatian peneliti. Obyek penelitian dapat berupa makh- 25 Bab III. Metodologi Penelitian luk hidup, benda-benda, sistem, prosedur, fenomena dan lainlain. Populasi pada penelitian ini adalah seluruh masyarakat muslim Indonesia. Sedangkan sampel adalah sebagian (representatife) populasi. Tidak seluruh populasi diteliti karena terlalu banyak, sehingga diambil beberapa representatif dari populasi ini yang dimaksud dengan sampel (Ronny Kountur, 2005: 138). Idealnya, agar hasil penelitiannya lebih bisa dipercaya seorang peneliti harus melakukan sensus (mengambil semua data populasi). Namun karena sesuatu hal seperti SDM yang terbatas, waktu penelitian yang terbatas, serta dana yang juga terbatas maka peneliti dapat mengambil sebagian dari keseluruhan elemen atau unsur tadi. Hal ini dinamakan teknik sampling. Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampling purposive, dan populasinya adalah masyarakat muslim perkotaan disemua strata yang ada di 7 lokasi penelitian. Pemilihan ke-7 kota tersebut dipengaruhi oleh faktor dominan budaya dan dominasi industri yang diasumsikan mempengaruhi terhadap konsumsi produk halal. Ke-7 lokasi penelitian adalah sebagai berikut: DKI Jakarta, Jawa Barat, Batam, Solo, Denpasar, Surabaya dan Manado. Denpasar dan Manado adalah faktor dominasi budaya dimana terjadi interaksi antara masyarakat muslim dan non muslim. Apakah ada pengaruh di daerah dominasi non muslim terhadap perilaku muslim dalam mengonsumsi produk halal. Solo, Surabaya dan Bandung adalah dominasi budaya muslim. Penelitian ini akan melihat apakah ada perbedaan antara diminasi, dimana masyarakat muslim tinggal di daerah yang dominan non muslim dan dominan muslim dalam mengonsumsi produk halal. Sedangkan Batam dan DKI Jakarta diambil dengan asumsi adanya pengaruh 26 Perilaku Komunitas Muslim Perkotaan dalam Mengonsumsi Produk Halal dominasi industri. Selanjutnya dari populasi yang ada ditentukan sub-sub populasi yang diasumsikan dapat mempresentasikan masyarakat muslim. Sub-sub populasi tersebut adalah laki-laki dan perempuan yang menikah, laki-laki dan perempuan yang belum menikah. Jumlah sample penelitian kuantitatif adalah 770 responden dimana masing-masing kota mendapat 110 responden. Jumlah sampel untuk responden atau informan terkait penelitian kualitatif tidak dibatasi, hingga tercapai data saturation. Mereka adalah tokoh masyarakat/tokoh agama/akademisi (dosen) dan pelaku bisnis, yang paling memahami tentang perilaku komunitas muslim perkotaan dalam mengonsumsi produk halal. Adapun informan sebagai sumber pengambilan data kualitatif dalam penelitian ini dipilih secara nonprobability sampling, teknik sampling yang memberi peluang atau kesempatan tidak sama bagi setiap unsur atau anggota populasi. Ini berbeda dengan probability sampling yang memberikan peluang atau kesempatan sama untuk dipilih sebagai sampling. Informan dipilih dari komunitas yang mengetahui secara dalam tentang perilaku mengonsumsi priduk halal, yakni dari tokoh agama, tokoh masyarakat, pelaku bisnis restoran dan akademisi (dosen). C. Instrumen Penelitian Kuesioner utama dalam penelitian ini bersifat kuantitatif dan kualitatif yang berisi item-item pertanyaan yang berhubungan dengan model yang dijelaskan di atas. Item pertanyaan yang berhubungan dengan penelitian kuantitatif diukur dengan instrumen-instrumen yang mewakili konsep pengetahuan atas produk halal (kognitif). Persepsi atas produk halal (afektif) dan perilaku mengonsumsi produk halal 27 Bab III. Metodologi Penelitian (behavior) komunitas muslim perkotaan terhadap produk halal. 1. Instrumen Pengetahuan atas Produk Halal Pengetahuan adalah konstruksi kognitif seseorang terhadap obyek, pengalaman, maupun lingkungannya. Konsep pengetahuan terhadap konsep halal meliputi seberapa baik pengetahuan komunitas muslim perkotaan terhadap konsep syariah atas kehalalan suatu produk. Pengetahuan tersebut akan membentuk tingkat pemahaman dasar komunitas muslim perkotaan tentang produk halal. Pengetahuan terkait aspek dasar produk halal diukur oleh 13 indikator yaitu bahwa produk halal adalah: a. b. c. d. e. f. g. h. i. j. Tidak mengandung organ tubuh manusia; Tidak mengandung babi; Tidak mengandung khamer; Tidak mengandung unsur najis; Tidak rusak/kadaluwarsa; Tidak mengandung bahan berbahaya; Bukan barang illegal; Ada sertifikasi halal dari MUI; Ada tulisan/label halal; Ada nomor pendaftaran produk pangan/nomor izin edar dari BPOM Kementerian Kesehatan. Aspek syariah lainnya yang juga pengetahuan tentang konsep halal adalah: mengukur a. Hewan yang disembelih dengan menyebut nama Allah b. Haram memakan bangkai (kecuali ikan dan belalang); c. Haram memakan darah. 28 Perilaku Komunitas Muslim Perkotaan dalam Mengonsumsi Produk Halal 2. Instrumen Persepsi atas Produk Halal Persepsi komunitas muslim perkotaan atas produk halal adalah bagaimana komunitas muslim perkotaan memberikan penilaian terhadap pentingnya produk halal, keinginan untuk memperoleh produk halal serta bagaimana penilaian komunitas muslim perkotaan apabila mengonsumsi produk tidak halal. Persepsi komunitas muslim perkotaan terhadap produk halal juga dilihat dari pandangan komunitas muslim perkotaan terhadap penting atau tidaknya labelisasi halal bagi produk/restoran. Instrumen persepsi atas produk halal ini diukur oleh 10 indikator yaitu: a. Harapan/keinginan memperoleh produk halal; b. Keyakinan memilih produk halal sebelum membeli; c. Mengonsumsi produk tidak halal memberikan pengaruh negatif terhadap tubuh; d. Labelisasi halal pada produk kemasan; e. Sertifikasi halal pada restoran/rumah makan yang halal. f. Labelisasi/pengkodean produk kemasan yang ‚tidak halal‛; g. Penulisan label halal pada produk kemasan harus tertulis jelas; h. Sertifikasi halal pada makanan dan minuman yang disajikan di restoran/rumah makan harus dipampang; i. Pentingnya lembaga resmi yang memberikan labelisasi/sertifikasi halal; j. Pentingnya penulisan informasi tentang tanggal kedaluarsa dan komposisi bahan pada produk kemasan. 29 Bab III. Metodologi Penelitian 3. Instrumen Perilaku Mengonsumsi Produk Halal Perilaku mengonsumsi produk halal diukur oleh 10 indikator yaitu seberapa sering (frekuensi) responden melakukan aktifitas berikut: a. Memeriksa komposisi/bahan makanan dan minuman kemasan sebelum memutuskan membeli; b. Memperhatikan ada tidaknya label halal pada produk makanan dan minuman kemasan sebelum memutuskan membeli; c. Mengonsumsi dan menggunakan produk makanan dan minuman kemasan yang tidak berlabel halal. d. Mengonsumsi makanan dan minuman yang disajikan di restoran/rumah makan yang tidak ada sertifikasi halal; e. Mengonsumsi makanan dan minuman dalam kemasan yang kehalalannya diragukan; f. Makan di restoran yang kehalalannya diragukan; g. Mendorong keluarga/teman dekat untuk mengonsumsi produk halal; h. Mencegah keluarga/teman dekat untuk tidak mengonsumsi produk yang tidak halal; i. Memberitahu keluarga/teman dekat untuk tidak makan/minum yang disajikan restoran yang tidak halal; j. Memberitahu keluarga/teman dekat tentang restoran yang terjamin kehalalan produknya. 30 Perilaku Komunitas Muslim Perkotaan dalam Mengonsumsi Produk Halal 4. Instrumen Aktifitas Keagamaan Instrumen terkait aktifitas keagamaan dilihat dari seberapa sering responden membaca buku-buku keagamaan (Islam) mendengarkan ceramah keagamaan di televisi/ radio, menghadiri pengajian atau acara keagamaan, diskusi keagamaan dengan teman, kerabat, ustadz, keluarga serta membaca atau mencari informasi yang terkait produkproduk halal (makanan dan minuman serta restoran) dalam buku, majalah, brosur, internet dan lainnya. 5. Instrumen Aktifitas Lingkungan Instrumen faktor lingkungan atau eksternal yang mendorong komunitas muslim perkotaan terkait produk halal adalah keluarga, saudara/ kerabat, tetangga, pemuka agama dan ajaran agama. 6. Instrumen Pelengkap Instrumen pelengkap lainnya yang diasumsikan penting terkait produk halal adalah mengidentifikasi indikator-indikator yang diyakini sebagai restoran yang halal, indikator yang sering dipilih (dianggap penting/ sering) oleh responden dalam mengonsumsi makanan dan minuman di restoran, pengetahuan responden akan undang-undang produk halal, perlunya undang-undang sertifikasi/labelisasi halal serta lembaga resmi yang berwenang mengeluarkan sertifikasi/labelisasi halal. D. Skala Pengukuran Pengukuran skala variabel pengetahuan penilaian/ persepsi sikap dan perilaku adalah skala likert (1-5) dimana respon terhadap masing-masing angka tersebut adalah: 31 Bab III. Metodologi Penelitian 1 = sangat tidak setuju/sangat tidak penting/sangat tidak pernah/sangat tidak perlu. 2 = tidak setuju/tidak penting/jarang/tidak perlu. 3 = agak setuju/agak penting/kadang-kadang. 4 = setuju/penting/sering/perlu. 5 = sangat setuju/sangat penting/selalu/sangat perlu. Sedangkan penelitian kualitatif menggunakan ‚interview guide‛ untuk mengungkap informasi yang tidak dapat diungkap melalui angket di atas sekaligus untuk mendukung analisis kuantitatif. Isi interview guide meliputi pertanyaanpertanyaan tentang konteks sosio cultural, dinamika social yang melatar belakangi pemahaman (kognitif), penilaian (afektif) dan perilaku (behavior) komunitas muslim perkotaan terhadap produk halal. Pendekatan kualitatif dalam penelitian ini juga menggali urgensi adanya UU sertifikasi halal, siapa yang tepat mengurusi persoalan produk halal, kendala dalam sertifikasi halal, apakah komunitas muslim perkotaan membutuhkan sertifikasi halal serta penanggulangan atau solusi terkait masalah-masalah di masyarakat yang berhubungan dengan kehalalan suatu produk. E. Model dan Hipotesis Penelitian Model dan hipotesis penelitian terkait dengan penelitian kuantitatif. Variabel utama dari penelitian kuantitatif ini adalah pengetahuan akan produk halal, persepsi komunitas muslim perkotaan dalam mengonsumsi produk halal. Meskipun demikian ada variabel pelengkap lainnya seperti faktor lingkungan (keluarga, teman, tetangga, pemuka agama dan ajaran agama) serta variabel aktivitas keagamaan dan pendidikan responden yang diasumsikan memengaruhi tinggi 32 Perilaku Komunitas Muslim Perkotaan dalam Mengonsumsi Produk Halal rendahnya variabel pengetahuan akan produk halal dan persepsi akan produk halal. Dari model di atas maka hipotesis penelitiannya adalah sebagai berikut: H₁ : Pengetahuan berpengaruh signifikan terhadap persepsi atas produk halal. H₂ : Persepsi atas produk halal berpengaruh signifikan terhadap perilaku mengonsumsi produk halal. H₃ : Pengetahuan berpengaruh signifikan terhadap perilaku konsumen atas produk halal. H₄ : Pendidikan keagamaan berpengaruh signifikan terhadap pengetahuan atas produk halal. H₅ : Aktifitas keagamaan berpengaruh signifikan terhadap pengetahuan konsumen atas produk halal. H₆ : Lingkungan berpengaruh signifikan pengetahuan akan produk halal. terhadap H₇ : Pendidikan berpengaruh signifikan terhadap persepsi produk halal. H₈ : Aktifitas keagamaan berpengaruh signifikan terhadap persepsi produk halal. H₉ : Lingkungan berpengaruh signifikan terhadap persepsi produk halal. Hipotesis model utama melibatkan variabel pengetahuan terhadap produk halal, persepsi atas produk halal serta perilaku mengonsumsi produk halal. Hipotesis variabel pendidikan, aktifitas keagamaan dan lingkungan dimasukkan dalam model bertujuan untuk menguji apakah variabel 33 Bab III. Metodologi Penelitian tersebut dapat secara signifikan mempengaruhi atau menjelaskan terhadap tinggi rendahnya variabel pengetahuan dan persepsi. F. Teknik Analisa Data Analisis data dilakukan melalui dua pendekatan yaitu analisis data kuantitatif dan analisis data kualitatif. Analisis data kuantitatif diperoleh dari data kuesioner yang diberikan kepada 770 responden dengan teknik purposive sampling, sedangkan analisis data kualitatif diperoleh dari informasi analisis data kuantitatif dilakukan melalui beberapa tahap yaitu uji validitas dan reliabilitas kuesioner, analisis statistik deskriptif dan analisis statistik inferensial. 1. Uji Validitas dan Reliabilitas Kuesioner Analisis validitas butir-butir kuesioner dilakukan melalui dua tahap yaitu dilihat dari validitas isi (content validity) dan validitas konstrak. Pemeriksaan validitas isi dilakukan dengan cara mengonsultasikan butir-butir pertanyaan/instrumen yang telah disusun kepada para ahli. Sedangkan validitas konstrak dilakukan melalui pemeriksaan apakah butir-butir pertanyaan tersebut telah mengukur aspek yang sama. Dalam penelitian validitas konstrak dilakukan dengan mengkorelasikan setiap butir pertanyaan dengan skor total melalui korelasi product moment yang telah dikoreksi variansnya. Dalam SPSS 18 telah secara otomatis dikeluarkan dalam output corrected Item-Total Correlation. Selanjutnya setiap nilai tersebut dinamakan koefisien validitas. Rule of thumb koefisien validitas di atas 0,30 dikatakan valid. 34 Perilaku Komunitas Muslim Perkotaan dalam Mengonsumsi Produk Halal Reliabilitas merupakan indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu alat pengukur dapat dipercaya atau dapat diandalkan. Ukuran statistik yang biasa digunakan untuk menentukan apakah suatu alat ukur reliable adalah Cronbach’s Alpha. Rule of thumb nilai Cronbach’s Alpha di atas 0,60 atau lebih dianjurkan di atas 0,70 dikatakan reliable. Hasil pengolahan dengan software SPSS 18 menunjukkan bahwa semua indikator dalam variabel pengetahuan yang berjumlah 13 indikator mempunyai koefisien validitas antara 0,399–0,779 di atas 0,30, maka dapat dikatakan indikator tersebut valid dan dapat digunakan untuk mengukur variabel pengetahuan atas produk halal. Nilai koefisien reliabilitasnya adalah 0,839 di atas 0,70 mempunyai tingkat keandalan yang tinggi. Variabel persepsi terhadap produk halal mempunyai 10 indikator dimana semua koefisien validitasnyta valid. Nilai koefisien validitas terletak antara 0,353 – 0,676 diatas 0,30. Sedangkan koefisien reliabilitasnya adalah 0,797. Variabel perilaku mengonsumsi produk halal mempunyai 10 indikator dengan nilai koefisien validitas antara 0.317 – 0.728 lebih besar dari 0.30 sehingga dapat dikatakan valid. Koefisien reliabilitasnya sangat tinggi yaitu 0.842 diatas 0.70. selengkapnya hasil output SPSS 18 ada dalam lampiran 1. 2. Statistik Deskriptif Statistik deskriptif digunakan untuk menjelaskan data dalam bentuk rata-rata, frekuensi atau persentase. Dalam penelitian ini akan dilihat persentase setiap item pertanyaan dalam kuesioner yang menggambarkan distri- 35 Bab III. Metodologi Penelitian busi respon jawaban responden serta nilai rata-rata (mean skor). Selain dari kedua ukuran tersebut digunakan juga ukuran indeks untuk mengetahui seberapa tinggi pengetahuan komunitas muslim perkotaan terhadap konsep dasar produk halal, dan seberapa baik perilaku komunitas muslim perkotaan dalam mengonsumsi produk halal. Indeks ini digunakan sebagai ukuran tunggal keseluruhan terkait tinggi rendahnya variabel pengetahuan dan perilaku komunitas muslim perkotaan. Indeks diperoleh dari nilai ‚mean skor‛ seluruh indikator. Kualitas indeks ini dapat diartikan dalam 5 rentang berikut, yaitu: PENGETAHUAN RENTANG 1,00 - 1,80 1,81 – 2,60 2,61 – 3,40 3,41 – 4,20 4,21 – 5,00 Sangat rendah Rendah Cukup tinggi Tinggi Sangat tinggi PERILAKU Arti Sangat buruk Buruk Cukup baik Baik Sangat baik 3. Statistik Inferensial Statistik inferensial digunakan untuk melihat apakah ada pengaruh yang signifikan antara pengetahuan terhadap penilaian/persepsi sikap dan apakah ada pengaruh yang signifikan antara pengetahuan dan penilaian/ persepsi sikap terhadap perilaku mengonsumsi produk halal. Analisis statistik yang digunakan adalah analisis jalur (path analysis) dengan alpha 5%. Analisis jalur ini digunakan untuk menguji hipotesis hubungan pengaruh antara variabel dengan bantuan statistik F dan statistik t. Statistik F digunakan sebagai uji bersama (simultan) antara variable independen terhadap variable dependen sedangkan uji 36 Perilaku Komunitas Muslim Perkotaan dalam Mengonsumsi Produk Halal t digunakan sebagai uji individu variable independen terhadap variable dependen. Besarnya pengaruh secara bersama variable independen terhadap variable dependen dilihat dari nilai R square sedangkan besar pengaruh secara individu variable independen terhadap varible dependen dilihat dari koefisien jalur. Bila pengaruh secara individu tersebut dilihat dalam bentuk Persentase (%) maka dihitung dengan cara mengalikan antara koefisien jalur dengan nilai korelasinya. 4. Analisis Data Kualitatif Pengumpulan data kualititatif dilakukan melalui interview terhadap tokoh agama/masyarakat/pengusaha/dosen. Analisis data kualitatif dilakukan menggunakan teknik reduksi data, display dan analisis serta kesimpulan. Analisis data kualitatif dilakukan dimulai dengan mengorganisir informasi dan data, kemudian melakukan coding, kategorisasi data, menguraikan kasus-kasus sesuai konteksnya, menetapkan pola dan mencari hubungan antara beberapa kategori. Selanjutnya melakukan inter-pretasi dan mengembangkan generalisasi natural dari kasus baik untuk peneliti maupun untuk penerapannya pada kasus yang lain. Analisis ini digunakan untuk memperkuat beberapa temuan yang ada dalam analisis kuantitatif. G. Waktu Waktu penelitian ini dilaksanakan selama 7 (tujuh) bulan, mulai dari persiapan sampai pembuatan laporan dan 37 Bab III. Metodologi Penelitian executive summary bulan Juni s/d Desember 2011, dengan rincian pekerjaan sebagai berikut : Tabel 1 Jadwal Penelitian Perilaku Komunitas muslim perkotaan Dalam Mengonsumsi Produk Halal No 1 38 Kegiatan Penyiapan DO, IPD, Kuesioner Pembahasan DO, IPD, Kuesioner 2 Try Out 3 Hasil Try Out 4 Penyempurnaan Hasil Try Out 5 Penyempurnaan DO, IPD dan TRY OUT 6 Pengumpulan Data 7 Entry Data 8 Analisis Data 9 Pra Seminar 10 Perbaikan 11 Seminat 12 Pelaporan dan Penggandaan Hasil Bulan (2011) Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des Perilaku Komunitas Muslim Perkotaan dalam Mengonsumsi Produk Halal BAB IV HASIL DAN ANALISIS A. Demografik Responden P enelitian ini melibatkan 770 responden akan tetapi data yang dapat dianalisis hanya 764 responden. Jumlah ini cukup layak digunakan untuk dianalisis selanjutnya. Tahap awal dari analisis data adalah melihat distribusi demografik responden yaitu jumlah responden perkota, distribusi responden berdasarkan jenis kelamin, usia, pendidikan, pekerjaan dan pengeluaran. Memotret populasi dengan sekelompok sampel responden bukan hal yang sederhana. Populasi muslim di Indonesia dengan keberagamannya dapat dimengerti kompleksitas variabel yang menyusun pengetahuan, persepsi maupun perilakunya. Keterwakilan daerah industri, daerah dominan budaya lokal dan daerah muslim yang minoritas telah ditentukan secara purposive sehingga terdapat 7 (tujuh) kota sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Selanjutnya dari kerangka sampel yang ada di setiap kota, peneliti berusaha melakukan pengambilan sampel secara random, sehingga diperoleh 110 orang di masing-masing kota. Sedangkan informan untuk tahapan riset kualitatif tidak ditentukan jumlah dari awal, tetapi menggunakan prinsip pengumpulan data hingga mencapai data saturation, yakni hingga tidak ada lagi informasi baru yang diperoleh. ‚qualitative researchers continue to collect data until they reach a point of data saturation. Data saturation occurs when the 39 Bab IV. Hasil dan Analisis researcher is no longer hearing or seeing new information. Unlike quantitative researchers who wait until the end of the study to analyze their data, qualitative researcher analyze their data throughout their study‛8. Karakteristik sampel yang diperoleh perlu dijelaskan dalam upaya memahami komunitas responden sebagai dasar seberapa jauh generalisasi diberlakukan. Responden pada dasarnya adalah bagian dari komunitas muslim yang tinggal di area perkotaan. Sekalipun ada yang berasal dari rural area, mereka sudah tinggal di kota untuk sekolah, kuliah, bekerja atau berkeluarga. Sebagaimana diketahui sejak tahun sembilan puluhan terjadi transformasi sosial terkait kecenderungan berperilaku masyarakat perkotaan. Transformasi sosial sejak menjelang era reformasi ditunjukkan oleh komunitas muslim perkotaan, dengan perkembangan Industrialisasi yang menjadikan area perkotaan memiliki daya tarik ekonomi. Arus urbanisasi bergelombang menghasilkan suatu komunitas kelas pekerja yang terkonsentrasi di perkotaan. Status sosial ekonomi masyarakat perkotaan mulai didominasi kelompok berpenghasilan UMR dan kelompok kelas menengah yang membelanjakan 2 USD (Rp 18.000) per hari sampai dengan 20 USD (Rp 180.000 per hari) sejak sekitar tahun 20009. Hal ini sejalan dengan data pertumbuhan kelas menengah yang dilaporkan Kompas Telkomsel Mobile Newspaper.10 Transformasi sosial terjadi pada masyarakat perkotaan sebagai bentuk manifestasi pencarian identitas dan peme8 Bryman, Alan. 2008. Social Research Methods. Oxford University Press. 748 halaman 9 Kompas Telkomsel Mobile Newspaper, 19 Desember 2011. 10 ibid 40 Perilaku Komunitas Muslim Perkotaan dalam Mengonsumsi Produk Halal nuhan spiritualitas di tengah tuntutan rasionalisasi industri, rutinitas kompetitif dan solidaritas organic.11 Sejumlah kondisi dan dinamika perkotaan memicu tumbuhnya lembagalembaga baru, sebagaimana kesimpulan dari teori Weber yang menekankan rasionalisasi aspek cara mencapai tujuan (instrumental progresif), menjadikan lahirnya lembaga-lembaga baru sebagai ciri utama proses industrialisasi. Sistem kelembagaan baru ini berfungsi mendukung proses industrialisasi, dimana industrialisasi dikatakan berkait dengan perubahan sosial (Dawam Raharjo, 1999). Lebih lanjut dikatakan Raharjo bahwa industrialisasi terbukti telah menimbulkan perubahanperubahan mendasar dalam suatu masyarakat dan membawa berbagai bangsa kepada kemajuan material, kebudayaan dan spiritual. Lembaga-lembaga baru ini, diantaranya berbentuk ormas, NGO atau ikatan profesi yang berperan cukup besar dalam membangun opini, bahkan mengubah pengetahuan, persepsi dan perilaku anggotanya dengan ikatan keanggotaan. Proses industrialisasi perkotaan bukan hanya mewarnai kota-kota industri seperti Surabaya, Batam, Bandung dan DKI Jakarta. Kota-kota yang didominasi budaya lokal seperti Solo dan juga kota-kota minoritas muslim seperti Menado dan Bali. Tujuh kota yang dipilih secara purposive ini setidaknya memiliki kesamaan dalam hal mengalami perkembangan industri yang cukup pesat. 11 Menurut Emile Durkheim, ketika masyarakat semakin kompleks, terjadi pembagian kerja, timbul spesialisasi yang pada akhirnya menimbulkan ketergantungan antar individu atas dasar pembagian kerja. Hal ini juga menggairahkan individu untuk meningkatkan kemampuannya secara individual sehingga “kesadaran kolektif” semakin redup kekuatannya. Solidaritas ini ada pada masyarakat Industri. 41 Bab IV. Hasil dan Analisis 1. Distribusi Responden Per Kota Jumlah responden setiap kota adalah 110 orang kecuali di Kota Manado yang berjumlah 104 orang, sehingga total responden sebanyak 764 orang. Hal ini sebagaimana diketengahkan dalam tabel berikut: Tabel 1. Jumlah responden setiap Kota Kota Jakarta Bandung Denpasar Batam Surabaya Solo Manado Total Jumlah 110 110 110 110 110 110 104 764 2. Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin Dilihat dari jenis kelamin, perimbangan jumlah responden dalam penelitian ini tidak jauh berbeda; mereka yang berjenis kelamin laki-laki sebanyak 389 orang atau 51% dari total 764 responden sedangkan mereka yang berjenis kelamin perempuan sebanyak 375 orang atau mencapai 49%. Gambaran dari perimbangan jumlah dimaksud dapat dilihat pada chart berikut: 42 Perilaku Komunitas Muslim Perkotaan dalam Mengonsumsi Produk Halal 3. Distribusi Responden Berdasarkan Status Perkawinan Ditilik dari status perkawinan survey ini mencatat bahwa jumlah responden yang sudah menikah lebih banyak dibanding mereka yang belum menikah. Mereka yang sudah menikah (menikah/ duda/janda) tercatat sebanyak 462 orang (60%), sedangkan sisanya 302 orang (40%) belum menikah. Gambaran dari perimbangan jumlah dimaksud dapat dilihat pada chart seperti berikut: Menikah 60% Belum Menikah 40% 4. Distribusi Responden Berdasarkan Usia Dari sisi usia, responden yang menjadi subjek penelitian ini terbagi dalam beberapa kelompok umur: paling banyak ditempati kelompok berusia 26-35 tahun 43 Bab IV. Hasil dan Analisis mencapai 256 orang (33%), diikuti responden yang berusia 36-45 tahun berjumlah 198 orang (26%), dan responden berusia 20-25 tahun yang mencapai 197 orang (26%). Gambaran dari perimbangan kelompok usia dimaksud dapat dilihat pada chart berikut ini: diatas 55 tahun 4% 46-55 tahun 11% 20-25 tahun 26% 26-35 tahun 33% 26-35 tahun 33% Sebaran usia responden ini sesuai dengan potret populasi komunitas perkotaan yang didominasi usia produktif. Angkatan kerja tertarik bermigrasi dan mengisi lapangan kerja yang tersedia di area perkotaan. 5. Distribusi Responden Berdasarkan Jenjang Pendidikan Berdasarkan latar belakang pendidikan responden dalam survey ini didominasi oleh mereka yang berpendidikan SLTA mencapai 306 orang atau 40,1%. Kelompok kedua terbesar adalah mereka yang berpendidikan sarjana/S1 tercatat sebanyak 223 orang (29,2%), diikuti oleh responden yang berlatar belakang pendidikan SLTP berjumlah 88 orang (11,5%), SD 63 orang (8,2%), serta 44 Perilaku Komunitas Muslim Perkotaan dalam Mengonsumsi Produk Halal diploma 61 orang (8%). Sedangkan sisanya sebanyak 23 orang (3%) memiliki pendidikan pasca sarjana. Latar belakang pendidikan responden yang diambil dari kerangka sampel populasi muslim perkotaan ini menunjukkan bahwa mereka sebagian besar berpendidikan SLTA dan sarjana. Kedua jenjang pendidikan ini mendo-minasi prasyarat kompetisi untuk mengisi sebagian besar peluang tenaga kerja di perkotaan. 6. Distribusi Responden Berdasarkan Pekerjaan Dilihat dari latar belakang pekerjaan, mayoritas responden dalam penelitian ini didominasi oleh para karyawan swasta yang mencapai 315 orang atau 41,2%. Responden sebagai PNS menempati urutan kedua berjumlah 151 orang (19,8%), diikuti oleh pedagang/wiraswasta berjumlah 117 orang (15,3%), ibu rumah tangga 82 orang (10,7%). Selebihnya adalah sebagai guru/dosen 45 Bab IV. Hasil dan Analisis mencapai 48 orang (6,3%). Mereka yang hidup sebagai petani, TNI/Polri, pensiunan, freelance, mahasis-wa dan karyawan BUMN/BUMD yang mencapai 51 orang (6,7%). Gambaran perimbangan responden berdasarkan pekerjaan dapat dilihat pada chart berikut ini: 7. Distribusi Responden Berdasarkan Pengeluaran Perbulan Pengelompokan responden berdasarkan pengeluaran perbulan didominasi oleh responden dengan pengeluaran kurang dari Rp. 2 juta setiap bulan mencapai 512 orang atau 67,1%, disusul responden yang pengeluarannya lebih dari Rp. 2 juta setiap bulan sebanyak 252 orang (32,9%). 46 Perilaku Komunitas Muslim Perkotaan dalam Mengonsumsi Produk Halal Gambaran lebih rinci perimbangan responden berdasarkan pengeluaran dapat dilihat pada chart berikut: B. Pengetahuan Komunitas Muslim Terhadap Produk Halal Dalam penelitian ini, pengetahuan komunitas muslim terhadap produk halal diukur melalui sejumlah indikator. Indikator-indikator dimaksud adalah sebagai-mana ditengahkan dalam tabel 2 di bawah ini. 47 Bab IV. Hasil dan Analisis 1. Distribusi Persentase Pengetahuan Komunitas Muslim terhadap Produk Halal Tabel 2. Distribusi Persentase Responden dan Mean Skor Indikator Produk Halal 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. % % % % 1 1 2 27 69 4.64 764 0 0 2 23 75 4.75 764 0 0 2 31 67 4.64 764 0 1 1 33 66 4.64 764 0 0 6 42 51 4.42 764 0 1 5 40 55 4.49 764 0 0 9 45 44 4.31 764 0 1 5 32 63 4.58 764 0 1 6 33 60 4.52 764 0 1 8 40 51 4.41 764 0 1 3 22 74 4.70 764 1 1 5 31 62 4.54 764 0 1 5 28 66 Indeks Pengetahuan keseluruhan Sangat mengetahui % Mengetahui Agak mengetahui 2. Tidak mengandung organ tubuh manusia Tidak mengandung babi Tidak mengandung Khamer Tidak mengandung unsur najis Tidak rusak/ kadaluarsa Tidak mengandung bahan berbahaya Bukan barang illegal Ada sertifikasi halal dari MUI Ada tulisan/label halal Ada nomor pendaftaran produk pangan/nomor izin edar dari BPOM (Kementerian Kesehatan) Hewan yang disembelih dg menyebut nama Allah Haram memakan bangkai (kecuali ikan dan belalang) Haram memakan darah Tidak mengetahui 1. Pernyataan Sangat tidak mengetahui No. Mean skor Distribusi Persentase Respon Jawaban N 4.58 764 4.55 764 Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa jawaban responden terkait ke-13 indikator pengetahuan 48 Perilaku Komunitas Muslim Perkotaan dalam Mengonsumsi Produk Halal produk halal menyebar antara rentang ‚mengetahui dan sangat mengetahui‛. Secara keseluruhan persentase pengetahuan responden terkait produk halal berada pada rentang antara 91% - 99%. Hal ini menunjukkan bahwa antara 91% - 99% responden mengetahui konsep dasar produk halal seperti ‚larangan mamakan daging babi, darah, produk mengandung organ tubuh manusia, khamer, mengandung unsur najis‛. Persentase pengetahuan responden dalam aspek produk halal yang mendasar adalah produk yang tidak mengandung babi mencapai 98% dan produk yang tidak mengandung khamer mencapai 98%. Hal ini menunjukkan bahwa pengetahuan dasar komunitas muslim terkait kedua indikator tersebut sangat tinggi. 2. Indeks Pengetahuan atas Produk Halal Tingkat pengetahuan komunitas muslim sebagaimana digambarkan di atas dapat dihitung melalui suatu indeks yang disebut ‚indeks pengetahuan atas produk halal‛ yang dibuat dalam rentang 5 (dimulai dari tingkat kualitas ‚sangat tidak tahu‛ dengan skor 1 hingga ke level ‚sangat mengetahui‛ dengan skor 5). Hasil analisis 4,55 sebagaimana tertera pada tabel 2 di atas menunjukkan tingkat kualitas ‚sangat tinggi‛, dengan pengertian bahwa tingkat pengetahuan komunitas muslim terkait produk halal pada tujuh kota yang diteliti adalah ‚sangat tinggi‛. Sangat tingginya skor indeks pengetahuan di atas menunjukkan bahwa komunitas muslim memahami indikatorindikator produk haram terutama terkait indikator dasar seperti haram memakan babi, darah, adanya unsur najis dan mengonsumsi khamer, dan lainnya. Untuk menun- 49 Bab IV. Hasil dan Analisis jukkan indikator mana yang diketahui sangat tinggi oleh responden maka digunakan ukuran nilai ‚mean skor‛. Nilai mean skor ini menunjukkan indeks tingkat pengetahuan responden pada setiap indikator produk halal. Berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui bahwa semua nilai mean skor setiap indikator lebih dari 4,21 menunjukkan bahwa responden memiliki tingkat pengetahuan ‚sangat tinggi‛ atas setiap indikator produk halal. Selanjutnya urutan indikator dari tingkat yang tertinggi sampai terendah adalah sebagai berikut: Indikator pengetahuan responden terhadap produk halal yang tertinggi dengan nilai mean skor 4,73 (dalam skala 5) adalah bahwa produk halal adalah produk yang tidak mengandung babi. Komunitas muslim di tujuh kota mengetahui bahwa mengonsumsi produk yang mengandung babi hukumnya haram. Pengetahuan mengenai haramnya mengonsumsi produk yang mengandung babi menunjukkan bahwa pengetahuan masyarakat Islam untuk mengonsumsi produk yang tidak halal cukup 50 Perilaku Komunitas Muslim Perkotaan dalam Mengonsumsi Produk Halal tinggi. Indikator lain mengenai pengetahuan responden terhadap produk halal yang dinilai sangat tinggi adalah ketika seseorang menyembelih hewan harus menyebut nama Allah, produk yang dikonsumsi tidak mengandung unsur najis, tidak mengandung khamer (memabukkan) dan tidak mengandung organ tubuh manusia. 3. Uji Perbedaan Tingkat Pengetahuan Produk Halal pada setiap Karakteristik Demografik Responden Tabel 3. Uji F Tingkat Pengetahuan Produk Halal Karakteristik Jenis Kelamin Status Perkawinan Usia Pendidikan Pengeluaran Kota Statistik F Tingkat Signifikansi 13.112 5.479 2.098 4.074 2.440 4.330 0,000* 0,020* 0,079 0,001* 0,033* 0,000* Keterangan Signifikan Signifikan Tidak signifikan Signifikan Signifikan Signifikan *Signifikan pada alpha 5%. Berdasarkan hasil pengujian dengan statistik F diketahui bahwa ada perbedaan tingkat pengetahuan akan produk halal yang signifikan antara jenis kelamin perempuan dan laki-laki, antara responden yang berstatus telah menikah dengan responden yang belum menikah serta antara tingkat pendidikan yang berbeda, tingkat pengeluaran serta kota tinggal antara responden sedangkan karakteristik usia tidak berbeda signifikan pada alpha 5%. 51 Bab IV. Hasil dan Analisis 4. Tingkat Pengetahuan terhadap Produk Halal Berdasarkan Jenis Kelamin Meskipun tidak jauh berbeda data yang terkumpul mengenai tingkat pengetahuan responden terhadap produk halal menurut jenis kelamin, namun terdapat kecenderungan bahwa responden wanita mempunyai tingkat pengetahuan yang lebih tinggi terhadap produk halal dibandingkan responden laki-laki. Hal ini bisa dilihat pada mean skor responden perempuan sebesar 4,606 yang berada pada tingkat ‚sangat tinggi‛ sedang nilai mean skor responden laki-laki sebesar 4,502 sedikit berada di bawah nilai mean skor responden wanita, meskipun keduanya berada pada level indeks ‚sangat tinggi‛. Nilai standard deviasi responden perempuan sebesar 0,386 lebih kecil dibanding nilai standard deviasi laki-laki yang besarnya mencapai 0,404, menunjukkan bahwa responden perempuan mempunyai tingkat pengetahuan yang relatif homogen dibanding laki-laki dalam pengetahuan produk halal. Gejala ini mungkin disebabkan bahwa secara umum responden perempuan lebih banyak berinteraksi dengan makanan dan minuman atau penyediaan konsumsi produk, sehingga wajar jika mereka memiliki tingkat pengetahuan lebih tinggi dibanding dengan laki-laki. Tabel 4. Statistik Deskriptif Tingkat Pengetahuan Responden Menurut Jenis Kelamin. Jenis Kelamin 52 N Mean Std Deviasi Laki-Laki 389 4.502 0.404 Perempuan 375 4.606 0.386 Perilaku Komunitas Muslim Perkotaan dalam Mengonsumsi Produk Halal 5. Tingkat Pemahaman Responden terhadap Produk Halal Menurut Latar Belakang Pendidikan Meskipun secara umum tingkat pengetahuan terhadap produk halal pada setiap kelompok responden dapat dikatakan tidak memiliki perbedaan yang signifikan, karena semuanya berada pada skala indeks ‚sangat tinggi‛ (4,4 – 5), namun jika diperhatikan lebih seksama terdapat trend peningkatan yang linear antara pengetahuan responden dengan peningkatan tingkat pendidikan dari satu jenjang ke jenjang yang lain. Responden tingkat pendidikan pasca sarjana mempunyai nilai mean skor tertinggi yakni 4,692 dibanding responden pada tingkat pendidikan lainnya. Kemudian diikuti oleh responden berpendidikan sarjana yang mencapai mean skor 4.623. Responden pada jenjang pendidikan SLTA memperoleh skor 4.540 sedikit berada di bawah skor responden SD maupun SLTP yang mempunyai mean skor paling kecil dari semua kelompok responden. Hal ini dapat disimak dari tabel dan grafik berikut: Tabel 5. Statistik Deskriptif Tingkat Pengetahuan Responden Menurut Pendidikan Kota SD SLTP SLTA Diploma Sarjana Pasca Sarjana N 63 88 306 61 223 23 Mean 4,444 4,456 4,540 4.565 4.623 4.692 Std. Deviasi 0.444 0.449 0.403 0.355 0.361 0.318 53 Bab IV. Hasil dan Analisis 6. Tingkat Pengetahuan Responden terhadap Produk Halal Berdasarkan Kota Dapat dikatakan bahwa secara umum tingkat pengetahuan responden terhadap konsep dasar produk halal pada setiap kota berada dalam rentang kualitas ‚sangat tinggi‛. Dengan kata lain pengetahuan responden di tujuh kota yang berbeda mempunyai tingkat pengetahuan atas produk halal yang sangat memadai. Responden yang tinggal di Kota Bandung mempunyai tingkat pengetahuan dengan nilai mean skor 4,657 paling tinggi diantara kota lainnya, disusul Denpasar, Batam, Jakarta, Solo, Surabaya dan Manado. Kendati terdapat perbedaan variasi antara kota satu dengan lainnya, namun ditilik dari pencapaian indeks perbedaan ternyata tidak pada rentang 4,5 – 5 yang berarti tingkat pengetahuan mereka ‚sangat tinggi‛. Distribusi tingkat pengetahuan responden pada setiap kota dapat difahami dari tabel dan chart berikut: 54 Perilaku Komunitas Muslim Perkotaan dalam Mengonsumsi Produk Halal Tabel 6. Kota Jakarta Bandung Denpasar Batam Surabaya Solo Manado Statistik Deskriptif Tingkat Pengetahuan Berdasarkan Kota N 110 110 110 110 110 110 104 Mean 4.552 4.657 4.613 4.585 4.491 4.550 4.418 Std. Deviasi 0.348 0.351 0.366 0.416 0.422 0.348 0.489 7. Sumber Pengetahuan Responden Berdasarkan data yang diperoleh dari jawaban responden diketahui bahwa pengetahuan/pemahaman mereka terhadap produk halal umumnya diperoleh dari sejumlah aktifitas keagamaan yang terinci sebagaimana diketengahkan dalam tabel berikut ini 55 Bab IV. Hasil dan Analisis Tabel 7. Aktifitas Keagamaan 1. 2. 3. 4. 5. 35 40 11 3.47 764 0 6 23 52 19 3.82 764 2 11 35 37 15 3.53 764 1 15 40 34 10 3.37 764 8 19 36 27 10 3.13 764 Selalu 13 Sering 1 Kadang-kadang Membaca buku-buku keagamaan (Islam) Mendengarkan ceramah keagamaan di televisi/radio Menghadiri pengajian, acara keagamaan Diskusi keagamaan dengan teman, kerabat, ustadz, keluarga Membaca atau men-cari informasi yang terkait produk-produk halal (makanandan minuman serta resto-ran) dalam buku, majalah, brosur, internet dan lainnya. N Jarang Pernyataan Tidak Pernah No. Mean skor Distribusi Persentase Respon Jawaban % % % % % Berdasarkan tabel di atas aktifitas keagamaan yang paling banyak memberikan informasi tentang produk halal adalah ‚mendengarkan ceramah keagamaan di radio/televisi‛. Jumlah responden yang melakukan aktifitas ini menempati urutan teratas yakni sebanyak 71%. Kemudian diikuti oleh aktifitas keagamaan seperti menghadiri pengajian 52%, membaca buku ke-Islaman 51%, berdiskusi mengenai tema-tema keagamaan dengan ustadz, kerabat atau keluarga 44%, sedangkan yang bersumber dari upaya mencari informasi di luar kegiatan di atas menempati urutan terendah yakni 37% responden. C. Persepsi Komunitas Muslim terhadap Produk Halal Persepsi responden terhadap produk halal adalah bagaimana mereka memandang penting kehalalan suatu produk 56 Perilaku Komunitas Muslim Perkotaan dalam Mengonsumsi Produk Halal yang akan dikonsumsi. Dalam penelitian ini persepsi diukur menggunakan beberapa indikator, meliputi seberapa besar keinginan (harapan) mereka untuk mengonsumsi produk halal bagaimana responden meyakini produk yang akan dikonsumsi terjamin kehalalannya apakah mereka meyakini terhadap dampak mengonsumsi produk tidak halal bagi tubuh serta perlu tidaknya labelisasi halal. 1. Distribusi Persentase Responden dalam Elemen Persepsi (Harapan/Keyakinan) Dari data yang berhasil dihimpun melalui penelitian ini dapat diketahui bahwa persepsi komunitas muslim untuk mengonsumsi produk halal adalah ‚sangat positif‛ berada dalam rentang antara 89% sampai dengan 95%. Dari indikator ini menunjukkan adanya harapan (keinginan) yang ‚sangat tinggi‛ dari komunitas muslim untuk mengonsumsi produk halal. Dengan kata lain, mayoritas responden menunjukkan harapan (keinginan) yang sangat tinggi agar ‚semua makanan dan minuman dalam kemasan serta makanan dan minuman yang disajikan restoran/rumah makan terjamin kehalalannya‛. Harapan yang sangat tinggi tersebut didukung oleh keyakinan komunitas muslim bahwa jika mengonsumsi makanan dan minuman yang tidak halal akan berpengaruh negatif terhadap tubuh. Berdasarkan ajaran agama, komunitas muslim meyakini bahwa setiap makanan yang dimakan akan membentuk sikap dan perilaku. Sikap dan perilaku terbentuk dari makanan yang dikonsumsi. Oleh karena itu mengonsumsi sesuatu yang haram akan berpengaruh negatif terhadap tubuh. Survey mencatat bahwa ada 95% responden mendukung pernyataan 57 Bab IV. Hasil dan Analisis adanya pengaruh negatif jika mengonsumsi produk tidak halal. Selain itu sebanyak 89% memastikan tidak akan membeli suatu produk kemasan atau makanan di suatu restoran terkecuali mereka yakin bahwa produk yang akan mereka konsumsi terjamin kehalalannya. Gambaran secara jelas dari kecenderungan dimaksud dapat dilihat dari tabel berikut ini. Tabel 8. Distribusi Persentase Respon jawaban dan Mean Skor untuk elemen Persepsi. Agak setuju Setuju Sangat setuju 3. Tidak setuju 2. Sebagai seorang muslim saya berharap bahwa semua makanan dan minuman yang disajikan di restoran/rumah makan terjamin kehalalannya Mengonsumsi makanan dan minuman dlm kemasan dan makanan dan minuman yang disajikan di restoran/rumah makan yang tidak halal akan memberikan pengaruh negatif terhadap tubuh kita Saya tidak akan membeli makanan dan minuman dlm kemasan, makanan dan minuman yang disajikan di restoran/rumah makan kecuali saya yakin bahwa makanan dan minuman itu halal Sangat tidak setuju 1. Pernyataan Mean skor Distribusi Persentase Respon Jawaban No. % % % % % 0 1 4 26 69 4.62 764 1 2 6 39 52 4.40 764 0 2 9 38 51 4.39 764 N Tabel di atas tidak saja menunjukkan bahwa persepsi responden memiliki kecenderungan kearah yang ‚sangat positif‛ tetapi sekaligus mengindikasikan bahwa tingkat kehati-hatian komunitas muslim dalam memilih untuk 58 Perilaku Komunitas Muslim Perkotaan dalam Mengonsumsi Produk Halal mengonsumsi/tidak mengonsumsi suatu produk makanan dan minuman adalah sangat tinggi. Penelitian ini mengungkap pula fakta bahwa ada sejumlah tanda/pedoman/clue yang umumnya digunakan oleh umat Islam untuk membangun persepsi bahwa produk yang disajikan di suatu restoran/rumah makan terjamin kehalalannya. Tanda/pedoman/clue tersebut adalah sebagaimana tertera dalam tabel berikut ini. Tabel 9. Distribusi Persentase jawaban respoden dan mean skor indikator yang diyakini menunjukkan kehalalan produk pada suatu restoran. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Mendapatkan informasi dari teman/kerabat tentang kehalalannya Lingkungan atau tempat restoran/rumah makan tidak berdekatan dengan restoran/rumah makan yang menjual makanan dan minuman yang tidak halal Sangat setuju % % % % % Mean skor Setuju Ada simbol ke-Islaman (gambar masjid, gambar ka’bah, foto habib Ada tulisan Arab “halal” yang dipampang Tidak menyediakan menu makanan dan minuman yang tidak halal Cara mengolah makanannya thayyib/sesuai dengan ketentuan agama Ada sertifikasi halal dari MUI Agak setuju Pernyataan Tidak setuju No. Sangat Tidak setuju Distribusi Persentase Respon Jawaban N 2 22 28 33 15 3.37 764 1 7 16 43 34 4.03 764 0 3 8 41 48 4.34 764 0 0 2 42 56 4.52 764 0 0 5 36 59 4.54 764 0 5 18 53 24 3.94 764 1 7 21 40 31 3.92 764 Berdasarkan tabel di atas, indikator utama yang paling diyakini menunjukkan kehalalan produk yang disajikan pada suatu restoran/rumah makan adalah 59 Bab IV. Hasil dan Analisis meliputi tiga hal, yakni adanya sertifikasi halal dari MUI, cara mengolah makanannya thayyib/ sesuai dengan ketentuan agama, serta tidak menyediakan menu makanan dan minuman yang tidak halal. Untuk indikator pertama, terdapat 95% responden meyakini bahwa jika sebuah restoran/rumah makan memiliki sertifikasi halal dari MUI maka restoran tersebut dipastikan sajiannya dianggap halal. Kedua, cara mengolah makanan sesuai ketentuan Islam, dinilai 98% responden sebagai indikasi bahwa restoran itu halal. Ketiga indikator ‚tidak menyediakan menu makanan dan minuman yang tidak halal‛ diyakini 85% responden. Indikator lain yang memperoleh penilaian cukup tinggi adalah informasi dari rekan/kerabat tentang keberadaan restoran yang halal (77%). Sementara Indikator lokasi restoran yang menjual makanan atau minuman tidak halal‛ besaran persentase 71% yang menarik, indikator simbol keagamaan seperti gambar masjid, Ka’bah dan foto Habib yang dipampang ternyata tidak sepenuhnya diyakini oleh responden sebagai petunjuk kehalalan sajian suatu restoran. Terbukti hanya 48% responden yang percaya bahwa simbol keagamaan merupakan tanda bahwa restoran itu halal. Uniknya, dibandingkan dengan simbol-simbol keagamaan lainnya indikator tulisan Arab halal lebih tinggi diyakini sebagai restoran halal. Ada 77% responden meyakini bahwa jika ada tulisan Arab ‚halal‛ mengidentifikasikan sebagai restoran yang halal. Secara keseluruhan urutan indikator yang diyakini sangat penting dan diyakini menunjukkan kehalalan 60 Perilaku Komunitas Muslim Perkotaan dalam Mengonsumsi Produk Halal produk pada sebuah restoran/rumah makan adalah sebagai berikut. Hasil diagram di atas menunjukkan bahwa sertifikasi halal dari MUI diasumsikan sebagai petunjuk utama yang diyakini bahwa restoran itu halal. Hasil dari mean skor menunjukkan nilai 4,54 (dalam skala 5). Cara mengolah makanan dan minuman sesuai ketentuan agama yang telah diketahui sebelumnya oleh responden menunjukkan skala kepentingan yang tinggi. Selanjutnya adalah restoran yang tidak menyediakan minuman yang memabukkan (khamer) serta restoran yang tidak menyediakan menu tidak halal. Sedangkan indikator simbol keagamaan dan lingkungan dinilai sebagai indikator yang memiliki tingkat kepentingan agak tinggi meskipun lebih rendah dari indikator lainnya. Kecenderungan responden dalam membangun persepsi berdasarkan petunjuk/tanda sebagaimana diuraikan di atas, ternyata bervariasi antara kota satu dengan yang lain. Hal ini dijelaskan dalam uraian berikut. 61 Bab IV. Hasil dan Analisis Tabel 10. Mean Skor Indikator yang Diyakini Menunjukkan Kehalalan Produk pada Suatu Restoran Setiap Kota. 6 7 Manado 5 Solo 4 Surabaya 3 Batam 2 Ada simbul keIslaman (gambar masjid, gambar ka’bah, foto habib). Ada tulisan Arab “ halal ” yang dipampang. Tidak menyediakan menu makanan dan minuman yang tidak halal. Cara mengolah makanannya thayyib/sesuai dengan ketentuan agama Ada sertifikasi halal dari MUI Mendapatkan informasi dari teman/kerabat tentang kehalalannya Lokasi atau tempat restaurant/rumah makan tidak berdekatan dengan restoran/rumah makan yang menjual makanan dan minuman yang tidak halal Denpassar 1 Pernyataan Bandung No Jakarta KOTA 3.26 3.16 3.48(3) 3.64(1) 2.92 3.09 4.08 4.02 4.09 4.14 4.23 3.93 3.85 3.95 4.18(4) 4.57(4) 4.28 4.45 4.32(4) 4.36(4) 4.20 4.41(2) 4.65(1) 4.57(2) 4.55(3) 4.47(2) 4.50(1) 4.51(2) 4.49(1) 4.59(3) 4.64(1) 4.56(2) 4.52(1) 4.44(2) 4.52(1) 3.85 3.97 4.02 4.05 3.85 3.83 4.02 3.82 3.97 3.79 4.17 3.87 3.53 4.30(4) Catatan : Angka dalam kotak menunjukan mean skor sedangkan angka (1),(2),(3),(4) menunjukan urutan tingkat keyakinan utama Dari tabel di atas terlihat jelas bahwa komunitas Muslim di Kota Jakarta, Bandung, Surabaya dan Solo 62 Perilaku Komunitas Muslim Perkotaan dalam Mengonsumsi Produk Halal mempunyai kecenderungan yang sama dalam meyakini sebuah restoran itu halal atau tidak yaitu berdasarkan 3 indikator utama. Indikator itu adalah ada sertifikasi MUI, tidak menyediakan menu makanan/minuman yang tidak halal, serta cara mengolah makanan dan minuman di restoran/warung tersebut sesuai ketentuan agama. Ketiga indikator tersebut dijadikan sebagai pertimbangan tertinggi dalam menilai kehalalan produk sebuah restoran dibanding dengan simbol-simbol agama. Berbeda dengan kecenderungan yang ada di empat kota di atas, komunitas muslim yang tinggal di Batam, Denpasar dan Manado menggunakan indikator lain dalam membangun persepsi kehalalan produk sebuah restoran. Komunitas muslim di Kota Batam dan Denpasar lebih mengutamakan adanya simbol-simbol keagamaan seperti gambar mesjid, ka’bah, foto tokoh agama, untuk mengidentifikasi bahwa restoran/warung makan itu adalah halal. Mereka menilai bahwa ketika restoran menampilkan simbol-simbol agama Islam, maka mereka meyakini bahwa restoran/warung makan tersebut adalah halal. Khusus untuk komunitas muslim yang berdomisili di Kota Denpasar dan Manado, mereka meyakini bahwa suatu restoran itu halal atau tidak, ketika di dalam tidak ditemukan sertifikasi halal mereka akan mendasari penilaiannya kepada identitas etnik pemiliknya (Suku Minahasa/Bali dengan suku Gorontalo/Padang/Madura). Kecenderungan ini tergambar dalam cross-tabulasi berikut: 63 Bab IV. Hasil dan Analisis Tabel 11. Crosstabulasi Identitas Pemilik Restoran dan Kota Kota * Identitas Pemilik Restoran Crosstabulation Bandung Kota Denpasar Batam Surabaya Solo Manado Total Tidak Penting Agak Penting Penting Sangat Penting Jakarta Sangat Tidak Penting Identitas Pemilik Restoran Total Count 11 30 11 43 15 110 % within Kota 10.0% 27.3% 10.0% 39.1% 13.6% 100.0% Count 22 23 23 29 13 110 % within Kota 20% 21% 21% 26% 12% 100.0% Count 17 16 17 39 21 110 % within Kota 15% 15% 15% 35% 19% 100% Count 7 23 16 46 18 110 % within Kota 6.4% 20.9% 14.5% 41.8% 16.4% 100% Count 9 31 25 31 14 110 % within Kota 8% 28% 23% 28% 13% 100% Count 22 28 20 31 9 110 % within Kota 20% 25% 18% 28% 8% 100% Count 3 10 21 51 19 104 % within Kota 3% 10% 20% 49% 18% 100% Count 91 161 133 270 109 764 % within Kota 12% 21% 17% 35% 14% 100% Dari analisis cross tabulasi di atas terlihat jelas bahwa responden yang tinggal di Kota Denpasar, Batam dan Manado menilai identitas pemilik restoran sangat penting untuk diperhatikan ketika akan mengonsumsi makanan di 64 Perilaku Komunitas Muslim Perkotaan dalam Mengonsumsi Produk Halal restoran/rumah makan dibandingkan di kota lainnya. Tercatat 54% - 67% responden di ketiga kota tersebut menilai identitas pemilik restoran menjadi sedemikian penting untuk dijadikan pedoman. Di Jakarta, kecenderungan serupa sebesar 52% berada sedikit di bawah kecenderungan di tiga kota tersebut. Sedangkan responden yang tinggal di Kota Surabaya, Solo dan Bandung kurang memperhatikan identitas pemilik restoran sebagai indikator terjaminnya kehalalan produknya. Hal itu terlihat dari besaran prosentase di tiga kota terakhir, yang hanya mencapai kurang dari 50%. Fenomena semacam ini wajar, jika mengingat lingkungan budaya di Bali dan Manado adalah dominan budaya non-muslim, karenanya penduduk muslim setempat lebih mengedepankan aspek etnik dan budaya dalam menilai sesuatu ketimbang simbol-simbol tertentu. 2. Persepsi Responden terhadap Labelisasi/Sertifikasi Halal Hasil survey menunjukkan bahwa 96% dari 764 responden setuju dan sangat setuju terhadap labelisasi halal pada produk kemasan, karena labelisasi halal pada produk menunjukkan identitas suatu produk, sekaligus menunjukkan bahwa produk itu layak dikonsumsi oleh umat Islam, sebab tidak mengandung sesuatu yang diharamkan agama. Identitas produk itu sangat perlu untuk membedakan terhadap yang tidak sesuai aturan agama. 65 Bab IV. Hasil dan Analisis Tabel 12. Tingkat Kebutuhan Sertifikasi/Labelisasi Halal Sangat perlu % % % % % 0 1 5 27 67 Mean skor Perlu Apakah Undang-undang Sertifikasi/Labelisasi produk halal diperlukan? Cukup perlu 1. Pernyataan Kurang perlu No. Sama sekali tidak perlu Distribusi Persentase Respon Jawaban 4.60 N 764 Sebagaimana ditampilkan dalam tabel di atas, sebanyak 719 responden (94%) mengharapkan adanya undang-undang yang mengatur tentang sertifikasi atau labelisasi produk halal. Undang-undang ini diharapkan mampu mengatur segala proses terkait produk halal, sekaligus sebagai payung hukum yang dapat digunakan dalam mengatasi masalah sertifikasi/labelisasi produk halal, karena hanya melalui undang-undang inilah masyarakat muslim akan terlindungi dalam memperoleh/ mengonsumsi produk halal. Ketika ditanyakan sejauhmana responden mengetahui peraturan perundang-undangan yang terkait dengan produk halal, mayoritas responden memiliki tingkat pengetahuan yang rendah, hal ini tergambar dalam tabel berikut: 66 Perilaku Komunitas Muslim Perkotaan dalam Mengonsumsi Produk Halal Tabel 13. Pengetahuan tentang Peraturan Produk Halal 1. Sangat mengetahui % % % % % 7 40 29 20 4 Mean skor Mengetahui Sejauh mana Bapak/Ibu/ Saudara mengetahui peraturan perundang-undangan yang terkait dengan produk halal? Cukup mengetaui Pernyataan Kurang mengetahui No. Sangat tidak mengetahui Distribusi Persentase Respon Jawaban 2.74 N 764 Tabel di atas menunjukkan bahwa hanya 24% responden yang mengetahui atau sangat mengetahui adanya peraturan tentang produk halal dan 29% cukup mengetahui. Sisanya 47% sama sekali tidak mengetahui adanya undang-undang produk halal. Selain dari persentase tentang labelisasi/pengkodean terhadap produk yang halal, para responden juga memberikan persetujuan terhadap labelisasi/pengkodean terhadap produk yang ‚tidak halal‛. Data di lapangan menunjukkan bahwa 95% responden setuju atau sangat setuju pemberian labelisasi terhadap produk kemasan yang mengidentifikasikan bahwa produk tersebut ‚tidak halal‛. Mengenai sistem penulisan atau labelisasi, 98% responden menilai bahwa penulisan labelisasi halal atau kode tidak halal itu harus tertulis jelas. Dengan labelisasi atau pengkodean yang sederhana, akan mudah diketahui dan dipahami oleh komunitas muslim. Untuk jelasnya simak tabel berikut. 67 Bab IV. Hasil dan Analisis Tabel 14. Distribusi Persentase dan Mean Skor Persepsi terhadap Labeliasasi Halal. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Sangat setuju % % % % % Mean skor Setuju Semua makanan dan minuman dlm kemasan yang halal perlu diberikan label halal/tulisan halal. Semua makanan dan minuman yang disajikan di restoran/rumah makan yang halal perlu diberikan sertifikasi halal. Semua makanan dan minuman dlm kemasan yang tidak halal perlu diberi tanda atau kode yang menyatakan tidak halal. Label halal pada makanan dan minuman dlm kemasan harus tertulis jelas. Sertifikasi halal pada makanan dan minuman yang disajikan di restoran/rumah makan harus dipampang. Label halal/sertifikasi halal untuk makanan dan minuman dlm kemasan yang disajikan di restoran/rumah makan dikeluarkan oleh lembaga resmi. Ketika membeli makanan dan minuman dlm kemasan, informasi tentang tanggal kadaluarsa dan komposisi produk penting. Agak Setuju Pernyataan Tidak setuju No. Sangat tidak setuju Distribusi Persentase Respon Jawaban N 0 0 4 30 66 4.61 764 0 1 5 38 56 4.50 764 0 1 4 33 62 4.54 764 0 0 2 33 65 4.62 764 0 1 8 36 55 4.44 764 0 0 4 39 57 4.53 764 0 0 3 29 68 4.65 764 Dalam kaitannya dengan labelisasi/sertifikasi di restoran, komunitas muslim pada umumnya menunjukkan sikap yang tidak jauh berbeda. Seperti terlihat pada tabel di atas, sekitar 94% responden mendukung adanya sertifikasi halal terhadap restoran/rumah makan. Sertifikasi tersebut harus ditunjukkan pada setiap pengunjung atau dipampang pada area yang mudah terlihat, untuk menunjukkan identitas bahwa sajian restoran tersebut layak dikonsumsi oleh komunitas muslim. Tercatat 91% responden mendu- 68 Perilaku Komunitas Muslim Perkotaan dalam Mengonsumsi Produk Halal kung pernyataan bahwa sertifikasi halal pada restoran/ rumah makan harus dipampang di area yang terlihat oleh pelanggan. Selain informasi labelisasi halal atau pengkodean terhadap produk tidak halal, sekitar 97% responden komunitas muslim mengharapkan adanya informasi terkait komposisi dan tanggal kadaluarsa produk. Mengenai institusi yang berhak mengeluarkan sertifikasi halal produk makanan dan minuman kemasan serta sertifikasi halal pada restoran atau rumah makan, mayoritas responden (96%) mengharapkan agar lembaga resmi. Mengingat lembaga resmi akan lebih bisa menjamin pemberian sertifikasi dapat dipertanggungjawabkan secara hukum, memiliki kekuatan serta memperoleh kepercayaan kuat dari masyarakat. Namun ketika ditanya institusi mana yang dianggap paling pas untuk mengeluarkan sertifikasi labelisasi produk halal, para responden itu tergambar dalam tabel di bawah ini. Tabel 15. Lembaga yang Berwenang Memberikan Sertifikasi/Labelisasi Halal. 3. 4. Sangat setuju % % 4 1 % 12 5 % 37 33 % 46 61 1 0 Mean skor Setuju Kementerian Agama Majelis Ulama Indonesia. Kementerian Kesehatan (BPOM). Lembaga Swasta. Agak Setuju 1. 2. Pernyataan Tidak setuju No. Sangat tidak setuju Distribusi Persentase Respon Jawaban N 4.22 4.54 764 764 1 7 9 38 45 4.20 764 23 30 19 19 10 2.63 764 69 Bab IV. Hasil dan Analisis Dari keempat lembaga yang diajukan kepada responden, ada tiga institusi yang dipandang lebih berwenang untuk mengurus masalah produk halal yaitu Majelis Ulama Indonesia (MUI), Kementerian Agama dan Kementerian Kesehatan (BPPOM), sedangkan lembaga swasta hanya diberikan kepercayaan oleh 29% responden. MUI dipercaya 94% sebagai lembaga yang berwenang mengurus serti-fikasi/labelisasi halal karena selama ini MUI diketahui banyak terlibat langsung pada kegiatan halal sehingga masyarakat menilai lembaga ini dianggap paling layak. Kementerian Agama mendapat kepercayaan yang sama dengan Kementerian Kesehatan yakni sebesar 83%. Namun berdasarkan interview dengan tokoh agama/masyarakat/akademisi, ada kecenderungan untuk memilih ketiga lembaga di atas berkolaborasi satu sama lain sesuai peran dan fungsi masing-masing, serta didukung kemampuan lembaga itu. Pemahaman komunitas muslim perkotaan terhadap produk halal semakin meningkat, terjadi pada 7 (tujuh) kota sasaran penelitian. Meningkatnya pemahaman muslim atas produk halal merupakan dampak sosialisasi secara terus menerus yang dilakukan oleh kelompokkelompok ormas. Transformasi sosial yang dialami komunitas muslim perkotaan menunjukkan kecenderungan ‘trendy’ sebagaimana maraknya pemakaian jilbab sejak era reformasi. Bahkan di Denpasar Bali dan Menado, meskipun transformasi sosial tidak sederas di 4 (empat) kota lain, namun dalam hal pemahaman tentang produk halal arus mainstraimnya menunjukkan kecenderungan preferensi terhadap produk halal. Kekhawatiran terhadap bahaya produk makanan 70 Perilaku Komunitas Muslim Perkotaan dalam Mengonsumsi Produk Halal dan minuman yang tidak thayyib menguatkan pemahaman bahwa produk halal mengandung bahan yang baik dan sehat. Komunitas muslim perkotaan dari kalangan akademisi menginginkan pembentukan sistem jaminan produk halal, bukan hanya UU Jaminan Pangan Halal (JPH), melainkan juga seperangkat regulasi pendukung implementasi keseluruhan sistem jaminan pangan halal. Keberhasilan program ini secara komprehensif didukung oleh setiap stakeholders terkait produk halal, mulai dari industri produsen produk makanan dan minuman hingga restoran penyedia makanan dan minuman serta retail penjualnya. Pembinaan industri, kerjasama perindustrian, Kementerian Kesehatan dengan BP-POMnya termasuk produk jamu-jamuan merupakan agenda penting dalam proses peningkatan pemahaman ini. Beberapa departemen/ kementerian peduli terhadap program-program penyadaran dan memberikan dukungan sinergis. Konsumen muslim perkotaan setidaknya lebih peka mempertanyakan label halal atau sertifikasi halal pada makanan dan minuman yang hendak dikonsumsi serta restoran yang dipilihnya. Pemahaman mengenai produk halal tidak dapat dilepaskan dari dukungan akademisi melalui kesertaan perguruan tinggi ditingkatkan untuk siap mengcover hasil-hasil pembinaan dan realisasi konsumsi produk halal (thayyib). Pemahaman komunitas muslim tentang konsumsi produk halal didasari pemahaman atas perintah untuk mengonsumsi makanan halal dan thayyib merupakan 71 Bab IV. Hasil dan Analisis perintah bagi seluruh manusia, sebagaimana seruan dalam al-Quran, menggunaan seruan kepada An-Naas, bukan hanya untuk muslim. Saat ini kebutuhan terhadap sertifikasi halal datang dari banyak industri makanan dan minuman. Komunitas muslim perkotaan mayoritas memahami tentang produk halal melalui seruan mubaligh/mubalighat dalam ceramah-ceramah yang menyerukan untuk memperhatikan label halal. semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang akan semakin sadar dan memahami tentang produk halal serta berperilaku mengonsumsi produk halal. Fenomena yang dapat dilihat ketika ada isu bakso mengandung babi di Kota Surabaya, pembeli langsung sepi ternyata restoran Cina/non muslim banyak dan pengunjungnya tidak seramai setelah mendapat sertifikasi halal.12 Fenomena serupa juga terjad di DKI Jakarta, Solo, maupun Batam, meski tidak seluruhnya mengemuka terekspose di media massa. Pentingnya pembinaan dan pendidikan dalam sosialisasi produk halal telah dirasakan oleh masyarakat. Pemahaman masyarakat terus meningkat melalui peran stakeholders, termasuk ormas-ormas Islam. Kesadaran sebagai tanggung jawab bersama terus meningkat dengan dibangunnya sinergi program pembinaan yang dilakukan secara formal termasuk dalam kurikulum sekolah yang harus menyatukan ipteks dengan imtaq. Selain itu diperlukan penguasaan manajemen sehingga ketika mereka terjun di dunia kerja mampu melaksanakan fungsi 12 Sebagaimana disampaikan oleh K.H. Imam Thabrani, tokoh agama, Pimpinan MUI dan DMI Kota Surabaya 72 Perilaku Komunitas Muslim Perkotaan dalam Mengonsumsi Produk Halal manajerial dengan baik, seperti rumah sakit, apotik, perusahaan dimanage secara Islami. Begitu pula dalam hal mengusahakan produk makanan dan minuman, obatobatan, kosmetik yang berstandar halal, setidaknya memahami titik-titik kritis suatu produk. Tuntutan komunitas muslim perkotaan terhadap kehalalan makanan dan minuman semakin besar ditunjukkan oleh tuntutan konsumen untuk disertifikatkan produk makanan dan minuman. Pertanyaan detil tentang dagingnya halal, sertifikasinya mana sudah biasa ditanyakan konsumen. Restoran-restoran lokal yang sudah mengembangkan franchise juga lebih mendapatkan trust dari masyarakat setelah sertifikasi.13 ‚Mengenai pemahaman komunitas muslim perkotaan tentang produk halal, meskipun tidak sampai detil dalilnya tapi mereka mengerti tentang apa yang diharamkan oleh agama, bahkan yang tidak baik atau berbahaya bagi tubuh mereka juga semakin tercerahkan‛.14 Pemahaman komunitas muslim terhadap kehalalan preoduk yang merupakan komponen utama sehingga perasaannya dapat tunduk kepada apa yang difahaminya. Hal ini akan menuntun kebiasaan untuk memenuhan kebutuhan makanan dan minumannya sehingga terbentuklah perilaku. Inilah pembentukan karakter muslim, yang menjadi pilar penyusunan pola perilaku mengonsumsi produk halal pada komunitas muslim. 13 Hasil wawancara dengan Roni Susanto, Marketing Manager beberapa restoran dan produk makanan minuman (mamin), pada tanggal 30-31 Oktober 2011 14 Hasil wawancara dengan tokoh agama-tokoh agama, tanggal 27 Oktober - 3 November 2011 73 Bab IV. Hasil dan Analisis D. Perilaku Komunitas Muslim dalam Mengonsumsi Produk Halal Perilaku komunitas muslim dalam mengonsumsi produk halal dapat dilihat dari beberapa indikator: 1) seberapa sering mereka memeriksa komposisi bahan/label halal; 2) mengonsumsi produk kemasan yang tidak mencantumkan label halal; 3) makan dan minum di restoran yang tidak bersertifikasi halal; 4) menggunakan produk kemasan dan makan di restoran yang diragukan kehalalannya; 5) seberapa sering mereka mendorong, menginformasikan tentang produk halal dan mengajak orang lain untuk tidak menggunakan produk yang tak berlabel halal. Analisis dari masing-masing indikator di atas dapat disimak pada uraian di bawah ini. 1. Memperhatikan Komposisi Produk dan Pencantuman Label Halal Hasil survey menunjukan bahwa hanya tercatat 63% responden yang sering dan selalu memeriksa komposisi bahan makanan dan minuman sebelum membeli; 73% responden memperhatikan ada tidaknya label halal, 19% yang menyatakan kadang-kadang memperhatikan label halal dan sisanya ada 8% yang jarang atau tidak pernah memperhatikan adanya label halal pada produk kemasan. Distribusi prosentase sebagaimana disebut di atas dapat difahami dari gambaran dalam tabel berikut ini. 74 Perilaku Komunitas Muslim Perkotaan dalam Mengonsumsi Produk Halal Tabel 16. Distribusi Prosentase Respon Perilaku – Memeriksa Komposisi Bahan dan Label Halal. Sering Selalu Mean Skor 2 Memeriksa komposisi/ba han makanan dan minuman kemasan sebelum memutuskan membeli. Memperhatik an ada tidaknya label halal pada produk makanan dan minuman kemasan sebelum memutuskan membeli. Kadangkadang 1 Pernyataan Jarang No Tidak Pernah Distribusi Prosentase Respon Jawaban N 3% 10% 24% 29% 34% 3.81 764 2% 6% 19% 31% 42% 4.04 764 Tabel di atas, jika dihubungkan dengan tabel persepsi yang menggambarkan tingkat persetujuan responden akan adanya labelisasi. halal, akan menghasilkan analisis cross tabulasi sebagaimana tergambar dalam tabel berikut ini.. 75 Bab IV. Hasil dan Analisis Tabel 17. Crosstabulasi Persepsi terhadap dengan Perilaku Memeriksa Label Label Halal Persetujuan labelisasi Produk * Perilaku Memeriksa label Crosstabulation Sangat Setuju Total Selalu Setuju Sering Agak Setuju KadangKadang Persetujuan labelisasi Produk Tidak Setuju Jarang Sangat Tidak Setuju Tidak Pernah Perilaku Memeriksa label Total Count 0 1 0 0 0 1 % of Total 0.0% 0.1% 0.0% 0.0% 0.0% 0% Count 0 1 1 1 0 3 % of Total 0.0% 0.1% 0.1% 0.1% 0.0% .0 Count 4 7 6 6 5 28 % of Total 0.5% 0.9% 0.8% 0.8% 0.7% 4% Count 6 26 55 88 56 231 % of Total 0.8% 3.4% 7.2% 11.5% 7.3% 30% Count 8 12 80 141 260 501 % of Total 1.0% 1.6% Count 18 47 142 236 321 764 6.2% 18.6 % 30.9 % 42.0 % 100% % of Total 2.4% 10.5% 18.5% 34.0% 66% Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa hanya ada 71% responden yang konsisten terhadap persetujuan (setuju/sangat setuju) adanya labelisasi halal pada produk kemasan dengan kebiasaan berperilaku memeriksa ada tidaknya label halal sebelum memutuskan membeli. Sementara 29% lainnya menunjukkan adanya ketidak konsistenan. Ketidak konsistenan ini boleh jadi dikarenakan karena minimnya label 76 Perilaku Komunitas Muslim Perkotaan dalam Mengonsumsi Produk Halal halal yang terdapat pada kemasan produk, atau karena berada di suatu lingkungan yang mayoritas Muslim, atau karena produk-produk yang dibeli pada umumnya diyakini oleh mereka tidak berkaitan dengan hal-hal yang mengubah status kehalalan tersebut, seperti: permen, tahu, tempe, ikan dll. 2. Perilaku Mengonsumsi Produk Tidak berlabel Halal/Makan di Restoran yang tidak memiliki sertifikat halal Meski hampir semua responden mengetahui kriteria kehalalan suatu produk dan meyakini pentingnya memilih produk berlabel halal, namun kenyataan menunjukkan adanya degradasi intensitas dalam menerapkan keyakinan tersebut dalam perilaku sehari-hari. Hal ini ditunjukkan dengan kenyataan di lapangan bahwa hanya ada 63% responden yang menyatakan tidak pernah/jarang mengonsumsi produk kemasan yang tidak ada label halal, dan hanya 58% responden yang menyatakan tidak pernah atau jarang makan di restoran/warung makan yang tidak memiliki sertifikasi halal. Gambaran tentang distribusi yang demikian itu dapat difahami dari tabel berikut ini. 77 Bab IV. Hasil dan Analisis Tabel 18. Distribusi Prosentase Respon Mengonsumsi Produk tidak ber-Label Halal/Makan di Restoran yang tidak memiliki sertifikat halal Selalu Mean Skor 24% 24% 7% 6% 2.16 764 2 Mengonsumsi makanan dan minuman yang disajikan di restauran/rumah makan yang tidak ada sertifikasi halal. 34% 24% 27% 10% 5% 2.3 764 kadang 39% Kadang- 1 Mengonsumsi dan menggunakan produk makanan dan minuman kemasan yang tidak berlabel halal . Jarang N Tidak Pernyataan Pernah No Sering Distribusi Prosentase Respon Jawaban Pada tabel tersebut terlihat bahwa meski mayoritas responden menyatakan bahwa mereka sangat jarang atau tidak pernah mengonsumsi produk yang tidak berlabel halal, namun data lapangan meunjukkan ada sebagian kecil (13%) di antara mereka mengaku sering atau bahkan selalu mengonsumsi produk tanpa berlabel halal atau sekitar 15% yang sering atau selalu makan di restoran/rumah makan yang tidak memiliki sertifikasi halal. Sudah barang tentu kecenderungan di atas tidak boleh ditafsirkan bahwa ada sebagian kecil anggota komunitas Muslim yang tidak lagi memper- 78 Perilaku Komunitas Muslim Perkotaan dalam Mengonsumsi Produk Halal dulikan halal/tidak halalnya suatu produk, melainkan mungkin dikarenakan situasi dan kondisi tertentu yang mendorong mereka untuk berperilaku demikian, misalnya. produk kemasan yang berlabel halal atau rumah makan/ restoran yang telah memiliki sertifikat halal sangat minim, atau karena lingkungan tempat tinggal mayoritas Muslim, atau karena produk-produk yang dibeli pada umumnya diyakini tidak berkaitan dengan hal-hal yang meragukan. Halhal yang demikian inilah pada umumnya yang mendo-rong masyarakat untuk mengambil kesimpulan singkat dan meyakini suatu produk kemasan yang tidak berlabel halal sebagai produk yang halal, atau meyakini makanan yang disajikan di suatu restoran/rumah makan terjamin kehalalannya. Dalam tataran perilaku, konsumen Muslim meyakini kehalalan makanan yang disajikan di suatu restoran berdasarkan indikator-indikator tertentu sebagaimana diketengahkan dalam tabel berikut ini. 79 Bab IV. Hasil dan Analisis Tabel 19. Distribusi prosentase dan mean skor responden dalam memilih indikator halal pada tataran perilaku mengonsumsi suatu produk di restoran. 3 4 5 6 7 8 9 10 80 Harga Merek / Nama restoran Kebersihan restoran/warung makan lokasi restoran/warung makan Ada tulisan/ simbul keIslaman Restoran tidak menyediakan menu makanan dan minuman yang haram Identitas pemilik restoran Ada sertifikasi halal MUI Ada nomor pendaftaran produk pangan/nomor izin edar izin edar dari BPOM (Kementerian Kesehatan) Mean Skor 2 Selalu Rasa makanan / minuman Sering 1 Kadangkadang Pernyataan Jarang No Tidak Pernah Distribusi Prosentase Respon Jawaban N 1% 9% 12% 54% 24% 3.91(4) 764 2% 13% 15% 51% 19% 3.71 764 4% 20% 18% 43% 15% 3.45 764 2% 5% 8% 46% 39% 4.16(1) 764 2% 13% 18% 48% 18% 3.67 764 2% 17% 16% 39% 27% 3.73 764 3% 7% 11% 41% 38% 4.06(2) 764 12% 21% 17% 35% 14% 3.19 764 3% 13% 16% 36% 33% 3.82 764 4% 15% 20% 33% 28% 3.66 764 Perilaku Komunitas Muslim Perkotaan dalam Mengonsumsi Produk Halal Berdasarkan nilai mean indikator utama yang dinilai sering menjadi pedoman memutuskan untuk makan di yaitu: skor terlihat bahwa ada 3 penting/sangat penting dan perilaku responden saat suatu restoran/rumah makan 1. Kebersihan restoran/warung makan 2. Restoran/warung makan yang tidak menyediakan menu makanan/minuman yang haram 3. Makanan/minuman yang disajikan memenuhi selera konsumen. Bila diurai lebih jauh maka survey mencatat bahwa hanya ada 58% - 78% responden yang menilai penting dan sangat penting terkait aspek marketing seperti rasa, harga, merek, kebersihan dan lokasi restoran. Terkait aspek keagamaan seperti tulisan/simbul keIslaman, ada label/sertifikasi halal dan restoran yang tidak menyediakan menu makanan yang haram dan minuman yang memabukan dinilai penting/ sangat penting dan sering dipertimbangkan oleh responden sebanyak 66% - 79%. Yang menarik, penilaian responden terkait pentingnya sertifikasi halal MUI hanya dirasa penting/sangat penting oleh 68% responden padahal indikator ini yang paling tinggi diyakini oleh responden. Hal ini sangat dimungkinkan mengingat restoran yang memiliki sertifikasi halal masih sangat minim dan jarang, karenanya pilihan komunitas Muslim selanjutnya beralih kepada indikator yang lain. Selanjutnya, untuk mengetahui tingkat konsistensi antara persetujuan terhadap labelisasi halal dengan perilaku mengonsumsi produk halal, berikut ini diketengahkan 81 Bab IV. Hasil dan Analisis analisis crosstabulasi antara persetujuan terhadap labelisasi halal dengan perilaku konsumen mengonsumsi kemasan tidak berlabel halal dan analisis crosstabulasi antara persetujuan terhadap labelisasi halal dengan perilaku konsumen untuk makan di restoran/rumah makan yang tidak memiliki sertifikat halal. Tabel 20. Crosstabulasi Persepsi Label Halal Dengan Perilaku Mengonsumsi Produk Tidak Berlabel Halal Jarang KadangKadang Sering Selalu 0 0 1 0 0 1 % of Total 0.0% 0.0 % 0.1% 0.0% 0.0% 0.1% Count 0 0 3 0 0 3 % of Total 0% 0% 0% 0% 0% 0% Count Tidak Pernah Sangat Tidak Setuju Tidak Setuju Persetuju an labelisasi Produk Agak Setuju Setuju Sangat Setuju Total 82 Total Perilaku Mengonsumsi Produk Kemasan Tidak Ada Label Halal Count 7 10 7 1 3 28 % of Total 0.9% 1.3 % 0.9% 0.1% 0.4% 3.7% Count 77 70 60 13 11 231 % of Total 10.1 % 9.2 % 7.9% 1.7% 1.4% 30.2% Count 216 103 110 43 29 501 % of Total 28.3 % 13.5 % 14.4 % 5.6% 3.8% 65.6% Count 300 183 181 57 43 764 % of Total 39.3 % 24.0 % 23.7 % 7.5% 5.6% 100.0% Perilaku Komunitas Muslim Perkotaan dalam Mengonsumsi Produk Halal Tabel 21. Cross Tabulasi Persepsi Sertifkasi Halal Pada Restoran dengan Perilaku Mengonsumsi produk di Restoran yang tidak ber-Label Halal Persetujuan Sertifikasi Halal pada Restoran *Perilaku Mengonsumsi Produk di Restoran yang Tidak Ada Sertifikasi Halal Crosstabulation Perilaku Mengonsumsi Produk di Restoran Yang Tidak Ada Sertifikasi Halal Setuju Sangat Setuju Total KadangKadang Sering Selalu Agak Setuju Jarang Persetuj uan Sertifika si Halal pada Restora n Tidak Pernah Tidak Setuju Total Count 0 2 3 0 0 5 % of Total 0.0% 0.3 % 0.4% 0.0% 0.0% 0.7% Count 9 7 19 6 0 41 1.2% 0.9 % 2.5% 0.8% 0.0% 5.4% % of Total Count 78 81 79 37 12 287 % of Total 10.2 % 10.6 % 10.3 % 4.8% 1.6% 37.6% Count 170 91 106 35 29 431 % of Total 22.3 % 11.9 % 13.9 % 4.6% 3.8% 56.4% Count 257 181 207 78 41 764 % of Total 33.6 % 23.7 % 27.1 % 10.2 % 5.4% 100.0% Dari analisis tabel. 19 diatas diketahui hanya ada 61% responden yang konsisten antara persepsi persetujuan akan labelisasi halal dengan perilaku menghindari mengonsumsi produk tidak berlabel halal; sementara dari tabel 19 diatas dapat disimpulkan bahwa hanya ada 55% responden yang konsisten dengan persetujuan yaitu setuju dan sangat setuju 83 Bab IV. Hasil dan Analisis terhadap sertifikasi halal menghindari makanan dan minuman pada restoran yang tidak ada sertifikasi halalnya. 3. Mengonsumsi Produk/Makan di Restoran yang Diragukan Kehalalannya Penelitian ini mencatat sebesar 73% responden yang sudah memiliki kesadaran untuk tidak mengonsumsi produk yang diragukan kehalalannya serta 78% yang menghindari untuk memutuskan tidak makan di restoran yang diragukan kehalalan-nya. Kecenderungan demikian dapat disimak pada tabel berikut. Tabel 22. Perilaku Mengonsumsi Produk yang kurang jelas makan di Restoran yang diragukan kehalalannya Sering Selalu Mean Skor 2 Mengonsumsi produk makanan dan minuman dalam 49% 24% kemasan yang kehalalannya diragukan tapi tetap mengonsumsinya. Makan di restoran/rumah makan yang yang 60% 18% kehalalannya diragukan tapi tetap mengonsumsinya. Kadang-kadang 1 Pernyataan Jarang No Tidak Pernah Distribusi Prosentase Respon Jawaban N 19% 6% 2% 1.87 764 16% 4% 1% 1.67 764 Untuk mengetahui tingkat konsistensi antara persetujuan terhadap labelisasi halal dengan perilaku mengonsumsi 84 Perilaku Komunitas Muslim Perkotaan dalam Mengonsumsi Produk Halal produk yang diragukan makan di restoran/rumah makan yang diragukan, diperlukan adanya analisis cross-tabulasi antara persetujuan terhadap labelisasi halal dengan perilaku konsumen mengonsumsi kemasan tidak berlabel halal/makan di restoran/rumah makan yang tidak memiliki sertifikat halal. Melalui analisis tersebut dapat difahami secara visual seberapa kuat responden konsisten dalam mempertahankan persetujuannya itu dalam perilakunya sehari-hari. Setelah dilakukan analisis cross-tabulasi diperoleh gambaran sebagaimana tertera dalam tabel berikut ini. Tabel 23. Crosstabulasi Mengonsumsi Produk Kemasan Meragukan dengan Restoran yang Meragukan mengonsumsi produk di restoran yang diragukan kehalalannya Total KadangKadang Sering Selalu 335 28 8 4 1 376 3.7% 1.0% 0.5% 0.1% 49.2% 81 27 0 1 184 0.0% 0.1% 24.1% % of Total 43.8% Count Jarang Mengonsum% of Total si produk Count kemasan Kadangyang diragu- Kadang % of Total kan kehalalCount annya Sering % of Total Selalu Jarang Count Tidak Pernah Tidak Pernah Total 75 9.8% 10.6% 3.5% 38 29 71 5 0 143 5% 4% 9% 1% 0% 19% 9 2 16 18 1 46 1% 0% 2% 2% 0% 6% Count 5 1 1 2 6 15 % of Total 0.7% 0.1% 0.1% 0.3% 0.8% 2.0% Count 462 141 123 29 9 764 3.8% 1.2% 100.0 % % of Total 60.5% 18.5% 16.1% 85 Bab IV. Hasil dan Analisis Berdasarkan analisis cross tabulasi di atas, terlihat jelas bahwa hanya ada 67,9% yang konsisten untuk meninggalkan produk yang meragukan baik produk kemasan maupun restoran yang diragukan kehalalannya, sementara yang lain terpaksa mengonsumsinya dikarenakan situasi tertentu antara lain sulit untuk mendapatkan produk yang berlabel/ restoran yang bersertifikat halal. Sulitnya untuk mendapatkan produk kemasan berlabel/restoran bersertifikat halal ini ditunjukkan oleh hasil survey yang mencatat hanya ada 67% responden menyatakan bahwa mereka mudah atau sangat mudah mencari produk kemasan yang diyakini kehalalannya dan hanya ada 53% responden menilai mudah atau sangat mudah mencari restoran yang diyakini kehalalannya. Hal ini dapat difahami dengan memperhatikan gambaran yang diketengahkan oleh tabel berikut. Tabel 24. Tingkat kemudahan dalam Mendapatkan Produk Halal Mudah Sangat mudah Mean Skor 2 Makanan dan minuman dalam kemasan Restoran/warun g makan Agak mudah 1 Pernyataan Sulit No Sangat Sulit Distribusi Prosentase Respon Jawaban N 1% 10% 22% 45% 22% 3.75 764 4% 18% 25% 38% 15% 3.44 764 Selanjutnya jika jawaban responden itu dianalisis secara lebih jauh lagi dengan membandingkan jawaban yang 86 Perilaku Komunitas Muslim Perkotaan dalam Mengonsumsi Produk Halal diperoleh dari masing responden di tujuh kota, gambarannya adalah sebagaimana ditampilkan oleh grafik berikut ini. Grafik di atas menunjukkan bahwa secara kese-luruhan nilai mean skor dari masing-masing kota berada dalam rentang antara “cukup mudah dan mudah‛. Hal ini ditunjukan oleh nilai mean skor berkisar antara 3 – 4. Komunitas muslim yang tinggal di Kota Jakarta mempunyai tingkat kemudahan mencari produk halal kemasan dan restoran halal lebih tinggi, meski tidak terlalu jauh, dibandingkan dengan komunitas muslim yang tinggal di Kota Batam, Bandung, Denpasar, Solo dan Surabaya. Pada umumnya komunitas muslim di masing-masing kota mengaku bahwa mencari produk kemasan yang halal lebih mudah dibandingkan dengan mencari restoran yang halal, mengingat masih sangat minimnya restoran/rumah-rumah makan yang memiliki sertifikat halal. Namun yang demikian ini tidak berlaku untuk komunitas muslim di Kota Manado dan Denpasar yang mengaku bahwa mencari restoran yang 87 Bab IV. Hasil dan Analisis halal lebih mudah dibandingkan dengan produk kemasan yang diyakini halal. Kecenderungan ini dikarenakan restoran/ rumah makan yang diyakini halal itu berada dalam lingkungan kediaman mereka atau sekurang-kurangnya mereka mengetahui tempat-tempat mana yang menyediakan produk halal, sementara produk makanan kemasan yang berlabel halal sangat jarang di lingkungan mereka. Untuk mengetahui apakah faktor demografik responden (jenis kelamin, status perkawinan, latar belakang pendidikan, kondisi ekonomi dan kota) berpengaruh terhadap perbedaan perilaku konsumen untuk mengonsumsi atau tidak mengonsumsi produk kemasan maupun makan di restoran/warung makan yang diragukan kehalalannya maka uraian berikut mengetengahkan analisis varian dengan statistik F untuk memvalidasi apakah terdapat perbedaan respon dari setiap karakteristik demografik itu. Hasilnya adalah sebagai diketengahkan dalam uraian berikut ini. Tabel 25. Uji Statistik F Perilaku Mengonsumsi Produk Kemasan yang Diragukan Kehalalannya Berdasarkan Latar Belakang Demografik Statistik F Tingkat Signifikansi Jenis kelamin 6.629 0.010* Status Perkawinan 0.437 0.437 Usia 0.472 0.756 Pendidikan 5.230 0.000* Pengeluaran 1.042 0.391 3.208 Kota ‘* menunjukan signifikan pada alpha 5% 0.004* Karakteristik 88 Perilaku Komunitas Muslim Perkotaan dalam Mengonsumsi Produk Halal Sedangkan perbedaan perilaku konsumen dalam mengonsumsi makanan di suatu restoran/rumah makan yang diragukan kehalalannya, gambarannya sebagaimana berikut. Tabel 26. Uji Statistik F Mengonsumsi Produk di Res-toran yang Diragukan Kehalalannya Ber-dasarkan Demografik Karakteristik Statistik F Tingkat Signifikansi Jenis kelamin 7.208 0.007* Status Perkawinan 0.621 0.621 Usia 0.282 0.890 Pendidikan 4.000 0.001* Pengeluaran 1.519 0.181 3.813 Kota ‘* menunjukan signifikan pada alpha 5% 0.001* Berdasarkan gambaran dari dua tabel di atas terlihat jelas bahwa jenis kelamin, latar belakang pendidikan dan kota dimana responden tinggal berpengaruh terhadap perbedaan respon mengonsumsi produk yang diragukan kehalalannya. Khusus untuk faktor jenis kelamin, dapat dijelaskan bahwa responden dengan jenis kelamin laki-laki ternyata lebih sering untuk mengonsumsi produk yang diragukan kehalalannya dibandingkan dengan responden berjenis kelamin perempuan; Demikian pula untuk makan makanan minuman di restoran yang meragukan responden perempuan ternyata mempunyai kecenderungan untuk menghindari dibandingkan responden laki-laki. Hal ini sebagaimana digambarkan dalam grafik-grafik berikut ini. 89 Bab IV. Hasil dan Analisis Adapun halnya dengan faktor pendidikan, dapat dikatakan bahwa responden dengan pendidikan lebih tinggi mempunyai kecenderungan untuk menghindari produk kemasan dan makanan minuman di restoran yang meragukan dibandingkan dengan responden dengan pendidikan dasar SD dan SLTP. Hal ini sebagaimana digambarkan dalam grafik berikut: Sedangkan dari sisi domisili, responden yang tinggal di Kota Batam dan Manado ternyata mempunyai kecenderungan lebih tinggi untuk mengonsumsi produk kemasan dan 90 Perilaku Komunitas Muslim Perkotaan dalam Mengonsumsi Produk Halal restoran yang diragukan kehalalannya dibandingkan dengan kota lainnya, seperti tergambar dalam grafik berikut. 4. Perilaku Mendorong dan Menginformasikan Untuk Mengonsumsi Produk Halal Tingkat kesadaran komunitas Muslim dalam bentuk mendorong, menginformasikan produk halal kepada keluarga/teman serta mencegah atau menginformasikan keluarga/teman untuk tidak mengonsumsi produk tidak halal menunjukkan tingkat yang tergolong tinggi yaitu ada dalam rentang 73% - 79%. Hal ini menunjukan bahwa hanya ada 73% - 79% yang aktif atau peduli terhadap produk halal dalam hal mencegah, mendorong dan memberitahukan keluarga akan produk halal dan tidak halal. 91 Bab IV. Hasil dan Analisis Tabel 27. Perilaku Mendorong dan Menginformasikan untuk Mengonsumsi Produk Halal 92 Mean Skor 4 Selalu 3 Sering 2 Mendorong keluarga/ teman dekat untuk mengonsumsi produk halal. Mencegah keluarga/ teman dekat untuk tidak mengonsumsi produk yang tidak halal Memberitahu keluarga/teman dekat untuk tidak makan/ minum yang disajikan rumah makan/resto-ran yang anda tahu menjual produk yang tidak halal. Memberitahu keluarga/teman dekat tem-pattempat/restoran/ warung/ rumah makan yang anda tahu terjamin kehalalan produknya. Kadangkadang 1 Pernyataan Jarang No Tidak Pernah Distribusi Prosentase Respon Jawaban N % % % % % 2 6 15 36 41 4.09 764 3 4 15 37 42 4.10 764 2 8 16 37 36 3.96 764 2 8 17 39 34 3.96 764 Perilaku Komunitas Muslim Perkotaan dalam Mengonsumsi Produk Halal E. Korelasi Antara Pengetahuan, Persepsi dan Perilaku Konsumen Muslim Terkait Produk Halal 1. Perbandingan Indeks antara Pengetahuan, Persepsi dan Perilaku Mengonsumsi Produk Halal Indeks perilaku mengonsumsi produk halal diukur dari ‚mean skor‛ keseluruhan indikator, {yakni: a) memeriksa komposisi bahan produk berlabel halal, b) mengkonsumsi produk kemasan yang tidak berlabel halal atau mengonsumsi makanan minuman di restoran yang tidak bersertifikasi halal, c) mengonsumsi produk kemasan atau makanan di restoran yang diragukan kehalalannya; d) upaya mendorong, mencegah, dan memberi informasi terkait produk halal}. Secara keseluruhan mean skor menunjukkan ‚tinggi‛ yaitu nilai 3,84 (dalam skala 5) dan berada dalam rentang 3,41 – 4,20‛. Indeks ini berada di bawah indeks persepsi yang bernilai 4,40 dalam rentang 4,40 – 4,60 (sangat positif) dan berada juga di bawah indeks pengetahuan yang memiliki nilai 4,60 dalam rentang 4,40-4,70 (sangat tinggi). Perbedaan ini dapat dilihat secara jelas melalui grafik di bawah ini. Berikut adalah perbandingan antara tingkat pengetahuan, perspesi dan perilaku komunitas muslim terhadap produk halal di tujuh kota yang diteliti. 93 Bab IV. Hasil dan Analisis Grafik di atas menunjukkan adanya penurunan dalam nilai indeks antara pengetahuan, persepsi dan perilaku. Responden yang mempunyai pengetahuan ‚sangat tinggi‛ terhadap produk halal dan mempunyai persepsi ‚sangat positif‛ dalam tataran perilaku ternyata berada dalam rentang ‚tinggi‛ atau dalam klasifikasi setingkat lebih rendah dibanding dengan indeks yang dicapai dalam elemen pengetahuan dan persepsi. Penurunan nilai indeks ini dikarenakan jumlah produk yang beredar di masyarakat baik produk kemasan maupun restoran yang bersertifikasi masih sedikit, sehingga untuk mencapai indeks prilaku yang ideal menemui hambatan yang cukup signifikan. 94 Perilaku Komunitas Muslim Perkotaan dalam Mengonsumsi Produk Halal 2. Analisis Jalur (Path Analysis) Analisis jalur atau disebut path analysis adalah bagian dari rangkaian analisis regresi yang berguna untuk menguji serangkaian model keterkaitan hubungan antara variabel secara simultan. Analisis ini merupakan analisis regresi linier dengan koefisien regresi yang dibakukan. Analisis tersebut akan menguji signifikan atau tidaknya hubungan pengaruh antara variabel yang dihipotesiskan. Model penelitian dan hipotesis penelitian ada dalam Bab III sebelumnya. Berikut adalah hasil pengolahan dengan software SPSS 18. a. Analisis jalur untuk menguji hipotesis H1 Signifikan 597,31 0,000 R square 0,000 Keterangan 24.44 Tingkat Signifikansi Keterangan 0.663 Statistik F Tingkat Signifikansi Pengetahuan Statistik t Variable Koef. Jalur Tabel 28. Analisis jalur untuk menguji hipotesis H1 Dengan Variabel dependen Persepsi Signifikan 0.439 Persepsi atas produk halal signifikan positif dipengaruhi oleh pengetahuan responden terhadap produk halal. Semakin tinggi pengetahuan responden atas produk halal maka akan meningkatkan persepsi positif terhadap produk halal. Hal ini ditunjukan oleh nilai t statistik sebesar 24,444 yang mmpunyai tingkat signifikansi 0,000 < 0,05. Besarnya pengaruh pengetahuan terhadap peningkatan perspesi responden akan produk halal adalah 43,9%. 95 Bab IV. Hasil dan Analisis b. Analisis Jalur Untuk Menguji Hipotesis H2 dan H3 Keterangan 0.000 Signifikan Persepsi 0.299 6.902 0.000 Signifikan R square Tingkat Signifikansi 4.348 Keterangan Statistik t 0.188 Tingkat Signifikansi Koef. Jalur Pengetahu an Statistik F Variable Tabel 29. Analisis jalur untuk menguji hipotesis H2 dan H3 dengan Variable dependen Perilaku 94.837 0.000 Signifik an 0.200 Secara statistik, pengetahuan dan persepsi bersamasama mempengaruhi variabel perilaku. Hal ini diketahui dari nilai statistik F dengan tingkat signifi-kansi 0,00 < 0,05. Secara bersama-sama kedua variabel tersebut berpengaruh sebesar 20% terhadap pengendalian perilaku komunitas muslim dalam mengonsumsi produk halal. Berdasarkan nilai statistik t yang menguji apakah ada pengaruh masing-masing variabel pengetahuan dan persepsi terhadap perilaku diketahui nilai signifikansinya masing-masing adalah 0,000 < 0,05 maka dapat dikatakan bahwa pengetahuan berpengaruh positif signifikan terhadap perilaku dan persepsi berpengaruh positif signifikan terhadap perilaku. Dari koefisien jalur diketahui bahwa persepsi mempunyai pengaruh yang lebih besar yaitu sebesar 0,299 (12,7%) dibandingkan dengan pengetahuan yang hanya berpengaruh sebesar 0,188 (7,3%) terhadap perilaku. Peningkatan persepsi positif terhadap produk halal maka akan semakin meningkatkan berperilaku baik dalam mengonsumsi produk halal demikian halnya dengan peningkatan pengetahuan responden atas 96 Perilaku Komunitas Muslim Perkotaan dalam Mengonsumsi Produk Halal produk halal maka akan semakin meningkatkan perilaku baik dalam mengonsumsi produk halal. c. Analisis Jalur untuk Menguji Hipotesis H4, H5 dan H6 0.000 Signifikan Lingkungan 0.160 4.607 R square Signifikan Keterangan 0.000 Tingkat Signifikansi Aktifitas Keagamaan 0.266 7.685 Statistik F Keterangan Signifikan Statistik t 0.003 Pendidikan Koef. Jalur 0.102 2.992 Variable Tingkat Signifikansi Tabel 30. Analisis Jalur Untuk Menguji Hipotesis H7, H8, H9 Dengan Variable Dependent: Pengetahuan 37.626 0,000 Signifikan 0.129 Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa aktifitas keagamaan, lingkungan dan pendidikan responden secara bersama-sama mempengaruhi pengetahuan responden. Hal ini diketahui dari nilai statistik F yaitu 37,626 dengan tingkat signifkansi 0,00 < 0,05. Secara bersama sama dari nilai R square diketahui bahwa aktifitas keagamaan, lingkungan dan pendidikan responden berpengaruh terhadap peningkatan variabel pengetahuan responden akan produk halal sebesar 12,9%. Secara pengujian individu dengan statistik t diketahui bahwa ketiga variable tersebut mempunyai tingkat signifikansi 0,00 < 0,05 maka dapat dikatakan bahwa pada selang kepercayaan 95%, pendidikan responden berpengaruh positif terhadap peningkatan pengetahuan responden, 97 Bab IV. Hasil dan Analisis aktifitas keagamaan berpengaruh positif terhadap peningkatan pengetahuan responden, lingkungan berpengaruh positif terhadap peningkatan pengetahuan responden. Berdasatkan koefisien jalur di atas dapat dketahui bahwa aktifitas keagamaan adalah variabel yang pertama mempunyai pengaruh terbesar terhadap pengetahuan yaitu sebesar 0,266 (8,1%) variabel lingkungan berpengaruh sebesar 0,160 (3,5%) dan variabel pendidikan berpengaruh sebesar 0,102 (1,3%). d. Analisis jalur untuk menguji hipotesis H7, H8 dan H9 0,00 Signi fikan Aktifitas Keagamaan 0,276 8,120 0,00 Signi fikan Lingkungan 0,197 5,814 0,00 Signi fikan 49,722 0,000 Signifikan R square Keterangan 4,141 Keterangan Tingkat Signifikansi 0,138 Tingkat Signifikansi Statistik t Pendidikan Variable Statistik F Koef. Jalur Tabel 31. Analisis Jalur Untuk Menguji Hipotesis H7, H8, H9 Dengan Variable Dependent: Persepsi 0,164 Berdasarkan tabel diatas diketahui bahwa nilai statistic F adalah 49,722 dengan tingkat signifikansi 0,000 < 0.05 maka tolak hipotesis nol yang artinya bahwa dalam selang kepercayaan 95% variabel pengetahuan, aktifitas keagamaan, lingkungan dan pendidikan berpengaruh positif signifikan terhadap peningkatan persepsi positif atas produk halal. Dari nilai R square diketahui bahwa secara bersama variabel 98 Perilaku Komunitas Muslim Perkotaan dalam Mengonsumsi Produk Halal pengetahuan, aktifitas keagamaan lingkungan dan pendidikan berpengaruh sebesar 16,4%. Berdasarkan pengujian secara individu dengan statistik t diketahui bahwa masing-masing variabel pengetahuan, aktifitas keagamaan, lingkungan dan pendidikan berpengaruh positif signifikan terhadap persepsi komunitas muslim atas produk halal. Hal ini diketahui dari nilai tingkat signifikansi 0,000 < 0,05. Berdasarkan koefisien jalur diketahui aktifitas keagamaan mempunyai pengaruh yang terbesar terhadap peningkatan persepsi atas produk halal yaitu sebsar 0,276 (5,2%) diikuti oleh variabel lingkungan yang berpengaruh sebesar 0,197 (5,2%) dan pendidikan yang berpengaruh sebesar 0,138 (2,3%). Secara keseluruhan hasil penelitian kuantitatif tentang perilaku komunitas muslim perkotaan dalam mengonsumsi produk halal tersebut di atas sejalan dengan hasil pendekatan penelitian kualitatif. Analisis perilaku ini sesuai dengan hasilhasil pendekatan penelitian kualitatif di 7 (tujuh) kota. Pendekatan kualitatif mengidentifikasi kompleksitas yang saling menopang membangun pola perilaku mengonsumsi produk halal. Pola yang dapat digambarkan pada Gambar 1. menunjukkan perilaku mengonsumsi produk halal dengan menekankan pada faktor-faktor yang saling berkontribusi membangun pola perilaku mengonsumsi produk halal. Pola perilaku mengonsumsi produk halal merupakan bagian dari pola perilaku manusia yang kompleksitasnya tidak dapat disederhanakan dengan satu doktrin berperilaku tertentu. Seseorang terikat dengan identitas kelompok, misalnya sebagai anggota komunitas intelektual, anggota ormas, ikatan keluarga yang mengikat serta jejaring sosial yang memberi wawasan tertentu kepada individu anggotanya. Dengan demikian, seorang muslim dalam komunitasnya memiliki 99 Bab IV. Hasil dan Analisis pola perilaku yang bervariasi. Komunitas muslim di daerah industri, di daerah dominan budaya dan di daerah minoritas muslim memiliki kearifan lokal masing-masing, yang tumbuh dengan mengadaptasi kondisi dengan pemahaman dan keyakinannya terhadap produk yang dipilihnya untuk dikonsumsi. Tindakan komunitas muslim perkotaan memilih produk yang dikonsumsi dalam Teori Tindakan, dinyatakan bahwa individu melakukan suatu tindakan berdasarkan pengalaman, persepsi, pemahaman dan penaf-siran atas suatu objek stimulus atau situasi tertentu. Tindakan individu itu merupakan tindakan sosial yang rasional, yaitu mencapai tujuan atas sasaran dengan sarana-sarana yang paling tepat.15 Jenis-Jenis Tindakan Sosial yang juga dikenal dengan istilah perilaku sosial menurut Max Weber, dapat digolongkan menjadi empat kelompok (tipe), yaitu tindakan rasional instrumental, tindakan rasional berorientasi nilai, tindakan tradisional, dan tindakan afeksi. a. Tindakan Rasional Instrumental Tindakan ini dilakukan seseorang dengan memperhitungkan kesesuaian antara cara yang digunakan dengan tujuan yang akan dicapai. b. Tindakan Rasional Berorientasi Nilai Tindakan ini bersifat rasional dan memperhitungkan manfaatnya, tetapi tujuan yang hendak dicapai tidak terlalu dipentingkan oleh si pelaku. Pelaku hanya beranggapan bahwa yang paling penting tindakan itu termasuk dalam 15 Max Weber, dalam KJ Veeger. 1990. Realitas Sosial: Refleksi Filsafat Sosial atas Hubungan Individu-Masyarakat dalam Cakrawala Sejarah Sosiologi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama 100 Perilaku Komunitas Muslim Perkotaan dalam Mengonsumsi Produk Halal kriteria baik dan benar menurut ukuran dan penilaian masyarakat di sekitarnya. Misalnya menjalankan ibadah sesuai dengan agamanya masing-masing. c. Tindakan Tradisional Tindakan ini merupakan tindakan yang tidak rasional. Seseorang melakukan tindakan hanya karena kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat tanpa menyadari alasannya atau membuat perencanaan terlebih dahulu mengenai tujuan dan cara yang akan digunakan. Misalnya berbagai upacara adat yang terdapat di masyarakat. d. Tindakan Afektif Tindakan ini sebagian besar dikuasai oleh perasaan atau emosi tanpa pertimbangan-pertim-bangan akal budi. Seringkali tindakan ini dilakukan tanpa perencanaan matang dan tanpa kesadaran penuh. Jadi dapat dikatakan sebagai reaksi spontan atas suatu peristiwa. Contohnya tindakan meloncat-loncat karena kegirangan, menangis karena orang tuanya meninggal dunia, dan sebagainya. Teori Max Weber ini dikembangkan oleh Talcott Parsons bahwa suatu aksi merupakan tindakan mekanis terhadap suatu stimulus sedangkan perilaku adalah suatu proses mental yang aktif dan kreatif. Talcott Parsons beranggapan bahwa yang utama bukanlah tindakan individu melainkan norma-norma dan nilai-nilai sosial yang menuntut dan mengatur perilaku itu. Kondisi objektif disatukan dengan komitmen kolektif terhadap suatu nilai akan mengembangkan suatu bentuk tindakan sosial tertentu. Talcott Parsons juga beranggapan bahwa tindakan individu dan kelompok itu dipengaruhi oleh 101 Bab IV. Hasil dan Analisis sistem sosial, sistem budaya dan sistem kepribadian dari masing-masing individu tersebut. Talcott Parsons juga melakukan klasifikasi tentang tipe peranan dalam suatu sistem sosial yang disebutnya Pattern Variables, yang didalamnya berisi tentang interaksi yang afektif, berorientasi pada diri sendiri dan orientasi kelompok.16 Faktor internal dan faktor eksternal berkelindan secara simultan memberikan pengaruh kepada pembentukan pola perilaku mengonsumsi produk halal. Pendidikan formal maupun non-formal pendidikan masa kecil di surau, di keluarga, di langgar, ditanamkan sejak kecil bahwa makan dan minum mesti perhatikan kehalalan. Jadi, pendidikan non formal dalam keluarga memegang peranan penting membangun pola mengonsumsi produk halal. Namun pendidikan tidak berdiri sendiri mengendali pola perilaku komunitas. Faktor eksternal yang telah menginternalisasi, seperti budaya lokal, dominan budaya lokal, kondisi industrialisasi dan heterogenitas yang tinggi pada tujuh kota yang diteliti membangun pola yang khas pada masing-masing kota. Kota industri seperti Surabaya, Bandung, DKI Jakarta dan Batam memberikan corak tertentu pada pola perilaku komunitas muslim, demikian pula kota-kota dominan budaya lokal seperti Solo serta kota-kota dengan penduduk muslim sebagai minoritas seperti Bali dan Menado. Faktor lainnya yang mendukung pembentukan sosialisasi oleh muballigh/muballighat semakin intensif, ditambah 16 Talcott Parsons. 1975. The Present Status of "Structural-Functional" Theory in Sociology." In Talcott Parsons, Social Systems and The Evolution of Action Theory New York: The Free Press. 102 Perilaku Komunitas Muslim Perkotaan dalam Mengonsumsi Produk Halal pengawasan yang baik dari pemerintah dapat mensukseskan penyelengggaraan penataan pola mengonsumsi produk halal pada komunitas muslim. Pengaruh eksternal terhadap pola mengonsumsi produk halal tidak terlalu besar apabila faktor internal sudah cukup kuat. Oleh karenanya perlu penguatan internal komunitas muslim, dengan pembinaan, terutama sekali penanaman karakter sejak dini. Faktor pendukung perilaku mengonsumsi produk halal17 : 1) Kesadaran masyarakat 2) Aturan perundang-undangan yang bisa ditegakkan 3) Adanya reward dan punishment bagi industri makanan dan minuman 4) Perundang-undangan yang mengatur bagaimana Industriawan sebagai produsen memahami dan memberikan hak-hak konsumen 5) Undang-undang yang ada untuk industri makanan dan minuman selama ini masih belum utuh, masih terserak dimana-mana, perlu ada satu payung hukum yang khusus membahas hal tersebut baik terkait dengan kemasan maupun makanan dan minuman yang disajikan di restoran 6) Komitmen pemerintah untuk melindungi konsumen, bisa dibandingkan dengan mekanisme JAKIM Malaysia yang mengharuskan sertifikasi halal, bukan hanya melindungi komunitas muslim tapi juga non muslim karena makanan yang thayyib juga bermanfaat bagi mereka. 17 Hasil wawancara dengan Direktur LP POM jawa Timur, tanggal 27 Oktober 2011 103 Bab IV. Hasil dan Analisis Pengusaha produk makanan dan minuman18 menambahkan bahwa faktor-faktor yang menurut pengamatannya paling berpengaruh adalah status sosial ekonomi, semakin tinggi status sosial ekonomi semakin tampak peduli terhadap kehalalan dan ke-thayyib-an makanan. Semakin tinggi tingkat pendidikan menunjukkan wawasan dan pengetahuan tentang produk halal semakin bertambah, terlebih lagi dengan arus informasi yang semakin cepat diakses, membuat konsumen komunitas elit lebih banyak pertimbangan saat memilih makanan dan minuman serta wawasan tentang kesehatan juga mempengaruhi konsumsi ini, mengingat sudah cukup banyak kesadaran akan bahaya makanan dan minuman yang tidak memenuhi gizi berimbang. Kesadaran ini lebih besar pada komunitas yang status sosial ekonominya tinggi. Industrialisasi berpengaruh terhadap budaya dan gaya hidup. Ini terkait aspek ekonomi, pendidikan, budaya industri yang ingin serba instan lebih besar pengaruhnya daripada pengaruh politik. Pengusaha dan pemilik industri makanan dan minuman menegaskan pentingnya pengawasan terhadap produk, bukan hanya kemudahan proses sertifikasi. Karena tidak semua produk makanan dan minuman sudah mendapatkan sertifikasi halal, maka perlu dipertimbangkan untuk sertifikasi produk yang ‘not good for muslim’ atau seharusnya tidak dikonsumsi oleh komunitas muslim. 18 Hasil wawancara dengan pengusaha makanan dan minuman di tujuh kota. 104 Perilaku Komunitas Muslim Perkotaan dalam Mengonsumsi Produk Halal Gambar 1. Pola Perilaku Mengonsumsi Produk halal pada Komunitas Muslim Komunitas Intelektual Muslim Jamaah/ Anggota Ormas Jejaring Sosial Individu Ikatan Keluarga Perilaku Mengonsumsi Produk Halal Faktor-faktor Eksternal : - arus informasi - tanda sertifikasi -Budaya industri -Kredibilitas dan kompetensi pihak pemberi sertifikasi -Pengawasan Pemerintah -Komitmen pemerintah untuk melindungi konsumen -Regulasi yang jelas -reward dan punishment bagi pengusaha -Kepedulian ormas/organisasi social -Sosialisasi oleh muballigh/muballig hat Faktor-faktor Internal : - Status Sosial Ekonomi (SSE), -Tingkat pendidikan - Wawasan tentang kesehatan -Life style -Pendidikan formal dan non formal -Kemampuan mengakses informasi -Daya beli -Pemahaman tentang dalil syara’ -Pemahaman tentang produk makanan dan minuman 105 Bab IV. Hasil dan Analisis 106 Perilaku Komunitas Muslim Perkotaan dalam Mengonsumsi Produk Halal BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan 1. Secara umum tingkat pengetahuan komunitas muslim di tujuh kota terhadap konsep produk halal berada pada level pengetahuan ‚sangat tinggi‛. Hal itu ditunjukan oleh indeks pengetahuan akan produk halal yang mencapai skor 4,55 (dalam skala 5). Pengetahuan mengenai konsep dasar produk halal itu terutama yang berkenaan dengan produk tidak mengandung babi, tidak mengandung khamer, tidak mengandung organ tubuh manusia dan tidak mengandung najis. Pengetahuan akan produk halal tersebut dipengaruhi positif signifikan oleh aktifitas keagamaan, lingkungan hidup dan latar belakang pendidikan. 2. Perspesi responden atas produk halal dan labelisasi produk halal menunjukkan gambaran yang tinggi. Hal ini didukung oleh kenyataan bahwa 95% responden menginginkan semua produk yang beredar terjamin kehalalannya dan mendukung dilakukannya labelisasi halal pada produk makanan dan minuman kemasan termasuk juga restoran dan rumah-rumah makan. 3. Perilaku responden yang bekaitan dengan kesadaran untuk mengonsumsi produk halal berada pada level ‚tinggi‛ dengan nilai indeks perilaku sebesar 3,84 (dalam skala 5). Data yang diperoleh menunjukkan bahwa hanya 73% responden yang memeriksa label halal sebelum 107 Bab V. Kesimpulan dan Rekomendasi memutuskan membeli produk, 63% tidak pernah/jarang mengonsumsi produk yang tidak ada label halal dan 54% tidak pernah/jarang makan di restoran yang tidak ada sertifikasi label halal. Terkait perilaku menghindari mengonsumsi produk kemasan yang meragukan dan restoran yang meragukan hanya dilakukan oleh 73% - 78% responden. Sedangkan tingkat keaktifan dalam mendorong, menginformasikan produk halal dan mencegah produk tidak halal hanya dilakukan oleh 73% - 79%. Fenomena demikian muncul diduga karena faktor masih banyaknya produk kemasan yang belum ada label halal dan restoran yang tersertifikasi halal, sehingga hanya 67% responden yang menyatakan mudah untuk mencari produk halal dan hanya 53% yang menyatakan mudah mencari restoran yang halal . 4. Berdasarkan hasil analisis jalur dapat diketahui bahwa terdapat pengaruh yang signifikan antara pengetahuan responden dengan persepsi mereka terhadap produk halal. Peningkatan pengetahuan produk halal akan secara positif meningkatkan persepsi positif terhadap produk halal. Pengetahuan dan persepsi secara bersama berpengaruh positif terhadap perilaku responden dalam mngonsumsi produk halal. Meskipun demikian pengaruh persepsi secara langsung dinilai lebih tinggi dibandingkan pengetahuan. Apa yang dipersepsikan oleh responden tentang produk halal akan lebih dominan berpengaruh terhadap perilakunya dibandingkan apa yang diketahuinya. 5. Aktifitas keagamaan secara positif signifikan mempunyai kontribusi terbesar terhadap peningkatan pengetahuan 108 Perilaku Komunitas Muslim Perkotaan dalam Mengonsumsi Produk Halal dan persepsi responden atas produk halal dibandingkan faktor lingkungan dan pendidikan. Hal ini mengindikasikan bahwa perlunya mendorong komunitas muslim mempersering kegiatan aktifitas keagamaan, hal ini akan sejalan dengan peningkatan pengetahuan, pemahaman komunitas muslim serta peningkatan persepsi positif akan produk halal. 6. Realitas sosial yang berhasil diungkap oleh penelitian ini menunjukkan bahwa keberadaan peraturan perundangundangan yang melindungi konsumen (muslim) dari mengonsumsi produk tidak halal sangat dibutuhkan dan merupakan suatu hal yang sifatnya sangat mendesak. Untuk itu Pemerintah dan DPR dinilai perlu ‚lebih aktif‛ untuk menghindari penilaian masyarakat, bahwa pemerintah dan DPR lamban dalam penyelesaian undangundang produk halal. B. Rekomendasi Hasil penelitian ini menghasilkan sejumlah rekomendasi sebagai upaya improvement planning bagi perkembangan perilaku muslim perkotaan dalam mengonsumsi produk halal. Selain itu rencana aksi yang disarankan sebagai hasil penelitian ini merupakan bentuk tanggung jawab atas perlindungan dan jaminan pangan halal bagi komunitas muslim. 1. Keterlibatan secara aktif dari lembaga-lembaga keagamaan, para pemuka agama, penceramah, da’i, ustadz sangat diharapkan guna mendukung program sosialisasi produk halal melalui khutbah Jum’at, tulisan dan tayangan di media, kegiatan seminar dan lainnya. 109 Bab V. Kesimpulan dan Rekomendasi 2. Kerjasama dengan perguruan tinggi dalam penyusunan kurikulum yang memberikan pembekalan bagi mahasiswa dari berbagai profesi yang relevan untuk menumbuhkan tentang penggunaan dzat/produk halal. 3. Meningkatkan pengawasan terhadap usaha produksi makanan dan minuman, untuk pengusaha kecil, pengawasan dan pembinaan setidaknya untuk memberikan wawasan tentang prinsip-prinsip kehalalan produk makanan dan minuman. 4. Koordinasi lintas sektor bersama kementerian Agama, BP POM dan MUI secara sinergis dan menyusun sinkronisasi langkah mendorong adanya regulasi dan implementasi jaminan pangan halal. 5. Mendorong efisiensi dan efektivitas proses sertifikasi dan labelisasi produk di seluruh provinsi dan kabupaten/kota 6. Kerjasama dengan KADIN, Kementerian Perindustrian dan kementerian UKM untuk pembinaan usaha makanan dan minuman. 7. Mendorong lembaga legislatif untuk segera mengesahkan UU JPH sebagai bentuk perlindungan terhadap konsumen. 8. Mendorong adanya seperangkat regulasi yang komprehensif mendukung UU JPH yang mengatur produksi makanan dan minuman dari hulu ke hilir. 9. Kerjasama dengan ormas untuk pembinaan ormas, NGO, dan organisasi profesi untuk sosialisasi sosialisasi konsumsi produk halal kepada pelajar SD sampai perguruan tinggi. 110 Perilaku Komunitas Muslim Perkotaan dalam Mengonsumsi Produk Halal 10. Membuat modul penyuluhan agama tentang materi seputar produk halal. 11. Mendorong berdirinya restoran yang hanya menyediakan produk halal. 111 Bab V. Kesimpulan dan Rekomendasi 112 Perilaku Komunitas Muslim Perkotaan dalam Mengonsumsi Produk Halal DAFTAR KEPUSTAKAAN Ali Mustofa Ya’kub (2009), Kriteria halal-haram untuk pangan, obat dan kosmetika menurut al-Qur’an dan Hadist, Pustaka Firdaus, Jakarta. Ajzen, I. (1991). The theory of planned behavior. Organizational Behavior and Human Decision Pro-cesses, 50, p. 179-211. Di akses dari Value Based jmanagement. Net Assadi Djamchid (2003). Do Religions Influence Customer Behavior? Confronting Religious Rules and Marketing Concepts. Cahiers du CEREN Volume: 5 Halaman: 2 - 13 Babakus, Emin, T. Bettina Cornwell, Vince Mitchell, Bodo Schlegelmilch (2004). Reactions to unethical consumer behavior across six countries Journal of Consumer Marketing Volume: 21 Issue: 4 Halaman: 254 – 263 Bonne, Karijn et Wim Verbeke (2006). Muslim consumer’s motivations towards meat consumption in Belgium: qualitative exploratory insights from means-end chain analysis, http://aof.revues. org/document90.html Bryman, Alan. 2008. Social research methods. Press. 748 halaman Oxford University Cornwell, Bettina, Charles Chi Cui, Vince Mitchell, Bodo Schlegel milch, Anis Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI. 1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta. Dzulkiflee, Joseph Chan (2005). A cross-cultural study of the role of religion in consumers' ethical positions. International Marketing Review Volume: 22 Issue: 5. Halaman: 531 – 546 113 Daftar Kepustakaan Delener, Nejdet (1994). Religious Contrasts in Consumer Decision Behaviour Patterns: Their Dimensions and Marketing Implications (Abstract). European Journal of Marketing. 1994 Volume: 28 Issue: 5 Halaman: 36 – 53 Echols, Johan dan Hassan Shadily. 1994. Kamus Indonesia-Inggris. Jakarta : Gramedia. Essoo, Nittin and Dibb, Sally (2004). Religious influences on shopping behaviour: an exploratory study. Journal of Marketing Management, 20 (7-8). Halaman:. 683-712. ISSN 0267-257X Indonesia International Halal Exhibition - Halal Indonesia 2006 7 - 29 April 2006. Jakarta. Malaysian Science and Technology Information Centre Portal. http://www.mastic.gov.my/servlets/sfs Jusmaliani dan Hanny Nasution (2009). ‚Religiosity Aspect in Consumer Behaviour: Determinants of Halal Meat Consumption. Asean Marketing Journal. June 2009, Vol I-No.1 Kinnear, T.C. and Taylor, J.R. (1996). Marketing Research: An Applied Approach, 5 th edition, McGraw-Hill, Inc Max Weber, dalam KJ Veeger. 1990. Realitas Sosial: Refleksi Filsafat Sosial atas Hubungan Individu-Masyarakat dalam Cakrawala Sejarah Sosiologi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama Omar, M, Muhammad, M, and Omar, A. (2008). An Analysis of the Muslim Consumer ’attitude towards ‘Halal’ Food Products in Kelantan. Thrusting Islam Knowledge and Professionalism in ECER Development. ECER Regional Conference. 1517 Desember 2008. Malaysia 114 Perilaku Komunitas Muslim Perkotaan dalam Mengonsumsi Produk Halal Pettinger, C., Holdsworth, M., Gerber, M., (2004). ‚Psycho-social influences on food choice in Southern France and Central England.‛ Appetite, 42(3), 307-316. Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam. (2008). Ekonomi Islam. PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta Qardhawi, Yusuf. 2000. Halal dan Haram dalam Islam, Surabaya : P.T. Bina Ilmu. Talcott Parsons. 1975. The Present Status of "Structural-Functional" Theory in Sociology." In Talcott Parsons, Social Systems and The Evolution of Action Theory New York: The Free Press. Yamin Sofyan dan Kurniawan Heri (2009). SPSS Complete. Jakarta : Penerbit Salemba Empat. http://duniabaca.com/definisi-pengetahuan-serta-faktor-faktor-yangmempengaruhi- pengetahuan.html http://id.shvoong.com/social-sciences/psychology/1837978-definisipersepsi/ 115