WACANA 1. PENGERTIAN WACANA Secara etimologis istilah “wacana” berasal dari bahasa Sanskerta wac/wak/vak yang artinya berkata, berucap. Dalam dunia linguistik kata wacana digunakan sebagai bentuk terjemahan dari istilah bahasa Inggris “discourse”. Bila ditelusuri kata discourse berasal dari bahasa latin discursus yang berarti lari ke sana ke mari, lari bolak balik. Kata itu diturunkan dari dis (dari/dalam arah yang berbeda) dan currere (lari). Dalam perkembangannya kata discouse lebih banyak digunakan oleh para ahli bahasa dalam kajian linguistik, sedangkan istilah discursus beserta bentuk adjektifnya diskursif lebih banyak digunakan oleh para ilmuan sosial (Mulyono, 2005: 4). Bahasa dapat kita analisis atas bagian-bagiannya, tata bunyi, tata bentuk kata, tata kalimat, dan berdasarkan kandungan makna (semantik). Oleh sebab itu, kita seakan beranggapan bahwa bahasa merupakan suatu objek yang dapat dipisah-pisahkan. Namun, pada kenyataannya manusia menggunakan bahasa untuk berkomunikasi. Ketika mereka berinteraksi, bahasa tidak dapat dipandang sebagai alat komunikasi yang dapat dirinci atas bagian-bagiannya seperti tata bunyi, frasa, kalimat, dan makna. Semua unsur itu menyatu membentuk suatu kesatuan. Demikian juga ketika kita berhadapan dengan wacana yang diwujudkan dalam sebuah teks. Kita tidak hanya dapat memandang teks sebagai sebuah kata atau kalimat. Teks harus dipandang sebagai satuan bahasa yang bermakna dengan segala konteks yang melingkupinya. Berkaitan dengan wacana, Renkema (1993:1) menyatakan bahwa wacana adalah disiplin ilmu yang mengkaji hubungan antara bentuk dan fungsi bahasa dalam komunikasi. Definisi ini menitikberatkan pada penggunaan bahasa dalam komunikasi yang membawa fungsi-fungsi tertentu. Di pihak lain, Alwi et al (1998: 419) menyatakan bahwa wacana adalah serentetan kalimat yang berkaitan yang menghubungkan preposisi yang satu dengan preposisi yang lain yang membentuk kesatuan. Definisi ini memandang wacana merupakan kalimat–kalimat yang saling berkaitan antara yang satu dengan yang lain dan membentuk satu kesatuan yang utuh. Konsep itu membawa kita untuk berhadapan dengan wacana tulis. Wacana merupakan rentetan kalimat yang berkaitan, yang menghubungkan proposisi yang satu dengan proposisi yang lain dan membentuk satu kesatuan yang utuh. 2. JENIS WACANA 1. Wacana lisan Tanya jawab, merupakan Jenis wacana lisan yang menekankan interaksi di antara para pembicara, misalnya pasien dan dokter, polisi dan tersangka, jasa dan terdakwa. Wacana lisan yang mementingkan isi antara lain pidato, ceramah, dakwah, kuliah atau deklamasi. 2. Wacana tulisan Wacana tulisan yang bersifat interaksi anatara lain, polemik, surat-menyurat antar ilmuwan, sastrawan, sahabat, dan dua kekasih. Wacana tulisan yang bersifat transaksi antara lain, instruksi, pemberitahuan, pengumuman, ildan, surat, undangan, makalah, esai, cerita pendek, dan novel. Apa pun bentuknya, wacana mengandaikan adanya penyapa (orang yang menyapa) dan pesapa (orang yang disapa). Dalam wacana lisan penyapa ialah pembicara dan pesapa adalah pendengar. Dalam wacana tulisan penyapa adalah penulis dan pesapa adalah pembaca. Dalam wacana kita juga mengambil kesimpulan. Ada dua jenis cara pengambilan kesimpulan atau implikatur, yakni konvensional dan percakapan. Implikatur konvensional didasarkan pada pengetahuan kita, sedangkan implikatur percakapan benar-benar didasarkan pada data kalimat dalam percakapan. 3. KONTEKS WACANA Konteks wacana terdiri atas berbagai unsur seperti situasi, pembicara, pendengar, waktu, tempat, adegan, topik, peristiwa, bentuk amanat, kode, dan sarana. Tiga unsur yang terakhir, yaitu, bentuk amanat, kode dan sarana perlu mendapat penjelasan. Bentuk amanat dapat berupa surtat, esai, iklan, pemberitahuan, pengumuman dan sebagainya. Kode ialah ragam bahasa yang dipakai, misalnya bahasa Indonesia baku, bahasa Indonesia logat daerah, atau bahasa daerah. Sarana ialah wahana komunikasi yang dapat berwujud pembicaraan, bersemuka atau lewat telepon, surat dan televisi. Ada dua prinsip yang dipakai dalam penafsiran konteks yakni prinsip penafsiran lokal dan prinsip analogi. Prinsip penafsiran lokal mengatakan bahwa pesapa tidak dapat membentuk konteks lebih besar dari pada yang diperlukan untuk sampai pada suatu tafsiran. Prinsip ini sering dipakai dalam memahami peristiwa-peristiwa. Prinsip analogi dipakai untuk menentukan perilaku dengan kebiasaan dalam masyarakat. Dalam prinsip ini manusia menggunakan akal budi dan didasarkan atas pengalamannya. Prinsip analogi merupakan dasar yang dipakai oleh pembicara maupun pendengar untuk menentukan tasiran dalam konteks. 4. KOHESI DAN KOHERESI Kohesi merupakan hubungan perkaitan antarproposisi yang dinyatakan secara eksplisit oleh unsur-unsur gramatikal dan sematik dalam kalimat-kalimat yang membentuk wacana. Koherensi merupakan hubungan berkaitan antarproposisi, tetapi perkaitan tersebut tidak secara ekpluisit atau nyata dapat dilihat pada kalimat-kalimat yang mengungkapkannya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ada wacana yang sekaligus kohesif dan koheren, dan adapula wacana yang koheren tapi tidak kohesif dengan kata lain suatu wacana tidak mungkin kohesif tanpa menjadi koheren. Berdasarkan konjungtor yang digunakan, kohesi mengungkapkan: a. Pertentangan yang dinyatakan dengan konjungtor tetapi atau namun. b. Pengutamaan yang dinyatakan dengan konjungtor malahan atau bahkan. c. Pengecualian yang dinyatakan dengan konjungtor kecuali. d. Konsesi yang dinyatakan dengan konjungtor walaupun atau meskipun; atau. e. Tujuan yang dinyatakan dengan konjungtor agar atau supaya. 5. TOPIK, TEMA DAN JUDUL 6. REFERENSI DAN INFERENSI